Anda di halaman 1dari 54

HASIL PENELITIAN

KLASIFIKASI HABITAT BENTIK BERBASIS PIKSEL DENGAN


ALGORITMA SUPPORT VEKTOR MACHINE (SVM) CITRA MULTI
SPEKTRAL SENTINEL-2 DI PERAIRAN PULAU TIGA

OLEH :

FERDI
I1A4 15 026

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HASIL PENELITIAN

KLASIFIKASI HABITAT BENTIK BERBASIS PIKSEL


DENGAN ALGORITMA SUPPORT VECTOR MACHINE (SVM)
CITRA MULTI SPEKTRAL SENTINEL-2 DI PERAIRAN PULAU TIGA

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Sains pada Jurusan/Program Studi Ilmu Kelautan

OLEH :

FERDI
I1A4 15 026

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Klasifikasi Habiitat Bentik Berbasis Piksel Dengan


Algoritma Support Vektor Macine (SVM) Citra Multi
Spektral Sentinel-2 Di Perairan Pulau Tiga
Nama : Ferdi
Stambuk : I1A4 15 026
Program Studi : Ilmu Kelautan
Jurusan : Ilmu Kelautan
Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

La Ode M. Yasir Haya, S.T., M.Si., Ph.D Amadhan Takwir. S.Kel., M. Si


NIP. 19720715 200502 1 001 NIP. 1982070520121005

Mengetahui,
Ketua Jurusan/ Koordinator
Program Studi Ilmu Kelautan

La Ode M. Yasir Haya, S.T., M.Si., Ph.D


NIP. 19720715 200502 1 001

Tanggal Disetujui : Juli 2022

iii
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI DENGAN

JUDUL “KLASIFIKASI HABITAT BENTIK BERBASIS PIKSEL DENGAN

ALGORITMA SUPPORT VEKTOR MACHINE (SVM) CITRA MULTI

SPEKTRAL SENTINEL-2 DI PERAIRAN PULAU TIGA” BENAR-BENAR

HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

LEMBAGA MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU

DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN

TELAH DITULISKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM

DAFTAR PUSTAKA PADA BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI, PUSTAKA DAN

ISI SKRIPSI INI DI LUAR TANGGUNG JAWAB PEMBIMBING. APABILA

DIKEMUDIAN HARI TERBUKTI DAN DAPAT DIBUKTIKAN BAHWA

SKRIPSI INI HASIL JIPLAKAN, MAKA SAYA BERSEDIA MENERIMA

SANKSI SESUAI PERATURAN YANG BERLAKU.

KENDARI, JULI 2022

FERDI
NIM I1A415026

iv
RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kendari pada Tanggal 22 Agustus 1997.

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari

pasangan Bapak Lantodi dan Ibu Wafeli, Penulis mulai

menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 18 Kendari

pada 2003 dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama

Penulis melanjutkan pendidikan di MTSN 02 Kendari dan lulus pada tahun 2012.

Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMKN 2

Kendari, Jurusan TEHNIK PEMESINAN dan berhasil lulus pada tahun 2015.

Pada tahun yang sama, melalui jalur Seleksi Bersama Perguruan Tinggi Negeri

(SBMPTN) Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Kelautan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo, Kendari. Selama

kuliah, Penulis pernah mengikuti kegiatan ilmiah dan organisasi, diantaranya

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan pengurus Himpunan Jurusan Ilmu

Kelautan (HMJ-IKL) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu

Oleo periode 2017-2018.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala yang

telah memberikan Rahmat, Hidayah dan Karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi

yang berjudul “Klasifikasi Habiitat Bentik Berbasis Piksel Dengan

Algoritma Support Vektor Macine (SVM) Citra Multi Spektral Sentinel-2 Di

Perairan Pulau Tiga”dapat terselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Halu Oleo. Penulis berharap hasil karya ilmiah yang terdeskripsikan

dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan

informasi ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca khususnya teman-teman mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo, Kendari. Aamiin.

Kendari, Juli 2022

Ferdi
NIM I1A415026

vi
KLASIFIKASI HABITAT BENTIK BERBASIS PIKSEL
DENGAN ALGORITMA SUPPORT VECTOR MACHINE (SVM)
CITRA MULTI SPEKTRAL SENTINEL-2 DI PERAIRAN PULAU TIGA

ABSTRAK

Habitat bentik adalah substrat dasar laut yang menjadi tempat tumbuh bagi
komunitas biologis yang hidup pada dasar laut maupun di atas dasar laut. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah kelas tutupan habitat bentik
perairan dangkal di Pulau Tiga pada citra sentinel-2 melalui penerapan klasifikasi
berbasis piksel menggunakan algoritma Support Vector Manchine (SVM) dan
untuk mengetahui tingkat ketelitian habitat bentik dangkal di Pulau Tiga pada
citra sentinel-2 melalui penerapan klasifikasi berbasis piksel menggunakan
algoritma Support Vector Manchine (SVM). Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan September-Desember 2021, Bertempat diperairan Pulau Tiga Kecamatan
Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang
digunakan pada pengamatan lapangan adalah random sampling,dengan
mengambil titik koordianat pada area pengamatan dilakukan secara tegak lurus
dari pantai ke tubir, Pra-pengolahan citra satelit dilakukan di Laboratorium
Komputasi, SIG dan Pemodelan,dengan beberapa tahap yaitu korekasi
Atmosferik, Croping, Komposit Citra. Hasil analisis menunjukan Diperoleh
tutupan habitat bentik dari hasil analisis citra sentinel 2A menghasilkan 5 kelas
yang terdiri dari; karang hidup, karang mati, rubble, , lamun dan pasir. Hasil uji
akurasi/ketelitian citra dalam bentuk presentase Citra Sentinel-2A dapat
digunakan dalam pemetaan habitat bentik di Pulau Tiga dengan tingkat akurasi
yang tinggi dengan overall accuracy sebesar 73.95% dan Kappa Coefficient
sebesar 0.5267.

Kata Kunci : Klasifikasi, Habitat Bentik, Sentinel-2, Algoritma (SVM)

vii
CLASSIFICATION OF BENTHIC HABITAT BASED ON PIxEL WITH
SUPPORT VECTOR MACHINE (SVM) ALGORITHM SENTINEL-2
MULTI-SPECTRAL IMAGES ON THE WATERS OF ISLAND THREE

ABSTACK

Benthic habitat is a seabed substrate that is a place to grow for biological


communities that live on the seabed and on the seabed. The purpose of this study
was to determine the number of cover classes of shallow water benthic habitat on
Tiga Island on sentinel-2 imagery through the application of pixel-based
classification using the Support Vector Manchine (SVM) algorithm and to
determine the level of accuracy of shallow benthic habitat on Tiga Island on
sentinel-image imagery. 2 through the application of pixel-based classification
using the Support Vector Manchine (SVM) algorithm. This research was
conducted in September-December 2021, located in the waters of Pulau Tiga,
North Tiworo District, West Muna Regency, Southeast Sulawesi Province. The
method used in field observations is random sampling, by taking coordinate points
in the observation area carried out perpendicularly from the coast to the edge, Pre-
processing of satellite images is carried out in the Computing, GIS and Modeling
Laboratory, with several stages, namely Atmospheric correction, Croping,
Composites Image. The results of the analysis showed that benthic habitat cover
was obtained from the analysis of sentinel imagery 2A resulting in 5 classes
consisting of; live coral, dead coral, rubble, seagrass and sand. Image
accuracy/accuracy test results in the form of a percentage of Sentinel-2A imagery
can be used in mapping benthic habitats on Tiga Island with a high level of
accuracy with an overall accuracy of 73.95% and a Kappa Coefficient of 0.5267.

Keywords: Classification, Benthic Habitat, Sentinel-2, Algorithm (SVM)

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL .............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
DAFTAR TABEL...................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Habitat Bentik ................................................................................. 5
B. Jenis-Jenis Habitat Bentik ............................................................... 6
C. Pengidraan Jauh .............................................................................. 10
D. Karakter Ristik Citra Sentinel 2 ...................................................... 11
E. Identifikasi Habitat Bentik Menggunakan Citra Satelit .................. 14
F. Algoritma Lyzenga.......................................................................... 15
G. Algoritma SVM (Support Vektor Machine).................................... 15
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat .......................................................................... 17
B. Alat dan Bahan ................................................................................ 18
C. Prosedur Penelitian.......................................................................... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi ............................................................... 25
B. Hasil Penelitian ............................................................................. 26
C. Pembahasan.................................................................................... 31

V. SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan .........................................................................................
B. Saran ................................................................................................

ix
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Karakteristik Citra Sentinel-2 ........................................................... 13
2. Alat Penelitian Beserta Kegunaanya ................................................ 18
3. Hasil analisis tutupan bentik di Perairan Pulau Tiga ........................ 29
4. Hasil Uji Akurasi Algoritma di Perairan Pulau Tiga ....................... 30

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Spektrum Spektral Band pada Citra Sentinel-2 ................................ 12
2. Peta Lokasi Pengamatan Habitat bentik di Perairan Pulau Tiga
Selat Tiworo. .................................................................................... 17
3. Diagram alir penelitian ..................................................................... 19
4. Dermaga Pulau Tiga ......................................................................... 25
5. Hasil Koreksi atmosferik .................................................................. 26
6. Hasil Composit Citra ........................................................................ 27
7. Hasil Croping Citra Pulau Tiga ........................................................ 28
8. Hasil klasifikasi habitat bentik berbasis piksel di Pulau Tiga .......... 29

xii
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perairan laut dangkal secara oseanografi dapat didefinisikan sebagai

wilayah perairan yang mempunyai kedalaman hingga 200 meter. Dalam lingkup

penginderaan jauh, perairan laut dangkal yang dimaksud merupakan wilayah

perairan yang masih mendapatkan penetrasi cahaya matahari serta dapat

teridentifikasi oleh citra satelit sampai dasar perairan. Perairan dangkal memiliki

ekosistem khas, umumnya terdiri dari terumbu karang, padang lamun, pasir,

lumpur, dan mangrove (Siregar, 2010). Pemetaan habitat bentik merupakan upaya

memetakan ketampakan objek yang berada di dasar perairan seperti terumbu

karang, lamun, pecahan karang (rubble), alga, dan pasir (Talitha, 2016).

Perairan laut dangkal merupakan bagian dari wilayah pesisir yang

merupakan salah satu wilayah yang sangat kompleks karena memiliki beberapa

ekosistem yang saling terkait di dalamnya. Karakteristik tentang wilayah ini

cukup penting untuk diketahui untuk mendukung perencanaan pengelolaan pesisir

yang baik dan berkelanjutan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk

mengkaji fisik area wilayah pesisir termasuk perairan dangkal adalah melalui

teknologi penginderaan jauh. Pemetan perairan dangkal termasuk ekosistem di

dalamnya menggunakan teknologi penginderaaan jauh sehingga saat ini terus

berkembang karena didukung oleh ketersedian citra resolusi tinggi yang semakin

mudah diperoleh. Pemanfaatan citra tersebut tidak hanya dapat menghasilkan

informasi tutupan habitat bentik tetapi juga informasi fisiograis perairan dangkal

seperti bentuk dasar perairan atau morfologi dan kedalaman perairan dangkal

(Green et al., 2000).


2

Teknologi penginderaan jauh berbasis satelit menjadi sangat populer dan

digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik geomorfologi pantai. Hal ini

disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti harganya yang

relatif murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga

dapat digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu

menjangkau daerah yang terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat

digunakan untuk berbagai keperluan dan ditampilkan sesuai keinginan

(Suwargana, 2013).

Salah satu jenis informasi tentang geomorfologi pantai adalah sebaran

habitat bentik di perairan dangkal. Habitat bentik atau habitat perairan dangkal

merupakan bagian dari wilayah pesisir yang terdapat 3 (tiga) ekosistem tropik

yang khas, terumbu karang, lamun dan mangrove, dengan tingkat produktivitas

yang tinggi (Mukrimin et al, 2021). Fungsi habitat bentik diantaranya sebagai

tempat mencari makan, bertelur dan berpijah biota laut, perlindungan pantai dari

gelombang, menstabilkan sedimen, penjernihan air, penyerap karbon, sumber

material industri dan farmasi, serta pariwisata. Pendekatan terbaik dalam membuat

peta habitat bentik adalah dengan menggunakan data penginderaan jauh sebagai

sumber data utamanya. Meskipun demikian, informasi yang diperoleh di lapangan

sangat detailperlu diintegrasikan dengan data dari analisis citra satelit. Integrasi

data penginderaan jauh dan data lapangan telah berhasil digunakan untuk

pemetaan habitat bentik (Phinn et al.,2012)

Pemetaan habitat bentik, dalam penerapannya masih terdapat

permasalahan yaitu adanya pengaruh permukaan perairan dan kedalaman perairan

terhadap reflektansi dasar perairan (Lyzenga, 1981). Permasalahan lain adalah


3

penentuan metode klasifikasi citra dengan tingkat akurasi yang baik dari peta yang

dihasilkan. Pemanfaatan citra satelit untuk memetakan habitat dasar perairan

dangkal tentu tidak terlepas dari proses klasifikasi ataupun analisis digital dari

citra tersebut. Analisis digital data penginderaan jauh secara umum memiliki dua

pendekatan yaitu berbasis piksel (pixel-based) dan berbasis objek (object-based)

(Mastu, et al, 2018). Hasil dari klasifikasi bebasis piksel mampu mengkelaskan

dengan tipe atau jenis habitat berbeda dan juga dapat diketahui sebaran dan luasan

dengan menggunakan teknik pemetaan dari citra satelit (Zamdial et al., 2020).

Pulau Tiga yang merupakan salah satu gugusan pulau yang berada di

Selat Tiworo yang dimana masih termaksut Kawasan Konservasi Perairan Daerah

(KKPD) Kabupaten Muna Barat. Kawasan Selat Tiworo khususnya Pulau Tiga

memiliki karakteristik perairan tersendiri dimana perairan tersebut merupakan

tempat hidup dari berbagai jenis organisme yang disusun oleh rumput laut, lamun,

alga, karang hidup, karang mati dengan tipe substrat seperti pasir dan pecahan

karang (Zhang et al., 2013; Anggoro, 2015). Pemetaan habitat bentik

menggunakan pendekatan penginderaan jauh melalui klasifikasi berbasis objek

telah dilakukan di Pulau Tiga ini. Namun, klasifikasi habitat bentik dengan teknik

klasifikasi berbasis piksel belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu

dilakukan penelitian tentang klafisikasi berbasis piksel menggunakan citra satelit

Sentinel 2A di Pulau Tiga.

B. Rumusan Masalah

Keterbatasan luas cakupan penelitian menggunakan metode in situ

menjadi alasan sehingga dilakukannya penelitian berbasis pengindraan jauh selain

dapat memetakan lokasi terpencil dan daya cakupnya jauh lebih luas
4

dibandingkan metode insitu, metode pengindraan jauh terbukti lebih mudah dan

tidak memakan banyak waktu akan tetapi metode insitu memiliki keutamaan

kemungkinan eror lebih rendah dibandingkan metode pengindraan jauh. Dengan

membandingkan kedua metode tersebut maka akan mendapatkan hasil akurasi

selisih tutupan habitat bentik yang nantinya data tersebut akan menjadi referensi

peneliti selanjutnya.

1. Berapa jumlah kelas tutupan habitat bentik perairan laut dangkal di Pulau Tiga

menggunakan citra sentinel- 2 dalam pendekatan berbasis piksel?

2. Bagaimana tingkat ketelitian habitat bentik di Pulau Tiga mengunakan citra

sentinel-2 dalam pendekatan berbasis piksel?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penilitian ini yaitu:


1. Untuk mengetahui jumlah kelas tutupan habitat bentik perairan dangkal di

Pulau Tiga pada citra sentinel-2 melalui penerapan klasifikasi berbasis piksel

menggunakan algoritma Support Vector Manchine (SVM).

2. Untuk mengetahui tingkat ketelitian habitat bentik perairan dangkal di Pulau

Tiga pada citra sentinel-2 melalui penerapan klasifikasi berbasis piksel

menggunakan algoritma Support Vector Manchine (SVM).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penilitian ini adalah dapat menjadi bahan referensi bagi

peneliti dibidang kelautan khususnya bagi peneliti sumberdaya pesisir dengan

menggunakan teknologi penginderaan jauh.


5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Habitat Bentik

1. Habitat Bentik Secara Umum

Habitat bentik adalah substrat dasar laut yang menjadi tempat tumbuh bagi

komunitas biologis yang hidup pada dasar laut maupun di atas dasar laut. Habitat

bentik menyediakan berbagai fungsi bagi komunitas bentik maupun manusia.

Di antara fungsi tersebut adalah sebagai tempat mencari makan (feeding ground),

tempat pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground)

bagi berbagai biota laut (Philips and Menez, 1988). Habitat bentik memiliki peran

ekologis sebagai tempat berlangsungnya berbagai siklus nutrien, penyerapan

karbon, penjaga kejernihan air, menahan laju gelombang, serta penstabil sedimen

(Hernawan et al ., 2017).

Namun dalam beberapa dekade terakhir, habitat bentik mulai terganggu

(Nicolas et al., 2007) baik disebabkan oleh perubahan kondisi alam maupun

keterpaparan habitat bentik dengan aktivitas antropogenik. Perubahan kondisi

alam yang menyebabkan habitat bentik terganggu diantaranya adalah proses

sedimentasi, kenaikan suhu permukaan laut, peningkatan arus ataupun gelombang

laut, dan proses alam lainnya. Sementara aktivitas antropogenik seperti reklamasi

pantai, pertambangan pasir dan minyak, dan budidaya perikanan (Hernawan et al

., 2017). Serta eutrofikasi, aktivitas pelayaran, penangkapan ikan, dan pariwisata

yang tidak berwawasan lingkungan Nicolas et al., (2007), menjadi faktor-faktor

utama terganggunya habitat bentik.


6

B. Jenis-jenis Habitat Bentik

1. Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di bumi yang paling

produktif dan paling kaya dari segi hayati. Terumbu karang memberikan manfaat

sangat besar bagi jutaan penduduk yang hidup dekat pesisir. Ini merupakan

sumber pangan dan pendapatan yang penting, menjadi tempat asuhan bagi

berbagai spesies ikan yang diperdagangkan, menjadi daya tarik wisatawan

penyelam dan pengagum terumbu karang dari seluruh dunia, memungkinkan

terbentuknya pasir di pantai pariwisata, dan melindungi garis pantai dari hantaman

badai (Reytar et.al., 2012).

Pantulan spektral ekosistem perairan dangkal dalam hal ini terumbu

karang tidak mudah dibedakan dengan area padang lamun sedangkan respon

spektral terumbu karang dengan area padang lamun terlihat sangat berbeda.

Saluran spektral hijau dan merah pada area terumbu karang memiliki pantulan

spektral yang hampir sama sedangkan pada padang lamun respon spektral saluran

hijau selalu ditunjukkan bahwa terumbu karang sangat berbeda dengan laut.

Secara visual pada tampilan citra satelit area terumbu karang juga dapat dibedakan

dengan mudah (Hartoko et al, 2011). Hasil penelitian Wicaksono dan Heru

(2014), dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ diperoleh nilai pantulan

spektral pada terumbu karang 634 nm.

2. Lamun

Lamun adalah tumbuh-tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang terdiri

atas 2 famili,12 genus dan 48 spesies yang hidup dan berkembang baik pada

lingkungan perairan laut dangkal, estuari yang mempunyai kadar garam tinggi,
7

daerah yang selalu mendapat genangan air ataupun terbuka saat air surut, pada

subtrat pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak dan karang (Kiswara dan Hutomo,

1985).

Kedalaman air dan pengaruh pasang surut serta struktur substrat

mempengaruhi zonasi sebaran spesies-spesies lamun dan bentuk pertumbuhannya.

Spesies lamun yang sama dapat tumbuh pada habitat yang berbeda dengan

menunjukkan bentuk pertumbuhan yang berlainan, dan kelompok-kelompok

spesies lamun membentuk zonasi tegakan yang jelas baik murni ataupun asosiasi

dari beberapa spesies. Padang lamun mempunyai peranan ekologis penting bagi

lingkungan laut dangkal yaitu sebagai habitat biota produsen primer, penangkap

sedimen (Kiswara dan Hutomo, 1985).

Nilai spektral pada lamun menunjukkan pola yang memiliki dua puncak

pada panjang gelombang sinar tampak yaitu hijau-kuning (500-650 nm) dan

panjang gelombang merah (700-750 nm). Nilai spektral reflektansi lamun juga

dipengaruhi oleh kesehatan berdasarkan kondisi daunnya. Kandungan klorofil

dalam daun lamun yang berwarna hijau memberikan hasil reflektansi dengan

puncak tertinggi dipanjang gelombang 550 nm atau merupakan band hijau. Band

hijau memiliki sensitivitas tinggi terhadap vegetasi sehingga dalam pengukuran

reflektansi lamun puncak tertinggi berada pada interval panjang gelombang

spektrometer 510-550 nm (Siregar et al., 2015)

3. Makro Alga

Makroalga merupakan tanaman tingkat rendah yang tumbuh melekat atau

menanjap pada substrat tertentu seperti pada karang, lumpur, pasir, batu dan

benda keras lainnya. Selain benda mati, makroalga juga dapat melekat pada
8

tumbuhan lain secara epifitik. Pertumbuhan makroalga yang tergantung pada

substrat mendapat pengaruh langsung dari sedimentasi (Dwimayasanti dan

Kurnianto, 2018).

Habitat makroalga pada umumnya terdapat di pantai daerah intertidal dan

subtidal yakni daerah diantara garis pantai sampai ke tubir (reef slope), atau biasa

disebut daerah rataan terumbu (reef flats). Kelompok tumbuhan ini hidup di

perairan laut yang masih mendapat cahaya matahari dengan menempel pada

substrat yang keras seperti pecahan karang, batu dan benda keras lainnya.

Kelimpahan makroalga di daerah tropis khususnya wilayah Indonesia bagian

timur memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi, namun alga sangat rentan

terhadap perubahan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas masyarakat

maupun tekanan ekologis secara alami (Kadi, 2006).

Melalui kemampuan panjang gelombang sinar tampak hijau dan biru yang

memiliki sensivitas melihat vegetasi di laut dan dalam melakukan penetrasi.

Kemampuan penetrasi bervariasi antar panjang gelombang, dimana semakin

panjang gelombangnya, maka kemampuan penetrasi semakin rendah makro alga

yang terletak pada dasar perairan dangkal tropis yang mampu didefinisikan

melalui data pengindraan jauh. Saat ini penelitian pemetaan makro alga tidak

banyak dan sulit dilakukan karena saangat mirip dengan terumbu karang dan

lamun (Wicaksono dan Heru, 2014).

4. Pecahan Karang (Rubble)

Terumbu karang dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling

beragam, kompleks dan produktif di muka bumi ini. Namun sangat disayangkan,

kondisi terumbu karang di dunia saat ini mulai menurun. Diestimasi lebih dari
9

20% karang di dunia telah rusak dan tidak memiliki tanda-tanda perbaikan.

Di Indonesia sendiri kondisi terumbu karang sangat memprihatinkan. Pada tahun

2003, diestimasi hanya 7% karang Indonesia dalam keadaan sangat baik, 27%

dalam keadaan sedang, dan lebih dari 36% dalam keadaan buruk. Ancaman

terhadap terumbu karang bisa berasal dari alam maupun ancaman dari manusia.

Ancaman alami diantaranya gelombang, badai, tsunami dan naiknya temperatur

air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim. Karang yang dirusak baik oleh

faktor alami maupun faktor manusia umumnya terdegredasi menjadi pecahan

karang (rubble), rubble ini bersifat dinamis, mudah bergeser/dipindahkan oleh

gelombang dan arus. Hal ini menjadikan rubble memiliki efek gerus yang

menjadikannya "ladang pembunuh" bagi juvenil karang yang mengakibatkan

terhalangnya proses pemulihan tutupan karang hidup (Nurfadli, 2008).

Kondisi tutupan karang substrat seperti rubble, silt, sand, dan rock yang

tinggi pada suatu area terumbu karang merupakan hal buruk bagi biota karang.

Rubble diidentifikasikan sebagai patahan karang atau kerusakan fisik pada

karang.Bentuk patahan atau rubble yang tersebar umumnya disebabkan berasal

dari karang jenis Acropora yang mati.Patahan karang juga disebabkan oleh ulah

manusia yang menginjak dan berjalan di atas karang dan pelepasan jangkar oleh

nelayan diatas karang. Hal ini dapat memperburuk jumlah persentase patahan

karang yang mengakibatkan kerusakan pada karang semakin meningkat

(Yuliani dan Mimie, 2016).

Pemanfaatan teknologi pengindraan jauh terkait penyebaran rubble dapat

dilihat tanpa melihat langsung ke lapangan dengan memanfaatkan sinar tampak

dan reflektansi disekitar panjang gelombang 674 nm, fitur terkait spektrum
10

pantulan puing-puing patahan karang (Komatsu et al., 2010). Respon spektral

saluran hijau memberikan variasi pantulan yang nantinya mewakili masing-

masing objek yang ada pada dasar perairan (Hartoko et al., 2011).

5. Pasir

Pasir adalah material butiran dengan diameter antara 1/16 hingga 2 mm.

Pasir dapat digolongkan menjadi tiga kategori utama yaitu pasir terigen

(terrigeneous sand), pasir karbonat (carbonate sand) dan pasir piroklastik

(pyroclastic sand). Pasir laut termasuk salah satu contoh dari pasir karbonat. Pasir

laut adalah bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang

tidak mengandung unsur mineral golongan A atau golongan B dalam jumlah yang

berarti ditinjau dari segi ekonomi. Sedangkan secara geologi pasir laut adalah

segala material (sedimen) yang berukuran pasir yang karena proses transportasi

akhirnya terendapkan dan terakumulasi dalam sedimen di dasar laut

(Shoni, 2013).

Karakteristik objek yang ada di permukaan bumi memiliki sifat tidak statis

dimana objek tersebut salah satunya adalah pasir, dengan adanya pengindraan

jauh maka dapat digunakan untuk memonitor suatu area geografis, dalam teknik

pengindraan jauh di butuhkan nilai spektral untuk memudahkan proses klasifikasi.

C. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh informasi fenomena

alam pada obyek (permukaan bumi) yang diperoleh tanpa kontak langsung dengan

obyek permukaan bumi melalui pengukuran pantulan (reflection) ataupun

pancaran (emission) oleh media gelombang elektromagnetik. Obyek di permukaan

bumi berdasarkan pada nilai pantulan energi gelombang elektromagnetik yang


11

dipancarkan oleh obyek permukaan bumi kemudian energi tersebut direkam oleh

sensor. Ada tiga kelompok utama obyek permukaan bumi yang dapat dideteksi

oleh sensor yaitu air, tanah dan vegetasi yang masing-masing memancarkan

energi elektromagnetik dengan kemampuan pemetaan citranya tergantung pada

karakteristik masing-masing citra satelit. Kanal dan karakteristik inilah yang

digunakan oleh penginderaan jauh untuk mengenali obyek-obyek atau tipe-tipe

liputan lahan yang ada di permukaan bumi (Suwargana, 2013).

Saat ini telah banyak sensor satelit pengindraan jauh yang memiliki

kemampuan baik untuk mendeteksi berbagai fitur pada ekosistem perairan

dangkal seperti komunitas bentik karang dan yang lainya. Penginderaan jauh

untuk ekosistem perairan dangkal memanfaatkan sinar radiasi elektromagnetik

pada daerah spektrum sinar tampak. Spektrum tersebut dapat menembus

permukaan air sehingga dapat mendeteksi keberadaan suatu ekosistem di bawah

permukaan air. Terdapat beberapa produk dari citra satelit yang menyediakan

informasi mengenai gambaran suatu ekosistem perairan. Citra satelit yang dapat

digunakan untuk mengetahui keberadaan suatu ekosistem perairan dangkal

diantaranya terdapat beberapa macam citra satelit, yaitu citra Landsat, SPOT,

Quick Bird, Worldview2 dan Sentinel (Rofiq et al., 2019).

D. Karakteristik Citra Sentinel-2

Global Monitoring for Environment and Security (GMES) merupakan

salah satu program yang diusung oleh European Commission (EC) dan European

space Agency (ESA). Program ini bertujuan untuk kemajuan pembangunan dalam

penyediaan dan penggunaan informasi pemantauan lingkungan dan kemanan.

Peran ESA di GMES adalah untuk memberikan definisi dan pengembangan


12

elemen berbasis sistem ruang dengan meluncurkan Sentinel-2 yang memiliki

resolusi spasial tinggi. Namun dalam pengembangannya ESA sedang

mengembangakan lima misi Sentinel, yaitu Sentinel-1, Sentinel-2, Sentinel-3 dan

jason-CS (didasarkan pada konstelasi dua satelit di bidang orbit yang sama).

Dengan konfigurasi nin akan mungkin untuk memenuhi revisit dan cakupan, serta

memberikan layanan operasional yang kuat dan terjangkau. Sentinel-5 P dipahami

sebagai satelit gat-filler. Sentinel-4 mencakup pengembangan dua instrumen

payload yang akan dilakukan pada Meteosat Generasi ketiga. Sentinel-5 meliputi

pengembangan dua muatan istrumen yang akan dilakukan pada MetOp Generasi

kedua. Setiap satelit yang memungkingkan untuk ekstensi misi sampai dengan 12

tahun (2 tahun untuk Jason-CS). Setiap generasi satelit diluncurkan berbeda

diantara 15-20 tahun kedapan. Strategi untuk pengadaan dan penggantian satelit

sentinel selama periode ini dengan dalam tahap perumusan.

Gambar 1. Spektrum Spektral Band pada Citra Sentinel-2


(Sumber : User Handbook Revision 2. ESA, 2015)

Sentinel-2 telah dilancarkan untuk mendukung lahan Global Monitoring

for Environment and Security (GMES), darurat dan aplikasi keamanan, Geoland
13

2, SAFER, dan G-MOSAIC. Citra Sentinel-2 dengan sistem istrumen

multispektral yang beresolusi tinggi akan memastikan rangkaian kontinuitas

observasi multispektral SPOT dan Landsat dengan melihat kunjungan kembali,

area cakupan, band spektral, lebar petak, kualitas gambar radiometrik dan

geometrik. Sentinel-2 akan menjadi kontribusi signifikan terhadap pemenuhan

kebutuhan GMES dalam hal penyampaian produk informasi untuk layanan

operasional darat dan darurat.

Citra satelit Sentinel-2 saat ini menjadi alternatif baru dalam menyediakan

informasi permukaan bumi karena selain mudah didapatkan dan gratis, citra

Sentinel-2 menawarkan kualitas data citra dengan resolusi spasial yang lebih baik

yaitu 10x10 m2/piksel, dibandingkan dengan citra open source lainnya yang

sering digunakan seperti citra Landsat yang hanya memiliki resolusi spasial 30x30

m2/piksel (Nababan, 2018).

Sentinel-2 merupakan pencitraan optik Eropa yang diluncurkan pada

tahun 2015. Satelit ini membawa berbagai peta resolusi tinggi imager

multispectral dengan 13 band spektral. Satelit ini akan melakukan pengamatan

terestrial dalam mendukung layanan seperti pemantauan hutan, laut, deteksi

perubahan lahan tutupan, dan manajemen bencana alam (Sukmono et all., 2018).

Tabel 1. Karakteristik Citra Sentinel-2


Panjang Resolusi
Band Gelombang Kategori Spasial Kegunaan
(mm) (m)
Costal
1 443 60 Studi pesisir dan aresol
Aerosol
Melihat fitur permukaan air/
2 490 Blue 10
Kolom air dangkal, batimetri
Studi vegetasi di laut dan di darat,
3 560 Green 10
serta sedimen
Membedakan mineral dan tanah
4 665 Red 10
(studi geologi)/ lereng vegetasi
14

Vegetation Vegetasi spektral untuk melihat


5 705 20
Red Edge status vegetasi
Vegetation Vegetasi spektral untuk melihat
6 740 20
Red Edge status vegetasi
Vegetation Vegetasi spektral untuk melihat
7 783 20
Red Edge status vegetasi
Studi konten biomassa dan garis
8 842 NIR 10
pantai
Vegetasi Vegetasi spektral untuk melihat
8a 865 20
Red Edge status vegetasi
Water Studi konten biomassa dan garis
9 945 60
Vapour pantai
SWIR- Peningkatan deteksi kontaminasi
10 1380 60
Cirrus awan cirrus
Studi deteksi kandungan air tanah
11 1610 SWIR 20
dan vegetasi
12 2190 SWIR 20 Studi deteksi kandungan air

E. Identifikasi Habitat Bentik Menggunakan Citra Satelit

Teknologi satelit penginderaan jauh (inderaja) mempunyai kemampuan

untuk mengidentifikasi dan memantau sumberdaya alam dan lingkungan wilayah

pesisir, seperti habitat lamun, mangrove, karang, pantai, muara sungai, dan

mampu medeteksi perubahan tata guna lahan wilayah pesisir dan penggunaan

(Noer et al., 2016).

Pendeteksian habitat bentik menggunakan citra satelit adalah dengan

memanfaatkan nilai reflektansi langsung yang khas dari tiap objek di dasar

perairan yang kemudian direkam oleh sonar. Sinar biru, hijau dan merah dengan

sinar energi yang berbeda-beda yang digunakan oleh satelit untuk pengindraan

jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm). Salah

satu dari habitat bentik yaitu objek lamun yang menyerap energi pada panjang

gelombang biru (sekitar 400 nm) dan merah (sekitar 700 nm) digunakan untuk

berfotosintesis, serta memantulkan energi pada panjang hijau (sekitar 500 nm).

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa lamun berwarna hijau (Arif et al., 2013).
15

F. Algoritma Lyzenga

Salah satu obyek yang dapat dikenali dari citra satelit adalah pengenalan

obyek bawah air, sampai kedalaman tertentu. Secara teoritis jika dasar perairan

terlihat, maka dapat dibentuk suatu hubungan antara kedalaman.

Perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor. Namun

kenyataannya tidak, karena hal ini banyak dipengaruhi oleh parameter lain, seperti

kekeruhan air, kandungan klorofil, suspensi sedimen, pantulan dasar perairan dan

pembiasan pada atmosfer (Lyzenga, 1981).

Usulan metode yang digunakan untuk meningkatkan ketelitian informasi

dibawah permukaan perairan dangkal tersebut dikenal sebagai metode Depth

Invariant Index yang didasarkan pada kenyataan bahwa cahaya yang dipantulkan

dari bawah merupakan fngsi linear dari reflektansi dasar perairan dan fungsi

eksponensial dari kedalaman air.

Algoritma Depth-Invariant Index (DII) atau yang disebut juga Lyzenga

merupakan algoritma yang diterapkan pada citra untuk koreksi kolom perairan.

Pada prinsipnya metode ini menggunakan kombinasi band sinar tampak citra

satelit. Teknik ini diuji coba pada perairan Bahama dimana perairan tersebut

merupakan perairan yang jernih, sebelumnya teknik ini digambarkan untuk

mengetahui kondisi dasar perairan dengan menggukan citra Landsat berdasarkan

nilai pantulan dasar perairan yang diduga dari linear reflektansi dasar perairan dan

fungsi ekponensial kedalaman air (Lyzenga, 1981).

G. Algoritma SVM (Support Vektor Machine)

Algoritma SVM merupakan klasifikasi terbimbing yang dapat mencari

sebuah vektor atau garis yang berfungsi sebagai pemisah dua kelas dengan
16

memaksimalkan margin antar kelas tersebut. Algoritma klasifikasi ini berdasarkan

prinsip linear classfier yang tergolong klasifikasi machine learning. Konsep SVM

dapat dijelaskan secara sederhana sebagai usaha mencari hyperplane terbaik yang

berfungsi sebagai pemisah dua buah kelas pada input space (widodo dkk., 2013).

Garis pemisah antar kelas dapat dibuat berupa garis linear dan radial basis

function.

Christianiniand Taylor (2000), Algoritma Support Vector Machine (SVM)

merupakan sistem pembelajaran yang metode klasifikasinya menggunakan ruang

hipotesis berupa fungsi-fungsi linear dalam sebuah ruang fitur, dilatih dengan

algoritma pembelajaran yang didasarkan pada teori optimasi dengan

mengimplementasikan learning bias dari teori pembelajaran statistika. Konsep

SVM adalah berusaha menemukan fungsi pemisah terbaik diantara fungsi yang

tidak terbatas jumlahnya. Fungsi pemisah terbaik dapat ditemukan dengan

mengukur batas pemisah tersebut dan mencari nilai maksimalnya.


17

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September 2021 di perairan

Pulau Tiga Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat, Provinsi Sulawesi

Tenggara. (Gambar 2).

Gambar 2. Peta Lokasi Pengamatan Habitat Bentik di


Perairan Pulau Tiga Selat Tiworo
18

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada

Tabel 1

Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan Beserta Kegunaanya


No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan
1. Alat
a. Perangkat Lunak
 ArGIS 10.3 - Pengolahan Citra Satelit
 ENVI 5.3 - Pengolahan Citra Satelit
 Mic. Excel 2010 - Analisis data
b. Perangkat Keras
 Masker dan Snorkel - Melihat dasar perairan dari
permukaan laut
 GPS (Garmin Xtrex 10) - Pengambilan titik koordinat
 Kamera Digital (Nikon) - Dokumentasi
-
 Alat tulis Mencatat hasil pengamatan
2. Bahan
 Data Citra Satelit - Bahan Pengamatan
Sentinel 2A
19

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dapat dilihat pada gambar diagram alir dibawah ini:

Citra Sentinel-2A

Pra Pengolahan Citra


- Koreksi Atmosferik
- Croping Citra

- Komposit Citra (RGB)

Tranformasi Citra
Algoritma SVM Survei Lapangan
dan Penentuan
Stasiun
Klasifikasi Terbimbing
(Supervised Classification) Pengamatan
Lapangan

Peta Klasifikasi Citra


Tutupan
Habitat
Bentik

Akurasi Habitat
Uji Akurasi
Bentik Insitu

Peta Habitat Bentik


Citra SEntinel-2A

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian


20

1. Survey Pendahuluan

Tahap survey pendahuluan dilaksanakan guna untuk mengetahui kondisi

lokasi penelitian.

2. Penentuan Area Pengamatan

Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan, lokasi area survey

dan penentuan area pengamatan yaitu di Perairan Pulau Tiga, Kabupaten Muna

Barat, Sulawesi Tenggara.

3. Pengamatan Lapangan

Metode yang digunakan pada pengamatan lapangan adalah random

sampling, dengan mengambil titik koordianat pada area pengamatan dilakukan

secara tegak lurus dari pantai ke tubir.

4. Pra Pengolahan Data Citra

Pra-pengolahan citra satelit dilakukan di Laboratorium Komputasi, SIG

dan Pemodelan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dengan beberapa tahap,

yaitu;

a. Koreksi Atmosferik

Koreksi atmosferik digunakan untuk mengkonversi nilai digital number

(DN) menjadi nilai radian kemudian dikonversi kembali menjadi nilai reflektansi

yang dianggap mewakili nilai sebenarnya dari kemampuan suatu obyek

dilapangan dalam memantulkan gelombang elektromagnetik (Wicaksono, 2015).

Meminimalisir kesalahan radiometrik akibat aspek eksternal berupa

gangguan atmosfer pada saat proses perekaman. Biasanya gangguan atmosfer ini

dapat berupa serapan, hamburan, dan pantulan yang menyebabkan nilai piksel

pada citra hasil perekaman tidak sesuai dengan nilai piksel obyek sebenarnya di
21

lapangan. Persamaan yang digunakan untuk koreksi radiometrik citra satelit

sentinel 2A yaitu sebagai berikut.

NP’ = NP-NPmin ………………………………………………(1)

Keterangan:
- NP’ = Nilai piksel hasil koreksi
- NP = Nilai piksel citra
- NP min = Nilai piksel minimum
b. Croping Citra

Setelah penggabungan band selesai dilakukan, selanjutnya pemfokusan

daerah penelitian dengan cara cropping atau memotong wilayah yang akan

digunakan dalam proses pengolahan citra, salah satu keutamaan cropping dapat

mempercepat pengolahan data karena mengurangi kapasitas memori citra.

c. Komposit Citra

Komposit citra merupakan proses penggabungan warna RGB (red, green

dan blue) dengan tujuan untuk menghasilkan kombinasi warna yang dapat

memberikan gambaran umum tentang data yang akan diproses sehingga

mempermudah dalam penginterpretasian objek yang ada pada data citra dengan

baik. Pada analisis habitat dasar perairan laut dangkal, komposit yang digunakan

adalah warna true color (Prayuda, 2014) untuk mendeteksi objek di bawah air

penelitian ini mengunakan kombinasi RGB 432 pada citra Sentinel 2. Pemilihan

ketiga band dari citra tersebut merupakan penggabungan band paling sesuai untuk

memberikan tampilan citra yang lebih tajam.


22

D. Analisis Data

a. Algoritma Depth-Invariant Index (DII)

Algoritma Lyzenga atau algoritma Depth-Invariant Index (DII) atau yang

disebut juga Lyzenga merupakan algoritma yang diterapkan pada citra untuk

koreksi kolom perairan. Pada prinsipnya metode ini menggunakan kombinasi

band sinar tampak citra satelit.Teknik ini diuji coba pada perairan Bahama dimana

perairan tersebut merupakan perairan yang jernih. Sebelumnya teknik ini

digambarkan untuk mengetahui kondisi dasar perairan dengan menggunakan citra

Landsat berdasarkan nilai pantulan dasar perairan yang diduga dari linear

reflektansi dasar perairan dan fungsi ekponensial kedalaman air (Lyzenga, 1981).

b. SVM (Support Vektor Machine)

Algoritma Support Vector Machine (SVM) merupakan sistem

pembelajaran yang metode klasifikasinya menggunakan ruang hipotesis berupa

fungsi-fungsi linear dalam sebuah ruang fitur, dilatih dengan algoritma

pembelajaran yang didasarkan pada teori optimasi dengan mengimplementasikan

learning bias dari teori pembelajaran statistika (Christiani, 2000). Konsep SVM

adalah berusaha menemukan fungsi pemisah terbaik diantara fungsi yang tidak

terbatas jumlahnya. Fungsi pemisah terbaik dapat ditemukan dengan mengukur

batas pemisah tersebut dan mencari nilai maksimalnya (Wahidin et al,. 2015)

k = exp (˗ )………...……………...……………………………..(2)

Keterangan :
x : mempresentasikan vektor dari setiap data
𝛔 : mempresentasikan jumlah derajat dari fungsi polynomial
23

c. Uji Akurasi

Perhitungan akurasi dilakukan dengan menggunakan matriks kontingensi

(confuisson matrix) dengan membandingkan antara data lapangan (ground check)

dengan data klasifikasi citra (Haya dan Fujii, 2017). Pengambilan titik ground

check mengunakan teknik sampling dengan merekam titik koordinatnya

mengunakan GPS. Uji akurasi yang dihitung adalah akurasi nilai perhitungan

pengamatan lapangan (producer accuracy), akurasi nilai hasil klasifikasi citra

(user accuracy) dan akurasi keseluruhan (overall accuracy) (Hafid, 2014).

Pengujian akurasi penting dilakukan untuk memperoleh peta yang dapat

dipercaya (Roelfsema et al. 2006), dengan membandingkan antara hasil klasifikasi

peta data lapangan yang sudah dibuat dan hasil pengamatan langsung di lapangan.

Uji akurasi menggunakan matriks kesalahan (error matrix atau confusion matrix)

yaitu uji akurasi yang menggunakan dua pengukuran. Data kolom merupakan

hasil klasifikasi yang mewakili perhitungan producer’s accuracy (PA) sedangkan

data baris merupakan hasil observasi lapangan oleh pengamat dan digunakan

dalam perhitungan user’s accucary (UA). Semakin banyak hasil klasifikasi yang

selaras dengan hasil observasi, maka nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy)

akan semakin tinggi (Haya dan Fujii, 2017). Uji akurasi berdasarkan persamaan

sebagai berikut:

PA = …………..…………...……………..……………..… ……..(3)
UA ……………………………….....…..…..…………………..(4)

OA = ……………………………...……………….…………..(5)
Keterangan:
k = Jumlah baris pada matriks
n = jumlah pengamatan
nii = jumlah pengamatan pada kolom ke-i dan baris ke-i
njj = jumlah pengamatan pada kolom ke-j dan baris ke-j
24

ni+ = total baris ke-i


n+j = total kolom
25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi

Perairan Pulau Tiga berada dalam wilayah Kawasan Konservasi Perairan

Daerah (KKPD) Selat Tiworo dan terletak dalam wilayah administrasi Desa Bero

Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat. Perairan ini terletak pada titik

kordinat 04034'59,7" LS dan 122019'31,8" BT dengan perbatasan wilayah sebagai

berikut :

- Sebelah Utara : Selat Tiworo

- Sebelah Selatan : Desa Tasipi

- Sebelah Barat : Desa Mandike

- Sebelah Timur : Desa Santigi

Gambar 4. Dermaga Pulau Tiga.

Pulau Tiga merupakan pulau terluar dari pulau-pulau yang berada pada

wilayah KKPD Selat Tiworo, untuk mencapai Perairan Pulau Tiga kita dapat

menempuh jalur laut dan jalur darat, untuk jalur laut kita bisa memakai

transportasi kapal malam yang berada di pelabuhaan kapal malam kendari dengan

jarak tempuh 4-5 jam,setelah itu di lanjutkan dengan perjalanan darat,dari


26

pelabuahan Raha menuju pelabuahan Tondasi,dengan jarak tempuh 1-2

jam,setelah itu kita melakukan penyebrangan menggunakan kapal dari Pelabuhan

Tondasi menuju Pulau Tiga.

B. Hasil Penelitian

1. Pengolahan Citra

a. Koreksi Atmosferik

Koreksi atmosferik merupakan koreksi yang dilakukan untuk

menghilangkan pengaruh atmosfer seperti partikel padat dan uap air di udara

(aerosol) yang terekam pada citra. Koreksi atmoseferik di lakukan menggunakan

koreksi DOS pada aplikasi Qgis dengan memanfaatkan plugin semi-automatic

dengan data input band RGB.

Gambar 5. Hasil Koreksi atmosferik.

b. Composite Citra

Composite band atau penyusunan komposit warna diperlukan untuk

mempermudah interpretasi citra pada pengolahan penginderaan jauh (Sasmito


27

2019). Composite band merupakan proses penggabungan atau kombinasi 3 kanal

atau band yang berbeda pada citra yang diolah, proses ini di namakan “RGB

composite” hasil dari proses ini akan menghasilkan citra degan berbagai warna

yang berbeda sesuai gabungan band yang dikombinasikan.

Gambar 6. Hasil Composit Citra.

c. Pemotongan Citra (Cropping)

Pemotongan citra atau biasa disebut cropping merupakan proses

pengolahan citra yang digunakan untuk memperkecil daerah pengamatan suatu

penelitian. Hal ini bertujuan untuk memperkecil kapasitas file yang akan diolah

serta mempercepat proses-proses dalam software pengolahan yang digunakan bila

dibandingkan dengan mengolah data satu scene penuh. Pada penelitian ini

pemotongan citra dilakukan pada pulau dan wilayah perairan Pulau Tiga. Hasil

pemotongan citra Sentinel-2A.


28

Gambar 7. Hasil Croping Citra Pulau Tiga.

2. Transformasi Citra Bebasis Pikxel Menggunakan Algoritma Support

Vektor Machine (SVM) Untuk Klasifikasi Habitat Bentik

Pendekatan klasifikasi Habitat Bentik berbasis piksel dalam penelitian ini

menggunakan supervised classification atau klasifikasi terbimbing, dimana

metode ini didefinisikan sebagai klasifikasi yang menggunakan pendekatan

berdasarkan perbedaan spektral antara fitur permukaan yang berbeda. Pada proses

klasifikasi berbasis piksel dilakukan pemilihan sampel kelas (training

area) berdasarkan objek kelas dominan yang ditemukan di lapangan.

Hasil klasifikasi habitat bentik berbasis piksel menggunakan algoritma

SVM dapat dilihat pada gambar di bawah ini.


29

Gambar 8. Hasil klasifikasi habitat bentik berbasis piksel di Pulau Tiga.

3. Tutupan Habitat Bentik

Klasifikasi habitat bentik di Perairan Pulau Tiga menggunakan metode

klasifikasi berbasis piksel yang dapat diketahui melalui nilai luasan objek hasil

analisis citra terklasifikasi. Berdasarkan hasil interpretasi dari masing-masing citra

terdapat 5 kelas objek habitat bentik diantaranya rubble, pasir, lamun, karang

hidup, karang mati bercampur alga.

Tabel 3. Hasil analisis tutupan bentik di Perairan Pulau Tiga.

No Kelas bentik Luasan (hektar) Tutupan (%)

1 Rubble 34,21 16,89


2 Pasir 24,11 11,90
3 Lamun 92,14 45,49
4 Karang hidup 39,89 19,70
Karang mati
5 12,18 6,01
bercampur alga
Total 202,53 100
30

4. Uji Akurasi

Pengujian akurasi klasifikasi penting dilakukan untuk memperoleh peta

yang dapat dipercaya (Chris et al. 2006). Uji akurasi pada citra Sentinel-2A

didapatkan hasil Overall Accuracy (OA) adalah sebesar 60.53%. menggunakan

algoritma Support Vektor Machine (SVM) serta dengan penerapan dan tanpa

koreksi kolom air. Berdasarkan pada SNI 7716:2011, nilai akurasi yang dapat

diterima untuk pemetaan habitat bentik adalah sebesar ≥ 60% (LIPI, 2014).

Tabel 4. Hasil Uji Akurasi Algoritma di Perairan Pulau Tiga.


Karang
User
Kelas Karang mati Laut
Rubble Pasir Lamun Darat Jumlah accuracy
bentik hidup bercampur dalam
(%)
alga

Rubble 14 1 1 5 0 4 0 25 56.0

Pasir 0 7 0 0 0 0 0 7 0.0

Lamun 0 1 9 0 0 0 0 10 0.0
Karang
hidup 8 0 0 10 0 8 0 26 30.8

Darat 0 1 0 0 11 0 0 12 0.0
Karang
mati
bercampur
alga 8 0 0 8 0 2 0 18 44.4
Laut
dalam 0 0 0 0 0 0 16 16 0.0

Jumlah 30 10 10 23 11 14 16 Overal
Producer accuracy 60.53
accuracy (%)
(%) 46.67 10.00 10.00 21.74 0.00 28.57 0.00

C. Pembahasan

1. Pengelolaan Citra

Perbedaan secara visual atmosferik dapat dilihat pada Gambar 5. Koreksi

atmosferik dilakukan untuk penajaman citra dan mengurangi gangguan atmosfer

sehingga menghasilkan visual citra yang lebih baik. Citra hasil koreksi atmosferik,

secara visual terlihat lebih jelas terutama pada wilayah daratan dan perairan
31

dangkal. Menurut (Mahiny & Turner, 2007) citra hasil koreksi atmosferik dapat

meningkatkan akurasi pemetaan jika dibandingkan dengan citra tanpa koreksi

dengan dua kemungkinan yaitu pada nilai reflektansi underestimate dan

overestimate yang disebabkan karena parameter aerosol yang kurang sesuai

dengan kondisi lapangan saat perekaman citra. Citra yang digunakan sebagai input

layer pada proses klasifikasi adalah citra yang telah terkoreksi atmosferik. Saluran

yang digunakan yaitu kanal sinar tampak (blue, green, red dan saluran

inframerah dekat (NIR)). Kemudian dilanjutkan dengan membuat rule set

klasifikasi dalam komponen process tree. Algoritma klasifikasi yang digunakan

adalah algoritma support vector machines (SVM) merupakan algoritma klasifikasi

terbimbing yang dapat mencari sebuah vector atau garis yang berfungsi sebagai

pemisah dua kelas dengan memaksimalkan margin antar kelas tersebut (Wahidin

et al., 2015). Algoritma klasifikasi ini berdasarkan prinsip linear classfier yang

tergolong klasifikasi machine learning. (Nugroho et al., 2003).

2. Tutupan Habitat Bentik di Perairan Pulau Tiga

Penentuan skema klasifikasi habitat bentik sampai saat ini tidak

mempunyai ketentuan atau standarisasi yang baku, sehingga penamaan kelas

habitat bentik dalam penelitian ini disesuaikan dengan komposisi penyusun

habitat bentik dominan yang teramati di lapangan. Beberapa penelitian tentang

penentuan skema klasifikasi habitat bentik perairan dangkal telah banyak

dilakukan dan menghasilkan skema klasifikasi atau jumlah kelas yang berbeda-

beda seperti skema klasifikasi yang dikembangkan secara hirarki oleh

Phinn et al., (2011) menghasilkan 12 kelas habitat bentik. Zhang et al., (2013)

menghasilkan 12 kelas habitat bentik, Siregar et al., (2013) menghasilkan 6


32

habitat bentik, Wahiddin et al., (2015) menghasilkan 7 kelas habitat bentik serta

Anggoro et al., (2017) menghasilkan 9 skema klasifikasi habitat bentik.

Berdasarkan hasil analisis citra 2021 tutupan habitat bentik perairan Pulau

Tiga dikelaskan menjadi 5 kelas kelas bentik (Tabel 4) yaitu kelas rubble seluas

34.21 ha, dengan persentase tutupan 16.89 %, pasir 24.11 ha dengan persentase

tutupan 11.90 %, lamun 92.14 ha dengan luas tutupan 45.49%, karang hidup

39.89 ha dengan luas tutupan 19.70% dan karang mati 12.18 ha dengan luas

tutupan 6.01%, jenis habitat bentik yang mendominasi perairan Pulau Tiga yaitu

habitat lamun dengan luas 92.14 ha dan presentase tutupan 45.49 % Tingginya

tutupan lamun menandakan perairan di Pulau Tiga masih tergolong baik dan

kurangnya pengaruh masyarakat yang dapat memberikan pengaruh yang

signifikan hal ini sesuai denan pernyataan Adli et al., (2016) daerah yang telah

terganggu aktivitas manusia memiliki persen penutupan paling kecil dan

penutupan lamun akan semakin tinggi pada daerah yang alami. selain lamun

pesentase karang hidup dinilai cukup tinggi dengan luas 39.89 ha dengan luas

tutupan 19.70%.

3. Klasifikasi Bentik di Perairan Pulau Tiga

Hasil pengamatan lapangan yang diperoleh dari survei dikelompokkan ke

dalam kelas habitat bentik dengan merujuk kelas habitat yang dilakukan oleh

beberapa peneliti sebelumnya (Anggoro et al., 2015; Siregar et al., 2013; Phinn et

al., 2011; Roelfsema et al., 2008; Andrefouet et al., 2003). Karakteristik

komponen penyusun habitat bentik di perairan Pulau Tiga diidentifikasi sebanyak

5 habitat yaitu rubble, pasir, lamun, karang hidup dan karang mati. Masing-

masing habitat memiliki presentase nilai kehadiran yang berbeda-beda tergantung


33

kondisi wilayah dan jumlah titik pengamatan di lapangan. Klasifikasi yang

digunakan pada penelitian ini menggunakan metode Support Vector Machine

(SVM).

Berdasarkan hasil klasifikasi habitat bentik pada Gambar 8 terlihat dengan

jelas bahwa kelas habitat bentik terdistribusi dengan relatif homogen pada wilayah

perairan dangkal. Dari hasil tersebut, kemudian dapat diperoleh luas area masing-

masing kelas habitat bentik dengan analisis spasial perairan dangkal di lokasi

penelitian. Gambar 8 menunjukan luas area 5 kelas habitat bentik hasil klasifikasi

menggunakan algoritma SVM Klasifikasi berbasis piksel pada Gambar 8

menunjukan habitat bentik perairan dangkal Pulau Tiga didominasi oleh lamun

bersama dengan kelas karang hidup. Pada klasifikasi citra berbasis piksel

menunjukkan adanya efek salt and pepper, yaitu istilah yang menggambarkan

noise berupa bintik atau bercak warna (Sutanto et al., 2014). Warna hijau muda

pada karang hidup terdapat pada daerah reef slope ditunjukan dengan warna light

apple. Klasifikasi dilakukan untuk menyederhanakan informasi dan meningkatkan

akurasi (Gambar 8 dan Tabel 4). Menurut Mumby dan Edwards (2002)

penyederhanaan kelas dilakukan untuk meningkatkan nilai akurasi.

4. Uji Akurasi

Data penginderaan jauh didukung dengan data observasi lapangan di Pulau

Tiga dapat memetakan habitat bentik dengan baik pada 5 kelas habitat.

Phinn et al., (2012) menerangkan bahwa integrasi data penginderaan jauh dan data

lapangan telah berhasil digunakan untuk pemetaan habitat bentik secara hirarki.

Hasil uji akurasi klasifikasi menggunakan Uji akurasi Algoritma Support Vektor

Machine (SVM) mengandung beberapa informasi yang didapatkan yaitu,


34

Producer accuracy, Users accuracy, dan Overall accurasy. Producer accuracy

dan Users accuracy merupakaan penduga dari ketelitian keseluruhan (Overall

accurasy). Producer accuracy merupakan akurasi yang dilihat dari sisi penghasil

peta, sedangkan Users accuracy merupakan akurasi yang dilihat dari sisi

pengguna petanya.

Uji akurasi untuk citra Sentinel-2A didapatkan hasil Overall Accuracy

(OA) adalah sebesar 60.53% dapat dilihat pada Tabel 3. Producer accuracy (PA)

citra Sentinel-2A tertera bahwa rubble mempunyai akurasi tertinggi sekitar

46.67% dan terendah pada kelas lamun dan pasir dengan akurasi sebesar 10.00%.

a kelas karang mati rubble sebesar 63.63%. Hasil akurasi pada penelitian ini

menunjukkan bahwa penggunaan Algoritma Support Vektor Machine (SVM)

citra multi spektral sentinel-2 di Perairan Pulau Tiga mampu memetakan habitat

bentik dengan baik. Hal ini dinyatakan oleh Green et al., (2000) bahwa akurasi

pemetaan habitat bentik yang dapat digunakan adalah dengan OA > 60%.

Over estimete sering terjadi pada saat pengecekan akurasi secara

keseluruhan (overall accuracy) terutama disebabkan oleh proses dalam

pengukuran menggunakan piksel yang terdapat pada posisi diagonal dalam

matriks, sehingga disarankan untuk menggunakan akurasi bentuk Kappa

Coefficient, karena semua elemen direkomendasikan dalam perhitungan akurasi

pada matrik yang digunakan dalam proses perhitungan. Pada citra Sentinel-2A

didapatkan akurasi kappa sebesar 0.5267. Ramadhani et al., (2015)

menyampaikan bahwa klasifikasi berbasis objek telah terbukti sukses untuk

analisis digital citra resolusi tinggi dan sangat tinggi walaupun memiliki informasi

spektral yang rendah.


35

Penelitian Mastu (2018) menggunakan klasifikasi berbasis objek dengan

algoritma SVM mendapatkan overall accuracy menggunakan citra Sentinel-2A

sebesar 64.1% dan menggunakan citra UAV sebesar 81.1%. Selain itu Mukrimin

et al., (2021) melakukan pemetaan habitat bentik dengan memakai citra Sentinel-

2A yaitu metode klasifikasi berbasis objek dengan algoritma SVM yang

didapatkan overall accuracy sekitar 88% dan Dimara et al., (2020) mendapatkan

overall accuracy sebesar 73.77%.


36

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Diperoleh tutupan habitat bentik dari hasil analisis citra sentinel 2A

menghasilkan 5 kelas yang terdiri dari; karang hidup, karang mati, rubble, ,

lamun dan pasir.

B. Hasil uji akurasi/ketelitian citra dalam bentuk presentase Citra Sentinel-2A

dapat digunakan dalam pemetaan habitat bentik di Pulau Tiga dengan tingkat

akurasi yang tinggi dengan overall accuracy sebesar 73.95%.

C. Saran

Sebaiknya pada penelitian lanjutan mengenai drone untuk penyempurnaan

deteksi habitat bentik di perairan dangkal Pulau Tiga menggunakan spesifikasi

dan proses akuisisi drone yang lebih baik sehingga tingkat akurasi yang

didapatkan akan lebih tinggi dan penggunaan metode serta algoritma yang

berbeda diharapkan dapat dilakukan agar dapat diketahui perbandingannya.


37

DAFTAR PUSTAKA

Adli A, Rizal A, Ya’la ZR. 2016. Profil ekosistem lamun sebagai salah satu
indikator kesehatan pesisir Perairan Sabang Tende, Kabupaten Tolitoli. J
Sains dan Teknologi Tadulako. 5(1):49-62.
Andréfouët S, Kramer P, Torres-Pulliza D, Joyce KE, Hochberg EJ, Garza-Pérez
R, Mumby PJ, Riegl B, Yamano H, White WH, et al.. 2003. Multi-site
evaluation of IKONOS data for classification of tropical coral reef
environments. Remote Sensing of Environment. 88:128-143. doi:
10.1016/j.rse.2003.04.005.
Anggoro A, Siregar VP, Agus SB. 2017. Multiscale classification for geomorphic
zone and benthic habitats mapping using OBIA method in Pari Island. J
Penginderaan Jauh. 14(2): 89-93. doi: 10.30536/j.pjpdcd.1017.v14.a2622.
Arief, M., Hastuti, M., Asriningrum, W., Parwaty, E., Budiman, S., Prayoga, S.,
Hamzah, R., 2013. Pengembangan Metode Pendugaan Kedalaman
Perairan Dangkal Menggunakan Data Saelit SPOT-4 Studi Kasus : Teluk
Ratai, Kabupaten Pesawaran. Peneliti Pusat Pemanfaatan Pengindraan
Jauh, Lapan.
Cristianini N., Taylor J.S., (2000), An Introduction to Support Vector Machines
and Other Kernel-Based Learning Methods, Cambridge Press University.
Danoedoro P. 2012.Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta
(ID): Andi Offset.
Dwimayasanti, R. dan Kurnianto, D. 2018. Komunitas Makroalga Di Perairan
Tayando-Tam, Maluku Tenggara. Oseanologi Dan Limnologi Di
Indonesia. 3(1): 39-48. Issn: 0125-9830 Online Issn: 2477-328x.
Green, E., Mumbay, P.,Edwards, A., & Clark, C. (2000). Remote Sensing:
Handbook for Tropical Coastal Management. United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization.
Hafid, L.O.A. 2014. Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar,
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Lansasat-7 EMT+SLC-OFF
dan Landsat-8 OLI. Skripsi.Departemen Ilmu Kelautan dan Teknologi
Kelautan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan.Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Hartoko. A., Helmi. M., Herkiki. S., Munasik dan Wouthuyzen. 2011. Analisis
Respo Spektral dan Ekstraksi Nilai Spektral Terubu Karang Pada Citra
Digital Multispektral Satelit ALOS-AVNIR di Peraran Gugus Pulau Pari,
Kepulauan Seribu. Buletin Oseanongrafi Marina. Vol. 1 :120-136. Issn
2009-3507.
38

Hernawan, E. U., Sjafrie, N. D. M., Supriyadi, I. H., Suyarso., Iswari, M. Y.,


Anggraini, K. & Rahmat. 2017. Status padang lamun indonesia 2017.
Jakarta: Puslit Oseanografi LIPI.
Kadi, A. 2016.Struktur Komunitas Makro Algae Di Pulau Pengelap, Dedap,
Abang Besar dan Abang Kecil Dan Kepulauan Riau. Bidang Sumberdaya
Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lipi, Jakarta. Ilmu Kelautan. Vol. 11
(4): 234-240. Issn 0853 – 7291.
Kiswara, W. dan Hutomo, M., O. 1985.Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun
Vol X,(1) Hal. 21- 30.
Lyzenga David R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water
Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat
Data. International Journal of Remote Sensing (IJRS). 2(1): 71-82.
Mahiny, A. S., & Turner, B. J. (2007). A Comparison of Four Common
Atmospheric Correction Methods. Photogrametric Engineering & Remote
Sensing, 73(4), 361–368.
Mastu LOK. 2018. Pemetaan habitat bentik berbasis objek menggunakan citra
Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dan satelit Sentinel-2 di perairan Pulau
Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian
Bogor. 96 hlm.
Mukrimin, La Ode Muhammad Yasir Haya, Amadhan Takwir. 2021. Pemetaan
Habitat Bentik Perairan Dangkal Di Pesisir Pulau Tiga (Selat Tiworo)
Menggunakan Citra Satelit Sentinel-2A. Sapa Laut Vol.6(1): 63-74.
Mumby PJ, Clark CD, Green EP, Edwards AJ. 1998. Benefits of water column
correction and contextual editing for mapping coral reefs. Int J Remote
Sens. 19(1):203-210.
Nababan, B,.Khairum. L. M,.dan Panjaitan. J P. 2018. Pemetaan Habitat Bentik
Berbasis Objek Mengunakan Citra Sentinel-2 Di Perairan Pulau Wangi-
Nicolas, D., Le Loc'h, F., Desaunay, Y., Hamon, D., Blanchet, A., & Le Pape, O.
2007. Relationships between benthic macrofauna and habitat suitability for
juvenile common sole (Solea solea, L.) in the Vilaine estuary (Bay of
Biscay, France) nursery ground. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 73:
3-4,639-650.
Noer, A. N., Paulus, S. V dan Bahri, A, S. 2016. Penerapan Algoritma Spectral
Angle Mapper (SAM) Untuk Klasifikasi Lamun Menggunakan Citra
Satelit Worldview-2. Jurnal Pengindraan Jauh Vol. 13(2):61-72
Nugroho AS, Witarto AB, Handoko D. 2003. Support Vector Machine Teori Dan
Aplikasinya Dalam Bioinformatika. Ilmu Komputer.
39

Nurfadli. 2008 Tingkat Kelangsungan Hidup Fragmen Karang Acroporaformosa


Yang Ditransplantasikan Pada Media Buatan Yang TerbuatDaripecahan
Karang (Rubble) Berita Biologi 9(3).
Phillips, R. C., E.G. Menez. 1988. Seagrass in: Smithsonian Contribusion to the
Marine Science no. 34. Smithsonian Institution Press. Washington, D.C.
Phinn, S. R., Roelfsema, C. M., & Mumby, P. J. (2012). Multi-Scale, Object-
Based Image Analysis for Mapping Geomorphic and Ecological Zones on
Coral Reefs. International Journal of Remote Sensing, 33(12), 3768-3797.
Prayuda, B. 2014.Panduan Teknis Pemetaan Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal.
Jakarta: Critc Coremap II Lipi.
Ramadhani YH, Rohmatulloh, Pominam KA, Susanti R. 2015. Pemetaan Pulau
Kecil Dengan Pendekatan Berbasis Objek Menggunakan Data Unmanned
Aerial Vehicle (UAV). Majalah Ilmiah Globe. 17(2):125-134.
Reytar. K,. Burke. L,. Spalding. M. dan Perry, A. 2012.Menegok Kembali
Terumbu Karang Yang Teranjam Di Segitiga Karang. World Recources
Institute. 90 Hal.Isbn: 978-1-56973-798-9.
Roelfsema CM, Lyons M, Kovacs EM, Maxwell P, Saunders MI,
SamperVillarreal J, Phinn SR. 2014. Multi-temporal mapping of seagrass
cover, species and biomass: a semi-automated object based image analysis
approach. Remote Sensing of Environment. 150:172-187. doi:
10.1016/j.rse.2014.05.001.
Rofiq, A. S., Semedi, B. dan Muzaky, O. L. 2019. Pemanfaatan Data Citra
Satelit Sentinel-2 Untuk Asesmen Habitat Dasar Perairan Pantai Selatan
Sempu Kabupaten Malang.Vol.3:(2 ): 273-279.
Shoni, P,. D. 2013. Pemanfaatan Pasir Laut Teraktivasi H2SO4 Dan Tersalut
Fe2O3 Sebagai Adsorben Ion Logam Cu (II) Dalam Larutan. Hal: 82.
Siregar VP, Wouthuyzen S, Sukimin S, Agus SB, Selamat MB, Sunuddin A,
Sriati, Muzaki AA. 2010. Informasi Spasial Habitat Perairan Dangkal dan
Pendugaan Stok Ikan Terumbu Menggunakan Citra Satelit. Bogor[ID]:
Seameo Biotrop.
Siregar, P. S., Anggoro, A dan Agus, B.S. 2015. Pemetaan Zona Geomorfologi
Ekosistem Terumbu Karang Menggunakan Metode Obia, Studi Kasus di
Pulau Pari (Geomorphic Zones Mapping of Coral Reef Ecosystem Whit
Obia Method,Case Study in Pari Island. Jurnal Pengindraan Jauh Vol. 12
No 1:1-12.
Sukmono, A. dan Sudarsono, B. 2018.Analisis Kombinasi Citra Sentinel-1a Dan
Citra Sentinel-2a Untuk Klasifikasi Tutupan Lahan (Studi Kasus:
Kabupaten Demak, Jawa Tengah) Dini Ramanda PutriVol. 7(2), Issn:
2337-845.
40

Sutanto, A., Trisakti, B., dan Arimurthy, A. M., 2014. Perbandingan Klasifikasi
Berbasis Obyek dan Klasifikasi Berbasis Piksel pada Data Citra Satelit
Synthetic Aperture Radar untuk Pemetaan Lahan. Jurnal Penginderaan
Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 11(1), 63-75.
Suwargana N. 2013. Resolusi Spasial, Temporal dan Spektral pada Citra Satelit.
Talitha AE. 2017. Pemetaan Bentik Habitat Perairan Dangkal Karang Bongkok
dengan Metode OBIA Menggunakan Citra WorldView-2. [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Vapnik VN, Kotz S. 1982. Estimation of dependences based on empirical data.
Springer-Verlag New York.
Wahidin N, Siregar VP, Nababan B, Jaya I, Wouthuyzen S. 2015. Object based
image analysis for coral reef benthic habitat mapping with several
classification algorithms. Procedia Environmental Sciences 24: 222-227
Wahidin N, Siregar VP, Nababan B, Jaya I, Wouthuyzen S. 2015. Object-based
image analysis for coral reef benthic habitat mapping with several
classification algorithms. Procedia Environmental Sciences. 24:222-227.
doi: 10.1016/j.proenv.2015.03.029.
Wahidin N. 2015. Klasifikasi ekosistem terumbu karang berbasis objek dan piksel
di Pulau Morotai. [disertasi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Wicaksono, P. 2015 Pemetaan Lanskap Habitat Bentik Menggunakan Data
Pengindraan Jauh Multispekteral di Pulau Kemujan Kepulauan
Karimunjawa. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Terapa SV UGM.
Wicaksono, P., Heru, S., M. 2014. Uji akurasi data kategori. Kartografi dan
Penginderaan Jauh.Fakultas Geografi (UGM) : Yogyakarta
Yasir Haya, L.O.M and Fujii, M. 2017. Maping the change of coral reefs using
remot sensing and in situ measurements:a case study in Pangkajene and
Kepulauan Regency, Spermonde Archipelogo, Indonesia. Jurnal Of
Oceanography 73 (5).
Yuliani, W. M., dan Mimie, A. S. 2016. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang
Oleh Masyarakat Di Kawasan Lhokseudu Kecamatan Leupung Kabupaten
Aceh Barat. Jurnal Ilmian Mahasiswa Pendidikan Biologi. Vol. 1:(1). Hal
1-9.
Zamdial., Anggoro.A., Hartono.D., Bakhtiar.D., Ervina.N.H., Agraini.M.F.U.
2020. Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Menggunakan Citra Resolusi
Menengah Dengan Metode Klasifikasi Berbasis Piksel (Studi Kasus
Pulau Tikus). Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian,
Universitas Bengkulu, Bengkulu, Indonesia
41

Zhang C, Xie Z. 2013. Object-based vegetation mapping in the kissimmee river


watershed using hymap data and machine learning techniques. Wetlands.
33(2):233-244.
Zhang R, Zhang Z. 2013. A robust color object analysis approach to efficient
image retrieval. EURASIP J on Applied Signal Processing. 6:871-885.
42

Lampiran. Dokumentasi Lapangan

A B

C D

E F

Keterangan :
A. Mengambil Titik Koordinat
B. Karang Hidup
C. Karang Mati
D. Patahan Karang/Rubble
E. Makroalga
F. Lamun
G
Pasir

Anda mungkin juga menyukai