Anda di halaman 1dari 31

Pengaruh Autolisis Dalam Penurunan

Kualitas Hasil Perikanan

Alfi Magfiroh- 225080500111019

Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas


Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Brawijaya
alfimaghfirah33227@gmail.com

Abstrak
Dewasa ini kebutuhan pangan terus
meningkat dan semakin tinggi
permintaannya. Salah satu dari bahan baku
untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang
cukup besar adalah sektor perikanan tangkap.
Sektor perikanan ini sendiri mengalami
peningkatan produksi meski diimbangi
dengan masalah yang cukup serius. Masalah
dalam sektor perikanan tidak akan jauh-jauh
dari produk hasil perikanan. Masalah yang
sering terjadi dengan produk hasil perikanan
ialah mengenai kualitas entah bagaimana
kualitas di pertahanan atau tentang penurunan
kualitas hasil perikanan. Dalam penelitian ini
penulis mengulik lebih dalam tentang faktor
dari penurunan kualitas hasil perikanan yaitu
autolisis. Autolisis merupakan proses
pemecahan menjadi lebih sederhana di bawah
pengaruh kematian ikan atau bisa disebut
juga sebagai proses bunuh diri dari sel di
dalam tubuh ikan. Pengujian autolisis ini
menggunakan uji ragam (ANOVA) dengan
parameter pH, TVB, TPC dan aktivitas
enzim. Hasil yang didapat dari penelitian
adalah bahwa nilai organoleptik kulit ikan
mengalami perubahan selama proses
kemunduran mutu, nilai pH ikan naik pada
fase post rigor sampai busuk, nilai TVB kulit
ikan menunjukkan peningkatan seiring
dengan lamanya waktu penyimpanan, nilai
TPC pada kulit ikan secara umum meningkat
dengan semakin lamanya penyimpanan. Ini
berarti kemunduran kualitas ikan terjadi dan
dimulai dari ikan yang baru saja mati hingga
ikan busuk.
Kata kunci: autolisis, penurunan kualitas,
pascapanen

Pendahuluan
Kualitas hasil perikanan merupakan satu
dari beberapa faktor yang mempengaruhi
harga ekonomis ikan. Kualitas hasil
perikanan sangat rentan untuk berubah dan
kualitas hasil perikanan ini cenderung lebih
mudah menurun. Untuk itu perlu adanya
proses penanganan pasca panen yang benar
dan steril. Waktu yang sangat menentukan
bagaimana kualitas hasil perikanan adalah
pada saat rigor-mortis dimana pada saat ini
enzim dalam tubuh ikan akan dirombak paksa
oleh enzim itu sendiri.
Ikan yang dianggap oleh pengolah
memiliki kualitas yang lebih rendah mungkin
juga kondisi kecil atau buruk untuk proses
tertentu, menghasilkan keuntungan yang
rendah. Misalnya, sering dianggap bahwa
kualitas terbaik adalah ditemukan pada ikan
yang dikonsumsi dalam beberapa jam
pertama setelah kematian. Namun, ikan yang
sangat segar yang berada dalam rigor-mortis
sulit untuk fillet dan dikuliti, dan sering tidak
cocok untuk pengasapan. Dengan demikian,
untuk prosesor, ikan yang sedikit lebih tua
yang telah melewati ketelitian proses lebih
diinginkan (Huss, 1995).
Hasil perairan berbeda dengan hasil
terestrial, di mana hasil perairan termasuk
komoditas yang sangat mudah rusak, lebih-
lebih pada iklim tropis seperti di Indonesia.
Kerusakan hasil perairan, terutama
disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroba
pembusuk yang secara alamiah merusak hasil
perairan segera setelah mati, serta reaksi
kimiawi yang juga turut berperan pada proses
kemunduran mutu produk hasil perairan.
Kemunduran mutu hasil perairan ditandai
dengan hilangnya bau khas ikan segar yang
berubah menjadi bau busuk, kerusakan fisik
seperti perubahan pada tekstur, insang,
permukaan kulit dan mata, maupun
perubahan/penurunan kandungan nutrisinya.
Proses penurunan mutu kesegaran ikan sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor
internal maupun faktor eksternal.
Jenis dan jumlah faktor yang
mempengaruhi kualitas hasil perikanan ada
banyak. Perubahan biokimia dan mikroba
pascapanen pada jaringan ikan sangat
tergantung pada faktor-faktor yang
mempengaruhi konsentrasi substrat dan
metabolit dalam jaringan ikan hidup, aktivitas
enzim endogen, kontaminasi mikroba dan
kondisi setelah penangkapan.

Dalam penurunan kualitas hasil perikanan


masa yang paling menentukan adalah masa-
masa setelah penangkapan ikan dan proses
pengelolaan hasil perikanan tersebut karena
pada masa ini rentan terjadi perubahan
struktur jaringan organ dalam produk hasil
perikanan. Perubahan struktur jaringan organ
disebabkan oleh adanya proses biologis di
dalam jaringan organ tubuh ikan yaitu
terjadinya perombakan besar-besaran dalam
jaringan dimana protein dipecah menjadi
struktur yang lebih kompleks atau bisa
disebut dengan autolisis.
Faktor biologi produk hasil perikanan
setelah pemanenan sangat berpengaruh
terhadap penentuan kualitas ikan. Rusaknya
enzim-enzim penting dalam ikan dapat
mengurangi nilai dari kualitas produk hasil
perikanan. Dalam jaringan otot ikan,
perubahan autolitik dan proteolitik dikatalisis
oleh enzim mikroba berlangsung selama
penyimpanan. Protein sedang secara bertahap
dipecah menjadi peptida, asam amino,
amonia dan beberapa zat molekul rendah
lainnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka


tujuan dari ditulisnya artikel ini adalah untuk
mengetahui dan mengenal proses terjadinya
autolisis. Serta memahami dan mengetahui
pengaruh autolisis dalam penurunan kualitas
hasil perikanan
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua
yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah
agar penelitian dan pembaca mengetahui
terjadinya perubahan kualitas hasil perikanan
yang disebabkan oleh autolisis. Dan juga
manfaat teoritis dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan membuktikan teori-
teori dari autolisis yang terjadi atau yang
berlangsung selama proses penurunan
kualitas hasil perikanan.

Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, tinjauan pustaka
yang digunakan adalah teori-teori yang
menjadi landasan dalam penelitian selain itu
kajian pustaka juga melalui jurnal-jurnal
penelitian nasional dan internasional.

Autolisis
Wakjira (2011) menyatakan bahwa
autolisis adalah peristiwa mencerna sendiri
oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh
sel/jaringan setelah kematian sel. Autolisis
pada daging dan organ-organ lainnya
tergolong dalam kerusakan secara kimiawi
yang juga sering disebut dengan souring.
Autolisis merupakan perlunakan dan
pencairan jaringan yang terjadi dalam
keadaan steril melalui proses kimia yang
disebabkan oleh enzim-enzim intrasel;
dengan kata lain autolisis merupakan
penghancuran jaringan atau sel-sel dari suatu
organisme oleh enzim-enzim yang diproduksi
oleh sel-sel itu sendiri. Organ-organ yang
kaya dengan enzim akan mengalami proses
autolisis lebih cepat dari pada organ-organ
yang memiliki sedikit enzim.

Kualitas hasil perikanan


Istilah kualitas memiliki pengertian yang
berbeda-beda. Paling sering 'kualitas'
mengacu pada penampilan estetika dan
kesegaran atau tingkat pembusukan yang
dialami ikan. Ini mungkin juga melibatkan
aspek keamanan seperti bebas dari bakteri
berbahaya, parasit atau bahan kimia. Penting
untuk diingat bahwa 'kualitas' menyiratkan
perbedaan hal-hal untuk orang yang berbeda,
dan merupakan istilah yang harus
didefinisikan dalam asosiasi dengan jenis
produk individu. Dalam industri perikanan,
istilah 'ikan berkualitas' sering dikaitkan
dengan spesies mahal atau dengan ukuran
ikan.
Kualitas biasanya mengacu pada arti yang
sama dengan kesegaran. Kesegaran adalah
kontribusi utama terhadap kualitas produk
makanan laut.untuk semua jenis produk
makanan laut, kesegaran sangat penting
untuk kualitas akhir produk.
Menurut Delbarre et al. (2016), kualitas
pascapanen makanan laut berubah dengan
cepat. Atribut kualitas daging ikan termasuk
keamanan pangan, fitur organoleptik, kualitas
nutrisi dan kemampuan untuk industri
transformasi mempengaruhi konsumsi dan
penerimaan ikan sebagai makanan.
Perubahan sensorik ikan dan sifat tekstur
terkait erat dengan kesegaran.

Faktor yang mempengaruhi kualitas hasil


perikanan
Jenis dan jumlah faktor yang
mempengaruhi kualitas hasil perikanan ada
banyak. Perubahan biokimia dan mikroba
pascapanen pada ikan jaringan sangat
tergantung pada faktor-faktor yang
mempengaruhi konsentrasi substrat dan
metabolit dalam jaringan ikan hidup, aktivitas
enzim endogen, kontaminasi mikroba dan
kondisi setelah penangkapan. Seiring dengan
biokimia otot antemortem, proses biokimia
post-mortem adalah langsung terkait dengan
atribut kualitas akhir. Pemahaman
mekanisme pasca kematian merupakan
prasyarat untuk kontrol yang akurat dari
kualitas ikan komersial dengan identifikasi
penanda objektif atau indikator (Delbarre-
Ladrat et al. 2006).
Huss dalam jurnalnya yang berjudul
quality change in fresh fish tahun 2011
menerangkan bahwa faktor yang
mempengaruhi kualitas ikan ada banyak
sekali yaitu sifat fisik, kimia dan
bakteriologis ikan cenderung berbeda dengan
spesies, kebiasaan makan, musim, siklus
pemijahan, metode penangkapan, daerah
penangkapan, ukuran, umur, beban
mikrobiologis dan lokasi geografis. Namun
suhu dan rigor-mortis adalah faktor utama
yang mendasari pembusukan ikan.

Fase perubahan kualitas hasil perikanan


Dalam jurnal yang ditulis oleh vatria et al.
(2020) fase perubahan kualitas hasil
perikanan ada 3 yaitu
1. Pre-Rigor
Tahap pre-rigor merupakan
perubahan yang pertama kali terjadi
setelah ikan mati. ketika ikan mati
peredaran darah berhenti pasokan
oksigen untuk metabolisme (siklus
kehidupan dalam tubuh) juga terhenti.
Namun meski sudah mati proses
enzimatis yang sebenarnya sudah
ada sejak ikan tersebut hidup tetap
berlangsung, bedanya saat ikan mati
proses enzimatis tersebut tidak
terkendali hingga menyebabkan
perubahan biokimiawi yang sangat
besar dalam tubuh ikan, salah satu
tandanya terjadi pelepasan lendir
yang menyelimuti tubuh ikan
(hiperemia) yang semakin lama
semakin banyak (2-4 jam) sehingga
menjadi tempat tumbuh bakteri
pembusuk yang sangat ideal. Pada
tahap pre-rigor ini otot ikan masih
lentur dan llemas.
2. Rigor Mortis
Tahap rigor mortis ini berlangsung
kurang lebih 5 jam, dalam kondisi
tersebut ikan masih cenderung
sangat segar, ditandai dengan tubuh
ikan yang kejang setelah ikan mati
(rigor-kaku, mortis-mati). Tahap rigor
mortis ini terjadi fase perubahan
struktur kimiawi ikan oleh enzim
yang terdapat pada tubuh ikan yang
disebut proses autolisis. Ada suatu
senyawa di dalam tubuh ikan yang
disebut adenosine trifosfat (ATP), ini
merupakan sumber energi yang
digunakan untuk kegiatan fisik ketika
hidup Ketika ikan sudah mati
kondisi tubuh ikan menjadi anaerob
(tanpa Oksigen) dan ATP terurai
oleh enzim yang ada dalam tubuh
ikan dengan cara melepaskan energi
bersamaan dengan terjadinya
perubahan biokimiawi yang
menyebabkan bagian protein otot
(aktin dan Miosin ) berkontraksi
sehingga tubuh ikan menegang dan
kaku. Kemudian bersamaan dengan
itu pula karbohidrat dalam tubuh
ikan yang berbentuk glikogen
terurai menjadi asam laktat (proses
glikolisis), asam laktat ini
menurunkan pH sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri
pembusuk.
3. Post Rigor
Pada tahap post rigor ini fase yang
dominan adalah proses perusakan
(dekomposisi) ikan secara
bakteriologis dan terjadinya oksidasi
lemak Pada tahap ini ikan yang
tadinya kaku menjadi lemas kembali
karena struktur otot menjadi senyawa
yang lebih longgar, dengan
longgarnya struktur otot tersebut
ditambah kondisi-kondisi hasil dari
proses enzimatis lainnya semakin
memudahkan bakteri pembusuk
tumbuh dan berkembang, sehingga
pada tahap ini pertumbuhan bakteri
sangat cepat Sebenarnya bakteri
sudah mulai ada dalam tubuh ikan
sejak ikan itu hidup (kulit,
insang,saluran pencernaan) dan ketika
ikan itu mati baru bakteri itu
melakukan perusakan (dekomposisi)
tapi kerusakan yang paling dahsyat
dilakukan bakteri setelah proses
enzimatis berlangsung dimana proses
tersebut menyediakan media ideal
untuk bakteri tersebut tumbuh.

Metode Penelitian
Waktu penelitian ini berlangsung selama
dua bulan dimulai pada tanggal 17 Oktober
2022 mulai dari penentuan judul sampai
dengan pelaksanaan penelitian yang
bertempat di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya Malang.
Kemudian ada sumber data dimana yang
dimaksud sumber data dalam penelitian
adalah subjek dari mana data dapat diperoleh
(Arikunto, 2006). Sumber data yang
digunakan adalah data yang berasal dari
jurnal, buku, artikel ilmiah dan literatur
terkait.
Pendekatan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data-
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Sehingga data yang
dikumpulkan adalah data yang berupa kata
atau kalimat maupun gambar (bukan angka-
angka). Data-data ini bisa berupa naskah
wawancara, catatan lapangan, foto, video,
dokumen pribadi, memo ataupun dokumen
resmi lainnya (Moleong, 2014). Jenis
penelitian dalam penelitian ini menggunakan
jenis kualitatif. Jenis kualitatif ini dipilih oleh
peneliti dikarenakan judul yang peneliti
angkat lebih mengarah pada pendeskripsian
sesuatu jadi jenis kualitatif ini yang sesuai
dengan judul peneliti dimana dalam
penelitian ini mencoba mendeskripsikan,
menguraikan, dan menggambarkan tentang
pengaruh autolisis dalam penurunan kualitas
hasil perikanan.
Objek dalam penelitian ini sendiri adalah
pengaruh atau dampak dari autolisis dalam
jaringan organ tubuh ikan, dimana autolisis
merupakan suatu reaksi kimiawi yang terjadi
setelah ikan mati. Sementara teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah
dengan menggunakan teknik studi literatur
dimana dalam penulisan artikel ini peneliti
mengambil data yang berasal dari jurnal,
buku, dan literatur terkait. Dalam mengolah
data yang sudah dikumpulkan ada beberapa
tahap berikut diantaranya.
1. Reduksi. Reduksi data adalah
mencatat secara rinci dan teliti,
merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang penting, dicari tema dan polanya
agar memberikan gambaran yang
lebih jelas dan mempermudah peneliti
melakukan pengumpulan data
selanjutnya.
2. Sajian data. Pada tahap ini penyajian
data dalam penelitian kualitatif bisa
dilakukan dalam bentuk uraian
singkat atau teks yang bersifat naratif.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Pada tahap ini dibuat kesimpulan dan
verifikasi tentang hasil dari data yang
diperoleh sejak awal penelitian.
Kesimpulan pada tahap awal
didukung oleh bukti-bukti yang valid
dan konsisten saat peneliti kembali
mengumpulkan data maka kesimpulan
yang dikemukakan adalah kesimpulan
yang kredibel.

Analisis terhadap nilai pH, TPC, TVB,


dan aktivitas enzim dilakukan dengan uji
ragam (ANOVA) berupa rancangan acak
kelompok dengan 4 perlakuan (ikan P, Q, R,
dan S) dan 4 kelompok (pre rigor, rigor
mortis, post rigor, dan busuk).

Hasil dan Pembahasan


Proses terjadinya autolisis
Autolisis adalah pemecahan atau
dekomposisi molekul yang lebih besar seperti
protein, lipid dan karbohidrat di bawah
pengaruh enzim hingga kematian ikan.
Kualitas ikan sebagai bahan baku untuk
konsumsi atau untuk pengolahan sangat
bergantung pada proteolisis, yang merupakan
autolisis protein. Dalam jaringan otot ikan,
perubahan autolitik dan proteolitik dikatalisis
oleh enzim mikroba berlangsung selama
penyimpanan. Protein sedang secara bertahap
dipecah menjadi peptida, asam amino,
amonia dan beberapa zat N molekul rendah
lainnya. Amina biogenik beracun (histamin,
tiramin) dapat dihasilkan oleh aktivitas
beberapa mikroorganisme. Umur simpan
lemak ikan dibatasi oleh dekomposisi lipid
perubahan deteriorasi yang terjadi pada ikan
mengakibatkan perubahan bertahap
akumulasi senyawa tertentu dalam daging.
Kuantifikasi dari senyawa ini dapat
memberikan ukuran kemajuan kerusakan. Di
antara indeks kimia pembusukan yang dinilai
adalah: Trimetilamina (TMA), basa volatil
total (TVB) dan hipoksantin isi dagingnya.
TMA adalah senyawa paling terkenal yang
diproduksi selama pembusukan ikan dan itu
terutama berasal dari kerusakan bakteri
Trimetilamina oksida (TMAO). Konten TVB
adalah Alternatif untuk mengukur TMA, dan
termasuk amonia, dimetilamin (DMA) dan
TMA. Asam amino adalah substrat bakteri
yang penting untuk pembentukan sulfida dan
amonia.
Pembusukan kimia yang terkait dengan
ikan selama penyimpanan terutama karena
degradasi lipid ikan (auto-oksidasi). Secara
umum, ikan memiliki lipid tak jenuh yang
lebih tinggi dibandingkan komoditas pangan
lainnya. Minyak dan senyawa lemak tak
jenuh yang terkandung dalam ikan daging
dan jaringan lain dapat mengalami perubahan
saat ikan sedang disimpan yang
menghasilkan bau tengik, perubahan rasa dan
perubahan warna. kan biasanya memiliki
tingkat ketidakjenuhan lipid yang jauh lebih
tinggi daripada sebagian besar makanan lain
dan oleh karena itu, sangat rentan terhadap
oksidatif bau tengik. Lipid ikan mengalami
dua perubahan utama: lipolisis dan auto-
oksidasi. Reaktan utama dalam proses ini
melibatkan oksigen atmosfer dan ikan tak
jenuh, lipid yang mengarah pada
pembentukan hidroperoksida, yang terkait
dengan rasa hambar dan disertai dengan
perubahan warna coklat-kuning jaringan ikan.
Oksidasi lemak biasanya terjadi setelah
autolisis dan pembusukan bakteri.
Konsentrasi lipid pada ikan dapat
berkontribusi pada proses pembusukan pada
ikan. Lemak dalam ikan sebagian besar
adalah lemak tak jenuh asam yang mudah
dioksidasi oleh oksigen dari atmosfer. Tinggi
suhu atau paparan cahaya dapat
meningkatkan laju oksidasi. Untuk ikan
berlemak yang diawetkan dalam es,
pembusukan karena ketengikan terutama
disebabkan oleh oksidasi. Ini menghasilkan
bau yang tidak enak dan tidak menyenangkan
serta rasa tengik.
Pembusukan autolitik berubah mendahului
perubahan lain yang bertanggung jawab atas
hilangnya kualitas ikan selama penyimpanan.
Autolisis pada prinsipnya adalah reaksi
enzimatik, yang berlangsung dalam jaringan
ikan. Enzim dan reaksi kimia terkait lainnya
tidak segera menghentikan aktivitasnya di
otot ikan setelah ikan mati. Kelanjutan
mereka memulai proses lain seperti rigor-
mortis; yang dasar untuk pembusukan
autolitik pada ikan.
Pada ikan bandeng dilakukan pengujian
terhadap nilai organoleptik, pH, TVB dan
TPC sebagai berikut
1. Nilai organoleptik kulit ikan bandeng
mengalami perubahan selama proses
kemunduran mutu. Nilai organoleptik
kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
mengalami penurunan dengan
semakin lamanya waktu
penyimpanan. Kulit ikan yang
disimpan pada suhu ruang (kode: P
dan Q) lebih cepat dibandingkan
dengan kulit ikan yang disimpan pada
suhu chilling (kode: R dan S). Suhu
chilling dapat memperlambat
kemunduran mutu pada ikan karena
suhu chilling dapat menghambat
aktivitas bakteri pembusuk pada ikan
(Huss 1995).
2. Nilai pH pada kulit ikan bandeng P,
Q, R, dan S berkisar antara 6,42-7,11
pada fase pre rigor. Setelah fase pre
rigor pH ikan turun dan mencapai titik
terendah pada fase rigor mortis
dengan kisaran 6,02-6,46. Nilai pH
ikan naik pada fase post rigor sampai
busuk. Penurunan nilai pH pada
kemunduran mutu ikan disebabkan
asam laktat yang terbentuk akibat
respirasi anaerob pada ikan. Nilai pH
pada kemunduran mutu ikan kembali
naik setelah turun akibat dari
meningkatnya basa-basa akibat
aktivitas enzim dan bakteri (Huss
1995).
3. Nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R,
dan S menunjukkan peningkatan
seiring dengan lamanya waktu
penyimpanan. Nilai TVB pada kulit
ikan bandeng P, Q, R, dan S pada fase
pre rigor berkisar antara 5,88-6,27 mg
N/100 g. Nilai TVB naik sampai pada
fase busuk dimana nilai TVB
mencapai kisaran 45,36-57,40 mg N/
100 g. Nilai TVB pada fase busuk
mencapai nilai yang sudah diatas
batas nilai TVB untuk konsumsi,
yaitu 30 mg N/100 g. Peningkatan
nilai TVB selama kemunduran mutu
ikan disebabkan oleh enzim autolisis
yang menguraikan protein dan
digunakan oleh bakteri untuk
pertumbuhannya (Huss 1995).
4. Nilai TPC pada kulit ikan bandeng P,
Q, R, dan S secara umum meningkat
dengan semakin lamanya
penyimpanan. Nilai TPC yang
dinyatakan dalam log TPC pada fase
pre rigor berkisar antara 3,66-3,72
cfu/ ml. Nilai TPC pada kulit ikan
bandeng P, Q, R, dan S terus naik
sampai dengan fase busuk yang
mencapai nilai log TPC pada kisaran
7,34-7,85 cfu/ ml. Ikan yang disimpan
pada suhu ruang (kode: P dan kode:
Q) mengalami kenaikan nilai TPC
lebih cepat dibandingkan dengan ikan
yang disimpan pada suhu chilling
(kode: R dan kode: S). Suhu chilling
dapat menghambat kemunduran mutu
ikan dengan menghambat aktivitas
bakteri pada ikan (Medina et al.,
2009).

Setelah kematian hewan, enzim


menembus dinding usus dan sekitarnya
daging, melemahkan dan melembutkannya.
Usus dan dagingnya mungkin diserang oleh
bakteri pembusuk. Enzim berperan dalam
perkembangan rigor mortis, yaitu: kekakuan
progresif otot beberapa jam setelah kematian.
Itu efek kekakuan adalah sebagai akibat dari
koagulasi protein otot. Durasi intensitas
kekakuan tergantung pada spesies, suhu dan
kondisi ikan. Biasanya lewat sebelum bakteri
menyerang otot, membuat daging menjadi
lunak dan lemas. Mengikuti ketelitian proses
pencernaan sendiri dimulai, sebagai akibat
dari aktivitas enzimatik. Enzim usus sangat
aktif saat ini. Sebuah fenomena dikenal
sebagai ‘perut pecah’ dapat terjadi hanya
dalam beberapa jam pada beberapa ikan,
seperti seperti sarden dan herring, dan
disebabkan oleh melemahnya dinding perut
karena pencernaan sendiri. Kehilangan
kualitas awal terutama dijelaskan oleh
perubahan autolitik, seperti sebagai degradasi
nukleotida (senyawa terkait ATP) oleh
autolitik enzim. Hilangnya nukleotida
intermediet, inosin monofosfat (IMP),
bertanggung jawab atas hilangnya rasa ikan
segar. Autolitik ini perubahan membuat
katabolik tersedia untuk pertumbuhan bakteri.
Yang paling penting dalam perubahan
pembusukan autolitik adalah degradasi
nukleotida ikan. Adenosin trifosfat (ATP)
terdegradasi menjadi adenosin difosfat
(ADP), adenosin monofosfat (AMP), IMP,
Inosin (Ino) dan hypoxanthine (Hx), terkait
dengan rasa pahit ikan.

Pengaruh autolisis
pada pagi hari tergolong ikan yang masih
segar. Ikan yang masih segar mempunyai
kenampakan mata yang cerah, bola mata
menonjol (cembung), dan kornea berwarna
putih. Keadaan tersebut dikarenakan belum
banyak perubahan biokimia yang terjadi,
sehingga metabolisme dalam tubuh ikan
masih berjalan sempurna (Widiastuti, 2007).
Insang berwarna merah cemerlang tanpa
ditutupi lendir. Lapisan lendir permukaan
badan berwarna jernih, transparan, dan cerah
mengilat. Daging apabila disayat berwarna
sangat cemerlang, tidak ada perubahan warna
pada sepanjang tulang belakang, dan dinding
perut dalam kondisi utuh. Bau sangat segar
(tidak ada bau amoniak, H2S (hidrogen
sulfida), asam, dan busuk sama sekali).
Tekstur padat, elastis bila ditekan dengan jari,
dan sulit untuk menyobek daging pada bagian
tulang belakang. Daging ikan segar cukup
lentur jika dibengkokkan dan segera akan
kembali ke bentuknya semula apabila
dilepaskan. Kelenturan itu dikarenakan belum
terputusnya jaringan pengikat pada daging
(Bahar, 2006).

Ikan pada siang hari mengalami


penurunan tingkat kesegaran. Perubahan
kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan
yang nyata pada kecerahan matanya.
Parameter ini merupakan yang paling mudah
untuk dilihat. Kecerahan mata menjadi
berkurang, bola mata agak rata, pupil
berwarna keabu-abuan, dan agak keruh.
Insang berwarna merah agak kusam, namun
tidak ditutupi lendir. Permukaan tubuh mulai
ditutupi lendir, berwarna agak putih, dan
kurang transparan. Sayatan daging berwarna
kurang cemerlang, tidak ada perubahan
warna merah di sepanjang tulang belakang,
daging dinding perut masih utuh. Berbau
netral (belum berbau amoniak, H2S
(hidrogen sulfida), ataupun bau asam. Tekstur
agak padat, agak elastis bila ditekan dengan
jari, dan sulit untuk menyobek daging dari
arah tulang belakang.
Ikan pada sore hari tergolong ikan yang
tidak segar. Perubahan kesegaran ikan
menyebabkan perubahan yang nyata pada
kecerahan matanya. Mata ikan berwarna
putih susu, kornea keruh, dan bola mata
menjadi cekung. Insang berwarna cokelat tua
dan diselimuti lendir yang tebal. Insang ikan
merupakan pusat darah mengambil oksigen
dari dalam air. Ikan yang mati mengakibatkan
peredaran darah terhenti, bahkan sebaliknya
dapat teroksidasi, sehingga warnanya berubah
menjadi cokelat tua (Widiastuti, 2007).
Lendir permukaan badan tebal menggumpal
dan berwarna kuning kecokelatan. Sayatan
daging sangat kusam dengan warna merah
yang kontras di sepanjang tulang belakang,
serta dinding perut sangat lunak. Bau
amoniak kuat, adanya bau H2S (hidrogen
sulfida), serta berbau asam dan busuk.
Tekstur lunak, bekas jari terlihat bila ditekan,
dan mudah menyobek daging dari arah tulang
belakang. Daging ikan yang tidak segar
(busuk) dalam kondisi kaku dan jika
dibengkokkan tidak dapat kembali ke
bentuknya semula. Kekakuan tersebut
dikarenakan jaringan pengikatnya banyak
mengalami kerusakan dan dinding selnya
banyak yang rusak, sehingga daging ikan
kehilangan kelenturan (autolisis) (Nurjanah
et al.,. 2004).
Autolisis adalah proses perombakan
sendiri, yaitu proses perombakan jaringan
oleh enzim yang berasal dari produk
perikanan tersebut (Nurjanah et al., 2004).
Proses autolisis terjadi pada saat ikan
memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang
mati setelah penangkapan akan mengalami 3
(tiga) fase secara berurutan, yaitu fase
prerigor, rigor mortis, dan post rigor mortis.
Fase pre rigor adalah fase dimana mutu dan
kesegaran ikan sama seperti ketika masih
hidup, fase rigor mortis adalah fase dimana
ikan memiliki kesegaran dan mutu seperti
ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya
secara bertahap menjadi kaku, dan fase post
rigor mortis adalah fase ikan yang mulai
mengalami pembusukan daging (Nurjanah et
al., 2004). Ikan yang mengalami autolisis
memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis,
sehingga apabila daging tubuhnya ditekan
dengan jari akan membutuhkan waktu relatif
lama untuk kembali ke keadaan semula. Bila
proses autolisis sudah berlangsung lebih
lanjut, maka daging yang ditekan tidak
pernah kembali ke posisi semula (Sumardi,
2010).

PENUTUP
Kesimpulan
Proses autolisis terjadi pada saat ikan
memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang
mati setelah penangkapan akan mengalami 3
(tiga) fase secara berurutan, yaitu fase
prerigor, rigor mortis, dan post rigor mortis.
Fase pre rigor adalah fase dimana mutu dan
kesegaran ikan sama seperti ketika masih
hidup, fase rigor mortis adalah fase dimana
ikan memiliki kesegaran dan mutu seperti
ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya
secara bertahap menjadi kaku, dan fase post
rigor mortis adalah fase ikan yang mulai
mengalami pembusukan daging. Ikan yang
mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh
yang tidak elastis, sehingga apabila daging
tubuhnya ditekan dengan jari akan
membutuhkan waktu relatif lama untuk
kembali ke keadaan semula. Bila proses
autolisis sudah berlangsung lebih lanjut,
maka daging yang ditekan tidak pernah
kembali ke posisi semula.

Saran
Dengan dilakukannya penelitian dan
pengujian terhadap pengaruh autolisis
terhadap kualitas hasil perikanan ini
diharapkan penelitian selanjutnya dapat
mengembangkan permasalahan dan
pengujian terhadap masalah ini. Penelitian
autolisis terhadap kualitas hasil perikanan
masih sangat kurang sehingga sulit untuk
menemukan literatur terkait, diharapkan
kedepannya para peneliti dapat meneliti
menggunakan hasil perikanan sebagai
objeknya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu


Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bahar, B. 2006. Memilih dan Menangani
Produk Perikanan. Jakarta: Gramedia
Utama
Delbarre-Ladrat C., Cheret, R., Taylor,
R.Verrez-B-Bagnis, V. (2006). Trends
in postmortem aging in fish:
Understanding of proteolysis and
disorganization Of the myofibrillar
structure. Critical Reviews In Food
Science and Nutrition 46(5), 409-421.
Farber L. 1965. Freshness Test. Borgstorm G,
editor. Di dalam: Fish as Food Vol
IV. New York: Academic Press
Huss, H.H. (1995). Quality and quality
changes in fresh fish. FAO Fisheries
Technical Food and Agriculture
Organization of the United Nations.
pp 384
Moleong, Lexy.2014. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Bandung.
Medina, I., Gallardo, J, M., & Santiago, P, A.
(2009). Quality preservation in chilled
andfrozen fish products by
employment of slurry ice and natural
antioxidants. International Journal of
Food Science and Technology, 44
1467–1479.
Nurjanah, Setyaningsih I, Sukarno, Muldani
M. 2004. Kemunduran mutu ikan
nilam (Oreochromis Sp.) selama
penyimpanan pada suhu ruang.
Buletin Teknologi Hasil Perikanan
7(1): 37-42.
Sumardi, J.A. (2010). Ikan Segar Mutu dan
Cara Pendinginan Teknologi Hasil
Perikanan. Malang: UB Press
Vatria, B. (2010). Penerapan teknologi
pengolahan Kerupuk udang dengan
bahan baku limbah Kepala udang
sebagai usaha peningkatan Ekonomi
dan gizi masyarakat di kelurahan
Batulayang kecamatan pontianak
utara. Jurnal Vokasi. 6 (2): 142-151.
Wakjira, M. (2011). A Distance Course of
Module on Fisheries and Aquaculture
(Biol421). (Ed T. Habtamu), pp. 154.
Widiastuti, I.M. (2007).Sanitasi dan mutu
kesegaran ikan konsumsi pada pasar
tradisional di Kota Palu. Jurnal
Agroland 14(1): 77-81.

Anda mungkin juga menyukai