MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fisiologi Pasca Panen
Oleh:
ANGGI ANGGRAINI
1804111464
KELAS THP-A
Proses penurunan mutu (deteriorasi) pada ikan disebabkan oleh tiga macam kegiatan
yaitu autolisis, kimiawi, dan bakteriologis. Autolisis oleh enzim merupakan salah satu hal
yang berperan dalam cepatnya kemunduran mutu pada kulit sebagaimana terjadi pada
ikan. Enzim-enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan diantaranya adalah
enzim katepsin dan kolagenase. Pembusukan dan lama waktu penyimpanan dapat
memicu pertumbuhan mikroba pembusuk. Jenis mikroba yang berperan pada proses
pembusukan ikan sebagian besar terdiri dari bakteri gram-negatif dari jenis
Flavobacterium, dan CytopHaga. Jenis mikroba pembusuk aerob dari ikan yang disimpan
di es terdiri terutama dari jenis Pseudomonas spp dan Shewanella putrefaciens. Penentuan
secara organoleptik adalah dengan melihat penampakan luar, kelenturan daging ikan,
keadaan mata, warna insang dan bau ikan. Nilai kesegaran yang tinggi, disebabkan ikan
baru saja ditangkap dan baru mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging,
mata, mapun insangnya masih benar-benar dalam keaadan segar. Ikan dinyatakan segar
secara organoleptik jika warna ikan mengkilap sesuai jenisnya, kelenturan dagingnya
elastis, pupil hitam dan menonjol, warna insang merah cerah dan bau segar spesifik sesuai
dengan jenisnya
Ikan merupakan sumber bahan pangan yang bermutu tinggi, karena mengandung
protein yang sangat baik dibutuhkan oleh tubuh manusia. Ikan juga merupakan salah satu
jenis bahan pangan yang mudah rusak sehingga mutu ikan mudah menurun. Mutu ikan
bisa menurun dikarenakan reaksi yang terjadi pada tubuh ikan. Penurunan mutu masih
Kesegaran ikan merupakan faktor yang sangat penting dan erat hubungannya dengan
mutu ikan. Ikan dalam keadaan masih segara memiliki mutu yang baik sehingga nilai
jualnya tinggi, sebaliknya jika ikan kurang segar memiliki mutu yang rendah sehingga
Pernyataan tersebut juga di dukung oleh (Ekasari et al., 2017) yang menyatakan
bahwa salah satu faktor yang menentukan nilai jual ikan dan hasil perikanan lain adalah
tingkat kesegarannya. Mutu kesegaran dapat mencakup rupa atau kenampakan, rasa, bau
dan juga tekstur yang secara sadar ataupun tidak sadar akan dinilai oleh pembeli atau
Adapun reaksi yang mengakibatkan kemunduran mutu sesuai dengan yang dikatakan
oleh (Sitakar et al., 2016) proses penurunan mutu (deteriorasi) pada ikan disebabkan oleh
tiga macam kegiatan yaitu autolisis, kimiawi, dan bakteriologis. Autolisis berkaitan
dengan enzim yang terdapat pada tubuh ikan itu sendiri. Kimiawi berkaitan dengan
reaksi yang terjadi di dalam tubuh ikan tersebut yang menyebabkan kebusukan. Penulis
berharap melalui paper ini para pembaca dapat mengetahui penyebab kemunduran mutu
ikan berdasarkan reaksi autolisis, mikroorganisme, kimiawi dan organoleptik. Paper ini
pun bisa menjadi referensi bagi penulis yang ingin membahas tentang kemunduran mutu
pada ikan berdasarkan reaksi atau aktivitas yang terjadi pada ikan itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut adapun yang menjadi rumusan masalah dari
paper yaitu bagaimana kemunduran mutu pada ikan bisa terjadi berdasarkan reaksi
tersebut yaitu dapat menjelaskan kemunduruan mutu pada ikan berdasarkan reaksi
Autolisis oleh enzim merupakan salah satu hal yang berperan dalam cepatnya
kemunduran mutu pada kulit sebagaimana terjadi pada ikan. Enzim-enzim yang berperan
dalam kemunduran mutu ikan diantaranya adalah enzim katepsin dan kolagenase. Enzim
katepsin menyebabkan pelunakkan tekstur pada kemunduran mutu ikan. Enzim katepsin
terdapat pada lisosom sel otot dan matriks ekstraseluler yang berhubungan dengan
jaringan ikat. Enzim kolagenase mendegradasi ikatan polipeptida terutama pada jaringan
Ikan lebih cepat memasuki fase rigor pada suhu ruang dan berlangsung lebih singkat.
Apabila fase rigor tidak dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas
enzim dan bakteri akan berlangsung lebih cepat. Fase ini menunjukan bahwa mutu ikan
sudah rendah dan tidak layak untuk dikonsumsi. Fase rigor, nilai pH daging ikan akan
awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga
Jika fase rigor tidak dipertahankan lebih lama maka proses pembusukan yang
disebabkan aktivitas enzim dan bakteri akan berlangsung cepat. Aktivitas enzimatis dapat
ialah perubahan terhadap karbohidrat, protein, dan lemak. Perubahan protein terjadi
setelah ikan melewati fase rigor dimana protein mengalami pembongkaran oleh enzim
otolitik menjadi peptida dan asam amino bebas kemudian dibongkat menjadi metabolit
sederhana yang pada umunya menyebabkan ikan berbau busuk. Perubahan lemak
disebabkan oleh aktivitas enzim lipolitik yang memecah asam lemak menjadi senyawa
keton dan aldehilda sehingga ikan mengalami ketengikan (Lemae & Lasmi, 2019).
Faktor yang paling cepat menyebabkan kemunduran mutu adalah faktor enzimatis.
Enzim katepsin merupakan enzim proteolitik yang dapat memecah struktur protein pada
tubuh makhluk hidup. Aktivitas enzim katepsin dapat dicegah dengan inhibitor spesifik
Ikan utuh yang disiangi dapat menghambat proses pembusukan karena pertahanan
alaminya masih ada aktivitas mikroorganisme yang dapat dihambat. Luka yang terjadi
pada ikan merupakan jalan bagi bakteri pembusuk. Ikan dalam keadaan mati menggelepar
proses perubahan biokimia akan menjadi lebih cepat, karena ikan berontak yang terus
bertahan hidup yang mengakibatkan kehilangan energi sehingga proses rigor mortis lebih
Sehingga pengujian terhadap organoleptik terkstur juga menurun. Timbulnya tekstur, bau
tidak enak atau rasa memiliki penerimaan negatif oleh konsumen. Degradasi protein dan
derivatnya akan membentuk basa volatil yang mudah menguap yaitu amoniak, histamin
Batas nilai TVB untuk ikan yang masih dapat di konsumsi manusoa adalah 300
mg/100 gram. Peningkatan nilai TVB pada ikan disebabkan penguraian protein oleh
enzim autolisis serta aktivitas bakteri. Bakteri berperan besar dalam peningkatan basa
volatil pasca kematian ikan. Bakteri – bakteri pembusuk pada ikan memanfaatkan
beberapa senyawa ini untuk melakukan respirasi dan berkembang biak. Beberapa bakteri
pembusuk pada ikan yang bersifat anaerobik fakultatif serta dapat melakukan respirasi
dari respirasi yang dilakukan oleh bakteri-bakteri tersebut akan menghasilkan senyawa
hasil reduksi TMAO, yaitu TMA yang merupakan komponen terbesar TVB pada ikan
TMA merupakan hasil dari reduksi TMAO oleh enzim. Pada kasus pembusukan
mikroba yang berperan pada proses pembusukan ikan sebagian besar terdiri dari bakteri
dari ikan yang disimpan di es terdiri terutama dari jenis Pseudomonas spp dan Shewanella
Keadaan ketika jaringan otot menjadi lentur pada ikan setelah mati, secara biokimia
ditandai oleh penurunan ATP dan kreatin fosfat. Energi pada jaringan otot ikan diperoleh
secara anaerobik dari pemecahan glikogen yang menghasilkan ATP dan asam laktat yang
Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat
kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan, perubahan pH daging ikan sangat besar
peranannya karena berpengaruh terhadap proses autolisis dan penyerangan bakteri. Selain
itu suhu juga mempengaruhi aktivitas enzim yang berperan dalam proses glikolisis dan
autolisis menjadi terhambat sehingga daya awet ikan menjadi lebih lama. Jika fase rigor
mortis dapat dipertahankan lebih lama maka kesegaran ikan dapat dipertahankan
TVB merupakan senyawa hasil degradasi protein yang menghasilkan sejumlah basa
mudah menguap seperti amoniak, hidrogen sulfida, dan trimetilamin yang berbau busuk.
Semakin rendah mutu ikan, maka semakin meningkat kandungan TVB di dalam daging
ikan. Ikan termasuk kategori sangat segar apabila nilai TVB-N kurang dari 10 mg-N/100
gram. Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg-N/100 gram termasuk kategori segar.
Kandungan TVB ikan sebesar 30 mgN% merupakan batas ikan dinyatakan busuk
Ikan setelah mati, sirkulasi darah terhenti sehingga mengakibatkan perubahan yang
glikogen menjadi asam laktat yang menurunkan pH tubuh ikan. pH ikan saat proses
produksi dan saat dipelelangan mengalami penurunan karena adanya glikogen menjadi
asam laktat. Jika cadangan glikogen telah habis terurai maka pH daging akan mengalami
penurunan. Selama proses kemunduran mutu akan meningkatkan pH daging ikan dan
semakin tinggi tingkat pembusukan maka semakin tinggi pula pembusukan (Haslianti et
al., 2020).
Ikan yang baru mati masih mempunyai sisa ATP sebelum mati dan hasil proses
mempunyai kondisi yang masih elastis dan lentur. Tekstur daging ikan yang kenyal,
elastis dan lentur secara berangsur-angsur akan mengeras karena energi yang tersisa tidak
cukup untuk merombak aktomiosin menjadi aktin dan miosin. Akibatnya otot ikan mulai
menjadi keras dan kaku. Bergabungnya aktin dan miosin membentuk aktomiosin, akan
menyebabkan ikan menjadi kaku dan keras. Meningkatnya kekerasan daging ikan
merupakan indikator bahwa ikan telah memasuki fase rigor mortis (Liviawaty & Afrianto,
2014).
Hasil pengujian (Wahyu et al., 2019) menyatakan bahwa ikan di TPI memiliki ciri
yaitu mata cerah, bola mata rata, kornea agak keruh, insang berwarna merah tanpa lendir,
lapisan lendir jernih, transparan, daging utuh,bau segar spesifik ikan, tekstur padat, elastis
ditekan dengan jari. Sedangkan pada gudang supplier dan kios nelayan meunjukkan mata
agak cerah, kornea agak keruh, insang merah agak kusam tanpa lendir, lendir sedikit
kurang cemerlang, dinding daging utuh, bau ikan netral dan agak elastis bila ditekan
dengan jari. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam penanganan ikan yang kurang
tepat dan dapat menyebabkan protein yang ada di dalam tubuh dimanfaatkan untuk
komponen-komponen ikan yang ada dalam tubuh ikan dirusak oleh aktivitas enzim dan
bakteri. Serangan bakteri yang dimulai dari fase rigor mortis menyebabkan lendir ikan
menjadi pekat, bergetah, amis, mata terbenam, insang, dan isi perut berubah warna
dengan susunan isi perut berantakan dan bau yang menusuk. Perubahan tekstur daging
menjadi lunak terjadi ikan sudah mulai mengalami kemunduran mutu. Daging pada ikan
yang mengalami kemunduran mutu apabila ditekan tekstur dagingnya lunak atau tidak
daging ikan, keadaan mata, warna insang dan bau ikan. Nilai kesegaran yang tinggi,
disebabkan ikan baru saja ditangkap dan baru mengalami kematian. Semua organ
tubuhnya baik daging, mata, mapun insangnya masih benar-benar dalam keaadan segar.
Ikan dinyatakan segar secara organoleptik jika warna ikan mengkilap sesuai jenisnya,
kelenturan dagingnya elastis, pupil hitam dan menonjol, warna insang merah cerah dan
selama fase post mortem pada penyimpanan suhu chilling sebagai berikut.
Autolisis oleh enzim merupakan salah satu hal yang berperan dalam cepatnya
kemunduran mutu pada kulit sebagaimana terjadi pada ikan. Enzim-enzim yang berperan
dalam kemunduran mutu ikan diantaranya adalah enzim katepsin dan kolagenase. Enzim
katepsin merupakan enzim proteolitik yang dapat memecah struktur protein pada tubuh
makhluk hidup. Aktivitas enzim katepsin dapat dicegah dengan inhibitor spesifik.
Apabila fase rigor tidak dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh aktivitas
enzim dan bakteri akan berlangsung lebih cepat. Aktivitas enzimatis dapat membongkar
Ikan utuh yang disiangi dapat menghambat proses pembusukan karena pertahanan
alaminya masih ada aktivitas mikroorganisme yang dapat dihambat. Pembusukan dan
Mikroorganisme ini terutama disebabkan oleh produksi kandungan volatil. Jenis mikroba
yang berperan pada proses pembusukan ikan sebagian besar terdiri dari bakteri gram-
Vibrio, Flavobacterium, dan CytopHaga. Jenis mikroba pembusuk aerob dari ikan yang
disimpan di es terdiri terutama dari jenis Pseudomonas spp dan Shewanella putrefacien.
Keadaan ketika jaringan otot menjadi lentur pada ikan setelah mati, secara biokimia
ditandai oleh penurunan ATP dan kreatin fosfat. Ikan setelah mati, sirkulasi darah terhenti
sehingga mengakibatkan perubahan yang terjadi dalam jaringan otot. Terhentinya suplai
daging ikan, keadaan mata, warna insang dan bau ikan. Nilai kesegaran yang tinggi,
disebabkan ikan baru saja ditangkap dan baru mengalami kematian. Semua organ
tubuhnya baik daging, mata, mapun insangnya masih benar-benar dalam keaadan segar.
Ikan dinyatakan segar secara organoleptik jika warna ikan mengkilap sesuai jenisnya,
kelenturan dagingnya elastis, pupil hitam dan menonjol, warna insang merah cerah dan
Adi, I. G. W. W., Semariyani, A. A. M., Rudianta, N., & Sudiarta, I. W. (2020). Kajian
Ekstrak Daun Kemangi dalam Mempertahankan Kesegaran Ikan Layang (
Decapterus sp). Gema Agro, 25(April), 23–32.
Anissah, U., Rohmad Barokah, G., & Ariyani, F. (2019). Pengaruh Penyimpanan
Terhadap Profil Formaldehida Alami dan Kemunduran Mutu pada Ikan Beloso
(Saurida tumbil). Jphpi 2019, 22(3), 535–547.
Deni, S. (2015). Karakteristik Mutu Ikan Selama Penanganan pada Kapal KM. Cakalang.
Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan, 8(2), 72–80.
Ekasari, D., Suwetja, K., & Montolalu, L. A. D. Y. (2017). Uji Mutu Ikan Cakalang
(Katsuwonus affinis) Segar di TPI Tumumpa Selama Penyimpanan Dingin. Jurnal
Media Teknologi Hasil Perikanan, 5(2), 40–47.
Haslianti, Mitra, L., & Suwarjoyowirayatno. (2020). Pengaruh Penambahan Garam yang
Berbeda Terhadap Kesegaran Ikan Cakalang ( Katsuwonus pelamis ). Jurnal Fish
Protech, 3(1), 95–103.
Kalista, A., Redjo, A., & Rosidah, U. (2018). Analisis Organoleptik (Scoring Test)
Tingkat Kesegaran Ikan Nila Selama Penyimpanan. Jurnal Teknologi Hasil
Perikanan, 7(1), 98–104.
Kusuma, F. D., R.Susanti, Anggraini, S., & Arlinda, D. D. (2020). Analisis Senyawa
Inhibitor Enzim Katepsin Kulit Ikan Patin Terhadap Penundaan Kemunduran Mutu
Cumi-cumu. Bioeksperimen, 5(1), 61–67.
Lemae, & Lasmi, L. (2019). Studi Pengaruh Kemunduran Mutu Terhadap Kandungan
Gizi Ikan Betok (Anabas testudineus) dari Daerah Mandor. Octopus, 8(1), 20–26.
Liviawaty, E., & Afrianto, E. (2014). Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah (
Oreochromis Niloticus ) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman. Jurnal
Akuatik, V(1), 40–44.
Munandar, A., Nurjanah, & Nurilmala, M. (2009). Kemunduran mutu ikan nila
(Oreochromis niloticus) pada Penyimpanan Suhu Rendah dengan Perlakuan Cara
Kematian dan Penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia, XI(2), 88–101.
Nurhayati, T., Salamah, E., Irfan, M., & Nugraha, R. (2010). Aktivitas Enzim Katepsin
dan Kolagenase pada Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) selama Periode
Kemunduran Mutu. Jurnal Sumberdaya Perairan, 4(1), 13–17.
Nurjanah, Nurhayati, T., & Zakaria, R. (2011). Kemunduran Mutu Ikan Gurami
(Osphronemus gouramy) Pasca Kematian pada Penyimpanan Suhu Chilling. Jurnal
Sumberdaya Perairan, 5(2), 11–18.
Nurqaderianie, A. S., Metusalach, & Fahrul. (2016). Tingkat Kesegaran Ikan Kembung
Lelaki (Rastrelliger kanagurta) yang di jual Eceran Kelilin di Kota Makassar. Jurnal
IPTEKS, 3(6), 528–543.
Perceka, M. L., Asriani, & Fauzan, I. R. (2020). Kemunduran Mutu Ikan Smear (Mene
maculata) Selama Penyimpanan Suhu Chiling. Jurnal Kemaritiman: Indonesia
Journal of Maritime, 1(2), 44–53.
Rozi, A. (2018). Laju Kemunduran Mutu Ikan Lele (Clarias sp) pada Penyimpanan Suhu
Chilling. Jurnal Perikanan Tropis, 5(2), 169–182.
Sitakar, N. M., Nurliana, Jamin, F., Abrar, M., Manaf, Z. H., & Sugito. (2016). Pengaruh
Suhu Pemeliharaan dan Masa Simpan Daging Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
pada Penyimpan Suhu -20oC Terhadap Jumlah Total Bakteri. Jurnal Medika
Veterimaria, 10(2), 162–165.
Suprayitno, E. (2020). Kajian Kesegaran Ikan di Pasar Tradisional dan Modern Kota
Malang. Jurnal of Fisheries and Marine Research, 4(2), 289–295.
Tamuu, H., Harmain, R. M., & Dali, F. A. (2014). Mutu Organoleptik dan Mikrobiologis
Ikan Kembung Segar dengan Penggunaan Larutan Lengkuas Merah. Jurnal
Perikanan Dan Kelautan, II(4), 164–168.
Wahyu, Y. I., Ariadi, P. S., & Sayuti, J. (2019). Penilaian Mutu Secara Organoleptik Ikan
Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap
Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu Perikanan, 10(2), 66–72.
Wibowo, I. R., Darmanto, Y., & Anggo, A. D. (2014). Pengaruh Cara Kematian dan
Tahpan Penurunan Kesegaran Ikan terhadap Kualitas Ikan Nila (Oreochromis
niloticus). Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(3), 95–103.