Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

PENANGANAN HASIL PERIKANAN


ACARA 1 : PENGUJIAN KUALITAS
BAHAN BAKU I: UJI
ORGANOLEPTIK IKAN SEGAR
DAN PROSES RIGOR MORTIS

Disusun Oleh:
Mohammad ‘Abid Awwali
19/442822/PN/16228

LABORATORIUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN IKAN


DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
I. PENDAHULUAN
1. TINJAUAN PUSTAKA
Ikan merupakan produk yang sangat mudah mengalami kerusakan. Hal itu
dikarenakan kandungan protein dan kadar air yang tinggi pada ikan. Berbagai
proses kemunduran mutu pada ikan seperti fisik, kimia dan organoleptik
berlangsung dengan cepat dan mengarah pembusukan. Urutan proses perubahan
yang terjadi pada ikan setelah mati meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis,
post rigor, aktivitas enzim, aktivitas mikrobia, dan oksidasi (Junianto, 2003).
Ikan nila merupakan ikan air tawar yang sangat di gemari masyarakat karena
dapat dibudidayakan dan rasanya yang gurih yang menjadikan ikan nila sangat di
gemari. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan genus ikan yang dapat hidup dalam
kondisi lingkungan yang memiliki toleransi tinggi terhadap kualitas air yang rendah, tidak
jarang ditemukan hidup normal pada habitat - habitat yang ikan dari jenis lain tidak dapat
hidup. Bentuk dari ikan nila panjang dan ramping berwarna kemerahan atau kuning
keputih-putihan. Perbandingan antara panjang total dan tinggi badan 3 : 1. Ikan nila merah
memiliki rupa yang mirip dengan ikan mujair, tetapi ikan ini berpunggung lebih tinggi dan
lebih tebal, ciri khas lain adalah garis-garis kearah vertikal disepanjang tubuh yang lebih
jelas dibanding badan sirip ekor dan sirip punggung. Mata kelihatan menonjol dan relatif
besar dengan tepi bagian mata berwarna putih (Sumantadinata, 1999).
Menurut Devi (2015), ikan nila merupakan bahan pangan yang cepat mengalami
kerusakan atau kemunduran mutu dan pembusukan (perishable food). Ikan nila mulai
mengalami penurunan kualitas fisik setelah 2 jam kematian, kerusakan ini dapat terjadi
secara biokimia maupun mikrobiologi, hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti jenis
kelamin, jenis ikan, ukuran ikan, kondisi lingkungan, perlakuan fisik, jumlah jasad renik,
dan aktivitas enzim (Ridwansyah 2002).
2. TUJUAN
1. Melakukan pengamatan indikator kesegaran ikan secara organoleptik
2. Membandingkan ikan segar dengan ikan tidak segar
3. Melakukan pengamatan indikator kesegaran ikan (pH dan tekstur) selama proses rigor
mortis
4. Membandingkan tingkat kesegaran ikan selama proses rigor mortis

3. WAKTU DAN TEMPAT


Hari/tanggal : Selasa, 2 Maret 2021
Waktu : 13.30 WIB
Tempat : Laboratorium Teknologi Pengolahan Ikan

II. METODE PRAKTIKUM


1. ALAT DAN BAHAN
A. Pengamatan Organoleptik Ikan Segar
Alat : Pisau dapur, Talenan kayu/plastik, Timbangan digital,styrofoam, lakban,
lembar penilaian sensoris
Bahan : lkan
B. Pengujian pH
Alat : pH meter, timbangan digital, pisau dapur, blender, beker glass
Bahan : aquades, buffer pH 4, buffer pH 7.
C. Pengamatan Fase Rigor Mortis
Alat : Kain lap, Styrofoam papan, Score sheet SNI 01-2346-2006, jarum
Bahan : Sampel ikan lele dan nila
2. CARA KERJA

a) Pengamatan Organoleptik Ikan Segar

Sampel ikan diposisikan dalam box styrofoam dan ditutup

Perubahan yang terjadi pada ikan mati diamati dan dicatat sesuai
parameter scoresheet SNI 01-2346-2006

b) Pengujian pH

Sampel ikan ditimbang sebanyak 5 g

Sampel dilakukan dengan alu dan mortar, kemudian ditambah akuades


sebnayak 10 ml

Larutan dituang ked ala beker glass, kemudian pH diukur dengan


emnggunakan pH meter yang sebelumnya sudah dikalibrasi dengan
larutan buffer

pH sampel dimati dan dicatat


c) Pengamatan Fase Rigor Mortis

Ikan segar dimatikan dengan beberapa perlakuan

Sampel ikan diposisikan pada baskom dan papan styrofoam dengan


bantuan jarum pentul

Diamati perubahan pada ikan setiap 2 jam

Perubahan yang terjadi pada ikan dicatat sesuai parameter scoresheet


SNI 01-2346-2006

III. HASIL PEMBAHASAN

1. HASIL

2. PEMBAHASAN
Setelah ikan ditangkap, ikan akan mengalami kemunduran mutu dan juga
kualitas mengikuti beberapa fase pre rigor mortis, fase rigor mortis, fase post rigor
mortis.
Fase pre rigor mortis dimulai sesaat setelah ikan mati hingga 2-6 jam kedepan. Fase
pre-rigor mortis dimulai sesaat setelah ikan mati hingga 2-6 jam kedepan yang diikutii
dengan perubahan metabolisme dari aerob ke anaerob. Pada fase ini masih terjadi kontraksi
aktin dan miosin dengan menggunakan sisa Adenosin trifosfat (ATP) hasil metabolisme
aerob. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang masih lembut dan lentur serta
adanya lapisan bening di sekeliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan
lendir dan kelenjar bawah kulit. Nilai mutu kesegaran ikan pada tahap ini adalah
organoleptik 9, TVB 18,67 – 20 mg N/100g; TPC 3,4 x 10 4 – 6,3 x 104 unit koloni/g; pH
6,7; dan nilai K 0,00 % - 8,22%. Spesifikasi ikan dengan nilai organoleptik 9 adalah
sebagai berikut : mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah
cemerlang tanpa lendir, sayatan daging cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan
sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding daging perutnya utuh,
dan bau isi perut segar, konsistensi otot elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek
daging dari tulang belakang(Nurjannah et al.,2004).
Tahap rigor mortis terjadi selama 10 jam (2-12 jam) setelah ikan dimatikan dengan
keadaan daging yang kaku. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging dimana
jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering
disebut sebagai kejang bangkai. Meningkatnya kekerasan pada ikan merupakan indikator
ikan memasuki fase rigor mortis (Liviawaty dan Afrianto, 2014). Tahap rigor mortis ini
terjadi fase perubahan struktur kimiawi ikan oleh enzim yang terdapat pada tubuh ikan yang
disebut proses autolisis. Ketika ikan sudah mati kondisi tubuh ikan menjadi anaerob (tanpa
Oksigen) dan ATP terurai oleh enzim yang ada dalam tubuh ikan dengan cara melepaskan
energi bersamaan dengan terjadinya perubahan biokimiawi yang menyebabkan bagian
protein otot (aktin dan Miosin ) berkontraksi sehingga tubuh ikan menegang dan kaku.
ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase, kemudian berubah menjadi
AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim
deaminase dan dari IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam
inosinat) dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan (Clucas, 1981 dan
Eskin, 1990). Kemudian bersamaan dengan itu pula karbohidrat dalam tubuh ikan yang
berbentuk glikogen terurai menjadi asam laktat (proses glikolisis), asam laktat ini
menurunkan pH sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Disisi lain
enzim proteolitik (katepsin) dalam tubuh ikan yang berfungsi menguraikan protein menjadi
senyawa yang lebih sederhana, merombak struktur jaringan otot menjadi senyawa yang
lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan bakteri.
Pada tahap post rigor ikan yang tadinya kaku menjadi lemas kembali karena
struktur otot menjadi senyawa yang lebih longgar, dengan longgarnya struktur otot tersebut
ditambah kondisi-kondisi hasil dari proses enzimatis lainnya semakin memudahkan bakteri
pembusuk tumbuh dan berkembang, sehingga pada tahap ini pertumbuhan bakteri sangat
cepat. Fase post rigor mortis terjadi pada 12 jam setelah mati. Fase ini ditandai dengan
meningkatnya pH. Peningkatan nilai pH terjadi karena enzim yang berasal dari daging ikan
dan mikroba melakukan perombakan terhadap protein dan lemak sehingga menghasilkan
senyawa bersifat basa (Liviawaty dan Afrianto, 2014). Aktivitas enzim yang semakin
meningkat ,mengakibatkan terjadinya pemecahan daging ikan yang selanjutnya
menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Rustamaji, 2009). Pada
kondisi pH yang rendah (turun) enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garis-garis gelap
Z pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara serabut-serabut otot. Enzim katepsin
yang bersifat proteolitik, juga melonggarkan struktur protein serat otot.
Menurut Adawyah (2007),parameter kesegaran ikan meliputi parameter fisik, kimia,
mikrobiologi, dan organoleptik. Parameter fisik antara lain meliputi kenampakan luar,
kelenturan daging ikan, keadaan mata, keadaan daging, keadaan insang dan sisik, keadaan
ruas badan. Kenampakan luar dari ikan yang masih segar terlihat cerah, semakin lama akan
menjadi suram dan berlendir akibat dari berlangsungnya proses biokimia. Tekstur dari ikan
yang segar cukup lentur. Sedangkan keadaan mata pada ikan segar akan terlihat menonjol
keluar dan cerah. Sedangkan ikan ynag busuk akan terlihat cekung, masuk kedalam rongga
mata. Keadaan daging ikan segar kenyal, jika ditekan dengan jari akan segara kembali.
Sedangkan pada ikan busuk keadaan daging lunak, bekas jari tidak hilang juka di tekan.
Keadaan insang pada ikan segar bewarna merah cerah, sisik melekat dan tidak mudah
terkelupas. Sedangkan parameter kimiawi meliputi pH ikan, kandungan hipoksantin, kadar
dimetilamin, trimetalamin, atau amoniak, defosforilasi IMP, lemak pada daging ikan. Nilai
pH ikan segar mendekati pH netral atau 7. Jika pH cenderug asam, dapat di pastikan ikan
tersebut sudah mengalami kemunduran mutu(BSN,2006). Hipoksantin berasal dari
pemecahan ATP, semakin tinggi kandungan hipoksantin maka tingkat kesegaran ikan juga
semakin rendah. Batas kandungan Hipoksantin yang masih dapat diterima oleh konsumen
berkisar 5 mm/g atau 70 mg %, diatas angka tersebut, bisa dikatakan ikan sudah tidak segar.
Penguraian protein akan menghasilkan senyawa dimetilamin, trimetilamin atau amoniak,
jika kesegaran ikan mengalami penurunan maka kandungan nitrogen yang mudah menguap
akan mengalami peningkatan sehingga ikan mengalami kemunduran mutu. Sedangkan
defosforilasi IMP berkaitan erat dengan perubahan cita rasa pada daging ikan. Cita rasa
yang ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi dengan asam
glutamat (Okada, 1990). Selanjutnya yaitu parameter mikrobiologi. Parameter mikrobiologi
yaitu parameter yang digunakan untuk menghitung cemaran mikroba pada ikan. Ikan secara
alami telah membawa mikroorganisme semasa hidupnya dan memiliki kemampuan untuk
mencegah aktivitas mikroorganisme tersebut. Setelah ikan mengalami kematian, maka
kemampuan ikan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme pun hilang sehingga dan
mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan dapat berkembang dengan baik. Semakin banyak
mikroba pada tubuh ikan, semakin rendah mutu pada ikan tersebut. Parameter kesegaran
ikan yang terakhir yaitu parameter organoleptik. Menurut Puri (2016), kesegaran ikan dapat
dilihat dengan kriteria sesuai dengan SNI (2006) yaitu nilai 7-9 menunjukkan ikan masih
segar, 4-6 menunjukan ikan dalam keadaan agak segar, dan 1-3 menunjukan ikan dalam
kondisi sudah tidak segar. Sedangkan menurut Santhi (2017), bahwa nilai organoleptik 9
menunjukan ikan dalam kondisi sangat segar. Kondisi ikan segar ditunjukkan dengan nilai
7-8. Nilai 5- 6 merupakan ambang batas antara kondisi ikan jelek. Dan ikan dikatakan
busuk dan tidak layak untuk dikonsumsi lagi yaitu pada nilai organoleptik 1-4. Spesifikasi
ikan dengan nilai organoleptik 9 adalah sebagai berikut : mata cerah, bola mata menonjol,
kornea jernih, insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir, sayatan daging cemerlang
berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah
terang, dinding daging perutnya utuh, dan bau isi perut segar, konsistensi otot elastis bila
ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang(Nurjannah et al.,2004).
Kesegaran ikan memang tidak bisa di tingkatkan, tetapi dapat di pertahankan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperthankan kesegaran ikan, diantaranya
dengan cara penyiangan, pendinginan, dan pengawetan. Penyiangan adalah kegiatan
pembuangan sirip, insang, dan isi perut. Pengeluaran isi perut ikan bertujuan untuk
menyingkirkan bagian utama perantara yang menyebabkan pembusukan, misalnya, bakteri
dan enzim. Semua isi dari rongga usus harus dibuang tanpa membiarkannya menyentuh
ikan yang belum dikeluarkan isi perutnya. Dalam melakukan penyiangan diusahakan
dilakukan secepat mungkin dan terhindar dari kontaminasi. Selanjutnya yaitu penggunaan
rantai dingin (cold chain). Cold chain merupakan sebuah sistem yang menjaga produk beku
atau dingin dalam lingkungan dengan temperatur tertentu yang bertujuan untuk menjaga
mutu ikan segar (Zhu dkk, 2015). Rantai dingin ini terdiri dari pendinginan (Chilling) dan
pembekuan (Freezing). Pendinginan adalah penurunan suhu sampai mencapai 0 0C.
Sedangkan pembekuan (Freezing) adalah penurunan suhu dari 0 0C sampai dibawah 0 0C.
Suhu produk perikanan beku maksimum adalah -18 0C, sebaiknya -25 hingga -30 0C atau
lebih rendah. Cara selanjutnya yang dapat digunakan untuk mempertahankan kesegaran
ikan yaitu dengan pengawetan. Proses pengawetan terhadap daging ikan dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti, pendinginan, pengasapan, serta penambahan bahan tambahan
makanan (Purwani dan Muwakhidah, 2008). Smoking atau disebut juga dengan pengasapan
merupakan suatu proses flavoring (pemberian rasa), pemasakan dan pengawetan makanan
dengan mengekspos makanan ke asap dari pembakaran terutama pada kayu
atau bahan tanaman. Hal ini bertujuan untuk mematangkan dan mengempukkan daging,
mengeringkan, memberikan warna yang baik, memberikan penampakan mengkilat pada
ikan serta mematikan mikroba awal yang terkandung dalam ikan. Selain dengan
pengasapan, pengawetan juga dapat dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan
makanan. Penambahan bahan tambahan makanan terhadap awetan daging ikan banyak
ditawarkan menggunakan bahan sintetis yang berbahaya salah satunya formalin.Selain
harganya yang murah, formalin juga mudah didapat dan pemakaiannya pun tidak sulit,
sehingga sangat diminati sebagai pengawet oleh produsen pangan yang tidak bertanggung
jawab (Deptan.go.id, 2007). Jika hal dibiarkan terus menerus akan berdampak buruk pada
kesehatan. Perlu adanya solusi penggunaan bahan tambahan makanan yang alami serta
aman untuk konsumen. Bahan alami yang memiliki aktifitas antioksidan dan antibakteri
merupakan bahan yang dapat digunakan dalam proses pengawetan. Salah satunya dengan
menggunakan ekstrak dari alga merah. Alga merah yang telah diekstrak dengan
menggunakan pelarut organik dan telah diuji memiliki kandungan antibakteri dan
antioksidan (Iskandar dkk.,2003; Kumar, 2007). Bahan tambahan ini terbukti dapat
menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan sehingga kesegaran ikan dapat bertahan lebih
lama.
IV. PENUTUP
1. KESIMPULAN
1. Pengamatan indikator kesegaran ikan secara organoleptik dilakukan dengan
pengamatan secara langsung menggunakan tabel score sheet SNI 01-2346-2006
yang meliputi daging, bau, tekstur, mata, insang, dan lendir permukaan badan.
2. Ciri – ciri ikan segar diantaranya mata cerah, bola mata menonjol, kornea
jernih, insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir, sayatan daging
cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang,
perut utuh, ginjal merah terang, dinding daging perutnya utuh, dan bau isi perut
segar, konsistensi otot elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging
dari tulang belakang. Sedangkan ciri-ciri ikan tidak segar bola mata cekung,
insang berwarna merah coklat dan berlendir, sayatan daging kusam, berbau
busuk, teksturnya sangat lembek.
3. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging dimana jaringan otot
menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. karbohidrat dalam tubuh ikan
yang berbentuk glikogen terurai menjadi asam laktat (proses glikolisis), asam
laktat ini menurunkan pH sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri
pembusuk.
4. Pada fase rigor mortis kenampakan mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak
keabu- abuan,kornea agak keruh. Insang berwarna merah agak kusam tanpa
lendir. Lendir pada permukaan badan agak keruh, kurang transparan, dan
berwarna agak putih. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan oleh jari. Bau
amoniak mulai tercium dan sedikit asam. Daging kusam.

2. SARAN
Menurut saya, praktikum acara pertama ini sudah berjalan dengan baik, kami pun
bisa merasakan pengamatan langsung walaupun tidak semua melakukan. Mungkin
kedepannya sampe yang diberikan bisa lebih beragam dengan tujuan kami bisa
mengamati perbedaan yang terjadi pada pada tiap spesies.

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: PT Bumi Aksara


Afrianto E, Evi Liviawaty, Otong Suhara, dan Herman Hamdani. (2014). Pengaruh
Suhu dan Lama Blansing Terhadap Penurunan Kesegaran Filet Tagih
Selama Penyimpanan Suhu Rendah. Jurnal Akuatika. Vol. V No.1, hlm:45-
54.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). Petunjuk Uji Organoleptik Ikan Segar
Standar Nasional Indonesia. SNI-01-2346- 2006. Jakarta: Standar Nasional
Indonesia.
Clucas, IJ. 1981. Fish Handling, Preservation and Processing in the Tropic Part. 1.
Deptan.go.id. 2007. Formalin dan Masalahnya. Warta penelitian dan
pengembangan pertanian Vol 29 No. 5 2007. Jakarta.
Devi, R, A. 2015. Pengawetan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Menggunakan
Daun Sirih Dengan Variasi Lama Perendaman Yang Berbeda. Skripsi.
Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Online:
Http://Eprints.Ums.Ac.Id/ 33549/1/Naskah%20 Publikasi.Pdf.
Eskin, NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition Academic Press Inc.
San Diego.
Iskandar, Y, D. Rusmiati, R. R. Dewi. 2003 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Terhadap Bakteri Escherichia
Coli Dan Bacillus Cereus. Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas
Padjadjaran Jatinangor. Sumedang.
Junianto, 2003. Teknik Penanganan Ikan. Seri Agriwawasan. Penebar Swadaya.
Jakarta
Kumar, K. S., K. Ganesan,. P.V. Subba Rao. 2007. Anioxidant Potensial of Solvent
extratcs of Kappphycus alvarezii (Doty) – An edible seaweed. Marine
Biotechnology and Ecology Discipline. Sentral salt and marine Chemicals
Research Institute. Gujarat India. Science direct. Food Chemistry 107
(2008). 289-295.
Okada, M. 1990. Fish as raw food material. Dalam Science of Processing
Marine Food Products. Motohiro, T; H. Kadota; K Hashimoto, M Kayama
dan T Tokunaga (Eds). Vol 1. Japan International Cooperation Agency.
Hyoga International Centre. Tropical Product Institute, London.
Puri, Anitsa Asrining. 2016. Uji Bakteriologis dan Organoleptik Ikan Nila
(Euthynnus affinis) di Pasar Tradisional, Modern, dan Gudang Lelang Kota
Bandar Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
Purwani, E, dan Muwakhidah. 2008. Efek Berbagai Pengawet Alami Sebagai
Pengganti Formalin Terhadap Sifat Organoleptik Dan Masa Simpan Daging
Dan Ikan. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 9, No. 1, 2008: 1 – 14.
Ridwansyah. 2002. Pengaruh Konsentrasi Hidrogen Perogsida (H2O2) dan Lama
Perendaman Terhadap Mutu Ikan Kembung yang Dipindang. Jurnal.
Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Santhi, D.G.D. 2017. Pemeriksaan Organoleptik Ph (Keasaman) sebagai Syarat
Mutu Keamanan Ikan Tuna (Thunnus sp). Jurnal. Fakultas Kedokteran.
Universitas Udayana Denpasar.
Setyaningsih, I., & Muldani, M. (2004). Kemunduran mutu ikan nila merah
(Oreochromis sp.) selama penyimpanan pada suhu ruang. Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 7(1).
Sumantadinata, K. 1999. Program Penelitian Genetika Ikan. INFIGRAD. Jakarta. 2
hlm.
Zhu.X.. Zhang. R.. Chu. F.. He. Z.. Li. J.. 2015. A Flexsim-based Optimization for
the Operation Process of Cold-Chain Logistics Distribution Centre (Journal
of Applied Research and Technology Vol 12 Number 2 Pages 270-278).
Beijing.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai