Anda di halaman 1dari 46

USULAN PENELITIAN

ANALISIS KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS PADA SEDIMEN BAR


DI ESTUARI BUNATI KECAMATAN ANGSANA KABUPATEN TANAH
BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Oleh:

HELMA YANTI KIRA


1610716120001

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
USULAN PENELITIAN

ANALISIS KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS PADA SEDIMEN BAR


DI ESTUARI BUNATI KECAMATAN ANGSANA KABUPATEN TANAH
BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Melaksanakan Kegiatan Penelitian


Pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat

Oleh:

HELMA YANTI KIRA


1610716120001

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian skripsi
yang berjudul Analisis Komunitas Makrozoobentos Pada Sedimen Bar Estuari Bunati
Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu.
Pada kesempatan ini praktikan mengucapkan terima kasih kepada Dosen
Pembimbing Hamdani., S.Pi, M.Si (Ketua) dan Putri Mudhlika Lestarina., S.Pi, M.Si
(Anggota) yang telah memberikan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan
Usulan Penelitian Skripsi.
Semoga usulan penelitian skripsi ini bermanfaat bagi mahasiswa Ilmu
Kelautan dan juga bermanfaat bagi semua pihak. Penulis berharap dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi para pembaca terkait usulan penelitian skripsi ini.
Penulis sadar bahwa usulan penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan selanjutnya.

Banjarbaru, Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN.................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................ iii
DAFTAR TABEL.................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................ iv
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian............................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 7
2.1. Estuari.................................................................................. 7
2.2. Sedimen Bar........................................................................ 11
2.3. Makrozoobentos................................................................... 16
2.4. Parameter Lingkungan......................................................... 20
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ............................................ 25
3.1. Waktu dan Tempat............................................................... 25
3.2. Alat dan Bahan..................................................................... 26
3.3. Perolehan Data..................................................................... 26
3.4. Analisis Data........................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

2.1. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan.................. 22


3.1. Alat Yang Digunakan................................................................. 26
3.2. Bahan Yang Digunakan............................................................. 26
3.3. Skala Wentworth Untuk Mengklasifikasikan Partikel Sedimen 31

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

2.1. Estuari Sebagai Daerah Peralihan.............................................. 7


2.2. Endapan Sedimen Pada Daerah Estuari..................................... 14
2.3. Makrozoobentos......................................................................... 16
3.1. Lokasi Penelitian........................................................................ 25
BAB 1. PENDAHULUAN
iv

1.1. Latar Belakang

Wilayah estuaria merupakan pesisir semi tertutup (semi-enclosed coastal)


dengan badan air mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka (open sea) dan
kadar air laut terlarut dalam air tawar dari sungai. Pada wilayah tersebut terjadi
percampuran antara masa air laut dengan air tawar dari daratan, sehingga air menjadi
payau (brackish). Wilayah ini meliputi muara sungai dan delta-delta besar, hutan
mangrove dekat estuaria dan hamparaniiilumpur dan pasir yang luas. Wilayah ini juga
dapat dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis, karena selalu terjadi proses dan
perubahan baik lingkungan fisik maupun biologis. Bercampurnya masa air laut
iii
dengan air tawar menjadikan wilayah estuaria memiliki keunikan tersendiri, baik
pada bentuk geomorfologi maupun pada fluktuasi airnya (Supriadi, 2001).
Daerah estuari yang merupakan penghubung air laut dan air tawar rentan
terjadi perubahan pada geomorfologi yang disebabkan oleh arus dari daerah hulu
sungai maupun pasang surut gelombang dari laut. Adanya proses tersebut
mengakibatkan adanya penumpukan sedimen pada daerah estuari yang sering disebut
dengan sedimen bar. Menurut Morisawa (1968) dalam Wibowo dkk (2016), sedimen
bar terdiri dari partikel yang telah tersortir dengan baik dan pada biasanya
mencerminkan kapasitas keseluruhan sungai. Sedimen bar pada umumnya ditemukan
pada daerah estuari. Daerah estuari itu sendiri merupakan ekosistem produktif yang
setara dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang, karena perannya adalah
sebagai sumber zat hara, memiliki komposisi tumbuhan yang beragam sehingga
proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun, serta sebagai tempat
terjadinya fluktuasi permukaan air akibat aksi pasang surut. Tingginya produktifitas
di wilayah estuaria di dukung juga oleh tersedianya kandungan nutrien yang cukup
bagi organisme di perairan tersebut, salah satunya adanya makrozoobentos.

1
Menurut Yeanny (2007) Makrozoobentos merupakan kelompok organisme
yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan serta memiliki ukuran
panjang lebih dari 1 mm. Makrozoobentos merupakan organisme yang hidup pada
lumpur, pasir, batu, kerikil, maupun sampah organic baik di dasar laut, danau, kolam
ataupun sungai. Organisme ini hidupnya menempel pada substrat, merayap maupun
menggali lubang di dasar perairan.
Dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan dalam proses
mineralisasi dan daur ulang bahan organik. Makrozoobentos memegang peranan
penting dalam ekosistem perairan, sehingga apabila komunitas makrozoobentos
terganggu maka akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem tersebut.
Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem
perairan hal ini berkaitan dengan perannya sebagai biota kunci dalam jaring makanan,
dan berfungsi sebagai degradator bahan organic. Kondisi tersebut menjadikan biota
makrozoobentos memiliki fungsi sebagai penyeimbang kondisi nutrisi lingkungan
dan dapat digunakan sebagai biota indikator akan kondisi lingkungan diwilayah
perairan (Lind, 1979 dalam Yasir, 2017)
Daerah estuari Desa Bunati Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu
merupakan salah satu daerah estuari yang memiliki nilai potensi sumberdaya tambang
batu bara dan perikanan yang cukup besar. Kegiatan masyarakat mulai dari perikanan
budidaya maupun perikanan tangkap hingga terminal khusus batu bara yang terdapat
disekitar daerah estuari Desa Bunati. Adanya kegiatan tersebut akan menyebabkan
potensi peningkatan kandungan unsur kimia di perairan atau bahkan memberikan
input tambahan sumber sedimen sehingga menyebabkan pendangkalan akibat proses
sedimentasi. Keberlangsungan hidup organisme makrozoobentos memerlukan
lingkungan yang sesuai baik kondisi fisik, kimia perairan maupun kesesuaian tipe
sedimen sebagai habitatnya. Namun saat ini, keberadaan organisme dasar tersebut
diduga menjadi terancam akibat adanya perubahan komposisi sedimen maupun sifat
fisik dan kimia perairan yang disebabkan oleh aktivitas pelabuhan khusus batu bara.
Habitatnya yang bercampur dengan sedimen di dasar perairan umumnya telah
bercampur dengan serpihan partikel batu bara dan senyawa kimianya. Kondisi
demikian menyebabkan hanya jenis makrozoobentos tertentu saja yang dapat hidup
pada lingkungan tersebut, sementara yang lainnya tidak dapat bertahan dan
berkembangbiak. Gangguan terhadap komunitas makrozoobentos dapat memberikan
pengaruh lanjutan terhadap komunitas ikan atau organisme lainnya terutama yang
terkait dengan makrozoobentos sebagai pakan alami dalam rantai makanan (Putri,
2018).
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini difokuskan untuk menganalisis
struktur komunitas makrozoobentos pada sedimen bar di daerah estuari Bunati.
Sejauh ini, informasi mengenai struktur komunitas makrozoobentos pada sedimen
bar di daerah estuari Bunati masih belum ada. Jika informasi ini tersedia tentunya
akan sangat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk pengelolaan keberlanjutan
wilayah estuari. Dari argumentasi tersebut dapat dilihat urgensi dan kebutuhan akan
penelitian komunitas makrozoobentos di daerah estuari Bunati.

1.2. Perumusan Masalah

Estuari merupakan habitat bagi berbagai macam biota, akan tetapi daerah
estuari merupakan wilayah perairan yang rentan terhadap perubahan. Salah satu
perubahan yang sering terjadi pada daerah estuari adalah sedimentasi. Sedimentasi
merupakan suatu proses penumpukan sedimen yang terbawa oleh arus, penumpukan
sedimen ini dapat mengakibatkan terbentuknya sedimen bar pada daerah estuari. Di
dalam sedimen bar umumnya terdapat berbagai macam organisme, khususnya
makrozoobentos. Sumber sedimen yang terdeposit pada sedimen bar tersebut berasal
dari sungai, pasir laut dan terminal khusus batubara yang ada di dalam sungai ataupun
yang ada di daerah pantai. Pergerakan sedimen tersebut dibawa oleh arus dan angin,
kondisi ini mempengaruhi pembentukan komposisi sedimen pada sedimen bar
tersebut yang merupakan habitat makrozoobentos. Perubahan komposisi sedimen
tersebut diduga akan mempengaruhi kehidupan makrozoobentos. Pada kondisi
tertentu beberapa jenis makrozoobentos dapat beradaptasi terhadap perubahan
tersebut, sementara yang lainnya tidak. Bahkan dimungkinkan ada jenis
makrozoobentos yang menghilang dari komunitas asalnya karena tidak mendapatkan
sumber makanan, persaingan dan tekanan lingkungan. Kondisi ini memungkinkan
adanya perbedaan jumlah jenis dan kepadatan makrozoobentos yang berbeda.
Berdasarkan uraian diatas perlu untuk memahami fenomena terbentuknya
sedimen bar yang berbeda posisi, baik yang berlokasi di dalam sungai dan di daerah
muara. Demikian juga dengan keberadaan jenis dan kepadatan makrozoobentos.
Penelitian ini mencoba mengungkapkan keberadaan jenis dan kepadatan
makrozoobentos pada sedimen bar yang berbeda, memahami keberadaan
makrozoobentos dan hubungannya dengan faktor lingkungan. Selain itu menilai
tingkat similiritas komunitas makrozoobentos pada sedimen bar yang berbeda di
estuari Desa Bunati, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Mengetahui jenis dan kepadatan makrozoobentos pada sedimen bar yang
berbeda di estuari Desa Bunati.
2. Mengetahui faktor lingkungan seperti kualitas air, jenis sedimen dan
komposisinya pada sedimen bar.
3. Mengetahui hubungan makrozoobentos dengan faktor lingkungan
4. Menilai tingkat similiritas komunitas makrozoobentos pada sedimen bar yang
berbeda.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Tersedianya informasi mengenai tingkat kepadatan komunitas makrozoobentos
yang terdapat pada sedimen bar di estuari Bunati.
2. Tersedianya informasi mengenai profil lingkungan dengan faktor pembatas
3. Tersedianya informasi makrozoobentos hubungannya dengan faktor
lingkungan
4. Tersedianya informasi tingkat similiritas komunitas makrozoobentos pada
sedimen bar yang berbeda
Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan referensi kebijakan bagi
pemangku kepentingan.
1.4. Ruang Lingkup
4
1.4.1. Ruang Lingkup Wilayah

Wilayah penelitian ini dibatasi pada daerah estuari di Perairan Bunati, kecamatan
Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan.
1.4.2. Ruang Lingkup Materi
Penelitian ini dibatasi :
1. Identifikasi jenis makrozoobentos dan menentukan kepadatan
makrozoobentos.
2. Identifikasi tipe substrat pada sedimen bar
3. Pengukuran parameter lingkungan yaitu :
a. Parameter fisik perairan antara lain suhu, arus dan kedalaman;
b. Parameter kimia perairan antara lain salinitas, pH dan oksigen terlarut.
Secara sistematik road maps penelitian ini yang dimulai dari rumusan hingga pemecahan masalah adalah sebagai berikut:

Salinitas, DO, pH,


Suhu, Arus dan
Kedalaman
Material sedimen
pantai dan laut
Faktor pembatas
Habitat lingkungan Tujuan 2
Gelom
bang Ar (Fisik dan Kimia)
us

Sedimen
Estuar Sedimentasi
Bar Analisis Tujuan 3
i Korelasi
Arus

Komunitas Jenis dan Analisis Tujuan 1


Makrozoobentos Kepadatan MS.Excel
Material sedimen
sungai

Analisis Primer Tujuan 4

INPUT iv OUTPUT
PROSES

6
Interpretasi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Estuari

Menurut fungsinya ekosistem dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu


ekosistem laut, estuari, air tawar dan ekosistem teresterial (Gambar 2.1). Estuari
adalah ekosistem muara sungai tempat pertemuan air tawar dan air laut yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut. Contoh dari estuari adalah muara sungai, teluk dan
rawa pasang-surut (Bengen 2004 dalam Amrul 2007).

Gambar 2.1. Estuari Sebagai Daerah Peralihan

Estuari berasal dari bahasa latin aestus, yang berarti pasang-surut. Ekosistem


estuari merupakan bagian dari ekosistem air laut yang terdapat dalam zona litoral
(kelompok ekosistem pantai ). Estuari merupakan tempat pertemuan air tawar dan air
asin. Estuari adalah suatu perairan semi tertutup yang terdapat di hilir sungai dan
masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran air
laut dan air tawar dari sungai atau drainase yang berasal dari muara sungai, teluk,
rawa pasang surut (Bengen 2004 dalam Amrul 2007).

7
Ekosistem estuari terdapat pada wilayah pertemuan antara sungai dan laut.
Tempat ini berperan sebagai daerah peralihan antara kedua ekosistem akuatik. Estuari
(muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari sering dipagari
oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam. Salinitas air berubah
secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga dipengaruhi oleh
siklus harian dengan pasang surut airnya. Nutrien dari sungai memperkaya daerah
estuari (Bengen 2004 dalam Amrul 2007).
Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam,
ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing,
kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang
menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air
tawar (Bengen 2004 dalam Amrul 2007).
Bentuk estuaria bervariasi dan sangat bergantung pada besar kecilnya air
sungai, kisaran pasang surut, dan bentuk garis pantai. Kebanyakan estuari didominasi
subtrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar maupun air laut.
Karena partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, subtrat dasar estuaria
biasanya kaya akan bahan organik. Bahan organic ini menjadi cadangan makanan
utama bagi organisme estuari. Perairan estuary secara umum dimanfaatkan manusia
sebagai tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan,
jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2002 dalam Amrul
2007).
Menurut Pratiwi dkk (2004) daerah estuari memiliki perbedaan salinitas yang
dapat mengakibatkan terjadinya proses pergerakan massa air. Air asin yang memiliki
massa jenis lebih besar dibandingkan dengan air tawar menyebabkan air asin di
muara yang berada di lapisan dasar dan mendorong air tawar ke permukaan menuju
laut. Sistem sirkulasi seperti inilah yang menyebabkan terjadinya proses up-welling.
Yaitu proses pergerakan antar massa air laut dan tawar yang menyebabkan terjadinya
stratifikasi atau tingkatan-tingkatan salinitas. Sehingga terbentuklah beberapa tipe
estuari, yaitu:

8
1.    Estuari positif (baji garam)
Estuari tipe ini memiliki ciri khas yaitu gradien salinitas di permukaan lebih
rendah dibandingkan dengan salinitas pada bagian dalam atau dasar perairan.
Rendahnya salinitas di permukaan perairan disebabkan karena air tawar yang
memiliki berat jenis lebih ringan dibanding air laut akan bergerak ke atas dan terjadi
percampuran setelah beberapa saat kemudian. Kondisi ini, juga dapat disebabkan pula
oleh rendahnya proses penguapan akibat sedikitnya intensitas matahari yang masuk
pada wilayah estuari. Tipe estuari ini dapat ditemukan di wilayah sub tropis yang
mana terjadinya penguapan rendah dan volume air tawar yang relatif banyak.
Sedangkan untuk wilayah tropis sendiri, dapat pula ditemukan tipe ini apabila terjadi
musim penghujan. Yang mana intensitas cahaya matahari pada musim tersebut sedikit
dan massa air tawar yang masuk lebih besar (Knox, 1986).
2.    Estuari negatif
Estuaria tipe ini biasanya ditemukan di daerah dengan sumber air tawar yang
sangat sedikit dan penguapan sangat tinggi seperti di daerah iklim gurun pasir.
Keadaan dari estuari tipe ini dikarenakan oleh air laut yang masuk ke daerah muara
sungai melewati permukaan sehingga mengalami sedikit pengenceran karena
bercampur dengan air tawar yang terbatas jumlahnya. Lalu tingginya intensitas
cahaya matahari menyebabkan penguapan sangat cepat sehingga air permukaan
hipersalin (banyak mengandung garam) (Knox, 1986).
3.    Estuari sempurna
Percampuran sempurna menghasilkan salinitas yang sama secara vertical dari
permukaan sampai ke dasar perairan pada setiap titik. Estuaria seperti ini kondisinya
sangat tergantung dari beberapa faktor antara lain: volume percampuran masa air,
pasang surut, musim, tipe mulut muara dan berbagai kondisi khusus lainnya. Estuaria
percampuran sempurna kadang terjadi atau ditemukan di daerah tropis khususnya
ketika volume dan kecepatan aliran air tawar yang masuk ke daerah muara seimbang
dengan pasang air laut serta ditunjang dengan mulut muara yang lebar dan dalam
(Knox, 1986).

9
Estuari sering mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber
dari aktivitas manusia, yang menjadi ancaman serius terhadap kelestarian perikanan
laut. Akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir, terutama diakibatkan
olehtingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas industri. Aktifitas
pemanfaatanwilayah pesisir seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang
pemanfaatan potensi sumberdayanya menurun dan rusak. Hal ini karena aktifitas-
aktifitas yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mengubah tatanan lingkungan di wilayah pesisir sehingga mempengaruhi kehidupan
organisme diwilayah pesisir. Sebagai contoh, adanya limbah buangan baik dari
pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini mungkin tidak
mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem pesisir yang
bertahan, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun lainnya yang
sensitif. Logam berat, misalnya mungkin tidak berpengaruh terhadap kehidupan
tumbuhan bakau (mangrove), tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan ikan dan
udang-udangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut.
Selain dari itu penggundulan hutan juga akan menyebabkan bertambahnya
aliran air permukaan dari daratan dimana akan menambah sedimentasi di sungai-
sungai dan akhirnya mengakibatkan pendangkalan estuaria/perairan pantai.
Pendalaman estuaria karena pengerukan akan menambah volume estuaria dan
pembukaan (reklamasi) daerah pasang surut akan mengurangi aliran pasut, mengubah
proses pencampuran dan pola sirkulasi serta mengurangi waktu kuras
estuaria.Dengan berkurangnya waktu kuras estuaria, maka sirkulasi di estuaria tidak
dapat menanggulangi dan mengatur pencemar dalam jumlah besar.
Kerusakan ekosistem estuaria tentunya akan menurunkankan perananekologi
ekosistem estuaria. Bengen (2004) dalam Amrul (2007) mengemukakan peran
ekologi ekosistemestuaria diantaranya:
1.   Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang
surut (tidal circulation);

10
2.   Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria
sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makan;
3.   Sebagai tempat untuk bereproduksi dan atau tempat tumbuh besar (nursery
ground) terutama bagi sejumlah spesies udang dan ikan.
Sedangkan secara umum estuaria dimanfaatkan oleh manusia sebagai berikut:
a.       Sebagai tempat pemukiman;
b.      Sebagai tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan;
c.       Sebagai jalur transportasi;
d.      Sebagai pelabuhan dan kawasan industri.

2.2. Sedimen Bar

Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses


hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara
horizontal. Seluruh permukaan dasar lautan ditutupi oleh partikel sedimen yang
diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun (Garrison,
2005 dalam Muhaimin 2013).
Sedimentasi adalah proses yang meliputi pelapukan, transportasi, dan
pengendapan.Tekstur sedimen yaitu hubungan antara ukuran butir dalam batuan dan
pada umumnya ukuran butir ini dapat diamati dengan menggunakan mikroskop.
4omposisi sedimen merupakan acuanterhadap mineral-mineral dan struktur kimia
dalam batuan. Batuan klastik adalah batuan dimanamaterial penyusun utamanya
berupa material detrital 6 misalnya batupasir dan serpihan. Batuan nonklastik adalah
batuan dimana material penyusun utamanya berupa material organik dan unsur kimia
misalnya batugamping terumbu, halit, dan dolomit. Sedimen terutama terdiri dari
partikel-partikel yang berasal dari hasil pembongkaran batu-batuan dan potongan-
potongan kulit (shell) serta sisa rangka dari organisme laut. Ukuran-ukuran partikel
sedimen sangat ditentukan oleh sifat fisik mereka dan akibatnya sedimen yang
terdapat di berbagai tempat di dunia mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda satu
sama lainnya (Garrison, 2005 dalam Muhaimin 2013).

11
Menurut Garrison (2006) dalam Muhaimin (2013) sedimen dapat digolongkan
menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Sedimen terrigenous; yaitu jenis sedimen yang berasal dari erosi benua atau
pulau, letusan gunung berapi dan segumpalan debu. Sedimen ini lebih dikenal
dengan batuan yang berasal dari gunung berapi seperti granit yang bersumber
dari tanah liat dan batuan kwarsa yang menjadi dua komponen penyusun
sedimen terrigenous.
2. Sedimen lithogenous; yaitu sedimen yang berasal dari sisi pengikisan batuan
di darat. Hal ini diakibatkan karenaadanya suatu kondisi fisik yang ekstrim,
seperti adanya pemanasan dan pendinginan terhadap batu-batuan yang terjadi
secara terus-menerus. Partikel-partikel ini diangkut dari daratan ke laut oleh
sungai-sungai. Begitu sedimen mencapai lautan, partikel-partikel yang
berukuran besar cenderung untuk lebih cepat tenggelam dan menetap dari
yang berukuran lebih kecil. Kecepatan tenggelamnya partikel-partikel ini telah
dihitung, dimana jenis partikel pasir hanya memerlukan waktu kira-kira 1,8
hari untuk tenggelam dan menetap di atas lapisan atas dasar laut
yangmempunyai kedalaman 4.000 meter. Sedangkan jenis partikel lumpur
yang berukuran lebih kecil membutuhkan waktu kira-kira 185 hari dan jenis
partikel tanah liat membutuhkan waktu kira-kira 51 tahun pada kedalaman
kolom air yang sama. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau pasir
akan segera diendapkan begitu sampai dilau dan cenderung untuk mengumpul
di daerah pantai (Hutabarat dan Stewart, 2000 dalam Muhaimin 2013).
3. Sedimen biogenous; adalah sedimen yang berasal dari sisa-sisa rangka
organisme hidup. Jenis sedimen ini digolongkanke dalam dua tipe utama yaitu
calcareous dan siliceous ooze. Material siliceous dan calcareous pada waktu
itu di ekstrak dari laut dengan aktivitas normal dari tanaman dan hewan untuk
membangun rangka dan cangkang. Kebanyakan organisme yang
menghasilkan sedimen biogenous mengapung bebas di perairan seperti
plankton. Sedimen biogenous paling berlimpah dimana cukup nutrien yang

12
mendorong produktivitas biologi yang tinggi, selalu terjadi pada wilayah
dekat continental margin dan area upwelling. Thurman dan Trujillo (2004)
dalam Muhaimin (2013) menyatakan bahwa dua campuran kimiawi yang
paling umum terdapat dalam sedimen biogenous adalah calcium carbonat
(CaCO3), dimana tersusun dari mineral calcite dan silica (SiO2).
Seringkalisilica secara kimiawi dikombinasikan dengan air untuk
menghasikan SiO2 dan nH2O.
4. Sedimen hydrogenous; adalah sedimen yang terdiri dari mineral yang
mempercepat proses presipitasi dari laut. Jenis partikel ini dibentuk sebagai
hasil reaksi kimia dalam air laut. Reaksi kimia yang terjadidisini bersifat
sangat lambat, dimana untuk membentuk sebuah nodule yang besar
diperlukan waktu selama berjuta-juta tahun dan proses ini kemudian akan
berhenti sama sekali jika nodule telah terkubur di dalam sedimen. Di pusat
perputaran, jauh dari benua, partikel sedimen terakumulasi sangat lambat
(Garrison, 2006 dalam Muhaimin 2013).
Sedimen Bar merupakan salah satu bentuk sedimentasi marine yaitu
sedimentasi yang diangkut oleh air laut. Hal ini disebabkan oleh pengendapan air laut
dikarenakan adanya gelombang. Hasil pengendapan oleh air laut ini membentuk bar.
Bar adalah gosong pasir penghalang gelombang yang terbentuk oleh endapan dari
gelombang dan arus (Gambar 2.2). Bar merupakan bagian dari pantai, yang tampak
pada saat air surut. Sedimen Bar atau biasa disebut sand bar adalah sejenis gosong
yang terdiri dari pasir dan bersifat sebagai penghalang yang tampak pada saat sedang
surut dan hilang pada saat pasang. Sedimen bar ini memiliki banyak macam model
atau bentuk, misalnya berbentuk seperti kipas, bulat, dan ada yang memanjang sejajar
dengan garis pantai. Suatu hal lumrah bila diketemukan dua atau lebih dari dua bar
berkembang sejajar dengan pantai. Bar yang lebih dalam terbentuk pertama kali oleh
gelombang yang lemah dapat maju lebih jauh ke arah bagian laut yang lebih dangkal
(Hallaf, 2006 dalam Muhaimin 2013).

13
Endapan Sedimen
pada daerah estuari

Gambar 2.2. Endapan Sedimen Pada Daerah Estuari

Sedimen bar merupakan bagian dari bentuk lahan fluvial yang berada pada
lengkungan sungai. Sedimen bar merupakan pembentukan dari endapan sedimen
yang terangkut oleh aliran sungai dan mengendap kearah lengkung luar meander dan
masih terdampak oleh proses-proses geomorfik sungai seperti banjir, sehingga biasa
juga disebut dengan daratan banjir (Morisawa, 1968 dalam Wibowo dkk 2016).
Pembentukan area sedimen bar pada awalnya hanya suatu pengendapan yang
terjadi akibat adanya suatu gisik atau igir pada bagian lengkung dalam badan sungai,
lalu terjadi penumpukkan endapan baru yang membentuk igir baru di bagian slipe-off
slope dari point bar (Leopold and Wolman, 1960 dalam Wibowo dkk 2016).
Menurut Folk (1980) dalam Wibowo dkk (2016) perbedaan lapisan sedimen satu
dengan lainnya memiliki karakteristik yang berbeda, yang akan diukur menurut
ukuran butir sedimennya. Ukuran butir sedimen merupakan pengukuran kuantitatif
yang menggunakan parameter dari ukuran dan sortasi suatu sedimen.
Luas wilayah yang relatif sempit dan kecil memiliki variasi yang hampir
seragam dengan adanya kondisi fisik secara lateral (horizontal) dan vertikal. Kondisi
secara lateral dapat terlihat suatu morfologi yang terjadi di area pengendapan pada
lengkung dalam meander sungai, sedimen bar, dan bentuk dari pemotongan tebing di
lengkung luar area sungai. Di sisi lain secara vertikal, dapat dilihat bagaimana

14
karakter dari lapisan sedimen yang ada dari permukaan hingga ke dasar sungai.
Pendekatan geografis berupa pendekatan spasial atau keruangan terkait dengan
perbedaan fenomena geomorfologis meliputi kondisi fisik yang terdapat di
lingkungan sekitar meander sungai dapat menjadi suatu acuan untuk dapat
mengidentifikasi karakteristik bentuk kenampakan point bar. Berbagai perbedaan
kenampakan morfometri dan morfografi point bar tersebut dapat 3 menggambarkan
kondisi morfologi yang khas dari suatu sedimen bar tersebut (Wibowo dkk, 2016).
Beberapa bentuk sedimen bar yang dikenal antara lain, fleche, tombolo, pantai
dengan bagian depannya terdapat akumulasi sedimen (terpisah dari pantai itu sendiri)
dipisahkan oleh laguna, atau dengan bagian depan terakumulasi sedimen berbentuk
segitiga.
1. Lidah pasir atau fleche, merupakan bentukan daratan yang menjorok ke laut
atau secara horizontal pantai, dimana proses pembentukannya terjadi akibat
terbawanya sedimen oleh arus pantai yang secara perlahan-lahan membentuk
daratan baru. Pada beberapa daerah, fleche dapat memanjang hingga puluhan
kilometer, sehingga telah menyerupai daratan. Fleche biasanya akan bergerak
tergantung arus dan letaknya. Pada daerah dengan arus dan angin kencang,
fleche dapat berpindah tempat dan akan terus bertambah, sedangkan pada
keadaan yang sebaliknya, fleche berkembang secara perlahan. Pada pantai
tertututp, sedimen akan bergerak atau berpindah sesuai dengan arah arus yang
datang, demikian juga terjadi pada pantai yang kedua sisinya terlindung oleh
batu karang.
2. Delta, salah satu bentuk sedimentasi yang cenderung di angkut dari hulu dan
diendapkan di muara sungai dan disebabkan oleh adanya pengaruh ombak dan
pasang surut.
3. Gosong pasir, gundukan atau endapan pasir yang muncul pada saat surut.
4. Dunne, endapan di daerah pantai (supratidal) yang cenderung terjadi karena
diakibatkan oleh pengaruh angin.

15
5. Pasir penghalang, endapan pasir yang muncul di depan garis pantai baik
terletak sejajar, tegak lurus dan bergerombol padadaerah intertidal pantai.

2.3. Makrozoobentos
Bentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar
perairan atau di permukaan substrat dasar perairan (Odum, 1993 dalam Maula 2018).
Bentos adalah organisme dasar perairan, baik berupa hewan maupun tumbuhan, baik
yang hidup di permukaan dasar ataupun di dasar perairan. Semula bentos hanya
digolongkan sebagai fitobentos dan zoobentos, tetapi Hutchinson menggolongkan
bentos berdasarkan ukurannya, yaitu bentos mikroskopis atau dikenal dengan sebutan
mikrobentos dan makrobentos.

Gambar 2.3. Makrozoobentos

Menurut Lind (1979) dalam Fachrul (2007) memberikan definisi, bentos


adalah semua organisme hidup pada lumpur, pasir, batu, krikil, maupun sampah
organik baik di dasar perairan laut, danau, kolam, ataupun sungai, merupakan hewan
melata, menetap, menempel, memendam, dan meliang di dasar perairan tersebut.

16
Komunitas fauna bentik (Zoo-bentos) yang hidup di dasar perairan.
Komunitas fauna terdiri dari atas lima kelompok, yaitu Mollusca, polychaeta,
crustacea, echinodermata, dan kelompok lain yang terdiri atas beberapa takson kecil
seperti sipunculidae, pogonophora, dan lainnya. Berdasarkan kebiasaan hidupnya,
fauna bentik dapat dikelompokkan sebagai infauna, yaitu yang hidup menetap di
dalam sedimen dan epifauna, yakni yang hidup menempel pada daun lamun dan di
atas dasar laut (Fachrul, 2007).
Menurut vernberg (1981) dalam Fachrul (2007) berdasarkan ukurannya
bentos dibedakan menjadi:
1) Makrobentos; Organisme yang hidup di dasar perairan dan tersaring oleh
saringan yang berukuran matasaring 1,0 x 1,0 milimeter atau 2,0x2,0
milimeter, yang pada pertumbuhan dewasanya berukuran 3-5 milimeter.
Berdasarkan letaknya dibedakan menjadi infauna dan epifauna, di bawah
lumpur, sedngkan epifauna adalah kelompok makrobentos yang hidup di
permukaan substrat
2) Mesobentos; Organisme yang mempunai ukuran 0,1 - 1,0 milimeter, milimer,
misalnya golongan protozoa yang berupakan besar (cidaria), cacing yang
berukuran kecil dan crustaceae yang sangat kecil.
3) Mikrobentos; Organisme yang mempunyai ukuran kurang dari 0,1 milimeter,
misalnya protozoa. Daya tahan dan adaptasi bentos berbeda-beda anatar jenis
yang satu dengan yang lainnya, yaitu ada yang tahan terhadap keadaan
perairan setempat, tetapi ada pula yang tidak tahan sehingga keberadaan
bentos tertentu dapat dijadikan pentunjuk dalam menialai kualitas perairan
tersebut.
Makrobentos merupakan organisme yang mencapai ukuran sekurangnya 3- 5
mm pada saat pertumbuhan maksimum. Organisme yang mencapai makrobentos
biasanya meliputi Insekta, Moluska, Oligochaeta, Crustacea-amphipoda, Isopoda,
Decapoda, dan Nematoda (Cummins, 1975 dalam Khusna, 2016).

17
Pada lingkungan yang dinamis seperti sungai hewan benthos (zoobenthos)
dapat memberikan gambaran mengenai kualitas perairan, karena benthos hidup relatif
menetap dan mengalami kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya.
Kelompok hewan ini dapat memberikan gambaran mengenai perubahan faktor-faktor
lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata
makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos. Bentuk luar (morfologi)
makrozoobentos adalah invertebrata (hewan yang tidak memiliki tulang belakang)
dan hidup menetap di dasar laut, ada yang menempel pada substrat, dan ada yang bisa
merambat dalam substrat. Prinsip tubuh dari salah satu filum yang termasuk dalam
hewan makrozoobentos adalah filum Mollusca, tubuh hewan ini triploblastik,
bilateral simetri, umunya memiliki mantel yang dapat menghasilkan bahan cangkok
berupa kalsium karbonat (Rusyana, 2011 dalam Khusna, 2016).
Makrozoobentos dapat diklasifikasikan berdasarkan cara makanannya
kedalam lima kelompok yaitu hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan
detritus yang mengendap di permukaan, hewan yang menelan makanan dari atas
permukaan (Knox, 1981 dalam Khusna, 2016). Menurut Odum (1971) dalam Khusna
(2016) berdasarkan kebiasaan makannya, yaitu:
1. Filter feeder adalah hewan yang menyaring partikel-partikel detritus yang
masih melayang dalam perairan. Contohnya, Balanus (Crustacea), Nereis
(Polychaeta), Crepidula (Gastropoda)
2. Deposit feeder adalah hewan bentos yang memakan partikel-partikel
detritus yang telah mengendap pada dasar perairan. Contohnya, Terella
dan amphitrile (Polychaeta), Tellina dan Arba (Bivalvia)
Menurut Setiawan (2008) dalam Maula (2018), peranan makrozoobentos
diperairan adalah:
a. Mendaur ulang bahan organik dan membantu proses mineralisasi
Dalam komunitas perairan, makrozoobentos memiliki peranan yang penting
dalam mendaur ulang bahan organik sehingga dapat digunakan dalam menduga
tingkat kesuburan perairan. Menurut Odum (1993) dalam Maula (2018), organisme

18
bentik mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sumberdaya perikanan melalui
hubungan rantai makanan. Hubungan ini berdasarkan atas rantai makanan detritus
yang dimulai dari organisme mati. Organisme mati ini diuraikan oleh
mikroorganisme, kemudian mikroorganisme beserta hancurannya dimakan oleh
pemakan detritus (detrivor). Detrivor ini selanjutnya dimakan oleh beberapa jenis
ikan dan udang.
b. Mempunyai kedudukan yang penting dalam rantai makanan
Rantai makanan adalah perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup
yang satu ke makhluk hidup yang lain melalui proses makan memakan dengan urutan
tertentu. Suatu rantai makanan dapat disusun dalam piramida makanan adalah
komposisi rantai makanan yang semakin keatas jumlahnya semakin kecil (Sumantri,
2009 dalam Maula 2018).
Menurut Jutting (1956) dalam Maula (2018), hewan dasar mempunyai
kedudukan sebagai konsumen di dalam rantai makanan, yaitu zooplankton atau
bahkan memakan hewan bentik lainnya. Bentos dapat pula berperan sebagai
produsen, baik primer maupun sekunder. Pennak (1989) dalam Maula (2018)
menyebutkan bahwa bentos khususnya larva serangga merupakan makanan alami
bagi ikan pemakan hewan.
c. Indikator pencemaran
Menurut Wardhana (2006) dalam Maula (2018) makrozoobentos memiliki
tingkat toleransi yang berbeda. Tingkat toleransi tersebut dapat digunakan sebagai
tolak ukur kualitas perairan. Makrozoobentos indikator yang dapat digunakan untuk
menilai kualitas air
Makrozoobentos merupakan organisme perairan yang hidupnya relative tetap,
sehingga terjadinya perubahan kualitas air dan substrat pada tempat hidupnya sangat
mempengaruhi komposisi dan kelimpahannya. Komposisi dan kelimpahan
makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap lingkungan.
Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas perairan dengan
cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relative stabil,

19
komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relative tetap (APHA, 1992 dalam
Sayekti, 2006).

2.4. Parameter Lingkungan Makrozoobentos


Makrozoobentos sebagai organisme dasar perairan, memiliki habitat yang
relatif tetap. Perubahan kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keragaman dan
distribusi makrozoobentos. Nybakken (1992) menyatakan sifat fisik dan kimia
perairan sangat penting di dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan
pengamatan faktor biotik seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan
faktor-faktor lingkungan dalam suatu perairan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi keragaman dan distribusi makrozoobentos antara lain:

2.4.1. Parameter Fisik Perairan

a. Suhu

Suhu merupakan faktor fisik yang sangat berpengaruh pada organisme di


daerah estuari. Suhu pada perairan estuari biasanya fluktuasi diurnal dan tahunan
yang lebih besar jika dibandingkan dengan perairan laut, terutama pada perairan
estuari yang dangkal dan dasarannya terekspos saat surut (Kinne, 1964 dalam
Umimah, 2012).
Suhu memengaruhi aktivitas metabolisme dan reproduksi organisme yang
hidup di perairan (Hutabarat dan Evans, 2000 dalam Umimah, 2012). Nybakken
(1992) menyatakan hal senada bahwa perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi
organisme untuk memulai atau mengakhiri aktivitas, misalnya reproduksi. Kelas
Polychaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan
aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan diri di bawah permukaan
substrat (Alcantara dan Weiss, 1991 dalam Taqwa, 2010). Peningkatan suhu perairan
dapat meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup
didalamnya, dampaknya konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi. Peningkatan

20
suhu perairan sebesar 10oC dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi
oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi, 2003).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen yang
terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobentos adalah yang
lebih kurang dari 35oC (Retnowati, 2003).

b. Arus

Arus sebagai faktor pembatas mempunyai peran yang sangat penting dalam
perairan, baik pada ekosistem lotic (mengalir) maupun ekosistem lentic
(menggenang) karena arus berpengaruh terhadap distribusi organisme, gas-gas
terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan arus umumnya ditentukan
oleh kemiringan, kedalaman dan sedimennya (Barus, 2002 dalam Umimah, 2012).

c. Kedalaman

kedalaman perairan merupakan suatu kondisi yang menunjukan kemampuan


organisme untuk berinteraksi dengan cahaya, kedalaman antara organisme dengan
substrat merupakan hal penting untuk diketahui karena berkaitan dengan kondisi
substrat perairan (Anwar, 2008).
Kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna bentos yang hidup dalam
suatu ekosistem. Kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang
dibutuhkan untuk proses respirasi (Nybakken, 1992 dalam Maula 2018). Menurut
Munir (2010) kedalaman suatu perairan dapat berpengaruh terhadap jumlah
organisme yang ada. Naiknya tinggi permukaan air dan kecepatan arus dapat
menyebabkan substrat yang ada menjadi mudah terkoyak dan terbawa arus.

21
2.4.2. Parameter Kimia Perairan

a. Derajat Keasaman (pH)

Kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH.


Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar 7 -
8,5. kondisi perairan yang bersifat sangat asam ataupun basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas
berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang akan
mengancam kelangsungan hidup organisme perairan, sedangkan pH yang tinggi akan
menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam perairan akan
terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi
amoniak yang juga bersifat toksik bagi organisme perairan (Wardhana,1995 dalam
Umimah,
Tabel 2.1. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003)
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 - 6,5 Keanekaragaman bentos sedikit menurun kelimpahan total,
biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan
5,5 – 6,0 Penurunan nilai keanekaragaman bentos semakin tampak
kelimpahan total, biomassa dan produktivitas masih belum
mengalami perubahan yang berarti
5,0 – 5,5 Penurunan keanekaraman dan komposisi jenis bentos semakin besar
terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa bentos
4,5 – 5,0 Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis bentos semakin
besar penurunan kelimpahan total dan biomassa bentos

22
b. Salinitas
Salinitas adalah jumlah total garam-garam terlarut (dinyatakan dalam gram),
yang terkandung dalam 1 kg air laut. Salinitas merupakan faktor abiotik yang sangat
menentukan penyebaran biota laut termasuk makrozoobentos. Salinitas juga berperan
dalam mempengaruhi proses osmoregulasi biota perairan termasuk makrozoobentos.
Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan, walaupun
terdapat sedikit perbedaan yang tidak mempengaruhi ekologi secara nyata, sedangkan
pada kedalaman 0 m hingga hampir mencapai 1.000 m salinitas berkisar antara
35,5‰ dan 37‰ (Nybakken 1992 dalam Umimah 2012).
Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh
organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin
tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya sehingga organisme harus
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu
melalui mekanisme osmoregulasi (Koesoebiono, 1981 dalam Payung 2017), yaitu
kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal.
Selanjutnya Nybakken (1992) dalam Payung (2017), menjelaskan bahwa
fluktuasi salinitas di daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat
hujan lebat sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang
sangat tinggi pada siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang
hidup di daerah intertidal biasanya telah beradaptasi untuk mentolelir perubahan
salinitas hingga 15‰.
Menurut Mudjiman (1981) dalam Payung (2017), kisaran salinitas yang
dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada
perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos
seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.

c. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam perairan,
terutama dalam proses respirasi sebagian besar organisme air termasuk
makrozoobenthos. Menurut Darmono (2001) dalam Yasir (2001) kehidupan makhluk
23
hidup di dalam air tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan
konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan oksigennya
sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar
oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan suhu sebesar 1 oC akan
22
meningkatkan konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003).
Keberadaan O2 terlarut di dalam substrat dapat berkurang, hal ini disebabkan
oleh banyaknya plankton diperairan tersebut. Tingginya kandungan bahan organik
dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan akan
O2 terlarut. Kadar O2 terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/LI
(Effendi, 2003).
Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana
jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanamannya dan dari atmosfir (udara)
yang masuk kedalam air. Fardiaz (1992) dalam Yasir (2017) menyatakan konsentrasi
oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan biota perairan yang
membutuhkan oksigen akan mati. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada
temperatur 0ºC adalah sebesar 14,16 mg/l. Peningkatan temperatur air akan
menyebabkan konsentrasi oksigen dalam perairan akan menurun, demikian pula
sebaliknya. Kelarutan oksigen akan berkurang dengan meningkatnya salinitas
sehingga oksigen di laut ataupun perairan estuary cenderung lebih rendah dari kadar
oksigen di perairan tawar (Effendi, 2003). Kisaran toleransi makrozoobenthos
terhadap oksigen terlarut berbeda-beda.

24
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan agustus 2020 yang bertempat di
daerah Estuari Bunati Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu yang dapat
dilihat pada Gambar 3.1. Penelitian ini meliputi pengambilan data secara insitu dan
analisis sampel data akan dilakukan di Laboratorium Bio-Ekologi Laut dan
Oseanografi Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat.

Gambar 3.1. Lokasi Penelitian

25
3.2. Alat dan Bahan

Peralatan survei/pengambilan data dan bahan yang digunakan dalam


penelitian ini meliputi:
Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam penelitian
No Nama Alat Kegunaan
1. Grab Sampler Mengambil sampel
2. Kantong sampel Menyimpan sampel
3. Buku identifikasi Mengidentifikasi sampel
4. Alat tulis Mencatat data
5. GPS Mengetahui posisi koordinat
6. Hand refraktometer Mengukur salinitas
7. Pipet tetes Mengambil sampel air
8. Batu duga Mengetahui Kedalaman
9. Thermometer Mengukur suhu perairan
10. Layang-Layang arus Mengetahui arah arus
11. Water quality checker Mengukur pH dan DO
12. Kamera Dokumentasi

Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam penelitian


No Nama Bahan Kegunaan
.
1. Alkohol 70% Untuk mengawetkan sampel Makrozoobentos
2. Aquades Untuk mengkalibrasi alat pengukur

3.3. Perolehan Data

3.3.1. Penentuan Lokasi Stasiun Pengamatan


26
Gambar 3.2. Penentuan Stasiun Pengambilan Data

Penentuan stasiun pengambilan data di lapangan dilakukan pada Sedimen Bar


di daerah estuari Bunati dengan pengambilan sampel dilakukan dengan metode
purposive sampling. Purposive sampling adalah penentuan titik stasiun yang
dianggap mewakili wilayah penelitian. Dalam konteks penelitian ini titik sampling
diambil berdasarkan posisi sedimen bar yang berbeda pada wilayah estuari.

3.3.2. Tahap Pengambilan Data

3.3.2.1. Pengambilan Sampel Makrozoobentos

Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan grab


sampler yang dijatuhkan dari atas perahu, pengambilan sampel makrozoobentos.
Sampel yang telah diambil kemudian disaring dengan menggunakan saringan
berukuran 1 mm. Organisme makrozoobentos yang tersaring diambil dan dimasukan
kedalam kantong sampel, diberi label stasiun kemudian diberi pengawet berupa
alcohol 70% agar sampel bisa awet sebelum dilakukan penanganan di laboratorium.

3.3.2.2.Pengukuran Parameter Lingkungan


27
Pengukuran untuk parameter lingkungan dibagi menjadi dua yakni parameter
fisik dan kimia perairan. Parameter fisik perairan yang diukur adalah pengukuran
suhu, arus dan kedalaman. Sedangkan untuk pengukuran parameter kimia perairan
antara lain salinitas, pH, dan DO. Metode pengukuran parameter lingkungan sebagai
berikut:

a. Parameter Fisik Perairan

1. Suhu

Suhu diukur langsung di lapangan dengan menggunakan thermometer.


Pengukuran suhu dilakukan pada permukaan suhu perairan pada setiap stasiun
dengan cara mencelupkan thermometer ke dalam badan air, kemudian nilai skala
yang tertera pada thermometer di catat.
2. Kedalaman

Pengukuran kedalaman dilakukan dengan menggunakan batu duga yang telah


terikat pada tali tambang yang telah diberi skala per satu meter. Setiap stasius diukur
kedalaman nya dengan cara menurunkan tambang berskala yang sudah diberi
pemberat (batu duga) hingga ke dasar perairan kemudian diangkat dan dicatat data
kedalaman perairan tersebut.
3. Arus

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan layang-layang arus, dengan


terlebih dahulu menentukan arah arus dengan menggunakan kompas, yakni
menentukan posisi titik awal layang-layang arus ketika dilepas sampai jarak
terakhirnya.
4. Sedimen

Sedimen diambil bersamaan dengan pengambilan sampel makrozoobentos


yaitu dengan menggunakan grab sampler dengan luas bukaan 25 x 15 cm2, kemudian
sampel sedimen dianalisis di laboratorium oseanografi dengan menggunakan metode
dry sieving berdasarkan skala Wentworth.
28
b. Parameter Kimia Perairan

1. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan handrefraktometer dan


dilakukan langsung pada stasiun pengamatan. Sampel air di ambil, kemudian
handrefraktometer di tetesi air dan mencatat nilai salinitas yang terlihat pada
handrefraktometer.

2. pH

Pengukuran pH dengan menggunakan pH meter. Caranya dengan


mencelupkan alat tersebut ke dalam air, maka akan diperoleh pH perairan tersebut
dari angka yang ditunjukkan.

3. DO

Pengambilan parameter DO dengan menggunakan DO meter. Caranya dengan


memasukkan alat tersebut kedalam kolom air yang tersedia pada botol sampel,
kemudian alat tersebut akan menunjukkan kandungan DO pada perairan tersebut.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Makrozoobentos

Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu


makrozoobentos per satuan luas (m2). Contoh makrozoobentos yang telah
diidentifikasi kemudian dihitung kepadatannya dengan formula Odum (1993) sebagai
berikut :
10000
𝐊= xa
bxn
Dimana ; K = Kepadatan makrozoobentos (individu/m2)
a = Jumlah individu makrozoobentos
29 jenis ke-i yang diperoleh
b = Luas bukaan/mulut alat sampling yang digunakan (cm2)
10000 = Nilai konversi cm2 menjadi m2
n = Jumlah ulangan pengambilan (cuplikan)
Selain menghitung kepadatan makrozoobentos, kelimpahan relative
makrozoobentos juga dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Odum,
1993).
R= ¿
N
Dimana: R = Kelimpahan relatif
ni = Jumlah individu setiap jenis (ekor)
N = Jumlah seluruh individu

3.4.2. Analisis Korelasi

Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara komunitas


makrozoobentos dengan faktor fisik kimia perairan. Untuk melihat hubungan tersebut
dihitung menggunakan rumus menurut Karl Pearson (1990), yaitu:
r =n ∑ xy−¿ ¿ ¿

Keterangan : r = Koefisien korelasi person


n = Banyaknya pasangan data X dan Y
∑x = Total jumlah variabel X
∑y = Total jumlah variabel Y
∑x2 = Kuadrat dari Total jumlah variabel X
∑y2 = Kuadrat dari Total jumlah variabel Y
∑xy2 = Hasil perkalian dari total jumlah variabel X dan Y
(*X= komunitas makrozoobentos dan Y = kondisi fisik dan kimia perairan)
3.4.3. Indeks similaritas

Indeks similiritas digunakan untuk melihat kesamaan antar stasiun dihitung


30 (1993).
berdasarkan rumus indeks similiritas Odum
2C
S= [ ]
A+ B
x 100 %

Keterangan: A = Jumlah jenis pada lokasi 1


B = Jumlah jenis pada lokasi 2
C = Jumlah jenis yang sama pada kedua lokasi
S = Indeks similiritas antar kedua stasiun
3.4.4. Sedimen

Analisis tekstrut sedimen dilakukan di laboratorium oseanografi fakultas


perikanan dan kelautan universitas lambung mangkurat. analisis sedimen dilakukan
dengan metode Dry Sieving berdasarkan skala Wentworth (Hutabarat dan Evans,
2000). Metode pengayakan digunakan untuk menentukan distribusi ukuran butiran
sedimen. Skala Wentworth (Tabel 3.3) digunakan untuk mengklasifikasikan sedimen
menurut ukuran butirannya. Analisa sampel sedimen dengan metode pengayakan
kering untuk mengetahui ukuran butir sedimen. Adapun prosedur pengayakan adalah
sebagai berikut:
1. Sampel sedimen, dibersihkan kemudian dikeringkan agar dapat disaring.
2. Sebanyak 100 gram sampel sedimen ditimbang sebagai berat awal, selanjutnya
dimasukkan ke dalam sieve net yang telah tersusun secara berurutan dengan
ukuran >2 mm, 2-1 mm, 1-0,5 mm, 0,5-0,25 mm, 0,25- 0,125 mm, 0,125-0,625
mm, < 0,0625 mm. Kemudian mengayak sampel sehingga didapatkan
pemisahan masing-masing partikel sedimen.
3. Sampel sedimen dipisahkan dari ayakan, selanjutnya dimasukkan ke dalam
cawan petri untuk ditimbang.
4. Sampel kemudian diklasifikasi berdasarkan skala Wentworth (Tabel 3.3).

Tabel 3.3. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partiket-partikel sedimen.


(Hutabat dan Evans, 2000).
31
32
DAFTAR PUSTAKA

Alcantara, PH, and Weiss VS. 1991. Ecological Aspects of the Polychaeta Population
Associated with the Red Mangrove Rhizophora mangle at Laguna De
Terminos, Southern Part of the Gulf of Maxico. Ophelia 5 (Suppl) : 451 –
462.

Anwar, N. 2008. Karateristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi
serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Pelabuhan Ratu. Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB.

Amrul, H. M. Z. N,. 2007. Kualitas Fisika-Kimia Sedimen Serta Hubungannya


Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos Di Estuari Precut Sei Tuan
Kabupaten Serdang. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Barnes RSK dan Hughes RN. 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd ed.
London: Blackwell Science Ltd.

Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA Universitas.

Bengen, DG, 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaanya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.

Buchanan, J. B. 1971. Sediment Analisis.In Holme and McLntryre.Method for Study


of Marine Benthos.Blackhel Scientific Publication. London.

Cummins, K.W. 1975. Macroinvertebrates. Hal. 170. In Whitton, B.A (Ed). River
Ecology. Blackwell Scientific Publication. Oxford

Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran (Hubungannya dengan


Toksikologi Senyawa Logam), Penerbit : Universitas Indonesia Press,
Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 320
hal.

Folk, R. L. 1980. Sedimentary Rocks, Hemphill Publishing Company Austin, Texas


Garrison T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science. 5ed. Thomson
Learning, Inc. Connecticut. USA.

Hallaf H, P. 2006. Daerah Aliran Sungai. Geografi Universitas Indonesia.

Hawkes, T. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen Co. Ltd.

Hutabarat, Y. dan S. M. Evans. 2000. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas


Indonesia. Jakarta.

Jeffries DS and Mills D. 1996. Freshwater ecology, principles, and applications. John
Wiley and Sons. Chichester, UK. 285 p.

Khusna, A. 2018. Kelimpahan Makrozoobentos Dan Hubungannya Dengan Kualitas


Air Di Sungai Cokro Malang. Universitas Muhamadiyah Malang. Malang.

Kinne, O. 1964. The Effect of Temperature and Salinity on Marine and Brackiswater
Animals II. Jurnal of Oceanography Marine Biology Annual review, 2 :hlm.
281-339.

Koesoebiono. 1981. Plankton dan Produktivitas Bahari. Institut Pertanian Bogor.


Bogor.

LEEDER, M.R. 1982. Sedimentology, Process and Product. Chapman & Hall, 2-6
Boundaty Row, London tp: 284.

Lind, O.T. 1979. Handbook of common Method in Limnology. The C.V. Mosby
Company. St. Louis, Missouri. 199 hlm.

Mudjiman. 1981. Budidaya Udang - Udangan. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Morisawa, M., 1968. Streams: Their Dynamics and Morphology. London: McGraw
Hill Book Company

Nybakken, J. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia. Jakarta.


480 hlm.

……………, 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Biologis. PT Gramedia. Jakarta

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders Company, Philadelphia

………….., 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi


Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Payung, W. R. 2017. Keanekaragaman Makrozoobentos (Epifauna) Pada Ekosistem
Mangrove Di Sempadan Sungai Tallo Kota Makassar. Fakultas Ilmu
Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Pratiwi, N.T.M., Krisanti, N., Maryanto, I., Ubaidillah, R. 2004. Panduan Pengukuran
Kualitas Air Sungai. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Putri, R.P.N. 2018. Studi Komunitas Makrozoobentos Dan Hubungannya Dengan


Sedimen Di Sekitar Kawasan Terminal Khusus Batu Bara Pada Perairan
Bunati Dan Sekitarnya Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan
Selatan. Banjarbaru: Fakultas Perikanan Dan Kelautan. Universitas
Lambung Mangkurat

Retnowati, D.N. 2003. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Beberapa


Parameter Fisika Kimia Perairan Situ Rawa Besar, Depok, Jawa Barat.
Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rusyana, A. 2011. Zoologi Invertebrata. Bandung: Alfabeta.

Sayekti, L.A. 2006. Distribusi dan struktur komunitas makrozoobentos serta kondisi
perairan di Teluk Jakarta. Fakultas perikanan dan kelautan. Institut
pertanian bogor. Bogor.

Setyobudiandi, I. 1999. Makrozoobenthos: Sampling, Manajemen Sampel dan Data.


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB. Bogor.

Supriadi, I.H. 2001. Dinamika Estuari Tropik. Pusat Penelitian Oseanografi. LIPI –
Jakarta. Oseana; Volume XXVI, Nomor 4. 1-11.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Suryanto, D. dan Munir, E. 2006. Potensi Pemanfaatan Isolat Bakteri Kitinolitik


Lokal untuk Pengendali Hayati Jamur. Prosiding Seminar Hasil-Hasil
Penelitian USU, Medan. Hal: 15-25.

Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton Dan Struktur Komunitas


Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove Di Kawasan
Konservasi Mangrove Dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur.
[Tesis]. Semarang : Universitas Diponegoro, Program Pasca Sarjana.
Thurman, H.V. dan Trujillo, A. P. 2004. Introductory Oceanography. New Jersey:
Prentice Hall.

Umimah, D. 2012. Variasi Spasial Dan Temporal Struktur Komuitas Makrozoobentos


Di Daerah Estuari Pantai Mayangan Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Wardhana, A.W., 1995, Dampak Pencemaran Lingkungan, Edisi II, hal. 35, Andi
Offset, Yogyakarta.

Wibowo, Y.S.A., Hariadi, H., Marwoto, J. 2016. Pengaruh Arus Laut Dan Pasang
Surut Terhadap Distribusi Sedimen Tersuspensi Di Perairan Muara Sungai
Sembilangan Kaliprau Pemalang. JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5,
Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 490 – 497.

Wolman, 1960. River Meanders, America: Geol. Soc. America Bull.

Yasir, A.A. 2017. Struktur Komunitas Makrozoobentos Pada Lokasi Dengan


Aktivitas Berbeda Di Perairan Sungai Tallo Kota Makassar. Fakultas Ilmu
Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Makassar.

Yeanny, M. S. 2007. Keanekaragaman Makrozoobentos Di Muara Sungai Belawan.


Jurnal Biologi Sumatera. 2 (2) : 37- 41.

Anda mungkin juga menyukai