Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANG (PKL)

PENGARUH KOMBINASI KONSENTRASI


NAA DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN
Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg SECARA IN VITRO DENGAN
TEKNIK THIN LAYER SECTION (TLS)

Oleh

Ni Nyoman Nila Arieswari


1408305005

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2017
HALAMAN JUDUL

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANG (PKL)

PENGARUH KOMBINASI KONSENTRASI NAA DAN BAP TERHADAP


PERTUMBUHAN EKSPLAN
Begonia salaziensis (GAUDICHAUD) WARBURG SECARA IN VITRO
DENGAN TEKNIK THIN LAYER SECTION (TLS)

Oleh

Ni Nyoman Nila Arieswari


1408305005

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2017
i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Praktik Kerja Lapang (PKL)

Pengaruh Kombinasi Konsentrasi NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan


Eksplan Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg Secara In Vitro dengan
Teknik Thin Layer Section (TLS)

Oleh
Ni Nyoman Nila Arieswari
1408305005

Telah diseminarkan pada tanggal 7 Maret 2017

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D. Dr. Ir. Made Ria Defiani, M.Sc (Hons).
NIP. 196803271993022001 NIP. 196608201993032002

Penguji PKL

Ni Luh Arpiwi, S.Si., M.Sc.,Ph.D.


NIP. 19710813997022004

Mengesahkan,
Ketua Program Studi Biologi F.MIPA
Universitas Udayana

Dr. I Ketut Ginantra, S.Pd., M.Si.


NIP. 1971106121999031001
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat-Nya laporan Praktik Kerja Lapang (PKL) yang berjudul
“Pengaruh Kombinasi Konsentrasi NAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan
Eksplan Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg Secara In Vitro dengan
Teknik Thin Layer Section (TLS)” dapat diselesaikan pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah mendukung dan membantu dalam pelaksanaan PKL ini,
diantaranya:
1. Ibu Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D. selaku dosen pembimbing I PKL
yang dengan sabar memberikan bimbingan, dukungan dan bantuan selama
pelaksanaan kegiatan PKL.
2. Ibu Dr. Ir. Made Ria Defiani, M.Sc (Hons). selaku dosen pembimbing II
PKL yang dengan sabar memberikan bimbingan, dukungan dan bantuan
selama pelaksanaan kegiatan PKL.
3. Ibu Ema Hendriyani, M.Sc. selaku pendamping PKL yang dengan sabar,
melatih, mendukung dan motivasi selama pelaksanaan kegiatan PKL
4. Ibu Ni Luh Arpiwi, S.Si., M.Sc., Ph.D. selaku penguji sekaligus
koordinator PKL yang telah memberikan dukungan dan saran selama
kegiatan PKL berlangsung.
5. Ibu Dr. Eniek Kriswiyanti, S.Si., M.Si. sebagai dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan bimbingan dan dukungan.
6. Orang tua dan seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi Biologi
yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan, saran dan
motivasi yang telah diberikan selama kegiatan PKL ini.
Laporan PKL ini tentunya masih terdapat banyak kekurangan sehingga
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun penulis harapkan demi kesempurnaan laporan ini.

Bukit Jimbaran, Maret 2017

Penulis
iii
Pengaruh Kombinasi Konsentrasi NAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan Eksplan
Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg Secara In Vitro dengan Teknik Thin
Layer Section (TLS)

Ni Nyoman Nila Arieswari (1408305005)


Mata Kuliah PKL : Kultur Jaringan

Abstrak

Upaya perbanyakan tanaman hias dalam jumlah besar serta waktu yang
singkat sangat diperlukan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar. Salah
satu upaya perbanyakan yang dapat dilakukan adalah dengan teknik kultur
jaringan. Salah satu tanaman hias di Indonesia yang berpotensi untuk
dikembangkan adalah Begonia salaziensis. B. salaziensis merupakan tumbuhan
terna bernilai ekonomi tinggi dengan penyebaran yang luas mulai dari daerah
tropis hingga sub tropis. Keunikan dari tanaman ini adalah daun asimetris
berwarna hijau mengkilat, bunga kecil berwarna putih dan seluruh permukaan
rongga ovarium ditutupi oleh jaringan plasenta ovuliferus. Namun, banyak terjadi
kerusakan habitat Begonia akibat alih fungsi lahan sehingga habitat Begonia
semakin sempit. B. salaziensis merupakan tanaman langka yang tidak dapat
menghasilkan anakan yang banyak apabila diperbanyak secara konvensional. PKL
ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi konsentrasi NAA dan BAP yang
optimal untuk pertumbuhan B. salaziensis. PKL ini dilaksanakan di Laboratorium
Kultur Jaringan Balai Konservasi Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI dari
tanggal 5 Januari 2017 – 31 Januari 2017. Eksplan yang digunakan adalah
meristem daun dan nodus batang dari planlet B. salaziensis dengan teknik kultur
jaringan Thin Layer Section (TLS) dan metode eksperimen Rancangan Acak
Lengkap Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi NAA yang
terdiri dari 3 taraf, yakni: 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm serta faktor kedua adalah
konsentrasi BAP yang terdiri dari 3 taraf, yakni: 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm.
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali dengan 9 kombinasi perlakuan
sehingga didapat 36 unit percobaan. Parameter yang diamati adalah persentase
pencokelatan (browning) eksplan dan respon tumbuh eksplan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan eksplan meristem daun lebih baik daripada
nodus batang. Respon tumbuh B. salaziensis tertinggi pada eksplan meristem daun,
yakni: 60% (P9) serta eksplan nodus batang, yakni: 20% (P5, P6 dan P9).
Pencokelatan (Browning) B. salaziensis pada eksplan meristem daun tertinggi,
yakni: 60% (P1, P3, P4, P5 dan P8) serta pada eksplan nodus batang, yakni: 100%
(P1, P2, P3, P4, P7 dan P8). Penggunaan konsentrasi BAP yang lebih tinggi akan
memunculkan tunas pada eksplan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan
berkaitan dengan teknik kultur dan usia planlet yang digunakan.

Kata Kunci :Kultur jaringan, metode TLS, Begonia salaziensis, NAA, BAP

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................... Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 4
2.1 Tanaman Begonia salaziensis ...................................................................... 4
2.2 Kultur Jaringan Begonia sp. ......................................................................... 6
2.3 Teknik Thin Layer Section (TLS) ................................................................ 8
2.4 Media Kultur Jaringan.................................................................................. 9
2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) ...................................................................... 10
BAB III MATERI DAN METODE ...................................................................... 11
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan .................................................................11
3.2 Materi …………………………………………………………………….11
3.2.1 Alat........................................................................................... 11
3.2.2 Bahan ....................................................................................... 11
3.2.2.1 Bahan Media ......................................................................... 11
3.2.2.2 Bahan Eksplan ...................................................................... 11
3.2.2.3 Bahan Sterilisasi.................................................................... 12
3.3 Jenis Data ................................................................................................... 12
3.4 Metode Pelaksanaan ....................................................................................12

v
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 17
4.1 Persentase Pertumbuhan Eksplan Meristem Daun dan Batang.................. 17
4.2 Tingkat Respon Tumbuh Eksplan serta Kombinasi Konsentrasi NAA dan
BAP yang Paling Optimal ................................................................................. 20
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 24
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 24
5.2 Saran ........................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan………………………………………………… 13

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. (a) Tanaman dan (b) buah Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg
di Taman Begonia, Kebun Raya Eka Karya, Bali.................................5
Gambar 2. Planlet B. salaziensis berumur 9 bulan yang digunakan……………. 12
Gambar 3. Tahapan pembuatan media MS: (a). Pembuatan larutan stok, (b).
Penuangan media di dalam laminar air flow cabinet………………..14
Gambar 4. Tahap penanaman eksplan: (a). Proses pengirisan eksplan di dalam
laminar air flow cabinet secara aseptik, (b). Proses kultur eksplan di
dalam ruang kultur pada suhu 230C di bawah pencahayaan lampu
TL……………………………………………………………………15
Gambar 5. Persentase browning eksplan meristem daun dan nodus batang pada 19
HST……………………………… ………………………………....17
Gambar 6. Kondisi eksplan meristem daun 19 HST dengan perbesaran 40X: (a).
P1, (b). P3, (c). P4, (d). P5, (e). P8. …………………………………18
Gambar 7. Pencoklatan eksplan nodus batang 19 HST dengan perbesaran 30X: (a).
P1, (b). P2, (c). P3, (d). P4, (e). P7, (f). P8……………………….... 19
Gambar 8. Persentase tingkat respon pertumbuhan eksplan meristem daun dan
nodus batang pada 19 HST…………………………………………. 20
Gambar 9. Ruang persiapan……………………………………………………...31
Gambar 10. Ruang kultur ………………………………………………………..31
Gambar 11. Ruang transfer………………………………………………………32
Gambar 12. Hasil kultur yang sedang dipelihara di ruang kultur………………..32

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formula Hara Makro, Mikro dan Vitamin………………………....30


Lampiran 2. Ruangan dan hasil kultur yang ada di laboratorium kultur jaringan.31

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upaya perbanyakan tanaman hias dalam jumlah besar serta waktu yang
relatif singkat sangat diperlukan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Salah satu upaya perbanyakan yang dapat dilakukan adalah dengan teknik kultur
jaringan. Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara
vegetatif di mana bibit tanaman secara in vitro dapat dihasilkan dalam jumlah
banyak dan waktu yang singkat. Selain itu, tanaman yang dihasilkan akan
memiliki sifat yang sama dengan induknya serta pertumbuhan yang seragam
(Sandra, 2003). Dasar teknik kultur jaringan adalah totipotensi sel, yakni
kemampuan sel untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu tanaman
baru yang sempurna apabila ditempatkan di lingkungan yang sesuai. Bagian
tanaman yang umumnya dapat diperbanyak adalah biji, ujung akar, mata tunas,
daun muda dan bagian lainnya yang bersifat meristematik. Bagian-bagian tersebut
diperbanyak dalam kondisi aseptik dengan media nutrisi tinggi dan zat pengatur
tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman
tersebut dapat beregenerasi menjadi tanaman yang lebih sempurna (Siallagan,
2012).
Salah satu tanaman hias di Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan
adalah Begonia spp. Begonia spp. merupakan tumbuhan terna bernilai ekonomi
tinggi dengan penyebaran yang luas mulai dari daerah tropis hingga sub tropis.
Namun, banyak terjadi kerusakan habitat akibat alih fungsi lahan sehingga habitat
Begonia semakin sempit. Begonia spp. kerap dianggap sebagai gulma pada pohon
karena pertumbuhan Begonia yang rentan terhadap panas dan cahaya sehingga
banyak tumbuh di bawah pohon bertajuk lebat (Kiew, 2005).
Perbanyakan Begonia spp. secara vegetatif dapat dilakukan dengan empat
cara, yaitu: melalui biji, stek pucuk, stek daun dan umbi (Catterall, 1991).
Perbanyakan Begonia melalui metode kultur jaringan masih sangat sedikit
dilakukan, padahal dengan metode ini dapat dihasilkan individu dalam jumlah
yang banyak, waktu yang singkat dan lahan yang sempit (Hartutiningsih dan

1
Siregar, 2005). Salah satu spesies tanaman dari genus Begonia yang masih jarang
diperbanyak melalui teknik kultur jaringan adalah Begonia salaziensis. B.
salaziensis merupakan salah satu tanaman dari famili Begoniaceae bersatus
langka dan sulit menghasilkan anakan yang banyak apabila diperbanyak secara
konvensional, seperti jenis Begonia lainnya (Tebbit, 2005).
Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti lingkungan tumbuh, media dan zat pengatur tumbuh
(ZPT). ZPT merupakan senyawa organik bukan hara yang dihasilkan secara
eksogen tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan hormon (Hendaryono
dan Wijayani, 1994). Penggunaan ZPT dalam jumlah yang sedikit mampu
mempercepat, menghambat ataupun mengubah proses fisiologi pada suatu
tanaman. Dua golongan ZPT yang sangat penting digunakan dalam kultur
jaringan adalah auksin dan sitokinin (Gunawan, 2008). Pada kultur in vitro
sitokinin seperti Benzyl Amino Purine (BAP) berfungsi dalam pembentukan dan
penggandaan tunas sedangkan auksin seperti Naphtalene Acetic Acid (NAA)
berfungsi dalam perpanjangan sel dan pembentukan akar (Imelda dkk, 2008).
Teknik Thin Layer Section (TLS) merupakan salah satu teknik dalam kultur
jaringan dimana eksplan diiris setipis mungkin dengan ketebalan 0,1-0,5 mm yang
diiris secara transversal (tTLS) atau longitudinal (lTLS). Teknik ini dianggap
lebih menguntungkan karena tidak memerlukan indukan yang banyak, mampu
menginduksi tunas dalam waktu yang singkat, irisan tipis mempercepat proses
difusi nutrisi dalam media serta mampu meregenerasi hasil transgenik yang non
kimera (Guedes dkk, 2011). Faktor penting dalam pengerjaan kultur jaringan
dengan teknik TLS adalah 1) genotif dan sumber eksplan, 2) hormon dan
pencahayaan, 3) umur indukan dan pH media serta 4) tingkat ketebalan irisan dan
posisi organ (Balitjestro, 2014).
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam kegiatan PKL ini akan diteliti
“Pengaruh Kombinasi Konsentrasi NAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan
Eksplan Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg Secara In Vitro dengan
Teknik Thin Layer Section (TLS)”.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana jenis eksplan yang paling baik untuk pertumbuhan B. salaziensis
secara in vitro dengan teknik TLS?
2. Bagaimana pengaruh kombinasi konsentrasi NAA dan BAP terhadap
persentase pertumbuhan B. salaziensis?
3. Bagaimana kombinasi konsentrasi NAA dan BAP yang optimal untuk
pertumbuhan B. salaziensis?

1.3 Tujuan
1. Menentukan jenis eksplan yang paling baik untuk pertumbuhan B.
salaziensis secara in vitro dengan teknik TLS
2. Mengetahui pengaruh penggunaan kombinasi konsentrasi NAA dan BAP
terhadap persentase pertumbuhan B. salaziensis
3. Mengetahui kombinasi konsentrasi NAA dan BAP yang optimal untuk
pertumbuhan B. salaziensis

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kombinasi konsentrasi NAA dan BAP yang optimal dalam pertumbuhan B.
salaziensis secara in vitro serta dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbanyakan
jenis tanaman Begonia yang lain.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Begonia salaziensis


Menurut Jones dan Arlene (1987), sistematika dari tanaman Begonia
salaziensis adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Passiflorales
Famili : Begoniaceae
Genus : Begonia
Spesies : Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg
Begonia salaziensis merupakan salah satu jenis tanaman Begonia berstatus
langka di mana populasi liarnya hanya terbatas di beberapa bagian kawasan hutan
di Pulau Reunion dan Mauritius di Indian Ocean. Spesies ini pertama kali
dikenalkan menjadi kultivasi oleh Wendy Strahm yang pada tahun 1986
mengirimkan biji dari B. salaziensis dari Mauritius kepada staff hortikultur di
Wageningen Agricultural University, Netherlands. B. salaziensis secara mudah
dapat dibedakan dari jenis Begonia lainnya berdasarkan kombinasi dari batang
panjang yang melengkung, daun asimetris berwarna hijau mengkilap dan buah
berry berwarna oranye cerah.
Spesies ini pada umumnya tumbuh di hutan-hutan tropis dan sub tropis
khususnya di batu-batu lembab dan celah-celah batu. International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada tahun 2014
menyatakan bahwa B. salaziensis berada dalam status langka di mana populasi
setiap tahunnya selalu menurun (IUCN, 2014). Berbeda dengan spesies Begonia
lainnya yang dapat menghasilkan anakan yang banyak secara konvensional
dengan cara stek daun, stek batang ataupun biji, hal ini tidak berlaku bagi spesies
ini (Tebbit, 2005). Selain itu, spesies ini memiliki keunikan pada organ
plasentanya bila dibandingkan dengan spesies Begonia lainnya di mana seluruh

4
permukaan rongga ovarium ditutupi oleh jaringan plasenta ovuliferus (Wilde dan
Arends, 1989).

a b

Gambar 1. (a) Tanaman dan (b) buah Begonia salaziensis (Gaudichaud) Warburg
di Taman Begonia, Kebun Raya Eka Karya, Bali

Habitus jenis ini adalah semak belukar atau cabang tegak dengan panjang
2,4 meter. Batang bercabang, berwarna hijau ketika muda dan menjadi coklat
keperakan dan berkayu ketika tua, berbulu. Daun penumpu (bractea) gugur, lanset
(lanceolatus) hingga bulat telur (ovatus) dengan ukuran 1,5-4,5×0,5-1 cm.
Tangkai daun (petiole) berwarna hijau dan berbulu dengan panjang 2,5-11 cm.
Helaian daun (lamina) berwarna hijau pada kedua permukaan, berbulu, asimetris,
berbentuk bulat telur (ovatus) dengan ukuran 7-16×3,5-10,5 cm, ujung daun
meruncing (acuminatus), pangkal daun berbentuk hati (cordatus).
Perbungaan aksilar, biseksual, dengan lebih dari 15 bunga. Bunga jantan
memiliki jumlah daun tenda bunga (tepal) berjumlah 4 terkadang 2 atau 3,
berwarna putih, sepasang daun tenda bunga (tepal) bagian luar hampir sirkular
berukuran 4-8 × 5-7 mm, sepasang bagian dalam berbentuk bulat telur hingga
bulat panjang dengan ukuran 3,5-5 × 1-2 mm, benang sari (stamen) berjumlah 15-
18, tersusun secara simetri, tangkai sari (filament) menyatu di bagian dasar dan
kepala sari (anther) tersambung tidak terulur. Bunga betina memiliki daun tenda
bunga (tepal) berjumlah 4, berwarna putih, tidak ada anak daun penumpu
(bracteola), tangkai putik (stylus) berjumlah 3 dan sesekali bercabang, kepala
putik (stigma) berada di dalam pita berpilin, bakal buah (ovarium) berwarna hijau
kekuningan tetapi ketika berbuah menjadi oranye, berbentuk seperti telur hingga
lonjong, berukuran 5-10×2,5-6 mm, tidak bersayap, memiliki 3 lokus dengan tipe
plasenta ovarium parietal (Tebbitt, 2005).
5
2.2 Kultur Jaringan Begonia spp.
Definisi dari kultur jaringan adalah usaha untuk mengisolasi, menumbuhkan,
memperbanyak dan meregenerasikan protoplas, sel utuh atau bagian tanaman
seperti; meristem, tunas, daun muda, ujung akar, kepala sari (anther) dan bakal
buah dalam suatu lingkungan aseptik terkendali (Gunawan, 1992). Kultur jaringan
berawal dari suatu konsep totipotensi sel, yakni setiap bagian dari tumbuhan
tingkat tinggi dipisahkan dan dari setiap bagian-bagian tersebut dapat tumbuh
menjadi tanaman atau individu baru yang lengkap (Arditti dan Ernst, 1993).
Keberhasilan perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sifat genetik tanaman, karakteristik
eksplan, komposisi media, zat pengatur tumbuh dan lingkungan kultur (Armini
dkk, 1992).
Menurut Professor Murashige dari Universitas California, kultur jaringan
terbagi menjadi beberapa tahap kegiatan, yakni tahap persiapan eksplan, tahap
penggandaan propagul dan tahap penyesuaian. Tahap persiapan eksplan
merupakan tahap di mana eksplan dibersihkan dari berbagai kontaminan hidup
yang selanjutnya ditumbuhkan dalam media kultur dengan kondisi yang aseptik.
Tahap penggandaan propagul merupakan tahap peningkatan jumlah cabang
aksiler ataupun pembentukan tunas-tunas baru. Tahap pendewasaan lebih lanjut
(aklimatisasi) yang dikenal juga dengan sebutan tahap penyesuaian (tahap pra
tanam) merupakan tahap penstimuli pembentukan akar dan pertumbuhan
(Wetherell 1982). Tahun 1981, Deberg dan Maena dalam Wattimena, et al. (1992)
menyempurnakan 3 tahapan sebelumnya menjadi 5 tahap, yakni: 1) Seleksi
tanaman induk, 2) Pemantapan kultur aseptik, 3) Produksi propagul, 4) Persiapan
planlet sebelum diaklimatisasi dan 5) Aklimatisasi planlet.
Sub-kultur merupakan kebutuhan untuk memperbanyak dan
mempertahankan hasil kultur di mana proses ini meliputi pemindahan hasil kultur
ke media baru, baik media dengan komposisi yang sama dengan sebelumnya
ataupun yang berbeda (George dan Sherrington, 1984). Sub kultur dilakukan
apabila unsur hara dan hormon yang terkandung dalam media sudah berkurang
atau habis, pertumbuhan kultur sudah memenuhi botol atau untuk mengubah pola
pertumbuhan kultur (Pierik, 1997).

6
Tahun 1974, Fonnesbech berhasil meregenerasi pucuk dari tangkai daun
Begonia x cheimantha sedangkan 2 tahun kemudian, yakni pada tahun 1976,
Applegren berhasil meregenerasi pucuk dari plantlet tangkai bunga Begonia x
hiemalis. Tahun 1978, Mikkelsen dan Sink melakukan suatu perbanyakan
Begonia x hiemalis secara in vitro dengan menggunakan eksplan tangkai daun
yang dibagi atas rata-rata tiga bagian berukuran ± 5 mm. Media yang digunakan
adalah media MS dengan formulasi berbagai vitamin dan hormon yang mencakup
kombinasi auksin, yakni NAA, IAA dan 2,4-D serta sitokinin, yakni BA dan IBA,
3% sukrosa dan 0,8% agar, kecuali untuk media perakaran digunakan 2% sukrosa
dan 1% agar. Sebelum diautoklaf, pH media diatur hingga mencapai 5,6 dan
kultur diletakkan pada ruangan dengan kondisi suhu yang konstan (250C) serta
kondisi gelap untuk pertumbuhan kalus. Hasil percobaan didapatkan bahwa media
dengan kombinasi NAA 0,1 ppm dan BA 0,4 ppm lebih optimal untuk
menginduksi pembentukan tunas adventif (Mikkelsen dan Sink, 1978).
Tahun, 1987, Simonds dan Werry melakukan suatu percobaan untuk
meningkatkan perbanyakan Begonia x hiemalis melalui kultur media cair. Tunas
adventif diinduksi dari eksplan bagian tangkai daun tetapi setelah 9 minggu pada
kultur agar hanya sedikit eksplan yang berhasil tumbuh. Waktu yang optimal
untuk memulai kultur media cair adalah setelah 6 minggu pada agar. Prosedur ini
dapat meningkatkan jumlah eksplan yang tumbuh secara nyata. Pemberian
giberelin pada media cair dapat memacu pertumbuhan tunas tetapi tunas yang
dihasilkan tidak dapat diakarkan dengan baik dan pertumbuhan cabang juga
berkurang (Simmonds dan Werry, 1987).
Tahun 2009, Asmah Awal melakukan suatu percobaan kultur jaringan
terhadap tanaman B. x hiemalis Fostch kultivar Schwabenland Red atau yang
dikenal dengan nama Begonia Ros dengan menggunakan eksplan daun, tangkai
bunga, petiole dan batang. Pucuk normal dihasilkan dengan menggunakan media
MS kombinasi ZPT NAA 1,0 mg/l dan BAP 1,0 mg/l (Awal, 2009). Penelitian
terbaru, yakni tahun 2016, Opal Rowe dan Anggelo Gallone melakukan
perbanyakan B. rex „Fendor‟ dengan menggunakan eksplan daun, tangkai daun
dan pertengahan tulang daun. Hasil yang didapat adalah kombinasi NAA 0.55 µM

7
dan BA 0.98 µM menghasil regenerasi daun yang paling tinggi (Rowe dan
Gallone, 2016).
Selama proses pertumbuhannya, eksplan Begonia sering membentuk tunas
tanpa akar, hanya tumbuh akar atau keduanya terbentuk menjadi planlet tetapi
berwarna pucat. Tahap aklimatisasi, persentase planlet yang hidup sangat rendah
(Mikkelsen dan Sink, 1978). Keberhasilan pertumbuhan eksplan Begonia secara
efisien tergantung faktor suhu, fotoperiodisitas dan cara pengelolaan
aklimatisasinya (Simmonds, 1984).

2.3 Teknik Thin Layer Section (TLS)


Thin Layer Section (TLS) merupakan merupakan potongan organ yang
dihasilkan melalui irisan tipis (0,1-0,5 mm). Organ yang digunakan merupkan
organ-organ embrionik, seperti batang (epikotil/hipokotil), akar, daun, bunga
(stigma, style atau ovary), kotiledon dan embrio di mana dalam penyimpanan
multiplikasi konvensionalnya ditanam secara utuh (Rout et al., 2006, Dobránszkia
dan Teixeira-da-Silva 2011). Berdasarkan arah potongan, irisan tipis dapat
dilakukan secara transversal (melintang) (tTLS) dan/atau longitudinal
(memanjang) (lTLS). Irisan tTLS akan menghasilkan eksplan yang terdiri atas
sejumlah sel yang berasal dari berbagai jaringan, yaitu epidermis, kortikal,
kambium, parenkim, perivaskular dan medular sedangkan lTLS hanya berisi satu
jenis jaringan, yaitu monolayer sel epidermis (Teixeira-da-Silva dan Dobranszki
2013).
Penggunaan teknik TLS pada fase multiplikasi tunas/embrio genotif unggul,
baru dalam tahapan pembuatan populasi di media agar dapat meningkatkan
produktivitas produksi sel dan organ dalam waktu yang lebih cepat. Hal ini
mengubah persepsi bahwa produksi benih lambat, jumlah terbatas dan mahal bila
menggunakan metode kultur agar. Eksplan TLS terbukti lebih efektif daripada
eksplan konvensional berukuran besar dalam hal total planlet yang dihasilkan.
Eksplan yang tipis memudahkan proses kontak dan difusi media ke dalam
jaringan bila dibandingkan dengan irisan eksplan yang tebal. Penggunaan media
yang tepat akan memacu morfogenesis dan regenerasi tunas atau embrio somatik
menjadi lebih tinggi dan cepat. Induksi multipel tunas yang dihasilkan secara

8
langung dari eksplan akan menghindarkan terjadinya variasi somaklonal
(Steinmacher et al. 2007). Kecepatan tumbuh sel tanpa melewati pembentukan
kalus meminimalisasi peluang terjadinya keragaman akibat kimera dengan ukuran
yang kecil 0,1-0,5 mm memberikan kompetisi nutrisi yang tinggi terhadap
mikroorganisme yang mungkin hidup dalam jaringan sehingga memungkinkan
terjadinya eliminasi kontaminan. Keuntungan-keuntungan penggunaan eksplan
TLS ini dapat maksimum apabila faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan
dan regenerasi sistem TLS, seperti (1) genotip dan TLS, (2) hormon dan cahaya
sebagai pretreatment, (3) umur mother plant dan pH media serta (4) tingkat
ketebalan potongan dan posisi organ dikenali dan dikendalikan dengan baik
(Teixeira-da-Silva dan Dobranszki 2013).

2.4 Media Kultur Jaringan


Salah satu penentu dalam keberhasilan perbanyakan tanaman dengan teknik
kultur jaringan adalah pemberian nutrisi dalam jumlah dan perbandingan yang
benar pada media kultur. Pemilihan media kultur tergantung pada jenis tanaman,
tujuan induksi pada eksplan dan lain-lain. Komponen yang terdapat dalam suatu
media kultur meliputi gula, unsur hara makro dan mikro, garam mineral, vitamin
dan zat pengatur tumbuh. Media hara dapat berbentuk padat, semi padat dan cair
(Wattimena dkk, 1992). Formulasi dari suatu media harus mengandung nutrien
esensial makro dan mikro serta sumber tenaga. Zat-zat tersebut bisa dicampur
sendiri dari bahan dasarnya atau diperoleh secara instan. Biasanya ditambah zat
pengatur tumbuh, seperti hormon-hormon dan penyangga misalnya agar. Banyak
formulasi media yang ada, masing-masing berbeda dalam hal kuantitas maupun
kualitas komponennya. Salah satu media yang banyak digunakan adalah media
Murashige dan Skoog (MS) dikemukakan oleh Toshio Murashige dan
dipublikasikan oleh Murashige dan Skoog pada tahun 1962 (Wetherell 1982).
Media Murashige dan Skoog (MS) merupakan media yang banyak
digunakan untuk kultur kalus dan tunas serta meregenerasi hampir semua tanaman,
terutama tanaman herbaceus. Keistimewaan dari media MS adalah kandungan
nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi. Media Gamborg (B5) merupakan
media yang umum digunakan untuk kultur suspensi sel kedelai, alfalfa dan

9
legume lainnya. Media White (W63) merupakan media dasar dengan konsentrasi
garam-garam mineral yang rendah umumnya digunakan untuk kultur akar. Media
Vacint dan Went (VW) merupakan media yang umum digunakan untuk kultur
embrio anggrek (Wetter dan Constabel, 1991). Media WPM merupakan media
yang umum digunakan pada tanaman berkayu (Llyod dan McCown, 1980).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)


Zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman merupakan senyawa organik
bukan hara yang dihasilkan secara eksogen di mana dalam pemakaian sedikit
dapat mendorong petumbuhan, menghambat pertumbuhan serta mengubah proses
fisiologis pada suatu tanaman (Andaryani, 2010). Beberapa golongan ZPT yang
umum diketahui, diantaranya adalah auksin, sitokinin, giberelin dan inhibitor.
ZPT yang tergolong auksin, diantaranya adalah Indol Asam Asetat (IAA), Indol
Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA) dan 2,4 Dikhlorofenoksiasetat
(2,4-D). ZPT yang tergolong sitokinin, diantaranya adalah Kinaetin, Zeatin,
Ribosil dan Bensil Aminopurin (BAP). ZPT yang termasuk golongan giberelin
adalah GA1, GA2, GA3 dan GA4 serta ZPT yang tergolong inhibitor adalah
fenolik dan asam absisik (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Golongan ZPT yang sangat penting dan umum digunakan dalam kultur
jaringan adalah auksin dan sitokinin (Gunawan, 1988). Secara fisiologis, auksin
berperan dalam mendorong perpanjangan sel dan organ, memacu pembentukan
akar, memacu dominansi apikal, mendorong gerakan trofisme, mendorong
pembentukan kalus, memacu pembungaan serta mencegah absisi (Gunawan,
1992). Penggunaan auksin dalam konsentrasi rendah pada media dapat
mendorong pembentukan akar adventif sedangkan dalam konsentrasi tinggi dapat
mendorong pembentukan kalus (Ramdan, 2011). Secara fisiologis, sitokinin
berperan dalam merangsang pertumbuhan sel dalam jaringan, merangsang
pertumbuhan tunas daun dan memacu pembesaran sel kotiledon (Wetherell, 1982).
Bersama dengan auksin, sitokinin berperan dalam pertumbuhan sel meristem serta
perkembangan kuncup, batang dan daun (Pranata, 2004).

10
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Praktik Kerja Lapang (PKL) ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur
Jaringan Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI,
tanggal 5-31 Januari 2017.

3.2 Materi
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan PKL ini meliputi botol kultur,
alumunium foil, petri dish, lampu Bunsen, scalpel, mata pisau, pinset, pinset
panjang, pinset bengkok, pinset ujung bengkok, pinset ujung runcing, labu ukur,
gelas ukur, labu Erlenmayer, pipet tetes, kertas lakmus, autoklaf, timbangan
digital, hot plate stirer, laminar air flow cabinet, plastik tebal, sprayer, karet,
freezer, ruang persiapan, ruang transfer, ruang kultur, ruang pengamatan dan
mikroskop Stereo merk Olympus.
3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Bahan Media
Media yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis media,
yaitu media dasar MS (Murashige dan Skoog) tanpa tambahan ZPT atau yang
dikenal dengan istilah MS 0 dan media dasar MS yang telah dilengkapi dengan
penambahan ZPT berupa NAA dan BAP. Pengaturan pH media bila bersifat asam
(<6) maka akan ditambahkan NaOH dan bila bersifat basa (>7) maka akan
ditambahkan HCl. Media ini dibuat dalam bentuk padat dengan tambahan gelrite
dan sukrosa (Murashige dan Skoog, 1962).
3.2.2.2 Bahan Eksplan
Bahan eksplan yang digunakan adalah meristem daun dan nodus batang B.
salaziensis yang diambil dari plantlet B. salaziensis berumur 9 bulan yang sudah
dikulturkan sebelumnya atau yang sudah ditanam melalui biji.

11
Gambar 2. Planlet B. salaziensis berumur 9 bulan setelah tanam

3.2.2.3 Bahan Sterilisasi


Bahan sterilisasi yang digunakan adalah alkohol 70% dan aquades.

3.3 Jenis Data


3.3.1 Data Primer
Data primer dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah pengaruh kombinasi
konsentrasi NAA dan BAP terhadap pertumbuhan Begonia salaziensis (Gaudich)
Warburg secara in vitro.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder dalam pelaksanaan kegiatan ini didapatkan dari berbagai
macam pustaka atau literature yang memiliki relevansi dengan permasalahan
yang dikaji, seperti data Begonia salaziensis (Gaudich) Warburg., kultur jaringan
serta kombinasi konsentrasi NAA dan BAP.

3.4 Metode Pelaksanaan


3.4.1 Metode
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
eksplan tangkai daun dan nodus dari planlet Begonia salaziensis dengan teknik
kultur jaringan Thin Layer Section (TLS) dan metode eksperimen Rancangan
Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi NAA
yang terdiri dari 3 taraf, yakni 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm serta faktor kedua adalah
konsentrasi BAP yang terdiri dari 3 taraf, yakni 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm. Eksplan
12
yang digunakan adalah meristem daun dan nodus batang dengan masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 5 eksplan.

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan


NAA
BAP 0 ppm 1 ppm 2 ppm

0 ppm P1 P4 P7

1 ppm P2 P5 P8

2 ppm P3 P6 P9

3.4.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan ini meliputi sterilisasi alat, pembuatan dan sterilisasi
aquades, pembuatan dan sterilisasi media, sterilisasi ruang kerja dan penanaman
serta pengamatan.
3.4.2.1 Sterilisasi Alat
Alat-alat yang akan digunakan untuk kultur jaringan terlebih dahulu dicuci
bersih kemudian dikeringkan. Setelah kering, alat-alat dibungkus dengan kertas
dan disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 1210C dengan tekanan 1 atm selama
20 menit sedangkan botol-botol eksplan yang sudah berisi media, disterilisasi di
dalam autoklaf pada suhu 1210C dengan tekanan 1 atm selama 20-30 menit.
3.4.2.2 Pembuatan dan Sterilisasi Aquades
Air ledeng yang digunakan dimasukkan ke dalam desilator hingga batas
penuh. Setelah itu, desilator ditutup dan air didestilasi secara otomatis selama ± 1
jam. Aquades yang telah jadi ditampung di dalam botol dan disterilisasi di dalam
autoklaf pada suhu 1210C dengan tekanan 1 atm selama 20 menit.
3.4.2.3 Pembuatan Media
Media yang digunakan adalah media dasar MS tanpa penambahan ZPT (MS
0) dan media dasar MS dengan penambahan ZPT. Langkah awal dari pembuatan

13
media adalah dengan membuat larutan stok yang terdiri dari, larutan stok makro
konsentrasi 10X, larutan stok mikro konsentrasi 100X, larutan stok vitamin
konsentrasi 10X, larutan stok Fe-EDTA konsentrasi 10X dan ZPT (Lampiran 1).
Adapun langkah-langkah dalam pembuatan media dasar MS dalam 1 liter
aquades dimulai dari sebanyak 500 ml aquades disiapkan dalam labu Erlenmeyer
bervolume 1000 ml. Larutan stok yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan
ke dalam labu Erlenmeyer yang telah berisi aquades sebelumnya yang terdiri dari
larutan A sebanyak 10 ml, larutan B sebanyak 10 ml, larutan C sebanyak 10 ml,
larutan D sebanyak 10 ml, larutan E sebanyak 10 ml, larutan F sebanyak 10 ml,
larutan Fe-EDTA sebanyak 10 ml dan vitamin + inositol sebanyak 10 ml.
Sebanyak 1 ppm atau 2 ppm ZPT ditambahkan ke dalam larutan (sesuai dengan
perlakuan) untuk media dengan penambahan ZPT. Larutan diaduk dengan hot
plate stirrer dan sebanyak 20 gram sukrosa ditambahkan ke dalam larutan. pH
diukur pada kisaran 5,5-6,0 tetapi bila pH terlalu asam ditambahkan NaOH dan
bila pH terlalu basa ditambahkan HCl dan aquades ditambahkan hingga volume
mendekati 1000 ml. Sebanyak 3,5 gram gelrite dimasukkan dan dipanaskan
sambil diaduk dengan stirrer. Setelah jadi, sebanyak 10 ml media dituangkan ke
dalam botol kemudian ditutup. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu
1210C dengan tekanan 1 atm selama 20-30 menit. Setelah disterilkan, media
didinginkan dan disimpan dalam ruang kultur selama 3 hari.

a b

Gambar 3. Tahapan pembuatan media MS: (a). Pembuatan larutan stok, (b).
Penuangan media di dalam laminar air flow cabinet

14
3.4.2.4 Sterilisasi Ruang Kerja dan Penanaman
Penanaman dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Sebelum
penanaman dilakukan, terlebih dahulu ruang kerja disterilisasi. Laminar air flow
cabinet yang akan digunakan terlebih dahulu disterilkan dengan menggunakan
sprayer berisi alkohol 70%. Setelah laminar air flow disemprot, kemudian
dibersihkan dengan tisu. Alat-alat dan media yang digunakan dimasukkan ke
dalam laminar kecuali planlet atau eksplan. Setelah itu, alat-alat dan media yang
sudah dimasukkan disterilisasi dengan cara penyinaran UV selama 1 jam. Setelah
1 jam, penyinaran UV dihentikan, lampu dan fan dihidupkan serta planlet yang
digunakan dapat dimasukkan. Proses penanaman dimulai dari pemotongan planlet
menjadi bagian yang lebih kecil dan terpisah satu sama lain. Kemudian, pada
bagian tangkai dan nodus diiris tipis melintang menjadi 3 bagian dan eksplan
ditanam dalam media secara aseptik. Setelah selesai, eksplan dipelihara dan
ditumbuhkan pada ruang kultur suhu 230C di bawah pencahayaan lampu TL (18
watt X 2, 24 jam terang).

a b

Gambar 4. Tahap penanaman eksplan: (a). Proses pengirisan eksplan di dalam


laminar air flow cabinet secara aseptik, (b). Proses kultur eksplan di dalam ruang
kultur pada suhu 230C di bawah pencahayaan lampu TL

3.4.2.5 Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah persentase pertumbuhan
berupa pencokelatan (browning) eksplan dan respon tumbuh eksplan. Pengamatan
dilakukan sebanyak 3 kali, yakni pada hari ke-5, ke-10 dan ke-19 hari setelah
tanam (HST).
15
3.4.2.6 Analisis Data
Data yang dianalisis adalah persentase pencokelatan (browning) dan
persentase respon pertumbuhan eksplan. Persentase pencokelatan (browning)
eksplan adalah perbandingan antara jumlah eksplan browning dengan jumlah
eksplan yang ditanam untuk setiap perlakuan dan eksplan. Sedangkan, persentase
respon pertumbuhan adalah perbandingan antara jumlah eksplan yang
memberikan respon dengan jumlah eksplan yang ditanam untuk setiap perlakuan
dan eksplan.

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persentase Pertumbuhan Eksplan Meristem Daun dan Batang


Penggunaan eksplan meristem daun dan nodus batang memberikan
perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhannya. Eksplan nodus batang
memiliki tingkat browning eksplan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan
eksplan meristem daun. Browning eksplan tertinggi pada percobaan dengan
menggunakan eksplan meristem daun ada pada P1, P3, P4, P5 dan P8 adalah
sebesar 60% sedangkan dengan menggunakan eksplan nodus batang ada pada P1,
P2, P3, P4, P7 dan P8 adalah sebesar 100% (Gambar 5).

Gambar 5. Persentase browning eksplan meristem daun dan nodus batang


pada 19 HST
Keterangan : P1 = MS0, P2 = MS + NAA 0 ppm + BAP 1 ppm, P3 = MS + NAA 0 ppm
+ BAP 2 ppm, P4 = MS + NAA 1 ppm + BAP 0 ppm, P5 = MS + NAA 1 ppm + BAP 1
ppm , P6 = MS + NAA 1 ppm + BAP 2 ppm, P7 = MS + NAA 2 ppm + BAP 0 ppm, P8
= MS + NAA 2 ppm + BAP 1 ppm, P9 = MS + NAA 2 ppm + BAP 2 ppm

Pada 5 HST eksplan telah menunjukkan beberapa perubahan seperti terjadi


pembengkakan dan perubahan warna menjadi bening tetapi pada 10 hingga 19
HST beberapa eksplan mulai berubah warna menjadi cokelat dan belum
menunjukkan respon pertumbuhan (Gambar 6). Proses pencoklatan eksplan

17
dimulai dari bagian daun yang dilukai, yang kemudian diduga mengeluarkan
eksudat. Eksudat tersebut menyebar pada media dan dapat menyebabkan kematian
eksplan. Kematian eksplan akibat browning dan eksudat sulit dikendalikan
(Ramdan, 2011). Selain itu, planlet yang digunakan juga masih muda sehingga
memungkinkan terjadinya pencokelatan ketika dilukai, hal ini sesuai dengan
pernyataan George dan Sherrington (1984) bahwa eksplan yang masih muda
cenderung mengubah warna eksplan daun menjadi cokelat daripada eksplan daun
yang tua.

a b c

d e

Gambar 6. Kondisi eksplan meristem daun 19 HST dengan perbesaran 40X: (a).
P1, (b). P3, (c). P4, (d). P5, (e). P8.
Keterangan: tanda panah menunjukkan bagian eksplan yang mengalami browning

Pencoklatan eksplan nodus batang lebih tinggi dibandingkan eksplan


meristem daun dengan persentase tertinggi sebesar 100%. Berdasarkan hasil
pengamatan, eksplan nodus batang lebih banyak mengalami pencoklatan ketika
ditumbuhkan pada media MS0 ataupun dengan perlakuan (Gambar 7). Ciri-ciri
eksplan yang diindikasi mengalami kematian adalah adanya kontaminasi
mikroorganisme lain, seperti: jamur dan bakteri yang bersifat patogen,
pencokelatan (browning) pada eksplan dan media hingga berwarna hitam serta

18
tidak adanya tanda-tanda pertumbuhan yang muncul pada eksplan, seperti:
pembengkakan sel, berwarna hijau ataupun terbentuknya kalus (Awal, 2009).

a b c

d e f

Gambar 7. Kondisi eksplan nodus batang 19 HST dengan perbesaran 30X: (a). P1,
(b). P2, (c). P3, (d). P4, (e). P7, (f). P8.
Keterangan: tanda panah menunjukkan bagian eksplan yang mengalami browning

Menurut Santoso dan Nursandi (2003) pencoklatan merupakan peristiwa


munculnya warna coklat atau hitam yang dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan eksplan. Peristiwa pencoklatan merupakan peristiwa alamiah yang
terjadi pada sistem biologi, suatu proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat
pengaruh fisik atau biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan
penyakit atau kondisi lain yang tidak normal). Perlakuan sterilisasi menggunakan
bahan kimia serta pemotongan eksplan diduga merupakan akibat utama
pencoklatan.
Pencoklatan eksplan juga dapat disebabkan karena teknik TLS yang
digunakan untuk mengkultur tidak sesuai dengan jenis tanaman. TLS diduga
kurang sesuai dengan tanaman B. salaziensis karena tanaman ini bersifat
herbaceous sehingga ketika diiris tipis kemungkinan sel atau jaringan
meristemnya telah rusak (Silva, 2008). Kematian kultur maupun planlet didahului
oleh peristiwa senesensi dini. Salah satu gejala senesensi ialah gugur daun yang
diduga berkaitan dengan adanya produksi etilen, kekurangan hara pada media dan
toksin yang terakumulasi. Kandungan auksin endogen dalam tanaman yang sangat
tinggi dapat meningkatkan produksi etilen. Produksi etilen dapat terakumulasi
19
secara nyata dalam fase gas di dalam wadah yang digunakan untuk kultur in vitro.
Pengaruh akumulasi etilen adalah mempercepat penuaan dan perontokan daun
(Magdalita dkk, 1997).

4.2 Tingkat Respon Tumbuh Eksplan serta Kombinasi Konsentrasi NAA


dan BAP yang Paling Optimal
Respon pertumbuhan yang tertinggi pada eksplan meristem daun terjadi
pada P9 adalah sebesar 60% sedangkan pada nodus batang terjadi pada P5, P6 dan
P9 adalah sebesar 20% (Gambar 8).

Gambar 8. Persentase respon pertumbuhan eksplan meristem daun dan


nodus batang pada 19 HST
Keterangan : P1 = MS0, P2 = MS + NAA 0 ppm + BAP 1 ppm, P3 = MS + NAA 0 ppm
+ BAP 2 ppm, P4 = MS + NAA 1 ppm + BAP 0 ppm, P5 = MS + NAA 1 ppm + BAP 1
ppm , P6 = MS + NAA 1 ppm + BAP 2 ppm, P7 = MS + NAA 2 ppm + BAP 0 ppm, P8
= MS + NAA 2 ppm + BAP 1 ppm, P9 = MS + NAA 2 ppm + BAP 2 ppm

Respon pertumbuhan tertinggi dengan menggunakan eksplan meristem daun


ditunjukkan pada percobaan P9 di mana hal ini kemungkinan terjadi karena
kandungan nutrisi pada media P9 adalah yang paling sesuai untuk pertumbuhan
eksplan meristem daun. Pada percobaan P9 terjadi pembengkakan berwarna hijau
keputihan karena terdapat pengaruh komposisi medium dan zat pengatur tumbuh

20
(Gambar 9). Pembengkakan berwarna hijau keputihan ini diduga akan
berkembang menjadi kalus remah nantinya. Kalus remah ini terjadi melalui proses
pertumbuhan yang mengarah pada pembentukan sel-sel berukuran kecil dan
berikatan longgar (Sugiyarto dan Kuswandi, 2014).
Auksin berperan terhadap pembentukan kalus remah di mana NAA akan
menstimulasi pemanjangan sel melalui penambahan plastisitas dinding sel
sehingga menjadi longgar maka dari itu air dapat masuk ke dalam dinding sel
dengan cara osmosis dan sel mengalami pemanjangan. Oleh karena itu, kalus
yang remah mengandung banyak air karena belum mengalami lignifikasi dinding
sel serta antara kumpulan sel yang satu dengan yang lain relatif mudah untuk
dipisahkan (Nisak dkk, 2012).
Terbentuknya kalus dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh faktor genotif,
media, lingkungan tumbuh (suhu dan cahaya), fisiologi jaringan tanaman dan
bagian tanaman yang dipakai. Kalus merupakan suatu kumpulan sel amorphous
yang terjadi dari sel-sel jaringan awal yang membelah diri terus menerus dan
didalam kultur in-vitro dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril
dalam media yang mengandung ZPT (Gunawan, 1987).
Pertumbuhan yang diduga tunas daun ditemukan pada eksplan meristem
daun P3. Menurut Yusnita (2003) menyatakan bahwa penggunaan ZPT sitokinin,
seperti BAP dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan organ seperti
tunas yang berasal dari suatu titik tumbuh. Sumiasri dan Priadi (2002) juga
menyatakan bahwa konsentrasi BAP yang optimal untuk memacu pertumbuhan
tanaman bervariasi dan bergantung pada jenis tanaman. Banyak jumlah tunas
yang terbentuk karena tercapainya antara zat pengatur tumbuh eksogen dengan
eksplan untuk merangsang pemunculan tunas-tunas baru, karena untuk
menghasilkan tunas dalam jumlah banyak eksplan yang dikulturkan juga berasal
dari tunas sehingga eksplan yang digunakan lebih aktif merespon zat pengatur
tumbuh. Selain itu, fungsi lain dari sitokinin adalah sebagai bahan dasar dalam
proses metabolisme asam nukleat dan sintesis protein. Bahan pembangun berupa
karbohidrat yang berperan dalam meningkatkan laju pembelahan sel meristem
pada titik tumbuh (Harjadi, 1992).

21
a b c

d e

Gambar 9. Respon pertumbuhan eksplan 19 HST: (a.) P9, (b.) P3 eksplan


meristem daun dengan perbesaran 30X, (b). P5, (c). P6, (d). P9 eksplan nodus
batang dengan perbesaran 40X.
Keterangan : tanda panah menunjukkan jaringan yang baru tumbuh

Respon pertumbuhan tertinggi dengan menggunakan eksplan nodus batang


terletak pada P5, P6 dan P9. Perlakuan ini dianggap memiliki respon tertinggi
karena pada eksplan masih ditemukan bagian yang berwarna bening dan hijau
disertai dengan pembengkakan. Respon pertumbuhan sebenarnya belum banyak
ditemukan pada kultur dalam penelitian ini dikarenakan waktu pertumbuhan yang
kurang. Eksplan nodus batang memberikan pengaruh yang berbeda dengan
penggunaan eksplan meristem daun dalam penelitian ini dimana eksplan nodus
batang ini kurang memberikan respon tumbuh serta banyak yang mengalami
kematian.
Menurut penelitian Winarto (2007) pada perbanyakan Anthurium, jenis
eksplan yang digunakan berpengaruh besar terhadap keberhasilan kultur jaringan.
Pemilihan eksplan ini berkaitan dengan kemampuan regenerasi (Teng, 1997) dan
tujuan yang ingin dicapai (Chen dkk, 1997). Pada percobaan Winarto ini,
penggunaan hipokotil memiliki respons terbaik dalam membentuk kalus dan bakal
tunas. Pada percobaan ini penggunaan daun muda, hipokotil, dan ujung akar
memiliki kemampuan regenerasi yang sebanding dengan beberapa kultivar yang

22
berbeda. Kemampuan regenerasi sebanding ini terlihat pada eksplan daun A.
andreanum dengan hipokotil dari kultivar Obake dengan akar dari kultivar Obake
dengan akar dari hasil silangan Kaumana dan Merah Belanda (Winarto, 2007).
Penggunaan eksplan meristem daun dianggap lebih potensial dibandingkan
eksplan nodus batang dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sutjahjo (1994) menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari daun atau bagian
daun memberikan memiliki jaringan meristematik yang lebih aktif membelah
sehingga akan lebih mudah tumbuh daripada eksplan dari bagian tanaman lainnya.

23
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Jenis eksplan yang paling baik untuk pertumbuhan B. salaziensis secara in
vitro dengan teknik TLS adalah meristem daun.
2. Respon tumbuh B. salaziensis tertinggi pada eksplan meristem daun, yakni:
60% (P9) serta eksplan nodus batang, yakni: 20% (P5, P6 dan P9).
3. Pencokelatan (Browning) B. salaziensis pada eksplan meristem daun
tertinggi, yakni: 60% (P1, P3, P4, P5 dan P8) serta pada eksplan nodus
batang, yakni: 100% (P1, P2, P3, P4, P7 dan P8).

5.2 Saran
1. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan menggunakan teknik kultur
jaringan konvensional lainnya, yakni dengan pengirisan yang lebih tebal
mengingat dengan teknik TLS kurang sesuai untuk diterapkan pada tanaman
herbaceus.
2. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan menggunakan eksplan dari planlet
yang berumur lebih dari 1 tahun untuk menghindari kerusakan sel dan
jaringan pada saat pengirisan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan Berbagai Konsentrasi BAP dan 2,4-D


terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) secara in vitro.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Arditti, J. dan Ernst, R. 1993. Micropropagation of Orchid. John Wiley and Sons.
New York.

Armini, N. M., L. W. Gunawan, dan G. A. Wattimena. 1992. Perbanyakan


Tanaman. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas, IPB. Bogor. 104
hal.

Awal, Asmah. 2009. Tissue Culture and Morphogenesis of Begonia x hiemalis


Fotsch. cv. Schwabenland Red. Dissertation. Faculty of Science, University
of Malaya, Kuala Lumpur.

Balitjestro. 2014. Sistem Kultur Jaringan Semisolid Stroberi. Tersedia dalam


https://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/sistem-kultur-jaringan-semisolid-
stroberi/. Diakses pada tanggal 28 Januari 2014.

Catteral, E. 1991. Begonias: The Complete Guide. The Crowood Press. Great
Britain.

Chen, F.C., A.R. Kuehnle and N. Sugii. 1997. Anthurium Roots for
Micropropagation and Agrobacterium tumefaciens Mediated Gene Transfer.
Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 49:71-74.

Dobranszkia, J. dan Teixeira-da-Silva, J. A. 2011. Adventitious Shoot


Regeneration from Leaf Thin Cell Layers in Apple. Scientia Horticulturae.
no. 127., pp. 460-63.

George, E.F. dan P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.


Exegetics Ltd, London.

Guedes, R. S., T. L. Silva, Z. G. Luis and J. E. S. Pereira. 2011. Initial


Requirements for Embriogenic Calluses Initiation in Thin Cell Layers
Explants for Immature Female Oil Palm Inflorescences. African Journal of
Biotechnology. 10(52): 10774-10780.

25
Gunawan, L.W. 1987. Pengendalian Teknik In Vitro. Bogor. Laboratorium Kultur.
Jaringan Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

________, L. W. 1988. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur


Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB –Lembaga
Sumberdaya Informasi IPB.

____________ . 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur


Jaringan PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

_____________. 2008. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur


Jaringan PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartutiningsih, S. M. 2005. Adaptasi Jenis-jenis Begonia Alam di Kebun Raya


“Eka Karya” Bali. Laporan. Kebun Raya Eka Karya Bali – LIPI. Bali.

Harjadi. 1992. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.

Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan


dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta:
Kanisius.

Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan


dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta:
Kanisius.

Imelda, M., A. Wulansari dan Y. S. Poerba. 2008. Regenerasi Tunas dari Kultur
Tangkai Daun Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume). Biodiversitas.
9(3): 173-176.

IUCN. 2014. Begonia salaziensis. Tersedia dalam


http://www.iucnredlist.org/details/39460/0. Diakses pada tanggal 25 Januari
2017.

Jones, B. S. dan A. E. Luchsinger. 1987. Plant Systematics (2). Mac Graw-Hill


Book Compony. New Jersey.

Kiew R. 2005. Begonias of Peninsular Malaysia. Natural History Publications


(Borneo). Singapore.

26
Lloyd, G. B. dan B. McCown. 1980. Commercially Feasible Propagation of
Mountain Laurel (Kalmia latifolia) by Use of Shoot Tip Culture. Combined
Proceeding of International Plant Propagator Society. 30: 421-427.

Magdalita PM, Godwin ID, Drew RA, Adkins SW. 1997. Effect of Ethylene and
Culture Environment on Development of Papaya Nodal Cultures. Plant Cell
Tissue Organ Cult. 49: 93-100.

Mikkelsen, E. P., dan Kenneth C. Sink, Jr. 1978. In Vitro Propagation of Rieger
Elatior Begonias. Hort. Sci. 13(3): 242-244.

Murashige and T, Skoog. 1962. A Revised Medium for Rapid. Growth and
Biossay with Tobacco Tissue Culture. Physiologi Plantarum. Vol 15. p 473

Nisak., T. Nurhidayati dan K. I. Purwani. 2012. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi


ZPT NAA dan BAP pada Kultur Jaringan Tembakau Nicotiana tabacum var.
Prancak 95. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 1(1): 1-6.

Pierik, R.L.M. 1997. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhaff


Publishers. Dordrecht Boston Lancaster.

Pranata, A. S. 2004. Pengaruh Pemberian Beberapa Zat Pengatur Tumbuh dalam


Memacu Pertumbuhan Tanaman. Tersedia dalam
http://balittas.litbang.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 23 Januari 2017.

Ramdan. 2011. Kultur Daun dan Pangkal Batang In Vitro Anggrek Bulan Raksasa
(Phalaenopsis gigantea J.J.Smith) pada Beberapa Media Kultur Jaringan.
Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Rout, G. R., Mohapatra, A., dan Mohan Jain, S. 2006. Tissue Culture of
Ornamental Pot Plant: A Critical Review on Present Scenario and Future
Prospects. Biotechnology Advances. no. 24, pp. 531-60.

Rowe, O., dan A. Gallone. 2016. Investigation into the Effects of 6-


Benzylaminopurine and 1-Naphthaleneacetic Acid Concentrations on 3
Micropropagated Begonia rex „Fedor‟ explants. Proceedings of the 2016
International Forum – Agriculture, Biology, and Life Science. pp.131-144.

Sandra, E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta:


AgroMedia Pustaka.

27
Siallagan, J. 2012. Optimasi Teknik Sterilisasi Eksplan Lapang Nanas Asal
Sipahutar (Ananas comosus L.) Secara In Vitro. Skripsi. Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Medan.

Silva, A. T. J. 2008. Plant Thin Cell Layers: Challenging the Concept.


International Journal of Plant Developmental Biology. 2(1): 79-81.

Simmonds, J. A., dan Werry, T. 1987. Liquid-shake Culture for Improved


Micropropagation of B. x hiemalis. Hort. Sci. 22(1): 122-124.

Simmonds, J. A. 1984. Induction, Growth and Direct Rooting of Adventitious


Shoots of B. x hiemalis. Plant Cell Tissue Culture. 3: 283-289.

Steinmacher, D. A., Krohn, N. G., Danras, A. C. M., Stefenon, V. M., Clement, C.


R. dan Guerra, M. P. 2007. Somatic Embryogenesis in Peach Palm Using
the Thin Cell Layer Technique: Induction, Morpho Histological Aspects and
AFLP Analysis of Somaclonal Variation. Annals of Botany. no. 100. pp.
699-9.

Sugiyarto, L. dan P. C. Kuswandi. 2014. Induksi Kalus Daun Binahong (Anredera


cordifolia L.) dalam Upaya Pengembangan Tanaman Obat Tradisional. J.
Sains Dasar. 3(1): 56-60.

Sumiarsi, N dan Priadi, D. 2002. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP terhadap
Pertumbuhan Stek batang Sungkai (Peronema cunescens Jack) pada Media
Cair. Jurnal Alam. 9(2): 32 – 37.

Sutjahjo. 1994. Induksi Keragaman Somaklon Kearah Ketenggangan Terhadap


Keracunan Alumunium Pada Tanaman Jagung. Disertasi. Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tebbitt, M. C. 2005. Begonias: Cultivation, Identification and Natural History.


Timber Press, Inc.

Teixeira-da-Silva, J. A., dan Dobranszki, J. 2013. Plant Thin Cell Layers: A 40-
year Celebration. Journal Plant Growth Regulator. no. 32., pp. 922-43.

Teng, W.L. 1997. Regeneration of Anthurium Adventitious Shoots Using Liquid


or Raft Culture. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 49:153-156.

Wattimena, G. A., L. W. Gunawan, N. A. Mattjik, E. Syamsudin, N. M. A.


Wiendi dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Bogor:
28
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas
Bioteknologi IPB – Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.

Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro.


Koensoemardiyah S. SU, penerjemah; Semarang: IKIP Semarang Press.
Terjemahan dari: Introduction to In Vitro Propagation.

Wilde, D. J. J. F. E. dan J. C. Arends. 1989. Begonia salaziensis (Gaud.) Warb.,


Taxonomy and Placentation. Plant Biology. 38(1): 31-39.

Winarto. 2007. Respons Pembentukan Tunas Aksiler dan Adventif pada Kultur
Anthurium secara In Vitro. J. Hort. 17(1): 17-25.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.


Agromedia Pustaka: Jakarta. 105 Hal.

29
Lampiran 1. Formula hara makro, mikro dan vitamin

Larutan Nama Bahan Kimia mg/l


Larutan A NH4NO3 1650
Larutan B KNO3 1900
Larutan C CaCl2.2H2O 440
Larutan D MgSO4.7H2O 370
Larutan E KH2PO4 170
KI 0,83
H3BO3 6,2
MnSO4.4H2O 22,3
Larutan F ZnSO4.7H2O 8,6
Na2MoO4.2H2O 0,25
CuSO4.5H2O 0,025
CoCl2.6H2O 0,025
Fe2SO4 27,8
Larutan Fe-EDTA
Titriplex 37,8
Inositol 100
Nicotinic acid 0,5
Vitamin + inositol
Pyridoxine HCl 0,5
Thiamine HCl 0,1
Sumber: (Murashige dan Skoog, 1962)

30
Lampiran 2. Ruangan dan hasil kultur yang ada di laboratorium kultur
jaringan

Gambar 9. Ruang persiapan

Gambar 10. Ruang kultur

31
Gambar 11. Ruang transfer

Gambar 12. Hasil kultur yang sedang dipelihara di ruang kultur


32

Anda mungkin juga menyukai