Oleh:
Oleh:
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian skripsi
yang berjudul Analisis Komunitas Makrozoobentos Pada Sedimen Bar Estuari Bunati
Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu.
Pada kesempatan ini praktikan mengucapkan terima kasih kepada Dosen
Pembimbing Hamdani., S.Pi, M.Si (Ketua) dan Putri Mudhlika Lestarina., S.Pi, M.Si
(Anggota) yang telah memberikan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan
Usulan Penelitian Skripsi.
Semoga usulan penelitian skripsi ini bermanfaat bagi mahasiswa Ilmu
Kelautan dan juga bermanfaat bagi semua pihak. Penulis berharap dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi para pembaca terkait usulan penelitian skripsi ini.
Penulis sadar bahwa usulan penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN.................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................ iii
DAFTAR TABEL.................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................ iv
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian............................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 7
2.1. Estuari.................................................................................. 7
2.2. Sedimen Bar........................................................................ 11
2.3. Makrozoobentos................................................................... 16
2.4. Parameter Lingkungan......................................................... 20
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ............................................ 25
3.1. Waktu dan Tempat............................................................... 25
3.2. Alat dan Bahan..................................................................... 26
3.3. Perolehan Data..................................................................... 26
3.4. Analisis Data........................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Menurut Yeanny (2007) Makrozoobentos merupakan kelompok organisme
yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan serta memiliki ukuran
panjang lebih dari 1 mm. Makrozoobentos merupakan organisme yang hidup pada
lumpur, pasir, batu, kerikil, maupun sampah organic baik di dasar laut, danau, kolam
ataupun sungai. Organisme ini hidupnya menempel pada substrat, merayap maupun
menggali lubang di dasar perairan.
Dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan dalam proses
mineralisasi dan daur ulang bahan organik. Makrozoobentos memegang peranan
penting dalam ekosistem perairan, sehingga apabila komunitas makrozoobentos
terganggu maka akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem tersebut.
Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem
perairan hal ini berkaitan dengan perannya sebagai biota kunci dalam jaring makanan,
dan berfungsi sebagai degradator bahan organic. Kondisi tersebut menjadikan biota
makrozoobentos memiliki fungsi sebagai penyeimbang kondisi nutrisi lingkungan
dan dapat digunakan sebagai biota indikator akan kondisi lingkungan diwilayah
perairan (Lind, 1979 dalam Yasir, 2017)
Daerah estuari Desa Bunati Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu
merupakan salah satu daerah estuari yang memiliki nilai potensi sumberdaya tambang
batu bara dan perikanan yang cukup besar. Kegiatan masyarakat mulai dari perikanan
budidaya maupun perikanan tangkap hingga terminal khusus batu bara yang terdapat
disekitar daerah estuari Desa Bunati. Adanya kegiatan tersebut akan menyebabkan
potensi peningkatan kandungan unsur kimia di perairan atau bahkan memberikan
input tambahan sumber sedimen sehingga menyebabkan pendangkalan akibat proses
sedimentasi. Keberlangsungan hidup organisme makrozoobentos memerlukan
lingkungan yang sesuai baik kondisi fisik, kimia perairan maupun kesesuaian tipe
sedimen sebagai habitatnya. Namun saat ini, keberadaan organisme dasar tersebut
diduga menjadi terancam akibat adanya perubahan komposisi sedimen maupun sifat
fisik dan kimia perairan yang disebabkan oleh aktivitas pelabuhan khusus batu bara.
Habitatnya yang bercampur dengan sedimen di dasar perairan umumnya telah
bercampur dengan serpihan partikel batu bara dan senyawa kimianya. Kondisi
demikian menyebabkan hanya jenis makrozoobentos tertentu saja yang dapat hidup
pada lingkungan tersebut, sementara yang lainnya tidak dapat bertahan dan
berkembangbiak. Gangguan terhadap komunitas makrozoobentos dapat memberikan
pengaruh lanjutan terhadap komunitas ikan atau organisme lainnya terutama yang
terkait dengan makrozoobentos sebagai pakan alami dalam rantai makanan (Putri,
2018).
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini difokuskan untuk menganalisis
struktur komunitas makrozoobentos pada sedimen bar di daerah estuari Bunati.
Sejauh ini, informasi mengenai struktur komunitas makrozoobentos pada sedimen
bar di daerah estuari Bunati masih belum ada. Jika informasi ini tersedia tentunya
akan sangat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk pengelolaan keberlanjutan
wilayah estuari. Dari argumentasi tersebut dapat dilihat urgensi dan kebutuhan akan
penelitian komunitas makrozoobentos di daerah estuari Bunati.
Estuari merupakan habitat bagi berbagai macam biota, akan tetapi daerah
estuari merupakan wilayah perairan yang rentan terhadap perubahan. Salah satu
perubahan yang sering terjadi pada daerah estuari adalah sedimentasi. Sedimentasi
merupakan suatu proses penumpukan sedimen yang terbawa oleh arus, penumpukan
sedimen ini dapat mengakibatkan terbentuknya sedimen bar pada daerah estuari. Di
dalam sedimen bar umumnya terdapat berbagai macam organisme, khususnya
makrozoobentos. Sumber sedimen yang terdeposit pada sedimen bar tersebut berasal
dari sungai, pasir laut dan terminal khusus batubara yang ada di dalam sungai ataupun
yang ada di daerah pantai. Pergerakan sedimen tersebut dibawa oleh arus dan angin,
kondisi ini mempengaruhi pembentukan komposisi sedimen pada sedimen bar
tersebut yang merupakan habitat makrozoobentos. Perubahan komposisi sedimen
tersebut diduga akan mempengaruhi kehidupan makrozoobentos. Pada kondisi
tertentu beberapa jenis makrozoobentos dapat beradaptasi terhadap perubahan
tersebut, sementara yang lainnya tidak. Bahkan dimungkinkan ada jenis
makrozoobentos yang menghilang dari komunitas asalnya karena tidak mendapatkan
sumber makanan, persaingan dan tekanan lingkungan. Kondisi ini memungkinkan
adanya perbedaan jumlah jenis dan kepadatan makrozoobentos yang berbeda.
Berdasarkan uraian diatas perlu untuk memahami fenomena terbentuknya
sedimen bar yang berbeda posisi, baik yang berlokasi di dalam sungai dan di daerah
muara. Demikian juga dengan keberadaan jenis dan kepadatan makrozoobentos.
Penelitian ini mencoba mengungkapkan keberadaan jenis dan kepadatan
makrozoobentos pada sedimen bar yang berbeda, memahami keberadaan
makrozoobentos dan hubungannya dengan faktor lingkungan. Selain itu menilai
tingkat similiritas komunitas makrozoobentos pada sedimen bar yang berbeda di
estuari Desa Bunati, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu.
Wilayah penelitian ini dibatasi pada daerah estuari di Perairan Bunati, kecamatan
Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan.
1.4.2. Ruang Lingkup Materi
Penelitian ini dibatasi :
1. Identifikasi jenis makrozoobentos dan menentukan kepadatan
makrozoobentos.
2. Identifikasi tipe substrat pada sedimen bar
3. Pengukuran parameter lingkungan yaitu :
a. Parameter fisik perairan antara lain suhu, arus dan kedalaman;
b. Parameter kimia perairan antara lain salinitas, pH dan oksigen terlarut.
Secara sistematik road maps penelitian ini yang dimulai dari rumusan hingga pemecahan masalah adalah sebagai berikut:
Sedimen
Estuar Sedimentasi
Bar Analisis Tujuan 3
i Korelasi
Arus
INPUT iv OUTPUT
PROSES
6
Interpretasi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Estuari
7
Ekosistem estuari terdapat pada wilayah pertemuan antara sungai dan laut.
Tempat ini berperan sebagai daerah peralihan antara kedua ekosistem akuatik. Estuari
(muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari sering dipagari
oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam. Salinitas air berubah
secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga dipengaruhi oleh
siklus harian dengan pasang surut airnya. Nutrien dari sungai memperkaya daerah
estuari (Bengen 2004 dalam Amrul 2007).
Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam,
ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing,
kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang
menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air
tawar (Bengen 2004 dalam Amrul 2007).
Bentuk estuaria bervariasi dan sangat bergantung pada besar kecilnya air
sungai, kisaran pasang surut, dan bentuk garis pantai. Kebanyakan estuari didominasi
subtrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar maupun air laut.
Karena partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, subtrat dasar estuaria
biasanya kaya akan bahan organik. Bahan organic ini menjadi cadangan makanan
utama bagi organisme estuari. Perairan estuary secara umum dimanfaatkan manusia
sebagai tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan,
jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2002 dalam Amrul
2007).
Menurut Pratiwi dkk (2004) daerah estuari memiliki perbedaan salinitas yang
dapat mengakibatkan terjadinya proses pergerakan massa air. Air asin yang memiliki
massa jenis lebih besar dibandingkan dengan air tawar menyebabkan air asin di
muara yang berada di lapisan dasar dan mendorong air tawar ke permukaan menuju
laut. Sistem sirkulasi seperti inilah yang menyebabkan terjadinya proses up-welling.
Yaitu proses pergerakan antar massa air laut dan tawar yang menyebabkan terjadinya
stratifikasi atau tingkatan-tingkatan salinitas. Sehingga terbentuklah beberapa tipe
estuari, yaitu:
8
1. Estuari positif (baji garam)
Estuari tipe ini memiliki ciri khas yaitu gradien salinitas di permukaan lebih
rendah dibandingkan dengan salinitas pada bagian dalam atau dasar perairan.
Rendahnya salinitas di permukaan perairan disebabkan karena air tawar yang
memiliki berat jenis lebih ringan dibanding air laut akan bergerak ke atas dan terjadi
percampuran setelah beberapa saat kemudian. Kondisi ini, juga dapat disebabkan pula
oleh rendahnya proses penguapan akibat sedikitnya intensitas matahari yang masuk
pada wilayah estuari. Tipe estuari ini dapat ditemukan di wilayah sub tropis yang
mana terjadinya penguapan rendah dan volume air tawar yang relatif banyak.
Sedangkan untuk wilayah tropis sendiri, dapat pula ditemukan tipe ini apabila terjadi
musim penghujan. Yang mana intensitas cahaya matahari pada musim tersebut sedikit
dan massa air tawar yang masuk lebih besar (Knox, 1986).
2. Estuari negatif
Estuaria tipe ini biasanya ditemukan di daerah dengan sumber air tawar yang
sangat sedikit dan penguapan sangat tinggi seperti di daerah iklim gurun pasir.
Keadaan dari estuari tipe ini dikarenakan oleh air laut yang masuk ke daerah muara
sungai melewati permukaan sehingga mengalami sedikit pengenceran karena
bercampur dengan air tawar yang terbatas jumlahnya. Lalu tingginya intensitas
cahaya matahari menyebabkan penguapan sangat cepat sehingga air permukaan
hipersalin (banyak mengandung garam) (Knox, 1986).
3. Estuari sempurna
Percampuran sempurna menghasilkan salinitas yang sama secara vertical dari
permukaan sampai ke dasar perairan pada setiap titik. Estuaria seperti ini kondisinya
sangat tergantung dari beberapa faktor antara lain: volume percampuran masa air,
pasang surut, musim, tipe mulut muara dan berbagai kondisi khusus lainnya. Estuaria
percampuran sempurna kadang terjadi atau ditemukan di daerah tropis khususnya
ketika volume dan kecepatan aliran air tawar yang masuk ke daerah muara seimbang
dengan pasang air laut serta ditunjang dengan mulut muara yang lebar dan dalam
(Knox, 1986).
9
Estuari sering mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber
dari aktivitas manusia, yang menjadi ancaman serius terhadap kelestarian perikanan
laut. Akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir, terutama diakibatkan
olehtingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas industri. Aktifitas
pemanfaatanwilayah pesisir seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang
pemanfaatan potensi sumberdayanya menurun dan rusak. Hal ini karena aktifitas-
aktifitas yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mengubah tatanan lingkungan di wilayah pesisir sehingga mempengaruhi kehidupan
organisme diwilayah pesisir. Sebagai contoh, adanya limbah buangan baik dari
pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini mungkin tidak
mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem pesisir yang
bertahan, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun lainnya yang
sensitif. Logam berat, misalnya mungkin tidak berpengaruh terhadap kehidupan
tumbuhan bakau (mangrove), tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan ikan dan
udang-udangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut.
Selain dari itu penggundulan hutan juga akan menyebabkan bertambahnya
aliran air permukaan dari daratan dimana akan menambah sedimentasi di sungai-
sungai dan akhirnya mengakibatkan pendangkalan estuaria/perairan pantai.
Pendalaman estuaria karena pengerukan akan menambah volume estuaria dan
pembukaan (reklamasi) daerah pasang surut akan mengurangi aliran pasut, mengubah
proses pencampuran dan pola sirkulasi serta mengurangi waktu kuras
estuaria.Dengan berkurangnya waktu kuras estuaria, maka sirkulasi di estuaria tidak
dapat menanggulangi dan mengatur pencemar dalam jumlah besar.
Kerusakan ekosistem estuaria tentunya akan menurunkankan perananekologi
ekosistem estuaria. Bengen (2004) dalam Amrul (2007) mengemukakan peran
ekologi ekosistemestuaria diantaranya:
1. Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang
surut (tidal circulation);
10
2. Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria
sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makan;
3. Sebagai tempat untuk bereproduksi dan atau tempat tumbuh besar (nursery
ground) terutama bagi sejumlah spesies udang dan ikan.
Sedangkan secara umum estuaria dimanfaatkan oleh manusia sebagai berikut:
a. Sebagai tempat pemukiman;
b. Sebagai tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan;
c. Sebagai jalur transportasi;
d. Sebagai pelabuhan dan kawasan industri.
11
Menurut Garrison (2006) dalam Muhaimin (2013) sedimen dapat digolongkan
menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Sedimen terrigenous; yaitu jenis sedimen yang berasal dari erosi benua atau
pulau, letusan gunung berapi dan segumpalan debu. Sedimen ini lebih dikenal
dengan batuan yang berasal dari gunung berapi seperti granit yang bersumber
dari tanah liat dan batuan kwarsa yang menjadi dua komponen penyusun
sedimen terrigenous.
2. Sedimen lithogenous; yaitu sedimen yang berasal dari sisi pengikisan batuan
di darat. Hal ini diakibatkan karenaadanya suatu kondisi fisik yang ekstrim,
seperti adanya pemanasan dan pendinginan terhadap batu-batuan yang terjadi
secara terus-menerus. Partikel-partikel ini diangkut dari daratan ke laut oleh
sungai-sungai. Begitu sedimen mencapai lautan, partikel-partikel yang
berukuran besar cenderung untuk lebih cepat tenggelam dan menetap dari
yang berukuran lebih kecil. Kecepatan tenggelamnya partikel-partikel ini telah
dihitung, dimana jenis partikel pasir hanya memerlukan waktu kira-kira 1,8
hari untuk tenggelam dan menetap di atas lapisan atas dasar laut
yangmempunyai kedalaman 4.000 meter. Sedangkan jenis partikel lumpur
yang berukuran lebih kecil membutuhkan waktu kira-kira 185 hari dan jenis
partikel tanah liat membutuhkan waktu kira-kira 51 tahun pada kedalaman
kolom air yang sama. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau pasir
akan segera diendapkan begitu sampai dilau dan cenderung untuk mengumpul
di daerah pantai (Hutabarat dan Stewart, 2000 dalam Muhaimin 2013).
3. Sedimen biogenous; adalah sedimen yang berasal dari sisa-sisa rangka
organisme hidup. Jenis sedimen ini digolongkanke dalam dua tipe utama yaitu
calcareous dan siliceous ooze. Material siliceous dan calcareous pada waktu
itu di ekstrak dari laut dengan aktivitas normal dari tanaman dan hewan untuk
membangun rangka dan cangkang. Kebanyakan organisme yang
menghasilkan sedimen biogenous mengapung bebas di perairan seperti
plankton. Sedimen biogenous paling berlimpah dimana cukup nutrien yang
12
mendorong produktivitas biologi yang tinggi, selalu terjadi pada wilayah
dekat continental margin dan area upwelling. Thurman dan Trujillo (2004)
dalam Muhaimin (2013) menyatakan bahwa dua campuran kimiawi yang
paling umum terdapat dalam sedimen biogenous adalah calcium carbonat
(CaCO3), dimana tersusun dari mineral calcite dan silica (SiO2).
Seringkalisilica secara kimiawi dikombinasikan dengan air untuk
menghasikan SiO2 dan nH2O.
4. Sedimen hydrogenous; adalah sedimen yang terdiri dari mineral yang
mempercepat proses presipitasi dari laut. Jenis partikel ini dibentuk sebagai
hasil reaksi kimia dalam air laut. Reaksi kimia yang terjadidisini bersifat
sangat lambat, dimana untuk membentuk sebuah nodule yang besar
diperlukan waktu selama berjuta-juta tahun dan proses ini kemudian akan
berhenti sama sekali jika nodule telah terkubur di dalam sedimen. Di pusat
perputaran, jauh dari benua, partikel sedimen terakumulasi sangat lambat
(Garrison, 2006 dalam Muhaimin 2013).
Sedimen Bar merupakan salah satu bentuk sedimentasi marine yaitu
sedimentasi yang diangkut oleh air laut. Hal ini disebabkan oleh pengendapan air laut
dikarenakan adanya gelombang. Hasil pengendapan oleh air laut ini membentuk bar.
Bar adalah gosong pasir penghalang gelombang yang terbentuk oleh endapan dari
gelombang dan arus (Gambar 2.2). Bar merupakan bagian dari pantai, yang tampak
pada saat air surut. Sedimen Bar atau biasa disebut sand bar adalah sejenis gosong
yang terdiri dari pasir dan bersifat sebagai penghalang yang tampak pada saat sedang
surut dan hilang pada saat pasang. Sedimen bar ini memiliki banyak macam model
atau bentuk, misalnya berbentuk seperti kipas, bulat, dan ada yang memanjang sejajar
dengan garis pantai. Suatu hal lumrah bila diketemukan dua atau lebih dari dua bar
berkembang sejajar dengan pantai. Bar yang lebih dalam terbentuk pertama kali oleh
gelombang yang lemah dapat maju lebih jauh ke arah bagian laut yang lebih dangkal
(Hallaf, 2006 dalam Muhaimin 2013).
13
Endapan Sedimen
pada daerah estuari
Sedimen bar merupakan bagian dari bentuk lahan fluvial yang berada pada
lengkungan sungai. Sedimen bar merupakan pembentukan dari endapan sedimen
yang terangkut oleh aliran sungai dan mengendap kearah lengkung luar meander dan
masih terdampak oleh proses-proses geomorfik sungai seperti banjir, sehingga biasa
juga disebut dengan daratan banjir (Morisawa, 1968 dalam Wibowo dkk 2016).
Pembentukan area sedimen bar pada awalnya hanya suatu pengendapan yang
terjadi akibat adanya suatu gisik atau igir pada bagian lengkung dalam badan sungai,
lalu terjadi penumpukkan endapan baru yang membentuk igir baru di bagian slipe-off
slope dari point bar (Leopold and Wolman, 1960 dalam Wibowo dkk 2016).
Menurut Folk (1980) dalam Wibowo dkk (2016) perbedaan lapisan sedimen satu
dengan lainnya memiliki karakteristik yang berbeda, yang akan diukur menurut
ukuran butir sedimennya. Ukuran butir sedimen merupakan pengukuran kuantitatif
yang menggunakan parameter dari ukuran dan sortasi suatu sedimen.
Luas wilayah yang relatif sempit dan kecil memiliki variasi yang hampir
seragam dengan adanya kondisi fisik secara lateral (horizontal) dan vertikal. Kondisi
secara lateral dapat terlihat suatu morfologi yang terjadi di area pengendapan pada
lengkung dalam meander sungai, sedimen bar, dan bentuk dari pemotongan tebing di
lengkung luar area sungai. Di sisi lain secara vertikal, dapat dilihat bagaimana
14
karakter dari lapisan sedimen yang ada dari permukaan hingga ke dasar sungai.
Pendekatan geografis berupa pendekatan spasial atau keruangan terkait dengan
perbedaan fenomena geomorfologis meliputi kondisi fisik yang terdapat di
lingkungan sekitar meander sungai dapat menjadi suatu acuan untuk dapat
mengidentifikasi karakteristik bentuk kenampakan point bar. Berbagai perbedaan
kenampakan morfometri dan morfografi point bar tersebut dapat 3 menggambarkan
kondisi morfologi yang khas dari suatu sedimen bar tersebut (Wibowo dkk, 2016).
Beberapa bentuk sedimen bar yang dikenal antara lain, fleche, tombolo, pantai
dengan bagian depannya terdapat akumulasi sedimen (terpisah dari pantai itu sendiri)
dipisahkan oleh laguna, atau dengan bagian depan terakumulasi sedimen berbentuk
segitiga.
1. Lidah pasir atau fleche, merupakan bentukan daratan yang menjorok ke laut
atau secara horizontal pantai, dimana proses pembentukannya terjadi akibat
terbawanya sedimen oleh arus pantai yang secara perlahan-lahan membentuk
daratan baru. Pada beberapa daerah, fleche dapat memanjang hingga puluhan
kilometer, sehingga telah menyerupai daratan. Fleche biasanya akan bergerak
tergantung arus dan letaknya. Pada daerah dengan arus dan angin kencang,
fleche dapat berpindah tempat dan akan terus bertambah, sedangkan pada
keadaan yang sebaliknya, fleche berkembang secara perlahan. Pada pantai
tertututp, sedimen akan bergerak atau berpindah sesuai dengan arah arus yang
datang, demikian juga terjadi pada pantai yang kedua sisinya terlindung oleh
batu karang.
2. Delta, salah satu bentuk sedimentasi yang cenderung di angkut dari hulu dan
diendapkan di muara sungai dan disebabkan oleh adanya pengaruh ombak dan
pasang surut.
3. Gosong pasir, gundukan atau endapan pasir yang muncul pada saat surut.
4. Dunne, endapan di daerah pantai (supratidal) yang cenderung terjadi karena
diakibatkan oleh pengaruh angin.
15
5. Pasir penghalang, endapan pasir yang muncul di depan garis pantai baik
terletak sejajar, tegak lurus dan bergerombol padadaerah intertidal pantai.
2.3. Makrozoobentos
Bentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar
perairan atau di permukaan substrat dasar perairan (Odum, 1993 dalam Maula 2018).
Bentos adalah organisme dasar perairan, baik berupa hewan maupun tumbuhan, baik
yang hidup di permukaan dasar ataupun di dasar perairan. Semula bentos hanya
digolongkan sebagai fitobentos dan zoobentos, tetapi Hutchinson menggolongkan
bentos berdasarkan ukurannya, yaitu bentos mikroskopis atau dikenal dengan sebutan
mikrobentos dan makrobentos.
16
Komunitas fauna bentik (Zoo-bentos) yang hidup di dasar perairan.
Komunitas fauna terdiri dari atas lima kelompok, yaitu Mollusca, polychaeta,
crustacea, echinodermata, dan kelompok lain yang terdiri atas beberapa takson kecil
seperti sipunculidae, pogonophora, dan lainnya. Berdasarkan kebiasaan hidupnya,
fauna bentik dapat dikelompokkan sebagai infauna, yaitu yang hidup menetap di
dalam sedimen dan epifauna, yakni yang hidup menempel pada daun lamun dan di
atas dasar laut (Fachrul, 2007).
Menurut vernberg (1981) dalam Fachrul (2007) berdasarkan ukurannya
bentos dibedakan menjadi:
1) Makrobentos; Organisme yang hidup di dasar perairan dan tersaring oleh
saringan yang berukuran matasaring 1,0 x 1,0 milimeter atau 2,0x2,0
milimeter, yang pada pertumbuhan dewasanya berukuran 3-5 milimeter.
Berdasarkan letaknya dibedakan menjadi infauna dan epifauna, di bawah
lumpur, sedngkan epifauna adalah kelompok makrobentos yang hidup di
permukaan substrat
2) Mesobentos; Organisme yang mempunai ukuran 0,1 - 1,0 milimeter, milimer,
misalnya golongan protozoa yang berupakan besar (cidaria), cacing yang
berukuran kecil dan crustaceae yang sangat kecil.
3) Mikrobentos; Organisme yang mempunyai ukuran kurang dari 0,1 milimeter,
misalnya protozoa. Daya tahan dan adaptasi bentos berbeda-beda anatar jenis
yang satu dengan yang lainnya, yaitu ada yang tahan terhadap keadaan
perairan setempat, tetapi ada pula yang tidak tahan sehingga keberadaan
bentos tertentu dapat dijadikan pentunjuk dalam menialai kualitas perairan
tersebut.
Makrobentos merupakan organisme yang mencapai ukuran sekurangnya 3- 5
mm pada saat pertumbuhan maksimum. Organisme yang mencapai makrobentos
biasanya meliputi Insekta, Moluska, Oligochaeta, Crustacea-amphipoda, Isopoda,
Decapoda, dan Nematoda (Cummins, 1975 dalam Khusna, 2016).
17
Pada lingkungan yang dinamis seperti sungai hewan benthos (zoobenthos)
dapat memberikan gambaran mengenai kualitas perairan, karena benthos hidup relatif
menetap dan mengalami kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya.
Kelompok hewan ini dapat memberikan gambaran mengenai perubahan faktor-faktor
lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata
makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos. Bentuk luar (morfologi)
makrozoobentos adalah invertebrata (hewan yang tidak memiliki tulang belakang)
dan hidup menetap di dasar laut, ada yang menempel pada substrat, dan ada yang bisa
merambat dalam substrat. Prinsip tubuh dari salah satu filum yang termasuk dalam
hewan makrozoobentos adalah filum Mollusca, tubuh hewan ini triploblastik,
bilateral simetri, umunya memiliki mantel yang dapat menghasilkan bahan cangkok
berupa kalsium karbonat (Rusyana, 2011 dalam Khusna, 2016).
Makrozoobentos dapat diklasifikasikan berdasarkan cara makanannya
kedalam lima kelompok yaitu hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan
detritus yang mengendap di permukaan, hewan yang menelan makanan dari atas
permukaan (Knox, 1981 dalam Khusna, 2016). Menurut Odum (1971) dalam Khusna
(2016) berdasarkan kebiasaan makannya, yaitu:
1. Filter feeder adalah hewan yang menyaring partikel-partikel detritus yang
masih melayang dalam perairan. Contohnya, Balanus (Crustacea), Nereis
(Polychaeta), Crepidula (Gastropoda)
2. Deposit feeder adalah hewan bentos yang memakan partikel-partikel
detritus yang telah mengendap pada dasar perairan. Contohnya, Terella
dan amphitrile (Polychaeta), Tellina dan Arba (Bivalvia)
Menurut Setiawan (2008) dalam Maula (2018), peranan makrozoobentos
diperairan adalah:
a. Mendaur ulang bahan organik dan membantu proses mineralisasi
Dalam komunitas perairan, makrozoobentos memiliki peranan yang penting
dalam mendaur ulang bahan organik sehingga dapat digunakan dalam menduga
tingkat kesuburan perairan. Menurut Odum (1993) dalam Maula (2018), organisme
18
bentik mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sumberdaya perikanan melalui
hubungan rantai makanan. Hubungan ini berdasarkan atas rantai makanan detritus
yang dimulai dari organisme mati. Organisme mati ini diuraikan oleh
mikroorganisme, kemudian mikroorganisme beserta hancurannya dimakan oleh
pemakan detritus (detrivor). Detrivor ini selanjutnya dimakan oleh beberapa jenis
ikan dan udang.
b. Mempunyai kedudukan yang penting dalam rantai makanan
Rantai makanan adalah perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup
yang satu ke makhluk hidup yang lain melalui proses makan memakan dengan urutan
tertentu. Suatu rantai makanan dapat disusun dalam piramida makanan adalah
komposisi rantai makanan yang semakin keatas jumlahnya semakin kecil (Sumantri,
2009 dalam Maula 2018).
Menurut Jutting (1956) dalam Maula (2018), hewan dasar mempunyai
kedudukan sebagai konsumen di dalam rantai makanan, yaitu zooplankton atau
bahkan memakan hewan bentik lainnya. Bentos dapat pula berperan sebagai
produsen, baik primer maupun sekunder. Pennak (1989) dalam Maula (2018)
menyebutkan bahwa bentos khususnya larva serangga merupakan makanan alami
bagi ikan pemakan hewan.
c. Indikator pencemaran
Menurut Wardhana (2006) dalam Maula (2018) makrozoobentos memiliki
tingkat toleransi yang berbeda. Tingkat toleransi tersebut dapat digunakan sebagai
tolak ukur kualitas perairan. Makrozoobentos indikator yang dapat digunakan untuk
menilai kualitas air
Makrozoobentos merupakan organisme perairan yang hidupnya relative tetap,
sehingga terjadinya perubahan kualitas air dan substrat pada tempat hidupnya sangat
mempengaruhi komposisi dan kelimpahannya. Komposisi dan kelimpahan
makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap lingkungan.
Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas perairan dengan
cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relative stabil,
19
komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relative tetap (APHA, 1992 dalam
Sayekti, 2006).
a. Suhu
20
suhu perairan sebesar 10oC dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi
oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi, 2003).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen yang
terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobentos adalah yang
lebih kurang dari 35oC (Retnowati, 2003).
b. Arus
Arus sebagai faktor pembatas mempunyai peran yang sangat penting dalam
perairan, baik pada ekosistem lotic (mengalir) maupun ekosistem lentic
(menggenang) karena arus berpengaruh terhadap distribusi organisme, gas-gas
terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan arus umumnya ditentukan
oleh kemiringan, kedalaman dan sedimennya (Barus, 2002 dalam Umimah, 2012).
c. Kedalaman
21
2.4.2. Parameter Kimia Perairan
22
b. Salinitas
Salinitas adalah jumlah total garam-garam terlarut (dinyatakan dalam gram),
yang terkandung dalam 1 kg air laut. Salinitas merupakan faktor abiotik yang sangat
menentukan penyebaran biota laut termasuk makrozoobentos. Salinitas juga berperan
dalam mempengaruhi proses osmoregulasi biota perairan termasuk makrozoobentos.
Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan, walaupun
terdapat sedikit perbedaan yang tidak mempengaruhi ekologi secara nyata, sedangkan
pada kedalaman 0 m hingga hampir mencapai 1.000 m salinitas berkisar antara
35,5‰ dan 37‰ (Nybakken 1992 dalam Umimah 2012).
Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh
organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin
tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya sehingga organisme harus
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu
melalui mekanisme osmoregulasi (Koesoebiono, 1981 dalam Payung 2017), yaitu
kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal.
Selanjutnya Nybakken (1992) dalam Payung (2017), menjelaskan bahwa
fluktuasi salinitas di daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat
hujan lebat sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang
sangat tinggi pada siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang
hidup di daerah intertidal biasanya telah beradaptasi untuk mentolelir perubahan
salinitas hingga 15‰.
Menurut Mudjiman (1981) dalam Payung (2017), kisaran salinitas yang
dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada
perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos
seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam perairan,
terutama dalam proses respirasi sebagian besar organisme air termasuk
makrozoobenthos. Menurut Darmono (2001) dalam Yasir (2001) kehidupan makhluk
23
hidup di dalam air tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan
konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan oksigennya
sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar
oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan suhu sebesar 1 oC akan
22
meningkatkan konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003).
Keberadaan O2 terlarut di dalam substrat dapat berkurang, hal ini disebabkan
oleh banyaknya plankton diperairan tersebut. Tingginya kandungan bahan organik
dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan akan
O2 terlarut. Kadar O2 terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/LI
(Effendi, 2003).
Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana
jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanamannya dan dari atmosfir (udara)
yang masuk kedalam air. Fardiaz (1992) dalam Yasir (2017) menyatakan konsentrasi
oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan biota perairan yang
membutuhkan oksigen akan mati. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada
temperatur 0ºC adalah sebesar 14,16 mg/l. Peningkatan temperatur air akan
menyebabkan konsentrasi oksigen dalam perairan akan menurun, demikian pula
sebaliknya. Kelarutan oksigen akan berkurang dengan meningkatnya salinitas
sehingga oksigen di laut ataupun perairan estuary cenderung lebih rendah dari kadar
oksigen di perairan tawar (Effendi, 2003). Kisaran toleransi makrozoobenthos
terhadap oksigen terlarut berbeda-beda.
24
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan agustus 2020 yang bertempat di
daerah Estuari Bunati Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu yang dapat
dilihat pada Gambar 3.1. Penelitian ini meliputi pengambilan data secara insitu dan
analisis sampel data akan dilakukan di Laboratorium Bio-Ekologi Laut dan
Oseanografi Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat.
25
3.2. Alat dan Bahan
1. Suhu
1. Salinitas
2. pH
3. DO
3.4.1. Makrozoobentos
Alcantara, PH, and Weiss VS. 1991. Ecological Aspects of the Polychaeta Population
Associated with the Red Mangrove Rhizophora mangle at Laguna De
Terminos, Southern Part of the Gulf of Maxico. Ophelia 5 (Suppl) : 451 –
462.
Anwar, N. 2008. Karateristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi
serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Pelabuhan Ratu. Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB.
Barnes RSK dan Hughes RN. 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd ed.
London: Blackwell Science Ltd.
Bengen, DG, 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaanya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.
Cummins, K.W. 1975. Macroinvertebrates. Hal. 170. In Whitton, B.A (Ed). River
Ecology. Blackwell Scientific Publication. Oxford
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 320
hal.
Jeffries DS and Mills D. 1996. Freshwater ecology, principles, and applications. John
Wiley and Sons. Chichester, UK. 285 p.
Kinne, O. 1964. The Effect of Temperature and Salinity on Marine and Brackiswater
Animals II. Jurnal of Oceanography Marine Biology Annual review, 2 :hlm.
281-339.
LEEDER, M.R. 1982. Sedimentology, Process and Product. Chapman & Hall, 2-6
Boundaty Row, London tp: 284.
Lind, O.T. 1979. Handbook of common Method in Limnology. The C.V. Mosby
Company. St. Louis, Missouri. 199 hlm.
Morisawa, M., 1968. Streams: Their Dynamics and Morphology. London: McGraw
Hill Book Company
Pratiwi, N.T.M., Krisanti, N., Maryanto, I., Ubaidillah, R. 2004. Panduan Pengukuran
Kualitas Air Sungai. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sayekti, L.A. 2006. Distribusi dan struktur komunitas makrozoobentos serta kondisi
perairan di Teluk Jakarta. Fakultas perikanan dan kelautan. Institut
pertanian bogor. Bogor.
Supriadi, I.H. 2001. Dinamika Estuari Tropik. Pusat Penelitian Oseanografi. LIPI –
Jakarta. Oseana; Volume XXVI, Nomor 4. 1-11.
Wardhana, A.W., 1995, Dampak Pencemaran Lingkungan, Edisi II, hal. 35, Andi
Offset, Yogyakarta.
Wibowo, Y.S.A., Hariadi, H., Marwoto, J. 2016. Pengaruh Arus Laut Dan Pasang
Surut Terhadap Distribusi Sedimen Tersuspensi Di Perairan Muara Sungai
Sembilangan Kaliprau Pemalang. JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5,
Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 490 – 497.