HALAMAN JUDUL i
SUSUNAN PANITIA ii
HALAMAN EDITOR iii
KATA PENGANTAR iv
SUSUNAN ACARA v
DAFTAR ISI vi
ARTIKEL
No. Judul dan Penulis Halaman
ABSTRAK
Pulau Labengki Kecil merupakan kawasan yang punya peranan ekologis dan ekonomis yang cukup penting bagi
keberlanjutan pembangunan Sulawesi Tenggara secara umum dan Kabupaten Konawe Utara khususnya.
Berkaitan dengan gambaran potensi sumberdaya perairan Pulau Labengki Kecil yang cukup tinggi dan upaya-
upaya dalam pengeksploitasiannya yang cukup intensif oleh masayarakat sehingga kawasan ini menjadi penting
untuk diperhatikan keberlanjutannya. Bilamana pengendalian yang tidak berimbang dalam pengelolaan tersebut,
tidak menutup kemungkinan suatu saat keberlanjutannya akan bermasalah. Dengan demikian salah satu unsur
penting yang dikaji adalah bagaimana menempatkan komponen ekologi sebagai faktor penyeimbang dari
berbagai kegiatan pengelolaan yang telah dan akan dilakukan. Dampak exogenous dilakukan dengan
menggunakan indeks pantai (coastal index), indeks keterisolasian (insularity index). Analisis mengenai tekanan
penduduk dilakukan dengan menggunakan indeks populasi, degradasi terumbu karang, degradasi lahan
terbangun. Analisis dampak jarak Pulau Labengki Kecil dari daratan utama dilakukan dengan menggunakan
indeks keterpencilan ekonomi (economicremotenessindex). Analisis penentuan tingkat kerentanan Pulau
Labengki Kecil dilakukan dengan menggunakan compositevulnerableindex. Hasil komposit indeks ekologi
tingkat kerentanan ekologi Pulau Labengki Kecil tergolong tinggi. Sementara itu tingkat kerentanan sosial Pulau
Labengki Kecil Tergolong sedang dan indeks kerentanan sosial-ekologi CVI-SE Pulau Labengki Kecil yang
menjadi objek penelitian memperlihatkan bahwa Pulau Labengki Kecil berada dalam level extremevulnerable
atau kerentanan ekstrim. Bentuk Pengelolaan yang perlu dilakukan untuk Pulau Labengki Kecil yaitu dengan
pendekatan ecological based manajemen.
PENDAHULUAN
Pulau Labengki Kecil merupakan salah satu pulau kecil terluar yang ada dalam wilayah Provinsi
Sulawesi Tenggara. Pulau Labengki kecil terletak di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara.
Pulau Labengki Kecil memiliki luas wilayah daratan ± 30,58 ha dan luas wilayah intertidal (termasuk
terumbu karang, lamun dan hamparan pasir) ± 48,54 ha (analisis citra satelit 2017). Terumbu karang
merupakan sumberdaya tumpuan utama masyarakat Pulau Labengki Kecil dalam menjalankan roda
kehidupan. Kondisi masyarakat yang hampir seluruhnya atau 95% berprofesi sebagai nelayan
memberikan gambaran betapa eratnya hubungan sistem sosial-ekologi yang ada di Pulau Labengki
Kecil dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.
Aktivitas ekonomi masyarakat Pulau Labengki Kecil sangat tergantung pada kondisi sumberdaya
yang ada di sekitar pulau. Kondisi ini memgakibatkan ekploitasi sumberdaya perikanan terus-menerus
terjadi dan pada akhirnya akan mengakibatkan tekanan ekologi yang cukup besar bagi sumberdaya
terumbu karang tersebut. Tingginya tekanan ekologi dapat menurunkan daya dukung lingkungan
terumbu karang dan akan berdampak negatif terhadap sistem sosial-ekologi Pulau Labengki Kecil
karena terumbu karang merupakan inti dari sistem sosial-ekologi Pulau Labengki Kecil.Disamping
itu, letak pulau yang langsung berhadapan dengan laut lepas memberikan ancaman dan resiko yang
cukup besar terhadap perubahan iklim.
Berbagai ancaman dan degradasi ekosistem terumbu karang yang sebagai inti sistem sosial-
ekologi Pulau Labengki Kecil memiliki konsekuensi terhadap hilangnya mata pencaharian penduduk.
Kerusakan ekologi yang disebabkan oleh berbagai perubahan lingkungan tentunya akan
mempengaruhi kondisi berbagai komponen ekosistem yang turut terganggu akibat perubahan iklim.
Menurut Chen (2008) salah satu kerusakan yang terjadi akibat perubahan iklim atau pemanasan global
adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching).
Kondisi perubahan ekologi yang terganggu akibat aktifitas manusia dan faktor lingkungan dapat
memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan
ikan laut. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara
daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi
semakin besar. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat Kusnadi, et. al., (2007)
menyebutkan kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan termasuk
Pulau Labengki Kecil ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial budaya, rendahnya kualitas
sumberdaya manusia (SDM) serta rendahnya kapasitas berorganisasi masyarakatnya.
Berdasarkan berbagai kondisi tersebut perlu dilakukan suatu kajian yang berhubungan dengan
analisis kerentanan sistem sosial-ekologi Pulau Labengki Kecil terhadap pemanfaatan terumbu karang
mengingat Pulau Labengki Kecil memiliki sistem sosial-ekologi tersendiri. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kerentanan sosial di Pulau Labengki Kecil terhadap tekanan pemanfaatan
terumbu karang, menganalisis tingkat kerentanan sistem sosial-ekologi terhadap tekanan pemanfaatan
terumbu karang serta merumuskan bentuk pengelolaan kerentanan sistem sosial-ekologi Pulau
Labengki Kecil terhadap tekanan pemanfaatan terumbu karang.
METODE PENELITIAN
Cl = ..................... (1)
Dimana:
Cli = Coastal Index
Li = Panjang garis pantai (km)
Ai = Luas pulau kecil (km2)
I = Nama PPK
Degradasi Lahan Terbangun
Persamaan degradasi lahan terbangun (Akbar, 2012):
= x 100 ..........(3)
Dimana:
DTK : Degradasi tutupan karang (%)
LKm : Luas tutupan karang mati(km2)
LKT : Total luas tutupan karang (km2)
i : Nama PPK
Indeks Kerentanan Sosial
Tekanan Populasi (PopI)
Indeks populasi diukur dengan menggunakan formulasi (UNEP, 2003) sebagai berikut:
PopI = x "
, !.... (4)
Dimana:
PopI: Tekanan populasi pulau i pada tahun
NAit: Rata-rata populasi per km2 PPK i pada tahun t
Trendi,t-1: Pertumbuhan populasi per tahun pada PPK i
50 dan 2 : Kostanta.
Keterpencilan Ekonomi
Pendekatan yang dapat digunakan dalam hal menaksir keterpencilan dari PPK adalah dengan
menggunakan biaya-biaya transportasi (Conley and Ligon 1998; Adrianto and Matsuda 2004).
Variabel yang akan kita gunakan yaitu biaya-biaya transportasi total (total transportation coast, TTC)
dari mainland ke PPK.
# = ∑" &! #% ......... (5)
Dimana :
TTCi : Total biaya transportasi pulau kecil (rupiah/unit modal)
TCmi : Biaya transportasi barang modal m PPK i
1 : Mewakili modal manusia (rupiah/unit modal manusia)
2 : Mewakili modal produk (rupiah/unit modal produk secara fisik)
Derajat atau keterpencilan pulau diukur sebagai rasio TTC terhadap GIP yang sumbernya dari
sektor transportasi untuk masing-masing tahun pada PPK atau:
)
'( = *+, x 100 ...... (6)
Dimana : ,
ERi : Dampak keterpencilan ekonomi untuk PPK i pada tahun t
TTCit : Total biaya transportasi pada PPK i pada tahun t
GIPtr,it : GIP sektor Transportasi untuk PPK i pada tahun t
Indeks Keterisolasian Pulau
indeks keterisolasian (UNEP, 2003) sebagai berikut:
1
II = - .S 0 ......... (7)
2&!
Dimana:
IIi : Insularity Index (indeks keterisolasian) pulau i
Sij : Jarak antara PPK i dengan PPK / mainland j
1 : Mewakili jarak PPK i dengan PPK lainnya yang seukuran atau lebih besar terdekat j
2 : Mewakili jarak PPK i dengan mainland-1 j
3 : Mewakili jarak PPK i dengan mainland-2 j
I : Nama PPK
Standarisasi dan Komposit Indeks Kerentanan
Standarisasi unit atau satuan (Briguglio 1995; Atkinson et al. 1997; Adrianto and Matsuda 2004).
5 6 52
34 0 = 6785
2
6 5
..........(8)
2 2
( 0 < SVij < 1)
( j = Cli, IIi,Popi, DLTi, DTKi, ERi)
Dimana:
SVij : Standarisasi variabel j pada PPK i
Xij: Nilai dari variabel j untuk PPK i
MinXj: Nilai minimum variabel j untuk semua PPK di dalam indeks
MaxXj: Nilai maksimum variabel j untuk semua PPK di dalam indeks
Cli : Indeks pantai PPK i
IIi : Indeks insularitas PPK i
Popi : Tekanan populasi PPK i
DLTi : Degradasi lahan terbangun PPK i
DTKi : Degradasi terumbu karang PPK i
Eri : Dampak keterpencilan ekonomi PPK i
Perbedaan nilai dari setiap variabel dapat datarik sebuah kesimpulan sesuai dengan asumsi atau
tujuan dan banyaknya variabel indeks yang dilibatkan (Brigulio 1995; Andrianto and Matsuda 2002,
2004). Pada penelitian ini, masing-masing tujuan CVI dibuat atau disusun secara additif dan
multiplikatif sebagai berikut:
a) Komposit Indeks Kerentanan Ekologi
CVI(EK) i = {(SV (CI)i) x 0,2) + (SV(DLT)Ix 0,15) + (SV(DTK)Ix 0,15)}…..................(9)
Dimana:
CVI (EK)i : Komposit indeks kerentanan ekologi PPK i
SV (CI)i : Nilai standarisasi variabel Indeks pantai PPK i
SV (DLT)i : Nilai standarisasi variabel Degradasi lahan terbangun PPK i
SV (DTK)i : Nilai standarisasi variabel Degradasi terumbu karang PPK i
Gambar 4. Peta Sebaran Suhu (A) dan Salinitas (B) Perairan Pulau Labengki.
Kondisi salinitas di perairan Pulau Labengki Kecil juga masih berada dalam kisaran normal. Nilai
salinitas yang didapat berkisar antara 30-32,4o/oo. Sebaran salinitas di perairan Pulau Labengki Kecil
sangat bervariasi dan dinamis. Nilai salinitas menunjukan kecenderungan yang berbeda antara
perairan yang dekat dengan permukiman dan perairan laut dalam. Nilai salinitas cenderung tinggi
pada perairan laut dalam hal ini diduga dipengaruhi massa air yang bergerak masuk dari Laut Banda
yang dibawa oleh pergerakan arus perairan. Sedangkan nilai salinitas perairan cenderung rendah di
wilayah perairan sekitar pulau, hal ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di daratan dan
masuknya bahan-bahan organik di perairan sehingga mempengaruhi nilai salinitas perairan di sekitar
pulau. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4B.
Seperti halnya parameter lingkungan lainnya, nilai parameter pH juga masih berada dalam kisaran
normal. Nilai parameter pH yang didapat berkisar antara 7,2-8,0. Kondisi kecerahan perairan Pulau
Labengki Kecil masih sangat tinggi. Minimnya kegiatan yang dapat menimbulkan sedimentasi atau
masukknya padatan tersuspensi yang dapat masuk ke perairan membuat kecerahan perairan disetiap
stasiun pengamatan mencapai 100%.
Sebagaimana diketahui bahwa laut Sulawesi merupakan salah satu perairan Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO), dimana arus yang bergerak melintasi perairan indonesia sebagai akibat perbedaan tinggi
muka laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Arus ini berasal dari samudera Pasifik dan
kecepatan arusnya sangat dipengaruhi oleh sistem arus ekuatorial sebagai akibat dari hembusan angin
Timur Laut di Samudera Pasifik. Nilai kecepatan arus di perairan Pulau Labengki Kecil berkisar
antara 0,53-0,79 m/detik.vv. Secara umum pola dan pergerakan arus perairain di Pulau Labengki
Kecil bergerak dari Utara menuju barat daya atau dari Laut Banda menuju Teluk Lasolo (Gambar 5).
A B
Gambar 7. Peta Sebaran Terumbu Karang Di Pulau Labengki Kecil (A) dan Persentase Kondisi
Terumbu Karang (B)
Kondisi degradasi terumbu karang di Pulau Labengki Kecil telah mencapai 45% atau separuh dari
terumbu karang yang ada telah terdegradasi seperti yang terlihat pada Gambar 7B.Pada Gambar 7B
menunjukan perbandingan kondisi terumbu karang yang masih hidup dan kondisi terumbu karang
yang telah terdegradasi. Berbandingan ini dihitung dari luas terumbu karang di perairan Pulau
Labengki Kecil yang mencapai ± 33,98 ha atau 0,33 km2. Dari luasan terumbu karang yang ada, ±
15,29 ha atau 0,15 km2 telah terdegradasi dan ± 18,69 ha atau 0,18 km2 berada dalam kondisi baik.
Kondisi terumbu karang yang telah terdegradasi diduga diakibatkan oleh faktor manusia dan alam.
Dari 45% yang telah terderadasi, 23% diduga diakibatkan pola pengelolaan yang tidak ramah
lingkungan sedangkan 22% diduga diakibarkan oleh faktor perubahan iklim dan pemansaan predator.
Aktivitas penangkapan ikan selama ini masih umum terjadi dan banyak merusak terumbu karang
seperti menggunakan bahan peledak dan pembiusan. Aktivitas lain juga cenderung menambah
kerusakan terumbu karang di Pulau Labengki Kecil seperti pengambilan batu karang sebagai pondasi
rumah.
Berdasarkan hasil analisis, nilai indeks degradasi terumbu karang Pulau Labengki Kecil mencapai
0,82. Tingginya nilai indeks degradasi terumbu karang pada Pulau Labengki Kecil diduga disebabkan
oleh pola penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan
pengambilan karang sebagai bahan bangunan di wilayah tersebut.
Terjadinya degradasi terumbu karang merupakan salah satu bukti yang kuat dari adanya pola
pengelolaan yang salah dari sumberdaya terumbu karang yang ada di Pulau Labengki Kecil.
Walaupun hanya Pulau Labengki Kecil yang berpenduduk dan gugusan pulau lainnya tidak
berpenduduk namun degradasi terumbu karang yang berada didaerah tersebut cukup tinggi. Selain itu,
rendahnya sumberdaya manusia penduduk Pulau Labengki Kecil mengenai pengelolaan sumberdaya
alam mempengaruhi kondisi sumberdaya yang ada. Fenomena ini sejalan dengan pernyataan La Sara
(2014), umumnya masyarakat berpendapat bahwa sumberdaya pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil
sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan siapa saja tanpa
memikirkan aspek keberlajutan dari sumberdaya tersebut dan tanpa perlu dikelola secara terpadu.
Dampak dari terjadinya degradasi terumbu karang di Pulau Labengki Kecil sangat dirasakan oleh
masyarakat setempat seperti menurunnya jumlah tangkapan yang mencapai 50% dari tahun-tahun
sebelumnya. Selain itu, pada musim-musim tertentu hempasan gelombang sudah sampai ke bibir
pantai bahkan sampai ke permukiman penduduk.
Indeks Kerentanan Sosial
Selain variabel ekologi, dalam menentukan tingkat kerentanan Pulau Labengki Kecil juga
menganalisis variabel sosial. Variabel sosial yang dianalisis antara lain tekanan populasi,
keterpencilan ekonomi dan keterisolasian pulau.
Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk menjadi faktor yang sangat penting dan harus mendapat perhatian utama
dalam pengelolaan Pulau Labengki Kecil. Tingginya jumlah penduduk di Pulau Labengki Kecil
memberikan dampak yang sangat bersar terhadap sumberdaya yang ada di pulau tersebut, dengan kata
lain masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan memanfaatkan sumberdaya alam
dengan cara mengeksplotasinya tanpa memperhatikan aspek kelestarian dari sumberdaya tersebut.
Konsep pengembangan MPA yang berusaha dibangun mengacu pada prinsip keterpaduan antara
kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi. Hal ini berarti, kegiatan ekonomi masyarakat, baik
yang sedang, maupun yang akan berlangsung diharapkan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi lingkungan dan SDA, sehingga pada akhirnya diharapkan kegiatan MPA memenuhi
kondisi keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekologi. Perkembangan
pemikiran lebih lanjut tentang konsep MPA untuk kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau
mengarah kepada pembangunan ekonomi lokal, yang juga merupakan bagian integral dari
pembangunan ekonomi daerah dalam lingkup lokal. Hal ini berarti bahwa arah, tujuan dan cakupan
inisiatif pengembangan MPA sejalan dengan arah, tujuan dan cakupan pembangunan ekonomi lokal
yakni :
1. Mendorong ekonomi lokal untuk tumbuh dan menciptakan tambahan lapangan kerja.
2. Mendayagunakan sumberdaya lokal yang tersedia secara lebih baik.
3. Menciptakan ruang dan peluang untuk penyelarasan suplai dan permintaan, serta
4. Mengembangkan peluang-peluang baru bagi bisnis.
Perairan Labengki Kecil merupakan zona pemanfaatan tradisional dalam kawasan taman wisata alam
laut provinsi Sulawesi Tenggara sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara optimal dengan
mengembangkan berbagai macam alternatif yang dapat memungkinkan masyarakat memperoleh
pendapatan yang layak tanpa menyampingkan lingkungan. Oleh karena itu pengembangan mata
pencaharian alternatif yang dapat diterapkan adalah budidaya ikan secara polikultur dengan
memadukan lebih dari satu komoditas dalam satu ruang budidaya.
Masyarakat Pulau Labengki Kecil umumnya melakukan kegiatan budidaya lobster dan rumput laut
secara terpisah pada lokasi yang berbeda. Untuk lebih mengoptimalkan budiaya teresebut maka dapat
dilakukan budidaya mutispesies atau polkultur dimana memadukan antara budidaya lobster, rumput
laut dan ikan dalam satu karamba tancap atau karamba apung sehingga pemanfaatan ruang lebih
optimal.
Kawasan yang dapat dikembangkan untuk budidaya di Perairan Pulau Labengki Kecil yang
relatif terlindungi dan aman dari gangguan gelombang sangat terbatas yaitu di sebelah barat
berhadapan langsung dengan Pulau Labengki Besar. Keterbatasaan lahan untuk budidaya ini sangat
potensial untuk pengembangan budidaya multi spesies atau polikultur.
Degradasi Terumbu Karang
Tingginya kerusakan yang terjadi terhadap ekosistem terumbu karang yang ada di Pulau Labengki
Kecil sebagai akibat dari pola pengelolaan masyarakat yang tidak memperhatikan kelestarian seperti
penambangan batu karang, penggunaan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, menyebabkan
kerusakan yang terjadi cukup besar. Dalam mengatasi kerusakan yang terjadi perlu dilakukan
pendampingan masyarakat dalam melakukan pengelolaan dan penciptaan mata pencaharian alternatif.
Rendahnya sumberdaya manusia dan pemehaman masyarakat menjadi pemicu terhadap rusaknya
ekosistem terumbu karang yang ada di Pulau Labengki Kecil. Pemahaman masyarakat secara umum
yang menganggap laut adalah milik bersama (common property rights), dengan demikian setiap
individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider), memanfaatkan sumberdaya tanpa bersedia
terhadap penyediaannya atau pelestariannya.
Selain itu pengambilan satu unit sumberdaya akan mengurangi ketersediaannya bagi pihak lain
untuk memanfaatkannya atau disebut sebagai karakter substracbility atau rivalry (Ostrom, 1990).
Akibat karakter ini maka sumberdaya milik bersama rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih
(over eksploitation) atau kerusakan sumberdaya, inilah yang dikatakan sebagai tragedi bersama
(tragedy of the common). Sesungguhnya tregedi ini bisa terjadi jika tidak adanya penyadaran dan
partisipasi masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan sumberdaya yang bersifat akses terbuka
(open access).
Keterlibatan masyarakat setempat dalam menjaga lingkungan dan sumberdaya merupakan pilahan
yang bijaksana. Peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat setempat dapat dilakukan dengan
penyuluhan, pembinaan serta pendampingan sehingga akan mendorong kesadaran dan kepedulian
terhadap sumberdaya yang tersedia.
Keterpencilan
Keterpencilan baik yang berhubungan dengan wilayah maupun ekonomi dan rendahnya tunjangan
pemerintah menjadi masalah yang seirus khususnya berkaitan dengan permasalahan ekonomi yang
berada di Pulau Labengki Kecil. Tingginya nilai keterpencilan ekonomi dapat dianggap sebagai
ketidakpastian suatu keadaan bagi keterlambatan dan membutuhkan biaya yang sangat tinggi terhadap
barang dan jasa yang masuk ke pulau tersebut, sedangkan bantuan tunjangan yang diberikan
pemerintah sangat kecil. Dari kedua atribut tersebut akan menyebabkan kegiatan pembangunan dan
perekonomian di pulau tersebut menjadi kurang berkembang. Untuk itu perlu adanya pembenahan
baik itu yang berhubungan dengan keterpencilan maupun bantuan tunjangan pemerintah.
Pengembangan ekonomi yang dilakukan di Pulau Labengki Kecil sebaiknya didasarkan pada
karakteristik pulau tersebut, dimana bagi pulau-pulau kecil yang karakteristiknya kecil secara fisik
menyarankan untuk lebih menekankan pada kegiatan ekonomi yang terspesialisasi yang berarti
kegiatan ekonomi yang dilakukan di pulau-pulau kecil tersebut memerlukan tingkat spesialisasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yang lebih besar (Adrianto and Matsuda 2002;2004).
Umumnya masyarakat pulau-pulau kecil kental dengan kehidupan di laut, sehingga pengembangan
ekonomi berbasis perikanan perlu ditingkatkan. Diversifikasi terbatas pada bidang ini perlu juga
dilakukan seperti penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, sehingga tidak merusak habitat
pesisir lainnya yang akan berimplikasi pada nilai ekonomi terhadap sumberdaya yang ada. Sedangkan
untuk pengembangan industri pendukungnya sebaiknya dilakukan di daerah mainland, Sebagai
kawasan konservasi laut daerah, kegiatan ekowisata juga layak dipertimbangkan.
Pulau Labengki Kecil memiliki potensi ekowisata yang cukup besar untuk dikembangkan. Pulau
Labengki Kecil memiliki pantai pasir putih yang bersih dan panorama yang indah untuk dinikmati.
Faktor yang menyebabakan lambatnya pertumbuhan sosial ekonomi adalah terbatasnya infrastruktur
pendukung. Terbatasnya infrastruktur bagi Pulau Labengki Kecil membuat pulau tersebut semakin
terisolasi, mahalnya biaya-biaya dan rendahnya nilai manfaat produk yang dihasilkan serta
membutuhkan persediaan stok kebutuhan dalam jangka panjang dan kurang lancarnya arus
transportasi laut.
Perhatian pemerintah dalam menyediakan infrastruktur sosial ekonomi bagi Pulau Labengki Kecil
sangat diharapkan terutama dari segi transportasi, sistem pendidikan, kesehatan dan sarana air bersih.
Akan tetapi penyediaan sarana-sarana tersebut dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan daya
dukung Pulau Labengki Kecil.
Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut Sawyer
(1993) dan Cesar et al (1997), berbagai macam manfaat terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi
dua, yaitu manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung diantaranya sebagai bahan baku
bangunan dan industri, sebagai penghasil beragam sumberdaya ikan, dan pariwisata; sedangkan
manfaat tidak langsungnya antara lain fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, peredam
gelombang, dan sumber keanekaragaman hayati
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat disarikan dalam penelitian ini antara lain:
1. Tingkat kerentanan ekologi Pulau Labengki Kecil tergolong tinggi.
2. Tingkat kerentanan sosial Pulau Labengki Kecil Tergolong sedang.
3. Tingkat kerentanan komposit Pulau Labengki Kecil tergolong dalam level
extremelyvulnerableatau kerentanan ekstrim.
4. Bentuk Pengelolaan yang perlu dilakukan untuk Pulau Labengki Kecil yaitu dengan
pendekatan ecological based management.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dah pembahasan serta kesimpulan di atas, maka hal-hal yang
dapat disarankan adalah :
1. Perlu dilakukan kajian kerentanan Pulau Labengki Kecil akibat perubahan iklim.
2. Perlu dilakukan kajian valuasi ekonomi Pulau Labengki Kecil.
3. Perlu kajian kerentanan Pulau Labengki Kecil dengan penekanan variabel ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L and Matsuda Y. 2004. Study in assesing econimic vulnerability of small island regions.
Environmental Development and Sustainability. Vol. 6: 317-336.
Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press.Inc, San Diego,
California.
Anna W. Manuputty & Djuwariah. 2009. Panduan Metode : Point Intersecp Transect (PIT) untuk
Masyarakat (studi baseline dan monitoring kesehatan karang di Lokasi Daerah Perlindungan Laut.
Coral Reef Rehabilitation and Management Project – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(COREMAP - LIPI). Jakarta. 2009.
Arief, D. 1992. A Study on Low Frequency Variability in Current and Sea Level in the Lombok Strait
and Adjacent Region. Dissertation, Lousiana State University.
Barr, J. B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Protected Areas Strategy for the Pacific Coast of
Canada. In: Munro, N.W.P. & J.H.M. Willison (Eds.). Linking Protected Areas With Working
Landscapes Conserving Biodiversity. Proceeding of the Third International Conference on Science
and Management of Protected
Beller, W. 1990. How to Sustain A Small Island. In Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P.
15-22.
Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds.). 1990. Sustainable Development and Environmental
Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 57.
Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogor.
Bengen, D G. 2004. Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Sebagai Pilar Pembangunan Kelautan
Berkelanjutan. Makalah pada Konferensi Nasional Pesisir dan Laut IV. Balikpapan 13-17
September.
Bengen, D.G. 2004. Ragam Pemikiran: Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan
Berbasis Eko-sosiosistem. P4L, Bogor.
Bengen, D.G. and I.M. Dutton. 2004. Interactions: mangroves, fisheries and forestry management in
Indonesia. In: Northcote, T.G. and G.F. Hartman (Eds). Fishes an Forestry: Worldwide Watershed
Interactions and Management. Blackwell Science Ltd, Oxford UK.
Bengen, D.G., M. Knight, C. Karubaba, A. Tahir dan T.O. Dangeubun. 2005. Profil Singkat:
Sumberdaya Pesisir Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor. CRMP II/Mitra Pesisir, Jakarta.
Bengen, D.G. 2009. Perspektif Minawisata Bahari dalam Pengelolaan Terpadu Pulau-pulau Kecil
Berbasis Ekosistem dan Masyarakat. Pemikiran Guru Besar IPB (Buku II). Peranan IPTEKS
dalam Pengelolaan Pangan, Energi, SDM, dan Lingkungan yang Berkelanjutan. IPB Press.
Bengen, D.G., Retraubun, A.S.W., Saad, S., 2012. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-pulau Kecil. Cetakan III.Pusat Pembelajaran dan Pengembangan
Pesisir dan Laut (P4L). Bogor.
Berwick, N.K. 1993. Guideline for the Analysis of Biophysical Impacts to Tropical Coastal and
Marine Resources. The Bombay Natural History Society. Centenary Seminar on Conservation in
Developing Countries. Bombay, India.
Brookfield, H. C. 1990. An Approach to Islands. In Bell, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P.
23-33.
Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Cetakan I. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta. 160 hal.
Carter, J.A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual).
Dalhousie University, Environmental Studies Centers Development in Indonesia Project.
Dalhousie, Canada.
Carter, R.W.G. 1988. Coastal Environment: An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural
Systems of Coastlines. Academic Press Inc., San Diego, USA.
Cesar, H. C.G. Lundin, S. Bettencourt and J. Dixon. 1997. Indonesian Coral Reefs: An Economic
Analysis of a Precious but Threatened Resource. Ambio 26: 345-350.
Chapin, Jr. F.S., and E. J. Kaiser. 1985. The Theoretical Underpinnings of Land Use. In Urban Land
Use Planning. Third Edition. University of Illinois Press, Urbana, Chicago, Il. Pp. 26-67.
Charles, A. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science, Osney Mead, Oxford OX2 0EL,
UK.
Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheriesfor Global
Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress (K.Tsukamoto, T. Kawamura, T.
Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser, Eds.). Tokyo: TERRAPUB.
Cicin-Sain, B. and R.W. Kneccht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management : Concepts and
Practices. Island Press, California.
Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. CRC Lewis Publisher, Boca Raton, New
York, London, Tokyo. Commonwealth Science Council (CSC). 1984. Proc. Regional Workshop
on Water Resources of Small Islands. Suva, Fiji. Tech. Publ. Series No. 154.
Collingwood, Australia. Stoddart, D.R. 1975. Almost-atoll of Aitutaki: Geomorphology of Reefs and
Islands. Atoll Res. Bull. 190: 31-57.
Cross, N. 2001. The Future is Now. Blackwell-Science, London.
Dahl, A.L. 1998. Small Island Environmental Management. UNEP Earthwatch, Geneva, Switzerland.
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru
Besar Tetap Bidang Pengelolaan SD Pesisir dan Lautan-FPIKIPB, Bogor.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Tepadu. Edisi Kedua. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Diaz, A. and J. F. Huertas. 1986. Hydrology and Water Balance of Small Islands: A Review of
Existing Knowledge. Technical Documents in Hydrology. UNESCO, Paris. 25pp.