Anda di halaman 1dari 69

SKRIPSI

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI MANGROVE


BERDASARKAN KARATERISTIK NORMALIZED DIFFERENCE
VEGETATION INDEX (NDVI) PADA CITRA SENTINEL-2
DI KAWASAN MANGROVE DESA PAGATAN BESAR

Oleh :
NICOLAS TEAH BATARA REMPIL
G1F114041

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
SKRIPSI

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI MANGROVE


BERDASARKAN KARATERISTIK NORMALIZED DIFFERENCE
VEGETATION INDEX (NDVI) PADA CITRA SENTINEL-2
DI KAWASAN MANGROVE DESA PAGATAN BESAR

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Hasil Penelitian Skripsi
pada Fakultas Perikanan dan Keluatan Universitas Lambung Mangkurat

Oleh :
NICOLAS TEAH BATARA REMPIL
G1F114041

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
iii
RINGKASAN

NICOLAS TEAH BATARA REMPIL (G1F114041). Analisis Kerapatan


Vegetasi Mangrove Berdasarkan Karateristik Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI) Pada Citra Sentinel-2 di Kawasan Mangrove Desa
Pagatan Besar, di bawah bimbingan Dr. Muhammad Syahdan, S.Pi, M.Si
sebagai pembimbing utama dan Nursalam, S,Kel, MS sebagai anggota.

Perkembangan pembangunan dan pembukaan lahan yang pesat di wilayah


pesisir akan mempengaruhi perubahan kondisi lahan secara spasial yang secara
langsung juga akan berdampak pada kemuktakhiran data spasial tematik yang ada.
Kawasan pesisir Kalimantan Selatan Khususnya Desa Pagatan Besar adalah salah
satu wilayah dengan wilayah mangrove yang harus di jaga kelestariannya. Tetapi
kurangnya pengetahuan tentang ekosistem mangrove yang ada di Desa Pagatan
Besar maka menghambat kegiatan pemantauan kondisi kerapatan mangrove.
Tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran
kerapatan mangrove berdasarkan analisis NDVI Citra Sentinel-2 di Desa Pagatan
Besar. Penelitian ini di harapkan bisa menjadi rujukan dalam penataan dan
pengelolaan vegetasi mangrove kepada pihak terkait maupun kepada masyarakat
yang akan melakukan kegiatan rehabilitasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penginderaan
jarak jauh dan observasi lapangan. Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian ini
yaitu pengumpulan bahan dan data, pengolahan dan analisis awal data citra,
pengolahan dan analisis data citra dan uji akurasi. Tahap ini meliputi kegiatan
pengumpulan data geografis, data komplementer dan literatur yang relevan
dengan topik penelitian. Citra yang di gunakan adalah citra SENTINEL-2 dengan
perekaman tahun 2020. Data Citra di peroleh dengan cara mendownload di
www.scihub.copernicus.eu/.
Hasil uji akurasi berdasarkan hasil table kontingensi adalah 85%.
Berdasarkan hasil analisis citra Sentinel-2 bulan April 2020 kerapatan mangrove
di desa pagatan besar secara keseluruhan di bagi menjadi 5 kategori kelas, untuk
kelas kerapatan sangat jarang adalah seluas 3,44 Ha, kerapatan jarang 29,53 Ha,
kerapatan sedang seluas 75,23 Ha, kerapatan rapat 143,01 Ha, dan kelas kerapatan
sangat rapat adalah seluas 138,32 Ha.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian
Skripsi dengan judul “Analisis Kerapatan Vegetasi Mangrove Berdasarkan
Karateristik Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Pada Citra
Sentinel-2 di Kawasan Mangrove Desa Pagatan Besar” penyusunan laporan ini
adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Ilmu
Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat.
Dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan tenaga, waktu dan fikiran namun
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan bantuan beberapa pihak yang
sangat membantu penulis dalam berbagai hal. Oleh karena itu penulis sampaikan
rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Hj. Agustiana, MP. Sebagai Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Lambung Mangkurat.
2. Bapak Dafiuddin Salim, S.Kel, M.Si Sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat yang telah
banyak membantu memberikan ilmu, masukan, saran, arahan, kritik dan
pengalamannya dalam penyusunan laporan skripsi maupun dalam
perkuliahan.
3. Bapak Dr. Muhammad Syahdan, S.Pi, M.Si Sebagai Ketua Pembimbing
dalam penelitian Skripsi, yang telah banyak membantu memberikan ilmu,
saran, arahan dan kritikan dalam membimbing penulisan skripsi sampai
dengan penyusunan laporan, dan selama perkuliahan.
4. Bapak Nursalam, S.Kel, MS Sebagai Anggota Pembimbing dalam penelitian
Skripsi, yang telah banyak membantu memberikan ilmu, saran, arahan dan
kritikan dalam membimbing penulisan skripsi sampai dengan penyusunan
laporan, dan selama perkuliahan.
5. Seluruh dosen Ilmu Kelautan, Bapak Prof. Dr. Ir. M. Ahsin Rifa’i. M.Si,
Hamdani, S.Pi, M.Si, Yuliyanto, S.T, M.Si, Dr. Muhammad Syahdan,

v
S.Pi, M.Si, Baharuddin, S.Kel, M.Si, Frans Tony, S.Pi. MP, Nursalam,
S.Kel. MS, Ira Puspita Dewi, S.Kel, M.Si, Putri Mudhlika Lesatarina,
S.pi, M.Si, dan Ulil Amri, S.Pi, M.Si yang telah banyak memberikan ilmunya
selama penulis menempuh pendidikan.
6. Sera, Karlitos, Bawaihi, Ghani, Norhadiah, Jannah, Syahril, Syarif
Husin tim lapangan terbaik dan seluruh angkatan IKL 2014 atas
kebersamaan dan kerja samanya selama penulis menempuh pendidikan. yang
sangat membantu selama pengambilan data sampai dengan pembuatan
laporan yang memberikan dorongan, motivasi dan waktu selama penulis
menempun pendidikan yang juga sedang berjuang meraih skripsi di tahun ini.
7. Teristimewa untuk kedua orangtuaku Rempil Sabtanano dan Grace Arrang
Mangalik, Oma Deborah Rose yang telah melahirkan serta membersarkan
penulis dengan penuh kasih sayang dan doa yang terus mengalir untuk
keberhasilan penulis dalam meraih tujuan hidup. Adikku Adeline Wulan
Oktadwiani yang selalu memberikan semangat, dukungan dan bantuannya
ketika penulis mengalami kesulitan.
8. Terima kasih spesial kepada Nasthasya Ayundari Nugroho, S.Tr.Keb.,
Bdn yang selalu ada memberikan motivasi, memberi semangat di saat
penulis sedang mengalami masalah dalam penyelesaian laporan maupun
masalah diluar dari itu.
9. Seluruh Keluarga Besar Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkurat
yang tidak bisa disebutkan satu persatu dari angkatan 2008 – 2020 terima
kasih atas bantuan dan dukungannya.

vi
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ekosistem mangrove. Penulis
menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini,
untuk itu saran dan kritik dan masukkannya guna penyempurnaan penulisan
skripsi ini sangat penulis harapkan.

Banjarbaru, Juni 2021

Nicolas Teah B R

vii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................. v
DAFTAR TABEL..................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................ vii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 2
1.3. Tujuan dan Kegunaan ......................................................... 5
1.3.1. Tujuan ......................................................................... 5
1.3.2. Kegunaan ..................................................................... 5
1.4. Ruang Lingkup Wilayah ..................................................... 5
1.4.1. Ruang Lingkup Wilayah ............................................. 5
1.4.2. Ruang Lingkup Materi ................................................ 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 6
2.1. Ekosistem Mangrove ........................................................... 6
2.1.1.Pengertian Ekosistem Mangrove................................... 6
2.1.2. Ciri – ciri Ekosistem Mangrove ................................... 7
2.1.3. Fungsi Hutan Mangrove ............................................... 8
2.2. Degradasi Hutan Mangrove ................................................. 9
2.3. Zonasi Mangrove ................................................................. 9
2.4. Definisi Penginderaan Jarak Jauh ....................................... 10
2.4.1. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove ........... 13
2.4.2. Spesifikasi Citra Sentinel-2 ........................................ 15
2.4.3. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk
Kerapatan Mangrove ................................................... 16
2.4.4. Interpretasi Citra ......................................................... 17

viii
ix

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ............................................ 20


3.1. Waktu dan Tempat .............................................................. 20
3.2. Alat dan Bahan .................................................................... 21
3.2.1. Alat .............................................................................. 21
3.2.2. Bahan ........................................................................... ` 21
3.3. Prosedur penelitian............................................................... 23
3.3.1. Pengumpulan Bahan dan Data .................................... 23
3.3.2. Survei Awal dan Penentuan Stasiun Penelitian .......... 23
3.3.3. Pengambilan Data Lapangan ...................................... 23
3.3.4. Tahap Pengolahan dan Analisis Awal Data Citra ....... 23
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 27
4.1. Pengolahan Awaal Data Citra Sentinel-2 ............................ 27
4.1.1. Pemotongan Citra......................................................... 27
4.2.. Penyusunan Komposit Warna Deteksi Mangrove .............. 29
4.2.1. Visualisasi Obyek Pada Citra....................................... 30
4.3. Klasifikasi dan Luas Mangrove ........................................... 32
4.3.1. Klasifikasi Unsupervised ............................................. 32
4.3.2. Uji Ketelitian dan Ground Truth ................................. 33
4.3.3. Klasifikasi Supervised.................................................. 34
4.4. Persebaran Nilai NDVI ........................................................ 35
4.5. Sebaran Kerapatan Mangrove .............................................. 37
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 45
5.1. Kesimpulan .......................................................................... 45
5.2. Saran .................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 46

LAMPIRAN

ix
x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
2.1. Spesifikasi Teknis Satelit Sentinel-2 ................................................. 15
3.1. Alat dan Bahan Yang Digunakan Untuk
Pengambilan Data Dilapangan .......................................................... 21
3.2. Alat dan Bahan Yang Digunakan Pada Saat Pengolahan Data .......... 21
3.3. Tabel Kontingansi Untuk Uji Akurasi ............................................... 25
4.1. Visualisasi Objek Hasil Klasifikasi .................................................... 31
4.2. Luasan Mangrove dan Non Mangrove Hasil
Klasifikasi Unsupervised ................................................................... 33
4.3. Matrix Hasil Uji Akurasi .................................................................... 34
4.4. Luasan Mangrove dan Non Mangrove
Klasifikasi Terbimbing……………………………………………… 35
4.5. Hasil Nilai NDVI dan Kelas Kerapatan Mangrove............................ 36
4.6. Sebaran Kelas Kerapatan Mangrove April 2020 di
Desa Pagatan Besar. .......................................................................... 38

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1.1. Diagram Alir Kerangka Penelitian ..................................................... 4
1.2. Salah Satu Tipe Zonasi Mangrove ..................................................... 10
2.2. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi ................................................... 13
1.3. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................ 20
2.3. Tahapan Dalam Pengolahan Data Penelitian ..................................... 22
4.1. Citra Sentinel-2 Sebelum di Potong ................................................... 27
4.2. Citra Sentinel-2 Seteleh di Potong ..................................................... 28
4.3. Penyusunan Komposit Band .............................................................. 29
4.4. Visualisasi 6 Obyek Pada Citra .......................................................... 30
4.5. Obyek Awan Pada Citra Sentinel-2 ................................................... 31
4.6. Obyek Hutan Pada Citra Sentinel-2 ................................................... 31

x
xi

4.7. Obyek Kebun Pada Citra Sentinel-2 .................................................. 31


4.8. Obyek Lahan Kosong Pada Citra Sentinel-2 ..................................... 31
4.9. Obyek Mangrove Pada Citra Sentinel-2- ........................................... 31
4.10. Obyek Perairan Pada Citra Sentinel-2.............................................. 32
4.11. Klasifikasi Unsupervised ................................................................. 33
4.12. Klasifikasi Supervised ...................................................................... 35
4.13. Rentang Data NDVI ......................................................................... 36
4.14. Formulasi NDVI............................................................................... 36
4.15. Persebaran Nilai NDVI .................................................................... 37
4.16. Peta Kerapatan Hutan Mangrove ..................................................... 38
4.17. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Sangat Jarang............................... 39
4.18. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Jarang .......................................... 39
4.19. Peta Kelas kerapatan Mangrove Sedang .......................................... 40
4.20. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Rapat............................................ 40
4.21. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Sangat Rapat ................................ 41

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor
1. Pengolahan Data Citra
2. Titik Uji Akurasi di Lapangan
3. Histogram NDVI
4. Dokumentasi Kegiatan di Lapangan

xi
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologi, fisik dan sosial-ekonomi


yang penting dalam pembangunan, khusunya di wilayah pesisir. Menurut
Pramudji (2019), mangrove merupakan ekosistem daerah peralihan antara darat
dan laut, yang banyak dipengaruhi oleh gelombang, topografi pantai dan pasang
surut air laut, terutama salinitas. Selain itu, proses dekomposisi serasah bakau
yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup didalamnya.Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia.
Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 Ha (FAO 1994), di
Indonesia dilaporkan seluas 3.735.250 Ha, sedangkan luas mangrove dunia
berdasarkan World Atlas of Mangrove ada 16,53 juta hektar, 33,5% atau 5,54 juta
hektar berada di wilayah ASEAN.
Peningkatan populasi penduduk yang demikian cepat yang tidak di barengi
oleh peningkatan ilmu pengetahuan tentang keberadaan sumberdaya alam dan
lingkungan serta masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat memberikan
dampak negatif yang cukup signifikan terhadap sumberdaya hutan mangrove.
Tekanan yang berasal dari manusia adalah berupa dampak intervensi kegiatan
manusia di habitat mangrove baik secara sengaja ataupun tidak di sengaja.
Kondisi seperti ini diperberat lagi dengan terjadinya pencemaran air
sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan,
sehingga kualitas lingkungan pantai saat ini umumnya berada dalam kondisi yang
cukup mengkhawatirkan. Indikasi adanya ancaman terhadap degradasi hutan
mangrove masih berlangsung pada hamper semua wilayah pantai, secara umum,
hal ini disebabkan oleh adanya peraturan perundangan dan penegakan hokum
yang masih kurang tegas. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya
konservasi dan perlindugan ekosistem mangrove masih lemah sebagai akibaat
kurangnya intensitas penyuluhan dan kurang optimalnya pengembangan kapasitas
dan kapabilitas kelembagaan. Untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan
hutan mangrove diperlukan pemetaan dan sebaran mangrove. Pemetaan ini

1
2

berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove


dan pesisir.
Dalam melakukan pemantauan mangrove tidak semudah apa yang dibayangkan.
Apalagi pemetaan sampai ke persebaran kesehatan mangrove. Sebagai
alternatifnya dikembangkan dengan teknik penginderaan jauh. Teknik ini sangat
bermanfaat untuk pemetaan wilayah yang sangat luas diantaranya adalah
mangrove.
Inderaja (Penginderaan Jauh) di artikan sebagai salah satu ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi suatu objek dari jarak jauh atau dengan kata lain
tanpa ada kontak langsung dengan objek tersebut dengan cara mendeteksi
gelombang elektromagnetik yang dipantulkan balik oleh objek. Teknologi satelit
penginderaan jauh (inderaja) mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dan
memantau sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir, seperti habitat
lamun, mangrove, karang, pantai, muara sungai, dan mampu mendeteksi
perubahan tataguna lahan wilayah pesisir. Penggunaan teknologi penginderaan
jauh untuk studi pemetaan padang lamun, mangrove dan karang. Kelebihan
teknologi penginderaan jauh adalah mampu merekam data dan informasi secara
luas, berulang dan lebih terinci mendeteksi perubahan habitat (Mumby et al.
2004).
Penginderaan jauh merupakan teknologi yang cepat dan efisisen untuk
pengelolaan ekosistem mangrove yang banyak terdapat di pesisir, kebanyakan
daerah sulit dijangkau, pengukuran lapangan sulit dilakukan dan biaya yang
mahal (Held et al., 2003 in Vaiphasa, 2006). Hal ini didukung oleh banyaknya
aplikasi penginderaan jauh untuk studi mangrove yang berhasil dilakukan
khususnya untuk inventarisasi sumberdaya dan deteksi perubahan mangrove
(Vaiphasa, 2006).

1.2. Rumusan Masalah

Salah satu kawasan pesisir di Kalimantan Selatan khususnya Desa Pagatan


Besar telah mengalami degradasi ekosistem pesisir khususnya ekosistem
mangrove. Hal ini disebabkan adanya kegiatan yang dilakukan di daerah ini yaitu
pembangunan pelabuhan baik umum maupun khusus, konversi lahan mangrove
3

menjadi budidaya, pemukiman dan lain-lain. Kondisi ekosistem mangrove sampai


saat ini mengalami tekanan-tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang
kurang memperhatikan aspek kelestarian. Mengingat pentingnya keberadaan dan
peranan ekosistem mangrove bagi daerah pantai, maka penataan dan pengelolaan
ekosistem mangrove yang sesuai dengan sifat dan karateristiknya sangat perlu
dilakukan. Adanya teknologi penginderaan jauh sangat membantu dalam
mengidentifikasi potensi kelimpahan dan kerusakan sumberdaya alam. Oleh
karena itu penting untuk dilakukan penggunaan teknologi penginderaan jauh
untuk memetakan struktur klasifikasi kerapatan hutan mangrove di Desa Pagatan
Besar dimana Desa ini merupakan salah satu daerah konservasi hutan mangrove di
Kalimantan Selatan. Dengan adanya peta ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
langkah awal untuk melakukan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove.
Adapun rumusan masalah yang di kaji adalah :
1. Bagaimana sebaran spasial vegetasi mangrove Di Desa Pagatan Besar?
2. Bagaimana kerapatan vegetasi mangrove di Mangrove Desa Pagatan
Besar?
4

Prosedur Pelaksanaan pemetaan kerapatan mangrove :

Desa Pagatan Besar

Ekosistem Mangrove

Citra SENTINEL-2 Tahun


2020 Data Lapangan

Pengolahan Data Citra SENTINEL-2


menggunakan Arcgis

GCP
Klasifikasi Citra

Uji
Tidak Akurasi
Jika <80%

Ya Jika >80%

Sebaran Hutan
Mangrove

Penghitungan NDVI untuk


Pembagian Klasifikasi
Kerapatan Mangrove

Peta Kerapatan
Luasan Hutan
Mangrove
Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Penelitian
5

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran kerapatan


mangrove berdasarkan analisis NDVI Citra Sentinel-2 di Desa Pagatan Besar.
Kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan data
dan informasi kepada pengambil kebijakan tentang luasan dan kerapatan
mangrove di Desa Pagatan Besar dan di Kabupaten Tanah Laut pada umumnya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

1.4.1. Ruang Lingkup Wilayah

Penelitian ini berlokasi di kawasan Mangrove Desa Pagatan Besar


Provinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis lokasi penelitian ini adalah
3°48'20.26"S dan 114°36'13.76"E.

1.4.2. Ruang Lingkup Materi

1. Metode yang digunakan untuk mengetahui nilai kerapatan dalam


penelitian ini adalah Normalized Diference Vegetation Index.
2. Penelitian ini menggunakan Supervised Classification untuk mengetahui
luasan mangrove.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem mangrove

2.1.1. Pengertian Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai suatu tipe ekosistem yang


tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara
sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
serta komunitas tumbuhnya toleran terhadap garam. Ekosistem mangrove
merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang
berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu
habitat (Kusmana, 2009).
Ekosistem utama yang memiliki peran penting di wilayah pesisir dan
kelautan adalah hutan mangrove karena memiliki berbagai fungsi dan manfaat
yang dapat dihasilkannya. Namun demikian, penggalian potensi yang dapat
dihasilkan dari hutan mangrove, antara lain adalah pengukuran potensi hutan
mangrove sebagai penyerap karbon (Dharmawan, 2010).
Ekosistem mangrove merupakan satu varietas komunitas yang di dominasi
oleh beberapa jenis pohon yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan
untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992). Ekosistem mangrove
meliputi 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan : Avecennia, Sonneratia,
Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia.
Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus (Tomlinson, 1994; Bengen, 2000;
Hogarth, 2007).
Kata mangrove mempunyai dua arti, yang pertama sebagai komunitas,
yakni komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies
(Supriharyono, 2000).
Ekosistem mangrove tumbuh subur di daerah muara sungai atau estuari
yang merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun
endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Kesuburan
daerah ini juga di tentukan oleh adanya pasang surut yang mentransportasi
nutrient (Gunarto 2004). Tomlinson (1994) membagi flora mangrove menjadi 3

6
7

elemen, yakni elemen mangrove mayor, elemen mangrove minor, dan elemen
mangrove asosiasi.

2.1.2. Ciri-ciri Ekosistem Mangrove

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.


Dikatakan Kompleks karena selain ekosistemnya di penuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah
yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil)
yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basah dan
kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organic, total nitrogen, dan
ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada
bagian arah daratan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan
berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat
tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih
kembali seperti sediakala. (Kusmana, 2002).
Menurut Kusmana (2002), dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan
bentuk ekosistem yang unik, karena pada Kawasan ini terpadu empat unsur
biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan
mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan
salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut. Ciri – ciri
terpenting dari penampakan hutan mangrove adalah :
1. Memiliki jenis pohon yang relative sedikit.
2. Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau (Rhizophora sp) serta akar yang mencuat vertical
seperti pensil pada padada (Sonneratia sp) dan pada api-api (Avicennia sp).
3. Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,
khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagule.
4. Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
8

2.1.3. Fungsi Hutan Mangrove

Fungsi ekologis hutan mangrove menurut Bengen (2004) :


1. Sebagai peredam gelombang dan angina badai, pelindung pantai dari
abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran
air permukaan.
2. Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun
dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagaian dari detritus dan
sebagian lagi diuraikan secara bacterial menjadi mineral-mineral hara
yang berperan dalam penyuburan perairan.
3. Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan
(feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam
biota perairan (ikan, udang dan kerang - kerangan) baik yang hidup di
perairan pantai maupun lepas pantai.
Hutan mangrove di manfaatkan terutama sebagai penghasil kayu untuk
bahan kontruksi, kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang dan juga untuk
dibuat bubur kertas (pulp). Di samping itu ekosistem mangrove dimanfaatkan
sebagai pemasok larva dan udang alam (Bengen, 2004).
Berbagai tumbuhan dari hutan mangrove dimanfaatkan untuk bermacam
keperluan. Produk hutan mangrove antara lain digunakan untuk kayu bakar,
pembuatan arang, untuk berbagai perabotan rumah tangga, bahan kontruksi
bangunan, obat-obatan dan sebagai bahan industry kertas. Sering terjadi exploitasi
secara berlebihan hingga merusak fungsi ekosistem mangrove ini. Selain itu
Kawasan mangrove juga sering dialihkan fungsi ekosistem mangrove ini. Selain
itu kawasan mangrove juga sering dialihkan fungsinya misalkan dijadikan
tambak, diubah menjadi lahan pertanian atau dijadikan daerah pemukiman
(Nontji, 2002). Fungsi hutan mangrove secara fisik ialah meliindungi garis pantai
dari erosi. Akar-akarnya kokoh dapat meredam pengearuh gelombang. Selain
ituakar-akar mangrove dapat pula menahan lumpur hingga lahan mangrove bias
semakin luas tumbuh ke luar dan mempercepat terbentuknya tanah timbul (Nontji,
2002).
9

Keberadaan tegakan mangrove secara signifikan dapat mengurangi


kecepatan tiupan angin dan kecepatan arus gelombang air laut sehingga dapat
melindungi permukiman yang berada di Kawasan pesisir pantai.

2.2. Degradasi Hutan Mangrove

Degradasi (kerusakan) hutan mangrove disebabkan oleh 2 faktor utama


yaitu secara alami misalnya badai topan yang dapat merusak ekosistem hutan
mangrove dan aktifitas manusia misalnya konservasi lahan hutan mangrove
maenjadi area pertambakan (Nybakken, 1992). Sedangkan menurut Kusmana
(2002) terjadi degradasi mangrove dsebabkan oleh :
1. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-
perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), penebangan liar dan bentuk
perambahan hutan lainnya.
2. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses abrasi atau
sedimentasi yang tidak terkendali.
3. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan seperti pemukiman,
pertanian, industry, pertambangan dan lain-lain
4. Polusi di perairan estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya
tempat tumbuhnya mangrove.

2.3. Zonasi Mangrove

Aspek lingkungan mangrove yang dapat dipelajari dengan menggunakan


penginderaan jauh adalah spesies mangrove dan identifikasi zonasi, perubahan
tata guna lahan mangrove, keberadaan mangrove dan distribusinya, serta
lingkungan fisik mangrove (Hartono, 1994). Chaudhury (1985) menjelaskan
bahwa informasi lebih lanjut yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh untuk
studi ekosistem mangrove adalah:
1. Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove.
2. Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe variasi) di daerah mangrove.
3. Identifikasi keberadaan dan profil dataran berlumpur.
4. Monitoring proses-proses dinamis (akresi, erosi) di lingkungan mangrove.
5. Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik dan system aliran.
6. Identifikasi tipe-tipe tanah.
10

7. Monitoring karakteristik air (contoh : salinitas, turbiditas) di daerah


mangrove.
8. Monitoring tata guna lahan mangrove (contoh : akuakultur, kehutanan).
9. Monitoring perubahan aktivitas penggunaan di daerah mangrove

Gambar 1.2. Salah Satu Tipe zonasi Mangrove

2.4. Definisi Penginderaan Jarak Jauh

Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) penginderaan jarak jauh adalah ilmu
dan seni untuk mendapat informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak
langsung dengan objek, daerah (fenomena) yang dikaji. Informasi yang diperoleh
berupa radiasi gelombang elektromagnetik yang dating dari suatu objek dan
diterima oleh sensor.
Data penginderaan jarak jauh adalah data yang berupa citra. Data
penginderaan jarak jauh tersebut adalah hasil rekaman obyek muka bumi oleh
sensor. Data penginderaan jauh ini dapat memberikan banyak informasi setelah
dilakukan proses interpretasi terhadap data tersebut. Interpretasi citra merupakan
serangkaian kegiatan identifikasi, pengukuran dan penterjemahan data-data pada
sebuah atau serangkaian data penginderaan jauh untuk memperoleh informasi
yang bermakna. Sistem perjalanan hasil perekaman setelit hingga di dapatkan
informasi dari data-data tersebut.
Jenis-jenis penginderaan jarak jauh dapat terbagi 2 yaitu Penginderaan
Jauh pasif dan Penginderaan Jauh Aktif.
11

 Penginderaan Jarak Jauh Pasif : Bila umber energi yang digunakan adalah
sumber tenaga (energi) yang telah tersedia secara alamiah (matahari misalnya)
maka penginderaan jauh disebut sebagai pasif contohnya, penginderaan jauh
yang menggunakan spectrum gelombang electromagnet pada daerah fotografi
(visible sampai inframerah dekat) bekerja pada siang hari, berarti sumber
energi adalah matahari. Contoh lain adalah inderaja yang menggunakan
daerah inframerah thermal baik siang atau malam hari, karena pada malam
hari objek juga memancarakan radiasi balik dari energi dating yang di serap
pada siang hari.
 Penginderaan Jarak Jauh Aktif : Bila sumber tenaga yang digunakan adalah
buatan (artificial) maka penginderaan jauh digolongkan Aktif contoh yang
jelas pemotretan yang menggunakan spectrum fotografi di waktu malam hari
tersedia energi dari sumber alamiah (sinar bulan misalnya) namun energinya
cukup kecil, contoh lain adalah penginderaan jauh golongan mikro (radar)
yang menyediakan sumber tenaga artificial dioperasikan baik malam ataupun
siang hari. Tetapi tidak semua inderaja radar menyediakan suber tenaga
artificial, bisa juga secara pasif memanfaatkan sinar matahari pada spectrum
tersebut.
Citra adalah hasil dari perekaman interaksi oleh setiap objek yang
mempunyai karateristik sendiri dalam interaksinya terhadap tenaga yang direkam
oleh sensor. Citra satelit merupakan representasi dua dimensi dari permukaan
bumi yang dilihat dari luar angkasa dan terbagi menjadi dua macam bentuk yaitu
analog dan digital. Citra analog membutuhkan proses percetakan sebelum dapat
dianalisa, misalnya foto udara. Citra digital mengandung informasi dalam format
digital yang dibangun oleh struktur dua dimensi dari elemen gambar yang disebut
piksel dimana setiap pikselnya memuat tentang warna, ukuran dan lokasi dari
sebuah objek (informasi warna pada piksel disebut angka digital dan informasi
lokasi didapatkan dari kolom dan lajur piksel yang dihubungkan posisi geografis
sebenarnya misalkan citra satelit NOAA, MODIS, LANDSAT, ALOS
QUICKBIRD dan lain sebagainya (Ekadinata., et al, 2008).
Beberapa contoh penggunaan aplikasi inderaja antara lain untuk
pengamatan :
12

 Suhu permukaan laut


 Daerah permukiman
 Daerah pertanian
Perbandingan antara penginderaan jarak jauh dengan survei langsung ke
lapangan memiliki beberapa keunggulan (Sutanto, 1986) yaitu :
1. Memberikan gambaran yang sinoptik
Informasi yang diberikan oleh citra sangat berguna untuk
mengorganisasikan sebuah penelitian di lapangan, karena citra dapat dapat
memberikan gambaran pendahuluan suatu areal, sehingga merupakan saringan
dalam memilih daerah yang akan diteliti secara rinci. Hal ini akan menghemat
waktu dan biaya, karena dapat mengurangi penelusuran data besar yang di
perlukan sebelum suatu penelitian yang meliputi suatu areal dilakukan.
2. Area Liputan Bersifat Global
Area liputan penginderaan jarak jauh bersifat global, meliputi wilayah
daratan dan perairan dangkal pada permukaan bumi yang dapat diamati dan
dipantau.
3. Peliputan Yang berulang
Dari informasi penginderaan jarak jauh dapat diperoleh data yang bersifat
temporal, sebagai contoh citra Landsat dapat diperoleh setiap 16 hari, sehingga
dapat digunakan pula sebagai bahan untuk kegiatan monitoring.
4. Keseragaman Waktu
Satelit melewati suatu area pada permukaan bumi hamper selalu tepat di
waktu lokal yang sama (misalnya: satelit landsat yang lewat pada pukul 10.00
pagi waktu setempat). Hal ini menyebabkan kita dapat melakukan pemantauan
suatu target dengan aluminasi cahaya yang relatif sama.
5. Analisis berbagai Panjang gelombang
Data penginderaan jarak jauh dapat diperoleh dalam beberapa panjang
gelombang melalui system optik yang sama. Beberapa bagian dari panjang
gelombang yang memiliki informasinya pening dan tidak dapat di tangkap oleh
indera manusia atau oleh kamera biasa masih dapat ditangkap/diperoleh
informasinya. Hal ini menyebabkan kita dapat membuat tumpang tindih beberapa
saluran/band, sehingga dapat membentuk suatu kombinasi citra komposit.
13

6. Analisis digital
Data citra satelit Landsat tersedia dalam bentuk digital, sehingga untuk
data dalam jumlah besar dapat diproses dan dianalisis dengan melalui bantuan
komputer.

2.4.1. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove

Kemampuan teknologi inderaja untuk menghasilkan informasi objek dari


jarak jauh melalui deteksi gelombang elektromagnetik memungkinkan untuk
memperoleh informasi suatu daerah yang terpencil (remote) sekalipun. Aplikasi
penginderaan jauh multispektral mangrove meliputi perkiraan jumlah, kerapatan,
dan distribusi vegetasi. Selain itu, penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove
dapat dilakukan dengan dasar bahwa mangrove hanya tumbuh di daerah pesisir.
Menurut Lo (1996), aplikasi baru dari penginderaan jauh multispektral
telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi
didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung
pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun,
substrat dan bayangan. Daun memantulkan lemah pada panjang gelombang biru
dan merah, namun memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat.
Daun memiliki karakteristik warna hijau, dimana klorofil mengabsorbsi spektrum
radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau.

Gambar 2.2 Sifat Pantulan Komponen Vegetasi (Lo,1996)


14

Pada panjang gelombang 0,4 – 0,7 μm menunjukkan bahwa pengaruh


pigmentasi sangat dominan, hal ini dapat dilihat pada kurva pantulan spektral
vegetasi menunjukkan bahwa nilai pantulan sangat rendah pada panjang
gelombang biru dan merah. Rendahnya nilai pantulan pada panjang gelombang
ini berhubungan dengan dua pita serapan klorofil pada panjang gelombang 0,45
μm dan 0,65 μm. Klorofil dalam daun menyerap sebagian besar dari tenaga yang
datang dengan panjang gelombang tersebut. Puncak pantulan klorofil pada
spektrum tampak adalah 0,54 μm pada panjang gelombang hijau (Hoffer, 1978).
Untuk tumbuhan mangrove yang sehat memiliki daun yang berwarna
hijau. Warna hijau tersebut menjadi indikasi banyaknya kandungan klorofil yang
terkandung di dalamnya yang akan menyerap banyak energi pada saluran biru dan
merah dan akan memantulkan banyak pada spektrum hijau (Hoffer, 1978).
Pada Inframerah dekat (0,8 μm – 1,2 μm) pantulan gelombang pada
panjang gelombang ini tampak meningkat secara jelas karena daun hijau
menyerap sangat sedikit energi pada wilayah ini. Struktur internal daun
mengendalikan tingkatan pantulan, kira-kira ½ energi datang dipantulkan, hampir
½ dipancarkan, dan sangat sedikit diserap. Pantulan meningkat tajam karena daun
yang hijau menyerap sangat sedikit energi. Warna infra merah sensitif pada
panjang gelombang tampak merah dan hijau. Tumbuhan hijau yang sehat ditandai
oleh pantulan yang sangat tinggi, pancaran yang sangat tinggi, dan serapan yang
sangat rendah (Hoffer, 1978).
Menurut Lo (1986) pantulan spektral dari kanopi vegetasi bervariasi
menurut panjang gelombang karena adanya sifat hemispheric dari individu daun.
Daun terbentuk dari tiga lapisan bahan organik serat yang berstruktur, dimana
ketiga lapisan tersebut mempunyai pigmen, kandungan air, dan ruang udara.
Ketiga sifat tersebut mempengaruhi sifat pantulan, penyerapan, dan transmisi.
Informasi lebih lanjut yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh untuk studi
ekosistem mangrove adalah :
1) Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove
2) Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove
3) Identifikasi keberadaan dan profil dataran berlumpur
4) Monitoring proses-proses dinamis (akresi,erosi) di lingkungan mangrove
15

5) Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik dan sistem aliran
6) Identifikasi tipe-tipe tanah
7) Monitoring tata guna lahan mangrove (akuakultur, kehutanan)
8) Monitoring perubahan penggunaan lahan di daerah mangrove.

2.4.2. Spesifikasi Citra Sentinel-2

Sentinel-2 terdiri dari dua satelit konstelasi yaitu Sentinel-2A dan


Sentinel-2B yang mengorbit kutub pada orbit sun-synchronous pada ketinggian
786 km. Dua satelit identik tersebut berjarak 180 derajat satu sama lain. Satelit
tersebut merupakan satelit resolusi menengah dengan resolusi temporal 10 hari
untuk satu satelit atau 5 hari dengan dua satelit. Satelit ini dapat digunakan untuk
pengamatan operasional seperti peta tutupan lahan, peta deteksi perubahan lahan
dan variabel geofisika.
Data Sentinel-2 L1C terdiri dari 13 band spektral dengan rincian sebagai
berikut:
 Resolusi spasial 10 m sebanyak 4 band (B2, B3, B4, B8)
 Resolusi spasial 20 m sebanyak 6 band (B5, B6, B7, B8A, B11, B12)
 Resolusi spasial 60 m sebanyak 3 band (B1, B9, B10)

Tabel 2.1. Spesifikasi teknis Satelit SENTINEL-2


Panjang Gelombang (Dalam Resolusi Spasial
Band Mikrometer) (Dalam Meter)
Band 1 – Coastal Aerosol 0,443 60
Band 2 – Blue 0,490 10
Band 3 – Green 0,560 10
Band 4 – Red 0,665 10
Band 5 – Vegetation Red Edge 0,705 20
Band 6 - Vegetation Red Edge 0,740 20
Band 7 - Vegetation Red Edge 0,783 20
Band 8 – NIR 0,842 10
Band 8A – Vegetation Red Edge 0,865 20
Band 9 – Water Vapour 0,945 60
Band 10 – SWIR – Cirrus 1,375 60
Band 11 – SWIR 1,610 20
Band 12 – SWIR 2,190 20
16

2.4.3. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove

(Carolita, 1995) Indeks vegetasi adalah suatu formulasi pengolahan


penginderaan jauh secara digital yang dapat diarahkan secara khusus untuk
mengkaji informasi tematik dari lahan bervegetasi. Indeks vegetasi ini adalah
suatu metode pendekatan ang bersifat matematis, dengan pendekatan tersebut
hasil yang didapatkan mencerminkan keadaan vegetasi pada saat tertentu.
Fanani (1992) menyatakan bahwa dengan memahami perbedaan intensitas
radiasi tenaga elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan makan akan
dapat diidentifikasi jenis pohon atau tegakan hutan, umur, kesehatan, kerapatan,
dan tekanan kelembaban dari suatu kelompok hutan. NDVI merupakan algoritma
indeks vegetasi yang paling sering digunakan. Prinsip dari formula ini adalah
radiasi dari visible red diserap oleh chlorophyll hijau daun sehingga akan
direflektansikan rendah, sedangkan radiasi dari sinar near infrared akan kuat
direflektansikan oleh struktur daun spongy mesophyll. Indeks ini mempunyai
kisaran nilai dari -1,0 sampai 1,0 (Arhatin, 2007). Awan, air dan objek non
vegetasi mempunyai nilai NDVI kurang dari nol. Jika nilai indeks lebih tinggi
berarti penutupan vegetasi tersebut lebih sehat (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Formula NDVI adalah :

𝑁𝐼𝑅−𝑅𝐸𝐷
NDVI=
𝑁𝐼𝑅+𝑅𝐸𝐷

Keterangan :

NDVI : Nilai Normalized Diference Vegetation Index


NIR : Nilai band spektral inframerah dekat
RED : Nilai band spektral merah
Dengan pendekatan rasio antara kelas mangrove lebat dengan mangrove
jarang berarti makin tinggi nilai rasio tersebut (nilai max = 1), maka makin baik
kualitas mangrove setempat. Tanggapan spektral vegetasi dipengaruhi juga oleh
sumber sumber variasi spektral lainnya, seperti jenis tanah dan aspek lereng.
17

Pengaruh sumber-sumber variasi spektral di luar objek kajian dapat dikurangi


melalui transformasi saluran spektral. Transformasi saluran spektral merupakan
teknik manipulasi citra yang dapat menampilkan fenomena tertentu pada citra
secara lebih ekspresif. Pada transformasi ini, informasi spektral berupa nilai pixel
pada beberapa saluran digabung menjadi suatu saluran baru.
Indeks vegetasi pada pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
algoritma Normalized Difference Vegetation Indeks (NDVI). Selain untuk
mengetahui kerapatan dan kehijauan vegetasi, NDVI juga bisa digunakan untuk
mengetahui tingkat kesehatan tanaman yang membagi kelas NDVI menjadi lima
kelas yaitu, Sangat Jarang, Jarang, Sedang, Rapat, dan Sangat Rapat.
Variasi nilai indeks vegetasi mencerminkan kondisi jenis vegetasi dan
karakteristik lainnya dari vegetasi yang diwakili. Setiap jenis objek tertentu akan
memberikan nilai indeks vegetasi sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan hal
tersebut, karakteristik suatu objek dapat diketahui melalui analisis nilai-nilai
indeks vegetasi (Harsanugraha, 1996).

2.4.4. Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan suatu kegiatan untuk menentukan bentuk dan


sifat obyek yang tampak pada citra, berikut deskripsinya. Interpretasi citra dan
fotogrametri berhubungan erat, meskipun keduanya tidak sama. Bedanya,
fotogrametri berkepentingan dengan geometri obyek, sedangkan interpretasi citra
berurusan dengan manfaat, penggunaan, asal-usul, ataupun identitas obyek yang
bersangkutan (Hanafiah, 1994).
Menurut Estes dan Simonett, 1975 interpretasi citra adalah perbuatan
mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek
dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Ada tiga rangkaian kegiatan yang
diperlukan dalam pengenalan objek yang tergambar pada citra, yaitu :
1. Deteksi merupakan pengamatan adanya suatu objek, misalkan pada gambaran
sungai terdapat objek yang bukan air
2. Identifikasi merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan
menggunakan keterangan yang cukup. Misalkan berdasarkan ukuran, bentuk
18

dan letaknya objek yang tampak pada sungai tersebut disimpulkan sebagai
mobil
3. Analisis merupakan pengumpulan keterangan lebih lanjut. Misalkan dengan
mengamati jumlah penumpangnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mobil
tersebut berisi delapan orang.
Pengenalan objek merupakan bagian paling vital dalam interpretasi citra.
Foto udara sebagai citra tertua didalam penginderaan jauh memiliki unsur
interpretasi yang paling lenngkap dibandingkan unsur interpretasi pada citra
lainnya (Sutanto, 1994) Interpretasi citra terdiri dari :
1. Rona dan Warna
Rona merupakan tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek pada citra,
sedangkan warna ialah wujud yang tampak oleh matadengan menggunakan
spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.
2. Bentuk
Merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka
suatu objek. Kita bisa mengenali adanya stadion pada suatu foto udara dari
adanya bentuk persegi panjang. Demikian pula kita bisa mengenali gunung api
dari bentuknya yang cembung.
3. Ukuran
Atribut objek antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Ukuran
meliputi dimensi panjang, luas, tinggi, kemiringan, dan volume suatu objek.
4. Tekstur
Frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek
yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual.
5. Pola
Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek
bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiyah.
6. Bayangan
Bayangan sering menjadi kunci pengenalan yang penting bagi banyak objek
dengan karakteristik tertentu, seperti cerobong asap, minara, tangki minyak.
7. Situs
19

Menurut Susanto (1994), adalah letak suatu objek terhadap objek lain di
sekitarnya. Situs juga diartikan sebagai letak objek terhadap bentang darat,
seperi situs suatu objek di rawa, di puncak bukit yang tinggi, dan sebagainya.
Itulah sebabnya, site dapat untuk melakukan penarikan kesimpulan (deduksi)
terhadap spesies dari vegetasi di sekitarnya. Banyak tumbuhan yang secara
karakteristik terikat dengan site tertentu tersebut. Misalanya hutan mangrove
ditandai dengan rona yang gelap, atau lokasinya yang berada di pantai.
8. Asosiasi
Keterkaitan antara objek yang satu dengan objek lain. Karena adanya
keterkaitan ini maka terlihatnya suatu objek pada citra sering merupakan
petunjuk bagi adanya objek lain.
Interpretasi citra merupakan serangkaian kegiatan identifikasi, pengukuran
penterjemah data-data pada sebuah atau serangkaian data penginderaan jauh
untuk memperoleh informasi yang bermakna. Sebuah data penginderaan jauh
dapat diturunkan banyak informasi dari serangkaian proses interpretasi citra ini.
Dalam proses interpretasi, objek diidentifikasi berdasarkan pada
karakteristiknya sebagai berikut:
1. Target dapat berupa titik, garis, ataupun area
2. Target harus dapat dibedakan dengan objek lainnya.
20

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2020 hingga Juni 2021 di
Desa Pagatan Besar. Tahapan penelitian ini meliputi beberapa tahapan yaitu
pengumpulan data, tahap pengolahan dan analisis awal data citra, dan pengolahan
analisis data citra.

Gambar 1.3. Peta Lokasi Penelitian

20
21

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat dan bahan
yang digunakan pada saat pengambilan data dan pengolahan data yang disajikan
dalam Tabel 3.1. dan 3.2. dibawah ini.

Tabel 3.1. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data dilapangan
No Alat dan bahan Keterangan
Alat
1 GPS (Global positioning Memberi tanda posisi dan GCP
Sistem)
2 Alat tulis Mencatat data
3 Kamera Mendokumentasi Kegiatan
Bahan
1 Peta rencana kegiatan Gambaran lokasi Penelitian

Tabel 3.2. Alat dan bahan yang digunakan pada saat pengolahan data
No Alat dan bahan Keterangan
Alat
1 Perangkat Komputer Mengoperasikan perangkat analisis data

2 ArcGIS 10.7 Analisis data


Bahan
Citra SENTINEL-2 tahun Data dasar pemetaan mangrove tahun
1
perekaman 2020 2020
22

Mangrove

Citra Sentinel-2

Import Gabungan Band Cropping Wilayah Penajaman


Data Pengamatan
Sentinel-2

Unsupervised

Uji Akurasi

GCP

Supervised

NDVI

5 Kelas Kerapatan

Sangat Jarang Sedang Rapat Sangat


Jarang ` Rapat

Layout Peta Kerapatan Mangrove


Desa Pagatan Besar

Gambar 2.3. Tahapan Dalam Pengolahan Data Penelitian


23

3.3. Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penginderaan


jarak jauh dan observasi lapangan. Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian ini
yaitu pengumpulan bahan dan data, pengolahan dan analisis awal data citra,
pengolahan dan analisis data citra dan uji akurasi.

3.4.1. Pengumpulan Bahan dan Data

Tahap ini meliputi kegiatan pengumpulan data geografis, data


komplementer dan literatur yang relevan dengan topik penelitian. Citra yang di
gunakan adalah citra SENTINEL-2 dengan perekaman tahun 2020. Data Citra di
peroleh dengan cara mendownload di www.scihub.copernicus.eu/.

3.3.2. Survei Awal dan Penentuan Stasiun Penelitian

Survei awal dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang lokasi


penelitian dan dijadikan referensi pengambilan data. Penentuan stasiun penelitian
ditentukan dari hasil klasifikasi yang telah dilakukan dengan pertimbangan
distribusi (sebaran) dan tingkat kemudahan jangkauan.

3.3.3. Pengambilan Data Lapangan

a. Ground Check

Ground Check dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan serta


pengukuran GPS beberapa titik sampel dengan menggunakan marking area
dengan mengambil koordinat GCP dan deskripsi lapangan yang digunakan untuk
koreksi serta pengecekan lapangan untuk klasifikasi supervised. Dari data
lapangan berupa koordinat serta gambaran yang sesuai/tidak sesuai di lapangan.

3.3.4. Tahap Pengolahan dan Analisis Awal Data Citra

a. Pemotongan Citra

Pemotongan citra (cropping citra) merupakan cara pengambilan area


tertentu yang akan diamati (area of interest) dalam citra, yang bertujuan untuk
mempermudah penganalisaan citra dan memperkecil ukuran penyimpanan citra.
Dalam proses pengolahan citra, biasanya tidak secara keseluruhan Scence dari
24

citra yang kita gunakan. Untuk mendapatkan daerah yang kita inginkan kita dapat
memotong (cropping) citra tersebut. (Arhatin, 2010).
Cropping citra dapat digunakan untuk data spasial maupun data spektral.
Pemotongan citra dapat dilakukan berdasarkan titik koordinat, jumlah pixel atau
hasil zooming daerah tertentu.

b. Penyusunan Komposit Warna Deteksi Mangrove

Penyusunan komposit warna diperlukan untuk mempermudah intrepretasi


citra inderaja. Susunan komposit warna dari kanal citra inderaja minimal terdapat
kanal Inframerah dekat untuk mempertajam penampakan unsur vegetasi.
Pemilihan kanal untuk proses komposit dilakukan dengan menggunakan metode
Optimum Index Factor (OIF). OIF digunakan untuk menentukan kombinasi tiga
kanal terbaik untuk menggambarkan informasi tertentu. Semakin besar nilai OIF
yang dihasilkan semakin banyak informasi warna yang diperoleh dan sedikit
duplikasi informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai OIF tertinggi
merupakan kombinasi kanal yang terbaik.

c. Penajaman Citra SENTINEL-2

Penajaman citra atau biasa disebut dengan transformasi ini digunakan


dalam meningkatkan kontras warna dan cahaya pada suatu citra. Proses ini
dilakukan untuk mempermudah dalam proses interpretasi dan analisis citra.
Penajaman kontras dalam citra merupakan cara untuk memperbaiki tampilan
dengan memaksimumkan kontras antara pencahayaan dan penggelapan atau
menaikkan dan merendahkan harga suatu data citra.Proses penajaman citra
dilakukan untuk mempermudah pengguna dalam menginterpretasikan obyek-
obyek yang ada pada tampilan citra.

d. Klasifikasi Unsupervised

Metode klasifikasi Unsupervised adalah melakukan pengelompokan nilai-


nilai pixel suatu citra oleh komputer kedalam kelas-kelas spektral dengan
menggunakan algoritma klusterisasi. Dalam metode ini, diawal proses biasanya
analis akan menentukan jumlah kelas yang akan dibuat. Kemudian setelah
mendapatkan hasil, analis menetapkan kelas-kelas lahan terdapat kelas-kelas
spektral yang telah dikelompokkan oleh komputer. Dari kelas yang dihasilkan,
25

analis bias menggabungkan beberapa kelas yang dianggap memiliki informasi


yang sama menjadi satu kelas.

e. Uji Akurasi

Kegiatan uji akurasi dilakukan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi


dan analisis indeks vegetasi pada kelas sampel dan hasil analisis yang meragukan,
pengamatan tutupan kanopi pada setiap kelas kerapatan dari hasil analisis indeks
vegetasi secara visual di areal yang relatif homogen dan dampak kegiatan
masyarakat di lokasi tersebut. Data diuji ketelitiannya dengan menggunakan tabel
kontingensi dari Daels dan Antrop. Tabel kontingensi untuk uji akurasi disajikan
pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Tabel Kontingensi untuk Uji Akurasi.


Uji Hasil Pengujian Total Total
Total Interpretasi
No Lapangan Lapangan Benar Salah
Interpretasi MR NON PR Jumlah Jumlah Jumlah
1 Mangrove
Non
2
Mangrove
Perairan/An
3 -
ak Sungai
Total
Presentase Interpretasi Citra dan
Ground Truth Dilapangan

f. Ground Check Point

Ground Check dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan serta


pengukuran GPS beberapa titik sampel dengan menggunakan marking area
dengan mengambil koordinat GCP dan deskripsi lapangan yang digunakan untuk
koreksi serta pengecekan lapangan untuk klasifikasi supervised. Dari data
lapangan berupa koordinat serta gambaran yang sesuai/ketidaksesuaian lapangan.

g. Klasifikasi Supervised

Klasifikasi supervised merupakan metode yang dipandu dan dikedalikan


sebagian atau sepenuhnya oleh pengguna dalam klasifikasi. Klasifikasi supervised
dapat diartikan sebagai teknik klasifikasi yang diawasi. Menurut Projo Danoedoro
(1996) klasifikasi supervised ini melibatkan interaksi analis secara intensif,
26

dimana analis menuntun proses klasifikasi dengan identifikasi objek pada citra
(training area). Sehingga pengambilan sampel perlu dilakukan dengan
mempertimbangkan pola spektral pada setiap Panjang gelombang tertentu,
sehingga diperoleh daerah acuan yang baik untuk mewakili suatu objek tertentu.

h. Analisis Indeks Vegetasi

Salah satu analisis indeks vegetasi adalah dengan metode Normalized


Difference Vegetation Index (NDVI) yang bertujuan untuk menentukan tingkat
kerapatan kanopi mangrove. Nilai indeks vegetasi (NDVI) dapat diformulasikan
sebagai berikut.
𝑁𝐼𝑅−𝑅𝐸𝐷
NDVI=𝑁𝐼𝑅+𝑅𝐸𝐷

Pada Citra SENTINEL-2 untuk menentukan nilai NDVI digunakan band 8


sebagai NIR dan band 4 sebagai RED.
Keterangan:
NIR = Nilai band spektal inframerah dekat
RED = Nilai band spektal merah.

i. Kerapatan Vegetasi

Tingkat kerapatan vegetasi dan tutupan kanopi dalam menentukan kondisi


mengrove ditentukan dengan melakukakan klasifikasi ulang (Reclassification)
dari hasil perhitungan indeks vegetasi, dimana tingkat tutupan dan kerepatan
vegetasi mangrove dibagi menjadi lima kelas yaitu sangat jarang, jarang, sedang,
rapat, sangat rapat.

j. Layout

Tahap ini dilakukan setelah semua tahapan pengolahan, Analisa citra, dan
pengkoreksian seluruh hasil survei lapangan telah selesai. Pada tahap ini data citra
diolah dan dianalisis dengan SIG. Data yang akan dihasilkan adalah data
kerapatan dan klasifikasi mangrove yang memiliki database. Dalam SIG, proses
analisis perubahan akan mudah dilakukan untuk menghasilkan informasi,
pembaruan data, layout peta luasan dan kerapatan hutan mangrove.
27

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengolahan Awal Data Citra Sentinel 2

4.1.1. Pemotongan Citra


Pemotongan citra (cropping citra) merupakan cara pengambilan area
tertentu yang akan diamati (area of interest) dalam citra, yang bertujuan untuk
mempermudah penganalisaan citra dan memperkecil ukuran penyimpanan citra.
Dalam proses pengolahan citra, biasanya tidak secara keseluruhan scene dari citra
yang kita gunakan. Untuk mendapatkan daerah yang kita inginkan kita dapat
memotong (cropping) citra tersebut.
Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan daerah penelitian dengan
maksud untuk melakukan pengolahan data yang lebih fokus, terperinci dan
teroptimal. Pemotongan citra ini juga menggunakan file shp batas administrasi
sebagai batas daerah pemotongan citra yang akan digunakan. Data yang tercakup
dalam scene yang tidak dibutuhkan di potong sampai pada daerah penelitian yaitu
Desa Pagatan Besar sebagaimana pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Citra Sentinel-2 Sebelum di Potong

27
28

Gambar 4.2. Citra Sentinel-2 Setelah di Potong

Dari hasil cropping citra yang dilakukan pada Gambar 4.2. didapatkan
hasil gambaran citra yang hanya terfokus pada lokasi penelitian yaitu di desa
pagatan besar dan scene diluar dari batas shp desa pagatan besar akan terpotong.
Pemotongan citra dapat dilakukan sesuai dengan bentuk polygon batasan Desa
Pagatan Besar. Bahkan, teknik pemotongan citra dapat menyederhanakan area
penelitian para pengguna data hasil penginderaan jauh. cropping citra
(pemotongan citra) dapat bermanfaat untuk mempermudah kinerja seseorang
ketika sedang melakukan pengamatan citra, terutama dalam membatasi region
atau wilayah tertentu. Setelah melakukan pemotongan sesuai dengan batasan desa
pagatan besar, informasi yang di dapatkan dari data citra luas wilayah seluruhnya
adalah 3929 Ha.
29

4.2. Penyusun Komposit Warna Deteksi Mangrove

Pemisahan suatu obyek pada citra Sentinel-2 dapat dilakukasn dengan


mudah dengan membuat kombinasi band komposit warna (Red Green Blue).
Mengidentifikasi vegetasi mangrove melalui penginderaan jauh dapat didasarkan
atas dua sifat penting dari vegetasi mangrove yaitu bahwa mangrove mempunyai
zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tubuh di daerah pesisir. Dua hal ini akan
menjadi pertimbangan penting dalam mendeteksi hutan mangrove melalui satelit,
sifat optik klorofil sangat khas karena klorofil menyerap spectrum sinar merah dan
memantulkan dengan kuat spektrum infra merah. Tanah, pasir, dan batuan juga
memantulkan tetapi tidak menyerap spectrum sinar merah sehingga tanah dan
mangrove secara optik juga dapat dibedakan.

Gambar 4.3. Penyusunan Komposit Band (5, 8a, 11)


30

Vegetasi mangrove dan vegetasi lainnya memang mempunyai sifat optik


yang hampir sama dan sulit dibedakan, tetapi mengrove merupakan vegetasi yang
berada di lahan basah, karena itu kenampakan mangrove terlihat lebih gelap bila
dibandingkan dengan vegetasi-vegetasi lainnya yang berada di lahan kering.
Susunan komposit band yang di gunakan adalah 5 (Vegetation Red Edge), 8a
(Vegetation Red edge), 11 (Short Wave Infrared). Dari kombinasi-kombinasi yang
menghasilkan gambar dengan warna yang berbeda ini dapat mempermudah dalam
proses klasifikasi tutupan dan penggunaan lahan yang akan dilakukan (Arizal
Kawamuna, 2017).

4.2.1. Visualisasi Obyek pada Citra


Visualisasi obyek pada citra Sentinel-2 hasil komposit band 5, 8a, dan 11
dipaparkan kedalam 6 kelas seperti Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Visualisasi 6 Obyek Pada Citra


31

Tabel 4.1. Visualisasi Objek Hasil Klasifikasi


No Obyek Kenampakan Pada CItra Keterangan

Dengan kenampakan
1. Awan
berwarna ungu.

Gambar 4.5. Obyek Awan


pada Citra Sentinel-2

kenampakan warna hijau


2. Hutan
dan tidak teratur bentuknya

Gambar 4.6. Obyek Hutan


pada Citra Sentinel-2

berwarna kuning tua dan


3. Kebun kadang menyebar diantara
sawah, hutan dan belukar.
Gambar 4.7. Obyek Kebun
pada Citra Sentinel-2

Lahan
4. berwarna coklat
Kosong

Gambar 4.8. Obyek Lahan


Kosong pada Citra
Sentinel-2

terlihat dengan rona cerah,


dan berwarna merah,
tersebar di beberapa wilayah
5 Mangrove
ekowisata mangrove di
daerah pesisir dan di bagian
Gambar 4.9. Obyek
pinggir sungai.
Mangrove pada Citra
32

Sentinel-2

6. Perairan perairan muncul dengan


warna ungu muda.

Gambar 4.10. Obyek


Perairan pada Citra
Sentinel-2

4.3. Klasifikasi dan Luas Mangrove


4.3.1. Klasifikasi Unsupervised

Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan dengan


mengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa kelas hanya berdasarkan
pada perhitungan statistik tertentu tanpa menentukan sampel piksel yang
digunakan oleh komputer sebagai acuan untuk melakukan klasifikasi. Identifikasi
ulang dilakukan dengan membandingkan citra hasil koreksi untuk menghasilkan
klasifikasi yang lebih sedikit (penggabungan kelas/merging) sesuai dengan
klasifikasi yang di butuhkan pada skala hasil. Pada proses interpretasi ulang ini
dibantu secara visual menggunakan citra komposit warna atau data hasil kerja
lapangan sebagai dasar penggabungan kelas.
Berdasarkan hasil analisis klasifikasi dibagi menjadi 4 kelas yaitu awan,
perairan, mangrove dan non mangrove. Distribusi spasial menunjukkan bahwa
mangrove terdistribusi pada sungai dan daerah yang berbatasan langsung dengan
perairan, tetapi beberapa daerah yang merupakan daerah kebun di hasil
pengolahan klasifikasi unsupervised yang telah disajikan di gambar menunjukkan
bahwa vegetasi kebun masuk dalam kategori vegetasi mangrove. Hal tersebut
disebabkan oleh pigmentasi dari kandungan air yang ada pada substrat kebun.
Dari Gambar 4.11 dan Tabel 4.1. dapat di ketahui bahwa luasan mangrove dan
non mangrove hasil klasifikasi tidak terbimbing yaitu mangrove dengan luas
sebesar 612 Ha yang tersebar di beberapa wilayah sungai dan di ekowisata
mangrove.
33

Tabel 4.2. Luasan Mangrove dan Non Mangrove Hasil Klasifikasi Unsupervised

No Kategori Luas (Ha)


1 Mangrove 612
2 Non Mangrove 3.317

Gambar 4.11. Klasifikasi Unsupervised

4.3.2. Uji Ketelitian dan ground truth


Ketelitian hasil klasifikasi dihitung dengan cara membandingkan citra
hasil klasifikasi dengan data referensi yaitu berupa :
1. Data check lapangan (ground trothing) yang diambil secara acak pada
areal yang dicakup citra satelit untuk masing masing kelas.
2. Area data latih (training site) yang sudah dibuat sebelumnya dari hasil
interpretasi secara visual citra satelit.
34

Tabel. 4.3. Matrix Hasil Uji Akurasi


Uji Hasil Pengujian Total Total
Total Interpretasi
No Lapangan Lapangan Benar Salah
Interpretasi MR NON PR Jumlah Jumlah Jumlah
1 Mangrove 25 6 - 31 25 6
Non
2 3 16 - 19 16 3
Mangrove
Perairan/An
3 - - 10 10 10 -
ak Sungai
Total 60 51 9
Presentase Interpretasi Citra dan
85% 15%
Ground Truth Di lapangan

Distribusi nilai ketelitian klasifikasi keseluruhan hasil interpretasi citra,


berdasarkan hasil uji ketelitian klasifikasi dengan menggunakan data titik
pengecekan lapangan sebanyak 60 titik terlihat bahwa nilai ketelitian klasifikasi
keseluruhan adalah 85% dapat dilihat pada Tabel 4.2. Berdasarkan pendapat
McCoy (2005) suatu hasil interpretasi dapat digunakan keperluan analisis jika
tingkat ketelitiannya mencapai minimal 80-85%. Hasil ini menunjukkan bahwa
hasil analisis klasifikasi dapat digunakan sebagai hasil.

4.3.3. Klasifikasi Supervised


Klasifikasi terbimbing merupakan proses pengelompokkan piksel pada
citra menjadi beberapa kelas tertentu dengan berdasarkan pada statistik sampel
piksel (training) atau region of interrest ditentukan oleh pengguna sebagai piksel
acuan yang selanjutnya digunakan oleh komputer sebagai dasar melakukan
klasifikasi. Sampel piksel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data hasil
kerja lapangan. Algoritma klasifikasi citra yang digunakan yaitu maximum
likelihood. Klasifikasi maximum likelihood mengkelaskan nilai piksel berdasarkan
probabilitas suatu nilai piksel terhadap kelas tertentu dalam sampel piksel.
Apabila nilai probabilitas nilai piksel berada di bawah nilai threshold yang
ditentukan maka piksel tersebut tidak terkelaskan. Lain halnya apabila dalam
klasifikasi tidak memasukkan nilai threshold maka semua piksel dapat terkelaskan
sesuai sampel piksel yang ada.
Berdasarkan hasil pengolahan klasifikasi supervised dapat diketahui
persebaran mangrove di Desa Pagatan Besar. Sebaran mangrove berdasarkan hasil
35

klasifikasi supervised menunjukkan bahwa mangrove terdapat pada daerah pesisir


pantai dan pinggir sungai Desa Pagatan Besar.
Dari Gambar 4.4 dan Tabel 4.3. dapat di ketahui bahwa luasan mangrove
hasil klasifikasi terbimbing yaitu mangrove dengan luasan 389,53 Ha.
Tabel 4.4. Luasan Mangrove dan Non Mangrove Klasifikasi Terbimbing
No Kategori Luas (Ha)
1 Mangrove 389,53
2 Non Mangrove 3.538

Gambar 4.12. Klasifikasi Supervised

4.4. Persebaran Nilai NDVI


Pengklasifikasian dengan menggunakan pendekatan indeks vegetasi
didasarkan atas prinsip pemantulan oleh daun atau pigmentasi dan kandungan air
pada permukaan daun serta efek dari kandungan air tanah. Salah satu formula
yang digunakan untuk menghitung indeks vegetasi adalah NDVI. Pemantauan
vegetasi dengan metode NDVI pada prinsipnya adalah mengamati perubahan
36

tingkat kehijauan vegetasi yang disebabkan oleh fluktuasi konsentrasi klorofil


pada daun-daun vegetasi. Tingkat kehijauan vegetasi maupun konsentrasi klorofil
berfluktuasi sesuai dengan perubahan kondisi vegetasi selama pertumbuhan dan
perkembangannya.
Dari hasil persebaran mangrove maka untuk menentukan persebaran nilai
NDVI mangrove di lakukan overlay dengan luasan mangrove hasil supervised.
Dibawah ini merupakan peta persebaran nilai NDVI mangrove di Desa Pagatan
Besar dengan data tertinggi 0,952208 dan terendah 0,234635.

Tabel 4.5. Hasil Nilai NDVI dan Kelas Kerapatan Mangrove


No Nilai NDVI Kelas Kerapatan
1 0,952208 Sangat Rapat
2 0,772815 Rapat
3 0,593422 Sedang
4 0,414028 Jarang
5 0,234635 Sangat Jarang

Gambar 4.13. Rentang Data NDVI

𝐵𝑎𝑛𝑑 8 (𝑁𝐼𝑅)−𝐵𝑎𝑛𝑑 4 (𝑅𝐸𝐷)


NDVI=𝐵𝑎𝑛𝑑 8 (𝑁𝐼𝑅)+𝐵𝑎𝑛𝑑 4 (𝑅𝐸𝐷)

Gambar 4.14. Formulasi NDVI

Pada Citra SENTINEL-2 untuk menentukan nilai NDVI digunakan band 8


sebagai Near Infrared dan band 4 sebagai RED. Gambar 4.13 menunjukkan
bahwa wilayah yang mempunyai nilai tingkat kehijauan vegetasi NDVI di bawah
0,2, maka wilayah tersebut sudah keluar dari kelompok vegetasi (karena bisa
berupa wilayah perairan atau tanah bebatuan). Untuk wilayah yang mempunyai
NDVI bernilai di atas 0,4, dapat disimpulkan merupakan kawasan yang ditutupi
hutan yang lebat dan subur (Sudiana, 2008).
37

Gambar 4.15. Persebaran Nilai NDVI


4.5. Sebaran Kerapatan Mangrove
Dari nilai pantulan vegetasi mangrove dibagi dalam 5 kelas kerapatan
yaitu mangrove kerapatan sangat jarang, kerapatan jarang, sedang, kerapatan rapat
dan mangrove kelas sangat rapat. Pembagian kelas kerapatan ini masih bersifat
subyektif karena belum ada penelitian yang menerangkan seberapa besar nilai
histogram NDVI dua dimensi yang secara pasti mewakili suatu nilai kerapatan
tertentu. Selang nilai NDVI untuk berbagai kerapatan tiap daerah berbeda. Namun
demikian, dengan ketiga kelas kerapatan tersebut dapat diketahui tingkat
kerapatan vegetasi mangrove pada tiap tahun pengamatan.
Berdasarkan lima tingkat kerapatan mangrove yang ada di desa pagatan
besar pada Bulan April Tahun 2020 dapat di ketahui bahwa luas area total ada
389,53 Ha yang dimana untuk kelas kerapatan sangat jarang seluas 3,44 Ha,
kerapatan jarang 29,53 Ha, kerapatan sedang seluas 75,23 Ha, kerapatan rapat
38

143,01 Ha, dan kelas kerapatan sangat rapat adalah 138,32 Ha. Sebagian besar
mangrove di Desa Pagatan Besar di dominasi oleh kelas kerapatan rapat.

Gambar 4.16. Peta Kerapatan Hutan Mangrove

Tabel 4.6. Sebaran Kelas Kerapatan Mangrove April 2020 di Desa Pagatan Besar.
No Kelas Kerapatan Luas (Ha)
1 Sangat Jarang 3,44
2 Jarang 29,53
3 Sedang 75,23
4 Rapat 143,01
5 Sangat Rapat 138,32
6 ∑ 389,53
39

Gambar 4.17. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Sangat Jarang

Berdasarkan Gambar 4.17. diketahui bahwa mangrove dengan kategori


sangat jarang tersebar di wilayah ekowisata hutan mangrove bagian depan yang
dimana daerah tersebut adalah wilayah penanaman baru dari kegiatan penanaman
mangrove di wilayah ekowisata dan beberapa bagian tersebar di pinggir sungai.
Mangrove dengan kategori tingkat kerapatan sangat jarang di Desa Pagatan Besar
adalah seluas 3,44 Ha.

Gambar 4.18. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Jarang


40

Berdasarkan Gambar 4.18. diketahui bahwa mangrove dengan kategori


jarang tersebar di beberapa wilayah bagian dalam daerah ekowisata mangrove.
Mangrove dengan kategori kerapatan jarang di Desa Pagatan Besar adalah seluas
29,53 Ha.

Gambar 4.19. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Sedang

Berdasarkan Gambar 4.19. diketahui bahwa mangrove dengan kategori


sedang tersebar di beberapa wilayah bagian dalam daerah pinggir sungai di Desa
Pagatan Besar. Mangrove dengan kategori kerapatan sedang adalah seluas 75,23
Ha.

Gambar 4.20. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Rapat


41

Berdasarkan Gambar 4.20. diketahui bahwa mangrove dengan kategori


rapat tersebar dominan di wilayah bagian dalam daerah sungai. Mangrove dengan
kategori kerapatan rapat di Desa Pagatan Besar adalah seluas 143,01 Ha.

Gambar 4.21. Peta Kelas Kerapatan Mangrove Sangat Rapat

Berdasarkan Gambar 4.21. diketahui bahwa mangrove dengan kategori


sangat rapat tersebar dominan di wilayah bagian dalam daerah sungai desa
pagatan besar dan beberapa di wilayah ekowisata mangrove. Mangrove dengan
kategori kerapatan sangat rapat di Desa Pagatan Besar adalah seluas 138,32 Ha.
45

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kerapatan vegetasi mangrove di Desa Pagatan Besar secara keseluruhan di


bagi kedalam 5 kategori kelas, untuk kelas kerapatan sangat jarang adalah seluas
3,44 Ha, kerapatan jarang 29,53 Ha, kerapatan sedang seluas 75,23 Ha, kerapatan
rapat 143,01 Ha, dan kelas kerapatan sangat rapat adalah seluas 138,32 Ha.
5.2. Saran

1. Perlunya pemantauan kondisi luasan dan kerapatan hutan mangrove lanjutan


menggunakan data citra yang beresolusi tinggi dan dengan perekaman
paling terbaru agar perubahan terehadap vegetasi mangrove di desa Pagatan
Besar dapat selalu di ketahui, sehingga dapat ditindak lanjuti untuk kegiatan
rehabilitasi.
2. Sebaiknya menggunakan citra yang bersih atau bebas dari awan untuk
meminimalkan cakupan area yang tidak memiliki nilai spektral akibat
pengaruh dari tutupan awan.

45
DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Tanah Laut, 2018a. Takisung Dalam Angka. Kecamatan Takisung.

[BPS] Tanah Laut, 2018b. Tanah Laut Dalam Angka. Kabupaten Tanah Laut.

[KADES] Kantor Desa (2017), Profil Desa Pagatan Besar. Kecamatan Takisung
Kabupaten Tanah Laut.

[Kepmen] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004.


Tentang Baku Mutu Air Laut.

Arhatin, R.E. 2007. Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode Klasifikasi
Mangrove dari Data Satelit Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+ : Studi
Kasus di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tesis. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Bengen, DG, 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaanya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
IPB. Bogor.

Carolita, I., I Made P., Y. Erowati, dan Asikin A. 1995. Monitoring Keadaan
Hutan dengan Menggunakan Data NOAA AVHRR di Daerah
Kalimantan Barat dan Sebagian Kalimantan Timur. Warta LAPAN
volume 43 Hal 32-42. Jakarta.

Chaudhary, B.D. (1985) Biometrical Method in Quantitative Genetics Analysis.


New Delhi: Kalyani Publishers.

Dharmawan, I. W. S. 2010. Pendugaan biomasa karbon di atas tanah pada


tegakan Rhizophora mucronata di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia. 15(1): 50—56.

Ekadinata, A, dkk. 2008. Sistem Informasi Geografis untuk Pengolalaan Bentang


Lahan Berbasis Sumber Daya Alam. Bogor: World Agroforestry Centre.

Estes, J. E dan Simonett, D. S. 1975. Fundamnetals of Image Interpretation, In


Manual of Remoet Sensing. Virginia : The American Society of
Photogrametri.

Fanani, Z. 1992. Pengantar Interpretasi Data Penginderaan Jauh. Fakultas


Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

46
47

F.A.O. 1994. Management and Untilization of Mangrove in Asia and The Pasific.
F.A.O Enviroment Paper.

Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumber hayati


perikanan pantai. Jurnal Litbang Pertanian. 23 (1): 15—21.

Harsanugraha, Wawan Kusnawan, Prof. Dr. Sutanto. 1996 | Tesis | S2


Penginderaan Jauh.

Hartono. 1994. Penggunaan Penginderaan Jauh Menggunakan Landsat Thematic


Mapper (Studi Kasus da Areal HPH PT. Bina Lestari Indragiri Hulu,
Riau). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Hanafiah, S. 1994. Glossary of The Mapping Science. 1994. Amer Society of


Civil Engineers. New York.

Hoffer, R.M. 1978. Biological and Physical Consideration in Applying Computer-


Aided Analysis Technique to Remote Sensor Data : Remote Sensing : The
Quantitative Approach. New York : McGraw Hill.

Hogarth, P. J. 2007. The Bioloogy of Mangroves and Seagrasses. New York:


Oxford University Press Inc.

Kawamuna, Arizal. 2017. Analisis Kesehatan Hutan Mangrove Berdasarkan


Metode Klasifikasi Ndvi Pada Citra Sentinel-2. Universitas Diponogoro.
Semarang

Kusmana, C. 2002. Pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan dan


berbasis masyarakat. Makalah pada Lokakarya Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove, tanggal 6-7 Agustus 2002 di Jakarta.

Kusmana, C. 2009. Pengelolaan sistem mangrove secara terpadu. Workshop


Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat. Jatinangor. Vol 18.
22p.

Lillesand and Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Fakultas
Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Lo, C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan, Penerbit Universitas Indonesia.


Jakarta.

McCoy, Roger M., 2005. Field Methods in Remote Sensing. New York: The
Guilford Press.
48

Mumby, P.J., A.J. Edward, J.E. AriasGonzakz, K.C. Linderman, P.G. Blackwel,
A. Gall, M.I. Gorcynska, A.R. Harborne, C.L. Pescod, H. Renken,
C.C.C. Wabnitz, and G. Llewellyn, 2004. Mangrove enhance the
biomass of coral reefs fish management and mapping of Carbbean coral
reefs. Biological Conservation 88: 155- 168.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta.

Nybakken, J. W. 1992. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia.

Pramudji. 2019. Mangrove Di Indonesia. LIPI.

Projo, Danoedoro, 1996, Pengolahan Citra digital Teori dan Aplikasinya dalam
Bidang Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Singh, R.K. and B.D. Chaudhary. 1985. Biometrical methods in quantitative


genetic analysis. New Delhi Ludhiana. p.127.

Sudiana, D. dan E. Diasmara. 2008. Analisis Indeks Vegetasi menggunakan Data


Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS. Depok : Universitas
Indonesia.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta : Gadjah Mada University


Press.

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh: Jilid 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press

Tomlinson, P. B. 1994. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press.


413p.

Vaiphasa, C. 2006. Remote Sensing Techniques for Mangrove Mapping,


International Institute for Geo-information Science & Earth
Observation. Enschede. ITC. The Netherlands.
LAMPIRAN
49

Lampiran 1. Pengolahan Data Citra

Proses Pemotongan Citra

Komposit Band 5, 8a, 11


50

Klasifikasi Unsupervised

Klasifikasi Unsupervised
51

Analisis NDVI

Persebaran Kerapatan Mangrove


52

Lampiran 2. Titik Uji Akurasi di Lapangan


No Latitude Longitude Interpretasi Lapangan
1 114,6190015 -3,814932291 Mangrove Mangrove
2 114,6190015 -3,814932292 Mangrove Mangrove
3 114,6190015 -3,814932292 Mangrove Mangrove
4 114,6190015 -3,814932292 Mangrove Mangrove
5 114,6190015 -3,814932292 Mangrove Mangrove
6 114,6190015 -3,814932292 Mangrove Mangrove
7 114,6190015 -3,814932292 Mangrove Mangrove
8 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
9 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
10 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
11 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
12 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
13 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
14 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
15 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
16 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
17 114,6204229 -3,80250788 Mangrove Mangrove
18 114,6399983 -3,798367974 Mangrove Mangrove
19 114,6204229 -3,80250788 Mangrove Mangrove
20 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
21 114,6204229 -3,80250788 Mangrove Mangrove
22 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
23 114,6415831 -3,799370283 Mangrove Mangrove
24 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
25 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Mangrove
26 114,6204229 -3,80250788 Mangrove Non Mangrove
27 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Non Mangrove
28 114,6315709 -3,798964803 Mangrove Non Mangrove
29 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Non Mangrove
30 114,6179083 -3,802097924 Mangrove Non Mangrove
31 114,6192679 -3,802734653 Mangrove Non Mangrove
32 114,6179083 -3,802097924 Non Mangrove Non Mangrove
33 114,6179083 -3,802097924 Non Mangrove Non Mangrove
34 114,6179083 -3,802097924 Non Mangrove Non Mangrove
35 114,6179083 -3,802097924 Non Mangrove Non Mangrove
36 114,6179083 -3,802097924 Non Mangrove Non Mangrove
37 114,6350435 -3,796691043 Non Mangrove Non Mangrove
38 114,6246836 -3,801534252 Non Mangrove Non Mangrove
39 114,6179083 -3,802097924 Non Mangrove Non Mangrove
40 114,6290467 -3,803856166 Non Mangrove Non Mangrove
53

Lampiran 2 (lanjutan).
No Latitude Longitude Interpretasi Lapangan
41 114,6443221 -3,797821759 Non Mangrove Non Mangrove
42 114,6443221 -3,797821759 Non Mangrove Non Mangrove
43 114,6616668 -3,791325252 Non Mangrove Non Mangrove
44 114,6616668 -3,791325252 Non Mangrove Non Mangrove
45 114,6616668 -3,791325252 Non Mangrove Non Mangrove
46 114,6616668 -3,791325252 Non Mangrove Non Mangrove
47 114,6616668 -3,791325252 Non Mangrove Mangrove
48 114,6616668 -3,791325252 Non Mangrove Mangrove
49 114,6616668 -3,791325252 Non Mangrove Mangrove
50 114,6350435 -3,796691043 Non Mangrove Mangrove
51 114,6096087 -3,799737545 Perairan Perairan
52 114,6096087 -3,799737545 Perairan Perairan
53 114,6096087 -3,799737545 Perairan Perairan
54 114,6127888 -3,803697361 Perairan Perairan
55 114,6115006 -3,80700485 Perairan Perairan
56 114,6170441 -3,80722582 Perairan Perairan
57 114,6170441 -3,80722582 Perairan Perairan
58 114,6212352 -3,803801641 Perairan Perairan
59 114,6220067 -3,801121174 Perairan Perairan
60 114,6250586 -3,80140749 Perairan Perairan
54

Lampiran 3. Histogram NDVI

Histogram NDVI
55

Lampiran 4. Dokumentasi Pengambilan Titik Uji Akurasi di Lapangan

Pengambilan Titik Uji Akurasi di Ekowisata Mangrove

Pengambilan Titik Uji Akurasi di Ekowisata Mangrove


56

Lampiran 4 (Lanjutan).

Pengambilan Titik Uji Akurasi di Muara Sungai

Pengambilan Titik Uji Akurasi di Muara Sungai


57
58
59
60

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Banjarbaru pada tanggal 10 Oktober 1996 dari


pasangan Bapak Rempil Sabtanano dan Ibu Grace Arrang
Mangalik. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Penulis mengawali pendidikan ke SD Sanjaya
pada tahun 2005 dan lulus di tahun 2011. Pada tahun yang
sama penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMP
Sanjaya dan Lulus di tahun 2011. Tepat setelah menyelesaikan pendidikan di
SMP Sanjaya, penulis melanjutkan ke SMA PGRI 1 Banjarbaru dan lulus di tahun
2014. Pada tahun 2014 penulis resmi menjadi Mahasiswa di Program Studi Ilmu
Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat
melalui jalur SBMPTN.
Selama masa studi penulis aktif dalam berorganisasi pada Himpunan
Mahasiswa Generasi Ilmu Kelautan (HIMAGENIKA). Penulis pernah melakukan
Pengabdian Kepada Masyarakat di Desa Kuala Tambangan Kecamatan Takisung
Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2018 dan pada tahun yang sama penulis
berkesempatan melakukan Praktik Kerja Lapang di Balai Perikanan Budidaya
Payau dan Laut Teluk Tamiang.

Anda mungkin juga menyukai