Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
SUSUNAN PANITIA ii
HALAMAN EDITOR iii
KATA PENGANTAR iv
SUSUNAN ACARA v
DAFTAR ISI vi

ARTIKEL
No. Judul dan Penulis Halaman

Topik A: Inovasi Teknologi Kelautan dan Perikanan


1. Efektivitas Perpaduan Transplantasi Karang dan Rumpon Dasar Bagi Pemulihan
Produktivitas pada Area Rehabilitasi Terumbu Karang 1 –11
Ahmad Mustafa, Dedy Oetama, Azwar Sidiq, dan Armid
2. Biomitigasi Ion Pencemar Logam Berat Merkuri (Hg2+) Dengan Mikroalga di Perairan
Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara 12–19
Sartini, Muhamad Fajrin Ode, Ria Amelian Safitri Walanse, dan Emiyarti
3. Peningkatan Nilai Ekonomi Ikan Layang dan Cabai melalui Produksi Ikan Pedas
Kemasan Bergizi Tinggi 20–24
Mashuni, Halimahtussaddiyah Ritonga, M. Jahiding, dan Fitri Handayani Hamid
4. Selektivitas Alat Tangkap Sero yang Dioperasikan di Perairan Tondonggeu, Kecamatan
Abeli, Kota Kendari 25–33
Hasnia Arami dan Wa Nurgayah
5. Analisis Spasial Distribusi Salinitas Permukaan Laut Menggunakan Data Citra Landsat
8-OLI Sebagai Pedoman Dalam Mitigasi Korosi Laut (Studi Kasus: Perairan Teluk
34–48
Kendari)
Nurgiantoro dan Hamdhana
6. Penentuan Suhu, pH, Dan Lama Fermentasi Dalam Produksi Glukosamin Dari Kitin
Udang Windu Menggunakan Monascus Purpureus 49–57
Hardoko, Kevin Samue, dan Eveline
Topic B: Budiddaya Perairan
7. Performansi Karaginan Rumput Laut (E. denticulatum, E. striatum Dan K. alavarezii)
Hasil Budidaya Di Perairan Provinsi Sulawesi Utara 58– 64
Muslimin, Petrus Rani Pong-Masak, dan Early Septiningsih
8. Laju Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Dengan Perlakuan Sumber
Bibit Berbeda 65– 71
Muslimin, Early Septiningsih, dan Petrus Rani Pong-Masak
9. Kepadatan dan Biomassa Chaetomorpha crassa yang Menempel pada Kappaphycus
alvarezii dalam Jaring Kantung Apung di Perairan Pantai Lakeba Kota Bau-Bau 72– 78
Deddy Arnol, Ma’ruf Kasim, dan Nur Irawati
10 Pertumbuhan Cangkang Kerang Pteriapenguin Pada Lama Pemeliharaan Berbeda
. Pasca Implantasi Inti Mutiara Mabe Setengah Bulat 79 – 87
Fitrah Firmansah, Wellem H. Muskita, dan Indrayani
11 Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus Vannamei yang Diberi Ekstrak Bawang
Hutan Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb
88 – 92
Disnawati, Munti Yuhana, Mia Setiawati, Asis Bujang, Waode Munaeni,
La Ode Baytul Abidin
Topic C: Eksplorasi Senyawa Bioaktif Sumberdaya Pesisir dan Laut
12 Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Simbion Pada Karang Sehat Fungia di Pulau Hari 93 – 99
Sulawesi Tenggara
Fatmawati, Ratna Diyah Palupi, dan Haslianti
13 Potensi Ekstrak Mangrove Avicennia lanata Ridley Sebagai Antifertilitas Pada Mencit
Betina (Mus musculus, L.) 100 – 107
Wa Ode Harlis, Jamili, Armid, dan Sukmawati Badwin
14 Pemanfaatan Daun Mangrove Rhizopora mucronata sebagai Bahan Baku Pembuatan
Minuman Fungsional Teh Kombucha 108 – 113
Fery Indradewi Armadany1, Irnawati, Hikmah Satriani
15 Pengaruh Perbedaan Penambahan Anggur Laut (Caulerpa racemosa) Terhadap
Aktivitas Antioksidan dan Kadar Serat Permen Jelly 114 – 118
Kobajashi Togo Isamu, Suwarjoyowirayatno, Fajriah dan, dan Nita Pratiwi Idham
16 Potensi Karboksimetil Kitosan sebagai Antiinflamasi Suatu Kajian Mastosit
119 – 122
. Mohamad Nuh Ibrahim, Edi Widjajanto, Nur Permatasari, dan Akhmad Sabarudin
17 Kajian Potensi Aktivitas Antibakteri dan Metabolit Sekunder beberapa Jenis Spons
123 – 132
Wa ode Intiyani Mangurana, Sahidin, Baru Sadarun
Topic D: Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistim Pesisir dan Laut
18 Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat di Kawasan
Konservasi (Studi Kasus: Taman Nasional Wakatobi) 133 – 138
Dedy Oetama, Yustika Intan Permatahati, Adi Imam Wahyudi, dan Tezza Fauzan
19 Kajian Status Gonad Ikan Janjan (Pseudapocryptes elongatus) pada Saat Bulan
Februari-Mei 2016 di Muara Sungai Lamong, Kabupaten Gresik, Jawa Timur 139 – 143
Fani Fariedah., Widodo, M.S., Faqih, A.R., Ezzat M.A
20 Pola Sebaran Temperatur Permukaan Air Kanal Pendingin Instalasi Pembangkit Listrik
Desa Nii Tanasa Kabupaten Konawe 144 – 152
La Ode Alirman Afu, Muhammad Abdul Muntolib, Amadhan Takwir, dan A. Ginong Pratikno
21 Tingkat Pemanfaatan Kerang Pokea (Batissa violacea Var. Celebensis Von Martens,
1897) di Perairan Sungai Langkumbe, Buton Utara, Sulawesi Tenggara 153 – 163
Jubair Al Hadatz, Bahtiar, dan Abdullah
22 Tingkat Akumulasi Nikel pada Kerang Bulu (Anadara antiquata) di Perairan Pesisir
Dawi-Dawi Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka 164 – 171
Ahmad Zakir, Abdul Hamid, dan Emiyarti
23 Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Pantai Cengkrong Kabupaten
Trenggalek 172 – 175
Mochammad Fattah, Pudji Purwanti, dan Edi Susilo
24 Kelimpahan Hewan Oktokorolia/Bambu Laut (Isis hippuris) di Perairan Pantai Sousu
Kabupaten Wakatobi 176 – 183
Andi Besse Amir dan Mirnawati Firdaus
25 Biologi Reproduksi Rajungan (Portunus pelagicus) Sebagai Arahan Pengelolaan Di
Perairan Bungin Permai Konawe Selatan Sulawesi Tenggara 184 – 194
Yustika Intan Permatahati, La Sara, Yusnaini, dan Tezza Fauzan
26 Kelimpahan dan pola pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Berdasarkan
Kerapatan Mangrove Di Muara Sungai Wawoone Kabupaten Konawe 195 – 205
Rosmiati, La Sara, Yusnaini
Topic E. Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan Perikanan
27 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Sero Dalam Peningkatan Pendapatan Keluarga
di Perairan Tondonggeu Kecamatan Abeli Kota KendariSulawesi Tenggara 206 – 210
Rosmawati, Hasnia Arami, La Onu La Ola
28 Implementasi Subsidi Perikanan Positif Di Kabupaten Konawe
211 – 220
Naslina Alimina, Ayi Ardisastra, Seventry Meiliana Patiung, Paduartama Tandipuang
29 Identifikasi Masalah Sosial dan Rekonstruksi Model Pendekatan Komunikasi
Pariwisata Kemaritiman Pada Masyarakat di Wilayah Pesisir Kecamatan Abeli Kota
221 – 227
Kendari
Harnina Ridwan , Bakri Yusuf, dan Sarpin
30 Kelembagaan Lokal Mini Purse Seine Dalam Penangkapan Ikan di Perairan Selat Buton
228 – 235
La Boi, YaniTaufik, dan Laode Geo
31 Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Kewirausahaan Dan Pemberdayaan
Masyarakat Berbasis Usaha Rumput Laut Di Wilayah Pesisir Sulawesi Tenggara
236 – 244
Abd Azis Muthalib, Jamal Nasir Baso, Asrip Putera, Ahmad Muhlis Nuryadi, Muhammad Nur
Afiat
32 Keragaan Teknis dan Sistem Bisnis Perikanan Rajungan Dalam Perspektif Sistem
Logistik Ikan (Kasus di Selat Tiworo Sulawesi Tenggara) 245 – 253
Waode Aswati, Ahmad Mustafa, Ari Sandy Muchtar, dan Sjamsu Alam Lawelle
33 Pola Hubungan Patron-Klien Nelayan Tangkap (Studi Hubungan Punggawa-Sawi di
Kampung Bugis, Kota Kendari) 254 – 260
Awaluddin Hamzah, Hartina Batoa, Abdul Gafaruddin, dan La Ode Kasno Arif
34 Pemberdayaan Wanita Nelayan melalui Diversifikasi Produk Olahan Perikanan dalam
Usaha Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga di Kecamatan Kendari Barat Kota
261 – 267
Kendari
Seventry Meliana Patiung dan Abdul Sarifin
35 Analisis Kerentanan Sistem Sosial-Ekologi Pulau-Pulau Kecil Terhadap Tekanan
Pemanfaatan Terumbu Karang: Studi Kasus Pulau Labengki Kecil Kabupaten
Konawe Utara 268 – 285
Jumaidin, Andi Irwan Nur, Muhammad Ramli, Ahmad Mustafa, Amadhan Takwir, Dedy
Oetama, Ari Sandy Muchtar, Adi Imam Wahyudi
36 Dampak Belanja Pemerintah Daerah untuk Sub-Sektor Perikanan Terhadap
Kesempatan Kerja, Output, dan Kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara Indonesia 286 – 293
Muhammad Arief Dirgantoro, Risfandi, Putu Arimbawa, Budiyanto
Topic F: Pengabdian Kepada Masyarakat
37 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Reforestasi Mangrove danPemasangan Artificial
Reef di Kawasan Konservasi Peraira Daerah (KKPD) Konawe Selatan 294 – 304
Oce Astuti, La Sara, Wa Nurgayah, Emiyarti dan Muis Balubi
38 Pengelolaan Infrastruktur Sampah Dan Air Bersih Untuk Mendukung Destinasi Wisata
Berkelanjutan Pada Objek Wisata Pantai Batu Gong 2 305 – 313
Kurniati Ornam, Siti Belinda Amri, Masykur Kimsan, Santi, dan Syafrianto Amsyar
39 Pelatihan Pembuatan Lampu Bawah Air dan Pendampingan Pemanfaatannya Bagi
Nelayan Bagan di Kelurahan Wandoka Utara, Kabupaten Wakatobi 314 – 318
Hasnia Arami, Naslina Alimina, dan Paduartama Tandipuang
40 Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Sadar Wisata melalui Pembuatan Coral
Garden di Desa Namu Sulawesi Tenggara 319 – 323
Ratna Diyah Palupi, Ira, dan Risfandi
41 Peningkatan Kemampuan Pembuatan Konstruksi Bangunan Berbasis Teknologi
Tepat Guna di Kelurahan Tondonggeu Kecamatan Nambo Kota Kendari 324 – 332
Arman Faslih, Halim, Kadir, Try Sugiyarto Soeparyanto, Muhammad Zakaria Umar
Analisis Kerentanan Sistem Sosial-Ekologi Pulau-Pulau Kecil Terhadap
Tekanan Pemanfaatan Terumbu Karang: Studi Kasus Pulau Labengki Kecil
Kabupaten Konawe Utara
Jumaidin1*, Andi Irwan Nur2, Muhammad Ramli3, Ahmad Mustafa2, Amadhan Takwir3,
Dedy Oetama2, Ari Sandy Muchtar2, Adi Imam Wahyudi4
1
Pascasarjana Universitas haluoleo
2
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UHO
3
Jurusan Ilmu Kelautan FPIK UHO
4
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
*Email: jumaidin66@gmail.com

ABSTRAK

Pulau Labengki Kecil merupakan kawasan yang punya peranan ekologis dan ekonomis yang cukup penting bagi
keberlanjutan pembangunan Sulawesi Tenggara secara umum dan Kabupaten Konawe Utara khususnya.
Berkaitan dengan gambaran potensi sumberdaya perairan Pulau Labengki Kecil yang cukup tinggi dan upaya-
upaya dalam pengeksploitasiannya yang cukup intensif oleh masayarakat sehingga kawasan ini menjadi penting
untuk diperhatikan keberlanjutannya. Bilamana pengendalian yang tidak berimbang dalam pengelolaan tersebut,
tidak menutup kemungkinan suatu saat keberlanjutannya akan bermasalah. Dengan demikian salah satu unsur
penting yang dikaji adalah bagaimana menempatkan komponen ekologi sebagai faktor penyeimbang dari
berbagai kegiatan pengelolaan yang telah dan akan dilakukan. Dampak exogenous dilakukan dengan
menggunakan indeks pantai (coastal index), indeks keterisolasian (insularity index). Analisis mengenai tekanan
penduduk dilakukan dengan menggunakan indeks populasi, degradasi terumbu karang, degradasi lahan
terbangun. Analisis dampak jarak Pulau Labengki Kecil dari daratan utama dilakukan dengan menggunakan
indeks keterpencilan ekonomi (economicremotenessindex). Analisis penentuan tingkat kerentanan Pulau
Labengki Kecil dilakukan dengan menggunakan compositevulnerableindex. Hasil komposit indeks ekologi
tingkat kerentanan ekologi Pulau Labengki Kecil tergolong tinggi. Sementara itu tingkat kerentanan sosial Pulau
Labengki Kecil Tergolong sedang dan indeks kerentanan sosial-ekologi CVI-SE Pulau Labengki Kecil yang
menjadi objek penelitian memperlihatkan bahwa Pulau Labengki Kecil berada dalam level extremevulnerable
atau kerentanan ekstrim. Bentuk Pengelolaan yang perlu dilakukan untuk Pulau Labengki Kecil yaitu dengan
pendekatan ecological based manajemen.

Kata Kunci: Pulau Labengki, tekanan ekologi, kerentanan dan pengelolaan.

PENDAHULUAN

Pulau Labengki Kecil merupakan salah satu pulau kecil terluar yang ada dalam wilayah Provinsi
Sulawesi Tenggara. Pulau Labengki kecil terletak di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara.
Pulau Labengki Kecil memiliki luas wilayah daratan ± 30,58 ha dan luas wilayah intertidal (termasuk
terumbu karang, lamun dan hamparan pasir) ± 48,54 ha (analisis citra satelit 2017). Terumbu karang
merupakan sumberdaya tumpuan utama masyarakat Pulau Labengki Kecil dalam menjalankan roda
kehidupan. Kondisi masyarakat yang hampir seluruhnya atau 95% berprofesi sebagai nelayan
memberikan gambaran betapa eratnya hubungan sistem sosial-ekologi yang ada di Pulau Labengki
Kecil dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.
Aktivitas ekonomi masyarakat Pulau Labengki Kecil sangat tergantung pada kondisi sumberdaya
yang ada di sekitar pulau. Kondisi ini memgakibatkan ekploitasi sumberdaya perikanan terus-menerus
terjadi dan pada akhirnya akan mengakibatkan tekanan ekologi yang cukup besar bagi sumberdaya
terumbu karang tersebut. Tingginya tekanan ekologi dapat menurunkan daya dukung lingkungan
terumbu karang dan akan berdampak negatif terhadap sistem sosial-ekologi Pulau Labengki Kecil
karena terumbu karang merupakan inti dari sistem sosial-ekologi Pulau Labengki Kecil.Disamping
itu, letak pulau yang langsung berhadapan dengan laut lepas memberikan ancaman dan resiko yang
cukup besar terhadap perubahan iklim.
Berbagai ancaman dan degradasi ekosistem terumbu karang yang sebagai inti sistem sosial-
ekologi Pulau Labengki Kecil memiliki konsekuensi terhadap hilangnya mata pencaharian penduduk.
Kerusakan ekologi yang disebabkan oleh berbagai perubahan lingkungan tentunya akan
mempengaruhi kondisi berbagai komponen ekosistem yang turut terganggu akibat perubahan iklim.
Menurut Chen (2008) salah satu kerusakan yang terjadi akibat perubahan iklim atau pemanasan global
adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching).
Kondisi perubahan ekologi yang terganggu akibat aktifitas manusia dan faktor lingkungan dapat
memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan
ikan laut. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara
daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi
semakin besar. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat Kusnadi, et. al., (2007)
menyebutkan kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan termasuk
Pulau Labengki Kecil ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial budaya, rendahnya kualitas
sumberdaya manusia (SDM) serta rendahnya kapasitas berorganisasi masyarakatnya.
Berdasarkan berbagai kondisi tersebut perlu dilakukan suatu kajian yang berhubungan dengan
analisis kerentanan sistem sosial-ekologi Pulau Labengki Kecil terhadap pemanfaatan terumbu karang
mengingat Pulau Labengki Kecil memiliki sistem sosial-ekologi tersendiri. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kerentanan sosial di Pulau Labengki Kecil terhadap tekanan pemanfaatan
terumbu karang, menganalisis tingkat kerentanan sistem sosial-ekologi terhadap tekanan pemanfaatan
terumbu karang serta merumuskan bentuk pengelolaan kerentanan sistem sosial-ekologi Pulau
Labengki Kecil terhadap tekanan pemanfaatan terumbu karang.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan yaitu Bulan Oktober sampai dengan Bulan
November 2017 terhitung sejak survei lapangan, tabulasi dan analisis data, penyusunan dan
pembahasan hasil penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Pulau Labengki Kecil yang
merupakan bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Lasolo Kepulauan Kabupaten Konawe Utara
Provinsi Sulawesi Tenggara.Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 dan yang lebih jelas
dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian.


Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.
Pengambilan data primer dan sekunder meliputi data ekologi dan sosial-ekonomi yang ada dalam
kawasan Pulau Labengki Kecil. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan tujuan untuk
membuat suatu gambaran secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena
yang diteliti. Metode ini terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu (1) memberikan gambaran situasi atau
suatu kejadian; (2) menerangkan hubungan antar variabel-variabel; (3) pengumpulan data dilakukan
dengan cara wawancara terhadap responden. Data sekunder meliputi data dari berbagai sumber yang
berkaitan dengan informasi terhadap penelitian ini seperti Badan perencanaan pembangunan daerah,
Dinas perikanan dan kelautan, Badan pusat statistik, BMKG dan Lembaga Swasta terkait yang ada
dalam pemerintahan Kabupaten Konawe Utara dan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Metode Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan, wawancara dan observasi
dengan menggunakan metode semi structured interviews. Data primer meliputi data geofisik,
ekobiologi, data sosial dan ekonomi. Data geofisik berupa kenaikan muka laut, perubahan garis
pantai, tipologi pulau, luas pulau, insularity (keterpencilan), Data ekobiologi berupa terumbu karang
dan organisme yang berasosiasi didalamnya. Sedangkan data sosial dan ekonomi berupa pertumbuhan
dan kepadatan penduduk, penggunaan lahan, pola pemukiman, sumber pendapatan, rasio aktifitas
perdagangan, rasio keuangan eksternal. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka baik
dari buku, jurnal dan laporan yang berasal dari dinas terkait, swasta maupun perguruan tinggi lainnya.
Analisis Data
Indeks Kerentanan Ekologi
Indeks Pantai
Berdasarkan pengertiannya maka indeks pantai dapat diformulasikan sebagai berikut (UNEP,
2003):

Cl = ..................... (1)
Dimana:
Cli = Coastal Index
Li = Panjang garis pantai (km)
Ai = Luas pulau kecil (km2)
I = Nama PPK
Degradasi Lahan Terbangun
Persamaan degradasi lahan terbangun (Akbar, 2012):

= x 100 ...... (2)


Dimana:
DLT : Degradasi lahan terbangun (%)
LT : Luas lahan terbangun (km2)
A : luas PPK (km2)
I : Nama PPK
Indeks Degradasi Terumbu Karang
Untuk melihat laju degradasi terumbu karang pada pulau menggunkan data primer atau data hasil
survei. Persamaan yang digunakan dalam menilai indeks ini adalah menggunakan indeks Persamaan
degradasi tutupan terumbu karang relative yang digunakan Akbar, 2012:

= x 100 ..........(3)
Dimana:
DTK : Degradasi tutupan karang (%)
LKm : Luas tutupan karang mati(km2)
LKT : Total luas tutupan karang (km2)
i : Nama PPK
Indeks Kerentanan Sosial
Tekanan Populasi (PopI)
Indeks populasi diukur dengan menggunakan formulasi (UNEP, 2003) sebagai berikut:

PopI = x "
, !.... (4)
Dimana:
PopI: Tekanan populasi pulau i pada tahun
NAit: Rata-rata populasi per km2 PPK i pada tahun t
Trendi,t-1: Pertumbuhan populasi per tahun pada PPK i
50 dan 2 : Kostanta.
Keterpencilan Ekonomi
Pendekatan yang dapat digunakan dalam hal menaksir keterpencilan dari PPK adalah dengan
menggunakan biaya-biaya transportasi (Conley and Ligon 1998; Adrianto and Matsuda 2004).
Variabel yang akan kita gunakan yaitu biaya-biaya transportasi total (total transportation coast, TTC)
dari mainland ke PPK.
# = ∑" &! #% ......... (5)

Dimana :
TTCi : Total biaya transportasi pulau kecil (rupiah/unit modal)
TCmi : Biaya transportasi barang modal m PPK i
1 : Mewakili modal manusia (rupiah/unit modal manusia)
2 : Mewakili modal produk (rupiah/unit modal produk secara fisik)
Derajat atau keterpencilan pulau diukur sebagai rasio TTC terhadap GIP yang sumbernya dari
sektor transportasi untuk masing-masing tahun pada PPK atau:
)
'( = *+, x 100 ...... (6)
Dimana : ,
ERi : Dampak keterpencilan ekonomi untuk PPK i pada tahun t
TTCit : Total biaya transportasi pada PPK i pada tahun t
GIPtr,it : GIP sektor Transportasi untuk PPK i pada tahun t
Indeks Keterisolasian Pulau
indeks keterisolasian (UNEP, 2003) sebagai berikut:
1
II = - .S 0 ......... (7)
2&!
Dimana:
IIi : Insularity Index (indeks keterisolasian) pulau i
Sij : Jarak antara PPK i dengan PPK / mainland j
1 : Mewakili jarak PPK i dengan PPK lainnya yang seukuran atau lebih besar terdekat j
2 : Mewakili jarak PPK i dengan mainland-1 j
3 : Mewakili jarak PPK i dengan mainland-2 j
I : Nama PPK
Standarisasi dan Komposit Indeks Kerentanan
Standarisasi unit atau satuan (Briguglio 1995; Atkinson et al. 1997; Adrianto and Matsuda 2004).
5 6 52
34 0 = 6785
2
6 5
..........(8)
2 2
( 0 < SVij < 1)
( j = Cli, IIi,Popi, DLTi, DTKi, ERi)
Dimana:
SVij : Standarisasi variabel j pada PPK i
Xij: Nilai dari variabel j untuk PPK i
MinXj: Nilai minimum variabel j untuk semua PPK di dalam indeks
MaxXj: Nilai maksimum variabel j untuk semua PPK di dalam indeks
Cli : Indeks pantai PPK i
IIi : Indeks insularitas PPK i
Popi : Tekanan populasi PPK i
DLTi : Degradasi lahan terbangun PPK i
DTKi : Degradasi terumbu karang PPK i
Eri : Dampak keterpencilan ekonomi PPK i
Perbedaan nilai dari setiap variabel dapat datarik sebuah kesimpulan sesuai dengan asumsi atau
tujuan dan banyaknya variabel indeks yang dilibatkan (Brigulio 1995; Andrianto and Matsuda 2002,
2004). Pada penelitian ini, masing-masing tujuan CVI dibuat atau disusun secara additif dan
multiplikatif sebagai berikut:
a) Komposit Indeks Kerentanan Ekologi
CVI(EK) i = {(SV (CI)i) x 0,2) + (SV(DLT)Ix 0,15) + (SV(DTK)Ix 0,15)}…..................(9)

Dimana:
CVI (EK)i : Komposit indeks kerentanan ekologi PPK i
SV (CI)i : Nilai standarisasi variabel Indeks pantai PPK i
SV (DLT)i : Nilai standarisasi variabel Degradasi lahan terbangun PPK i
SV (DTK)i : Nilai standarisasi variabel Degradasi terumbu karang PPK i

b) Komposit Indeks Sosial


CVI(SE)i = {(SV (Popl)i x 0,15) + (SV (II)i x 0,2) + (SV (ER)i x 0,3)}.......................(10)
Dimana :
CVI(S)i : Komposit indeks kerentanan sosial PPK i
SV (PopI)i : Nilai standarisasi variabel Tekanan populasi PPK i
SV (II)i : Nilai standarisasi variabel Indeks insularitas PPK i
SV (ER)i : Nilai standarisasai variabel Dampak keterpencilan ekonomi

c) Komposit Indeks Ekologi dan Sosial


CVI(ES)i = {(CVI(Ek)i x 0,6) + (CVI (S) X 0,4)}......................(11)
Dimana :
CVI(ES)i : Komposit indeks kerentanan ekologi dan sosial
CVI(Ek)i : Komposit indeks kerentanan ekologi PPK i;
CVI(S)i : Komposit indeks kerentanan PPK i;
0.6, 0.4 : Bobot pertimbangan pada masing-masing CVI (Ek)i dan CVI (S)i

Penentuan Tingkat Kerentanan


Penentuan tingkat kerentanan yang dikembangkan oleh Kaly et al. (2004) dengan rujukan tingkat
kerentanan yang dikembangkan Briguglio (1995); Adrianto and Matsuda (2002;2004). Kaly et al.
(2004) membagi tingkat kerentanan lingkungan ke dalam 5 tingkatan yaitu, pertama: ”resilient”,
merupakan tingkatan kerentanan paling bawah yang menunjukkan kondisi sifat lingkungan dalam
keadaan tidak adanya potensi dampak yang membahayakan (memiliki kapasitas lingkungan yang
besar); kedua ”atrisk”, menunjukkan kondisi sifat lingkungan sedang menghadapi bahaya atau
beresiko; ketiga ”vulnerable”, tingkat kerentanan yang menunjukkan sifat kondisi lingkungan yang
berbahaya sedang; keempat ”highlyvulnerable”, tingkatan kerentanan keempat yang menunjukkan
kondisi sistem lingkungan sudah berbahaya tinggi; dan lima: ”extremelylyvulnerable” merupakan
tingkatan kerentanan tertinggi yang menunjukkan kondisi sifat sistem lingkungan sudah sangat tinggi.
Briguglio (1995); Adrianto and Matsuda (2002;2004), menunjukan tingkat kerentanan secara
kuantitatif dan kualitatif berdasarkan hasil standarisasi variabel (SV) atau komposit indeks kerentanan
(CVI) yang memiliki nilai dari 0 hingga 1 (0<CVI<1), yang berarti bahwa nilai batas bawah memiliki
tingkat kerentanan rendah dan nilai batas atas dengan tingkat kerentanan sangat tinggi, sedangkan
nilai pertengahan mengindikasikan tingkat kerentanan sedang.
Dalam penelitian analisis kerentanan di Pulau Labengki Kecil, mengambil model perpaduan di atas
dengan memanfaatkan nilai kerentanan kuantitatif dari Briguglio (1995); Adrianto and Matsuda
(2002;2004) dengan membagi sesuai banyaknya tingkatan sifat kerentanan (kuantitatif) dari Kaly et
al. (2004). Metode ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan nilai standarisasi dari variabel yang
ada didalamnya, pembobotan atau beban dari masing-masing potensi dampak tekanan (pressure),
mengakomodir perubahan nilai tekanan exogenous dimasa mendatang dan relatif lebih mudah dalam
melakukan penilaian tingkat kerentanan suatu lokasi.
Pengembangan dari kedua metode penilaian tingkat kerentanan memiliki penggunaan istilah
yang tidak persis sama dengan yang dinyatakan oleh Kaly et al. (2004) tersebut, akan tetapi memiliki
makna dan maksud yang mirip serta indikator warna tingkat kerentanan mengikuti rujukan Kaly et al.
(2004).
Tabel 1. Penentuan tingkat kerentanan PPK
Nilai CVI Level Kerentanan Indikator Warna Level
0.0≤CVI<0.2 Non-vulnerable
0.2≤CVI≤0.4 Low Vulnerable
0.4≤CVI≤0.6 Medium vulnerable
0.6≤CVI≤0.8 Highly vulnerable
0.8≤CVI≤1.0 Extremelyly vulnerable

Strategi Pengelolaan Pulau Labengki Kecil


Penyusunan strategi pengelolaan Pulau Labengki Kecil bertujuan untuk memilih alternatif atau
suatu rencana kebijakan yang akan dilakukan dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi
dikemudian hari berdasarkan kondisi yang terjadi saat ini. Pemilihan alternatif yang akan dilakukan
dalam penyusunan strategi yang akan dipakai dalam pengelolaan Pulau Labengki Kecil didasarkan
pada kondisi yang diperoleh dari nilai kerentanan pada setiap dimensi.
Berdasarkan dimensi kerentanan, dimensi kerentanan yang diukur yaitu:
1. Dimensi Ekologi
Dimensi ekologi yang dikaji yaitu pada ekosistem utama Pulau Labengki Kecil yaitu terumbu
karang. Selain ekosistem terumbu karang untuk melihat kerentanan pada dimensi ekologi di ukur juga
atribut karakteristik lahan (indeks pantai dan keterisolasian pulau), degradasi lahan dan kenaikan
muka laut. Semua atribut yang diukur tersebut terkait langsung dengan eksistensi keberlanjutan Pulau
Labengki Kecil. Skenario yang akan dilakukan upaya adaptasi sebagai upaya untuk mendukung
keberlanjutan dari ekosistem ataupun atribut yang diukur sehingga dapat mempertahankan
keberlanjutan Pulau Labengki Kecil.
2. Dimensi Sosial
Pada dimensi sosial terdapat beberapa atribut kerentanan yaitu tekanan penduduk dan
keterpencilan ekonomi. Pada dimensi ini atribut yang diukur seperti tekanan populasi dimaksudkan
untuk melihat dampak kehadiran manusia terhadap pulau maupun lingkungan alam termasuk biotanya
sedangkan untuk keterpencilan ekonomi dimaksudkan untuk melihat sejauh mana tingkat
perkembangan ekonomi suatu pulau. Berdasarkan hal tersebut maka dua atribut kerentanan dimensi
ekonomi tersebut akan berpengaruh terhadap keberlanjutan Pulau Labengki Kecil. Untuk itu
diperlukan suatu strategi yang akan digunakan adaptasi terhadap kedua atribut kerentanan yang diukur
tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Terumbu Karang Pulau Labengki Kecil


Seperti halnya pulau-pulau kecil lainnya yang ada di Indonesia, Pulau Labengki Kecil juga
memiliki sumberdaya alam yang menjadi tumpuan utama masyarakat pulau kecil yaitu ekosistem
terumbu karang.
Terumbu karang merupakan ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh organisme
mikroskopis penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-
sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis-jenis moluska, krustasea, ekhinodermata,
polikhaeta, porifera, dan tunikata serta biota-biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya,
termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis nekton.
Tipe terumbu karang yang ada di Indonesia terdiri dari 4 (empat) tipe antara lain terumbu karang
penghalang (barrier reef), terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang cincin (attol), dan
terumbu karang tersebar atau gosong (patch reef). Terumbu karang di perairan Pulau Labengki Kecil
dapat digolongkan atas dua tipe, yaitu terumbu karang tepi (fringing reef) dan terumbu karang
tersebar atau gosong karang (patchreef). Fringing reef menyebar mengikuti pesisir pantai dari daratan
dan sekeliling Pulau Labengki Kecil, sedangkan patch reef timbul dan menyebar dalam bentuk
beberapa gosong karang yang relatif hidup pada perairan dangkal. Kondisi terumbu karang Pulau
Labengki Kecil dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Kondisi Terumbu Karang Pulau Labengki Kecil
Titik % Cover
Ket.
Pengamatan Biotik Abiotik Other Total
I 33 63 4 100 Sedang
II 37 61 2 100 Sedang
III 52 47 1 100 Baik
IV 58 38 4 100 Baik
V 52 33 15 100 Baik
VI 64 32 4 100 Baik
Rerata 49,33 45,67 5 100 Sedang
Berdasarkan Tabel 2., dapat dilhat persentase kondisi terumbu karang hidup di perairan Pulau
Labengki Kecil berkisar antara 33-64% atau dalam kategori sedang hingga baik. Namun demikian
rerata nilai persentase terumbu karang hidup hanya mencapai 49,33% tidak jauh berbeda dengan
persentase terumbu karang mati 45,67%.
Selain biotik dan abiotik ditemukan pula komponen organisme lain atau Other fauna dengan
persentase rata-rata mencapai 5%. Organisme lain yang ditemukan di dasar laut Perairan Pulau
Labengki antara lain spons, kima, teripang, lambis-lambis dan berbagai mega benthos lainnya.
Pada Gambar 4., memperlihatkan beberapa gambaran kondisi kerusakan terumbu karang yang
diduga akibat pemangsaan predator, perubahan iklim dan kegiatan pemanfaatan perikanan yang tidak
ramah lingkungan.
Secara umum sebahagian besar degradasi terumbu karang di perairan Pulau Labengki Kecil diduga
disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (penggunaan bahan
peledak) di masa lampau. Hal ini didukung dengan tingginya persentase patahan karang (rubble)
dengan persentase mencapai 23% dari total terumbu karang mati, 22,67% merupakan karang mati
(deadcoral) dan karang mati yang telah ditumbuhi alga (dead coral with algae) yang diduga akibat
perubahan iklim dan pemangsaan predator
Degradasi terumbu karang yang diduga akibat perubahan iklim dapat ditandai dengan adanya
pemutihan terumbu karang akibat kehilangan zoozanthellae pada polip karang dan dialami lebih dari
satu koloni karang. Sedangkan pemutihan terumbu karang yang diduga akibat pemangsaan predator
memiliki alur gerak atau tidak merata. Degradasi terumbu karang di perairan Pulau Labengki Kecil
berdampak pula pada keberadaan ikan karang yang berasosiasi pada terumbu karang tersebut.
Keberadaan jenis dan kelimpahan ikan di perairan Pulau Labengki Kecil merupakan indikator yang
dapat dilihat langsung untuk membuktikan apakah lingkungan perairan masih mendukung bagi
kelangsungan hidup biota perairan atau tidak.
Mobilitas dan kepekaan ikan (nekton) yang relatif tinggi terhadap perubahan lingkungan dalam
ekosistem perairan menyebabkan keberadaan ikan sangat penting untuk diamati, karena ikan akan
selalu menghindar atau bahkan akan mati bila terdapat tekanan lingkungan yang melewati titik
ambang kelayakan habitat bagi aktivitas biologis dan ekologis ikan tersebut. Kondisi ikan karang di
perairan Pulau Labengki Kecil dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Ikan Karang Di Perairan Pulau Labengki Kecil
Titik Jumlah
Pengamatan Famili Genus Spesies Individu
I 13 27 51 236
II 17 36 37 436
III 13 18 28 176
IV 14 26 44 207
V 17 34 64 360
VI 11 17 25 220
Rerata 14 26 42 273
Berdasarkan Tabel 3., rerata kelimpahan relatif ikan karang di perairan Pulau Labengki Kecil
yaitu 273 individu/250 m2 atau 1,1 individu/m2. Secara umum jumlah jenis ikan yang teridentifikasi
adalah64 spesies, 17 famili, 36 genus. Jenis ikan yang teridentifikasi diantaranya jenis ikan dari
kelompok ikan target yang tergolong dalam famili Acanthuridae, Balastidae, Lutjanidae, Mullidae,
Nemipteridae,Serranidae, Scaridae dan Siganidae. Dari kelompok ikan mayor ditemukan dari famili
Zanclidae,Grammisitidae, Labridae dan Pomacentridae. Dari kelompok ikan indikator yaitu famili
Chaetodontidae.
Secara umum jumlah individu yang dominan ditemukan merupakan kelompok ikan mayor dari
famili Pomacentridae dengan rata-rata mencapai 76 individu. Sedangkan dari kelompok ikan target
famili Acanthuridae dengan rata-rata mencapai 34 individu, sedangkan kelompok ikan indikator
famili Chaetodontidae merupakan ikan yang dominan ditemukan disemua stasiun dengan rata-rata
mencapai 6 individu.
Kondisi Kualitas Lingkungan Perairan
Parameter lingkungan perairan Pulau Labengki Kecil yang diamati antara lain suhu perairan,
salinitas, pH, kecerahan dan kecepatan arus. Nilai parameter kualitas perairan yang diamati dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kualitas Lingkungan Perairan Pulau Labengki Kecil.


Parameter Titik Pemantauan
No Lingkungan I II III IV V VI
Perairan
1 Suhu (oC) 27 27, 27 27,77 28, 28,0
25 ,5 29 3
1
2 Salinitas (o/oo) 30 30, 31 31,5 32 32,4
5
3 pH 7,5 7,9 7, 7,7 8,0 8,0
2
4 Kecerahan (%) 100 10 10 100 100 100
0 0
5 Kecepatan Arus 0,7 0,6 0, 0,72 0,6 0,76
(m/detik) 9 7 53 2
Secara umum nilai parameter kualitas lingkungan perairan Pulau Labengki Kecil tidak
memperlihatkan perbedaan yang signifikan dari setiap stasiun pengamatan. Nilai suhu perairan di
Pulau Labengki Kecil berkisar antara 27-28,29 oC. Nilai suhu terendah terdapat pada stasiun I,
sedangkan perairan tertinggi terdapat pada stasiun V. Fluktuasi suhu perairan di Pulau Labengki Kecil
berkisar antara 0,25-1,29 oC. Sebaran suhu perairan di Pulau Labengki Kecil dapat pula dilihat pada
Gambar 4A. Pada Gambar 4A memberikan gambaran bahwa sebaran suhu perairan Pulau Labengki
Kecil memperlihatkan kecenderungan suhu perairan dangkal lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
perairan dalam.
A B

Gambar 4. Peta Sebaran Suhu (A) dan Salinitas (B) Perairan Pulau Labengki.
Kondisi salinitas di perairan Pulau Labengki Kecil juga masih berada dalam kisaran normal. Nilai
salinitas yang didapat berkisar antara 30-32,4o/oo. Sebaran salinitas di perairan Pulau Labengki Kecil
sangat bervariasi dan dinamis. Nilai salinitas menunjukan kecenderungan yang berbeda antara
perairan yang dekat dengan permukiman dan perairan laut dalam. Nilai salinitas cenderung tinggi
pada perairan laut dalam hal ini diduga dipengaruhi massa air yang bergerak masuk dari Laut Banda
yang dibawa oleh pergerakan arus perairan. Sedangkan nilai salinitas perairan cenderung rendah di
wilayah perairan sekitar pulau, hal ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di daratan dan
masuknya bahan-bahan organik di perairan sehingga mempengaruhi nilai salinitas perairan di sekitar
pulau. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4B.
Seperti halnya parameter lingkungan lainnya, nilai parameter pH juga masih berada dalam kisaran
normal. Nilai parameter pH yang didapat berkisar antara 7,2-8,0. Kondisi kecerahan perairan Pulau
Labengki Kecil masih sangat tinggi. Minimnya kegiatan yang dapat menimbulkan sedimentasi atau
masukknya padatan tersuspensi yang dapat masuk ke perairan membuat kecerahan perairan disetiap
stasiun pengamatan mencapai 100%.
Sebagaimana diketahui bahwa laut Sulawesi merupakan salah satu perairan Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO), dimana arus yang bergerak melintasi perairan indonesia sebagai akibat perbedaan tinggi
muka laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Arus ini berasal dari samudera Pasifik dan
kecepatan arusnya sangat dipengaruhi oleh sistem arus ekuatorial sebagai akibat dari hembusan angin
Timur Laut di Samudera Pasifik. Nilai kecepatan arus di perairan Pulau Labengki Kecil berkisar
antara 0,53-0,79 m/detik.vv. Secara umum pola dan pergerakan arus perairain di Pulau Labengki
Kecil bergerak dari Utara menuju barat daya atau dari Laut Banda menuju Teluk Lasolo (Gambar 5).

Gambar 5. Pola dan Pergerakan Arus Perairan Pulau Labengki.


Kondisi Sosial
Penduduk
Penduduk merupakan bagian dari obyek yang diamati dalam penelitian ini. Penduduk yang
bermukim di Pulau Labengki Kecil dari tahun ke tahun menunjukan angka peningkatan jumlah jiwa
seperti yang terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Pulau Labengki Kecil Tahun 2013-2017.
No Tahun Jumlah Jiwa
1 2013 423
2 2014 445
3 2015 458
4 2016 463
5 2017 471
Sumber: BPS 2017.
Tabel 5., menunjukan jumlah penduduk yang bermukim di Pulau Labengki Kecil sejak 5 (lima)
tahunterakhir terjadi pertambahan 48 jiwa dengan pertambahan 10 jiwa per tahun.
Pada tahun 2017 jumlah perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah laki-laki. Jumlah
perumpuan mencapai 238 jiwa sedangkan jumlah laki-laki 233 jiwa. Di Kecamatan Lasolo
Kepulauan, Desa Labengki merupakan desa dengan seberan penduduk tertinggi kedua setelah Desa
Boenaga dengan persentase kepadatan penduduk mencapai 24,19% (BPS, 2017).
Namun setelah pembentukan Kecamatan Lasolo Kepulauan, Desa Labengki menjadi desa dengan
jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Lasolo Kepulauan mencapai 471 jiwa dengan kepadatan
penduduk mencapai 50 jiwa/km2 (BPS, 2017).
Lahan Terbangun
Penggunaan lahan merupakan indikator yang paling nyata atas kehadiran manusia di suatu pulau.
Indikator ini dapat dilihat langsung dengan adanya bangunan secara fisik yang berdiri di atas lahan
darat pulau kecil tersebut.
Hasil ekstraksi data pantauan citra landsat tahun 2017, diketahui luas lahan terbangun di Pulau
Labengki Kecil adalah 3,99 ha atau 0,039 km2 dari total luas wilayah darat 30,58 ha atau 0,30 km2.
Luas wilayah darat Pulau Labengki Kecil yang belum terbangun saat ini adalah 26,59 ha atau 0,26
km2 yang saat masih berupa bukit-bukit batu karang, hutan dan semak belukar.
Sejauh ini lahan terbangun di Pulau Labengki Kecil dimanfaatkan masyarakat sebagai
pembangunan rumah yang dijadikan sebagai permukiman, selain itu juga dibangun kantor desa,
masjid, sarana pendidikan, dermaga dan fasilitas umum lainnya.
Indeks Kerentanan Ekologi
Ekologi merupakan variabel utama yang diamati dalam menilai tingkat kerentanan Pulau Labengki
Kecil. Variabel ekologi yang dianalisis untuk menentukan nilai kerentanan antara lain pantai indeks
pantai, indeks degradasi lahan terbangun dan indeks degradasi terumbu karang. Hasil analisis indeks
ekologi Pulau Labengki Kecil dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Indeks Ekologi Pulau Labengki Kecil


Kategori Level
No Nilai
Indeks Indikator Warna
1. Pantai 1,89 Ekstrim
2. Degradasi 0,23 Rendah
Lahan
Terbangun
3. Degradasi 0,82 Ekstrim
Terumbu
Karang
Sumber: Hasil gabungan metode Bruguglio (1995); Adrianto and Matsuda (2004) dengan metode
Kaly et al. (2004).
Indeks Pantai (Coastal Indeks)
Indeks pantai merupakan perbandingan dari panjang garis pantai terhadap ukuran luas pulau
(UNEP, 2003). Tipe pantai Pulau Labengki Kecil terdiri dari pantai berbatu, pasir putih dan tebing.
Hasil pengukuran panjang garis pantai Pulau Labengki mencapai 2,84 km atau 2840 m, sedangkan
luas Pulau Labengki Kecil 30,58 ha atau 0,3 km2.
Berdasarkan panjang garis pantai dan luas Pulau Labengki Kecil dilakukan analisis indeks pantai.
Hasil analisis nilai indeks pantai Pulau Labengki Kecil menunjukan nilai yang sangat tinggi dengan
nilai indeks mencapai 1,89.
Indeks pantai mencerminkan keadaaan atau karakteristik lahan pulau secara fisik, dimana semakin
besar nilai indeksnya maka menunjukan sifat smallness. Sifat smallness yang sangat besar memiliki
makna bahwa secara ekologi pulau sangat rentan terhadap bahaya kenaikan muka laut dan pengaruh
ombak pantai yang besar, serta sulit untuk didiami oleh suatu skala komunitas (UNEP, 2003).
Degradasi Lahan Terbangun
Salah satu konsekuensi kehadiran tekanan populasi manusia di Pulau Labengki Kecil adalah
Pemenuhan atas pemanfaatan ruang pulau seperti kebutuhan lahan permukiman dan lain sebagainya.

Gambar 6. Peta Tutupan Lahan Pulau Labengki Kecil.


Berdasarkan hasil analisis indeks lahan terbangun di Pulau Labengki Kecil mencapai 0,23. Lahan
darat Pulau Labengki Kecil didominasi hutan dan semak belukar. Wilayah permukiman penduduk
Desa Labengki terkonsentrasi di wilayah Utara Pulau Labengki (Gambar 6).
Pulau Labengki Kecil memiliki bentang alam yang berbukit, sehingga masyarakat menggunakan
lahan bibir pantai untuk dijadikan lahan permukiman. Dalam konteks kerentanan penggunaan lahan
bibir pantai atau perairan dianggap sebagai degradasi lahan. Terbatasnya lahan yang merupakan
karakteristik umum secara fisik dan tingginya ukuran populasi penduduk Pulau Labengki Kecil, akan
meningkatkan dampak tekanan populasi terhadap lingkungan.
Selain itu Pulau Labengki Kecil yang memiliki ukuran 30,58 ha yang tergolong kecil rentan
terhadap abrasi, erosi, dan kemampuan menyimpan air sangat rendah, serta ketersediaan lahan untuk
tempat pembuangan akhir dari limbah rumah tangga akan mempengaruhi budaya masyarakat untuk
membuang sampah ke laut.
Ekosistem pesisir di pulau kecil juga akan mengalami ancaman dikarenakan ekspansi lahan yang
dilakukan oleh masyarakat ke arah darat sangat kecil. Dalam kaintannya dengan konteks kerentanan
ekologi, pulau-pulau kecil yang memiliki ukuran luas yang lebih kecil lebih bersifat rentan oleh
dampak-dampak exogenous, baik secara alami maupun atropogenik (Adrianto and Matsuda, 2004).

Degradasi Terumbu Karang


Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya yang paling tinggi mengalami tekanan.
Tekanan yang dialami ekosistem terumbu karang berasal dari aktivitas manusia dan alam. Tekanan
yang dari manusia berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem terumbu
karang berupa pola pengelolaan. Sebaran terumbu karang di Pulau Labengki Kecil dapat dilihat pada
Gambar 7A.

A B

Gambar 7. Peta Sebaran Terumbu Karang Di Pulau Labengki Kecil (A) dan Persentase Kondisi
Terumbu Karang (B)
Kondisi degradasi terumbu karang di Pulau Labengki Kecil telah mencapai 45% atau separuh dari
terumbu karang yang ada telah terdegradasi seperti yang terlihat pada Gambar 7B.Pada Gambar 7B
menunjukan perbandingan kondisi terumbu karang yang masih hidup dan kondisi terumbu karang
yang telah terdegradasi. Berbandingan ini dihitung dari luas terumbu karang di perairan Pulau
Labengki Kecil yang mencapai ± 33,98 ha atau 0,33 km2. Dari luasan terumbu karang yang ada, ±
15,29 ha atau 0,15 km2 telah terdegradasi dan ± 18,69 ha atau 0,18 km2 berada dalam kondisi baik.
Kondisi terumbu karang yang telah terdegradasi diduga diakibatkan oleh faktor manusia dan alam.
Dari 45% yang telah terderadasi, 23% diduga diakibatkan pola pengelolaan yang tidak ramah
lingkungan sedangkan 22% diduga diakibarkan oleh faktor perubahan iklim dan pemansaan predator.
Aktivitas penangkapan ikan selama ini masih umum terjadi dan banyak merusak terumbu karang
seperti menggunakan bahan peledak dan pembiusan. Aktivitas lain juga cenderung menambah
kerusakan terumbu karang di Pulau Labengki Kecil seperti pengambilan batu karang sebagai pondasi
rumah.
Berdasarkan hasil analisis, nilai indeks degradasi terumbu karang Pulau Labengki Kecil mencapai
0,82. Tingginya nilai indeks degradasi terumbu karang pada Pulau Labengki Kecil diduga disebabkan
oleh pola penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan
pengambilan karang sebagai bahan bangunan di wilayah tersebut.
Terjadinya degradasi terumbu karang merupakan salah satu bukti yang kuat dari adanya pola
pengelolaan yang salah dari sumberdaya terumbu karang yang ada di Pulau Labengki Kecil.
Walaupun hanya Pulau Labengki Kecil yang berpenduduk dan gugusan pulau lainnya tidak
berpenduduk namun degradasi terumbu karang yang berada didaerah tersebut cukup tinggi. Selain itu,
rendahnya sumberdaya manusia penduduk Pulau Labengki Kecil mengenai pengelolaan sumberdaya
alam mempengaruhi kondisi sumberdaya yang ada. Fenomena ini sejalan dengan pernyataan La Sara
(2014), umumnya masyarakat berpendapat bahwa sumberdaya pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil
sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan siapa saja tanpa
memikirkan aspek keberlajutan dari sumberdaya tersebut dan tanpa perlu dikelola secara terpadu.
Dampak dari terjadinya degradasi terumbu karang di Pulau Labengki Kecil sangat dirasakan oleh
masyarakat setempat seperti menurunnya jumlah tangkapan yang mencapai 50% dari tahun-tahun
sebelumnya. Selain itu, pada musim-musim tertentu hempasan gelombang sudah sampai ke bibir
pantai bahkan sampai ke permukiman penduduk.
Indeks Kerentanan Sosial
Selain variabel ekologi, dalam menentukan tingkat kerentanan Pulau Labengki Kecil juga
menganalisis variabel sosial. Variabel sosial yang dianalisis antara lain tekanan populasi,
keterpencilan ekonomi dan keterisolasian pulau.

Tabel 7. Nilai Indeks Sosial Pulau Labengki Kecil.


Kategori Level
No Nilai
Indeks Indikator Warna
1. Tekanan 0,45 Sedang
Populasi
2. Keterpencilan 0,35 Rendah
Ekonomi
3. Keterisolasian 0,42 Sedang
Pulau
Sumber: Hasil gabungan metode Bruguglio (1995); Adrianto and Matsuda (2004) dengan metode
Kaly et. al. (2004).
Tekanan Populasi
Kehadiran manusia memberikan dampak terhadap lingkungannya. Perilaku dan pola pengelolaan
lingkungan sangat mempengaruhi aspek keberlanjutan dari suatu sumberdaya alam. Kehadiran
manusia di Pulau Labengki Kecil sedikit banyaknya telah memberikan dampak terhadap sumberdaya
alam yang ada di Pulau Labengki Kecil.
Kebutuhan energi untuk mempertahankan proses kehidupan memaksa manusia memanfaatkan
semua semberdaya yang ada di sekelilingnya. Dalam proses pemanfaatan atau pengelolaan
sumberdaya alam yang ada tentu manusia dituntut untuk berlaku bijak demi menjaga keseimbangan
alam dan pada akhirnya akan menjamin keberlajutan sumberdaya.
Pola pemanfaatan memberikan dampak dan tekanan bagi lingkungan, akibat pemanfaatan
lingkungan dan potensi sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka.
Masalah yang akan terjadi bila pemanfaatan potensi sumberdaya yang ada tidak dilakukan secara
berkelanjutan akan menyebabkan Pulau Labengki Kecil mengalami penurunan daya dukung secara
terus menerus. Kondisi sebaran penduduk di Pulau Labengki Kecil dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta Sebaran Penduduk Pulau Labengki Kecil.


Degradasi lingkungan Pulau Labengki Kecil diduga akan terus terjadi. Hal ini bukanlah tanpa
alasan yang mendasar, mengingat Pulau Labengki Kecil merupakan wilayah yang rentan baik oleh
faktor alamiah seperti perubahan iklim maupun faktor antropogenik seperti pengeboman dan
penambangan batu karang sehubungan dengan kapasitasnya terbatas ditengah lingkungan lautan yang
lebih luas. Sehubungan dengan hal tersebut, kehadiran penduduk dan berbagai aktivitasnya dalam hal
ini penangkapan ikan dengan alat cara membom merupakan salah satu indikator ancaman bagi Pulau
Labengki Kecil.
Nilai indeks tekanan populasi Pulau Labengki Kecil adalah 0,45 dimana nilai tersebut
memperlihatkan Pulau Labengki Kecil berada pada tingkat sedang. Dampak Tekanan Pupulasi (PopI)
merupakan sebuah indeks yang dipengaruhi suatu ukuran besaran tekanan populasi penduduk (jumlah
dan pertumbuhannya terhadap lingkungan dan sumberdaya pada suatu ukuran pulau tersebut).
Ukuran pulau yang kecil dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat akan terus
memperlihatkan peningkatan tekanan penduduk per satuan luas areal lahan. Meningkatnya tekanan
penduduk dan diikuti dengan pola pengelolaan yang tidak ramah lingkungan tersebut hingga batas
tertentu akan menjadi faktor kerusakan lingkungan dan sumberdaya Pulau Labengki Kecil dan pulau-
pulau kecil lainnya.
Dari Perspektif wilayah, Pulau Labengki Kecil merupakan wilayah yang homogen. Wilayah
homogen dicirikan dengan masyarakat pulau labengki memiliki sumber ekonomi yang relatif sama.
Budiharsono (2001) menjelaskan bahwa wilayah homogen dapat dilihat dari ekonomi (struktur
produksi dan konsumsi serta tingkat pendapatan masyarakat rendah atau miskin), geografi (memiliki
topografi dan iklim yang sama), agama dan suku yang sama.
Keterpencilan Ekonomi
Keterpencilan selalu dikaitkan dengan pemahaman yang berhubungan dengan permasalahan
kedudukan atau wilayah (Hein 1990; Cros dan Nutley 1999). Keterpencilan ekonomi terhadap suatu
pulau dihubungkan dengan kerentanan dari segi ekonomi, dimana berkaitan dengan ketidakpastian
suatu keadaan bagi keterlambatan dan biaya dalam perdagangan eksternalnya (Adrianto dan Matsuda,
2004). Berbagai faktor yang mempengaruhi keterpencilan suatu wilayah salah satunya adalah wilayah
tersebut bukan merupakan wilayah tujuan dan tidak dilalui jalur transportasi. Kondisi ini akan
mempengaruhi arus barang dan jasa yangpada akhirnya akan berdampak pula pada perekonomian di
wilayah tersebut.
Pulau Labengki Kecil belum memiliki jasa transportasi umum yang dapat diakses secara terus-
menerus. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya angkutan barang dan jasa menuju Pulau Labengki
Kecil. Lebih lanjut kondisi ini juga mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat yang tinggal di
Pulau Labengki Kecil. Dari hasil analisis indeks keterpencilan ekonomi Pulau Labengki Kecil
tergolong rendahdengan nilai indeks 0,35. Walaupun demikian tingkat ekonomi masyarakat Pulau
Labengki Kecil tergolong rendah.
Tingkat ekonomi masyarakat yang rendah atau miskin ditandai dengan kondisi permukiman yang
masih didominasi rumah gubuk. 91 buah rumah yang ada di Pulau Labengki Kecil 88 buah rumah
merupakan rumah gubuk, 2 rumah semi permanen dan 1 buah rumah permanen. Jika dipandang dari
segi infrastruktur tentu kondisi ini memberikan potensi rewan bencana yang cukup tinggi.
Selain itu jenis pekerjaan masyarakat yang sama juga memberikan potensi kerentanan sosial-
ekologi yang cukup tinggi, karena bila terjadi degradasi atau kerusakan sumberdaya alam khususnya
ekosistem terumbu karang secara otomatis akan berpengaruh secara langsung terhadap pendapatan
mereka, karena tingginya ketergantungan masyarakat pada sumberdaya yang sama.
Akibatnya, nelayan tradisional sedikit sekali memiliki penyangga ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan yang mendesak. Kehidupan mereka sehari-hari sangat fluktuatif karena pendapatan dari
hasil menangkap ikan rata-rata kecil dan bersifat tidak pasti. Bahkan selama berhari-hari mereka bisa
saja tidak dapat melaut dikarenakan cuaca yang tidak memungkinkan, dilain pihak kebutuhan dasar
hidup sehari-hari tetap menuntut untuk dapat mereka penuhi. Dengan kata lain nelayan skala kecil
umumnya memiliki resiliensi yang rendah.
Indeks Keterisolasian Pulau
Indeks keterisolasian merupakan suatu indeks yang mencerminkan sifat kedudukan pulau terhadap
daratan lainnya yang lebih dekat dan Pulau terbesar yang aksesnya mudah dijangakau. Pulau-pulau
kecil yang umumnya memiliki banyak keterbatasana kaitannya dalam lahan yang di tengah lautan
yang lebih luas, merupakan suatu kondisi yang mengandung banyak resiko dan kerugian oleh tekenan
maupun goncangan faktor luar (exogenous) seperti perubahan iklim dan pola pemanfaatan yang tidak
ramah lingkungan.
Mainland atau daratan induk dianggap mempunyai banyak kelebihan dibanding pulau-pulau kecil,
sehingga dianggap sebagai sumber supplier atas kekurangan bagi pulau-pulau kecil yang berada
disekitarnya serta dapat dijadikan tempat untuk mitigasi bila terjadi bencana di pulau-pulau kecil
tersebut. Oleh karena itu fungsi jarak terhadap mainland memiliki arti yang sangat besar dalam
konteks kerentanan, kedudukan yang jauh dengan mainland dianggap suatu kelemahan yang
diistilahkan insularitas (insularity).
Nilai indeks keterisolasian Pulau Labengki Kecil tergolong sedang dengan nilai indeks mencapai
0,42. Nilai indeks keterisolasian sangat dipengaruhi jarak pulau dengan daratan utama serta gugusan
pulau yang ada disekitarnya. Jarak Pulau Labengki Kecil dengan daratan utama tidak begitu jauh ± 18
mil, begitu pula jarak Pulau Labengki Kecil terhadap gugusan pulau-pulau yang ada disekitarnya
kurang dari 1 mil.
Komposit Indeks Kerentanan Sosial-Ekologi
Komposit indeks kerentanan sosial-ekologi merupakan gabungan dari komposit indeks kerentanan
ekologi dan komposit indeks kerentanan sosial. Hasil penentuan tingkat kerentanan Pulau Labengki
Kecil (CVI-Ek, CVI-S dan CVI-ES), terlihat bahwa Pulau Labengki Kecil masuk ke dalam level
extremely vulnerable atau kerentanan ekstrim. hal ini disebabkan nilai komposit indeks sosial-ekologi
mencapai 1,16.
Tingkat kerentanan Pulau Labengki Kecil tidak berbeda dengan tingkat kerentanan Pulau Enam
yang ditemukan Akbar (2012), tingkat kerentanan Pulau Enam tergolong ekstrim atau extremely
vulnerable dengan nilai komposit indeks mencapai 1,00 dimana Pulau Enam merupakan pulau
berpenghuni sedangkan Pulau Mogo yang merupakan pulau tidak berpenghuni berada pada level tidak
rentan atau non vulnerable dengan nilai indeks 0,05.
Kaly et al. (2004), mengatakan jika suatu pulau tergolong dalam kerentanan ekstrim atau
Extremelylyvulnerable, maka pulau tersebut berada pada suatu kondisi yang sangat ekstrim atau
memiliki potensi kerusakan sangat tinggi baik itu kerusakan harta benda, sumberdaya alam maupun
lingkungannya.
Karakteristik sifat smallness, akan mengurangi kemampuan ketahanan pulau dalam hal
meredam dampak-dampak secara eksternal, baik secara alami maupun faktor antropogenik. Sifat
remoteness merupakan penghalang yang besar terhadap percepatan dan keberlanjutan pembangunan
Pulau Labengki Kecil ke depan.
Semakin tinggi tingkat kerentanan suatu pulau, semakin mudah pulau tersebut mengalami
kerusakan mengingat pulau–pulau kecil merupakan wilayah yang sangat dinamis. Dimana, pulau-
pulau kecil merupakan sebuah kawasan yang memiliki resiko terbesar dari perubahan lingkungan
(Pelling and Uitto, 2001; Cherian, 2007).
Pulau kecil memiliki keterbatasan, baik dari segi ukuran yang kecil, marginalitas maupun
insularitas yang dimilikinya, sehingga menjadikan pulau kecil memiliki resiko yang sangat tinggi
terhadap perubahan lingkungan (Van Beukeringetal., 2007).
Faktor ekologi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kerentanan Pulau Labengki
Kecil. Tekanan ekologi Pulau Labengki Kecil mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
Pulau Lebengki Kecil. Hasil tangkapan nelayan Pulau Labengki Kecil dari hari ke hari terus
menunjukan penurunan sehingga pendapatan nelayan pun ikut menurun. Hasil tangkapan ikan
nelayan Pulau Labengki Kecil yang biasanya dapat menangkap 5-10 kg/hari kini menurun hingga 1-5
kg/hari.
Degradasi terumbu karang sangat mempengaruhi kelimpahan ikan yang ada di sekitar perairan
Pulau Labengki Kecil. Dari penjelasan salah seorang nelayan, jumlah ikan saat ini sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan 10 tahun ke belakang. Pola pemanfaatan yang tidak ramah
lingkungan di masa lampau mengakibatkan degradasi ekosistem terumbu karang yang cukup besar.
Strategi Pengelolaan Pulau Labengki Kecil
Alternatif pengelolaan yang terbaik di Pulau Labengki Kecil berdasarkan pada ecological based
management, dimana ekologi menjadi perhatian utama dari pengelolaan. Kerusakan ekologi dianggap
akan memiliki dampak negatif terhadap tatanan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat Pulau
Labengki Kecil.
Kriteria selanjutnya yang memberikan kontribusi terhadap pengelolaan adalah kriteria sosial
ekonomi yang dirasakan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan sumberdaya yang ada di
Pulau Labengki Kecil. Setelah melihat kontribusi masing-masing kriteria, selanjutnya menjelaskan
kontribusi masing-masing atribut terhadap pengelolaan yang akan akan dilakukan di Pulau Labengki
Kecil.
Menurut Downing et al., (2001) untuk mengkuantifikasi kerentanan akan sangat sulit dilakukan
bila tidak memungkinkan mengidentifikasi secara sistematis sistem yang paling rentan. Dalam kasus
tertentu, sangat tergantung pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian.
Dampak tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur
kerentanan (Luers et al., 2003). Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan secara akurat jika
berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan menganalisis suatu tempat/lokasi. Hal ini
disebabkan karena sistem yang paling sederhana pun cukup kompleks dan akan sulit untuk
menghitung seluruh variabel, proses-proses dan gangguan yang dicirikan oleh kerentanan tersebut
(Luers et al., 2003).
Suatu sistem dapat menurunkan atau mengurangi kerentanan dengan memodifikasi hal-hal berikut
(1) bergerak kepada fungsi yang lebih baik yang dapat mengurangi sensitivitasnya terhadap tekanan
yang kritis, (2) merubah posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan (3) memodifikasi
ketersingkapan sistem terhadap tekanan.
Dalam konteks adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UNFCCC, (2007) membagi dua
jenis adaptasi, yaitu adaptasi yang bersifat reaktif, seperti (a) perlindungan terhadap infrastruktur di
wilayah pesisir, (b) penyadaran masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap
ekosistem pesisir dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (seawall), perlindungan dan
konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai lainnya. Adaptasi lainnya
adalah adaptasi yang sifatnya antisipasi, seperti (a) implementasi konsep dan pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir terpadu, (b) penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) penyusunan
peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) mengembangkan kegiatan penelitian
dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir.

Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk menjadi faktor yang sangat penting dan harus mendapat perhatian utama
dalam pengelolaan Pulau Labengki Kecil. Tingginya jumlah penduduk di Pulau Labengki Kecil
memberikan dampak yang sangat bersar terhadap sumberdaya yang ada di pulau tersebut, dengan kata
lain masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan memanfaatkan sumberdaya alam
dengan cara mengeksplotasinya tanpa memperhatikan aspek kelestarian dari sumberdaya tersebut.
Konsep pengembangan MPA yang berusaha dibangun mengacu pada prinsip keterpaduan antara
kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi. Hal ini berarti, kegiatan ekonomi masyarakat, baik
yang sedang, maupun yang akan berlangsung diharapkan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi lingkungan dan SDA, sehingga pada akhirnya diharapkan kegiatan MPA memenuhi
kondisi keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekologi. Perkembangan
pemikiran lebih lanjut tentang konsep MPA untuk kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau
mengarah kepada pembangunan ekonomi lokal, yang juga merupakan bagian integral dari
pembangunan ekonomi daerah dalam lingkup lokal. Hal ini berarti bahwa arah, tujuan dan cakupan
inisiatif pengembangan MPA sejalan dengan arah, tujuan dan cakupan pembangunan ekonomi lokal
yakni :
1. Mendorong ekonomi lokal untuk tumbuh dan menciptakan tambahan lapangan kerja.
2. Mendayagunakan sumberdaya lokal yang tersedia secara lebih baik.
3. Menciptakan ruang dan peluang untuk penyelarasan suplai dan permintaan, serta
4. Mengembangkan peluang-peluang baru bagi bisnis.
Perairan Labengki Kecil merupakan zona pemanfaatan tradisional dalam kawasan taman wisata alam
laut provinsi Sulawesi Tenggara sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara optimal dengan
mengembangkan berbagai macam alternatif yang dapat memungkinkan masyarakat memperoleh
pendapatan yang layak tanpa menyampingkan lingkungan. Oleh karena itu pengembangan mata
pencaharian alternatif yang dapat diterapkan adalah budidaya ikan secara polikultur dengan
memadukan lebih dari satu komoditas dalam satu ruang budidaya.
Masyarakat Pulau Labengki Kecil umumnya melakukan kegiatan budidaya lobster dan rumput laut
secara terpisah pada lokasi yang berbeda. Untuk lebih mengoptimalkan budiaya teresebut maka dapat
dilakukan budidaya mutispesies atau polkultur dimana memadukan antara budidaya lobster, rumput
laut dan ikan dalam satu karamba tancap atau karamba apung sehingga pemanfaatan ruang lebih
optimal.
Kawasan yang dapat dikembangkan untuk budidaya di Perairan Pulau Labengki Kecil yang
relatif terlindungi dan aman dari gangguan gelombang sangat terbatas yaitu di sebelah barat
berhadapan langsung dengan Pulau Labengki Besar. Keterbatasaan lahan untuk budidaya ini sangat
potensial untuk pengembangan budidaya multi spesies atau polikultur.
Degradasi Terumbu Karang
Tingginya kerusakan yang terjadi terhadap ekosistem terumbu karang yang ada di Pulau Labengki
Kecil sebagai akibat dari pola pengelolaan masyarakat yang tidak memperhatikan kelestarian seperti
penambangan batu karang, penggunaan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, menyebabkan
kerusakan yang terjadi cukup besar. Dalam mengatasi kerusakan yang terjadi perlu dilakukan
pendampingan masyarakat dalam melakukan pengelolaan dan penciptaan mata pencaharian alternatif.
Rendahnya sumberdaya manusia dan pemehaman masyarakat menjadi pemicu terhadap rusaknya
ekosistem terumbu karang yang ada di Pulau Labengki Kecil. Pemahaman masyarakat secara umum
yang menganggap laut adalah milik bersama (common property rights), dengan demikian setiap
individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider), memanfaatkan sumberdaya tanpa bersedia
terhadap penyediaannya atau pelestariannya.
Selain itu pengambilan satu unit sumberdaya akan mengurangi ketersediaannya bagi pihak lain
untuk memanfaatkannya atau disebut sebagai karakter substracbility atau rivalry (Ostrom, 1990).
Akibat karakter ini maka sumberdaya milik bersama rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih
(over eksploitation) atau kerusakan sumberdaya, inilah yang dikatakan sebagai tragedi bersama
(tragedy of the common). Sesungguhnya tregedi ini bisa terjadi jika tidak adanya penyadaran dan
partisipasi masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan sumberdaya yang bersifat akses terbuka
(open access).
Keterlibatan masyarakat setempat dalam menjaga lingkungan dan sumberdaya merupakan pilahan
yang bijaksana. Peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat setempat dapat dilakukan dengan
penyuluhan, pembinaan serta pendampingan sehingga akan mendorong kesadaran dan kepedulian
terhadap sumberdaya yang tersedia.

Keterpencilan
Keterpencilan baik yang berhubungan dengan wilayah maupun ekonomi dan rendahnya tunjangan
pemerintah menjadi masalah yang seirus khususnya berkaitan dengan permasalahan ekonomi yang
berada di Pulau Labengki Kecil. Tingginya nilai keterpencilan ekonomi dapat dianggap sebagai
ketidakpastian suatu keadaan bagi keterlambatan dan membutuhkan biaya yang sangat tinggi terhadap
barang dan jasa yang masuk ke pulau tersebut, sedangkan bantuan tunjangan yang diberikan
pemerintah sangat kecil. Dari kedua atribut tersebut akan menyebabkan kegiatan pembangunan dan
perekonomian di pulau tersebut menjadi kurang berkembang. Untuk itu perlu adanya pembenahan
baik itu yang berhubungan dengan keterpencilan maupun bantuan tunjangan pemerintah.
Pengembangan ekonomi yang dilakukan di Pulau Labengki Kecil sebaiknya didasarkan pada
karakteristik pulau tersebut, dimana bagi pulau-pulau kecil yang karakteristiknya kecil secara fisik
menyarankan untuk lebih menekankan pada kegiatan ekonomi yang terspesialisasi yang berarti
kegiatan ekonomi yang dilakukan di pulau-pulau kecil tersebut memerlukan tingkat spesialisasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yang lebih besar (Adrianto and Matsuda 2002;2004).
Umumnya masyarakat pulau-pulau kecil kental dengan kehidupan di laut, sehingga pengembangan
ekonomi berbasis perikanan perlu ditingkatkan. Diversifikasi terbatas pada bidang ini perlu juga
dilakukan seperti penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, sehingga tidak merusak habitat
pesisir lainnya yang akan berimplikasi pada nilai ekonomi terhadap sumberdaya yang ada. Sedangkan
untuk pengembangan industri pendukungnya sebaiknya dilakukan di daerah mainland, Sebagai
kawasan konservasi laut daerah, kegiatan ekowisata juga layak dipertimbangkan.
Pulau Labengki Kecil memiliki potensi ekowisata yang cukup besar untuk dikembangkan. Pulau
Labengki Kecil memiliki pantai pasir putih yang bersih dan panorama yang indah untuk dinikmati.
Faktor yang menyebabakan lambatnya pertumbuhan sosial ekonomi adalah terbatasnya infrastruktur
pendukung. Terbatasnya infrastruktur bagi Pulau Labengki Kecil membuat pulau tersebut semakin
terisolasi, mahalnya biaya-biaya dan rendahnya nilai manfaat produk yang dihasilkan serta
membutuhkan persediaan stok kebutuhan dalam jangka panjang dan kurang lancarnya arus
transportasi laut.
Perhatian pemerintah dalam menyediakan infrastruktur sosial ekonomi bagi Pulau Labengki Kecil
sangat diharapkan terutama dari segi transportasi, sistem pendidikan, kesehatan dan sarana air bersih.
Akan tetapi penyediaan sarana-sarana tersebut dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan daya
dukung Pulau Labengki Kecil.
Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut Sawyer
(1993) dan Cesar et al (1997), berbagai macam manfaat terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi
dua, yaitu manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung diantaranya sebagai bahan baku
bangunan dan industri, sebagai penghasil beragam sumberdaya ikan, dan pariwisata; sedangkan
manfaat tidak langsungnya antara lain fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, peredam
gelombang, dan sumber keanekaragaman hayati

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat disarikan dalam penelitian ini antara lain:
1. Tingkat kerentanan ekologi Pulau Labengki Kecil tergolong tinggi.
2. Tingkat kerentanan sosial Pulau Labengki Kecil Tergolong sedang.
3. Tingkat kerentanan komposit Pulau Labengki Kecil tergolong dalam level
extremelyvulnerableatau kerentanan ekstrim.
4. Bentuk Pengelolaan yang perlu dilakukan untuk Pulau Labengki Kecil yaitu dengan
pendekatan ecological based management.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dah pembahasan serta kesimpulan di atas, maka hal-hal yang
dapat disarankan adalah :
1. Perlu dilakukan kajian kerentanan Pulau Labengki Kecil akibat perubahan iklim.
2. Perlu dilakukan kajian valuasi ekonomi Pulau Labengki Kecil.
3. Perlu kajian kerentanan Pulau Labengki Kecil dengan penekanan variabel ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L and Matsuda Y. 2004. Study in assesing econimic vulnerability of small island regions.
Environmental Development and Sustainability. Vol. 6: 317-336.
Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press.Inc, San Diego,
California.
Anna W. Manuputty & Djuwariah. 2009. Panduan Metode : Point Intersecp Transect (PIT) untuk
Masyarakat (studi baseline dan monitoring kesehatan karang di Lokasi Daerah Perlindungan Laut.
Coral Reef Rehabilitation and Management Project – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(COREMAP - LIPI). Jakarta. 2009.
Arief, D. 1992. A Study on Low Frequency Variability in Current and Sea Level in the Lombok Strait
and Adjacent Region. Dissertation, Lousiana State University.
Barr, J. B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Protected Areas Strategy for the Pacific Coast of
Canada. In: Munro, N.W.P. & J.H.M. Willison (Eds.). Linking Protected Areas With Working
Landscapes Conserving Biodiversity. Proceeding of the Third International Conference on Science
and Management of Protected
Beller, W. 1990. How to Sustain A Small Island. In Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P.
15-22.
Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds.). 1990. Sustainable Development and Environmental
Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 57.
Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogor.
Bengen, D G. 2004. Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Sebagai Pilar Pembangunan Kelautan
Berkelanjutan. Makalah pada Konferensi Nasional Pesisir dan Laut IV. Balikpapan 13-17
September.
Bengen, D.G. 2004. Ragam Pemikiran: Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan
Berbasis Eko-sosiosistem. P4L, Bogor.
Bengen, D.G. and I.M. Dutton. 2004. Interactions: mangroves, fisheries and forestry management in
Indonesia. In: Northcote, T.G. and G.F. Hartman (Eds). Fishes an Forestry: Worldwide Watershed
Interactions and Management. Blackwell Science Ltd, Oxford UK.
Bengen, D.G., M. Knight, C. Karubaba, A. Tahir dan T.O. Dangeubun. 2005. Profil Singkat:
Sumberdaya Pesisir Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor. CRMP II/Mitra Pesisir, Jakarta.
Bengen, D.G. 2009. Perspektif Minawisata Bahari dalam Pengelolaan Terpadu Pulau-pulau Kecil
Berbasis Ekosistem dan Masyarakat. Pemikiran Guru Besar IPB (Buku II). Peranan IPTEKS
dalam Pengelolaan Pangan, Energi, SDM, dan Lingkungan yang Berkelanjutan. IPB Press.
Bengen, D.G., Retraubun, A.S.W., Saad, S., 2012. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-pulau Kecil. Cetakan III.Pusat Pembelajaran dan Pengembangan
Pesisir dan Laut (P4L). Bogor.
Berwick, N.K. 1993. Guideline for the Analysis of Biophysical Impacts to Tropical Coastal and
Marine Resources. The Bombay Natural History Society. Centenary Seminar on Conservation in
Developing Countries. Bombay, India.
Brookfield, H. C. 1990. An Approach to Islands. In Bell, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P.
23-33.
Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Cetakan I. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta. 160 hal.
Carter, J.A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual).
Dalhousie University, Environmental Studies Centers Development in Indonesia Project.
Dalhousie, Canada.
Carter, R.W.G. 1988. Coastal Environment: An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural
Systems of Coastlines. Academic Press Inc., San Diego, USA.
Cesar, H. C.G. Lundin, S. Bettencourt and J. Dixon. 1997. Indonesian Coral Reefs: An Economic
Analysis of a Precious but Threatened Resource. Ambio 26: 345-350.
Chapin, Jr. F.S., and E. J. Kaiser. 1985. The Theoretical Underpinnings of Land Use. In Urban Land
Use Planning. Third Edition. University of Illinois Press, Urbana, Chicago, Il. Pp. 26-67.
Charles, A. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science, Osney Mead, Oxford OX2 0EL,
UK.
Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheriesfor Global
Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress (K.Tsukamoto, T. Kawamura, T.
Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser, Eds.). Tokyo: TERRAPUB.
Cicin-Sain, B. and R.W. Kneccht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management : Concepts and
Practices. Island Press, California.
Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. CRC Lewis Publisher, Boca Raton, New
York, London, Tokyo. Commonwealth Science Council (CSC). 1984. Proc. Regional Workshop
on Water Resources of Small Islands. Suva, Fiji. Tech. Publ. Series No. 154.
Collingwood, Australia. Stoddart, D.R. 1975. Almost-atoll of Aitutaki: Geomorphology of Reefs and
Islands. Atoll Res. Bull. 190: 31-57.
Cross, N. 2001. The Future is Now. Blackwell-Science, London.
Dahl, A.L. 1998. Small Island Environmental Management. UNEP Earthwatch, Geneva, Switzerland.
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru
Besar Tetap Bidang Pengelolaan SD Pesisir dan Lautan-FPIKIPB, Bogor.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Tepadu. Edisi Kedua. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Diaz, A. and J. F. Huertas. 1986. Hydrology and Water Balance of Small Islands: A Review of
Existing Knowledge. Technical Documents in Hydrology. UNESCO, Paris. 25pp.

Anda mungkin juga menyukai