Anda di halaman 1dari 93

POTENSI BAWANG-BAWANGAN (Allium spp.

) DALAM
MENGHAMBAT PEMBENTUKAN BLACKSPOT PADA
UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)

TATTY YUNIARTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER


INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Potensi Bawang-


Bawangan (Allium spp.) dalam Menghambat Pembentukan Blackspot pada Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei)” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2018

Tatty Yuniarti
NRP F261130081
iv

RINGKASAN

TATTY YUNIARTI. “Potensi Bawang-Bawangan (Allium spp.) dalam


Menghambat Pembentukan Blackspot pada Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei)” dibimbing oleh SUKARNO, NANCY DEWI YULIANA, dan
SLAMET BUDIJANTO.

Pembentukan blackspot pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) terjadi


karena aktivitas enzim polifenol oksidase (PPO). Enzim ini merupakan enzim
indogeneus yang terdapat secara alami pada makhluk hidup. Aktivitas enzim PPO
mengoksidasi senyawa fenol menjadi quinon. Quinon merupakan senyawa yang
reaktif dan secara spontan membentuk polimer dengan quinon sendiri atau dengan
senyawa aromatis lain sehingga membentuk melanin yang berwarna hitam
(blackspot). Akibat pembentukan blackspot tersebut, maka tingkat penerimaan
konsumen terhadap udang segar menjadi menurun.
Upaya untuk mencegah pembentukan blackspot meliputi penggunaan bahan
tambahan pangan, perbaikan proses penanganan, dan penggunaan inhibitor alami
enzim PPO. Salah satu upaya tersebut adalah aplikasi ekstrak tanaman untuk
memperlambat pembentukan blackspot. Beberapa ekstrak tanaman yang diketahui
mempunyai kemampuan bioaktif tersebut antara lain jamur, buah delima, petai cina,
dan ekstrak teh hijau. Komponen yang bertanggung jawab terhadap kemampuan
bioaktif menghambat blackspot tersebut diduga adalah flavonoid atau polifenol.
Kemampuan menghambat blackspot berhubungan erat dengan kemampuan
antioksidan.
Bawang-bawangan kaya akan komponen polifenol dan flavonoid. Senyawa
golongan tersebut antara lain antosianin, asam galat, asam ferulik, quersetin,
proantosianin, quersetin-glukosida. Ekstrak dari bawang-bawangan mempunyai
kemampuan bioaktif antioksidan yang tinggi. Berdasarkan kandungan komponen
serta kemampuan bioaktif tersebut, diduga berbagai jenis bawang dapat
menghambat pembentukan blackspot. Penentuan komponen aktif yang berperan
dalam kemampuan bioaktifnya, dapat dilakukan dengan pendekatan metabolomik.
Pendekatan metabolomik membandingkan secara komprehensif jenis komponen
dalam data besar dengan kemampuan bioaktif secara kuantitatif dan kualitatif, tanpa
harus melakukan isolasi senyawa sehingga memperpendek tahapan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan screening terhadap ekstrak
lima bawang (Allium spp.) yang diduga mempunyai kemampuan menghambat
blackspot yaitu bawang merah (Allium cepa L. var Aggregatum), bawang putih
(Allium sativum), bawang bombay (Allium cepa Linnaeus), bawang daun (Allium
fistulosum), dan bawang lokio (Allium schoenoprasum L.); (2) mempelajari
mekanisme penghambatan fraksi bawang terpilih dalam menghambat pembentukan
blackspot; (3) mengidentifikasi komponen aktif dari ekstrak bawang terpilih
dengan pendekataan metabolomik.
Penelitian tahap I yaitu mengekstraksi kelima jenis bawang tersebut masing-
menggunakan metanol 80% dan ditentukan komposisi fitokimia flavonoid dan
polifenol, kemudian kemampuan ekstrak menghambat blackspot udang vaname
dan secara in vitro menggunakan enzim PPO komersial, sehingga dapat diketahui
jenis bawang yang mempunyai kemampuan menghambat blackspot paling tinggi.
v

Pada tahap penelitian kedua adalah ekstrak bawang terpilih, yaitu yang mempunyai
kemampuan menghambat blackspot paling tinggi, ditentukan mekanisme
penghambatannya. Tahap penelitian ketiga yaitu penentuan komponen aktif yang
berperan dalam menghambat blackspot melalui pendekatan metabolomik.
Hasil penelitian menunjukkan ekstrak bawang bombay mengandung total
polifenol tertinggi yaitu sebesar 414.50±8.91 mg GAE/g ekstrak dan komponen
flavonoid terbesar terdapat pada ekstrak bawang merah yaitu sebesar 134.63±5.34
mg QE/g ekstrak. Kemampuan penghambatan aktivitas enzim PPO tertinggi oleh
ekstrak bawang merah diikuti oleh bawang bombay, bawang lokio, bawang daun
dan bawang putih. Perendaman udang dalam ekstrak bawang merah mencapai nilai
melanosis 5.1±0.8, pada bagian kepala dan kaki udang melanosis belum terjadi
secara sempurna, demikian pula pada bagian ekor melanosis masih sedikit terjadi.
Komponen flavonoid berkorelasi kuat dengan kemampuan ekstrak menghambat
blackspot.
Hasil fraksinasi bawang merah, pada fraksi etil asetat bawang merah (EAF),
menghambat aktivitas enzim PPO paling tinggi dibandingkan dengan fraksi bawang
merah menggunakan pelarut heksana, kloroform dan air, berturut-turut (%) sebesar
90.33 ± 0.93; 60.13 ± 0.78; 52.97 ± 0.34; 47.09 ± 0.90. EAF bawang merah
menghambat enzim PPO secara reversible dengan substrat L-DOPA. Kinetika
reaksi memperlihatkan jenis penghambatan enzim PPO oleh EAF adalah kompetitf
dengan nilai V maksimum adalah 0.0164 mM-1 dan nilai Km sebesar 0.222 mM
serta dapat mengkhelat logam Cu pada sisi aktif enzim PPO.
Hasil score plot profil senyawa analisis 1H-NMR (X) dan aktivitas
penghambatan enzim PPO (Y) menggunakan OPLS menunjukkan pemisahan yang
baik antara fraksi dengan aktivitas rendah dan fraksi dengan aktivitas tinggi
sehingga model dan OPLS dapat digunakan lebih lanjut untuk mengidentifikasi
senyawa aktif. Karakteristik sinyal NMR menunjukkan senyawa-senyawa yang
berperan dalam menghambat aktivitas enzim PPO atau menghambat blackspot
adalah quersetin, kaempferol, sianidin 3.4’-di-O-β-glukopiranosid, quersetin 4-O-
β-D-glukopiranosid, sianidin 7-O-(3”-O-glukosil-6”-O-malonil-β-glukopiranosid)
-4’-O-β-glukopiranosid, sianidin 3-(6”-O-malonil) laminaribiosid’.
Kesimpulan penelitian adalah kelima bawang dapat menghambat
pembentukan blackspot dan bawang merah mempunyai aktivitas penghambatan
yang paling tinggi ekstrak bawang lainnya. Fraksi etil asetat dari bawang merah
menghambat blackspot dengan mekanisme inhibitor kompetitif dan mengkhelat
logam. Pendekatan metabolomik menggunakan instrumen 1H-NMR dan 2D NMR
dapat menentukan senyawa yang berperan menghambat aktivitas enzim PPO.
Senyawa tersebut adalah quersetin, kaempferol, sianidin 3.4’-di-O-β-
glukopiranosid, quersetin 4-O-β-D-glukopiranosid, sianidin 7-O-(3”-O-glukosil-
6”-O-malonil-β-glukopiranosid)-4’-O-β-glukopiranosid, sianidin 3-(6”-O-malonil)
laminaribiosid’. Saran penelitian selanjutnya adalah mengkaji sianidin sebagai anti-
blackspot dan sinergitas senyawa-senyawa yang teridentifikasi.

Kata Kunci: blackspot, metabolomik, bawang merah, inhibitor PPO, fenolik.


vi

SUMMARY

TATTY YUNIARTI. "The Potency of Onions (Allium spp.) in Inhibition of


Blackspot Formation on Whiteleg Shrimp (Litopenaeus vannamei)" is guided by
SUKARNO, NANCY DEWI YULIANA, and SLAMET BUDIJANTO.

The formation of blackspots on whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei)


occurs due to the activity of the enzyme polyphenol oxidase (PPO). This enzyme is
an indogeneus enzyme found naturally in living things. PPO enzyme activity
oxidizes phenol compounds to quinon. Quinon is a reactive compound and
spontaneously forms a polymer with its own quinon or with other aromatic
compounds to form a black melanin (blackspot). As a result of the formation of the
blackspot, the level of consumer acceptance of fresh shrimp becomes.
Efforts to prevent the formation of blackspots include the use of food
additives, improved handling processes, and the use of natural PPO enzyme
inhibitors. One such effort is the application of plant extracts to slow the formation
of blackspots. Some plant extracts that are known to have bioactive ability include
mushrooms, pomegranates, petai china, and green tea extract. The components
responsible for the bioactive ability to inhibit the blackspot are thought to be
flavonoids or polyphenols. The ability to inhibit blackspot is closely related to
antioxidant ability.
Onions are rich in polyphenolic and flavonoid components. The class
compounds include anthocyanin, gallic acid, ferulic acid, quersetin, proantocyanin,
quercetin-glucoside. The extracts of the onions have high bioactive oxidant
abilities. Based on its component content and bioactive capability, it is suspected
that various types of onions can inhibit the formation of blackspots. Determination
of active components that play a role in bioactive ability, can be done with
metabolomic approach. The metabolomic approach compares comprehensively the
types of components in large data with bioactive capabilities both quantitatively
and qualitatively, without having to isolate the compounds to shorten the stages of
the study.
This study aims to (1) screen the extracts of five onions (Allium spp.)
which are suspected of having the ability to inhibit blackspots ie red onion (Allium
cepa L. var Aggregatum), garlic (Allium sativum), onion (Allium cepa Linnaeus),
leek ( Allium fistulosum), and onion chives (Allium schoenoprasum L); (2) studying
the mechanism of inhibition of selected onion fractions in inhibiting the formation
of blackspots; (3) to identify the active component of selected onion extract with
metabolomicmetabolism.
The first phase of the research is extracting the five types of onion each
using 80% methanol and determined the phytochemical composition of flavonoids
and polyphenols, then the ability of extracts inhibited whiteleg blackspot and in
vitro using commercial PPO enzymes, so it can be known that onion type has the
ability to inhibit most blackspots high. In the second research phase is the selected
onion extract, which has the ability to inhibit the highest blackspot, determined the
mechanism of inhibition. The third stage of research is the determination of active
components that play a role in inhibiting blackspot through metabolomic approach.
The results showed that onion extracts contained the highest total
polyphenol content of 414.50 ± 8.91 mg GAE/g extract and the largest flavonoid
vii

component found on red onion extract of 134.63 ± 5.34 mg QE/g extract. Ability to
inhibit the highest PPO enzyme activity by red onion extract followed by onions,
onion chives, leeks and garlic. Immersion of shrimp in onion extract reached
melanosis value 5.1 ± 0.8, at the head and feet of shrimp melanosis has not
happened perfectly, so also at the tail of melanosis still little happened. It is
suspected that the flavonoid component is strongly correlated with the ability of the
extract to inhibit blackspot.
The result of onion fractionation, on the fraction of onion ethyl acetate
(EAF), inhibited the highest PPO enzyme activity compared to the fraction of onion
using heksane, chloroform and water solvent, 90% -33 ± 0.93% respectively; 60.13
± 0.78; 52.97 ± 0.34; 47.09 ± 0.90. EAF onion inhibits PPO enzyme reversibly with
L-DOPA substrate. The reaction kinetics show the type of inhibition of PPO
enzyme by EAF is competitively with V max value is 0.0164 mM-1 and Km value
of 0.222 mM and can menghelat Cu metal on the active side of PPO enzyme. The
results of the plot score profile of the compound analysis of 1H-NMR (X) and the
inhibition activity of the PPO (Y) enzyme using OPLS showed good separation
between fraction with low activity and high activity fraction so that the model and
OPLS could be used further to identify the alleged active compound. Characteristics
of NMR signals indicate compounds that play a role in inhibiting PPO enzyme
activity or inhibiting blackspots are quercetin, kaempferol, cyanidine 3.4'-di-O-β-
glucopyranoside, quersetin 4-O-β-D-glucopyranoside, cyanidine 7-O- (3 "-O-
glucosyl-6" -O-malonyl-β-glucopyranoside) -4'-O-β-glucopyranoside, cyanidin 3-
(6 "-O-malonyl) laminaribioside '.
The research conclusion is that the five onions can inhibit the formation
of blackspot and onion have the highest inhibition activity of other onion extract.
The fraction of ethyl acetate from onion inhibits blackspot with the mechanism of
competitive inhibitor and metal hook. The metabolomic approach using the 1H-
NMR and 2D NMR instruments can predict binding compounds that inhibit PPO
enzyme activity. These compounds are quersetin, kaempferol, cyanidin 3.4'-di-O.
The next research suggestion is to study cyanidin as anti-blackspot and synergism
of the identified compounds.

Keywords: blackspot, metabolomic, red onion, PPO inhibitor, phenolic.


viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix

POTENSI BAWANG-BAWANGAN (Allium spp.) DALAM


MENGHAMBAT PEMBENTUKAN BLACKSPOT PADA
UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)

TATTY YUNIARTI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
x

Penguji luar komisi pada Ujian Tertutup


1. Prof Dr Ekowati Chasanah, MSi.
(Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan
dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan)
2. Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi
(Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor).

Penguji luar komisi pada Sidang Promosi Terbuka


1. Dr Ir Iin Siti Djunaidah, MSc.
(Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan)
2. Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi.
(Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor).
xi

Judul Disertasi : Potensi Bawang-Bawangan (Allium spp.) dalam Menghambat


Pembentukan Blackspot pada Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei)
Nama : Tatty Yuniarti
NIM : F261130081

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing,

Dr Ir Sukarno, MSc
Ketua

Dr Nancy Dewi Yuliana, STP MSc Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr


Anggota Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pangan

Prof Dr Ir Harsi D Kusumaningrum Prof Dr Ir Anas M Fauzi, MEng

Tanggal Ujian Tertutup: 14 Agustus 2018 Tanggal Lulus:


Tanggal Sidang Promosi: 27 Agustus 2018
xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan
rahmat-Nya sehingga disertasi ini berhasil disusun dengan judul “Potensi Bawang-
Bawangan (Allium spp.) dalam Menghambat Pembentukan Blackspot pada Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei)”. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr Ir
Sukarno, MSc selaku ketua komisi pembimbing, Dr Nancy Dewi Yuliana, STP,
MSc dan Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr selaku anggota komisi pembimbing
yang telah membimbing dan mengarahkan penulisan disertasi ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr Iin Siti Djunaidah, MSc, Prof
Dr Ir Ekowati Chasanah, MSi, Dr Didah Nur Faridah, STP MSi sebagai penguji
luar komisi pada ujian prelim lisan, ujian tertutup dan ujian terbuka, serta kepada
Dr Ir Endang Prangdimurti, MSi, (Sekretaris Program Doktor PS IPN), Prof Ono
Suparno, STP MT PhD (Wakil Dekan FATETA) yang telah memberi masukan
mendasar pada keseluruhan disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kementerian Kelautan dan
Perikanan melalui Badan Riset dan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan,
Pusat Pendidikan dan Kelautan dan Perikanan, Ketua Sekolah Tinggi Perikanan,
Ketua Jurusan Penyuluhan Perikanan, serta Rektor dan Dekan Sekolah Pasca
Sarjana (SPs) IPB yang telah memberi izin dan kesempatan pada penulis untuk
mengikuti pendidikan program doktor di SPs IPB. Terima kasih kepada Ketua PS
Ilmu Pangan (IPN) dan seluruh dosen PS IPN untuk segala ilmu yang telah
diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Andin Taryoto, Dr Aef
Permadi, APi MSi, Dr Ir I Nyoman Suyasa, MS, Dr Nurhudah, MSc, Dra Ani
Leilani, M.Si, Dr Ir Lenny Stansye Syafei, MSi, Dr Ir Iin Siti Djunaidah, MSc, Dr
Ir Pigoselphi Anas, Msi, Iskandar Musa, APi MSi dan rekan-rekan lain yang tidak
bisa disebutkan satu per satu, atas dukungan dan doanya. Terima kasih kepada Prof
Dr Tati Nurhayati dan Dr Tri Rini Nuringtyas, MSc, Mbak Dita, Mbak Yuni atas
bantuan bahan kimia dan sarana penelitian di LPPT UGM, Laboratorium Biokimia,
Fakultas Biologi UGM.
Terima kasih atas ijin dan bantuan kepada Kepala BAPPL Serang, kepada
Bapak Suharyadi, MSi, staf dan taruna Sekolah Tinggi Perikanan, kepada seluruh
staf di Laboratorium Kimia dan Biokimia PAU, LJA IPB Mbak Ari, Pak Taufik,
Pak Yahya, Mbak Yuli, Teteh Yayam dan Ghina di Laboratorium Terpadu FPIK
IPB, juga adinda Khamdi Mubarak, PhD atas bantuan literatur. Terima kasih
penulis sampaikan kepada Bapak M Soetiro rahimahullah dan Ibu Emiliati, Bapak
dan Ibu M. Sukotjo rahimahullah, suami tercinta Goenawan, ST, ananda Rama
Akbar Hanifan dan Diyah Ayu Vania, adik dan kakak atas segala doa, dukungan.
Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di PS IPN Ibu Asnani, Ibu Retnani,
Mbak Fitri Tafzi, Dek Fathma, Mbak Erni, Winda Haliza, Reno Fitri Hasrini, Sri
Novalina, Nur Fatonah Sadek, Wendri, Bapak Abdullah Muzi dan Muhammad
Azril atas kebersamaan. Semoga disertasi ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan teknologi pangan dan ilmu terkait lainnya.

Bogor, Oktober 2018

Tatty Yuniarti
xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR LAMPIRAN xviii
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
Hipotesis 3
Novelty 3
Roadmap penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 6
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) 6
Pembentukan Blackspot pada Udang 8
Enzim Polifenoloksidase (PPO) 8
Karakteristik Biokimia Enzim PPO 10
Upaya Mengatasi Blackspot 12
Jenis-jenis penghambatan enzim 15
Senyawa Fenolik sebagai Penghambat Pembentukan Blackspot 16
Komoditas Bawang-Bawangan 18
Komposisi Kimia Bawang-bawangan 19
Metabolit Sekunder pada Bawang-Bawangan 20
Metoda Metabolomik 21
Spektroskopi Resonansi Magnet Inti (Nucleic Magnetic Resonance=NMR) 23
3. METODOLOGI PENELITIAN 25
Bahan dan Alat 25
Tahapan Penelitian 26
Prosedur Analisis 33
Analisis Data 35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Tahap 1: Screening bawang-bawangan menghambat blackspot 35
Tahap 2: Penentuan Mekanisme Penghambatan Enzim PPO oleh
Ekstrak Bawang Terpilih 43
Tahap 3: Identifikasi Profil Senyawa Menggunakan Pendekatan Metabolomik
51
5. KESIMPULAN DAN SARAN 58
DAFTAR PUSTAKA ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
LAMPIRAN 71
RIWAYAT HIDUP 73
xiv

DAFTAR GAMBAR

1 Roadmap penelitian 4
2 Diagram alur penelitian 5
3 Udang vaname (litopenaeus vannamei) 6
4 Pembentukan melanin dari tirosin 9
5 Melanosis pada udang 12
6 Grafik Lineweaver-Burk beberapa jenis penghambatan enzim 16
7 Struktur senyawa fenolik 17
8 Berbagai jenis bawang-bawangan 19
9 Penentuan senyawa aktif dari bahan alam dengan pendekatan metabolomik 23
10 Profil spektrum H-NMR, pada sumbu X adalah chemical shift. 24
11 Coupling constant (J) puncak spin proton profil spektrum H-NMR 25
12 Diagram alur penelitian Tahap 1 screening ekstrak bawang-bawangan. 27
13 Diagram alur fraksinasi bertingkat ekstrak bawang terpilih 29
14 Diagram alur identifikasi senyawa aktif dengan pendekatan metabolomik 32
15 Persentase penghambatan aktivitas enzim PPO yang diberi berbagai ekstrak
bawang-bawangan. Perbedaan huruf menunjukkan adanya perbedaan nyata
(p<0.05). 38
16 Korelasi aktivitas penghambatan enzim PPO dengan konsentrasi flavonoid
dan fenolik ekstrak bawang-bawangan 39
17 Pembentukan blackspot pada udang vaname yang diberi ekstrak berbagai
jenis bawang dan sodium metabisulfit disimpan pada suhu 0 oC selama 10
hari. 40
18 Grafik laju melanosis udang vaname yang diberi ekstrak berbagai jenis
bawang disimpan pada suhu 0 oC selama 10 hari. 41
19 Grafik perubahan (a) nilai L*, (b) nilai a*, (c) nilai b*, (d) nilai pencoklatan
(browning index) udang vaname diberi ekstrak bawang disimpan pada
suhu 0 oC selama 10 hari. 42
20 Penghambatan enzim PPO oleh fraksi bawang merah dan jenis pelarut yang
digunakan dalam fraksinasi. 44
21 Berbagai konsentrasi EAF bawang merah menghambat aktivitas
enzim PPO 45
22 Kecepatan reaksi EAF bawang merah dengan enzim ppo vs konsentrasi
enzim PPO pada berbagai konsentrasi EAF bawang merah (mg/mL). 46
23 Plot Lineweaver–Burk reaksi L-DOPA dengan enzim PPO pada berbagai
konsentrasi inhibitor EAF bawang merah pada suhu 45 °C, pH 6.0 47
24 Plot bilangan Michaelis-Menten (Km app) dan konsentrasi fraksi EAF
bawang merah ([inhibitor EAF]) untuk menentukan bilangan KI. 48
25 Native page enzim PPO setelah diinkubasi selama 30 min dengan EAF
bawang merah. 49
xv

26 Scanning spektrum panjang gelombang reaksi L-DOPA, EAF bawang


merah+PPO+L-DOPA dan PPO+L-DOPA 50
27 Mekanisme senyawa flavonoid mengkhelat logam 50
28 Scanning spektrum panjang gelombang reaksi EAF dengan logam Cu 51
29 Score plot opls empat fraksi bawang merah dan aktivitas penghambatan enzim
PPO (%) 52
30 S-plot orthogonal partial least-squares discriminant analysis (OPLS-DA)
chemical shift keseluruhan fraksi pelarut bawang merah. 53
31 Profil plot y-related coefficient dan nilai chemical shift fraksi etil asetat
bawang merah (EAF). 54
32 Spektrum 2D J-resolved NMR pada daerah frekuensi 500 MHZ fraksi etil
asetat bawang merah (EAF). 55
33 Struktur molekul (1) quersetin dan kaempferol (2) sianidin. 57
34 Reaksi senyawa polifenol (PP) dalam menghambat pembentukan blackspot 58

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia udang vaname (L. vannamei) 7


2 Komposisi asam lemak udang vaname (L. vannamei). 8
3 Metoda ekstraksi tanaman untuk menghambat blackspot. 15
4 Konstanta dielektrik berbagai pelarut. 18
5 Skor organoleptik tingkat pembentukan blackspot (nilai melanosis). 34
6 Konsentrasi total fenolik dan flavonoid ekstrak berbagai jenis bawang. 36
7 Spektrum data 1H 2D NMR fraksi etil asetat bawang merah (EAF). 55

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rendemen ekstrak bawang-bawangan dan rendemen fraksi bawang merah 71


2 Persen aktivitas penghambatan enzim PPO oleh pelarut metanol dan DMSO
untuk pemilihan jenis pelarut untuk melarutkan fraksi non polar
bawang merah. 72
3 Kurva standar analisis total polifenol dan flavonoid. 73
4 Hasil analisis H1 NMR beberapa fraksi bawang merah. 74
5 Hasil OPLS H1 NMR seluruh fraksi bawang merah. 76
xvi
1

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembentukan browning atau blackspot terjadi pada bahan pangan segar yang
tidak segera ditangani dengan baik. Istilah browning terjadi pada buah-buahan dan
sayuran segar setelah dipotong dan istilah blackspot biasanya digunakan pada
peristiwa yang sama pada hewan seperti crustacea seperti udang setelah panen.
Pangan segar menjadi berwarna kecoklatan. Walaupun pigmen ini tidak berbahaya,
tetapi keberadaan pigmen tersebut dapat menurunkan tingkat penerimaan
konsumen (Senapati et al. 2017).
Pembentukan blackspot terjadi karena aktivitas enzim polifenol oksidase
(PPO). Enzim ini merupakan enzim indogeneus yang terdapat secara alami pada
makhluk hidup. Enzim ini bermanfaat sebagai respon imun dan pertahanan diri.
Namun pada saat fase post mortem, aktivitas enzim PPO tidak dapat dikendalikan,
sehingga mengoksidasi senyawa fenol menjadi quinon dengan cepat. Quinon
merupakan senyawa yang reaktif dan secara spontan membentuk polimer dengan
quinon sendiri atau dengan senyawa aromatis lain sehingga membentuk polimer
melanin yang berwarna hitam (blackspot) (Chang 2009). Pembentukan blackspot
akan terus berlangsung walaupun telah dilakukan penyimpanan pada suhu dingin
dan beku (Sriket et al. 2007).
Upaya untuk mencegah pembentukan blackspot telah dilakukan melalui
berbagai penelitian. Usaha tersebut meliputi penggunaan bahan tambahan pangan,
perbaikan proses penanganan, dan penggunaan inhibitor alami enzim PPO. Saat ini
senyawa sulfit adalah bahan tambahan pangan yang paling populer digunakan
untuk mencegah pembentukan blackspot. Agent sulfur yang populer digunakan
sebagai anti-blackspot adalah sodium metabisulfit (Na2S2O5) (E223). Nilai
Accetable daily intake (ADI) pada senyawa ini adalah 0.7 mg/Kg berat badan
(Queiroz et al. 2008). Namun senyawa ini mempunyai katerbatasan penggunaan
karena kelebihan residunya dapat mempengaruhi kesehatan (Pardio et al. 2011).
Penanganan untuk menginaktifkan enzim PPO telah dilakukan seperti
pemanasan cepat (Manheem et al. 2013), kemasan vacuum (Reddy et al. 2013),
penggunaan tekanan tinggi (Montero at al. 2011). Namun perlakuan tersebut dapat
mempengaruhi zat gizi dan vitamin serta mempengaruhi penampilan produk (Erkan
2017). Alternatif pencegahan dilakukan dengan menggunakan beberapa ekstrak
tanaman yang telah diketahui mempunyai aktivitas antioksidan, seperti penggunaan
ekstrak jamur (Encarnacion et al. 2011), ekstrak buah delima (Fang et al. 2013),
ekstrak petai cina (Nirmal dan Benjakul 2011), dan ekstrak teh hijau (Nirmal dan
Benjakul 2012a). Namun terkadang aplikasi ekstrak buah-buahan pada produk
perikanan mempunyai keterbatasan penggunaan karena dapat mempengaruhi bau
dan rasa (Yerlikaya dan Gökoglu 2010).
Komponen kimia flavonoid mengindikasikan bertanggung jawab terhadap
anti-browning melalui mekanisme inhibitor kompetitif (Zhang et al. 2016).
Komponen lainnya yang berperan sebagai anti-browning terdeteksi adalah senyawa
polifenol, dengan cara depigmentasi melanin (Fu et al. 2005). Kemampuan anti-
browning atau anti-blackspot berhubungan erat dengan kemampuan antioksidan
(Altunkaya dan Gokmen 2008; Wu et al. 2010) karena reaksi pembentukan
2

melanin merupakan reaksi oksidasi enzimatis. Namun tidak semua bahan aktif
alami yang mempunyai sifat antioksidan dapat menghambat browning.
Berbagai jenis bawang (Allium spp.) digunakan sebagai bumbu di
Indonesia. Bawang kaya akan komponen fenolik dan flavonoid dan mempunyai
aktivitas antioksidan yang tinggi (Bhandari et al. 2014; Mnayer et al. 2014), seperti
kandungan antosianin pada bawang merah dan bawang putih (Geetha et al. 2011),
asam galat, asam ferulik, quersetin, proantosianin pada bawang lokio, bawang
merah dan bawang bombai (Cheng et al. 2013a), quersetin-glukosida pada bawang
merah (Ren et al. 2017). Penggunaan bawang pada produk perikanan lebih mudah
diterima daripada penggunaan bahan lain seperti penggunaan ekstrak teh hijau.
Aplikasi ekstrak bawang pada fillet ikan sekitar 1 % tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap mutu sensorinya (Sarah et al. 2010). Metoda ekstraksi menggunakan
pelarut yang tepat dapat mengurangi flavor yang tidak diinginkan dari ekstraksi
bahan aktif (Johnson et al.1979).
Aplikasi ekstrak bahan alam memerlukan informasi mengenai mekanisme
penghambatan bahan alam tersebut dan senyawa senyawa aktifnya. Bawang-
bawangan mempunyai kemampuan antioksidan yang berpotensi dapat menghambat
blackspot. Namun belum diketahui jenis bawang yang mempunyai kemampuan
menghambat blackspot paling tinggi. Demikian pula mekanisme penghambatan
serta senyawa yang berperan dalam menghambat blackspot. Pada umumnya ekstrak
bahan alam yang mempunyai kemampuan bioaktif menjadi alternatif pilihan karena
resiko terhadap kesehatan yang relatif lebih kecil dibandingkan penggunaan bahan
kimia. Pengetahuan tentang senyawa yang terdapat pada bahan alam dapat
digunakan untuk pencarian alternatif sumber bahan aktif. Penentuan senyawa aktif
dapat ditentukan menggunakan metoda isolasi dan metoda metabolomik.
Metoda metabolomik yaitu metoda yang dapat mengidentifikasi komponen
aktif suatu bahan secara kuantitatif dan kualitatif, menggunakan jumlah bahan
relatif sedikit tetapi dapat digunakan untuk membandingkan secara komprehensif
dengan kemampuan aktivitas senyawa aktif tersebut, tanpa harus melakukan isolasi
senyawa (Kim et al. 2010). Metoda ini telah digunakan untuk mengidentifikasi
senyawa aktif pada kumis kucing yang berperan sebagai anti diabets (Yuliana et al.
2013). Berdasarkan kandungan komponen bioaktif dan kemampuan antioksidan,
maka diduga berbagai jenis bawang dapat menghambat pembentukan blackspot.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kemampuan


anti-blackspot ekstrak bawang-bawang (Allium spp.). Penelitian ini secara khusus
bertujuan untuk:
1) Melakukan screening terhadap ekstrak 5 (lima) jenis bawang (Allium spp.)
yaitu bawang putih (Allium sativum), bawang daun (Allium fistulosum),
bawang merah (Allium cepa L. var Aggregatum), bawang bombay (Allium
cepa Linnaeus), dan bawang lokio (Allium schoenoprasum L) dalam
menghambat blackspot udang vaname
2) Mempelajari mekanisme penghambatan enzim PPO oleh fraksi bawang
terpilih
3) Mengidentifikasi komponen aktif dari ekstrak bawang terpilih dengan
pendekatan metabolomik.
3

Manfaat Penelitian

Penelitian bermanfaat sebagai berikut:


(1) Dapat diperoleh informasi tersedianya bahan yang berpotensi sebagai
bahan tambahan pangan alami untuk menghambat pembentukan blackspot
pada udang
(2) Dapat diperoleh informasi komponen aktif dari bawang-bawangan yang
dapat menghambat pembantukan blackspot pada udang.

Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah:


1) Salah satu jenis bawang dapat menghambat pembentukan blackspot paling
tinggi
2) Mekanisme anti-blackspot dari ekstrak bawang terpilih dapat ditentukan.
3) Komponen aktif dari ekstrak bawang terpilih dapat diidentifikasi

Novelty

Novelty penelitian yaitu:


1) Kemampuan ekstrak bawang (Allium spp.) menghambat pembentukan
black-spot pada udang vaname.
2) Penentuan mekanisme ekstrak bawang dan metoda metabolomik untuk
mencari komponen aktif penghambat blackspot.

Roadmap Penelitian

Udang mengalami pembentukan blackspot setelah mati dan selama


penyimpanan akibat reaksi enzimatis oleh enzim PPO. Selama ini penanganannya
menggunakan bahan kimia seperti senyawa sulfit yang mempunyai keterbatasan
penggunaannya. Penelitian-penelitian dilakukan oleh peneliti sebelumnya
mengenai usaha untuk mengatasi blackspot. Ekstrak bahan alam dipilih untuk
mengatasi residu sulfit yang biasanya digunakan untuk menghambat blackspot.
Pada penelitian sebelumnya telah diketahui jenis komponen bahan alam yang
diduga berperan dalam menghambat blackspot. Bahan alam tersebut mempunyai
kemampuan bioaktif antioksidan. Bawang-bawangan kaya akan senyawa fenolik
namun belum diteliti bawang apa mempunyai kemampuan menghambat blackspot
paling tinggi, bagaimana mekanisme penghambatan ekstrak bawang yang
mempunyai kemampuan menghambat aktivitas enzim PPO paling tinggi dan,
senyawa apa menghambat blackspot. Penelitian untuk mengidentifikasi senyawa
aktif yang berperan dalam kemampuan bioaktif, digunakan metoda terbaru yaitu
metabolomik. Berikut penelitian-penelitian mengenai penghambatan
blackspot/browning adalah diagram roadmap penelitian disajikan pada Gambar 1.
4

Blackspot udang

Ekstrak petai cina (Leucaena Penghambat blackspot


leucocephala) (Nirmal dan
Benjakul. 2011)
Ekstrak jamur F.velutipes Ekstrak tanaman Bawang (Bumbu) (Block 2010)
(Encarnacion et al. 2011)
Kulit delima (Fang et al. 2013)
Ekstrak teh hijau (Nirmal dan
Benjakul 2012a) Allium : polifenol dan
flavonoid, aktivitas antioksidan
(Bhandari et al. 2014);
antioksidan ---anti- antosianin (Geetha et al.
browning (anti- Kemampuan 2011); asam galat, asam
blackspot) (Wu et al. bioaktif ferulik, quersetin, proanosianin
2010), (Cheng et al. 2013a)

Flavonoid (Zhang et al. Ekstrak air bawang merah


2016); polifenol (Fu et Komponen yang
dipanaskan 100 oC (1:1); aktivitas
al. 2005) berperan
penghambatan enzim PPO dari buah
pear; mekanisme non kompetitif
(Kim et al. 2005)
Beda pelarut ekstraksi
beda mekanisme

Bawang merah dipasteurisasi,


dibekukan, disterilisasi;antioksidan
Belum diketahui senyawa aktif
dan antibrowning di buah alpukat
yang berperan berperan
(Roldan et al. 2008)

Apakah metabolomik bisa


mengidentifikasi senyawa Bawang merah; dipasteurisasi 100
aktif anti-blackspot? °C for 15 min dan segar; aktivitas
penghambatan enzim PPO kentang
(Barbagallo et al. 2012)

Jenis Allium yang


menghambat blackspot Ekstrak air bawang (merah, putih,
paling tinggi, mekanisme kuning, kecil) (1:1) dan bawang
penghambatan, identifikasi putih; aktivitas penghambatan
senyawa aktif enzim PPO dari umbi;mekanisme
kompetitif, non kompetitif,
unkompetitif (Yapi et al. 2015)
Gambar 1 Roadmap penelitian
5

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dibagi dalam 3 tahap penelitian yaitu (1) screening ekstrak 5 jenis
bawang-bawangan, yaitu bawang putih (Allium sativum), bawang merah (Allium
cepa L. var Aggregatum), bawang bombay (Allium cepa Linnaeus), bawang daun
(Allium fistulosum), bawang lokio (Allium schoenoprasum L. (Chives)) yang dapat
menghambat laju blackspot; (2) mekanisme anti-blackspot komponen aktif; (3)
Identifikasi komponen aktif penghambat pembentukan blackspot. Diagram alur
penelitian disajikan Gambar 2.
5 jenis bawang-bawangan bawang-
bawangan
Uji flavonoid dan
Ekstraksi menggunakan metanol 80%
polifenol
Tahap 1 Uji aktivitas PPO
Uji melanosis
1 jenis ekstrak terpilih dengan Indeks browning
aktifitas penghambatan blackspot Aplikasi pada udang
tertinggi vannamei

Tahap 2
Fraksinasi ekstrak bawang terpilih menggunakan 5
pelarut: air, kloroform, etil asetat, heksana

Uji inhibitor enzim PPO


Penentuan mekanisme fraksi anti-blackspot terpilih Kinetika reaksi enzim
PPO+Fraksi Bawang
Native PAGE
Scanning spektrum
Jenis mekanisme inhibitor panjang gelombang

Identifikasi senyawa aktif bawang dari fraksi air,


kloroform, etil asetat, heksana Uji aktivitas PPO
Analisis H1 NMR
2D Jresolve NMR
Penentuan jenis komponen aktif dengan
Tahap 3 pendekatan metabolomik
Analisis data
multivariat
PLS-OPLS
Teridentifikasi 1 fraksi dengan sinyal
aktif paling tinggi dan komponen aktif
yang berperan

Gambar 2 Diagram alur penelitian


6

2. TINJAUAN PUSTAKA

Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan komoditas budidaya


perikanan unggulan di Indonesia. Udang vaname atau whiteleg shrimp termasuk
dalam subfilum krustaceae bersama lobster dan kepiting yang mempunyai karapas
sebagai pelindung tubuhnya. Klasifikasi udang putih menurut World Register
Marine Species (WoRMS) (2015) secara lengkap adalah sebagai berikut: kingdom:
animalia, filum: arthropoda, subfilum: crustacea, kelas: malakostraka, order:
dekapoda, suborder: dendrobransiata, famili: penaeidae, genus: litopenaeus,
spesies: Litopenaeus vannamei. Morfologi udang vaname disajikan pada Gambar 3
berikut ini.

Gambar 3 Udang vaname (Litopenaeus vannamei)

Udang merupakan sumber gizi yang penting. Udang vaname mengandung


kadar air sekitar 73.50 ± 0.30%. protein yang tinggi yaitu sekitar 20.00 ± 0.60%,
kadar abu 1.60 ± 0.20%, dan lemak 1.80 ± 0.30% (Mehta dan Nayak. 2017).
Walaupun udang mengandung lemak rendah, tetapi komposisi lemaknya kaya akan
asam lemak tidak jenuh seperti monounsaturated fatty acid (MUFA) dan poly
unsaturated fatty acid (PUFA), yaitu sekitar 70%. PUFA yang dominan adalah
asam linoleat, eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA).
Sekitar 70% total asam amino udang merupakan asam amino esensial seperti
metionin, triptofan dan lysin (Gunalan et al. 2013).
Udang kaya akan mineral dan vitamin. Mineral makro seperti Ca dan P
banyak terdapat pada udang, demikian pula mineral mikro seperti Cu, I, Cr dan Mn.
Udang mengandung vitamin A, vitamin D dan vitamin E, vitamin B12 serta vitamin
B3 (Gunalan et al. 2013). Bagian cangkang udang mengandung protein lebih
banyak dibandingkan dengan daging udang pada berat yang sama. Demikian pula
kandungan mineral lebih banyak terdapat pada bagian cangkang. Mineral Mg, P,
Ca dan Na hanya terdapat pada bagian cangkang (Adeyeye et al. 2016). Komposisi asam
amino esensial lebih banyak tredapat pada daging udang yaitiu sebesar 845 mg/g
dibandingkan pada cangkang yaitu sebesar 740 mg/g. Asam amino terbatas pada
daging dan cangkang udang adalah threonin (Adeyeye et al. 2008). Komposisi
mineral udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan komposisi asam lemak udang
vaname disajikan pada Tabel 1 dan 2.
7

Tabel 1 Komposisi kimia udang vaname (L. vannamei)

Mineral mg/g
Kalsium (Ca) 154.5
Magnesium (Mg) 13.41
Sodium (Na) 67.7
Potassium (K) 56.7
Fosforus (P) 6.98
Mangan (Mn) 0.898
Iron (Fe) 4.54
Kupper/tembaga (Cu) sedikit
Krom (Cr) Sedikit
Essential amino acids (EAA) EAA (%)
Arginin 1.2
Histidin 1.08
Isoleusin 12.3
Leusin 5.63
Lisin 13.42
Metionin 13.06
Fenilalanin 1.27
Triptofan 1.3
Valin 23.72
Total 72.98
Non essential amino acids (NEAA) NEAA (%)
Alanin 1
Asparagin 0.056
Asam aspartat 1.46
Sistein 5.56
Asam glutamat 2.51
Glisin 9.8
Prolin 4.26
Serin 2.66
Tirosin 2.51
Total 29.816
Sumber: Gunalan et al. (2013)

Udang mengalami perubahan mutu fisika, kimia maupun biologi selama


penyimpanan dingin, yang dapat mempengaruhi tingkat kesegaran udang. Standar
mutu udang segar menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) ditetapkan dalam
Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2728.1-2006. Perubahan mutu tersebut
akibat proses kimia dan biokimia yang terjadi selama post mortem udang akibat
adanya aktivitas sejumlah enzim seperti enzim protease, oksidase, lipase dan lain-
lain (Bakar. 2008). Perubahan mutu kimia tersebut dapat diamati dengan
menentukan parameter seperti profil pH, kesegaran udang dalam bilangan K, profil
asam amino, thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), total volatile bases
(TVB), total volatile acids (TVA) dan produk biogenic amines (Kirschnik et al.
2006). Perubahan mutu udang dapat diamati secara sensori seperti aroma,
kenampakan daging dan kenampakan karapas. Salah satu atribut yang muncul pada
kenampakan karapas adalah terbentuknya warna gelap akibat bintik hitam atau
blackspot (Erickson et al. 2007).
8

Tabel 2 Komposisi asam lemak udang vaname (L. vannamei).

Asam lemak jenuh Posisi Karbon %


Asam palmitat C 16 7.06
Asam margarit C 17 1.42
Asam stearat C 18 12.88
Total 23.36
Monounsaturated fatty acids (MUFA)
Asam oleat 18:1 (n-9) 12.48
Total 12.48
Polyunsaturated fatty acids (PUFA)
Asam lemak omega-6
Asam linoleat 18:2 (n-6) 16.3
Asam lemak omega-3
Asam α-linoleat (ALA) 18:3 (n-3) 11.2
Asam stearatdonik (SDA) 18:4 (n−3) sedikit
Asam eikosatrienok (ETE) 20:3 (n−3) 4
Asam eikosapentaenoat (EPA) 20:5 (n−3) 9
Asam dokosaheksaenoat (DHA) 22:6 (n−3) 11.2
Total 51.7
Sumber: Gunalan et al. (2013)

Pembentukan Blackspot pada Udang

Jenis udang-udangan atau crustacea mempunyai sifat mudah rusak (very


perishable) dan selama penyimpanan beku kerusakan ini akan terus berlangsung,
meskipun berbagai metoda preservatif digunakan oleh industri pengolahan udang
segar. Ketika pertumbuhan bakteri pembusuk dapat dihambat, penurunan mutu
flavor, tekstur dan warna tetap terus terjadi (Sriket et al. 2012). Fenomena ini terjadi
akibat adanya aktivitas enzim indigeneus. Penurunan mutu crustacea secara
enzimatis terjadi pula pada udang, yaitu terjadinya pembentukan bintik hitam.
Pembentukan bintik hitam (blackspot) atau browning terjadi pada karapas dan
daging udang putih akibat aktivitas enzim polifenol oksidase (Benjakul et al. 2005).
Pembentukan blackspot tidak berbahaya tetapi dapat mengurangi tingkat
penerimaan konsumen terhadap udang sehingga menurunkan nilai jual udang
(Senapati et al. 2017).

Enzim Polifenoloksidase (PPO)

Polifenoloksidase atau PPO (1.2 benzene-diol;oksidoreduktase, EC


1.10.3.1) adalah enzim fenolase, tirosinase dan katekol oksidase. PPO adalah
metallo enzim yang memerlukan copper (Cu) untuk mengkatalisasi dua reaksi dasar
karena adanya molekul oksigen (O2), yaitu o-hidroksilasi senyawa monofenol
menjadi o-difenol (aktivitas monofenol oksidase, aktivitas kresolase EC. 1.14.18.1)
dan selanjutnya oksidasi o-difenol menjadi o-quinon (aktivitas difenolosidase,
aktivitas katekolase EC 1.10.3.10) (Queiroz et al. 2008).
Mekanisme biokimia enzim PPO adalah dengan cara mengoksidasi substrat
berupa senyawa fenol dan oksigen menjadi quinon yang tidak berwarna,
selanjutnya terjadi polimerisasi quinon secara non-ezimatis dengan grup fungsional
9

protein membentuk polimer secara cross-linked yaitu melanin yang berwarna gelap
atau hitam yang tidak larut air (Benjakul et al. 2005). Quinon adalah senyawa yang
sangat reaktif, dan dapat membentuk polimer secara spontan menjadi komponen
dengan berat molekul besar yaitu melanin/blackspot, bereaksi dengan asam amino
dan protein membentuk warna coklat (browning) (Kim et al. 2002).
Monofenol oksidase mengkatalisa reaksi hidroksilasi monofenol menjadi o-
difenol. Pada tanaman reaksi ini disebut aktivitas kresolase EC (1.14.18.1), karena
kemampuan aktivitas enzim tersebut terhadap substrat kresol. Selain itu enzim
polifenol oksidase pada tanaman juga disebut katekolase (EC 1.10.3.2), dan laccase
(EC 1.10.3.1). Pada hewan dan jamur, termasuk pada jenis crustacea, enzim PPO
disebut juga tirosinase (EC 1.14.18.1) karena substrat L-tirosin adalah substrat
monofenolik yang utama pada hewan (Aniszewski et al. 2008).
Tirosin adalah monohidroksil fenol. Reaksi hidroksilasi tirosin membentuk
dihidroksilfenilalanin (DOPA). Reaksi hidroksilasi monofenol ini berlangsung
lambat dibandingkan reaksi oksidasi difenol menjadi quinon. Pada penelitian lain,
menyebutkan kemungkinan terdapat dua (2) jenis substrat yang lain, yaitu aromatik
amin dan o-amonifenol yang mirip dengan mono- dan difenol. Reaksi kedua yaitu
oksidasi difenol menjadi quinon oleh enzim difenol oksidase berlangsung lebih
cepat. Reaksi difenol oksidasi ini melibatkan tiga (3) substrat, yaitu oksigen dan
dua (2) molekul difenol. Mekanisme hidroksilasi dan oksidasi oleh PPO ini
melibatkan dua (2) ion Cu enzim (Kim et al. 2002). Reaksi pembentukan melanin
dari tirosin disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Pembentukan melanin dari tirosin (Vavricka et al. 2010)


10

PPO pada udang diaktivasi oleh enzim tripsin atau tripsin like enzyme di
jaringan udang. PPO adalah protein yang mengandung Cu. Sequence PPO
mengandung dua Cu yang terikat pada sisi aktif yang disebut dengan Cu-A dan
Cu-B yang terikat pada tiga residu histidine (Falguera dan Ibarz. 2012). Pada sisi
aktif inilah PPO berinteraksi dengan substrat molekul oksigen dan substrat fenolik.
Pada crustacea sistem PPO terdapat pada hemolimph sebagai enzim
prophenoloksidase yang inaktif (pro-PPO), yang diaktivasi oleh proteinase yang
dipicu oleh adanya komponen mikrobial seperti karbohidrat dan lipopolysakarida
(Wang et al. 2006). Enzim PPO pada tanaman berbeda dengan enzim PPO pada
crustacea. Enzim ini dapat menyebabkan browning enzimatis seperti pada buah
pisang, pepaya dan apel. Enzim PPO buah terdapat dalam sel atau dalam cairan
intraseluler sel, akan aktif ketika barier membran sel rusak akibat pemotongan buah,
sehingga bereaksi dengan substrat oksigen menyebabkan terbentuknya warna
coklat melanin atau dikenal sebagai browning enzimatis (Toivonen dan Brummell
2008).
Aktivitas PPO pada hewan crustacea banyak terdapat pada gill yang
mengandung hemolimph atau darah. Terdapat protein yang strukturnya mirip
dengan PPO yaitu hemosianin. Hemosianin adalah protein yang berguna untuk
menyalurkan oksigen dan ditemukan pada fraksi plasma hemolimph crustacea.
Hemosianin dan PPO mempunyai sisi yang mengikat oksigen yang dibentuk oleh
ion Cu berhubungan secara langsung oleh protein, tetapi hemosianin tidak dapat
mengkatalisis reaksi oksidasi fenol. Perbedaan ini dapat digunakan untuk
memprediksi struktur sisi aktif dari PPO (Kim et at. 2002).
Pada saat hewan crustacea tumbuh, bagian cangkang (shell) menjadi
kurang besar karena tubuh hewan tersebut membesar. Udang kana mengalami
molting atau terbentuknya cangkang baru yang lunak menggantikan cangkang yang
lama. Peranan enzim PPO adalah mengkatalisasi pembentukan quinon, quinon akan
berikatan silang dengan protein shell berdekatan sehingga terbentuk matriks protein
yang kaku. Peristiwa ini disebut sebagai sklerotisasi yang memerlukan enzim PPO.
Konsentrasi enzim PPO tinggi pada jaringan kutikel seperti cangkang udang
(karapas) (Bartolo dan Brik 1998).
Blackspot atau melanin adalah polimer polifenol yang tidak berbahaya.
Pada keadaan yang diinginkan, melanin adalah pigmen yang biasanya digunakan
sebagai pewarna makanan dan kosmetik. Melanin dapat diisolasi dari berbagai
mikroorganisme. Melanin yang diisolasi dari jamur Lachnum singerianum YM-292
Melanin bersifat tidak larut air, larut pada suasana basa NaOH dan ammonia dan
asam dan terlarut pada pelarut organik etil asetat, kloroform, etanol, aseton dan etil
eter (Ye et al. 2011). Melanin juga dapat diisolasi dari endofit jamur Phyllosticta
capitalensis (teleomorph Guignardia mangiferae) (Suryanarayanan et al. 2004),
jamur Ophiocordyceps sinensis (Dong and Yao 2012), jamur Azadirachta indica A.
Juss (Rajagopal et al. 2011), bakteri Klebsiella sp. GSK (Sajjan et al. 2010).

Karakteristik Biokimia Enzim PPO

Enzim PPO telah diisolasi dari berbagai sumber hewan laut. Nirmal dan
Benjakul (2012b) mengisolasi polifenol oksidase dari chepalotorax udang Pasific
white shrimp (L.vannemaei). Enzim ini mempunyai berat molekul 210 kDa dengan
aktivitas pada kondisi optimum pH 6, suhu 55 oC, substrat spesifik adalah L-β-(3,4-
11

dihidroksilfenil) alanin (L-DOPA). Konstanta Michaelis-Menten (Km) PPO adalah


2.43 mM. Sistein dapat menghambat PPO pada konsentrasi 1 dan 10 mM lebih baik
dibandingkan dengan etilenediaminetetraacetic (EDTA) dan asam ρ-aminobenzoat.
Penelitian (Fan et al. 2009) menyebutkan bahwa aktivitas PO dihambat kuat oleh
ion Cu2+, Zn2+ juga EDTA, dietilditiokarbamat (DETC), yang mengindikasikan
bahwa enzim PPO merupakan metalloenzim yang mengandung Cu. Isolasi PPO
dari sotong Octopus ocellatus diketahui mempunyai berat molekul yang berbeda-
beda yaitu 153.8 kDa, dan 2 subunits 75.6 dan 73.0 kDa, menandakan bahwa enzim
PPO yang diisolasi merupakan heterodimer. Isolasi enzim PPO dari daun letucce.
Suhu optimal enzim adalah 40 oC dan pH optimal adalah 7.0. Substrat spesifik
adalah asam klorogenik dan inhibitor efektif adalah sistein (Altunkaya dan
Gokmen. 2008).
Çaklı et al. (2013) mengisolasi PPO dari tujuh (7) jaringan tubuh udang
(Parapenaeus longirostris) jantan dan betina, yaitu bagian kepala (cephalotorax
dan karapasnya), karapas, eksoskeleton abdomen (perut), kaki pareopods dan
pleopods, ekor bagian uropods dan telson. Aktivitas tertinggi terdapat pada jaringan
pada kepala dan perut, dan tidak ada perbedaan yang signifikan aktivitas PPO pada
jaringan yang sama dengan perbedaan gender.
Fan et al. (2009) mengisolasi salah satu jenis PPO yaitu phenoloksidase
dari sotong Octopus ocellatus, menggunakan bahan tinta dari sotong berukuran 20
cm. Enzim ini diduga mengkatalisa produksi tinta melanin sotong. Enzim yang
sama dimurnikan dari udang kecil Artemia sinica dengan memurnikannya dari
keseluruhan bagian tubuh udang berukuran 8 mm. Zamorano et al. (2008)
mengisolasi PPO dari udang Parapaneaus longirostris. Bagian tubuh udang yang
diambil adalah carapace (eksoskeleton cephalotorax), cephalotorax termasuk tiga
segmen toraks bagian pertama, eksoskeleton abdomen, segmen thoraks, dan
abdomen peropod dan maksiliped pleopod dan telson (termasuk uropod/kaki
udang). Aktivitas tertinggi PPO terdapat pada carapace (kulit udang).
Enzim PPO aktif selama penyimpanan dingin, penyimpanan menggunakan
es dan setelah freeze-thawing pada udang putih (Litopenaeus vannamei) (Nirmal
dan Benjakul 2010). Meskipun pertumbuhan mikroba dapat dihambat, tetapi udang
mengalami perubahan warna. Perubahan warna ini akibat proses melanosis yang
terus berlangsung meskipun udang disimpan dingin. Pada penyimpanan dingin, laju
melanosis dapat diperlambat tetapi terus terjadi. Selama proses freezing dan
thawing bentuk inaktif PPO yaitu pro PPO yang tersimpan dalam hematocyt,
kelenjar pencernaan dan kromatofor dalam otot daging. Pro PPO akan mudah
release dan aktif ketika adanya oksigen dan substrat yang sesuai serta pH
lingkungan yang mendukung. Keadaan ini mengakibatkan udang menjadi semakin
cepat laju melanosisnya (Díaz-Tenorio et al. 2006).
Siklus freeze-thaw yang berulang kali pada udang yang dibekukan juga
dapat meningkatkan melanosis. Proses freeze thaw sering dipraktekkan baik pada
pasar retail maupun di rumah tangga ketika menyiapkan hidangan udang segar.
Proses freeze-thaw dapat meningkatkan aktifitas protease dan PPO. Proses freeze
thaw berulang kali mengakibatkan aktifnya enzim protease seperti tripsin. Enzim
protease yang aktif berperan dalam mengaktifkan pro-PPO menjadi PPO, sehingga
melanosis semakin cepat terjadi (Manheem et al. 2012). Melanosis pada udang
yang diproses freezing-thawing disajikan pada Gambar 5.
12

Gambar 5 Melanosis pada udang

Upaya Mengatasi Blackspot

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memperlambat proses


melanosis. Pengendalian proses melanosis dapat dilakukan secara fisika, kimia dan
penggunaan bahan bioaktif dari alam, atau kombinasinya. Manheem et al. (2013b)
memberi perlakuan pre-cooking pada suhu 80oC selama 30 detik pada udang
(Litopenaeus vannamei) sebelum disimpan pada suhu 4oC, dapat menghambat
kecepatan pembentukan blackspot. Montero et al. (2011) melakukan kombinasi
perlakuan fisika dan kimia untuk mengatasi blackspot pada udang (Penaeus
japonicus). Penggunaan tekanan tinggi 400 Mpa selama 10 menit pada suhu 7 oC
tidak dapat menghambat laju melanosis walaupun ditambahkan asam askorbat dan
asam sitrat. Tetapi kombinasi asam sitrat dan asam askorbat tanpa penggunaan
tekanan tinggi dapat menghambat laju melanosis. Tekanan yang tinggi diduga
dapat memicu aktivitas enzim PPO lebih tinggi. Kombinasi penggunaan kemasan
vacuum dan penggunaan zat anti-melanolitik (sodium metabisulfit, asam sitrat,
ethylene di-amine tetra acetic acid/EDTA dan disodium dihdrogen pirofosfat pada
konsentrasi 30 g, 20 g, 0.45 g dan 30 g per kg udang) pada udang Penaeus monodon
yang disimpan dalam pendingin dengan suhu 0-4 oC dapat memperpanjang masa
simpan dan memperlambat melanosis selama 24 hari dibandingkan dengan udang
yang tanpa kemasan vacuum (Reddy et al. 2013).
Prinsip mekanisme mengendalikan proses melanosis atau browning adalah
mengendalikan komponen-komponen: oksigen, enzim, Cu atau substrat.
Pengendalian reaksi browning enzimatis menggunakan bahan tambahan pangan
kimia diklasifikasikan sebagai mekanisme penghambatan sebagai agen pereduksi,
agen pengkhelat, asidulan, inhibitor enzim, penggunaan enzim lain untuk
menginaktifkan enzim penyebab browning. dan agen pengkompleks enzim. Syarat
aplikasi bahan tambahan pangan tersebut sebagai anti-blackspot adalah aman untuk
dikonsumsi. Beberapa bahan tambahan pangan yang umum digunakan untuk bahan
anti-browning adalah senyawa sulfur, asam askorbat, 4-heksilresorsinol (4-HR),
asam kojic, sodium klorida (NaCl). Asam karboksilat aromatis seperti asam benzoat
dan asam senamika adalah inhibitor PPO yang strukturnya menyerupai substrat
fenolik. Mekanisme penghambatannya berdasarkan mekanisme substrat kompetitif
(Queiroz et al. 2008). Agen pereduksi yang biasa digunakan adalah sulfit, asam
askorbat, cysteine, dan glutatione, agen penghelat logam adalah fosfat, EDTA, dan
13

asam organik. Agen asidulan sebagai anti-browning adalah asam sitrat dan asam
fosfat. Inhibitor enzim PPO adalah senyawa jenis asam karboksilat aromatik, anion
alkohol alfa, peptida dan subsitusi resosinols, dan perlakuan enzim lain yang dapat
digunakan adalah menggunakan enzim oksigenase, o-metiltransferase dan
proteases; dan agen pengkompleks seperti siklodeksrins (Selçuk 2017).
Penggunaan anti-blackspot pada udang sudah umum dilakukan pada
pascapanen maupun ketika udang masih dalam budidaya. Senyawa anti-blackspot
yang sering digunakan adalah agent sulfur seperti sodium metabisulfit (Na2S2O5)
(E223). Nilai Acceptable daily intake (ADI) pada senyawa ini adalah 0.7 mg/Kg
berat badan. Namun beberapa penelitian menyebutkan pengaruh kesehatan
terhadap konsumsi residu sodium metabisulfit, seperti alergi dan pemicu asthma
(Queiroz et al. 2008). Pada pemberian trisodiumfosfat (TSP) (Na3PO4) 5% suhu 3-
4 oC pada udang White Marine Shrimp (Penaeus spp.) berukuran 45-65 ekor/kg
selama 30 menit dapat menghambat melanosis yang disimpan beku suhu -20 oC
selama 6 bulan (Moawad et al. 2013).
Kemampuan bahan kimia sebagai anti-browning diteliti oleh Pardio et al.
(2011). Sampel udang (Panaeus aztecus) yang direndam dalam A (asam askorbat
4.50, asam sitrat 0.12, kalium sorbat 18.60 dan 4-hexil resorsinol 0.25 g/L) dan B
(asam askorbat 4.37, asam sitrat 1.26, kalium sorbat 7.03 dan 4-heksil resorsinol
0.25 g/L) kemudian disimpan dingin pada suhu -1 oC hingga hari ke-30 tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan udang segar, sedangkan kontrol
tanpa perlakuan perendaman menunjukkan skor melanosis 3.7 pada hari ke-5 dan
pada hari ke-15 akumulasi blackspot sekitar 30% atau skor 3.0 terjadi pada bagian
kepala, kaki dan ekor udang dan yaitu sekitar 40-60% blackspot atau skor 2.0 terjadi
pada hari ke 19 sehingga sudah tidak diterima secara sensori oleh konsumen.
Mekanisme ketiga bahan kimia tersebut kemungkinan karena terjadi sinergi 4-
heksilresosinol dan asam askorbat, potassium sorbat sebagai bahan penghelat dan
adanya asam dapat menurunkan pH udang sehingga menurunkan aktifitas enzim
PPO.
Penelitian yang dilakukan oleh Altunkaya dan Gokmen, (2008)
mempelajari efektifitas inhibitor enzim PPO dari daun lettuce (Lactuca sativa).
Inhibitor yang digunakan antara lain asam askorbat, sistein, asam oksalat dan asam
sitrat. Inhibitor yang paling efektif ditunjukkan oleh sistein yang merupakan asam
amino mengandung sulfur. Mekanisme penghambatan sistein merupakan inhibitor
kompetitif, dimana sistein akan membentuk kompleks dengan o-quinon, yang
merupakan hasil reaksi enzimatis substrat dan enzim PPO sehingga tidak terbentuk
warna hitam. Penghambatan maksimal diperoleh pada kombinasi asam askorbat
dengan sistein, dimana asam askorbat merupakan inhibitor kompetitif dan
penghelat logam Cu2+ pada sisi aktif enzim PPO. Beberapa inhibitor browning atau
blackspot bertindak antioksidan.
Penelitian lain melaporkan bahwa waktu perendaman dan konsentrasi
senyawa penghambat blackspot dapat menentukan laju pembentukan blackspot.
Lama waktu perendaman dan konsentrasi EDTA terhadap udang Pacific White
Shrimp (Litopenaeus vannamei) yang disimpan es menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap pembentukan blackspot. Pada udang dengan perlakuan A (kontrol),
ED-32 (30 mM EDTA selama 20 min), ED-33 (30 mM EDTA selama 30 min), ED-
52 (50 mM EDTA selama 20 min) dan ED-53 (50 mM EDTA selama 30 min),
menunjukkan laju penghambatan pembentukan blackspot tertinggi adalah udang
14

yang direndam dalam EDTA 50 mM dengan lama waktu perendaman 30 menit.


EDTA merupakan senyawa yang mempunyai kemampuan menghelat logam sangat
baik. Sisi aktif enzim PPO meengandung 2 molekul logam Cu2+, sehingga
kemungkinan terjadinya penghambatan pembentukan blackspot akibat kemampuan
EDTA menghelat logam Cu2+ pada sisi aktif enzim PPO, sehingga enzim tidak
dapat mengkatalisa reaksi oksidasi fenolik (Teerawut dan Pratumchart. 2014).
Mengendalikan pembentukan browning atau blackspot menggunakan
ekstrak tanaman tidak hanya berbasis pada agen pereduksi o-quinon tetapi
memerlukan agen inhibitor enzim PPO yang mempunyai mekanisme
penghambatan baik penghambatan kompetitif maupun non kompetitif (Wessels,
Damm dan Kunz 2014). Potensi lain penghambatan enzim PPO adalah menurun
pH bahan pangan segar (Nirmal dan Benjakul 2012).
Ekstrak bahan alami digunakan sebagai inhibitor enzim PPO. Nirmal dan
Benjakul (2011) meneliti penggunaan ekstrak biji petai cina atau lead (Leucaena
leucocephala) untuk menghambat melanosis pada udang putih (Litopenaeus
vannamei). Pemberian ekstrak petai cina yang mengandung mimosine dan
komponen fenolik 17.4 g GAE/100g dan 8.3 g/100g, sebanyak 0.5% dapat
menurunkan skor melanosis pada penyimpanan selama 12 hari pada suhu ruang.
Mimosin bersifat polar sehingga mudah larut dalam air. Mekanisme penghambatan
mimosin diduga karena struktur mimosin yang menyerupai substrat enzim PPO
yaitu L-DOPA. Selain itu, mimosine mengandung sulfur, mempunyai kemampuan
untuk menghelat logam, yang dapat menghelat logam Cu2+ pada sisi aktif enzim
PPO mengakibatkan aktivitas PPO terganggu.
Nirmal dan Benjakul (2010) mempelajari pengaruh pemberian katekin dan
asam ferulik terhadap melanosis udang putih tersebut. Pemberian 0,2% katekin dan
3% ferulik dapat menghambat laju melanosis selama 4 hari pada penyimpanan
dingin udang putih. Katekin dan asam ferulik mempunyai berat molekul yang
rendah yaitu 290 dan 194 kDa, mudah larut dalam air, merupakan golongan fenolik,
mekanisme penghambatan diduga substrat kompetisi dengan tirosin, mudah
terpenetrasi pada udang sehingga dapat menghambat melanosis. Nirmal dan
Benjakul (2012a) menggunakan ekstrak teh hijau dan asam askorbat untuk
menghambat melanosis. Konsentrasi 0.1% ekstrak teh hjau yang dibuat dengan cara
mengekstrak daun teh kering dengan kloroform 1:2 pada suhu ruang, dapat
menghambat melanosis sebesar 60%, kombinasi ekstrak teh hijau dan asam
askorbat 0.01% dapat menghambat melanosis sebesar 93%.
Encarnacion et al. (2011) meneliti tentang mengendalikan lipid oksidasi dan
melanosis pada ikan yang dibudidayakan dan udang menggunakan ekstrak jamur
Flamulina velutipes. Ekstrak jamur diberikan sebagai pakan terhadap yellow tail
fish esquinqueradiata memperlihatkan efek pengurangan oksidasi myoglobin dan
lipid secara signifikan pada daging gelap ikan tersebut pada penyimpanan suhu
dingin. Udang N. japonicus dan kepiting C. japonicus yang direndam dalam 0.5%
b/v ekstrak jamur tersebut secara signifikan dapat menghambat proses melanosis
osmortent. Ekstrak jamur ini mengandung senyawa ergotionin, diduga ergotionin
berperan dalam mem-block aktivasi pro-PPO sehingga PPO tidak aktif dan
menurunkan pembentukan blackspot.
Fang et al. (2013) menggunakan ekstrak buah delima untuk menghambat
proses melanosis pada udang Pasific White Shrimp (Litopenaous vannamei) selama
penyimpanan dengan es. Perendaman udang dalam larutan ekstrak delima 7.5 dan
15

15 g/L dengan perbandingan berat udang:larutan ekstrak 1:2 selama 30 menit


kemudian disimpan pada suhu 4 oC. Jika dibandingkan dengan perendaman dengan
larutan sodium metabisulfit 12.5 g/L, Skor melanosis udang perendaman ekstrak
delima 15 g/L hampir sama skor perendaman udang dalam sodium metabisulfit.
Ekstrak buah delima diketahui mempunyai aktivitas antibakteri, antioksidan dan
antimelanolitik. Aplikasi ekstrak buah-buahan pada produk perikanan seringkali
mempunyai keterbatasan penggunaan karena flavor buah (frutty) yang tidak wajar
ditemukan pada perikanan dan harga yang mahal (Medina et al. 1999). Metoda
ekstraksi pada masing-masing tanaman berbeda-beda, rangkuman metoda ekstraksi
tanaman untuk menghambat blackspot disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Metoda ekstraksi tanaman untuk menghambat blackspot.

Sumber Metoda ekstraksi Dugaan senyawa Literatur


aktif anti- blackspot
dan mekanismenya
o
Kulit delima metanol suhu 4 C selama 4 Flavonoid: substrat Fang et al.
jam, rasio bahan:solvent = kompetitif (2013)
1:10 (w/v)
Biji petai cina Akuades suhu ruang 28-30 Mimosine; penghelat Nirmal dan
o
Leucaena C selama 12 jam rasio logam Benjakul (2011)
leucocephala) bahan:solvent 1: 20 w/v

Jamur Air panas Ergotionin; inaktif Encarnacion et


F.velutipes pro PPO al. (2011)

Teh hijau Kloroform 1:20 pada suhu Katekin; penghelat Nirmal dan
ruang, dilanjutkan dengan logam Benjakul (2012)
etanol 80% perbandingan
1:40 pada suhu 40 oC

Jenis-jenis Penghambatan Enzim

Penghambatan enzim adalah perubahan reaksi enzim substrat karena


keberadaan zat organik atau logam anorganik atau komponen biosintetis melalui
ikatan kovalen atau non kovalen pada sisi aktif enzim. Penghambatan enzim oleh
inhibitor dapat bersifat reversibel maupun irreversibel. Akibat adanya inhibitor,
maka aktivitas enzim dapat menurun (Sharma 2012). Penentuan jenis
penghambatan enzim oleh inhibitor dapat dipelajari dengan menentukan jenis
kinetika reaksi enzim-substrat-inhibitor, yaitu dengan membuat plot beberapa
faktor yang mempengaruhi laju reaksi enzimatis. Faktor tersebut seperti konsentrasi
substrat dan aktivitas enzim dengan dan tanpa inhibitor sehingga membentuk
perpotongan garis pada sumbu Y digambarkan sebagai grafik Lineweaver-Burk.
Penghambatan kompetitif oleh inhibitor, menyebabkan perubahan nilai Km
menjadi lebih besar dari nilai Km awal (tanpa inhibitor), tanpa mengubah nilai V
maksimum (Gambar 6 A). Inhibitor jenis penghambatan ini pada umumnya
mempunyai struktur yang menyerupai substrat. Penghambatan non kompetitif
(Gambar 6 B) menyebabkan nilai V maksimum turun tetapi tidak merubah nilai
16

Km. Jenis inhibitor ini biasanya tidak memiliki struktur mirip substrat, sehingga
inhibitor berikatan di luar sisi aktif enzim. Penghambatan jenis unkompetitif
(Gambar 6 C), inhibitor berikatan secara reversibel pada molekul kompleks enzim
substrat membentuk kompleks enzim-substrat-inhibitor sehingga menjadi inaktif
(Ring et al. 2014).

Gambar 6 Grafik Lineweaver-Burk beberapa jenis penghambatan enzim (Ring et


al. 2014) (A) Penghambatan kompetitif; (B) penghambatan non-
kompetitif; (C) Penghambatan un-kompetitif

Senyawa Fenolik sebagai Penghambat Pembentukan Blackspot

Senyawa fenolik adalah senyawa yang memiliki gugus hidroksil pada salah
satu cincin aromatis atau satu gugus fenol. Senyawa polifenol adalah senyawa yang
mempunyai lebih dari satu gugus fenolik. Terdapat sekitar 8000 senyawa fenolik
telah teridentifikasi dan 4000 diantaranya adalah jenis flavonoid. Senyawa fenolik
dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, fungsi biologi dan struktur kimia
jumlah atom karbonnya. Sebagian besar senyawa fenolik mengandung glikosida
dengan perbedaan jumlah gula dan gula asilasi pada posisi skeleton polifenol yang
berbeda. Senyawa fenolik sederhana adalah asam benzoat (C1–C6) dan asan
sinamik (C3–C6) dan turunannya, merupakan polifenol non flavonoid. Pada buah
dan sayur asam fenolik berada dalam keadaan bebas. Namun pada gandum dan biji-
bijian, asam fenolik ditemukan terikat. Asam fenolik bebas ketika terjadi hidrolisis
asam basa atau enzimatik. Asam fenolik sendiri merupakan substrat enzim PPO
pada buah-buahan sehingga ketika buah dipotong, asam fenolik bereaksi dengan
oksigen dan dengan adanya enzim PPO membentuk warna cokelat atau browning.
Flavonoid mempunyai struktur backbone (C6–C3–C6) dengan dua unit C6 pada
ring A dan B). Berdasarkan pola hidroksilasi dan variasinya pada gugus C, maka
flavonoid dibagi menjadi beberapa sub-group seperti antosianin, flavan-3-ols,
flavon, flavanon dan flavonol (Tsao 2010). Struktur berbagai senyawa fenolik
disajikan pada Gambar 7.
17

(Flavonoid) (Fenolik)

Turunan asam R1 R2 R3 R4
sinamik
Asam kafeat OH OH H H
Asam ferulik OCH3 OH H H
Asam sinapik OCH3 OH OCH3 H
Asam p- H OH H H
kaumarik
Asam H OH OH C5H9O5
(Katekin) klorogenik
Gambar 7 Struktur senyawa fenolik (Liu et al. 2014)

Ekstraksi senyawa flavonoid dan atau polifenol memerlukan pelarut yang


sesuai. Artinya pelarut tersebut dapat mengumpulkan sebanyak-banyaknya
senyawa target. Suatu pelarut akan cenderung melarutkan senyawa yang
mempunyai tingkat kepolaran yang sama. Pelarut polar akan melarutkan senyawa
polar (air) dan pelarut non polar (minyak) akan melarutkan senyawa non-polar.
Beberapa jenis pelarut yang bersifat polar adalah air, etanol, aseton, metanol dan
isopropanol. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan dan harga pelarut. Pelarut yang bersifat non polar antara lain n-heksana
sehingga n-heksana dapat melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar seperti
minyak. Berdasarkan kemampuan tersebut, n-heksan sering dipakai dalam analisis
kandungan minyak pada suatu bahan (Maulida dan Zulkarnaen 2010).
Etil asetat merupakan pelarut semi polar dan dapat melarutkan senyawa
semipolar yang terdapat pada dinding sel tanaman setelah proses homogenisasi atau
pemecahan dinding sel (Harborne 1987). Kusumaningtyas et al. (2008)
menjelaskan metanol merupakan pelarut polar yang dapat melarutkan senyawa
bersifat polar seperti golongan fenolik secara efektif. Tingkat polaritas suatu pelarut
dapat diketahui dari konstanta dielektrik, dimana nilai dielektrik suatu pelarut
mendekati air, maka akan semakin polar dan semakin mudah larut dalam air
(Kaufmann dan Christen 2002). Ekstraksi bahan alam menggunakan pelarut
metanol dari 0-60% dan pemanasan pada suhu 50 oC lebih efektif menghasilkan
metabolit sekunder dengan kemampuan bioaktif yang tinggi jika dibandingkan
dengan ekstraksi menggunakan air pada suhu tinggi yaitu 100 oC (Gbashi et al.
2016). Nilai konstanta dielektrik berbagai pelarut pada suhu 20 oC disajikan pada
Tabel 4 berikut ini
18

Tabel 4 Konstanta dielektrik berbagai pelarut.

Pelarut Konstanta dielektrik (suhu 20 oC)


Heksana 1.89
Toluene 2.4
Dichlorometan 8.9
Aseton 20.7
Etanol 24.3
Metanol 32.6
Air 78.5
Etil asetat 6.3
Kloroform 5.5
Sumber: Kaufmann dan Christen (2002)

Kemampuan komponen polifenol dalam menghambat pembentukan


blackspot berhubungan dengan kemampuan sebagai antioksidan. Polifenol
mempunyai beragam fungsi dalam mencegah reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi
terjadi pada lemak dan protein. Reaksi oksidasi lemak dan protein terjadi baik
secara enzimatis maupun nonenzimatis. Reaksi oksidasi lemak menghasilkan flavor
ketengikan, perubahan warna menjadi kuning, nutrisi yang berubah serta
menghasilkan senyawa toksik. Pada oksidasi protein, reaksi ini menyebabkan
protein terfragmentasi, protein berubah sifat fungsionalnya dan nilai nutrisinya.
Salah satu perubahan yang dapat diamati akibat oksidasi protein adalah
pembentukan blackspot. Beberapa jenis senyawa polifenol dapat berfungsi sebagai
antioksidan multifungsi, seperti sebagai donor hidrogen, inhibitor enzim lipase,
penangkap oksigen, penghelat logam, penangkap radikal dan perangkap oksigen
reaktif (Maqsood et al. 2013).
Senyawa polifenol dapat memperlambat reaksi pembentukan blackspot
pada hewan crustacea. Selain sebagai antioksidan pada lemak, senyawa polifenol
dapat berfungsi sebagai anti blackspot. Senyawa polifenol dapat berperan
memperlambat pembentukan blackspot. Peranan senyawa tersebut antara lain
berperan sebagai inhibitor metallo enzim PPO, penangkap oksigen, penghelat
logam, pereduktor quinon, pencegah aktivasi enzim PPO dan sebagai substrat
kompetitif (Maqsood et al. 2013).

Komoditas Bawang-Bawangan

Bawang-bawangan (Allium spp.) diduga merupakan salah satu tanaman


sayuran yang tertua di dunia. Bawang merah dan bawang putih kemungkinan
merupakan tanaman pertama kali dibudidayakan. Kedua bawang tersebut adalah
tanaman yang serba guna, biasanya selain untuk pangan, digunakan juga sebagai
obat. Bawang merah dan bawang putih mempunyai masa simpan yang panjang dan
mudah dibawa kemana-mana. Kedua bawang tersebut dapat dikeringkan dan awet
kemudian dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama (Benkeblia dan Lanzotti
2007). Friesen et al. (2006) menggolongkan bawang-bawangan termasuk dalam
kelas Liliopsida, subkelas Liliidae, superorder Liliianae, orde Amaryllidales, famili
Alliaceae, subfamili Allioideae, tribe Allieae, dan genus Allium spp. Beberapa jenis
bawang-bawangan disajikan pada Gambar 8 berikut.
19

Gambar 8 Berbagai jenis bawang-bawangan


Terdapat sekitar 600 hingga 750 spesies bawang atau Allium spp. Anggota
dari Allium spp. yang populer di dunia antara lain A. sativum (bawang putih/garlic),
A. cepa (bawang merah/onion), A. Schoenoprasum (bawang lokio/chives), A.
ampeloprasum, A. tuberosum (Chinese atau garlic chives), A. fistulosum (bawang
bawang/Japanese bunching onion) dan A. chinense (rakkyo), dimana huruf “A”
menunjukkan anggota dari genus bawang atau Allium spp. Ketujuh spesies bawang
tersebut dapat dengan mudah dibedakan secara penampakan (Block 2010). Bawang
tumbuh tersebar di Eropa, Amerika Utara, Afrika Utara dan Asia dengan ciri khas
yang berbeda dari bau, bentuk, warna tetapi mempunyai kemiripan secara
biokimia, komposisi fitokimia dan nutraceutical (Fenwick dan Hanley 1990).

Komposisi Kimia Bawang-bawangan

Bawang-bawangan biasanya digunakan sebagai bahan pangan, khususnya


sebagai bumbu. Bawang-bawangan atau Allium spp. mempunyai komposisi nutrisi
yang didominasi oleh karbohidrat. Perbedaan spesies bawang akan mempengaruhi
perbedaan komposisi nutrisi bawang tetapi tidak dipengaruhi oleh perbedaan
varietas bawang (Kandoliya et al. 2015). Bawang kucai (Allium tuberosum) dalam
100 g berat mengandung air 92.18 ± 0.36 %, mengandung karbohidrat dalam %;
2.75 ± 0.16 g, polisakarida 1.65 ± 0.13 g, gula larut 1.10 ± 0.10 g, gula reduksi 0.48
± 0.08 g, gula non reduksi 0.62 ± 0.08 g, protein kasar 2.25 ± 0.14 g, klorofil A
0.32 ± 0.04 mg, klorofil B 0.26 ± 0.03 mg, serat kasar 0.7783 ± 0.09g (Sultana dan
Mohsin 2014). Penelitian Khan et al. (2013) melaporkan kadar air Allium cepa
dalam % yaitu 87.55 ± 0.02 (b/b) dan 23.89 ± 0.01 (b/k), kadar abu 10.13 ± 0.07
dan serat 19.53 ± 0.06, kadar lemak 11.15 ± 0.02, protein 5.01 ± 0.01, karbohidrat
49.81 ± 0.07 dan energi 319.77 ± 0.39.
Selain nilai gizi yang terdapat pada bawang-bawangan, penelitian lain
menunjukkan bawang-bawangan kaya akan mineral. Akinwande dan Olatunda
(2015) melaporkan bahwa bawang-bawangan (Allium spp.) kaya akan mineral
seperti potassium (14291.17-17297.88 mg/Kg), fosfor (2491.04-4777.88 mg/Kg)
20

dan kalsium (694.41-1824.29 mg/Kg). Bawang putih (A. sativum) kaya akan fosfor
dan zink (4777.88 dan 66.08 mg/Kg) dan sedikit mengandung kalsium, magnesium,
iron dan aluminium. Bawang putih juga mempunyai kandungan asam piruvat, kadar
abu dan total solid suspension (TSS) yeng lebih tinggi dibandingkan bawang
merah. Bawang merah mengandung kadar air dan vitamin C yang lebih tinggi.
Komposisi fitokimia baik secara kualitatif maupun kuantitatif berbeda pada
setiap jenis bawang-bawangan. Penelitian yang dilakukan oleh Vlase et al. (2013)
menjelaskan perbedaan komposisi komponen fitokimia Allium fistulosum L. dan A.
ursinum L. Terdapat asam fenol karboksilat p-kaumarik dan asam ferulik pada
kedua spesies. Isoquersitrin dan quersitrin hanya terdapat pada A.fistulosum.
Quercetol dan kaempferol terdapat pada sesudah dan sebelum hidrolisis pada A.
fistulosum, dan hanya kaempferol terdapat setelah hidrolisis hydrolysis pada A.
ursinum. Allicin terdapat pada kedua ekstrak spesies bawang dan paling tinggi
terdapat pada A. ursinum. Komponen β-sitosterol dan campesterol terdapat pada
kedua spesies dan hanya stigmasterol terdapat pada A. fistulosum.

Metabolit Sekunder pada Bawang-Bawangan

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan disertai penelitian-


penelitian terbaru pemanfaatan metabolit sekunder, maka bawang-bawang telah
banyak dimanfaatkan untuk fungsi kesehatan. Beberapa fungsi kesehatan dari
bawang putih antara lain mengobati penyakit jantung (cardiovascular), kanker,
diabetes, tekanan darah, atherosclerosis dan hyperlipidaemia (Gebreyohannes dan
Gebreyohannes 2013). Ekstrak bunga bawang lokio (A. schoenoprasum, T.
pratensis dan R. acetosa) menghambat proliferasi sel karena mengandung senyawa
polifenol seperti asam galat, asam koumarik, asam ferulik dan rutin (Kucekova et
al. 2011). Selain itu bawang-bawangan digunakan sebagai bahan untuk
memperbaiki mutu bahan pangan karena mempunyai kemampuan antioksidan, anti
bakteri dan anti jamur (Benkeblia dan Lanzotti 2007). Ekstrak etanol dan air daun
bawang (A. fitulosum) mengandung asam ferulik dan quersetin (Sung et al. 2018).
Bawang merah sebanyak 10 g yang dikeringkan kemudian diekstraksi
menggunakan etanol 50 mL (1:5 w/w) selama 18 jam pada suhu 25 oC pada ruang
gelap. Selanjutnya disentrifuge 4100 rpm selama 15 menit, disaring dan
supernatannya diambil, kemudian dievaporasi vakum pada suhu 50 oC. Ekstrak
kering disimpan pada suhu 4 oC. Hasil analisis fitokimia memperlihatkan biji
bawang mempunyai kandungan minyak tinggi sebesar 21.86 -25.86 % dan protein
kasar (15.7 -26.1 %). Hasil GC memperlihatkan minyak biji bawang kaya akan
asam linoleat (49.42-60.66 %), diikuti oleh asam oleat dan asam palmitat.
Kandungan yang tinggi pada hidrokarbon golongan alkohol, asam. Ester dan
mengandung sulfur (Yalcin et al.2014).
Bawang-bawangan mengandung senyawa polifenol. Senyawa polifenol
jenis flavonoid ditemukan berlimpah pada bawang merah tetapi sedikit dalam
bawang putih. Senyawa flavonoid yang banyak terdapat pada kulit bawang merah
adalah quersetin. Quersetin 4’-O-b-glikopiranosid, quersetin 3,4’-O-b-
diglicopiranosid, dan quersetin 3,7,4’-O-b-triglikopiranosid, kaempferol, aglikon,
β-klorogenin, merupakan komponen flavonoid yang terdapat pada bawang merah
(Allium cepa L. var Aggregatum). Β-klorogenin dan quersetin mempunyai aktivitas
anti platelet. Organosulfur dari bawang merah yaitu a-sulfinil-disulfides (cepaenes)
21

menunjukkan aktivitas anti-thrombotik dan anti-platelet. Kulit luar bawang merah


yang yang biasanya dibuang pada saat digunakan untuk memasak, kaya akan
senyawa quersetin, quersetin glikosid dan produk oksidatif. Quersetin mempunyai
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari α-tokoferol (Corzo-Martínez dan
Villamiel 2012). Beberapa senyawa bioaktif flavonoid penting yang telah
ditemukan pada bawang putih antara lain: kaempferol-3-O-β-D-glukopiranosa dan
iso-rhamnetin-3-O-β-D glukopiranosa (Lee et al. 2002). Struktur dan berat molekul
serta waktu retensi senyawa flavonoid tersebut juga dapat diidentifikasi pada
tanaman Astragalus corniculatus menggunakan Liquid Chromatography-Mass
Spectra/Mass Spectra (LC-MS/MS), seperti yang dilakukan oleh Krasteva dan
Nikolov (2008).
Bawang-bawangan mempunyai kemampuan antioksidan yang tinggi.
Bawang lokio (Allium schoenoprasum) mempunyai kemampuan antioksidan
dengan menghambat secara langsung spesies oksigen reaktif, mengkhelat ion
logam Fe dan menginduksi gen antioksidan (Bezmaternykh et al. 2014). Bawang
daun (Allium fistulosum) dan bawang putih (Allium sativum) mempunyai
kemampuan antioksidan menangkal radikal bebas DPPH (Udjaili et al. 2015).
Kemampuan antioksidan dan kandungan flavonoid pada daun bawang, bawang
merah dan bawang bombay dipelajari oleh Aoyama dan Yamamoto (2007).
Kemampuan antioksidan Tlorox dan FRAP bawang merah lebih tinggi daripada
bawang bombay dan daun bawang. Kemampuan antioksidan dari daun bawang
dapat ditingkatkan dengan pemanasan 100 oC selama 15 menit. Komponen yang
flavonoid berperan dalam antioksidan bawang merah dan bawang bombay adalah
quersetin dan daun bawang adalah kaempferol.
Identifikasi senyawa antosianin dan flavonoid yang terdapat pada bawang
merah, bawang kuning dan bawang putih segar spesies Allium cepa L. (red, yellow,
white onions) dilakukan menggunakan HPLC/DAD-ESI/MS. Kandungan
antosianin berturut-turut 29.99±1.19; 9.64±1.30 dan 0.75±0.40 mg/100 g bawang
merah; bawang kuning dan bawang putih. Kandungan flavonoid 111.10±5.98;
36.64±3.59 dan 0 mg/100 g pada bawang merah; kuning dan putih. Jenis antosianin
yang teridentifikasi pada bawang merah dan bawang kuning adalah delfinidin 3,5-
diglikosida, sianidin 3,5-diglikosida, sianidin 3-glikosida dan sianidin 3-(6´´-
malonil)-glukopiranosida) dan dua jenis flavonoid yaitu quersetin dan quersetin 3-
glycosides. Kandungan antosianin, flavonoid dan polifenol berkorelasi positif
secara signifikan dengan aktivitas antioksidan DPPH, ABTS dan FRAP (Shi-lin et
al. 2016).

Metoda Metabolomik

Metabolomik adalah proses penentuan metabolit sekunder atau


mikromolekul BM antara 50-5000. Sinonim dari metabolomik adalah metabolite
profiling atau penentuan metabolit-metabolit dengan karakter tertentu terkait
dengan penyakit, respon pengobatan, metabolism obat, perlakuan kimiawi dan lain-
lain, karena ketidakmungkinan “memotret” semua komponen dalam satu waktu,
jadi senyawa-senyawa yang dipentingkan saja. Analisis metabolomik tidak
membutuhkan preparasi yang rumit, sampel yang dibutuhkan sangat kecil, kurang
dari 0.1 g atau bahkan cukup 1 mg, hasil lebih objektif karena menghindari berbagai
22

partisi berkali-kali dan secepat mungkin sampel dianalisis sehingga sangat


menguntungkan (Hou et al. 2012).
Penelitian dengan pendekatan metoda metabolomik telah dilakukan oleh
Safer et al. (2011) yang meneliti hubungan taksonomi 2 grup spesies tanaman
edelweiss (Leontopodium alpinum) menggunakan proton nuclear magnetic
resonance (1H-NMR) spectroscopy dan liquid chromatography–mass spectrometry
(LC–MS). Analisis data yang digunakan menggunakan analisis multivariat
principal component analysis (PCA) berdasarkan fingerprinting metabolomik.
(Park et al. 2014) menggunakan instrumen ultraperformance liquid chroma-
tographyquadrupole time-of-flight mass spectrometry (UPLC-QTOF MS) berbasis
metabolomik untuk menentukan kemampuan bioaktif ginsen P. ginseng dan P.
Quinquefolius. Analisis non target ini dibandingkan dengan analisis target
menggunakan ginsenosid yang merupakan marker ginsenosid Rfand 24(R)-
pseudoginsenosid F11. Analisis data yang digunakan adalah multivariate principal
component analysis (PCA) dan orthogonal partial least squares discriminant
analysis (OPLS-DA) yang diolah menggunakan software MarkerLynx.
Penelitian dengan pendekatan metabolomik berbasis instrumen NMR
digunakan oleh Halouska et al. (2012) untuk memprediksi mekanisme kerja obat
secara in vivo. Bakteri non patogen Mycobacterium smegmatis yang merupakan
model bakteri Mycobacterium tuberculosis, diinduksi menggunakan 12 jenis obat
dan 3 jenis bahan kimia, kemudian perubahan metabolit pada sel bakteri dianalisis
menggunakan NMR. Hasil analisis menunjukkan perubahan metabolome, dimana
pola perubahan metabolome dapat dikelompokkan (clustering). Pengelompokan
tersebut dapat digunakan untuk memprediksi protein target dan memprediksi
aktivitas antikroba secara in vivo.
Analisis statistik data multivariate (MVD) digunakan karena data
metabolomik yang dihasilkan berupa data multidimensi. Salah satu Metode MDV
yang dapat digunakan untuk mengkorelasikan data komposisi kimia suatu ekstrak
dengan profil aktivitas biologisnya Orthogonal Projection to Latent Structure
(OPLS) merupakan pengembangan dari metode Projection to Latent Structure
(PLS) dengan dua variable (X dan Y) berupa matriks yang digunakan. Data profil
metabolit dilambangkan dengan X dan matriks data bioaktivitas dilambangkan
dengan Y. Korelasi X (profil metabolit) dengan Y (bioaktivitas) dapat dilihat
dengan menggunakan OPLS dengan cara melihat besaran-besaran seperti koefisien
korelasi. Pembacaan dan intepretasi data metabolomik dengan OPLS dapat dengan
mudah dilakukan dengan memisahkan data yang berkolerasi dan tidak berkolerasi
secara orthogonal (Yuliana et al. 2011). Tahapan penelitian pendekatan metoda
metabolomik pada penentuan senyawa aktif sebagai pengikat reseptor adenosine
A1 dari tanaman kumis kucing (Orthosiphon stamineus) yaitu pengeringan kumis
kucing, ektraksi dengan beberapa jenis pelarut sehingga didapatkan 20 x 3 fraksi
selajutnya diuji profil bioaktifnya dan profil senyawa kimia menggunakan NMR,
kemudian data yang didapatkan diolah secara multivariate OPLS, PLS-DA dan
PLS selanjutnya dapat diidentifikasi senyawa aktif dan fraksi yang mengandung
senyawa aktif paling banyak (Yuliana et al. 2013). Diagram penelitian
metabolomik disajikan pada Gambar 9.
23

Gambar 9 Penentuan senyawa aktif dari bahan alam dengan pendekatan


metabolomik

Spektroskopi Resonansi Magnet inti (Nucleic Magnetic Resonance=NMR)

Spektroskopi Resonansi Magnet inti atau NMR adalah alat untuk


mengetahui sifat-sifat magnet dari inti atom-atom dalam suatu senyawa. Keluaran
dari instrument ini adalah dapat diketahui informasi dalam penentuan struktur
senyawa kimia tersebut. Penggunaan NMR pada saat ini antara lain untuk 1)
penentuan struktur senyawa organik, 2) elusi mekanisme reaksi kimia dan 3) elusi
aspek-aspek stereokimia dalam senyawa organik. NMR terdiri dari dua jenis yaitu
Proton Magnetic Resonace (1H-NMR) dan Carbon Magnetic Resonace (13C-NMR).
Penggunaan 1H-NMR berdasarkan sifat magnet inti atom-atom H dalam suatu
molekul, yang berbeda-beda tergantung dimana atom H tersebut terikat. Resonansi
proton akan memberikan informasi tentang lingkungannya, serta proton
tetangganya. Senyawa toluen mempunyai hidrogen delapan atom, seperti gambar
yang dapat dilihat pada Gambar 10. Terdapat empat macam proton a, b, c dan d.
Ketiga proton CH3 adalah ekivalen. Proton A terdiri dari proton a, b dan c. Proton
B terdiri dari proton d (proton H do -CH3), maka luas A:B adalah 5:3. H-NMR
memberikan informasi mengenai jumlah proton pada kelompok tersebut
(Breitmaier 2002).
24

Ha

Hb-Hd

Gambar 10 Profil spektrum H-NMR, pada sumbu X adalah chemical shift.


(Breitmaier 2002)

Resonansi terjadi akibat dua benda memiliki frekuensi yang sama. Pada H-
NMR, resonansi terjadi akibat proton yang berpresisi memiliki frekuensi presisi
sama dengan frekuensi radio yang dihasilkan oleh alat alternator pada NMR, yang
merupakan energi dari luar berbentuk frekuensi radio yang sengaja diberikan agar
terjadi resonansi. Transisi akan terjadi bila frekuensi radio sama dengan frekuensi
presisi proton. Perbedaan frekuensi resonansi suatu proton terhadap proton standar
disebut sebagai pergeseran kimia (chemical shift=δ). Chemical shift diukur tidak
secara absolut tetapi relatif terhadap proton standar yaitu tetrametil silan (Si (CH3)4
= TMS) (Panji 2012).
Bila terjadi interaksi antara spin atom hidrogen satu dengan lainnya yang
terikat dalam satu senyawa, maka terjadi perjodohan spin atau spin-spin coupling.
Perjodohan spin mengakibatkan spin proton A dipengaruhi oleh spin proton B dan
sebaliknya. Profil spektrum H-NMR akan menggambarkan puncak proton A dan B
terpecah dan muncul sebagai dua puncak dengan perbandingan 1:1, seperti pada
Gambar 11. Jarak antara puncak A dan B disebut sebagai bilangan perjodohan atau
coupling constant=J. Nilai J sebanding dengan kuatnya interaksi antara proton A
dan B. Profil spektrum senyawa yang menggambarkan chemical shift (ppm) pada
sumbu Y dan J coupling constant (Hz) pada sumbu X adalah gambaran analisis dua
dimensi H-NMR (Breitmaier 2002).
25

Gambar 11 Coupling constant (J) puncak spin proton profil spektrum H-NMR
(Breitmaier 2002)

Identifikasi senyawa menggunakan NMR mempunyai keunggulan


dibandingkan dengan instrument yang lain. Salah satu keunggulan tersebut adalah
dapat mengidentifiasi senyawa pada ekstrak bahan alam baik yang bersifat polar
maupun non polar. Penelitian yang dilakukan oleh Fathi et al. (2017) dapat
mengidentifikasi profil metabolit dari hati kuda sparrow (Passer domesticus) yang
diberi perbedaan pakan. Metabolit yang terdeteksi adalah 52 polar dan 9 jenis non-
polar. Penentuan struktur senyawa dapat diidentifikasi menggunakan NMR.
Analisis NMR dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis
menggunakan NMR tidak memerlukan preparasi sampel yang lama dan tahapan
yang banyak serta tidak memerlukan pelarut yang banyak, bahkan pelarut yang
mempunyai atom hidrogen seperti air (H2O) dapat dihilangkan pengaruhnya dengan
teknik water suppression (Silva 2003).

3. METODOLOGI PENELITIAN

Bahan dan Alat

Udang vaname diperoleh dari tambak Balai Administrasi Pelatihan


Perikanan Lapangan (BAPPL) Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Serang. Bawang
merah didapatkan dari Brebes, Jawa Tengah, bawang bombay, bawang putih,
bawang daun dan bawang lokio, diperoleh dari Pasar Bogor. Bahan kimia yang
digunakan antara lain metanol, heksana, kloroform, etil asetat, NaH2PO4, K2HPO4,
NaNO2, AlCl3, NaOH, Folin Ciocalteu, asam galat, L-DOPA (Merck, USA),
quersetin (Merck, HPLC Grade, USA. Enzim PPO komersial (EC.1.14.18.1, 5571
U/mg 4.3 mg) diperoleh dari Sigma Chemical Co (St. Louis. MO), sodium
metabisulfit (SMS) komersial dari toko lokal.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rotary evaporator
(Butchi Rotavapor R-210, BÜCHII, Labortechnik, Switzerland), freeze dryer,
26

sonicator ultrasonic bath (Bransonic Ultrasonic Cleaner model 8510E MTH,


USA), spektrofotometer UV-Vis (UV-2450, Shimadzu, Jepang), chromameter CR-
310, Minolta (Jepang). Nuclear magnetic resonance (NMR) 1H-NMR dan 2
Dimensi (2D) merk JEOL jenis ECZR Spectrometer = JNM-ECZ500R/S1
(Jepang).

Tahapan Penelitian

Penelitian dibagi dalam 3 tahap penelitian yaitu (1) screening lima jenis
bawang-bawangan yang mempunyai kemampuan menghambat blackspot yang
dilakukan secara in vitro menggunakan enzim komersial dan menggunakan udang
vaname; (2) penentuan beberapa jenis mekanisme anti-blackspot dari ekstrak
bawang terpilih yang telah difraksinasi; (3) identifikasi komponen aktif dari
bawang terpilih yang telah difraksinasi menggunakan instrumen NMR dengan
pendekatan metabolomik.

Penelitian Tahap 1: Screening bawang-bawangan yang menghambat blackspot


Bahan utama penelitian adalah lima (5) jenis bawang-bawangan yaitu
bawang merah, bawang putih, bawang bombay, bawang daun dan bawang lokio.
Kelima bawang tersebut masing-masing diekstrak menggunakan metanol 80%.
Ekstrak bawang-bawangan dianalisis komponen fitokimia fenolik dan flavonoid
dan ditentukan kemampuan menghambat blackspot secara in vitro menggunakan
enzim PPO komersial, sehingga diperoleh informasi ekstrak bawang yang
mempunyai aktivitas penghambatan tertinggi. Senyawa fitokimia yang berperan
dalam penghambatan aktivitas enzim PPO dihubungkan dengan rumus regresi
linier. Ekstrak bawang diaplikasikan dengan cara merendam udang selama 30 menit
kemudian udang disimpan pada suhu 0 oC selama 10 hari. Pengamatan perubahan
penampakan udang vaname didokumentasi menggunakan kamera (Nikon, Jepang)
model J5 lensa 1 Nikkor VR 10-30 mm f/3.5-5.6 PD ZOOM. Pengaruh ekstrak
bawang terhadap pembentukan blackspot pada udang vaname, diamati dengan cara
menguji nilai melanosis secara organoleptik dan penentuan indeks browning.
Tahapan penelitian tahap 1 disajikan pada Gambar 12.

Pembuatan ekstrak bawang


Pembuatan ekstrak bawang sesuai dengan metoda dari Juliani et al. (2016)
yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada tahap pengeringan, pengeringan
berdasarkan Juliani et al. (2016) menggunakan pemansan suhu 45 oC selama 8 jam,
sedangkan pada penelitian ini, menggunakan freeze dryer. Kelima jenis bawang
masing-masing dicuci, dibekukan pada freezer suhu -20 oC selama 24 jam
kemudian dikeringkan dengan freeze dryer -20 oC selama kurang lebih 48 jam,
kemudian dihaluskan menjadi tepung. Tepung bawang diekstrak menggunakan
metanol (Merck, USA) 80% sebanyak dua kali volume, disonikasi menggunakan
ultrasonic bath (Bransonic Ultrasonic Cleaner model 8510E MTH, USA) selama
30 menit pada suhu ruang, fase supernatan diambil. Ekstraksi diulangi dua kali,
supernatan digabungkan, dan dikeringkan menggunakan rotary evaporator (Butchi
Rotavapor R-210, BÜCHII, Labortechnik, Switzerland), pada suhu 45 ºC tekanan
vakum 200 barr. Ekstrak kering diuji kandungan total flavonoid dan fenolik dan
kemampuan ekstrak bawang dalam menghambat blackspot.
27

5 jenis bawang-bawangan utuh


tanpa pengupasan

Pencucian

Pengeringan
Pengering beku
(freeze drying)
-20 oC selama Penepungan dengan food processor
48 jam

Ekstraksi menggunakan
metanol 80 % 1 gr bawang: 20
volume metanol
Sonikasi 30 menit
suhu ruang
Pengeringan ekstrak

Evaporasi 45 oC
200 bar
Uji fitokimia: total
5 ekstrak bawang- flavonoid dan polifenol
bawangan Uji aktivitas enzim PPO
Uji melanosis pada udang
Indeks browning

1 ekstrak bawang terpilih aktivitas


penghambatan blackspot terbaik
Gambar 12 Diagram alir penelitian Tahap 1 screening ekstrak bawang-bawangan.

Penentuan ekstrak bawang penghambat blackspot udang vaname


Penentuan ekstrak bawang yang dapat menghambat blackspot pada udang
vaname berdasarkan Teerawut dan Pratumchart (2014). Udang (Litopenaeus
vannamei) ± 100 ekor/kg diambil dari tambak, dimatikan secara cepat. Udang segar
dimasukkan dalam stereofoam beisi es, kemudian ditutup dan didiamkan selama 30
menit. Udang direndam dalam ekstrak berbagai jenis bawang dan sodium
metabisulfit (SMS) sebagai kontrol positif, dengan konsentrasi yang sama yaitu
masing-masing 1.25% (Fang et al. 2013) selama 30 menit. Udang disimpan dalam
stereofoam yang dikontrol suhunya setiap hari agar tetap 0 ± 5 ºC menggunakan es
dengan perbandingan udang : es yaitu 1:2 (b/b). Es yang mencair diganti dengan es
baru dalam berat yang sama secara periodik. Pengamatan nilai melanosis dan
indeks browning dilakukan setiap 2 hari sekali selama 10 hari. Udang tanpa
perlakuan ekstrak digunakan sebagai kontrol negatif.
28

Penentuan aktivitas spesifik enzim PPO untuk uji in vitro penghambatan


Aktivitas spesifik enzim PPO komersial yang digunakan pada peneltian ini
adalah 5571 Unit/mg dan jumlah awal adalah 4.3 mg atau 23,955.3 Unit/mg.
Pengenceran enzim dilakukan berdasarkan Zhu et al. (2014) dengan modifikasi.
Enzim PPO murni dilarutkan dalam larutan buffer fosfat pH 6.8 sebanyak 1 mL,
sehingga aktivitas spesifik enzim menjadi 23,955.3 Unit/mg/mL. Larutan enzim
tersebut adalah larutan stok enzim PPO, disimpan dalam freezer suhu -20 oC.
Larutan kerja I enzim PPO dibuat dengan cara melarutkan larutan stok enzim PPO
0.1 mL dilarutkan dalam buffer fosfat pH 6.8 hingga 10 mL sehingga konsentrasi
larutan enzim PPO 239.9553 Unit/mg/mL. Larutan kerja 1 disimpan dalam
refrigerator. Larutan kerja 1 diencerkan menggunakan larutan buffer pH 6.0 terlebih
dahulu hingga 2.3-2.5 Unit/mg/mL sebelum digunakan untuk uji penghambatan
ekstrak bawang.

Peneltian Tahap 2: Penentuan mekanisme penghambatan enzim PPO


Ekstrak bawang terpilih adalah ekstrak bawang yang mempunyai
kemampuan menghambat blackspot paling tinggi yang telah ditentukan pada
penelitian Tahap 1. Ekstrak ini selanjutnya ditentukan mekanisme
penghambatannya secara in vitro menggunakan enzim PPO komersial. Ekstrak
bawang terpilih difraksinasi terlebih dahulu, kemudian ditentukan mekanisme
penghambatan blackspot. Penentuan mekanisme jenis penghambatan fraksi bawang
berdasarkan kinetika reaksi, diperkuat oleh hasil Native PAGE dan scanning
spektrum panjang gelombang untuk menentukan pengaruh fraksi bawang terhadap
logam Cu2+ pada sisi aktif enzim PPO.

Fraksinasi ekstrak bawang terpilih


Perbedaan jenis pelarut berdasarkan polaritas digunakan untuk memisahkan
fraksi (fraksinasi) yang mengandung komponen atau senyawa yang mempunyai
kemampuan menghambat blackspot berbeda-beda. Pelarut yang yang digunakan
yaitu air, heksana, kloroform dan etil asetat. Fraksinasi diulang sebanyak lima
ulangan. Sebanyak 10 g ekstrak metanol kering bawang terpilih dari hasil penelitian
Tahap 1 dilarutkan dalam akuades sebanyak 250 mL, dimasukkan dalam corong
pemisah. Kemudian ditambahkan 250 mL heksana atau perbandingan volume air :
heksana = 1:1.
Campuran dikocok dengan cara membolak-balikan corong pemisah yang
telah ditutup rapat. Campuran kemudian didiamkan selama 30 menit sehingga
terpisah menjadi dua fraksi. Fraksi tersebut dipisahkan dengan membuka kran pada
bagian bawah corong pemisah. Fraksi yang mempunyai berat jenis rendah akan
berada pada bagian bawah corong pemisah. Fraksinasi diulangi dua kali, dan hasil
ekstraksi satu dan dua pada fase heksan ini digabungkan. Fraksi pelarut dipisahkan
dengan komponen yang telah difraksinasi dengan cara pelarut diuapkan dan
didestilasi menggunakan rotary evaporator pada suhu 45 oC dengan tekanan 200
bar. Spatula logam digunakan untuk mengambil fraksi komponen yang terdapat
pada labu evaporator. Fraksi air kemudian difraksinasi kembali menggunakan
pelarut kloroform dan etil asetat menggunakan prosedur yang sama.
29

Ekstrak bawang terpilih

10 g ekstrak bawang terpilih


+ air 250 mL
+ n-heksana 250 mL
Digojok, dipisahkan

Fraksi heksana Fraksi air

evaporasi 45 oC
tekanan 200 Bar

Fraksi air terpisah


Fraksi heksana
kering (1) + 250 ml Kloroform
Digojok, dipisahkan

Fraksi kloroform Fraksi air

evaporasi 45 oC
tekanan 200 Bar
+ 250 ml etil asetat
Fraksi kloroform Fraksi air terpisah Digojok, dipisahkan
kering (2)

Fraksi etil asetat Fraksi air


evaporasi 45 oC
evaporasi 45 oC tekanan 200 Bar
tekanan 200 Bar
Fraksi etil asetat Fraksi air
kering (3) kering (4)

Gambar 13 Diagram alur fraksinasi bertingkat ekstrak bawang terpilih

Keseluruhan fraksi yaitu 20 sampel masing-masing dikeringkan dengan


rotary evaporator pada suhu 45 oC tekanan 200 bar, hingga kering. Fraksi kering
ditandai dengan kestabilan berat setelah proses evaporasi. Fraksi diambil dari labu
rotary evaporator kemudian disimpan botol kaca gelap yang dimasukkan dalam
kotak plastik gelap kedap udara berisi silika gel disimpan pada suhu ruang dan
terhindar kontak dengan cahaya matahari langsung, hingga diuji selanjutnya.
Keseluruhan fraksi diuji kemampuan penghambatan blackspot secara in vitro
menggunakan enzim PPO komersial. Tahapan fraksinasi ekstrak bawang terpilih
hasil penelitian Tahap 1 disajikan pada Gambar 13.
30

Penentuan konsentrasi optimal fraksi bawang


Konsentrasi optimal fraksi bawang ditentukan untuk mempelajari kinetika
reaksi penghambatan fraksi bawang terhadap aktivitas enzim PPO secara in vitro.
Konsentrasi fraksi bawang yang digunakan adalah 0-10 mg/mL. Konsentrasi fraksi
optimal atau terbaik adalah konsentrasi fraksi yang dapat menghambat aktivitas
enzim PPO sebelum aktivitas penghambatan menurun atau tetap pada konsentrasi
enzim PPO tetap.

Kinetika reaksi fraksi bawang


Kinetika reaksi ditentukan dengan cara dibuat grafik Lineweaver-Burk yang
dihubungkan kecepatan reaksi rata-rata 𝑉 dan konsentrasi substrat [S] dengan
persamaan: 1 𝑉 = 𝐾𝑚 𝑉maks × 1 [𝑆] + 1 𝑉maks. Model regresi linear digunakan
untuk menentukan konstanta Michaelis-Menten 𝐾𝑚 dan kecepatan maksimum
𝑉maks. Persamaan regresi liner dimana intersep 𝑥 adalah 1/𝐾𝑚, dan 𝑦 adalah
1/𝑉maks, maka slope adalah 𝐾𝑚/𝑉maks. Grafik Lineweaver-Burk digunakan untuk
menentukan performance inhibitor fraksi bawang terpilih sebagai inhibitor
kompetitif, non kompetitif atau unkompetitif. Sebanyak 400 𝜇L larutan fraksi
bawang terpilih dengan konsentrasi yang berbeda yaitu masing-masing berturut-
turut 0.25; 0.5; 1 mg/mL dalam vial 3 mLyang berbeda. Kemudian tambahkan 400
𝜇L larutan enzim PPO (0; 0.25; 0.5; 1 mg/mL). Substrat L-DOPA digunakan dalam
penelitian ini, dengan konsentrasi 0.1; 0.25; 0.5; 1; 1.5; 2 mg/mL dalam larutan
buffer sodium fosfat pH 6.0.

Elektroforesis
Native polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) digunakan untuk
mempelajari pengaruh fraksi bawang terpilih terhadap aktifitas enzim PPO (He et
al. 2008). Enzim PPO, fraksi dan buffer fosfat 0.05 M pH 6.0 direaksikan dalam
tabung vial. Fraksi dilarutkan dalam 0.5% metanol, kemudian dilarutkan dalam air
dengan konsentrasi 1; 5; 10 mg/mL, sodium metabisulfit 1.25% atau 12.5 mg/mL.
Larutan fraksi 100 µl dicampur dengan enzim PPO 100 µl, dibiarkan bereaksi
selama 30 menit. Campuran bromofenol blue (0.001%, w/ v) dan gliserol (0.05%,
v/v) digunakan sebagai kontrol jalannya sampel elektroforesis, dimasukkan dalam
sumur gel sebanyak 20 µL. Elektroforesis di-running pada suhu 4 oC menggunakan
Mini PROTEAN system (Bio-Rad, Hercules, CA), dengan Tris–Glicine (pH 8.3)
sebagai running buffer. Setelah selesai running, gel direndam dalam larutan yang
mengandung 15mM LDOPA. Aktifitas penghambatan enzim PPO dapat dilihat dari
hasil perendaman dalam larutan substrat tersebut yaitu terbentuknya warna gelap
dengan tingkatan yang berbeda-beda.

Scanning panjang gelombang


Scanning panjang gelombang untuk mempelajari kemampuan mengkhelat
logam Cu pada sisi aktif enzim PPO ditentukan dengan menggunakan
spektrofotometer (UV Vis-2425, Shimadzu). Sebanyak 2.8 mL akuades ditambah
0.1 mL fraksi bawang terpilih yang telah dilarutkan dalam metanol 0.5%.
Campuran dibagi menjadi 3 tabung. Tabung 1 campuran ditambah dengan enzim
PPO, tabung 2 campuran ditambah dengan 0.1 mL CuSO4 dan tabung 3 berisi 0.1
mL buffer sodium fosfat pH 6.0. dilakukan dengan cara mereaksikan 1 mL 15 mM
LDOPA dan 0.1 mL 0.1 mg/mL EAF pada 1 mL 50 mM buffer fosfat pH 6.0,
31

selanjutnya reaksi tersebut discanning menggunakan spektro UV-Vis UV-2425


spectrofotometer (Shimadzu, Kyoto) pada panjang gelombang 200-800 nm dan
akuades sebagai referens (He et al. 2008) dengan sedikit modifikasi.

Penelitian Tahap 3: Identifikasi profil senyawa menggunakan pendekatan


metabolomik
Identifikasi senyawa aktif yang mempunyai kemampuan anti-blackspot
dilakukan dengan pendekatan metabolomik. Identifikasi senyawa dilakukan secara
bertahap yaitu analisis penghambatan enzim PPO secara in vitro dan identifikasi
profil senyawa menggunakan 1H-NMR terhadap 20 sampel fraksi (4 fraksi pelarut
x 5 ulangan), selanjutnya fraksi yang paling aktif diidentifikasi senyawa aktif
menggunakan 2D NMR J-resolved. Seluruh data aktivitas dan profil senyawa
dianalisis menggunakan pendekatan metoda metabolomik menggunakan software
SIMCA, sehingga dapat diidentifikasi dugaan senyawa yang berperan pada
penghambatan enzim PPO. Gambar 14 adalah diagram alur penelitian Tahap 3.

Identifikasi senyawa menggunakan 1H-NMR dan 2D NMR J-resolved


Penentuan 1H-NMR dan dua dimensi 2D NMR pada frekuensi 500 MHz
menggunakan NMR merk JEOL type ECZR Spectrometer = JNM-ECZ500R/S1
dari Jepang, frekuensi fungsional 500.15991521 MHz pada suhu ruang (20.1 ◦C).
Analisis 2D NMR menggunakan J-resolved. Tahapan identifikasi senyawa
disajikan pada Gambar 14. Prosedur analisis menggunakan NMR adalah fraksi
terpilih 10 mg dimasukkan dalam 2 mL tabung Eppendorf, dilarutkan dalam 1 mL
metanol deuterium CH3OH-d4 (MeOD). Campuran divorteks selama 1 menit dan
diultrasonikasi selama 15 menit pada suhu ruang. Kemudian campuran disentrifus
13,000 rpm selama 10 menit untuk memperoleh supernatant yang jernih, dan
sebanyak 0.6 mL supernatan dipindahkan ke tabung NMR untuk dianalisis. Semua
proton dalam 1 dimensi atau single pulse sebagai aksis X. Waktu yang diperlukan
pada masing-masing spectrum 1H-NMR adalah 1.74587904 detik yang berisi 12
scan dengan lebar 5 ppm.
Fraksi terpilih adalah fraksi yang mempunyai sinyal paling aktif pada
analisa 1H NMR. Fraksi terpilih diambil salah satu dari lima fraksi ulangan. Fraksi
ini dilanjutkan dianalisis 2D NMR menggunakan Homo J-resolved atau disebut
sebagai J-RES. Analisa 2D NMR J-Res memfokuskan pada pemisahan dua
parameter yaitu chemical shift dan the J-coupling. Waktu yang digunakan untuk
running spectrum J-RES adalah 50 menit dan lama waktu ketepatan X adalah
0.65404928 detik dan waktu akurasi Y adalah = 2.56 detik berisi 16 scan per 2048
kenaikan axis spin-spin coupling constant dengan lebar spectra 50 Hz dan 8 K untuk
aksis dengan lebar spectra 500 Hz. Lama waktu relaksasi adalah 1.5 detik. Suhu
diatur pada 20.7 ˚C.
Penelitian ini tidak dilakukan penentuan struktur senyawa aktif secara
langsung. Penentuan jenis senyawa aktif yang diidentifikasi akan dilakukan dengan
membandingkan data chemical shift dan the J-coupling dari penelitian yang
sebelumnya dan telah dipublikasikan. Data tersebut dapat jenis senyawa yang
diperoleh dari identifikasi senyawa dari jenis bahan alam yang sama dan atau
pelarut NMR yang sama pada frekuensi yang sama, yaitu 500 MHz
32

Fraksi pelarut (1), (2), (3), (4) x 5


ulangan

Identifikasi senyawa 1H NMR Uji aktivitas enzim PPO


Identifikasi 2D J-resolved NMR

Jenis senyawa dan konsentrasi % penghambatan (minimal 50%)

Komputasi senyawa aktif VS % penghambatan


menggunakan software SIMCA, program OPLS

Senyawa dengan sinyal aktif paling banyak (bisa lebih dari 1


jenis senyawa)

Senyawa aktif

Gambar 14 Diagram alur identifikasi senyawa aktif dengan pendekatan


metabolomik

Bucketing spektra 1H Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dan Analisis Data


Multivariat
Pengolahan data spektrum sinyal keduapuluh sampel fraksi dari NMR di-
binned dalam bentuk file ekstensi JDF diatur menggunakan software MestReNova
versi 12-0.2.20910 software (Mestrelab Research, S.L, Spain) untuk mem-phasing
dan membuat baseline corrections. Lebar spektra (δ 0.04) meliputi daerah panjang
gelombang yang diserap 0.5–10.0 ppm sehingga diperoleh total 230 area
terintegrasi per spektrum NMR.
Data spektra 1H-NMR digabungkan dibandingkan dengan hasil uji
kemampuan penghambatan aktivitas enzim PPO selanjutnya diolah, bucketing
menggunakan OPLS dan perangkat lunak SIMCA-P (v. 12.0, Ulmetrics, Umeá,
Swedia) dengan penskalaan berdasarkan metode pareto. Analisis data hasil uji
NMR berupa profil kimia dalam bentuk spektrum chemical shift (ppm) ditampilkan
sebagai matriks data X, sedangkan aktivitas penghambatan enzim PPO matriks
data Y). Data dianalisis dengan orthogonal projection to latent structures (OPLS)
menggunakan perangkat lunak SIMCA-P versi 13.0 dengan penskalaan pareto.
Model dideskripsikan dengan kriteria ketepatan model (R2Y) dan ketepatan
prediksi (Q2Y) dan divalidasi dengan CV ANOVA dan uji permutasi.
33

Prosedur Analisis

Uji penghambatan aktivitas PPO


Pengukuran aktivitas enzim PPO dilakukan sesuai metoda Nirmal dan
Benjakul (2011) dengan modifikasi. Sebanyak 400 µL larutan enzim PPO dicampur
400 µL ekstrak bawang (bk) (10 mg/mL), dibiarkan bereaksi selama 30 menit.
Ambil campuran enzim PPO dan ekstrak bawang sebanyak 200 µL dan tambahkan
dengan 600 µL 15 mM L-DOPA, 400 µL 50 mM fosfat buffer, pH 6.0 dan 1000
µL akuades. Campuran diinkubasi selama 3 min pada suhu 45 oC dan pembentukan
dopachrome diamati dengan cara mengukur absorban sampel pada panjang
gelombang 475 nm (A475) menggunakan UV-2425 spektrofotometer (Shimadzu,
Kyoto, Japan). Satu unit aktivitas PPO didefinisikan sebagai peningkatan absorban
pada A475 sebanyak 0.001/min/mL. Blanko akuades digunakan untuk meng-0-kan
absorban dan blanko substrat+fraksi ditentukan sebagai pengurang aktivitas
enzim+fraksi+substrat (C). Blanko enzim PPO dan blanko substrat diukur pada
campuran tanpa enzim PPO dan substrat. Penentuan % penghambatan enzim PPO
oleh ekstrak dapat ditentukan dengan menghitung aktivitas enzim PPO tanpa
ekstrak dan aktivitas enzim PPO dengan ekstrak, dimana % penghambatan
ditentukan dengan:
% penghambatan PPO = {(A-B-C)/A} x 100%
Dimana A= aktivitas PPO tanpa ekstrak, B = aktivitas PPO dengan ekstrak,
C=absorban substrat+fraksi bawang.
Pengkuran aktivitas penghambatan enzim PPO pada fraksi nopolar seperti
fraksi heksana memerlukan emulsifier (DMSO) atau bahan semipolar (metanol)
yang mampu melarutkan fraksi heksana. Pada penelitian ini digunakan metanol 5%
untuk melarutkan fraksi heksana dengan cara fraksi heksana ditimbang dan
dilarutkan dalam metanol 99%, larutan digojok hingga fraksi heksana terlarut.
Akuades ditambahkan pada larutan fraksi tersebut kemudian sehingga konsentrasi
metanol total menjadi 5%. Campuran enzim+substrat+metanol 5% digunakan
sebagai pengurang pada pengukuran fraksi heksana. Rumus % penghambatan
enzim PPO oleh fraksi heksana menjadi:
% penghambatan PPO = {(A1-B1-C1)/A} x 100%
Dimana A1= aktivitas PPO tanpa ekstrak+metanol 5%, B1 = aktivitas PPO dengan
ekstrak+metanol 5%, C1=absorban substrat+fraksi bawang+metanol.

Uji total flavonoid


Sebanyak 5 g sampel ekstrak dilarutkan dalam 50 mL etanol (Merck, USA)
80%. Sebanyak 250 µL larutan ekstrak diambil dan ditambahkan dengan 1.25 mL
akuades dan 75 µL larutan NaNO2 (Merck, USA) 5%. Campuran dibiarkan
bereaksi dan setelah 5 menit, ditambahkan 150 µL AlCl3 (Merck, USA) 10% dan
kemudian setelah 6 menit ditambahkan 500 µL NaOH (Merck, USA) 1M dan 275
µL akuades. Selanjutnya diukur absorban pada panjang gelombang 415 nm.
Standar yang digunakan adalah quersetin (Merck, HPLC Grade, USA) konsentrasi
50-250 µg/mL. Total flavonoid dinyatakan sebagai mg QE/g ekstrak (Gulfraz et al.
2014).
34

Uji total fenolik


Pengujian total fenolik dianalisis sesuai metoda (Gulfraz et al. 2014)
Sebanyak 5 mg sampel ekstrak dilarutkan dalam 10 mL akuades, larutan diambil 1
mL ditambah dengan 0.2 mL reagen Folin Ciocalteu (Merck, USA) dan segera
dihomogenisasi. Setelah 3 menit ditambahkan 3 mL natrium karbonat (Na2CO3)
(Merck, USA) 2%. Kemudian setelah 30 menit disimpan pada ruang gelap,
absorbannya diukur pada panjang gelombang 760 nm menggunakan
spektrofotometer UV-VIS (UV-2450 Spectrophotometer Shimadzu, Jepang).
Sebagai standar digunakan asam galat (Merck, USA) konsentrasi 0-0.05 mg/mL
atau 0-500 µg/mL. Total fenolik dinyatakan sebagai mg GAE/g ekstrak bawang.

Penentuan nilai melanosis


Metoda dari Manheem et al. (2013b) digunakan untuk menentukan nilai
melanosis. Nilai melanosis adalah tingkat pembentukan blackspot pada udang
vaname yang diamati secara visual oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Nilai
melanosis 1-10, nilai 0 = tidak ada pembentukan blackspot 2 = sedikit (hingga 20%
permukaan udang terjadi blackspot); 4 = sedang (20% sampai dengan 40%
permukaan udang terjadi blackspot); 6 = terlihat jelas (40% hingga 60% permukaan
udang terdapat blackspot; 8 = banyak sekali (60% hingga 80% permukaan udang
terdapat blackspot); 10 = amat sangat banyak (80% hingga 100% permukaan udang
terdapat blackspot. Skor organoleptik pembentukan blackspot (melanosis) disajikan
pada Tabel 5.

Tabel 5 Skor organoleptik tingkat pembentukan blackspot (nilai melanosis).

Skala Diskripsi
0 Tanpa noda
2 Sedikit, terdapat pada beberapa udang
4 Sedikit, terdapat pada sebagian besar udang
6 Moderat, terdapat pada sebagian besar udang
8 Banyak, terdapat pada sebagian besar udang
10 Banyak, tertolak

Penentuan indeks browning


Penentuan warna terang (ligthness) L*, kemerahan (redness) a*, dan
kekuniangan (yellowness) b* pada udang selama 10 hari pengamatan pada suhu 0
o
C menggunakan alat chromameter CR-310, Minolta, Jepang yang dikalibrasi
dengan standar wana putih dari alat tersebut (Markovic, Ilic, Markovic, Simonovic,
dan Kosanic. 2013). Ketiga nilai warna menurut International Commission of
Illumination, CIE (L,a,b) diukur dalam tiga kali pengukuran per sampel, dan
pengukuran dilakukan pada udang secepatnya. Nilai perubahan warna total dalam
rumus
ΔE = (ΔL2 + Δa2 + Δb2)1/2 , Indeks browning BI = [100(X-0.31)]/0.172
dimana Δ merupakan selisih nilai awal atau hari k-0 dikurangi hari ke- pengamatan.
35

Dimana X = (a+1.75L)/(5.645 L+ a-3.012b), browning indeks menyatakan warna


coklat yang murni akibat aktivitas enzim PPO pada substrat (Palou et al. 1999).

Analisis Data

Data yang ditampilkan adalah nilai rata-rata±standar deviasi dari 3 kali


ulangan. Data dianalisis secara statistik dengan analisis of variance (ANOVA) satu
arah (One way) dan batas kepercayaan 95% (p<0.05) menggunakan software
Statistical of Package for the Social Science (SPSS) versi 17.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Screening Bawang-bawangan Menghambat Blackspot

Screening lima ekstrak bawang-bawangan terhadap kemampuan


menghambat blackspot diuji secara in vitro dan diaplikasikan pada udang vaname
menghasilkan aktivitas penghambatan enzim PPO tertinggi pada ekstrak bawang
merah. Hasil uji komponen fenolik dan flavonoid pada keseluruhan bawang
memperlihatkan perbedaan konsentrasi senyawa tersebut. Hasil peneitian secara
rinci dijelaskan pada sub bab berikut ini.

Kandungan komponen total fenolik dan flavonoid berbagai jenis bawang


Hasil penelitian menunjukkan ekstraksi menggunakan metanol 80%
bawang bombay mengandung total fenolik tertinggi, diikuti oleh bawang merah,
bawang daun dan bawang lokio serta bawang putih, yang dapat dilihat pada Tabel
6. Komponen flavonoid terbesar terdapat pada ekstrak bawang merah, diikuti oleh
bawang bombay, bawang lokio, bawang daun dan bawang putih. Penelitian ini
sejalan dengan Cheng et al. (2013) yang melaporkan komponen fenolik lebih
banyak terdapat pada bawang bombay dan flavonoid lebih banyak pada bawang
merah, dengan menggunakan pelarut yang sama. Lachman et al. (2003) melaporkan
jumlah fenolik tertinggi terdapat pada bawang merah (Karmen) diikuti bawang
kuning (Vsetana) dan bawang putih (Ala), menggunakan pelarut etanol 80%.
Perbedaan spesies bawang perbedaan umur bawang menentukan jenis dan
konsentrasi senyawa fenolik dan flavonoid (Vlase et al. 2013).
Ekstrak etanol 80% bawang-bawangan (Allium spp.) mengandung fenolik
berkisar 444.3-1591 mg/Kg bawang lokio > bawang ramson > bawang merah >
bawang putih (garlic) > bawang kuning > bawang putih (white onion) yang hampir
sejalan dengan kemampuan antioksidannya, yaitu berturut-turut kemampuan
antioksidan tertinggi ke yang terkecil adalah bawang lokio> bawang ramson >
bawang merah > bawang kuning > bawang putih (garlic)> dan bawang putih (white
onion) (Lenkova et al. 2016).
Penggunaan dua pelarut yang berbeda polaritasnya (binary) seperti metanol
dan air dengan perbandingan tertentu (30-80%) dapat mengekstrak komponen
fenolik dan flavonoid yang lebih banyak, dibandingkan pengguan pelarut tunggal
(Singh et al. 2017). Ekstraksi menggunakan pelarut metanol dan aseton
menghasilkan ekstrak dengan kemampuan bioaktif yang lebih tinggi dibandingkan
36

pelarut etanol (Karunaratne dan Karunaratne 2012). Pelarut organik seringkali


digunakan pada ekstraksi bahan aktif dari alam untuk keperluan farmasi (Azwanida
2015).
Batas maksimum residu pelarut metanol yang diijinkan pada setiap negara
berbeda-beda. Peraturan dari BPOM No. 16 Tahun 2016 mengatur residu metanol
pada minuman beralkohol yang diijinkan pada batas maksimum tidak lebih dari
0,01 % v/v atau 100 ppm.Pada tahun 1997 dilakukan harmonisasi standar pelarut
yang diijinkan melalui International Council of Harmoninternational Council for
Harmonisation of Technical Requirements for Pharmaceuticals for Human Use
atau ICH-Q3C(R6) (Yadav et al. 2014). Panduan standar ICH-Q3C(R6)
menyebutkan bahwa batasan residu metanol yang diperbolehkan adalah 3000 ppm
(ICHQ3C(R6) 2016). Residu metanol pada bahan pangan dapat dideteksi
menggunakan fase head space gas chromatography. Metoda ini juga dapat
digunakan untuk mendeteksi residu pelarut organik lain seperti aseton,
sikloheksana, dikloromethan dan toluen (Pandey et al. 2011).

Tabel 6 Konsentrasi total fenolik dan flavonoid ekstrak berbagai jenis bawang.
Total fenolik*) Total flavonoid*)
Jenis ekstrak
mg GAE/g ekstrak mg QE/g ekstrak
Bawang putih 78.66±9.77a 58.03±1.98a
Bawang daun 186.68±9.18b 79.57±1.41b
Bawang merah 341.96±7.51c 134.63±5.34e
Bawang bombay 414.50±8.91d 126.10±2.05d
Bawang lokio 181.26±9.32b 87.38±5.92c
*) Nilai rata-rata±SD dari 3 ulangan
**)Perbedaan huruf pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Berbagai jenis komponen fenolik ditemukan pada berbagai bawang. Parvu et


al. (2010) melaporkan dari 5 jenis bawang (Allium spp.), keseluruhan bawang
mengandung p-koumarik dan asam ferulik. Isoquercitrin ditemukan pada A.
obliquum, A. schoenoprasum dan A. fistulosum, rutin pada A. senescens subsp.
montanum dan A. schoenoprasum, sedangkan quersetin hanya ditemukan pada A.
fistulosum. Luteolin dan apigenin terdapat pada A. obliquum. Penelitian Farag et
al. (2017) melaporkan bawang putih (Allium sativum) yang mengandung senyawa
fenolik seperti asam pthalit, asam kafeik dan asam ferulik sedangkan bawang merah
(Allium cepa red cv.) mengandung senyawa quersetin-o-glukosida, kaempferol-o-
glukosida, quersetin-o-rhamnosida dan isorhamnetin-o-heksosid.
Bawang merah ini diketahui mempunyai kandungan metabolit sekunder
seperti polifenol dan flavonoid (Škerget et al. 2009). Kandungan metabolit tersebut
menyebabkan bawang merah mempunyai kemampuan bioaktif yang potensial,
seperti antioksidan DPPH (Kandoliya et al. 2015), antifungal pada Aspergillus
flavus, Aspergillus niger, dan Cladosporium herbarum (Togue et al. 2011),
antibakteri sebagai alternatif pengganti obat yang resisten terhadap Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhi
(Adeshina et al. 2001). Bawang merah yang diisolasi hingga mengandung polifenol
68% dapat menghambat aktivitas enzim xantin oksidase hingga lebih dari 90%.
Xantin oksidase adalah enzim stres oksidatif yang dapat mengakibatkan
hiperurecemia (gangguan sistem urine), hipertensi dan artitis (Ouyang et al. 2017).
37

Kandungan komponen fenolik dan flavonoid pada bawang merah


tergantung pada lapisan kulit bawang. Semakin luar lapisan kulit bawang, maka
semakin tinggi kandungan total fenolik dan flavonoid. Demikian pula kemampuan
bioaktif antioksidan pada setiap lapisan kulit bawang merah, semakin luar lapisan,
semakin tinggi kemampuan antioksidannya. Komponen fenolik utama pada
bawang merah yang terdeteksi menggunakan HPLC antara lain asam galat, asam
ferulik, dan quersetin (Cheng et al. 2013).

Kemampuan ekstrak berbagai bawang menghambat aktivitas enzim PPO


Kemampuan penghambatan aktivitas enzim PPO oleh ekstrak berbagai jenis
bawang dari yang terkecil hingga terbesar berturut-turut adalah oleh ekstrak
bawang putih; bawang daun; bawang lokio; bawang bombay dan bawang merah.
Ekstrak bawang merah mempunyai kemampuan menghambat aktivitas enzim PPO
paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak bawang lainnya yaitu sebesar 69.
78+1.91 %. Persentase penghambatan aktivitas enzim PPO oleh ekstrak berbagai
jenis bawang pada penelitian ini disajikan pada Gambar 15. Hasil ini mendukung
penelitian (Yapi et al. 2015), dimana bawang merah yang dihaluskan kemudian
ditambahkan air 1:1 dan supernatannya diujikan pada enzim PPO dari kentang,
dapat menghambat aktivitas enzim PPO lebih tinggi dibandingkan dengan spesies
Allium spp. lainnya seperti bawang putih, bawang daun, bawang kuning, bawang
bombay.
Tingginya aktivitas penghambatan enzim PPO oleh ekstrak bawang merah
kemungkinan karena perbedaan komponen kimia dan kemampuan bioaktif
antioksidan dari tanaman tersebut. Soto et al. (2016) yang melaporkan bahwa
bawang putih dan bawang merah mempunyai kemampuan antioksidan yang kuat.
Namun kandungan komposisi kimia penyebab kedua jenis bawang mempunyai
kemampuan antioksidan yang kuat, berbeda. Bawang putih mempunyai kandungan
senyawa organosulfur yang tinggi dan bawang merah mempunyai kandungan
polifenol yang tinggi, tetapi bawang putih mempunyai kemampuan anti-blackspot
yang rendah. Kemungkinan kemampuan antioksidan pada bawang putih
disebabkan oleh senyawa organosulfur, dan kemampuan antioksidan bawang
merah karena kandungan senyawa polifenolnya. Penelititan ini menyimpulkan
bahwa komponen antioksidan tidak semua mempunyai kemampuan anti-blackspot,
tetapi komponen yang beran sebagai anti-blackspot mempunyai kemampuan
antioksidan yang kuat, salah satu jenis senyawa yang berperan tersebut adalah
senyawa polifenol seperti jenis flavonoid.
Aktivitas penghambatan enzim PPO oleh ekstrak metanol bawang merah
pada penelitian ini, lebih tinggi dibandingkan ekstrak air bawang merah terhadap
enzim PPO dari terong “birgah” (Solanum melongena L.) yaitu sebesar 54.2%
(Barbagallo et al. 2012). Perbedaan pelarut dalam ekstraksi bawang merah
menghasilkan komposisi kimia yang berbeda sehingga menghasilkan kemampuan
aktivitas bioaktif yang berbeda (Senapati et al. 2017). Penelitian sejenis namun
menggunakan ekstrak komersial, dilakukan oleh Vazquez-Armenta et al. (2014)
yaitu menggunakan minyak bawang merah (onion essential oil=OEO) komersial
dengan konsentrasi 0.5 mg/mL dapat menghambat enzim PPO dari kentang sebesar
39 %. OEO ini mengandung senyawa sulfit seperti dipropil disulfit (60.4% b/b),
dipropil trisulfide (17.1%), metil propil disulfit (7.05%), dimetil trisulfit (1.14%),
dimetil tetrasulfit (0.46%), dan isopropil disulfit (0.31%).
38

Gambar 15 Persentase penghambatan aktivitas enzim PPO yang diberi berbagai


ekstrak bawang-bawangan. Perbedaan huruf menunjukkan adanya
perbedaan nyata (p<0.05).

Analisis korelasi antara kemampuan penghambatan enzim PPO dan


konsentrasi flavonoid dan fenolik pada kelima bawang-bawangan disajikan
menggunakan rumus regresi linear. Gambar 16 menunjukkan dua garis yang
mengkorelasikan antara konsentrasi flavonoid dan polifenol pada sumbu Y dan
aktivitas penghambatan enzim PPO (%) pada sumbu X. Hasil analisa regresi liner
menunjukkan semakin tinggi konsentrasi senyawa flavonoid dan polifenol maka
semakin tinggi pula aktivitas penghambatan enzim PPO. Penghambatan aktivitas
enzim PPO berkorelasi dengan konsentrasi flavonoid dan polifenol dimana
koefisien korelasi R2>0.5. Namun koefisien korelasi penghambatan enzim PPO
oleh flavonoid mempunyai nilai yang lebih tinggi yaitu dengan nilai R² = 0.8681
dibandingkan koefisien korelasi penghambatan enzim PPO oleh polifenol yaitu
sebesar R² = 0.7499. Perbedaan nilai koefisien korelasi dimana R2 untuk total
flavonoid lebih tinggi dibandingkan nilai R2 senyawa polifemnol terhadap aktivitas
penghambatan enzim PPO, menunjukkan bahwa komponen yang lebih berperan
dalam penghambatan enzim PPO adalah jenis flavonoid dibandingkan jenis
polifenol.
Penelitian yang dilakukan oleh Roldan (2008) melaporkan bahwa ekstrak
metanol bawang merah mempunyai kemampuan anti-browning dan antioksidan.
Ekstrak ini mempunyai komposisi kimia fenolik dan flavonoid yang tinggi. Sifat
komponen ini adalah stabil kemampuan bioaktif dan strukturnya pada suhu dingin
dan suhu panas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa komponen fenolik dan
flavonoid pada bawang merah diduga sebagai senyawa yang bertanggung jawab
terhadap kemampuan anti-browning tersebut.
39

Gambar 16 Korelasi aktivitas penghambatan enzim PPO dengan konsentrasi


flavonoid dan fenolik ekstrak bawang-bawangan

Efektivitas ekstrak berbagai jenis bawang pada pembentukan blackspot


udang vaname
Aplikasi ekstrak berbagai jenis bawang pada udang vaname, menunjukkan
perbedaan kontrol dengan perlakuan ekstrak bawang yang dapat dilihat pada
Gambar 17. Secara umum pembentukan blackspot terus berlangsung sejak hari
kedua penyimpanan suhu 0 oC, yang ditandai dengan meningkatnya nilai melanosis
pada keseluruhan sampel. Penyimpanan hari ke-10, kontrol berupa udang tanpa
ekstrak telah sempurna mengalami melanosis pada bagian kaki, ekor dan kepala
udang sehingga nilai melanosisnya mencapai 10. Perendaman udang dalam ekstrak
bawang dapat memperlambat proses melanosis. Perendaman menggunakan ekstrak
bawang merah mencapai nilai melanosis 5.1±0.8, dimana pada bagian kepala dan
kaki udang melanosis belum terjadi secara sempurna, demikian pula pada bagian
ekor melanosis masih sedikit terjadi. Pada kontrol menggunakan bahan kimia anti-
blackspot komersial yaitu sodium metabisulfit (SMS) 1.25 % nilai melanosisnya
adalah 5.0±0.8, menunjukkan bahwa nilai melanosis ini tidak berbeda nyata dengan
perendaman udang dalam ekstrak bawang merah.
Penelitian yang dilakukan oleh Zamorano et al. (2008) melaporkan
pembentukan blackspot udang Parapenaeus longirostris pada mulanya terjadi pada
bagian kepala, selanjutnya bagian ekor, kemudian kaki dan akan sempurna ketika
terjadi pada bagian punggung. Kecepatan pembentukan blacskpot pada bagian
tubuh udang tersebut dipengaruhi oleh keberadaan enzim PPO. Aktivitas enzim
PPO tertinggi terdapat pada bagian karapas diikuti oleh bagian eksoskeleton perut
(abdomen), bagian kepala (cephalotorax), bagian kaki belakang (pleopods) dan
ekor (telson). Tidak ditemukan aktivitas enzim PPO pada daging perut (abdomen
muscle) dan kaki depan (pereopods) dan kaki panjang (maxillipeds). Pembentukan
blackspot memerlukan inisiasi dari bagian kepala udang.
40

Bawang putih

Daun bawang

Bawang merah

Bawang bombay

Bawang lokio

Sodium
Metabisulfit

Kontrol

Hari ke-0 Hari ke-4 Hari ke-6 Hari ke-8 Hari ke-10

Gambar 17 Pembentukan blackspot pada udang vaname yang diberi ekstrak


berbagai jenis bawang dan sodium metabisulfit disimpan pada suhu 0
o
C selama 10 hari.
41

10
9
8 Bawang putih

Nilai melanosis
7 Daun bawang
6
5 Bawang merah
4 Bawang bombay
3 Bawang lokio
2
1 Sodium metabisulfit
0 Kontrol
0 2 4 6 8 10
Waktu penyimpanan hari ke-

Gambar 18 Grafik laju melanosis udang vaname yang diberi ekstrak berbagai jenis
bawang disimpan pada suhu 0 oC selama 10 hari.

Warna coklat adalah kombinasi dari ketiga indikator warna tersebut dan
dirumuskan menjadi indeks pencoklatan (indeks browning) (Palou et al. 1999).
Gambar 19 menunjukkan nilai indeks browning meningkat pada keseluruhan udang
baik dengan perlakuan maupun kontrol. Peningkatan nilai indeks browning ini
karena terjadinya penurunan nilai L dan penurunan nilai a, dan kenaikan nilai b.
Semakin rendah nilai L maka semakin gelap warna sampel. Semakin rendah nilai a
maka semakin membentuk warna merah. Nilai b semakin meningkat karena
semakin terbentuk warna kuning. Indeks browning udang yang direndam dalam
ekstrak berbagai jenis bawang dan sodium metabisulfit menunjukkan terjadinya
kenaikan. Udang yang direndam dalam ekstrak bawang merah mempunyai nilai
indeks browning yang terendah yaitu 16.76±0.94, dibandingkan ekstrak bawang
lainnya dan sodium metabisulfit pada penyimpanan hari ke-10 suhu 0 oC.
Pengamatan perubahan warna menggunakan alat chromameter
menghasilkan warna L* (keterangan lightness), a*(kemerahan redness) dan
b*(kekuningan yellowness). Pada penelitian ini perlakuan ekstrak bawang-
bawangan dan sodium metabisulfit secara umum dapat menurunkan nilai warna L*
dan a*, meningkatkan nilai b*. Semakin rendah nilai L* maka semakin gelap warna
sampel. Semakin rendah nilai a* maka semakin membentuk warna biru. Warna
coklat adalah kombinasi dari ketiga indikator warna tersebut dan dirumuskan
menjadi indeks pencoklatan (Browning index= BI) (Palou et al. 1999).
Nilai indeks pencoklatan udang yang direndam dalam ekstrak bawang-
bawangan dan sodium metabisulfit menunjukkan terjadinya kenaikan. Pada
penyimpanan hari ke-10, nilai BI terendah adalah udang yang direndam dalam
larutan sodium metabisulfit. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan perendaman
menggunakan ekstrak bawang merah. Nilai BI dari yang terendah hingga tertinggi
selanjutnya berturut-turut adalah ekstrak bawang bombay; ekstrak bawang daun;
ekstrak bawang putih dan kontrol. Perbedaan kenaikan nilai BI terjadi pada
penambahan ekstrak bawang merah pada terong (Solanum melongena L.)
(Barbagallo dan Riggy 2012); perlakuan panas dan penambahan asam askorbat
pada potongan buah apel (Malus domestica Borkh) (Javdani et al. 2013). Grafik
kenaikan nilai BI disajikan pada Gambar 19.
42

Kenaikan nilai b* diduga akibat oksidasi lipid pada udang mengakibatkan


perubahan warna kekuningan yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai b* walaupun
udang disimpan pada suhu dingin -15 oC hingga -5 oC (Tsironi et al. 2009). Hal
yang sama juga terjadi pada sotong (cuttlefish) yang disimpan pada suhu 0-37 oC
(Thanonkaew et al. 2007). Kenaikan nilai b* sama seperti penelitian yang dilakukan
oleh (Moawad et al. 2013) pada udang laut putih (Penaeus spp.) yang direndam
dalam trisodium fosfat. Penambahan EDTA pada udang (Litopenaeus vannamei)
dapat menurunkan nilai b* (Teerawut dan Pratumchart 2014).
Kenaikan indeks browning pada hari ke 0-4 secara umum berlangsung
lambat, namun setelah itu berlangsung cepat. Enzim PPO atau enzim tirosinase
mempunyai substrat L-tirosin, yaitu substrat monofenolik yang utama pada hewan.
Tirosin adalah monohidroksil fenol. Reaksi hidroksilasi tirosin oleh enzim PPO
membentuk dihidroksilfenilalanin (DOPA). Reaksi hidroksilasi monofenol ini
berlangsung lambat dibandingkan reaksi oksidasi difenol menjadi quinon). Quinon
adalah senyawa yang sangat reaktif, dan dapat membentuk polimer secara spontan
menjadi komponen dengan berat molekul besar yaitu melanin/blackspot, bereaksi
dengan asam amino dan protein membentuk warna coklat (Kim et al. 2002).

(A) (B)

(C) (D)
Gambar 19 Grafik perubahan (A) nilai L*, (B) nilai a*, (C) nilai b*, (D) nilai
pencoklatan (Browning Index) udang vaname diberi ekstrak bawang
disimpan pada suhu 0 oC selama 10 hari. Keterangan:
43

Penentuan Mekanisme Penghambatan Enzim PPO oleh


Ekstrak Bawang Terpilih

Hasil penelitian Tahap 1 adalah ekstrak bawang merah menghambat aktivitas


enzim PPO tertinggi dibandingkan ekstrak bawang lainnya. Ekstrak bawang merah
selanjutnya difraksinasi menggunakan pelarut yang berbeda polaritasnya dan
ditentukan fraksi pelarut terbaik yang mampu menghambat aktivitas enzim PPO
paling tinggi. Fraksinasi bertujuan untuk mengumpulkan senyawa yang berperan
menghambat enzim PPO dan mengurangi komponen-komponen yang kurang
berperan berdasarkan kelarutan dalam senyawa polar atau nonpolar sehingga
diharapkan dapat dipisahkan fraksi yang mempunyai kemampuan menghambat
aktivitas enzim PPO tertinggi. Fraksi terbaik tersebut selanjutnya digunakan untuk
penelitian tahap 2 yaitu menduga mekanisme bawang merah menghambat enzim
PPO dan penelitian tahap 3 yaitu mengidentifikasi komponen aktifnya. Fraksi
bawang terpilih ditentukan dugaan mekanisme penghambatannya berdasarkan
kinetika reaksi enzim PPO dengan keberadaan inhibitor fraksi bawang terpilih dan
running elektroforesis serta scanning perubahan spektrum puncak panjang
gelombang keberadaan ekstrak dan logam Cu2+.

Fraksinasi ekstrak bawang merah dengan pelarut yang berbeda


Hasil penelitian memperlihatkan fraksi etil asetat bawang merah,
selanjutnya disebut dengan ethyl asetate fraction (EAF), menghambat aktivitas
enzim PPO paling tinggi dibandingkan dengan fraksi bawang merah menggunakan
pelarut heksana, kloroform dan air, berturut-turut sebesar 90.33 ± 0.93; 60.13 ±
0.78; 52.97 ± 0.34; 47.09 ± 0.90. Perbedaan kemampuan penghambatan aktivitas
enzim PPO ini diduga karena perbedaan jenis pelarut yang digunakan pada proses
ekstraksi dan fraksinasi. Perbedaan pelarut pada proses tersebut mengakibatkan
komponen fitokimia yang diperoleh berbeda sehingga kemampuan dalam
menghambat aktivitas enzim PPO menjadi beda. Perbedaan pelarut dapat
mengakibatkan perbedaan kemampuan bioaktif ekstrak bhan alam (Sri Widyawati
et al. (2014); Singh et al. (2017)). Penyebab lain, kemungkinan karena perbedaan
suhu ekstraksi (Sharif et al. (2010); Zaidi et al. (2014)), dan perbedaan warna
bawang merah (Cheng et al. 2013a), perbedaan konsentrasi pelarut dan lama waktu
ekstraksi dan fraksinansi (Viera et al. 2017). Aktivitas penghambatan fraksi bawang
merah pada berbagai pelarut untuk fraksinasi disajikan pada Gambar 20.
EAF tersebut memiliki persen penghambatan aktivitas enzim PPO lebih
tinggi dibandingkan dengan ekstrak air bawang merah yang diteliti oleh (Roldan et
al. 2008). Ekstrak air bawang merah jenis ‘Recas’, dapat menghambat aktivitas
enzim PPO buah alpukat sebesar 89.71%. EAF juga mempunyai aktivitas
penghambatan enzim PPO lebih tinggi dibandingkan ekstrak bawang yang diteliti
oleh (Barbagallo et al. 2012), dimana jus bawang merah yang dipanaskan
mempunyai aktivitas anti-browning dengan menghambat aktivitas enzim PPO dari
terong 'Birgah' sebesar 54.2%.
44

100.00 90.33±5.04d

Penghambatan aktivitas PPO (%)


90.00
80.00
70.00 60.13±2.20c
52.97±6.16b
60.00
47.09±1.34a
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Air Heksana Etil asetat Kloroform
Jenis pelarut untuk fraksinasi

Gambar 20 Penghambatan enzim PPO oleh fraksi bawang merah dan jenis pelarut
yang digunakan dalam fraksinasi.

Konsentrasi fraksi bawang merah yang digunakan pada uji aktivitas


penghambatan enzim PPO lebih rendah dibandingkan konsentrasi ekstrak bawang
merah, namun pada fraksi bawang merah dengan pelarut etil asetat, mempunyai
persen penghambatan enzim PPO lebih tinggi dibandingkan ekstrak. Konsentrasi
fraksi bawang yang digunakan adalah 1 mg/mL dan konsentrasi yang digunakan
oleh ekstrak adalah 100 mg/mL. Penggunaan dua pelarut yang berbeda polaritasnya
(binary) seperti metanol dan air dengan perbandingan tertentu (70%) dapat
mengekstrak komponen fenolik dan flavonoid yang lebih banyak, dibandingkan
pengguan pelarut tunggal (Singh et al. 2017).
Mekanisme mengendalikan proses melanosis atau browning adalah
mengendalikan komponen-komponen: oksigen, enzim, Cu atau substrat.
Pengendalian reaksi browning enzimatis pada bahan pangan diklasifikasikan
sebagai mekanisme penghambatan sebagai agen pereduksi, agen pengkhelat,
asidulan, inhibitor enzim, treatment enzim dan agen pengkompleks enzim (Queiroz
et al. 2008).
Pengendalian blackspot atau browning dilakukan dengan bahan tambahan
pangan. Beberapa bahan tambahan pangan yang umum digunakan untuk bahan
anti-browning pada produk pangan segar adalah senyawa sulfur trisodiumfosfat
(TSP) (Na3PO4) (Moawad et al. 2013), asam askorbat atau vitamin C (Rojas-Graü
et al. 2008), 4-heksilresorsinol (4-HR) (Montero et al. 2004), asam kojik (Neeley
et al. 2009), serta garam sodium klorida (NaCl) (Ana et al. 2016). Asam karboksilat
aromatis seperti asam benzoat dan asam senamika adalah inhibitor PPO yang
strukturnya menyerupai substrat fenolik. Mekanisme penghambatannya
berdasarkan mekanisme substrat kompetitif (Chang 2009). Selain itu, komponen
fenolik mempunyai kemampuan menangkap spesies oksigen reaktif dengan cara
mendonasikan elektronnya. Efektivitas antioksidan tergantung kepada stabilitas
dari sistem yang berbeda, seperti jumlah dan letak dari gugus hidroksi.
45

Penentuan konsentrasi optimal EAF bawang merah menghambat enzim PPO


Semakin tinggi konsentrasi fraksi bawang merah yang ditambahkan, maka
semakin tinggi aktivitas penghambatan enzim PPO. Pemberian EAF hingga 1
mg/mL dapat menghambat aktivitas enzim PPO dengan cepat. Namun pemberian
ekstrak lebih dari 1 mg/mL menghasilkan penghambatan aktivitas enzim PPO yang
tidak jauh berbeda yaitu antara 73-77%.
Kemampuan EAF bawang merah yang relatif tetap pada konsentrasi 1-10
mg/L ini menunjukkan konsentrasi efektif ekstrak bawang merah pada konsentrasi
1 mg/mL. Kemungkinan struktur dari senyawa inhibitor PPO yang terdapat pada
EAF bawang merah bersifat stabil. Sodium klorid mempunyai struktur yang stabil
dalam menghambat enzim PPO (He et al. 2008). Namun salidrose mengalami
penurunan kemampuan menghambat enzim PPO seiring dengan peningkatan
konsentrasi salidrosid yang ditambahkan pada enzim PPO, dugaan penurunan ini
karena struktur fenolik salidrose tidak stabil (Zhu et al. 2014). Kestabilan struktur
fenolik berhubungan dengan suasana larutan seperti pH (Friedman dan Hella S.
2000), temperatur penyimpanan (Parisa et al. 2007), metoda ekstraksi dilanjutkan
dengan fraksinasi menghasilkan komponen fenolik yang lebih stabil dibandingkan
ekstraksi tanpa fraksinasi. Komponen fenolik yang stabil juga dihasilkan dari
penentuan lama waktu ekstraksi yang tepat (Dent et al. 2013). Gambar 21
menunjukkan konsentrasi EAF yang bawang merah menghambat aktivitas enzim
PPO.

Gambar 21 Berbagai konsentrasi EAF bawang merah (mg/mL) menghambat


aktivitas enzim PPO (%)

Kinetika reaksi EAF bawang merah menghambat aktivitas enzim PPO


Jenis penghambatan enzim PPO oleh fraksi etil asetat bawang merah (EAF)
dipelajari dengan menghubungkan kecepatan reaksi enzim PPO dengan EAF dan
konsentrasi enzim PPO pada berbagai konsentrasi EAF bawang merah.
Peningkatan konsentrasi inhibitor EAF bawang merah dapat menurunkan slope V
vs konsentrasi enzim PPO, sehingga dapat disimpulkan bahwa EAF bawang merah
menghambat enzim PPO secara reversible dengan substrat L-DOPA, disajikan pada
Gambar 22. Pada umumnya ekstrak bahan alam berlaku sebagai inhibitor yang
bersifat reversible. Enzim PPO mempunyai afinitas yang lebih tinggi pada substrat
46

L-isomer seperti L-DOPA, dibandingkan dengan D-isomer dan mempunyai


substrat spesifik yang beragam (Loizzo et al. 2012).

Gambar 22 Kecepatan reaksi EAF bawang merah dengan enzim PPO vs


konsentrasi enzim PPO pada berbagai konsentrasi EAF bawang
merah (mg/mL).

Penentuan jenis penghambatan enzim PPO oleh EAF dianalisis


menggunakan plot Lineweaver-Burk. Gambar 22 memperlihatkan semakin tinggi
konsentrasi EAF yang ditambahkan pada reaksi enzim PPO dengan substrat L-
DOPA, maka nilai Km semakin lebih tinggi dibandingkan dengan reaksi enzim
PPO dengan substrat tanpa EAF. Berturut-turut nilai Km pada konsentrasi EAF
yang ditambahkan (0; 0.25; 0.5; 1 mg/mL) yaitu 0.244; 0.956; 1.481; 2.106 mM.
Km adalah tetapan Michaelis-Menten adalah konsentrasi substrat tertentu pada saat
enzim mencapai setengah kecepatan maksimumnya. Kecepatan maksimum atau V
maksimum pada penelitian ini adalah 0.0164 mM-1 min, nilai ini tidak berubah
ketika konsentrasi EAF ditambahkan berubah. Artinya, konsentrasi substrat
maksimum tertinggi (V maks) yang akan mendesak penghambat ini dari sisi aktif
enzim PPO. Dari grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa EAF bawang merah
mempunyai jenis penghambatan kompetitif.
Penentuan nilai konstanta penghambatan KI untuk jenis penghambatan
kompetitif menggunakan persamaan Kmapp = Km [1 + ([I]/Ki)], dimana Kmapp
adalah nilai Km semu. Adanya penambahan fraksi EAF mengakibatkan terjadinya
perubahan nilai Km karena adanya penghambatan aktivitas enzim PPO, sehingga
konstanta Michaelis Menten diplotkan kembali. Konstanta kesetimbangan ikatan
inhibitor EAF bawang merah dengan enzim bebas, KI, diperoleh dengan cara
membuat plot antara konstanta Michaelis-Menten (Kmapp) dengan konsentrasi EAF
bawang merah [inhibitor] membentuk garis yang linear seperti terlihat pada
Gambar 23.
47

Gambar 23 Plot Lineweaver–Burk reaksi L-DOPA dengan enzim PPO pada


berbagai konsentrasi inhibitor EAF bawang merah pada suhu 45 °C,
pH 6.0.

Penentuan nilai KI dapat diperoleh dengan menghitung slope dan intercept


persamaan garis Km app
Kmapp = Km{1+([I]/KI)}
Kmapp = Km + Km.[I]
KI
Y = a + b.X, dimana a = Km, b = Km/KI

Nilai konstanta Km adalah 0.4038 mM dan Km/KI adalah 1.8129, maka nilai KI
adalah 0.4038 mM/1.8129 atau 0.222 mM. Penghambatan EAF bawang merah
bersifat kompetitif dimana grup hydroksil berikatan dengan sisi aktif enzim PPO,
membentuk steric hindrance atau perubahan konformasi enzim (Taherkhani dan
Gheibi 2014). Inhibitor menyebabkan Nilai Km’ menjadi lebih besar dari nilai Km
semula. Nilai KI menunjukkan afinitas enzim terhadap substrat, dimana semakin
besar nilai Km, maka afinitas enzim semakin berkurang. Inhibitor mengakibatkan
enzim akan mampu mencapai kecepatan maksimum normalnya tetapi memerlukan
waktu yang lama, atau memerlukan konsentrasi substrat yang lebih banyak (Gacche
et al. 2006).
48

Gambar 24 Plot bilangan Michaelis-Menten (Km app) dan konsentrasi fraksi EAF
bawang merah ([inhibitor EAF]) untuk menentukan bilangan KI.
Beberapa senyawa dari ekstrak tanaman diketahui mempunyai aktivitas
penghambatan anti-browning kompetitif antara lain salidrosid, senyawa jenis
flavonoid yang ditemukan pada tanaman walnut Rhodiola rosea (Zhu et al. 2014),
katekin dari greentea (Sae-Leaw et a. 2017). Dugaan mekanisme penghambatan
anti-browning ekstrak air berbagai jenis bawang pada enzim PPO dari umbi edible
yam (Dioscorea cayenensis-rotundata cv. Kponan) antara lain penghambatan non
kompetitif (ekstrak bawang merah); kompetitif (ekstrak bawang bombay);
unkompetitif (ekstrak bawang putih) (Yapi et al. 2015).

Elektroforesis EAF bawang merah menghambat enzim PPO


Penggunan Native polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) untuk
menguji kemampuan fraksi EAF menghambat aktivitas enzim PPO pada enzim
PPO setelah diinkubasi dengan EAF bawang merah dapat dilihat pada Gambar 25.
Native PAGE ini merupakan sistem elektroforesis tanpa menggunakan sodium
dodesil sulfat (SDS). Penggunaaan SDS biasanya untuk denaturasi protein enzim
dan reduksi pada sistem buffer aktivitas enzim PPO, digunakan untuk penelitian
penentuan berat molekul, dimana pergerakan molekul protein enzim pada sistem
elektroforesis berdasarkan berat molekul protein. Pada sistem native-PAGE, enzim
bergerak berdasarkan muatan protein dan ukuran hydrodinamiknya. Muatan
elektrik pada sistem elektroforesis tergantung pada komposisi asam amino pada pH
running buffer sistem. Native PAGE bermanfaat untuk mempelajari kemampuan
fungsional enzim seperti mengetahui pengaruh inhibitor enzim (Nowakowski et al.
2015).
Nilai Rf enzim PPO pada penelitian ini sebesar 0.44 seperti yang
teridentifikasi pada penelitian yang dilaporkan oleh He et al. (2008). Artinya enzim
PPO yang digunakan pada penelitian identik sama dengan enzim yang digunakan
pada penelitian He et al. (2008) tersebut. Rf adalah jarak migrasi enzim dibagi
dengan panjang gel elektroforesis. Pada komposisi gel yang sama dan lama waktu
running elektroforesis, maka enzim PPO yang sama mempunyai nilai Rf yang sama
(Mathews et al. 1983). Pada penelitian ini sumber enzim sama dengan sumber
49

enzim komersial tirosinase dari Merck, yang juga digunakan pada penelitian
sebelumnya yaitu He et al. (2008).
Adanya EAF nampak pengaruhnya pada enzim tersebut dari terbentuknya
warna gelap. EAF bawang merah secara kualitatif dan meyakinkan dapat
menghambat pembentukan melanin, EAF berikatan dengan enzim bebas sehingga
enzim PPO bebas tidak dapat berikatan dengan substrat L-DOPA dan tidak
terbentuk warna gelap. Peningkatan konsentrasi EAF bawang merah dari 0-10 maka
pita gelap terihat semakin menipis, dan penghambatan yang kuat terlihat pada
inkubasi enzim PPO dengan EAF bawang merah dengan konsentrasi 10 mg/mL,
membentu pita paling tipis, seperti pada pemberian SMS 1.25 mg/mL, dapat dilihat
pada Gambar 25.
1 2 3 4 5

Rf= 0.44

Gambar 25 Native PAGE enzim PPO setelah diinkubasi selama 30 min dengan
EAF bawang merah. Konsentrasi EAF bawang merah adalah pada
(1), (2), (3), (4) berturut-turut 10; 5; 1; 0 mg/mL dan (5) 1.25
mg/mL SMS. Substrat yang digunakan adalah L-DOPA.

Scanning panjang gelombang pada EAF bawang merah


Penentuan kemampuan EAF untuk bereaksi dengan L-DOPA dan bereaksi
dengan Cu sebagai penghelat logam dipelajari menggunakan scanning spektrum
panjang gelombang sinar UV-Vis spektrofotometer. Hasil scanning EAF bawang
merah dengan enzim PPO dan L-DOPA dapat dilihat pada Gambar 26. Pada
panjang gelombang 250 nm terjadi perubahan absorban pada ketiga spektrum (L-
DOPA; EAF+PPO+L-DOPA; PPO+L-DOPA), menunjukkan konsentrasi L-DOPA
yang berkurang, membentuk produk baru. Penambahan EAF dapat mengurangi
pembentukan produk baru, dan tanpa adanya EAF pembentukan produk baru
terbentuk sempurna pada waktu yang sama yaitu 3 menit.
Scanning panjang gelombang untuk mendeteksi reaksi EAF bawang merah
dengan logam Cu. Gambar 28 memperlihatkan hasil scanning menunjukkann
terjadinya reaksi EAF bawang merah dengan logam Cu, dimana terjadi pergeseran
spektrum absorban pada panjang gelombang 390 nm menjadi 440 nm, sehingga
selain berlaku sebagai inhibitor kompetitif, EAF bawang merah juga dapat berlaku
menghelat logam sehingga efektif menghambat aktivitas enzim PPO, dimana pada
sisi aktif enzim PPO mengandung logam Cu. Komponen flavonoid dapat berperan
sebagai antioksidan antiradikal Cu, Fe dan Zn (Cherrak et al. 2016). Fenomena
bahan alam yang mengandung komponen fenolik atau flavonoid, selain mempunyai
kemampuan mencegah oksidasi secara enzimatis juga mempunyai kemampuan
mengkhelat logam (Tan dan Yong. 2013).
50

Gambar 26 Scanning spektrum panjang gelombang reaksi L-DOPA, EAF bawang


merah+PPO+L-DOPA dan PPO+L-DOPA

EAF bawang merah dapat berfungsi sebagai metal chelator. Asam kojik
adalah inhibitor enzim PPO standar yang mempunyai fungsi dan mekansime
sebagai inhibitor kompetitif dan pengkhelat logam (metal chelator) (Hashemi dan
Emami 2015). Inhibitor PPO dengan mekanisme penghambatan kompetitif, dapat
berfungsi sebagai metal chelator, analog non-metabolit dan atau derivat dari
substrat sesungguhnya (Chen et al. 2017). Senyawa polifenol seperti sianidin
mempunyai tiga struktur grup yang menentukan kemampuan mengkhelat logam.
Pertama, struktur ortho-hidroksi pada cincin B, kemudian ikatan ganda 2, 3 pada
konjugasi dan 4 oksofungsi pada cincin C. Flavonoid membentuk kompleks dengan
ion Cu2+ pada 3- atau 5- hidroksil dan 4-ketosubstituent atau gugus hidroksil pada
posisi ortho di cincin B (Nimse dan Pal. 2015). Mekanisme senyawa flavonoid
dalam mengkhelat logam Cu pada sisi aktif enzim PPO adalah sebagai berikut:

Gambar 27 Mekanisme senyawa flavonoid mengkhelat logam (Nimse dan Pal


2015).
51

Gambar 28 Scanning spektrum panjang gelombang reaksi EAF dengan logam Cu

Identifikasi Profil Senyawa Menggunakan Pendekatan Metabolomik

Identifikasi senyawa aktif yang berperan dalam menghambat aktivitas


enzim PPO dilakukan dengan pendekatan metabolomik. Pendekatan metabolomik
dapat mempersingkat tahapan isolasi senyawa namun memerlukan analisis data
multivariate yang sesuai karena data yang besar dari hasil analisis senyawa
fraksinasi bawang merah sebagai sampel yang dipilih untuk diidentifikasi karena
aktivitas penghambatan enzim PPO yang paling tinggi. Hasil analisis 1H-NMR
berupa chemical shift setiap fraksi bawang merah (lima ulangan) digunakan untuk
menduga senyawa aktif. Selanjutnya dianalisis pada fraksi terbaik menggunakan
2D NMR sehingga dihasilkan data J-coupling constant. Gabungan data chemical
shift dan J-coupling constant mengerucut pada beberapa data saja sehingga dapat
diduga jenis senyawa aktif yang berperan dalam penghambatan enzim PPO.
Penentuan senyawa dari ekstrak bawang merah yang berperan dalam anti-
blackspot secara in vitro ditentukan menggunakan pendekatan metabolomik
memakai instrument NMR 1H dan 2D. Metabolomik bertujuan untuk menyediakan
data secara global jenis metabolit pada sel biologi atau cairan, sehingga dapat
digunakan untuk observasi awal untuk penelitian jenis metabolismenya. Data yang
dihasilkan berupa data yang besar sehingga memerlukan alat uji data multivariate
(MVA) seperti Orthogonal Projections to Latent Structures (OPLS). OPLS
digunakan untuk menginterpretasikan suatu data dengan menggabungkan data
menggunakan filter Orthogonal Signal Correction (OSC) menjadi model PLS,
memisahkan secara efektif pada variasi Y-predictive dari variasi Y-uncorrelated
pada sumbu X (Worley dan Powers 2015).
52

Gambar 29 Score plot OPLS empat fraksi bawang merah dan aktivitas
penghambatan enzim PPO (%): A (fraksi air), K (fraksi kloroform),
H (fraksi heksana), EA (fraksi etil asetat). Warna merah ke hitam
menunjukkan kemampuan fraksi semakin aktif.

Hasil score plot profil senyawa analisis 1H-NMR (X) dan aktivitas
penghambatan enzim PPO (Y) menggunakan OPLS menunjukkan pemisahan yang
baik antara fraksi dengan aktivitas rendah dan fraksi dengan aktivitas tinggi
(Gambar 29). OPLS memisahkan fraksi aktif pada kuadran 1 dan fraksi kurang aktif
pada kuadran 2 dan semakin kurang aktif pada kuadran 3 dan 4. OPLS dapat
digunakan lebih lanjut untuk mengidentifikasi gugus fungsi senyawa aktif.
Ketepatan model OPLS dapat dilihat dari nilai R2Y pada model ini yang
mempunyai nilai >0.5 yaitu sebesar 0.92 sedangkan nilai Q2Y sebesar 0.76. Model
data metabolomik tidak diterima nilai distribusi Q2 < 0 atau nilai rata-rata
klasifikasi (Q2(cum) < 0.05 dan > 2. Model kuat jika Q2 > 40% dan R2 > 50%,
tetapi nilai ini memerlukan konfirmasi kondisi bioaktivitas (Blasco et al. 2015).
Penelitian Hu et al. (2015) menggunakan pendekatan metoda metabolomik
menggunakan Proton nuclear magnetic resonance spectroscopy secara
berpasangan yaitu 1HNMR dan 1H-1H COSY. Data yang diperoleh dianalisis
dengan multivariate analysis (1H NMR- PCA/PLS-DA) mempunyai nilai R2X =
0.737, R2Y = 0.991, Q2 = 0.958. Pendekatan ini selain untuk menentukan fraksi
dan jenis senyawa aktif, dapat digunakan untuk membedakan kultivar anggur yang
digunakan produk minuman dari anggur. Penelitian ini tanpa memurnikan
(mengisolasi) minuman anggur, dan menggunakan empat ulangan untuk
mengidentifikasi perbedaan metabolit dan jenis kultivar anggur V. vinifera L.
Faktor genotip berhubungan dengan jenis metabolit yang dihasilkan, sehingga
dapat dibedakan jenis kultivar anggur walaupun ditanam pada lingkungan yang
berbeda.
53

Senyawa aktif

Senyawa tidak aktif

Gambar 30 S-plot orthogonal partial least-squares discriminant analysis (OPLS-


DA) chemical shift keseluruhan fraksi pelarut bawang merah. Titik
pada lingkaran merah merupakan chemical shift yang aktif
menghambat aktivitas enzim PPO tinggi.

Penentuan senyawa aktif dari sinyal aktif yang ditampilkan pada Gambar
30, menunjukkan beberapa area puncak berkorelasi positif dengan aktivitas
penghambatan enzim PPO, yang ditunjukkan pada nilai chemical shift (ppm) 1H-
NMR. Lokasi fraksi aktif di kuadran 1 pada Gambar 29 bersesuain dengan sebaran
s-plot chemical shift fraksi pada Gambar 30. Chemical shift senyawa yang tidak
berperan akan berkumpul pada kuadran 2, 3 dan 4, dimana semakin kurang aktif
suatu senyawa yang ditunjukkan pada nilai chemical shift, maka berada pada
kuadran 4.
OPLS mengorelasikan dua jenis data matriks, yaitu data berupa komposisi
kimia sampel (X) dan data penghambatan aktivitas enzim PPO sampel (Y).
Terdapat keluaran OPLS diantaranya score plot, plot Y-related coefficient dan plot
variable influence on projection (VIP). Identifikasi gugus fungsi senyawa aktif, plot
VIP digunakan sebagai parameter sinyal x penting terhadap data Y sedangkan plot
Y-related coefficient digunakan guna mempelajari sinyal yang berkorelasi positif
dengan mariks data Y (bioaktivitas = persen penghambatan aktivitas enzim PPO).
VIP hanya memberikan nilai korelasi positif untuk semua sinyal sedangkan plot Y-
related coefficient dapat memberikan nilai korelasi baik positif dan negatif
(Eriksson et al. 2006). Sinyal aktif dipilih akan berkorelasi positif dan bernilai
VIP>0.5 (Juliani et al. 2016). Nilai spektrum chemical shift yang berkorelasi positif
ini dirangkum dalam Tabel 7 selanjutnya diidentifikasi komponen aktifnya dengan
menganalisis fraksi yang mempunyai aktitas penghambatan enzim PPO paling
tinggi yaitu fraksi etil asetat (EAF) menggunakan 2D NMR J-resolved. Gambar 31
adalah plot Y-related coeffiscient dan chemical shift fraksi etil asetat bawang merah
(EAF).
54

Senyawa aktif berkorelasi positif


Y related coeffisient >50%

Gambar 31 Profil plot Y-related coefficient dan nilai chemical shift fraksi etil
asetat bawang merah (EAF).
Telah teridentifikasi jenis chemical shift yang paling aktif menghambat
enzim PPO. Studi selanjutnya adalah menentukan secara komprehensif jenis
senyawa yang berperan tersebut menggunakan 2D NMR sehingga dapat dihindari
overlap interpretasi jenis senyawa. Tujuan dari analisis 2D NMR menentukaan
interaksi spin-spin yang memungkinkan transfer secata magnetis antar molekul
(Bingol et al. 2015). Spektroskopi J-resolved merupakan salah satu uji 2D NMR
yang mudah dan akurat dalam optimasi penentuan urutan pulse 2D. Double-Spin
Echo variant (DSE JRES) digunakan untuk mengurangi angka artifact akibat
coupling yang kuat. Supresi air dikurangi menggunakan WET diikuti oleh
presaturasi. WET digunakan agar gangguan akibat keberadaan air pada sampel atau
sistem tidak mengurangi sensitifitas alat dan hasil uji 2D NMR ini. Ukuran yang
diperoleh menggunakan deteksi single channel, seperti yang digunakan pada
homonuclear J-resolved. Coupling dikurangi terlebih dahulu, untuk pasangan
proton yang lebih kuat dapat digunakan sebagai data (Guennec 2015). Hal yeng
penting pada penggunaan spektra 2D dan 1H J-resolved. NMR adalah untuk
menetapkan besaran coupling constant (J) atom hidrogen dari sinyal 1H-NMR.
Demikian pula ketika metabolit yang dianalisis berada pada level rendah dan sinyal
sulit diamati menggunakan spektra 1H-NMR (Dona et al. 2016). Sinyal yang
tersebar pada analisis 2D NMR J-resolved pada sampel EAF ulangan 3 disajikan
pada Gambar 32.
55

66 4
2

5 3 1

Gambar 32 Spektrum 2D J-resolved NMR pada daerah frekuensi 500 MHz fraksi
etil asetat bawang merah (EAF). Sumbu X adalah chemical shift (nm)
dan sumbu Y adalah jarak coupling constant

Data hasil 1H dan 2D NMR berupa chemical shift, pola spin multiplet dan
J-coupling constants dari metabolit sampel EAF yang berperan pada penghambatan
enzim PPO dirangkum pada Tabel 7. Data tersebut dikompilasi dengan data yang
sama dari literatur khususnya untuk jenis tanaman yang sama, maka didapatkan
jenis-jenis senyawa yang berperan menghambat enzim PPO. Senyawa lain yang
diduga terdapat pada fraksi etil asetat bawang merah antara lain pada nilai chemical
shift +4.2-3.5 ppm namun tidak berperen dalam menghambat blackspot adalah
senyawa grup gula glikoprotein dan asam amino. Chemical shift 4.5-0.7 ppm
merupakan sinyal proton alifatik, 1.6 ppm adalah grup metilen, grup 6-8 ppm adalah
gugus aromatis atau senyawa fenolik (Budantsev et al. 2010).

Tabel 7 Spektrum data 1H 2D NMR fraksi etil asetat (EAF) bawang merah.
No. Chemical Splitting Metabolit
shift (ppm) Pattern (J)
1 6.16 d (J =2.5) Quersetin (Mohamed 2013)
6.37 d (J=2)
2 6.85 d (J=8) Kaempferol (Mohamed 2013)
3 7.61 d (J=10) Sianidin 3.4’-di-O-β-glukopiranosid (Fossen et al.
2003)
4 7.70 d (J=2) Quersetin 4 -O- β-D-glukopiranosid (Mohamed
2013)
5 7.73 d (J=2) sianidin 7-O-(3”-O-glukosil-6”-O-
malonil-b-glukopiranosid)-4’-O-b-glukopiranosid
(Fossen et al. 2003)
6 7.87 d (J=2) Sianidin 3-(6"-O-malonil) laminaribiosid'
(Terahara et al. 1994)
56

Hasil identifikasi senyawa menggunakan 1H-NMR yang diolah dengan


metoda OPLS dan 2D J-resolved NMR pada fraksi yang mempunyai penghambatan
aktivitas enzim PPO paling tinggi yaitu pada fraksi etil asetat (EAF), menghasilkan
senyawa aktif yang berperan adalah (1) quersetin; (2) kaempferol; (3) sianidin 3.4’-
di-O-β-glukopiranosid; (4) quersetin 4-O-β-D glukopiranosid; (5) sianidin 7-O-(3’-
O-glukosil-6”-O-malonil-β-glukopiranosid)-4-O-β-glukopirano-sid dan (6)
sianidin 3-(6"-O-malonil) laminaribiosid. Senyawa quersetin dan kaempferol
termasuk dalam golongan flavonoid, sejalan dengan hasil penelitian Tahap 1 yang
menyatakan bahwa komponen flavonoid lebih berkorelasi dengan kemampuan anti-
blackspot dibandingkan dengan komponen fenolik.
Komponen-komponen fenolik dan flavonoid bawang merah diidentifikasi
beberapa komponen tergantung jenis pelarutnya. Ekstrak air bawang merah
mengandung alkaloid, karbohidrat, gula reduksi, flavonoid, glikosida. Ekstrak
metanolnya mengandung tannin dan fenolic. Kedua ekstrak mengandung
komponen lain seperti saponin, asam amino, protein, terpenoid, steroid dan tidak
mengandung glukosida kardiak (Vandana dan Ramesh. 2017). Fraksi etil asetat
mengandung komponen fenolik/flavonoid yang tinggi, komponen aktif flavonoid
terdeteksi adalah jenis flavonol seperti: kaempferol, quersetin dan quersetin
glikosida (isoquercitrin, quercitrin dan rutin) (Olayeriju et al. 2015). Empat
komponen yang dapat diisolasi dari fraksi etil asetat bawang merah antara lain
kaempferol, quersetin, isorhamnetin dan isorhamentin-4`-O-β- D-glukopiranosida
(Abdel-Gawad et al. 2014).
Fossen et al. (2003) melaporkan isolasi ekstrak bawang merah
menggunakan metanol dan etil asetat secara bertingkat pada suhu 4 ˚C
teridentifikasi komponen minor antosianin seperti (1) sianidin 3-O-(3”-O- β -
glukopiranosil-6”-O-malonil- β -glukopiranosid)-4’-O- β -glukopiranosid; (2)
sianidin 7-O-(3”-O- β -glukopiranosil-6”-O-malonil- β -glukopiranosid)-4’-O-β-
glukopiranosid; (3) sianidin 3.4’-di-O- β -glukopiranosid; (4) sianidin 4’-O- β -
glukoside; (5) peonidin 3-O-(6”-O-malonil- β -glukopiranoside)-5-O- β -gluko-
piranoside dan (6) peonidin 3-O-(6”-O-malonil- β - glukopiranoside).
Bawang merah mengandung komponen fenolik dan flavonoid yang tinggi
dan kemampuan bioaktif antioksidan yang kuat (Csepregi et al. 2016). Ekstrak atau
fraksi hasil ekstraksi masih mempunyai kandungan komponen fitokimia yang
beragam. Keberadaan beberapa jenis polifenol pada bawang merah ini
kemungkinan dapat memberi efek sinergi dalam kemampuan bioaktif tersebut
(Hajimehdipoor et al. 2014; De Freitas et al. 2010). Senyawa tunggalnya
mempunyai kemampuan bioaktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak
tanamannya, seperti mimosine pada tanaman Leucaena leucocephala (Nirmal dan
Benjakul 2011). Quersetin dan kempferol secara in vitro diketahui mempunyai
kemampuan bioaktif anti-browning dan antioksidan (Taherkhani dan Gheibi 2014).
Namun belum ada penelitian mengenai pengaruh senyawa sianidin sebagai anti-
blackspot.
Quersetin adalah senyawa polifenol jenis flavonoid golongan flavonol
dengan rumus molekul C15H10O7 dan berat molekul 302.238 g/mol. Quersetin
mempunyai nama IUPAC 2-(3,4-dihidroksifenil)-3,5,7-trihidroksikhromen-4-one.
Kamferol mempunyai rumus molekul C15H10O6 dan berat molekul 286.236 g/mol
dan nama IUPAC 3,5,7-trihidroksi-2-(4-hidroksifenil)-4H-kromen-4-one. Sianidin
merupakan flavonoid golongan antosianin, mudah larut air dan mempunyai rumus
57

molekul C15H11O6 berat molekul 287.247 g/mol dan nama IUPAC 2-(3,4-
dihidroksifenil) khromenilium-3,5,7-triol, struktur molekul quersetin, kaempferol
dan sianidin disajikan pada Gambar 33.

(1) (2)

Flavonoid R1 R2 Antosianin (2) R1 R2


Quersetin OH H Sianidin H OH
Kaempferol H H

Gambar 33 Struktur molekul (1) quersetin dan kaempferol; (2) sianidin.


(Liu et al. 2014)

Quersetin, kaempferol dan sianidin di dalam fraksi bawang merah berperan


sebagai inhibitor PPO. Inhibitor PPO adalah senyawa atau kumpulan senyawa yang
ada secara alami, berperan untuk berikatan secara reversibel dan mengurangi
kapasitas katalitik enzim. Senyawa fenolik diketahui dapat berperan sebagai
substrat dan inhibitor PPO tergantung pada keberadaan dan posisi subsistent.
Contoh senyawa fenolik yang berperan sebagai substrat adalah tirosin, p-kresol,
asam galat, 3,4-dihidroksibenzaldehid pirogallol, asam klorogenik, asam kafeik, D-
DOPA, L-DOPA, pirokatakol, tertier butilkatekol, 4-metilkatekol (Mishra dan
Gautam 2016). Senyawa polifenol seperti flavonoid jenis quersetin dan kaempferol
mempunyai gugus fenol dan pirene, berperan sebagai inhibitor PPO (Chang 2009).
Reaksi senyawa polifenol (flavonoid) seperti quersetin, kaempferol dan sianidin
dalam menghambat pembentukan blackspot seperti digambarkan pada Gambar 34.
Quersetin, kamferol dan sianidin banyak ditemukan pada tanaman seperti
daun bawang (1497.5 mg/Kg quersetin, 391.0 mg/Kg luteolin, dan 832.0 mg/Kg
kaempferol), daun Semambu (2041.0 mg/Kg), cabai (1663.0 mg/Kg),teh hitam
(1491.0 mg/Kg), buah pepaya (1264.0 mg/Kg), dan jambu (1128.5 mg/Kg).
Sebagian besar quersetin yang ditemukan pada sayuran, terikat dengan gula dalam
bentuk glikosida sedangkan kaempferol ditemukan dalam jumlah sedikit (Miean
dan Mohamed 2001). Sianidin selain pada bawang merah, juga banyak ditemukan
pada buah-buahan yang berwarna merah keunguan. Sianidin ditemukan padaa
bumbu seperti daun basil, bubuk cabai, kayu manis, cengkeh, bubuk kari, bubuk
bawang putih, daun oregano, paprika, parsley lada dan kunyit (Wu et al. 2006)
58

Gambar 34 Reaksi senyawa polifenol (PP) dalam menghambat pembentukan


blackspot (Maqsood et al. 2013)

5. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kelima bawang-bawangan (Allium spp.) yaitu bawang putih (Allium


sativum), bawang daun (Allium fistulosum), bawang merah (Allium cepa L. var
Aggregatum), bawang bombay (Allium cepa Linnaeus), dan bawang lokio (Allium
schoenoprasum L) berpotensi menghambat blackspot udang vaname. Bawang
merah mempunyai penghambatan aktivitas enzim PPO paling tinggi yaitu
69.78±1.91%. Ekstrak bawang bombay mengandung total fenolik tertinggi yaitu
sebesar 414.50±8.91 mg GAE/g ekstrak dan komponen flavonoid terbesar terdapat
pada ekstrak bawang merah yaitu sebesar 134.63±5.34 mg QE/g ekstrak.
Komponen flavonoid lebih berperan menghambat blackspot dibandingkan
komponen fenolik. Ekstrak metanol bawang merah dapat menghambat blackspot
udang vaname yang disimpan dingin pada suhu 0 oC ditandai dengan nilai
melanosis terendah 5.1±0.8 dan indeks browning 16.76±0.94.
Mekanisme penghambatan enzim PO oleh bawang merah telah dapat
ditentukan. Ekstrak bawang merah yang difraksinasi menggunakan pelarut berbeda
polaritasnya yaitu etil asetat, heksana, kloroform dan air menunjukkan aktivitas
penghambatan enzim PPO berturut-turut (%) sebesar 90.33 ± 0.93; 60.13 ± 0.78;
52.97 ± 0.34; 47.09 ± 0.90. Fraksi etil asetat (EAF) menghambat enzim PPO paling
tinggi dibandingkan fraksi pelarut lainnya. EAF bawang merah menghambat enzim
PPO secara reversible dengan substrat L-DOPA. Kinetika reaksi memperlihatkan
jenis penghambatan enzim PPO oleh EAF adalah kompetitf dengan nilai V
59

maksimum adalah 0.0164 mM-1 dan nilai Km sebesar 0.222 mM serta dapat
mengkhelat logam Cu pada sisi aktif enzim PPO.
Pendekatan metabolomik menggunakan instrumen 1H-NMR dan 2D NMR
dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa yang berperan menghambat
aktivitas enzim PPO. Senyawa tersebut adalah golongan flavonoid yaitu quersetin,
kaempferol, sianidin 3.4’-di-O-β-glukopiranoside, quersetin 4-O-β-D-gluko
piranoside, sianidin 7-O-(3”-O-glukosil-6”-O-malonil-β-glukopiranoside)-4’-O-β-
glukopiranoside, sianidin 3-(6”-O-malonil) laminaribioside’.

Saran

Quersetin dan kaempferol diketahui telah dapat menghambat aktivitas enzim


PPO secara in vitro dan belum ada penelitian mengenai pengaruh sianidin terhadap
penghambatan pembentukan blackspot. Penelitian selanjutnya adalah perlu
mengkaji sianidin sebagai anti-blackspot dan potensi interaksi antara senyawa
quersetin, kaempferol dan sianidin apakah mempunyai efek sinergitas, antagonis
atau tidak saling mempengaruhi dalam menghambat pembentukan blackspot.

DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Gawad MM, El-Hashash MA, El-Sayed MM, El-Wakil EA, Ezzat E. 2014.
Chromatographic isolation of Allium cepa (ssp. Red onion) and its cytotoxic
activity against Human Liver Carcinoma Cell Lines (HEPG2). Int. J. Pharm.
Pharm. Sci. 6(8):6–9.
Adeshina GO, Jibo S, Agu VE, Ehinmidu JO. 2001. Antibacterial activity of fresh
juices of Allium cepa and Zinger officinale against multidrug resisteant
bacteria. Int. J. Pharma Bio Sci. Res. 2(2):289–295.
Adeyeye E, Ekiti A, Aremu MO. 2016. Chemical composition of whole shrimp,
flash and shell of Pandalus borealis from Lagos Atlantic Ocean. FUW Trends
Sci. Technol. J. 1(1):26–32.
Akinwande B:, Olatunda S. 2015. Comparative evaluation of the mineral profile
and other selected components of onion and garlic. Int. Food Res. J.
22(1):332–336.
Altunkaya A, Gokmen V. 2008. Effect of Various inhibitors on enzymatic
browning, antioxidant activity and total phenol content of fresh lettuce
(Lactuca sativa). Food Chem. 1071173–1179. doi:10.1016 /j.foodchem.
2007.09.046.
Ana ANF, Guiomar PB, Luiz AOR, Danilo PSJ, Tiago MCS, Liris K. 2016. Effects
of different additives on colorimetry and melanosis prevention of Atlantic
Seabob Shrimp (Xyphopenaeus kroyeri) stored under refrigeration. Int. J.
Fish. Aquac. 8(8):74–80. doi:10.5897/IJFA2016.0564.
Aniszewski T, Lieberei R, Gulewicz K. 2008. Research on cetecholases, laccases
and cresolases in plants . recent progress and future needs. Acta Biol.
Cracoviensia Ser. Bot. 50(1):7–18.
Aoyama SA, Yamamoto YY. 2007. Antioxidant activity and flavonoid content of
welsh onion (Allium fistulosum) and the effect of thermal treatment. Food Sci.
Technol. Res. 13(1):67–72.
60

Azwanida N. 2015. A Review on the extraction methods use in medicinal plants,


principle, strength and limitation. Med. Aromat. Plants 04(03):3–8.
doi:10.4172/2167-0412.1000196.
Bakar A. 2008. Biochemical Changes of fresh and preserved freshwater prawns
(Macrobrachium rosenbergii) during storage. 15(2):181–191.
Barbagallo RN, Riggi E, Avola G, Patanè C. 2012a. Biopreservation of “Birgah”
eggplant from polyphenol oxidase activity assayed in vitro with onion (Allium
cepa L.) by-products. Chem. Eng. Trans. 27(1984):1–6.
Barbagallo RN, Chisari M, Patan C. 2012b. Use in vivo of natural anti-browning
agents against polyphenol oxidase activity in minimally processed eggplant.
Chem. Eng. Trans. 2749–54. doi:10.3303/CET1227009.
Bartolo, Brik E. 1998. Some factors affecting Norway Lobster (Nephrops
norvegicus) cuticle polyphenol oxidase activity and blackspot development.
Int. J. Food Sci. Technol. 33(3):329–336.
Benjakul S, Visessanguan W, Tanaka M. 2005. Properties of phenoloxidase
isolated from the cephalotorax of kuruma prawn (Peneaus japonicus). J. Food
Biochem. 29(2005):470–485.
Benkeblia N, Lanzotti V. 2007. Allium thiosulfinates : Chemistry, biological
properties and their potential utilization in food preservation. Food 1(2):193–
201.
Bezmaternykh K V, Shirshova TI, Beshlei IV, Matistov NV, Smirnova GV,
Oktyabr’Skii ON, Volodin VV. 2014. Antioxidant activity of extracts from
Allium schoenoprasum L. and Rubus chamaemorus L. growing in the Komi
Republic. Pharm. Chem. J. 48(2):116–120. doi:10.1007/s11094-014-1060-4.
Bhandari SR, Yoon MK, Kwak JH. 2014. Contents of phytochemical constituents
and antioxidant activity of 19 garlic (Allium sativum L.) parental lines and
cultivars. Hortic. Environ. Biotechnol. 55(2):138–147. doi 10.1007/ s13580-
014-0155-x.
Bingol K, High N, Field M. 2015. Multidimensional approaches to NMR-Based
metabolomics. Anal. Chem. 86(1):47–57. doi:10.1021/ac403520j. Multidi-
mensional.
Blasco H, Błaszczyński J, Billaut JC, Nadal-Desbarats L, Pradat PF, Devos D,
Moreau C, Andres CR, Emond P, Corcia P, et al. 2015. Comparative analysis
of targeted metabolomics: Dominance-based rough set approach versus
orthogonal partial least square-discriminant analysis. J. Biomed. Inform.
53291–299. doi:10.1016/j.jbi.2014.12.001.
Block E. 2010. Allium botany and cultivation, ancient and modern. in garlic and
others alliums: The Lord and the Science, Royal Society of Chemistry, pp. 1–
33.
Breitmaier E. 2002. Structure Elucidation By NMR In Organic Chemistry A
Practical Guide. West Sussex: Jhon Wiley and Sons Ltd., pp. 1-256.
Budantsev AY, Uversky VN, Kutyshenko VP. 2010. Analysis of the Metabolites in
Apical Area of Allium cepa Roots by High Resolution NMR Spectroscopy
Method. Protein and Peptid Letter. 17 (1): 86–91.
61

Çaklı Ş, Cadun A, Tolga YM, Serap D, Cengiz D. 2013. Comparison of polyphenol


oxidase activity in different parts of deep water pink shrimp (Parapenaeus
longirostris) by using L-DOPA substrate in Marmara Sea during the fishing
season Marmara. Ege J Fish Aqua Sci. 30(1): 1–6. doi:10.12714/ egejfas.
2013.30.1.01.
Chang T. 2009. An Updated Review of Tyrosinase Inhibitors. Int. J. Mol. Sci. 10:
2440–2475. doi:10.3390/ijms10062440.
Chen K, Zhao DY, Chen YL, Wei XY, Li YT, Kong LM, Hider RC, Zhou T. 2017.
A novel inhibitor against mushroom tyrosinase with a double action mode
and its application in controlling the browning of potato. Food Bioprocess
Technol. 10(12):2146–2155. doi:10.1007/s11947-017-1976-2.
Cheng A, Chen X, Jin Q, Wang W, Shi J. 2013a. Comparison of phenolic content
and antioxidant capacity of red and yellow onions. Czech J. Food Sci.
31(5):501–508.
Cherrak SA, Mokhtari-Soulimane N, Berroukeche F, Bensenane B, Cherbonnel A,
Merzouk H, Elhabiri M. 2016. In vitro antioxidant versus metal iion chelating
properties of flavonoids: a structure-activity investigation. PLoS One
11(10):1–21. doi:10.1371/journal.pone.0165575.
Corzo-Martínez M, Villamiel M. 2012. An overview on bioactivity of onion. Edisi
1. Nova Science Publisher. Spanish. 1-48.
Csepregi K, Neugart S, Schreiner M, Hideg É. 2016. Comparative Evaluation of
total antioxidant capacities of plant polyphenols. Molecules 21(208):1–16.
doi:10.3390/molecules21020208.
Dent M, Dragović-Uzelac V, Penić M, Brñić M, Bosiljkov T, Levaj B. 2013. The
effect of extraction solvents, temperature and time on the composition and
mass fraction of polyphenols in dalmatian wild sage (Salvia officinalis L.)
extracts. Food Technol. Biotechnol. 51(1):84–91.doi:10.1186/2251-6581-13-
11.
Díaz-Tenorio LM, GarcíaCarreño FL, Pacheco-Aguilar R. 2006. Comparison of
Freezing and Thawing Treatments on Musle properties of Whiteleg Shrimp
(Litopeneaus vannamei). 31(2007):563–576.
Dona AC, Kyriakides M, Scott F, Shephard EA, Varshavi D, Veselkov K, Everett
JR. 2016. A guide to the identification of metabolites in NMR-based
metabonomics/metabolomics experiments. Comput. Struct. Biotechnol. J.
14135–153. doi:10.1016/j.csbj.2016.02.005.
Dong C, Yao Y. 2012. Isolation, characterization of melanin derived from
Ophiocordyceps sinensis, an entomogenous fungus endemic to the Tibetan
Plateau. JBIOSC 113(4):474–479. doi:10.1016/j.jbiosc.2011.12.001.
Emmanuel I. Adeyeye, Adubiaro HO, Awodola OJ. 2008. Comparability of
chemical composition and functional properties of shell and flesh of Penaeus
notabilis. Pakistan J. Nutr. 7(6):741–747. doi:10.3923 /pjn.2008.741.747.
Encarnacion AB, Fagutao F, Hirayama J, Terayama M, Hirono I, Ohshima T. 2011.
Edible Mushroom (Flammulina velutipes) Extract inhibits melanosis in
kuruma shrimp (Marsupenaeus japonicus). J. Food Sci. 76(1):52–58.
doi:10.1111/j.1750-3841.2010.01890.x.
Erickson MC, Bulgarelli MA, Resurreccion AVA, Vendetti RA, Gates KA. 2007.
Sensory differentiation of shrimp using a trained descriptive analysis panel.
401774–1783. doi:10.1016/j.lwt.2006.12.007.
62

Erkan N. 2017. The Effect of Active and vacuum packaging on the quality of turkish
traditional salted dried fish çı̇ roz”. J. Food Heal. Sci. 3(1):29–35.
doi:10.3153/JFHS17004.
Falguera1 V, Ibarz A. 2012. Inhibitory effect of enzymatic browning products on
trypsin activity víctor. In AfinidAd LXVII, pp. 435–438.
Fan T, Li M, Wang J, Yang L, Cong R. 2009. Purification and characterization of
phenoloxidase from Octopus ocellatus. (September):865–872. doi:10.1093
/abbs/gmp078.Advance.
Fang X, Sun H, Huang B, Yuan G. 2013. Effect of pomegranate peel extract on the
melanosis of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) during iced
storage. J. Food, Agric. Environ. Vol.11 11(1):105–109.
Farag MA, Ali SE, Hodaya RH, El-Seedi HR, Sultani HN, Laub A, Eissa TF, Abou-
Zaid FOF, Wessjohann LA. 2017. Phytochemical Profiles and Antimicrobial
Activities of Allium cepa red cv. and A. sativum Subjected to Different Drying
Methods: A Comparative MS-Based Metabolomics. Molecules 22(761):1–
18. doi:10.3390/molecules22050761.
Fathi F, Brun A, Rott KH, Cobra PF, Tonelli M, Eghbalnia HR, Caviedes-Vidal E,
Karasov WH, Markley JL. 2017. NMR-based identification of metabolites in
polar and non-polar extracts of avian liver. Metabolites 7(4):1–9.
doi:10.3390/metabo7040061.
Fenwick G, Hanley A. 1990. Chemical composition. In Onion and Allied Crops, J.
Brewster, & H. Rabinowitch (Ed. by), Boca Raton, Florida, USA: CRC Press,
Boca Raton, Florida, USA, pp 17-31, pp. 17–31.
Fossen T, Slimestad R, Andersen ØM. 2003. Anthocyanins with 4 0 -glucosidation
from red onion, Allium cepa. Phytochemistry 641367–1374. doi:10.1016/
j.phytochem.2003.08.019.
De Freitas Formenton Macedo Dos Santos VA, Dos Santos DP, Castro-Gamboa I,
Zanoni MVB, Furlan M. 2010. Evaluation of antioxidant capacity and
synergistic associations of quinonemethide triterpenes and phenolic
substances from Maytenus ilicifolia (Celastraceae). Molecules 15(10):6956–
6973. doi:10.3390/molecules15106956.
Friedman M, Hella S J. 2000. Effect of pH on the stability of plant phenolic
compounds. J. Agric. Food Chem. 48(6):2101–2110. doi:DOI:
10.1021/jf990489j.
Friesen N, Fritsch RM, Blattner FR. 2006. Phylogeny and new intrageneric
classification of allium (alliaceae) based on nuclear ribosomal DNA its
sequences. Aliso. (1999):372–395.
Fu B, Li H, Wang X, Lee FSC, Shufen Cui. 2005. Isolation and identification of
flavonoids in licorice and a study of their inhibitory effects on tyrosinase. J.
Agric. Food Chem. 53(19):7408–7414. doi:doi: 10.1021/jf051258h.
Gacche RN, Shete AM, Dhole NA, Ghole VS. 2006. Reversible inhibition of
polyphenol oxidase from apple using L-cysteine. Indian J. Chem. Technol.
13(5):459–463.
Gbashi S, Njobeh P, Steenkamp P, Tutu H, Madala N. 2016. The effect of
temperature and methanol-water mixture on Pressurized Hot Water
Extraction (PHWE) of anti-HIV analogoues from Bidens pilosa. Chem. Cent.
J. 10(1):1–12. doi:10.1186/s13065-016-0182-z.
63

Gebreyohannes G, Gebreyohannes M. 2013. Medicinal values of garlic : A review.


Inter J of Medicibe and Medical Sciences. 5(9):401–408. doi:10.5897/
IJMMS20130960.
Geetha M, Ponmozhi P, Saravanakumar M, Suganyadevi P. 2011. Extraction of
anthocyanin and analyzing its antioxidant properties from different onion (
Allium cepa ) varieties. Int. J. Res. Pharm. Sci. 2(3):497–506.
Guennec A Le. 2015. Fast 2D NMR Spectroscopy For Complex Mixtures. English:
Ecole Polytechnique.
Gulfraz M, Imran M, Khadam S, Ahmed D, Asad MJ, Abassi KS, Irfan M,
Mehmood S. 2014. A comparative study of antimicrobial and antioxidant
ctivities of garlic (Allium sativum L.) extracts in various localities of Pakistan.
African J. Plant Sci. 8(June):298–306. doi:10.5897/AJPS11.252.
Gunalan B, Nina Tabitha S, Soundarapandian P, Anand T. 2013. Nutritive value of
cultured white leg shrimp Litopenaeus vannamei. Int. J. Fish. Aquac.
5(7):166–171. doi:10.5897/IJFA2013.0333.
Hajimehdipoor H, Shahrestani R, Shekarchi M. 2014. Investigating the synergistic
antioxidant effects of some flavonoid and phenolic compounds. Res. J.
Pharmacogn. 1(3):35–40.
Halouska S, Fenton RJ, Barletta RG, Powers R. 2012. Predicting the in vivo
mechanism of action for drug leads using NMR metabolomics. ACS Chem.
Biol. 7(1):166–171. doi:10.1021/cb200348m.
Hashemi SM, Emami S. 2015. Kojic acid-derived tyrosinase inhibitors: synthesis
and bioactivity. Pharm. Biomed. Res. 1(1):1–17. doi:10.18869/ acadpub.
pbr.1.1.1.
He Q, Luo Y, Chen P. 2008. Elucidation of The Mechanism of Enzymatic
Browning Inhibition by Sodium Chlorite. Food Chem. 110847–851.
doi:10.1016/j.foodchem.2008.02.070.
Hu B, Yue Y, Zhu Y, Wen W, Zhang F, Hardie JW. 2015. Proton nuclear magnetic
resonance-spectroscopic discrimination of wines reflects genetic homology
of several different grape (V. vinifera L.) cultivars. PLoS One 10(12):1–16.
doi:10.1371/journal.pone.0142840.
ICHQ3C(R6). 2016. Guideline For Residual Solvents. Step 4. International Council
For Harmonisation Of Technical Requirements For Pharmaceuticals For Human
Use. the European Union, Japan, USA, Canada and Switzerland. 1-40.
Javdani Z, Ghasemnezhad M, Zare S. 2013. A comparison of heat treatment and
ascorbic acid on controlling enzymatic browning of fresh-cuts apple fruit. Int.
J. Agric. Crop Sci. 5(3):186–193.
Johnson LA, Farnsworth JT, Garland RJ, Lusas EW. 1979. Removal of raw peanut
flavor and odor in peanut flour processed by direct solvent extraction. Peanut
Sci. 6(1):43–45. doi:10.3146/i0095-3679-6-1-8.
Juliani, D. Yuliana N, Budijanto S, Hanny Wijaya C, Khatib A. 2016. Senyawa
inhibitor α-glukosidase dan antioksidan dari kumis kucing dengan
pendekatan metabolomik berbasis FTIR. J. Teknol. Dan Ind. Pangan
27(1):17–30. doi:10.6066/jtip.2016.27.1.17.
Kandoliya UK, Bodar N., Bajaniya V, Bhadja N, Golakiya BA. 2015. Original
research article determination of nutritional value and antioxidant from bulbs
of different onion (Allium cepa) variety: A comparative study. Int. J. Curr.
Microb. Appl. Sci. 4(1):635–641.
64

Karunaratne UKPR, Karunaratne MMSC. 2012. Evaluation of methanol , ethanol


and acetone extracts of four plant species as repellents against
Callosobruchus maculatu S (Fab.). Vidyodaya J. Sci. 171–8.
Kaufmann B, Christen P. 2002. Recent extraction techniques for natural products:
microwave-assisted extraction and pressurised solvent extraction.
Phytochem. Anal. 13(2):105-13. Re. doi:10.1002/pca.631.
Khan N, Ruqia B, Hussain J, Jamila N, Ur N. 2013. Nutritional Assessment and
proximate analysis of selected vegetables from Parachinar Kurram Agency.
Am. J. Res. Commun. 1(8):184–198.
Kim HK, Choi YH, Verpoorte R. 2010. NMR-based metabolomic analysis of
plants. Nat. Protoc. 5(3):536–549. doi:10.1038/nprot.2009.237.
Kim J, Marshall M, Wei C. 2002. Polyphenoloxydase. In seafood enzymes:
utilization dan influence on postharvest seafood quality, N. Haard (Ed. by),
Marcel Dekker Inc., New York, pp. 271–315.
Kim M, Kim CY, Park I. 2005. Prevention of enzymatic browning of pear by onion
extract. Food Chemistry. 89181–184. doi:10.1016/j.foodchem.2004.02.018.
Kirschnik PG, Viegas EMM, Valenti WC, Oliveira CAF de. 2006. Shelf-life of tail
meat of the giant river prawn, Macrobrachium rosenbergii, stored on ice. J.
Aquat. Food Prod. Technol. 15(2):57–71. doi:10.1300/J030v15n02.
Krasteva I, Nikolov S. 2008. Flavonoids in Astragalus corniculatus Ilina.
Quim.Nova 31(1):59–60.
Kucekova Z, Mlcek J, Humpolicek P, Rop O, Valasek P, Sahacts P. 2011. Phenolic
compounds from Allium schoenoprasum, Tragopogon pratensis and Rumex
acetosa and their antiproliferative effects. 9207–9217. doi:10.3390
/molecules16119207.
Lachman J, Proněk DP, Hejtmánková AH, Dudjak JD, Pivec VP, Faitová KF. 2003.
Total polyphenol and main flavonoid antioxidants in different onion (Allium
cepa L .) varieties. HORT. SCI. 30(4):142–147.
Lee M-K, Kim Y-M, Kim N-Y, Kim G-N, Kim S-H, Bang K-S, Park I. 2002.
Prevention of browning in potato with a heat-treated onion extract. Biosci.
Biotechnol. Biochem. 66(4):856–858. doi:10.1271/bbb.66.856.
Lenkova M, Bystricka J, Toth T, Harstkova M. 2016. Evaluation and comparison
of the content of total polyphenols and antioxidant activity of selected species
of the genus Allium. J. Cent. Eur. Agric. 17(4):1119–1133. doi:10.5513/
JCEA01/17.4.1820.
Liu L, Jina C, Zhang Y. 2014. Lipophilic phenolic compounds (Lipo-PCs):
emerging antioxidants applied in lipid systems. R. Soc. Chem. Adv.
4(6):2879–2891. doi:10.1039/C3RA44792H.
Loizzo MR, Tundis R, Menichini F. 2012. Natural and synthetic tyrosinase
inhibitors as antibrowning agents: An update. Compr. Rev. Food Sci. Food
Saf. 11(4):378–398. doi:10.1111/j.1541-4337.2012.00191.x.
Manheem K, Benjakul S, Kijroongrojana K, Faithong N. 2013. Effect of pre-
cooking times on enzymes, properties, and melanosis of pacific white shrimp
during refrigerated storage. Int. Aquat. Res. 5(1):319–333. doi:10. 118 /2008-
6970-5-1.
65

Manheem K, Benjakul S, Kijroongrojana K, Visessanguan W. 2012. The effect of


heating conditions on polyphenol oxidase, proteases and melanosis in pre-
cooked Pacific white shrimp during refrigerated storage. Food Chem.
131(4):1370–1375. doi:10.1016/j.foodchem.2011.10.001.
Maqsood S, Benjakul S, Shahidi F. 2013. Emerging role of phenolic compounds as
natural food additives in fish and fish products emerging role of phenolic
compounds as natural food additives in fish and fish products. Food Sci. Nutr.
53(2):162–179. doi:10.1080/10408398.2010.518775.
Markovic I, Ilic J, Markovic D, Simonovic V, Kosanic N. 2013. Color measurement
of food products using CIE L * a * b * and RGB Color Space. J. Hyg. Eng.
Des. 450–53.
Mathews HM, Moss DM, Healy GR, Visvesvara GS. 1983. Polyacrylamide gel
electrophoresis of isoenzymes from Entamoeba species. J. Clin. Microbiol.
17(6):1009–1012.
Mehta NK, Nayak BB. 2017. Bio-chemical composition, functional, and
rheological properties of fresh meat from fish, squid, and shrimp: A
comparative study. Int. J. Food Prop. 20(1):S707–S721. doi:10.1080
/10942912.2017.1308955.
Miean KH, Mohamed S. 2001. Flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol,
luteolin, and apigenin) content of edible tropical plants. J. Agric. Food Chem.
49(6):3106–3112.
Mishra BB, Gautam S. 2016. Polyphonel oxidases: biochemical and molecular
characterization, distribution, role and its control. Enzym. Eng. 05(01):1–9.
doi:10.4172/2329-6674.1000141.
Mnayer D, Petitcolas E, Hamieh T, Nehme N, Ferrant C, Fernandez X, Chemat F.
2014. Chemical composition, antibacterial and antioxidant activities of six
essentials oils from the Alliaceae family. (Atcc 25923):20034–20053.
doi:10.3390/molecules191220034.
Moawad R, Ashour M, Mohamed GF, El-hamzy EMA. 2013. Effect of food grade
trisodium phosphate or water dip treatments on some quality. J. Appl. Sci.
Res. 9(6):3723–3734.
Mohamed GA. 2013. Alliuocide A: A new antioxidant flavonoid from Allium cepa
L. Phytopharmacology 4(2):220–227.
Montero P, Martinez Alvarez O, Gomez Guillen MC. 2004. Effectiveness of
onboard application of 4-hexylresorcinol in inhibiting melanosis in shrimp
(Parapenaeus longirostris). J. Food Sci. 69(8):643–647.
Montero P, Lopez-Caballero M, Perez-Mateos M. 2011. The effect of inhibitors
and high pressure treatment to prevent melanosis and microbial growth on
chilled prawns (Penaeus japonicus). J. Food Sci. 661201–1206.
Neeley E, Fritch G, Fuller A, Wolfe J, Wright J. 2009. Variations in IC 50 values
with purity of mushroom tyrosinase. Int J Mol Sci. 3811–3823. doi:10.3390
/ijms10093811.
Nimse SB, Pal D. 2015. Free radicals, natural antioxidants, and their reaction
mechanisms. RSC Adv. 5(35):27986–28006. doi:10.1039/c4ra13315c.
Nirmal NP, Benjakul S. 2011. Inhibition of melanosis formation in Pacific white
shrimp by the extract of lead (Leucaena leucocephala) seed. Food Chem.
128(2):427–432. doi:10.1016/j.foodchem.2011.03.048.
66

Nirmal NP, Benjakul S. 2010. Effect of catechin and ferulic acid on melanosis and
quality of Pacific white shrimp subjected to prior freeze – thawing during
refrigerated storage. Food Control. 21(9):1263–1271. doi:10.1016
/j.foodcont.2010.02.015.
Nirmal NP, Benjakul S. 2012a. Effect of green tea extract in combination with
ascorbic acid on the retardation of melanosis and quality changes of pacific
white shrimp during iced storage. Food Bioprocess Technol. 2941–2951.
doi:10.1007/s11947-010-0483-5.
Nirmal NP, Benjakul S. 2012b. Biochemical properties of polyphenoloxidase from
the cephalothorax of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei). 1–13.
Nowakowski AB, Wobig WJ, Petering DH. 2015. Native SDS-PAGE: High
resolution electrophoretic separation of proteins with retention of native
properties including bound metal ions. Metallomics 6(5):1068–1078.
doi:10.1039/c4mt00033a.Native.
Olayeriju OS, Olaleye MT, Crown OO, Komolafe K, Boligon AA, Athayde ML,
Akindahunsi AA. 2015. Ethylacetate extract of red onion (Allium cepa L.)
tunic affects hemodynamic parameters in rats. Food Sci. Hum. Wellness
4(3):115–122. doi:10.1016/j.fshw.2015.07.002.
Ouyang H, Hou K, Peng W, Liu Z, Deng H. 2017. Antioxidant and xanthine oxidase
inhibitory activities of total polyphenols from onion. Saudi J. Biol. Sci. .
doi:10.1016/j.sjbs.2017.08.005.
Palou E, Welti-chanes J, Palou E, Swanson BG. 1999. Polyphenoloxidase activity
and color of blanched and high hydrostatic pressure treated banana puree
polyphenoloxidase activity and color of blanched and high hydrostatic. J.
Food Sci. · 64(1):42–45. doi:10.1111/j.1365-2621.1999.tb09857.x.
Pandey S, Pandey P, Kumar R, Singh NP. 2011. Residual solvent determination by
head space gas chromatography with flame ionization detector in omeprazole
API. Brazilian J. Pharm. Sci. 47(2):379–384. doi:10.1590/S1984-
82502011000200019.
Panji T. 2012. Teknik Spektroskopi Untuk Elusidasi Struktur Molekul. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Pardio VT, Waliszewski KN, Zun P. 2011. Original article biochemical,
microbiological and sensory changes in shrimp (Panaeus aztecus) dipped in
different solutions using face-centred central composite design. Int. J. Food
Sci. Technol. 46305–314. doi:10.1111/j.1365-2621.2010.02474.x.
Parisa S, Reza H, Ghasemifar E, Rashid Jamei. 2007. Effect of heating, uv
irradiation and pH on stability of the anthocyanins copigmenat complex.
Pakistan J of Bio Sci. 5(1):109–121.
Park H, In G, Kim J, Cho B, Han G, Chang I. 2014. Metabolomic approach for
discrimination of processed ginseng genus (Panax ginseng and Panax
quinquefolius) using UPLC-QTOF MS. J. Ginseng Res. 38(1):59–65.
doi:10.1016/j.jgr.2013.11.011.
Parvu M, Toiu A, Vlase L, Parvu EA. 2010. Determination of some polyphenolic
compounds from Allium species by HPLC-UV-MS. Nat. Prod. Res.
24(14):1318–1324. doi: 10.1080/14786410903309484.
Queiroz C, Lúcia M, Lopes M, Fialho E, Valente-mesquita VL. 2008a. Polyphenol
oxidase: characteristics and mechanisms of browning control. Food Rev. Int.
24(4):361–375. doi:10.1080/87559120802089332.
67

Rajagopal K, Kathiravan G, Karthikeyan S. 2011. Extraction and characterization


of melanin from Phomopsis : A phellophytic fungi Isolated from Azadirachta
indica A. Juss. 5(7):762–766. doi:10.5897/AJMR10.514.
Reddy VKS, Shinde PA, Sofi FR. 2013. Effect of antimelanotic treatment effect of
antimelanotic treatment and vacuum packaging on melanosis and quality
condition of ice storage farmed Tiger shrimp (Penaeus monodon). SAARC J.
Agric. 11(2):33–47.
Ren F, Reilly K, Kerry JP, Gaffney M, Hossain M, Rai DK. 2017. Higher
antioxidant activity, total flavonols, and specific quercetin glucosides in two
different onion (Allium cepa L.) varieties grown under organic production:
results from a 6-year field study. J. Agric. Food Chem., 2017, 65 (25), Pp
5122–5132 65(25):5122–5132. doi:10.1021/acs.jafc.7b01352.
Ring B, Wrighton S, Mohutsky M. 2014. Reversible mechanisms of enzyme
inhibition and resulting clinical significance. in enzyme kinetics in drug
metabolism. methods in molecular biology (methods and protocols), S.
Nagar, U. Argikar, & D. Tweedie (Ed. by), Totowa, NJ: Humana Press, p.
1113.
Rojas-Graü MA, Soliva-Fortuny R, Martín-Belloso O. 2008. Effect of natural
antibrowning agents on color and related enzymes in fresh-cut fuji apples as
an alternative to the use of ascorbic acid. J. Food Sci. 73(6):267–272.
doi:10.1111/j.1750-3841.2008.00794.x.
Roldan E, de Ancos B, Sancez-Moreno C, Cano MP. 2008. Characterisation of
onion (Allium cepa L.) by-products as food ingredients with antioxidant and
antibrowning properties. Food Chem. 108907–916. doi:10.1016/j.
foodchem.2007.11.058.
Sae-Leaw T, Benjakul S, Simpson BK. 2017. Effect of catechin and its derivatives
on inhibition of polyphenoloxidase and melanosis of Pacific White shrimp. J.
Food Sci. Technol. 54(5):1098–1107. doi:10.1007/s13197-017-2556-1.
Sajjan S, Kulkarni G, Yaligara V, Kyoung L, Karegoudar TB. 2010. Purification
and physiochemical characterization of melanin pigment from Klebsiella sp
.GSK. J. Microbiol. Biotechnol. 20(11):1513–1520. doi:10.4014/jmb. 1002.
Sarah H, Hadiseh K, Gholamhossein A, Bahareh S. 2010. Effect of green tea
(Camellia sinenses) extract and onion (Allium cepa) juice on lipid degradation
and sensory acceptance of Persian sturgeon (Acipenser persicus) fillets. Int.
Food Res. J. 17751–761.
Selçuk A. 2017. the Effect of washing and cooking on residue levels of shrimp
treated with 4-hexylresorcinol. J. Food Heal. Sci. 3(2):42–48.
doi:10.3153/JFHS17006.
Senapati SR, Kumar GP, Singh CB, Xavier KAM, Chouksey M., Nayak BB,
Balange AK. 2017. Melanosis and quality attributes of chill stored farm raised
whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei). J. Appl. Nat. Sci. 9(1):626–631.
Sharif A, Saim N, Jasmani H, Ahmad W. 2010. Effects of solvent dan temperatur
on extraction of colorant from onion (Allium cepa) skin using pressurized
liquid extraction. Asian J. Aplied Sci. 3(4):261–268.
Sharma R. 2012. Enzyme Inhibition: Mechanisms and scope. Enzym. Inhib.
Bioapplications . doi:10.5772/39273.
68

Shi-lin Z, Peng D, Yu-chao XU, Jian-jun W. 2016. Quantification and analysis of


anthocyanin and flavonoids compositions, and antioxidant activities in onions
with three different colors. J. Integr. Agric. 15(9):2175–2181.
doi:10.1016/S2095-3119(16)61385-0.
Silva Elipe MV. 2003. Advantages and disadvantages of nuclear magnetic
resonance spectroscopy as a hyphenated technique. Anal. Chim. Acta 497(1–
2):1–25. doi:10.1016/j.aca.2003.08.048.
Singh V, Krishan P, Shri R. 2017. Extraction of antioxidant phytoconstituents from
onion waste. J. Pharmacogn. Phytochem. 6(1):502–505.
Škerget M, Majhenič L, Bezjak M, Knez Ž. 2009. Antioxidant, radical scavenging
and antimicrobial activities of red onion (Allium cepa L.) skin and edible part
extracts. Chem. Biochem. Eng. Q. J. 23(4):435–444.
Soto VC, González RE, Sance MM, Galmarini CR. 2016. Edible Alliaceae
Organosulfur and phenolic content of garlic (Allium sativum L.) and onion
(Allium cepa L.) and its relationship with antioxidant activity. ISHS Acta
Hortic. 1143VII Int. Symp. Edible Alliaceae 1143(39):277–290.
doi:10.17660/ActaHortic.2016.1143.39.
Sriket C, Benjakul S, Visessanguan W, Hara K, Yoshida A. 2012. Retardation of
post-mortem changes of freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii)
stored in ice by legume seed extracts. Food Chem. .
doi:10.1016/j.foodchem.2012.04.121.
Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kijroongrojana K. 2007.
Comparativestudies on the effect of the freeze thawing process on the
physicochemical properties and microstructures of black tiger shrimp
(Penaeus monodon) and white shrimp (Penaeus vannamei) muscle. Food
Chem. 104113–121. doi:https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2006.10.039.
Sultana F, Mohsin M. 2014. Nutritional Screening of Allium tuberosum from
Western Himalayan Region of India. 3(12):727–731.
Sung YY, Kim DS, Kim SH, Kim HK. 2018. Aqueous and ethanolic extracts of
welsh onion, Allium fistulosum, attenuate high-fat diet-induced obesity. BMC
Complement. Altern. Med. 18(1):1–11. doi:10.1186/s12906-018-2152-6.
Suryanarayanan TS, Ravishankar JP, Venkatesan G. 2004. Characterization of the
melanin pigment of a cosmopolitan fungal endophyte. Mycological Research.
108(08):974–978. doi:10.1017/S0953756204000619.
Taherkhani N, Gheibi N. 2014. Inhibitory effects of quercetin and kaempferol as
two propolis derived flavonoids on tyrosinase enzyme. Biotechnol. Heal. Sci.
1(2):1–5. doi:10.17795/bhs-22242.
Wong FC, Chai TT, Tan, Soon-leong, Yong AI. 2013. Evaluation of bioactivities
and phenolic content of selected edible mushrooms in Malaysia. Trop J of
Pharma Res. 12(6):1011–1016.
Teerawut S, Pratumchart B. 2014. Effect of EDTA on physical and sensory
properties of pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) during ice storage.
Thammasat Int. J. Sci. Technol. 19(1):.
Terahara N, Yamaguchi M, Honda T. 1994. Malonylated anthocyanins from bulbs
of red onion, Allium cepa L. Biosci. Biotechnol. Biochem. 58(7):1324–1325.
doi:10.1271/bbb.58.1324.
69

Thanonkaew A, Benjakul S, Visessanguan W, Decker EA. 2007. Yellow


discoloration of the liposome system of cuttlefish (Sepia pharaonis) as
influenced by lipid oxidation. Food Chem. 102219–224. doi:10.1016/
j.foodchem.2006.05.008.
Togue D, Nyarko H, Akpaka R. 2011. A Comparison of the antifungal properties
of onion (Allium cepa), ginger (Zingiber officinale) and Garlic (Allium
sativum) against Aspergillus flavus, Aspergillus niger, and Cladosporium
herbarum. Res. J. Med. Plant 5(3):281–287. doi:10.3923/rjmp.2011.281.287.
Toivonen PM, Brummell DA. 2008. Biochemical bases of appearance and texture
changes in fresh-cut fruit and vegetables. Postharvest Biol. Technol. 48(1):1–
14. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.postharvbio.2007.09.004.
Tsao R. 2010. Chemistry and biochemistry of dietary polyphenols. Nutrients
2(12):1231–1246. doi:10.3390/nu2121231.
Tsironi T, Dermesonlouoglou E, Giannakourou M, Taoukis P. 2009. Shelf life
modelling of frozen shrimp at variable temperature conditions. LWT - Food
Sci. Technol. 42(2):664–671. doi:10.1016/j.lwt.2008.07.010.
Udjaili S, Abidjulu J, Suryanto E. 2015. Aktivitas antioksidan dari akar bawang
daun (Allium fistulosum L.). J. Mipa Unsrat Online 4(1):20–23.
Vandana S, Ramesh K. 2017. In vitro antioxidant and phytochemical analysis of
methanolic and aqueous extract of Allium cepa. Int. J. Recent Sci. Res.
8(11):21923–21928. doi:10.24327/IJRSR.
Vavricka CJ, Christensen BM, Li J. 2010. Melanization in living organisms: A
perspective of species evolution. Protein Cell 1(9):830–841.
doi:10.1007/s13238-010-0109-8.
Vazquez-Armenta FJ, Ayala-Zavala JF, Olivas GI, Molina-Corral FJ, Silva-
Espinoza BA. 2014. Antibrowning and antimicrobial effects of onion
essential oil to preserve the quality of cut potatoes. Acta Aliment. 43(4):640–
649. doi:10.1556/AAlim.43.2014.4.14.=
Vlase L, Parvu M, Parvu EA, Toiu A. 2013. Phytochemical analysis of Allium
fitolusum L. and A.ursinum L. Dig. J. Nanomater. Biostructures 8(1):457–
467.
Wang, YC ; Chang, P; Chen H. 2006. Tissue distribution of prophenoloxidase
transcript in the Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei. Fish Shellfish
Immunol. 20(3):414–418. doi:DOI: 10.1016/j.fsi.2005.05.003.
Wessels B, Damm S, Kunz B. 2014. Effect of selected plant extracts on the
inhibition of enzymatic browning in fresh-cut apple. 2316–23.
doi:10.5073/JABFQ.2014.087.003.
Worley B, Powers R. 2015. Multivariate Analysis in Metabolomics Bradley. Curr
Metabolomics 1(1):92–107. doi:10.2174/2213235X11301010092. Multivar
Wu L, Jou A, Chen S, Tien C, Cheng C, Fan N, Ho J. 2010. Antioxidant, anti-
inflammatory and anti-browning activities of hot water extracts of oriental
herbal teas. Food Funct. 1(2):200–208. doi:DOI: 10.1039/c0fo00047g.
Wu X, Beecher GR, Holden JM, Haytowitz DB, Gebhardt SE, Prior RL. 2006.
Concentrations of anthocyanins in common foods in the United States and
estimation of normal consumption. J. Agric. Food Chem. 54(11):4069–4075.
doi:10.1021/jf060300l.
Yadav R, Yadav N, Kharya MD. 2014. A review : quality control of residual
solvents in pharmaceuticals. World J. Pharm. Pharm. Sci. 3(4):526–538.
70

Yalcin, Hasan A, Kavuncuoglu H. 2014. Physical, chemical and bioactive


properties of onion (Allium cepa L.) seed and seed oil. 92(03):87–92.
doi:10.5073/JABFQ.2014.087.013.
Yapi JC, Gnangui SN, Dabonné S. 2015. Inhibitory effect of onions and garlic
extract on the enzymatic browning of an edible yam (Dioscorea cayenensis-
rotundata cv . Kponan ) cultivated in Côte d Ivoire. Int. J. Curr. Res. Acad.
3(1):219–231.
Ye M, Wang Y, Qian M, Chen X, Hu X. 2011. Preparation and properties of the
melanin from Lachnum singerianum. IJBAS. 11(03):51–58.
Yerlikaya P, Gökoglu N. 2010. Effect of previous plant extract treatment on sensory
and physical properties of frozen bonito (Sarda sarda) filllets. Turkish J. Fish.
Aquat. Sci. 10341–349. doi:10.4194/trjfas.2010.0306.
Yuliana ND, Khatib A, Verpoorte R, Choi YH. 2011. Comprehensive Extraction
method integrated with NMR Metabolomics: A new bioactivity screening
method for plants, adenosine a1 receptor binding compounds in Orthosiphon
stamineus Benth. Anal. Chem. Anal. Chem(17):6902–6906. doi:10.1021
/ac201458n.
Yuliana ND, Budijanto S, Verpoorte R, Choi YH. 2013. NMR metabolomics for
identification of adenosine A1 receptor binding compounds from
Boesenbergia rotunda rhizomes extract. J. Ethnopharmacol. .
doi:10.1016/j.jep.2013.08.012.
Zaidi KU, Ali AS, Ali SA, Naaz I. 2014. Microbial tyrosinases: Promising enzymes
for pharmaceutical, food bioprocessing, and environmental industry.
Biochem. Res. Int. 2014. doi:10.1155/2014/854687.
Zamorano JP, Martinez-Alfarez O, Montero P, Gomez-Guillen. M del C. 2008.
Charactrerisation and tissue distribution of polyphenol oxidase of deepwater
pink shrimp (Parapanaeus longirostris). Food Chem. 112(04):1–8.
Zhang L, Tao G, Chen J, Zheng ZP. 2016. Characterization of a new flavone and
tyrosinase inhibition constituents from the twigs of Morus alba L. Molecules
21(9):2–9. doi:10.3390/molecules21091130.
Zhu Y, Chen C, Zhao S, Yang J, Song H, Ge F, Liu D. 2014. Inhibitory mechanism
of salidroside on tyrosinase. J. Food Nutr. Res. 2(10):698–703.
doi:10.12691/jfnr-2-10-8.
71

Lampiran 1 Rendemen Ekstrak Bawang-Bawangan Dan Rendemen Fraksi


Bawang Merah

a. Rendemen ekstrak bawang-bawangan

*Rendemen % **Rendemen % ***Kadar air %


b/bb bahan baku b/bk bahan baku
Sampel (A) (B)
Bawang putih 6.73 ± 0.78 2.76 ± 0.10 5.08±0.89
Daun bawang 34.36 ± 2.60 4.87 ± 0.20 2.70±0.5
Bawang merah 12.54 ± 1.10 2.52 ± 0.08 1.74±0.2
Bawang bombay 11.72 ± 1.02 1.87 ± 0.02 1.27±0.3
Lokio 7.11 ± 0.50 1.34 ± 0.06 3.71±0.2

Keterangan:
*Rendemen b/bb adalah berat ekstrak dibagi dengan berat basah bahan baku
(bawang-bawangan) sebelum keringkan dengan menggunakan freeze
dryer.
**Rendemen b/bk adalah berat ekstrak/berat kering bahan baku (bawang-
bawangan) setelah dikeringkan dengan freeze dryer.
***Kadar air adalah kadar air dari ekstrak, pengukuran kadar air menggunakan
metoda gravimetri.

b. Rendemen fraksi bawang merah

Sampel *Rendemen %
Fraksi Air 58.70 ± 3.45
Fraksi Heksana 0.22 ± 0.13
Fraksi etil asetat 1.58 ± 0.06
Fraksi Kloroform 0.37 ± 0.08
Keterangan:
*Rendemen (%) fraksi adalah berat fraksi yang dihasilkan dibagi dengan bawang
merah kering freeze dryer.
**Kadar air adalah kadar air dari fraksi hasil fraksinasi bawang merah
menggunakan perbedaan pelarut yang diukur menggunakan metoda
gravimetri.
72

Lampiran 2 Persen aktivitas penghambatan enzim PPO oleh pelarut methanol dan
DMSO untuk pemilihan jenis pelarut untuk melarutkan fraksi non polar
bawang merah.
a. Pengaruh metanol 5% dan DMSO 5% terhadap aktivitas relatif enzim PPO

100.0
90.0
% aktivitas relatif enzim PPO

80.0
70.0
60.0
50.0
40.0 Series1
30.0
20.0
10.0
0.0
Enzim PPO Enzim Enzim
PPO+Methanol PPO+DMSO
Pelarut fraksi non polar

Metanol dipilih untuk melarutkan fraksi non polar bawang merah seperti fraksi
kloroform dan heksan ketika melakukan uji aktivitas enzim PPO karena persen
penghambatan enzim PPO yang lebih rendah dibandingkan DMSO pada
konsentrasi yang sama.
b. b. Penghambatan enzim PPO oleh metanol 5% dan DMSO 5%

Perlakuan % Penghambatan
Enzim PPO 0.0±0.000
Enzim PPO+Metanol 4.0±0.005
Enzim PPO+DMSO 10.6±0.006
73

Lampiran 3 Kurva standar analisis total polifenol dan flavonoid.

a. Kurva standar analisis total polifenol menggunakan standar asam galat.

60
Konsentrasi standar polifenol

y = 77.04x - 21.273
50 R² = 0.99
40
µg/mL

30
Series1
20 Linear (Series1)
10

0
0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
Absorban

b. Kurva standar analisis komponen flavonoid menggunakan standar


quercetin.

300
Konsentyrasi standar quersetin

y = 500.89x - 6.9107
250 R² = 0.9958
200
µg/mL

150
Series1
100 Linear (Series1)
50
0
0.000 0.200 0.400 0.600
Absorban
74

Lampiran 4 Hasil analisis H1 NMR beberapa fraksi bawang merah.


a. Fraksi air (A1) ulangan 1 bawang merah

b. Fraksi heksan (H1) ulangan 1 bawang merah


75

c. Fraksi etil asetat (EA1) ulangan 1 bawang merah

d. Fraksi Kloroform (K1) ulangan 1 bawang merah


76

Lampiran 5 Hasil OPLS H1 NMR seluruh fraksi bawang merah.


a. Plot Y-related vs chemical shift hasil analisis H1 NMR sampel seluruh fraksi
bawang merah.

b. Rangkuman fit progresi R2(cum) dan Q(cum)


77

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 16


Juni 1975, sebagai anak kedua dari empat bersaudara
dalam keluarga Bapak M. Soetiro (Rahimahullah) dan
Ibu Emiliati. Pendidikan Diploma 3 ditempuh pada
Program Studi Teknik Kimia Universitas Diponegoro
Semarang, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2000,
penulis melanjutkan pendidikan S1 di Program Studi
Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Purwokerto
dan selesai pada tahun 2002. Pada tahun 2007-2010,
penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi
Teknologi Hasil Perairan (THP) IPB dan pada tahun 2013 penulis melanjutkan
pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu Pangan (IPN) Institut Pertanian Bogor
melalui program beasiswa tugas belajar Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penulis diterima sebagai PNS di Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Soedirman pada tahun 1998, selanjutnya pada tahun 2004 penulis mutasi kerja ke
Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Kementerian Pertanian dan pada tahun 2006
bergabung dengan Sekolah Tinggi Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi dengan judul Potensi
Bawang-Bawangan (Allium spp.) dalam Menghambat Pembentukan Blackspot
Pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei), telah diajukan sebagai artikel ilmiah
pada beberapa jurnal yaitu “Aktivitas penghambatan ekstrak berbagai jenis bawang
terhadap pembentukan blackspot udang vaname (Litopenaeus vannamei)” pada
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Volume 29, Nomor 1, Juni 2018 halaman
102-109 (telah diterima dan terbit secara online), “Characterization of Polyphenol
Oxidase Inhibitor from Onion (Allium cepa L.): Mechanism and Identification of
Active Compounds” status in-review pada Currents Research of Nutrition Food
Science Journal. (IF 0.28), dan “Pengaruh Ekstrak Bawang Merah dan Bawang
Putih Terhadap Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaus vannamei)” yang
dipresentasikan pada Seminar Nasional Ilmu Pangan (IPN) 2018 pada tanggal 12
Juli 2018.

Anda mungkin juga menyukai