Anda di halaman 1dari 12

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perairan Indonesia memiliki sumberdaya pangan ikani yang potensial dalam
pemenuhan gizi masyarakat khususnya pemenuhan protein hewani. Ikan merupakan
bahan makanan yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Ikan
mengandung gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Salah satu produk yang masih
banyak mengalami pengembangan dalam diversifikasi hasil perikanan adalah
surimi. Surimi adalah produk daging ikan lumat yang telah diekstraksi berulang kali
dengan menggunakan air dingin (5-10 °C) untuk mengurangi kandungan protein
larut air dan dilanjutkan dengan penambahan cryoprotectant untuk penyimpanan
beku. Surimi dibuat dengan bahan dasar ikan yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi, berlemak rendah. Surimi sampai saat ini merupakan jenis produk olahan
ikan yang belum banyak di kenal di Indonesia. Jepang yang merupakan negara asal
surimi telah ratusan tahun dikenal dan menjadi bagian industri yang penting
(Irianto, 2004).
Surimi adalah konsentrat protein miofibril ikan yang diolah melalui tahapan
proses kontinyu meliputi penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging,
pencucian, penghilangan air, dan penambahan cryoprotectant, sehingga mempunyai
kemampuan fungsional terutama kemampuannya dalam membentuk gel dan
mengikat air. Surimi dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan dengan
karakteristik bentuk, tekstur, serta aroma yang khas, seperti chikuwa, kamaboko,
fish ball, hanpen, dan tsumire. Produksi surimi secara komersial dibuat dengan
menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari
tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai 3 kali pencucian) dengan air atau
larutan garam. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar
komponen larut dalam air, darah (pigmen), protein, sarkoplasma, darah dan enzim
(Haetami, 2008).
Surimi pada umumnya disimpan dalam keadaan beku. Suhu penyimpanan
surimi -35 °C sangat stabil mempertahankan sifat ashi, sedangkan pada suhu
penyimpanan -20 °C mengalami sedikit penurunan sifat ashi. Beberapa pengujian
menyatakan bahwa suhu -20 °C dijadikan standar suhu penyimpanan surimi yang

1 Universitas Sriwijaya
2

paling efisien dengan fluktuasi minimum. Selama penyimpanan beku, surimi akan
mengalami perubahan di dalam protein otot, yakni denaturasi, kristalisasi es,
dehidrasi, dan perubahan intramolekular seperti protein miofibril, pH, dan kekuatan
ionik. Penambahan sodium tripolyphosphate (STPP) pada surimi berfungsi sebagai
garam, yang meningkatkan daya ikat air produk dan menahan air tetap di dalam
produk pangan tersebut, sehingga membantu dalam memperbaiki tekstur dan
meningkatkan kekuatan gel (Peranginangin et al, 1999).
Ada dua tipe surimi beku, yaitu Mu-en surimi, yang dibuat dengan
menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula
fosfat tanpa penambhan garam dan telah mengalami proses pembekuan, sedangkan
Ka-en surimi dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci
dengan gula dan garam serta yang telah mengalami proses pembekuan. Selain surimi
beku, terdapat tipe lain yang disebut Nama surimi (raw surimi) yaitu surimi yang
tidak mengalai proses pembekuan (Okada, 1992).
Surimi yang didapatkan tergantung ikan yang digunakan, sebaiknya ikan
yang digunakan adalah ikan yang memiliki daging berwarna putih, karena daging
berwarna putih akan menghasilkan kenampakan yang baik. Ikan yang kita gunakan
juga ikan yang benar-benar segar. Proses pembuatan surimi sangat sederhana dan
tidak memakan waktu yang lama pembuatan surimi benar-benar harus dilakukan
dalam keadaan steril. Selain memiliki nilai gizi yang tinggi, juga mudah
mendapatkan bahan-bahan dalam pembuatannya (Irianto, 2004). Oleh karena itu
praktikum ini dilakukan untuk mengetahui cara pembuatan surimi dan pengaruh
bahan tambahan dalam pembuatannya.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui proses dari pembuatan surimi.
2. Untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan tambahan pada pembuatan
surimi.
3. Untuk mengetahui pengaruh penyimpanan suhu rendah terhadap mutu dari
surimi yang dihasilkan.

2 Universitas Sriwijaya
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin (Pangasius pangasius)


Klasifikasi ikan patin (Pangasius pangasius) menurut Saanin, (1984)
sebagai berikut:
kingdom : Animalia
filum : Chordata
subfilum : Vertebrata
kelas : Pisces
subkelas : Teleostei
ordo : Ostariophysi
subordo : Siluroidea
famili : Pangasidae
genus : Pangasius
spesies : Pangasius pangasius
Ikan patin (Pangasius pangasius) termasuk ke dalam famili Pangasidae dan
merupakan ikan berkumis air tawar yang tersebar di seluruh Asia Selatan dan
Tenggara. Famili ini memiliki kulit halus, memiliki dua pasang sungut yang relatif
pendek, jari-jari sirip punggung, dan sirip dada sempurna dengan tujuh jari-jari
bercabang, sebuah sirip lemak berpangkal sempit, sirip dubur panjang, dan
bersambung dengan sirip ekor. Sirip ekor bercagak, mulut agak mengarah ke depan.
Hidup di perairan berarus lambat dan aktif di malam hari. Ikan ini memakan detritus
dan invertebrata lainnyadari dasar perairan. Ikan patin memiliki badan memanjang
berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang
tubuhnya bisa mencapai 120 cm, dimana ukuran ini merupakan ukuran yang besar
untuk ikan air tawar domestik (Saanin, 1984).

2.2. Surimi
Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional
untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses
yang diperlukan untuk mengawetkannya. Surimi adalah protein miofibril ikan yang
telah distabilkan dan diproduksi melalui tahapan proses secara kontinyu yang

3 Universitas Sriwijaya
4

meliputi penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging, pencucian,


penghilangan air, penambahan cryoprotectant, dilanjutkan dengan atau tanpa
perlakuan, sehingga mempunyai kemampuan fungsional terutama dalam
membentuk gel dan mengikat air (Anggawati, 2002).
Surimi merupakan produk antara atau bahan-bahan baku dasar dalam
pembuatan kamaboko (produk gel ikan), sosis, fish nugget, ham ikan dan lain-lain.
Surimi dengan mutu baik adalah yang berwarna putih, mempunyai flavor (cita rasa)
yang baik dan berelastisitas tinggi. Selain itu makin segar ikan yang digunakan,
elastisitas teksturnya makin tinggi. Untuk ikan yang mempunyai elastisitas yang
rendah dapat ditingkatkan elastisitasnya dengan menambahkan daging ikan dari
spesies yang lain, dan dilakukan penambahan gula, pati atau protein nabati. Untuk
ikan yang berlemak tinggi seperti lemuru, lemak tersebut harus diekstrak atau
dikeluarkan lebih dulu. Lemak akan berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan
menyebabkan produk mudah tengik (Fardiaz, 2007).
Komponen daging yang berperan dalam produk pembuatan surimi adalah
protein, khususnya protein yang besifat larut dalam garam, terutama aktin dan
miosin yang merupakan komponen utama dari protein ikan yang larut garam
(protein miofibrilar) dan berperan penting dalam membentuk karakteristik utama
surimi, yaitu kemampuan untuk membentuk gel yang kokoh tetap elastis pada suhu
yang relatif rendah (sekitar 40 oC). Fungsi protein adalah sebagai bahan pengikat
hancuran daging dan sebagai emulsifier (Fardiaz, 2007).

2.3. Karakteristik Surimi Beku


Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gel yang baik, kandungan
air, dan warnanya yang cenderung putih. Mutu ini sangat tergantung dari berbagai
faktor seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode dan kualitas air, pengawasan
suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi.
Kualitas surimi ditentukan pula dengan adanya proses pencucian yang
menghilangkan lemak dan bahan asing yang tak diharapkan lebih dari itu kualitas
surimi yang baik ditunjukkan selama penyimpanan (beku) mampu menjaga
konsentrasi miofibril dan pembentukan gel. Secara garis besar kualitas tersebut
dipengaruhi oleh faktor internal (biologi) dan eksternal (proses). Faktor internal
yang mempengaruhi kualitas surimi yakni jenis ikan, musim dan kematangan gonad

4 Universitas Sriwijaya
5

ikan, serta tingkat kesegaran mutu ikan. Adapun faktor eksternal yang dimaksud
antara lain adalah proses pemanenan, penanganan ikan, mutu air, lama proses dan
suhu pengolahan, frekuensi dan besar perbandingan air pencucian, nilai pH dan
salinitas (Anggawati, 2002).

2.4. Cryoprotectant
Cryoprotectant merupakan bahan yang ditambahkan pada suspensi sel untuk
melindungi sel dari kerusakan akibat pembekuan sehingga viabilitas sel selama
penyimpanan tetap tinggi. Cryoprotectant mempunyai kemampuan untuk
menstabilkan struktur makromolekul sel terhadap pengaruh terbentuknya kristal es
dengan memperkuat gaya hidrofobik. Cryoprotectant juga akan menstabilkan sel
atau membran melawan pengaruh kondisi lingkungan yang kurang mendukung yang
ditimbulkan oleh perlakuan pembekuan. Cryoprotectant dapat digolongkan
menjadi 2 yaitu koligatif dan non-koligatif. Koligatif dapat terpenetrasi ke dalam
sel yang digunakan dalam konsentrasi tinggi dan akan mempengaruhi titik beku
sistem. Cryoprotectant cocok untuk pembekuan cepat. Contohnya pada digliserol
Sedangkan Non-koligatif tidak dapat terpenetrasi ke dalam sel yang digunakan
untuk konsentrasi rendah. Cryoprotectant ini cocok untuk pembekuan lambat.
Contohnya adalah sukrosa (Anggawati, 2002).
Cryoprotectant adalah bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan surimi
yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan
terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Cryoprotectant digunakan
untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan
beku. Bahan yang dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul
air melalui ikatan hidrogen disebut dengan cryoprotectant. Cryoprotectant
meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran
molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein. Fungsi cryoprotectant
adalah sebagai zat antidenaturan. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering
digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat. Penambahan polifosfat dapat
menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun. Jenis polifosfat
sering digunakan antara lain dinatrium fosfat (DSP), natrium heksametafosfat
(SHMP) dan natrium tripolifosfat (STPP). Fosfat digunakan pertama kali oleh
Nishiya’s Group (industri surimi di Jepang). Pirofosfat dan tripolifosfat dilaporkan

5 Universitas Sriwijaya
6

memiliki efek untuk melindungi protein. Nishiya’s group melaporkan bahwa


pirofosfat dan tripolifosfat adalah lebih efektif dibandingkan dengan tetrapolifosfat
dan heksametafosfat (Anggawati, 2002).

2.5. Garam
Garam berfungsi untuk memperbaiki cita rasa, pengawetan dan
melarutkan protein. Konsentrasi garam yang digunakan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri daging tidak mempunyai batasan yang pasti sebab hal ini
tergantung pada faktor-faktor lain yaitu pH dan suhu. Garam menjadi lebih efektif
pada suhu yang lebih rendah dan kondisi asam. Jumlah pemakaian garam menurut
US Wheat Associates 2-2.25 %. Jika kurang dari 2 % maka rasa akan hambar,
sedangkan di atas 2.25 % akan menghambat aktivitas mikroba. Garam dapat
memberikan rasa, meningkatkan konsistansi dan mengikat air. Penambahan garam
pada makanan dapat menghambat pertumbahan jamur dan kapang menghambat di
ktivitas enzim protease dan amylase sehingga adonan menjadi tidak lengket dan
mengembang secara berlebihan. Sebagai penegas cita rasa dan berfungsi sebagai
pengawet. Garam sebagai bahan pengawet karena kemampuannya untuk menarik
air keluar dari jaringan (Afrianto, 2010).

2.6. Kamaboko
Kamaboko merupakan produk hasil olahan daging yang berbentuk gel,
bersifat kenyal dan elastis. Produk ini berasal dari Jepang. Kamaboko merupakan
produk hasil olahan daging yang berbentuk gel, bersifat kenyal dan elastis. Produk
ini berasal dari Jepang. Di Indonesia dikenal produk semacam kamaboko yaitu baso
ikan, otak-otak, dan empek-empek. Kamaboko merupakan jenis olahan makanan
hasil laut di Jepang dengan proses pembentukkan gel protein yang homogen
(Fardiaz, 2007).
Kamaboko merupakan kue ikan yang sifatnya elastis, terbuat dari daging
ikan giling sebagai bahan utama yang ditambahkan dengan bahan-bahan tambahan
seperti pati untuk pengental, gula dan garam serta natrium glutamat untuk
menambah cita rasa. Campuran dari bahan dan kamaboko ini kemudian dimasak
dengan pengukusan, pemanggangan, perebusan ataupun penggorengan. Gelasi
protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein

6 Universitas Sriwijaya
7

atau tidak menggulungnya rantai protein dan tahap kedua adalah terjadinya agregasi
protein membentuk struktur tiga dimensi membagi proses gelasi menjadi tiga bagian
yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi
tidak terlipat (Fardiaz, 2007).

2.7. Bakso
Bakso atau baso adalah jenis bola daging yang lazim ditemukan pada
masakan Indonesia. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan
tepung tapioka, akan tetapi ada juga bakso yang terbuat dari daging ayam, ikan, atau
udang bahkan daging kerbau. Dalam penyajiannya, bakso umumnya disajikan
panas-panas dengan kuah kaldu sapi bening, dicampur mi, bihun, taoge, tahu,
terkadang telur dan ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer dan
dapat ditemukan di seluruh Indonesia; dari gerobak pedagang kaki lima hingga
restoran besar (Mulyadi, 2005).
Bakso memiliki akar dari seni kuliner Tionghoa Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dari istilah 'bakso' berasal dari kata Bak-So, dalam Bahasa
Hokkien yang secara harfiah berarti 'daging giling'. Karena kebanyakan penduduk
Indonesia adalah muslim, maka bakso lebih umum terbuat dari daging halal seperti
daging sapi, ikan, atau ayam. Kini, kebanyakan penjual bakso adalah orang
Jawa dari Wonogiri dan Malang. Tempat yang terkenal sebagai pusat Bakso
adalah Solo dan Malang yang disebut Bakso Malang. Bakso Malang dan bakso Solo
adalah masakan bakso dan disajikan dengan khas Jawa. Bakso berasal dari China
tetapi berbeda dengan bakso Malang dan Solo. Bakso China biasanya terbuat dari
babi atau makanan laut dan warnya agak kecokelatan serta bentuknya tidak bulat
sekali. Sedangkan bakso Malang dan Solo terbuat dari daging sapi, berwarna abu
abu dan bentuknya bulat sekali. Bakso China biasanya tidak disajikan dengan kuah
melimpah berbeda dengan bakso Malang dan Solo yang disajikan dengan kuah
melimpah (Mulyadi, 2005).

7 Universitas Sriwijaya
8

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tempat dan Waktu


Praktikum Pembuatan surimi dan pembuatannya dilaksanakan di
Laboratorium Pengolahan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sriwijaya. Pada hari Sabtu, 9 September 2017, pada pukul 08.00 WIB
sampai dengan selesai.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum Pembuatan surimi dan pembuatannya
adalah baskom, kain belacu, panci, kompor, plastik es. Sedangkan bahan yang
digunakan dalam praktikum Pembuatan surimi dan pembuatannya adalah Ikan
giling, STTP, Garam, Tepung, Es batu, Air.

3.3. Cara Kerja


Cara kerja pada praktikum penggaraman dan pengeringan adalah sebagai
berikut:
1. Ikan segar difillet dan digiling
2. Dilakukan pencucian dengan air es 1:4 dengan suhu dibawah 5 oC aduk selama
10 menit, kemudian diperas menggunakan kain belacu. Lakukan sebanyak 3x
pencucian
3. Untuk mencucian daging ikan dengan air garam, pada pencucian yang ketiga
ditambah garam 3 % dari jumlah air
4. Surimi dibagi menjadi 2 yaitu fresh surimi dan frozen surimi
5. Fresh surimi diolah menjadi kamaboko dan bakso
6. Sementara frozen surimi dibagi lagi menjadi dua bagian dan 1 bagian diberi
penambahan 0,5 gr STTP
7. Timbang berat frozen surimi
8. Bungkus kedua bagian frozen surimi dan disimpan kedalam freezer
9. Bakukan pengujian setelah 30 hari dan 60 hari
10. Lakukan pengujian warna, pH, uji gigit dan uji lipat

8 Universitas Sriwijaya
9

Cara kerja pembuatan bakso surimi ikan Patin adalah sebagai berikut:
1. Surimi ikan Pain dicampur sedikit es batu.
2. Kemudian tambahkan tepung tapioka, garam, dan lada.
3. Aduk rata hingga membentuk adonan.
4. Kemudian bentuk adonan menjadi beberapa bakso.
5. Masukkan adonan yang telah dibentuk kedalam dandang berisi air mendidih.
6. Angkat bakso surimi setelah mengambang dan matang.

Cara kerja pembuatan kamaboko adalah sebagai berikut:


1. Surimi yang telah jadi dicampur dengan air, tepung terigu, garam, dan lada.
2. Kemudian bungkus menggunakan daun pisang, lalu dikukus.
3. Setelah dikukus beberapa menit, angkat kamaboko dan dilakukan uji lipat.

9 Universitas Sriwijaya
10

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Hasil dari praktikum pembuatan surimi dan produk olahannya dapat dilihat
sebagai berikut:
Tabel 4.1. Data Gel Strength Surimi Patin dan Tongkol Selama Penyimpanan 30
Hari dan 60 Hari
Lama Penyimpanan
Kelompok Perlakuan
30 Hari 60 Hari
Pencucian garam dengan cryo 111,05b/p 46,02b/q
1 (Patin) b/q
Pencucian garam tanpa cryo 57,35 31,20b/r
b/p
Pencucian biasa dengan cryo 108,59 41,18b/q
2 (Patin) b/q
Pencucian biasa tanpa cryo 50,73 27,69b/q,r
a/p
Pencucian garam dengan cryo 148,39 92,01a/q
3 (Tongkol)
Pencucian garam tanpa cryo 126,63a/p 72,40a/q
a/p
Pencucian biasa dengan cryo 166,90 88,16a/q
4 (Tongkol) a,b/p
Pencucian biasa tanpa cryo 119,15 70,81a/q
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf superscript berbeda (a, b) menunjukkan beda
nyata (p < 0,05). Angka pada baris yang sama yang diikuti huruf superscript berbeda (p, q, r)
menunjukkan beda nyata (p<0,05).

Tabel 4.2. Data Derajat Putih Surimi Patin dan Tongkol Selama Penyimpanan 30
Hari dan 60 Hari
Lama Penyimpanan
Kelompok Perlakuan
30 Hari 60 Hari
a/p
Pencucian garam dengan cryo 47,20 44,90a/p
1 (Patin) a/p
Pencucian garam tanpa cryo 44,92 44,48a/p
a/p
Pencucian biasa dengan cryo 43,07 40,30a/p
2 (Patin) a/p
Pencucian biasa tanpa cryo 41,68 40,05a/p
a/p
Pencucian garam dengan cryo 37,93 34,05a/q
3 (Tongkol) a/p
Pencucian garam tanpa cryo 37,58 31,05a/q
Pencucian biasa dengan cryo 35,67a/p 30,09b/q
4 (Tongkol) a,b/p
Pencucian biasa tanpa cryo 33,48 28,02b/q,r
Ket: Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf superscript berbeda (a, b) menunjukkan beda
nyata (p < 0,05). Angka pada baris yang sama yang diikuti huruf superscript berbeda (p, q, r)
menunjukkan beda nyata (p<0,05).

10 Universitas Sriwijaya
11

4.2. Pembahasaan
Berdasarkan praktikum Surimi yang telah dilakukan tiap kelompok
menggunakan bahan dasar ikan yag berbeda-beda, untuk kelompok kami membuat
surimi menggunakan bahan dasar ikan patin (Pangasius-pangasius), sebelum kami
melakukan orlep atau melakukan pengujian terhadap sampel berdasarkan parameter
tertentu yang dianjurkan untuk dinilai terhadap produk kamaboko ataupun bakso
dari surimi ikan patin, sebelumnya kami melakukan treatment dalam membuat
surimi dari ikan patin itu sendiri, diaman surimi tersebut setelah selesai dibuat di
bagi menjadi dua bagian untuk fresh surimi dan frozen surimi yang mana fozen
surimi akan disimpan selama 30 hari hingga 60 hari, pembekuan dilakukan di dalam
freezer, pembekuan juga sangat berperan aktif dalam proses pembuatan surimi.
Surimi merupakan produk olahan yang cepat mengalami pembusukan, oleh karena
itu dilakukan pembekuan untuk mempertahankan kualitas atau mutu surimi saat
penyimpanan, sedangkan untuk fresh surimi langsung diolah untuk mencegah
rusaknya kualitas surimi hingga terjadinya pembusukan terhadap surimi ikan patin,
maka dari itu fresh surimi diolah menjadi bakso dan kamaboko.
Dalam pengujian bakso surimi dan kamaboko, parameter yang diamati
terhadap kedua produk tersebut diantaranya yakni pH, warna, uji gigit, dan uji lipat.
Dalam parameter uji sensoris pada bakso surimi ikan patin dimana bakso dengan
kode 231 merupakan yang terbaik diantara bakso kode yang lain, meskipun rasa,
aroma, warna, penampakan, maupun tekstur dari bakso kode 231 ini semuanya
memiliki nilai yang sama yakni 5 dengan keterangan netral dari semua parameter.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa hasil olahan surimi bakso dengan kode yang
lain tidak begitu baik yang disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari bahan dasar
tingkat kesegaran ikan, surimi yang dihasilkan mungkin masih mengandung banyak
air, ataupun dalam proses pembuatan bakso mungkin dari sedikitnya penambahan
tepung akan tetapi banyaknya penambahan air pada adonan bakso.
Untuk hasil dari uji olahan kamaboko, tidak ada satupun kamaboko yang
dihasilkan baik, karena dari seluruh sampel yang diuji semuanya retak, hal tersebut
juga disebabkan oleh berbagai macam faktor saat pengolahan kamaboko mapun saat
pembuatan surimi.

11 Universitas Sriwijaya
12

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum Pembuatan Surimi adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan surimi menggunakan ikan berdaging putih dikarenakan memiliki
keelastisitas yang tingi.
2. Pembekuan produk surimi bertujuan untuk mempertahankan kualitas atau mutu
surimi saat penyimpanan.
3. Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat
menunjang kemampuan dalam pembentukan gel dan mencegah denaturasi
protein akibat pembekuan.
4. STPP memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi dan
kemampuan emulsi.
5. Proses pencucian atau perendaman daging ikan dengan menggunakan air es
yang bertujuan untuk memperbaiki warna ikan.

5.2. Saran
Adapun saran pada praktikum pembuatan surimi yaitu sebaiknya alat supaya
disiapkan agar praktikum dapat berjalan lancar dan untuk praktikan saat praktikum
supaya lebih kondusif lagi.

12 Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai