Anda di halaman 1dari 10

PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Praktikum Teknologi


Pengolahan Hasil Perikanan Tentang Identifikasi Kualitas Dan Baku Mutu Bahan
Baku Perikanan

ACHMAD AINUL ARIFIN


201710260311044

LABORATORIUM PERIKANAN
JURUSAN ERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
IDENTIFIKASI BAHAN BAKU PERIKANAN YANG BERMUTU

1. Ikan Bawal
Ikan termasuk komoditas yang sangat mudah rusak dan membutuhkan
penanganan segera setelah diambil (dipanen). Hal ini dapat dilihat pada ikan-ikan
yang baru ditangkap dalam beberapa jam saja kalau tidak diberi perlakuan atau
penanganan khusus yang tepat, maka mutu ikan tersebut akan menurun.
Penanganan ikan basah harus dimulai segera setelah ikan diangkat (saat
pemanenan) dengan perlakuan suhu rendah serta memperhatikan faktor
kebersihan (sanitasi) dan kesehatan (higienis). Salah satu faktor yang menentukan
nilai jual ikan dan hasil perikanan lainnya adalah tingkat kesegarannya (Junianto,
2003).
Ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat yang sama seperti ikan
hidup, baik rupa, bau, rasa, maupun teksturnya. Menurut Adawyah (2007), salah
satu parameter untuk menentukan kesegaran ikan adalah penilaian organoleptik.
Dalam rangka memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan komoditas ikan
segar yang akan dipasarkan di dalam dan luar negeri, maka ikan yang dipasarkan
harus memenuhi semua ketentuan yang terdapat dalam Standar Nasional
Indonesia Nomor 012729.1 Tahun 2006 tentang Spesifikasi Ikan Segar. Dalam
SNI 01-2729.1-2006 tentang Spesifikasi Ikan Segar ini dijelaskan bagian tubuh
yang mendapat perhatian untuk menilai tingkat kesegaran ikan meliputi 1)
kenampakan mata, 2) insang, 3) lendir permukaan tubuh, 4) daging (warna dan
kenampakan), 5) bau, dan 6) tekstur daging. Penilaian berdasarkan SNI ini
dinamakan dengan penilaian organoleptic.
Penggunaan suhu rendah yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
pengesan. Es merupakan media pendingin yang memiliki beberapa keunggulan
yaitu mempunyai kapasitas pendingin yang besar, tidak membahayakan
konsumen, lebih cepat mendinginkan ikan, harganya relatif murah, dan mudah
dalam penggunaannya (Ilyas 1983). Penelitian mengenai kemunduran mutu ikan
sudah banyak dilakukan, tetapi data mengenai kemunduran ikan masih sulit
ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini selain untuk mengetahui perubahan
mutu ikan pada penyimpanan suhu rendah juga ditujukan untuk pengumpulan
data-data mengenai kemunduran mutu ikan.
Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor
fisikawi, organoleptik, kimiawi maupun faktor mikrobiologi. Menurut , faktor
parameter fisikawi terdiri dari :

1) Penampakan luar
a. Ikan yang masih segar mempunyai penampilan yang masih cerah. Keadaan
ini terjadi karena belum banyak perubahan biokimiawi yang terjadi pada
ikan dan metabolisme dalam tubuh ikan masih berjalan dengan baik.
b. Ikan yang masih segar memiliki warna yang khas dan tidak menunjukan
warna yang agak pucat.
2) Tekstur daging
a. Ikan segar mempunyai daging yang cukup lentur. Apabila daging ditekan
atau dibengkokkan, ikan akan kembali ke bentuk semula setelah
dilepaskan, sedangkan ikan kurang segar biasannya dagingnya padat atos.
3) Kondisi mata
a. Pada ikan segar, bola mata terlihat cembung dan cerah Sedangkan pada
ikan busuk, bola mata terlihat cekung dan lebih keruh dan warna matanya
agak kelihatan agak sedikit pucat.
4) Keadaan insang
a. Ikan yang segar mempunyai insang yang berwarna merah cerah.
b. Sebaliknya pada ikan yang sudah tidak segar, warna insang berubah
menjadi coklat gelap.
Faktor parameter kimiawi yaitu pH daging ikan dan hasil-hasil akhir
penguraian komponen-komponen daging ikan, seperti kadar hipoksantin, kadar
amonia, dan kadar trimetilamin atau kadar dimetilamin. Faktor parameter sensorik
umumnya dikaitkan dengan cita rasa (flavour), warna, dan kenampakan
sedangkan faktor parameter mikrobiologi yang paling umum digunakan adalah
jumlah bakteri (Hadiwiyoto, 1993).
Adapun fase kemunduran kualitas bahan baku yang disebut fase post mortem
Penentuan fase post mortem dilakukan untuk mengetahui interval waktu
terjadinya perubahan-perubahan yang menyebabkan pembusukan pada ikan nila
yang disimpan pada suhu rendah. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan
meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor.
1. Fase Pre rigor
Perubahan pre rigor pada ikan nila terjadi secara bersamaan untuk semua
kombinasi perlakuan setelah ikan nila mati. Perubahan pre-rigor ini ditandai
dengan terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Sedangkan
perubahan rigor mortis pada ikan nila ditandai dengan kekakuan otot ikan yang
diawali dari pangkal ekor hingga mencapai fullrigor. Kekakuan otot ini
dikarenakan adanya kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk
aktomiosin (Eskin 1990).

2. Fase Rigor Mortis


Perubahan rigor mortis terjadi pertama kali pada perlakuan A2B1 (mati
menggelepar, tanpa penyiangan) setelah penyimpanan selama 4 hari 15 jam.
Perubahan rigor mortis pada ikan nila dengan perlakuan A1B1 (mati ditusuk,
tanpa penyiangan), A1B2 (mati ditusuk, penyiangan), dan A2B2 (mati
menggelepar, penyiangan) masing-masing terjadi pada hari ke-5, 6, 4 jam ke-21.
Suhu ikan nila pada masa rigor adalah 4,2 °C (A1B1); 2,9 °C (A1B2); 2,7 °C
(A2B1); dan 2,4 °C (A2B2).
Suhu ikan nila pada fase rigor mortis (hari ke-4) adalah 2,7 °C (A1B1); 2,5
°C (A1B2); 2,7 °C (A2B1); 2,4 °C (A2B2). Pada kisaran suhu tersebut aktivitas
enzim yang berperan dalam proses glikolisis dan autolisis menjadi terhambat
sehingga daya awet ikan nila menjadi lebih lama. Jika fase rigor mortis dapat
dipertahankan lebih lama maka kesegaran ikan nila dapat dipertahankan (Ilyas
1983).
3. Fase Post rigor
Pada saat fase post rigor, kondisi daging ikan yang membusuk sudah tidak
kenyal dan kulit ikan mengeras. Perubahan post rigor awal terjadi pertama kali
pada perlakuan A2B1 (mati menggelepar, tanpa penyiangan) setelah penyimpanan
selama 7 hari 18 jam. Sedangkan perubahan post rigor awal pada ikan nila dengan
perlakuan A1B1 (mati ditusuk, tanpa penyiangan), A1B2 (mati ditusuk,
penyiangan), dan A2B2 (mati menggelepar, penyiangan) masing-masing terjadi
pada hari ke-8 jam ke-6, 10, dan hari 8 jam ke-18. Perubahan post rigor ditandai
dengan melemasnya kembali otot ikan. Perubahan post rigor dipengaruhi oleh
adanya aktivitas enzim dan bakteri yang terpusat pada 3 tempat yaitu kulit, insang,
dan isi perut (Ilyas 1983).
Bakteri yang terdapat pada tubuh ikan yang masih hidup jumlahnya
tergantung pada lingkungan tempat hidup ikan tersebut. Bakteri tersebut terpusat
pada 3 tempat yaitu kulit, insang, dan isi perut. Bakteri yang terdapat pada ikan
nila untuk tiap perlakuan, jumlahnya meningkat seiring dengan bertambahnya
lama penyimpanan. Fase pertumbuhan bakteri diamati dengan interval waktu yang
sama (4 hari).
Pertumbuhan bakteri pada ikan nila setelah masa penyimpanan 4 hari
termasuk ke dalam fase akselerasi positif, dimana terjadi perubahan organoleptik
dan mulai hilangnya ciriciri ikan segar (Ilyas 1983). Pada fase ini jumlah bakteri
pada ikan nila semakin bertambah. Fase logaritmik bakteri ikan nila berlangsung
setelah masa penyimpanan selama 8 hari. Pertumbuhan bakteri pada fase ini
sangat cepat dengan semakin bertambahnya hasil penguraian enzim yang
merupakan media tumbuh bakteri. Menurut Leksono (2001), pada awal
penyimpanan total bakteri yang terdapat pada ikan relatif tidak berbeda. Jumlah
bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini
dikarenakan lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan bakteri yang
menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara maksimal.
Penggunaan suhu rendah mempengaruhi fluktuasi nilai pH pada ikan nila.
Penyimpanan ikan nila pada suhu rendah menyebabkan aktivas enzim yang
terdapat pada daging menjadi terhambat sehingga kemunduran mutunya berjalan
lebih lambat. Semakin rendah suhu yang digunakan maka aktivitas enzim semakin
terhambat. Pada proses glikolisis, enzim sangat berperan sampai terbentuknya
asam laktat. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat berjalan lebih lambat
sehingga penurunan pH ikan juga berlangsung lebih lambat. Selain itu, proses
penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang bersifat basa oleh bakteri juga
terhambat sehingga peningkatan pH ikan berlangsung lebih lambat (Price 1971).
2. Telur
Telur merupakan salah satu produk hewani yang berasal dari ternak unggas
dan telah dikenal sebagai bahan pangan sumber protein yang bermutu tinggi.
Telur sebagai bahan pangan mempunyai banyak kelebihan misalnya, kandungan
gizi telur yang tinggi, harganya relatif murah bila dibandingkan dengan bahan
sumber protein lainnya (Idayanti dkk., 2009).Telur mudah mengalami penurunan
kualitas yang disebabkan oleh kerusakan secara fisik, serta penguapan air,
karbondioksida, ammonia, nitrogen, dan hidrogen sulfida dari dalam telur
(Muchtadi dkk., 2010). Lama penyimpanan menentukan kualitas telur, semakin
lama telur disimpan, kualitas dan kesegaran telur semakin menurun (Haryoto,
2010). Jika dibiarkan dalam udara terbuka (suhu ruang) telur hanya tahan 10-
14hari, setelah waktu tersebut telur mengalami perubahan-perubahan ke arah
kerusakan seperti terjadinya penguapan kadar air melalui pori kulit telur yang
berakibat kurangnya berat telur, perubahan komposisi kimia dan terjadinya
pengenceran isi telur (Cornelia dkk., 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fibrianti dkk. (2012) menunjukkan telur yang disimpan dalam suhu kamar selama
25 hari tanpa perlakuan apapun akan menurun kualitasnya.Telur yang dijual
dipasaran tersimpan sekitar tujuh hari. Telur tersebut masih menunjukkan kualitas
yang masih baik (Haryono, 2000). Berbagai cara dilakukan agar kualitas telur
dapat dipertahankan dalam waktu yang lebih lama. Prinsip dalam pengawetan
telur segar adalah mencegah penguapan air dan terlepasnya gasgas lain dari
didalam telur selama mungkin (Warintek, 2016). Pencelupan ke dalam larutan
rumput laut sebelum telur disimpan merupakan salah satu cara yang diharapkan
dapat mempertahankan kualitas telur dapat bertahan lebih lama.
1. Telur sehat dan non sehat
1.Telur sehat memiliki bau yang khas sedang kan telur yang kurang baik
memiliki bau yang agak busuk.
2.telur sehat memiliki cangkang yang agak keras sedangkan telur yang kurang
baik memiliki kualitas cangkang yang baisannya agak terbuka.
2. Ukuran Rongga Udara Telur Dan Ph Telur
Pada minggu pertama pH telur berkisar 7, meningkat menjadi sekitar 8
setelah minggu ke dua waktu penyimpanan dan meningkat menjadi 9,5
setelah lebih dua minggu waktu penyimpanan. Akibat dari kenaikan pH putih
telur menjadi semakin encer. Hilangnya CO2 melalui pori kerabang telur
mengakibatkan konsentrasi ion bikarbonat dalam putih telur menurun dan
merusak sistem buffer. Hal tersebut menjadikan pH telur naik dan putih
telur bersifat basa (Jazil, 2013) Data diameter putih telur menunjukkan
semakin lama waktu penyimpanan semakin meningkat. Hal tersebut menurut
Cornelia (2014), terjadi akibat adanya penguapan air dan gas seperti CO2
yang menyebabkan putih telur kental menjadi semakin encer. Kenaikan pH
putih telur menyebabkan kerusakan serabut serabut ovomucin (yang
memberikan tekstur kental) menyebabkan kekentalan putih telur menurun
(Jazil, 2013). Menurunnya kekentalan putih telur berakibat meningkatnya
diameter putih telur.

3. Rajungan
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu bahan pangan yang
memiliki kandunga nnilai gizi yang tinggi terutama protein, oleh karena itu
rajungan mampu memberikan asupan gizi protein bagi tubuh. Kandungan protein
pada rajungan sebesar 16,95% dan kandungan lemak yang rendah 0,10%.
Menurut Sugeng et al., (2003). Rajungan (P. pelagicus) adalah salah satu
komoditas perikanan yang saat ini banyak diminati di pasar internasional.
Rajungan (P. pelagicus) merupakan salah satu jenis kepiting dari suku Portunidae
yang mempunyai potensi besar menjadi komoditas ekspor perikanan. Hal ini
disebabkan Karena kandungan protein rajungan yang tinggi yaitu 16,09% dan
kadar lemaknya yang sangat rendah sekitar 0,84% (Jacoeb et al., 2012). Produk
utama ekspor rajungan adalah daging rajungan pasteurisasi (pasteurize crab meat).
Produk ini memerlukan bahan baku daging rajungan yang berkualitas tinggi
(excellent).
Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat kemunduran mutu
adalah dengan pengemasan yang tepat. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau
lebih bahan yang memiliki karakteristik dan kegunaan yang sesuai untuk
melindungi daging rajungan hingga ke tangan konsumen. Pengemasan dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu berfungsi sebagai pelapis (edible
coating) dan berbentuk lembaran (edible film). Edible memiliki sifat dapat
langsung dikonsumsi (Prasetyaningrum et. al., 2010). Alginat dapat diaplikasikan
sebagai bahan pengemas yang sesuai untuk melindungi pangan karena alginat
aman dikonsumsi bagi manusia. Alginat memiliki potensi untuk membentuk
komponen biopolymer film atau coating karena alginat memiliki struktur koloid
yang unik, sebagai penstabil, pengikat, pensuspensi, pembentuk film, pembentuk
gel, dan stabilitas emulsi (Rasyid, 2009).
1. pH
Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu indikator yang diukur
untuk menentukan tingkat kesegaran hasil perikanan secara kimiawi. Nilai pH
daging hasil perikanan yang masih hidup adalah netral (Eskin 1990). Perubahan
nilai pH pada daging hasil perikanan berpengaruh pada proses pembusukan hasil
perikanan. Perubahan nilai pH terjadi karena adanya proses autolisis dan aktivitas
bakteri. Perubahan nilai pH pada fase kemunduran mutu dapat disebabkan karena
produksi asam laktat dari penguraian glikogen pada daging udang. Perubahan
nilai pH yang terjadi pada udang vaname selama proses kemunduran mutu
dilakukan pada penyimpanan suhu ±4 ºC.
2. Kadar TVB
konsentrasi edible coating alginat pada rajungan berpengaruh terhadap
perubahan mutu daging selama penyimpanan. Hal ini terlihat dengan kandungan
kadar TVBN pada daging rajungan dengan perlakuan, lebih rendah dibandingkan
dengan kontrol pada hari ke 4. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa
perbedaan konsentrasi edible coating alginat pada rajungan berpengaruh terhadap
perubahan mutu daging selama penyimpanan.Meningkatnya nilai TVBN selama
proses penyimpanan disebabkan oleh aktivitas mikroba yang dapat menguraikan
protein sehingga menghasilkan senyawa yang bersifat mudah menguap misalnya
amonia. Pada penguraian lebih lanjut akan dihasilkan senyawa-senyawa yang
berbau tidak sedap misalnya indol, putresin dan lain sebagainya.
Menurut Purwaningsih (2005), peningkatan kadar TVB selama penyimpanan
terjadi karena terurainya komponen-komponen didalam daging rajungan terutama
protein. Hal ini terjadi baik secara enzimatis maupun oleh aktivitas mikroba.
Penguraian ini akan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang berbau
busuk. Hal ini mengindikasikan terjadinya proses pembusukan pada daging
rajungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan
bahwa aktivitas mikroba dapat menguraikan protein sehingga menghasilkan
senyawa yang bersifat mudah menguap, misalnya amonia, metilamin sederhana
dan lainnya. Diperkuat oleh pernyataan Saragih (1998) penguraian protein oleh
enzim maupun mikroorganisme berkaitan erat dengan peningkatan nilai TVB.
3. Kadar TPC
Analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah penentuan TPC (Total Plate
Count) dengan metode tuang. Prinsip metode ini adalah sel bakteri dalam sampel
ditumbuhkan pada medium agar dan diinkubasi. Sel bakteri akan tumbuh
membentuk koloni yang dapat dilihat secara visual, sehingga dapat langsung
dihitung.

4. Indol
Indol merupakan indeks biokimia yang menunjukkan tingkat kebusukan
rajungan. Indol merupakan salah satu produk dekomposisi protein yang
disebabkan karena aktivitas bakteri. Indol yang terkandung dalam daging rajungan
akan semakin bertambah jumlahnya sebanding dengan tingkat penguraian
(dekomposisi). Indol yang terkandung dalam daging rajungan juga terbentuk
karena penguraian protein oleh bakteri yaitu jenis Proteus morganii,
Enterobacteriaceae, dan Escherichia coli. Penyimpanan rajungan pada suhu dan
kondisi tertentu akan mengakibatkan asam amino triptofan teroksidasi menjadi
senyawa indol dan senyawa-senyawa lain. Asam amino triptofan merupakan
komponen asam amino yang terdapat pada protein, sehingga asam amino triptofan
mudah digunakan oleh mikroorganisme akibat penguraian protein. Indol
dihasilkan dari metabolisme triptofan pada struktur protein bebas oleh enzim
triptofanase dan mikroorganisme (Mendes et al. 2005). Enzim triptofanase
dihasilkan dari mikroba yaitu Escherichia coli. Enzim tersebut mengkatalisis
penguraian gugus indol dari triotofan. Pengukuran kadar indol dalam daging
rajungan digunakan apabila evaluasi secara organoleptik dan pH sulit untuk
dilakukan (Cheuk dan Finne 1981).

Anda mungkin juga menyukai