Anda di halaman 1dari 35

Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.

Pi 27

Kegiatan Pembelajaran 6.
3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan
4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan

1. Tujuan Pembelajaran :
Setelah mempelajari materi ini peserta didik dapat memahami prinsip-prinsip
pengendalian mutu yang meliputi :
a. Kriteria mutu ikan sebagai bahan pangan dan persyaratan mutu hasil perikanan.
b. Prosedur penanganan higienis hasil perikanan

2. Uraian Materi
Pengendalian mutu ikan merupakan usaha mempertahankan kualitas/mutu ikan agar tetap
baik/segar. Penanganan pascapanen ikan berbeda dengan pengolahan ikan karena tidak
mengubah struktur fisik dan susunan kimiawi primer dari hasil pertanian secara
signifikan.
Penanganan pascapanen mencakup pengeringan, pendinginan, pembersihan, penyortiran,
penyimpanan, dan pengemasan. Penanganan pascapanen menentukan kualitas hasil perikanan
secara garis besar, juga menentukan akan dijadikan apa bahan hasil budidaya ikan setelah
melewati penanganan pascapanen, apakah akan dimakan segar atau dijadikan bahan makanan
lainnya.
Tujuan utama dari penanganan pascapanen adalah mencegah hilangnya kelembaban,
memperlambat perubahan kimiawi yang tidak diinginkan dan mencegah kerusakan fisik.
Sanitasi juga merupakan hal yang penting dalam mencegah keberadaan patogen perusak
tubuh ikan. Setelah dari kolam/tambak, penanganan pascapanen umumnya dilakukan di
tempat penampungan atau ruangan. Wujud dari tempat penampungan atau ruangan dapat
berupa bak, waring, ruangan yang teduh dan air mengalir.
Penyimpanan pada pascapanen berperan penting dalam mempertahankan kualitas hasil
perikanan. Pengaturan kelembaban dan temperatur ruangan penyimpanan dibutuhkan untuk
memperlambat penurunan kualitas bahan, dan dapat dilakukan dengan berbagai cara, alami
maupun mekanisasi.
1. Prinsip-prinsip Pengendalian Mutu Hasil Perikanan
Keterampilan pengendalian mutu akan meningkatkan nilai jual produk ikan. Sistem
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan menekankan pada upaya pencegahan yang
harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi sampai dengan pendistribusian untuk
mendapatkan hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia.
Peningkatan mutu produk perikanan budidaya lebih diarahkan untuk memberikan jaminan
keamanan pangan mulai bahan baku hingga produk akhir hasil budidaya yang bebas dari
bahan cemaran sesuai persyaratan pasar.
Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar yang masih mempunyai sifat sama
seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa, maupun teksturnya.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 28

Dengan kata lain, ikan segar adalah :


a. Ikan yang baru saja ditangkap dan belum mengalami
proses pengawetan maupun pengolahan lebih lanjut.
b. Ikan yang belum mengalami perubahan fisika
maupun kimia atau yang masih
mempunyai sifat sama ketika ditangkap/dipanen.
Pada ikan dan produk cepat busuk lainnya, mutunya Gb. 6.1 Ikan Nila dalam kondisi segar
identik dengan kesegaran. Ikan yang sangat segar baru
ditangkap dikatakan bermutu tinggi. Istilah “segar” memiliki dua pengertian, yakni baru
dipanen atau ditangkap dan mutunya masih asli belum mengalami penurunan mutu.
Menurunnya mutu ikan mulai dari pemanenan/penangkapan melalui beberapa proses
perubahan yaitu :
a. Hyperaemia
Hyperaemia merupakan proses terlepasnya lendir dari kelenjar-kelenjar yang ada di
dalam kulit. Proses selanjutnya membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling
tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir, akibat dari reaksi khas suatu
organisme. Lendir tersebut terdiri dari gluko protein dan merupakan substrat yang baik
bagi pertumbuhan bakteri.
b. Rigormortis
Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi
perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan
menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosine triposfat (ATP) serta
ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang
dinamakan rigormortis.
Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase rigormortis ini tergantung
pada spesies, kondisi fisik ikan, derajat perjuangan ikan sebelum mati, ukuran, cara
penangkapan, cara penanganan setelah penangkapan dan suhu selama penyimpanan.
Pada fase rigormortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2–6,6 dari pH semula 6,9– 7,2.
Setelah fase rigormortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging
ikan naik mendekati netral hingga 7,7 –8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat
parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang
bersifat basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin
banyak senyawa basa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan.
Semakin singkat proses rigormortis pada ikan maka semakin cepat ikan itu membusuk.
c. Autolysis
Fase ini terjadi setelah terjadinya fase rigormortis. Pada fase ini ditandai ikan menjadi
lemas kembali. Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin
meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan
substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
Pada ikan yang masih hidup, kerja enzim selalu terkontrol sehingga aktivitasnya
menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Setelah ikan mati, enzim masih

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 29

mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif, namun sistem kerja enzim menjadi
tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi. Akibatnya enzim dapat
merusak organ tubuh ikan. Peristiwa ini disebut autolysis dan berlangsung setelah ikan
melewati fase rigormortis. Ciri terjadinya perubahan secara autolysis ini adalah dengan
dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir.
Penguraian protein dan lemak dalam autolysis menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan
penampakan ikan. Autolysis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat
rendah. Biasanya proses autolysis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah
bakteri.
d. Bacterial decomposition (dekomposisi oleh bakteri)
Bakteri menyebabkan ikan lebih rusak lagi, bila dibandingkan dengan autolysis. Jenis-jenis
bakteri tersebut adalah : Pseudomonas, Proteus, Achromobacter, Terratia, dan
Elostridium. Selama ikan masih dalam keadaan segar, bakteri-bakteri tersebut tidak
mengganggu. Akan tetapi jika ikan mati, suhu badan ikan menjadi naik, bakteri-bakteri
tersebut segera menyerang segera terjadi perusakan jaringan-jaringan tubuh ikan,
sehingga lama kelamaan akan terjadi perubahan komposisi daging yang mengakibatkan
ikan menjadi busuk. Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi target serangan
bakteri adalah : seluruh permukaan tubuh, isi perut, dan insang.
Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat
dalam saluran pencernaan, insang, saluran
darah, dan permukaan kulit ikan tidak dapat
merusak atau menyerang bagian-bagian
tubuh ikan. Hal ini disebabkan bagian-bagian
tubuh ikan tersebut mempunyai batas
pencegah (barrier) terhadap penyerangan
Gb. 6.2 Perbedaan insang ikan segar (B) dan
bakteri. Setelah ikan mati, kemampuan
ikan tidak segar (A)
barrier tadi hilang sehingga bakteri segera
masuk ke dalam daging ikan melalui ke enam bagian tadi. Bakteri yang umumnya
ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alkaligenes, Micrococcus, Sarcina,
Vibrio, Flavobacterium, Corynebacterium, Serratia, dan Bacillus. Selain yang disebutkan di
atas, bakteri yang terdapat pada ikan air tawar juga mencakup jenis bakteri Aeromonas,
Lactobacillus, Brevibacterium dan Streptococcus. Selama penyimpanan pada suhu rendah,
bakteri Pseudomonas, Aeromonas, Miraxella dan Acetobacter meningkat lebih cepat
dibandingkan dengan organisme lainnya. Pada tahap pembusukan, bakteri-bakteri ini
mencapai 80% dari total flora pada ikan.
Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi lebih
pekat, bergetah, amis, mata terbenam dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna
dengan susunan tidak teratur dan bau menusuk.
e. Perubahan karena Oksidasi
Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi lemak sehingga
timbul aroma tengik dan perubahan rupa serta warna daging kearah cokelat kusam. Bau

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 30

tengik ini dapat merugikan, baik pada proses pengolahan maupun pengawetan, karena
dapat menurunkan mutu dan harga jualnya.
Proses oksidasi dicegah dengan mengusahakan sekecil mungkin terjadinya kontak antara
ikan dengan udara bebas di sekelilingnya. Caranya, dengan menggunakan ruang hampa
udara, antioksidan, atau menghilangkan unsur-unsur penyebab proses oksidasi.
Setelah ikan ditangkap dan diangkat dari dalam air, ikan tidak langsung menjadi mati.
Meskipun keadaan ikan tersebut masih dalam tingkat kesegaran yang maksimal, tetapi
biasanya tidak langsung dikonsumsi. Selain itu, pada kenyatannya ikan dengan kesegaran
yang maksimal setelah dimasak rasanya kurang enak untuk dimakan, jika dibandingkan
dengan ikan yang telah beberapa saat mati baru dimasak. Hal itu ada kaitannya dengan
perubahan biokimiawi yang terjadi dalam daging ikan, antara lain timbulnya senyawa
senyawa penyebab rasa enak tersebut. Ikan yang ditangkap akan mati maka sirkulasi
darah berhenti selanjutnya suplai oksigen berkurang maka potensial redoks menurun.
Proses kematian ikan dan setelah kematian ikan adalah sebagai berikut
 ikan akan mati jika kekurangan oksigen, oleh karena itu, ikan tidak dapat hidup di
udara terbuka dalam waktu yang terlalu lama.
 Saat ikan mati, sirkulasi darahnya terhenti dan akibatnya dapat mempengaruhi proses
biokimiawi yang ada pada tubuh ikan.
 Setelah ikan mati, perubahan biokimiawi berlangsung diikuti dengan perubahan fisika
pada dagingnya. Perubahan biokimia berlangsung terus hingga ikan akan menjadi
bahan pangan yang enak (layak) dikonsumsi. Akan tetapi, rasa enaknya akan berkurang
dan menurun diikuti dengan perubahan fisik daging menjadi berair dan akhirnya ikan
membusuk.
Hal-hal yang menyebabkan ikan mudah diserang oleh bakteri adalah sebagai berikut :
 Ikan segar dan kerang-kerangan mengandung lebih banyak cairan dan sedikit lemak,
jika dibanding dengan jenis daging lainnya. Akibatnya bakteri lebih mudah berkembang
biak.
 Struktur daging ikan dan kerang-kerangan tidak begitu sempurna susunannya,
dibandingkan jenis daging lainnya. Kondisi ini memudahkan terjadinya penguraian
bakteri.
 Sesudah terjadi peristiwa rigor, ikan segar dan kerang-kerangan mudah bersifat
alkaline/basa. Kondisi Ini memberikan lingkungan yang sesuai bagi bakteri untuk
berkembang biak.
2. Proses Penurunan Mutu Hasil Perikanan
Sebagian besar ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan beberapa jenis ikan
seringkali dalam keadaan masih hidup. Segera setelah ikan mati, maka akan terjadi
perubahan-perubahan yang mengarah kepada terjadinya pembusukan. Perubahan-
perubahan tersebut terutama disebabkan adanya aktivitas enzim, kimiawi dan bakteri.
Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak bagian-bagian tubuh ikan dan
mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor), rupa (appearance) dan tekstur (texture).

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 31

Aktivitas kimiawi yaitu oksidasi lemak daging oleh oksigen sehingga menimbulkan bau tengik
(rancid).
Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan komponen-
komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan aktivitas kimia. Aktivitas kimia
menghasilkan komponen yang lebih sederhana. Kondisi ini lebih disukai bakteri sehingga
memicu pertumbuhan bakteri pada tubuh ikan. Dalam kenyataannya proses kemunduran
mutu berlangsung sangat kompleks. Satu dengan lainnya saling terkait, dan bekerja secara
simultan. Untuk mencegah terjadinya kerusakan secara cepat, maka harus selalu
dihindarkan terjadinya ketiga aktivitas secara bersamaan. Penurunan mutu ikan dapat
terjadi melalui beberapa cara yaitu:
a) Penurunan mutu secara autolysis
Proses penurunan mutu secara autolysis (enzimatik) berlangsung sebagai aksi kegiatan
enzim yang mengurai senyawa kimiawi pada jaringan tubuh ikan. Enzim tersebut
bertindak sebagai katalisator yang menjadi pendorong dan motor segala perubahan
senyawa biologis yang terdapat pada ikan, baik perubahan yang sifatnya membangun
sel dan jaringan tubuh, maupun yang merombaknya. Setiap enzim beraksi semaunya
menurut fungsinya yang berakibat jaringan dan organ ikan akan berubah ke arah yang
kita sebut “busuk”.
b) Penurunan mutu secara kimiawi
Pada proses penurunan mutu secara kimiawi adalah perubahan oksidasi lemak pada
ikan yang menyebabkan bau tengik, hingga gejala ini dinamakan ketengikan (Ilyas,
1983). Disamping terjadi perubahan pada ikan, dagingnya pun berubah ke arah coklat
kusam. Hal ini bisa menyebabkan penampilan/penampakan ikan tidak menarik dan bau
tidak segar lagi, semua ini disebabkan oleh lamanya ikan di tempatkan pada suhu tinggi
(suhu kamar) yang sangat mempengaruhi lemak untuk beroksidasi dengan suhu tinggi.
c) Penurunan mutu secara mikrobiologi
Akibat serangan bakteri, lendir menjadi pekat, bergetah dan amis, mata menjadi
terbenam dan pudar sinarnya, insang dan isi perut berubah warna dengan susunan (isi
perut) berantakan dan bau menusuk, akhirnya seluruh ikan busuk. Penurunan mutu
secara bakterial dapat terjadi karena ikan tidak segera dilakukan penanganan, sehingga
suhu pada ikan menjadi semakin meningkat. Dengan meningkatnya suhu tersebut, maka
bakteri akan mudah untuk melakukan perkembangbiakan. Aktivitas bakteri dapat di
hambat pertumbuhannya dengan cara melakukan penanganan secara cepat, suhu
rendah dan penerapan sanitasi dan hygiene yang perlu diperhatikan secara khusus.

Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor fisikawi,


sensoris/organoleptik/kimiawi, dan mikrobiologi. Kesegaran ikan dapat dilihat dengan
metode yang sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan metode lainnya dengan
melihat kondisi fisik, yaitu sebagai berikut:
 Kenampakan luar Ikan.
Ikan yang masih segar mempunyai penampakan cerah dan tidak suram. Keadaan itu
dikarenakan belum banyak perubahan biokimia yang terjadi. Pada ikan tidak ditemukan

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 32

tanda-tanda perubahan warna, tetapi secara berangsur warna makin suram, karena
timbulnya lendir sebagai akibat berlangsungnya proses biokimiawi lebih lanjut dan
berkembangnya mikroba.
 Lenturan daging ikan
Daging ikan segar cukup lentur jika dibengkokkan dan segera akan kembali ke bentuknya
semula apabila dilepaskan. Kelenturan itu dikarenakan belum terputusnya jaringan
pengikat pada daging, sedangkan pada ikan busuk jaringan pengikatnya banyak
mengalami kerusakan dan dinding selnya banyak yang rusak sehingga daging ikan
kehilangan kelenturan.
 Keadaan mata
Parameter ini merupakan yang paling mudah untuk dilihat. Perubahan kesegaran ikan
akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan matanya.
 Keadaan daging
Ikan yang masih segar, berdaging kenyal, jika ditekan dengan telunjuk atau ibu jari maka
bekasnya akan segera kembali. Daging ikan yang belum kehilangan cairan daging
kelihatan basah dan pada permukaan tubuh belum terdapat lendir yang menyebabkan
kenampakan ikan menjadi suram/kusam dan tidak menarik. Setelah ikan mati, beberapa
jam kemudian daging ikan menjadi kaku. Karena kerusakan pada jaringan dagingnya,
maka makin lama kesegarannya akan hilang, timbul cairan sebagai tetes-tetes air yang
mengalir keluar, dan daging kehilangan kekenyalan tekstur.
 Keadaan insang dan sisik
Ikan yang masih segar berwarna mmerah cerah, sedangkan ikan yang tidak segar
berwarna coklat gelap. Ikan yang mati mengakibatkan peredaran darah terhenti, bahkan
sebaliknya dapat teroksidasi sehingga warnanya berubah menjadi merah gelap. Sisik
ikan dapat menjadi parameter kesegaran ikan, untuk ikan bersisik jika sisiknya masih
melekat kuat, tidak mudah dilepaskan dari tubuhnya berarti ikan tersebut masih segar.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Ikan


Faktor faktor yang mempengaruhi mutu ikan adalah :
a) Jenis spesies
Setiap jenis/spesies ikan berbeda kecepatan proses pembusukan dan kerusakan.
Ketika ikan didinginkan atau dibekukan, spesies berlemak seperti ikan mas, sarden dan
mackerel akan membusuk lebih cepat dari pada spesies-spesies tak berlemak seperti ikan
kod, nila. Ketika disimpan di tempat pendingin, ikan tak berlemak dalam kondisi yang
buruk jauh lebih cepat membusuk dari pada dalam kondisi baik.
b) Tempat penangkapan ikan
Dalam suatu spesies, rasa mungkin berbeda dari satu tempat penangkapan
ikan dengan tempat penangkapan ikan berikutnya dan juga mungkin berbeda dari satu
musim ke musim berikutnya, bergantung pada sifat makanannya dan kondisi fisiologis
spesies yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut berpengaruh pada jenis dan
kelimpahan organisme makanan yang tersedia, yang dapat mempengaruhi kesehatan dan
kondisi ikan.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 33

c) Cara penangkapan ikan


Ikan yang ditangkap dengan alat jaring akan berbeda mutunya dari ikan-ikan yang
ditangkap dengan alat pancing. Dengan jaring, ikan yang tertangkap segera ditarik dari
kolam, sedangkan dengan alat pancing, ikan yang tertangkap dan mati dibiarkan agak
lama terendam di dalam air sehingga keadaannya sudah kurang baik sewaktu dinaikkan
ke daratan.
d) Reaksi ikan menghadapi kematian
Ikan yang dalam hidupnya bergerak cepat, contoh lele, patin, nila, dan lain-lain,
biasanya meronta keras bila terkena alat tangkap. Akibatnya banyak kehilangan
tenaga, cepat mati, dan rigormortis cepat terjadi dan cepat pula berakhir. Kondisi ini
menyebabkan ikan cepat membusuk.
4. Penentuan Kesegaran Ikan
Penentuan kesegaran ikan dapat dilakukan secara fisika, kimia, mikrobiologi dan sensorik.
Diantara metode yang ada, ada yang lebih mudah, cepat, dan murah adalah dengan
menggunakan metode fisik.
a) Metode penentuan ikan secara fisik
Secara fisik kesegaran ikan dapat ditentukan dengan mengamati tanda-tanda visual
melalui ciri-ciri seperti disebutkan di atas. Ciri-ciri ikan segar dapat dibedakan dengan
ikan yang mulai membusuk, dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Ciri-ciri Ikan Segar dan yang Mulai Membusuk
No Parameter Ikan Segar Ikan tidak segar/membusuk
1 Kenampakan Cerah, terang, mengkilat, tak berlendir Suram, kusam, berlendir
2 Mata Menonjol keluar Cekung, masuk kedalam
rongga mata
3 Mulut Terkatup Terbuka
4 Sisik Melekat kuat Mudah dilepaskan
5 Insang Merah cerah Merah gelap
6 Daging Kenyal, lentur Tidak kenyal, lunak
7 Anus Merah jambu, pucat Merah, menonjol kelua
8 Bau Segar, normal seperti rumput laut Busuk, bau asam
9 Lain-lain Tenggelam dalam air Terapung diatas air

b) Metode penentuan ikan secara Uji kimia


 Analysis pH daging ikan
Ikan yang sudak tidak segar pH dagingnya tinggi (basa) dibandingkan ikan yang
masih segar. Hal itu karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa
misalnya amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatile lainnya
 Analisis kandungan hipoksantin
Semakin tinggi kandungan hipoksantin maka tingkat kesegaran ikan rendah. Besarnya
kadar hipoksantin yang masih dapat diterima oleh konsumen tergantung berbagai
faktor diantaranya jenis hasil perikanan dan keadaan penduduk setempat.
 Analisis kadar dimetilamin, trimetilamin atau amoniak
3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan
4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 34

Penguraian protein akan menghasilkan senyawa di atas, jika kesegaran ikan


mengalami penurunan maka kandungan nitrogen yang mudah menguap akan
mengalami peningkatan. Pola penguraian protein pada ikan laut berbeda dengan
ikan darat. Ikan darat akan dihasilkan amonia, sedangkan ikan laut menghasilkan
dimetilamin dan trimetilamin. Untuk ikan dengan tingkat kesegaran masih tinggi,
analisis yang dilakukan adalah dimetilamin, sedangkan trimetil amin untuk ikan
dengan tingkat kesegaran rendah.
 Defosforilasi Inosin Monofosfat (IMP)
IMP berkaitan dengan perubahan cita rasa daging ikan dan kesegaran ikan,
sehingga dapat digunakan untuk menentukan kesegaran ikan. Kelemahannya
sulit dilakukan karena proses defosforilasi IMP untuk setiap jenis ikan berbeda.
 Analisis kerusakan lemak pada daging ikan
Kerusakan lemak terjadi karena oksidasi, baik secara oto-oksidasi (enzimatis)
maupun secara non enzimatis. Analisis kerusakan lemak dapat dilakukan dengan
analisa kandungan peroksidanya atau jumlah malonaldehida yang biasanya
dinyatakan sebagai angka TBA (thiobarbituric acid). Pengujian kesegaran ikan
dengan analisis kerusakan lemak kurang akurat karena banyak faktor yang dapat
mempengaruhi proses penguraian lemak.
c) Metode Penentuan secara Mikrobiologi
Ikan secara alamiah sudah membawa mikroorganisme, sehingga pada saat hidup ikan
memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme yang
dominan penyebab kerusakan berupa bakteri karena daging ikan memiliki kandungan
protein tinggi, kadar airnya tinggi, dan pH daging ikan mendekati netral sehingga
menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Untuk mengetahui keberadaan
dan jumlah bakteri pada daging ikan dapat dilakukan secara mikrobiologi. Pengujian
secara mikrobiologi dapat dilakuan dengan Total Plate Count (TPC) yaitu hanya
menghitung total jumlah koloni bakteri kemudian dibandingkan dengan standar mutu
ikan segar, pengujian itu dapat berlangsung lebih cepat.
d) Metode Penentuan Ikan secara Sensorik
Penentuan ikan secara sensorik umum dilakukan khususnya di pabrik-pabrik
pengolahan ikan. Penentuan ikan secara sensorik lebih mudah dan lebih cepat karena
hanya menggunakan alat indrawi saja, tidak memerlukan banyak peralatan serta lebih
murah biayanya. Pengujian sensorik lebih banyak kearah pengamatan secara visual.
Sebagai parameter dalam pengujian sensorik berupa penampakan warna, cita rasa
dan tekstur. Penguji memberikan skor pada sampel yang diamati sesuai kondisi ikan
yang sedang diuji. Biasanya semakin segar ikan yang dianalisis skor akan semakin
tinggi. Sifatnya sangat subjektif hanya mengandalkan indera panelis, kepekaan
masing-masing berbeda dan keterbatasan kemampuan dalam mendeteksi, misalnya
membedakan antara bau busuk dengan bau amoniak atau bau indol. Pengujian secara
sensorik dapat dilakukan dengan mengamati baik warna, cita rasa dan tekstur daging

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 35

ikan dan menilai dalam lembar penilaian ikan segar. Berikut ini salah satu contoh
lembar penilaian ikan segar.

Tabel 6.2. Lembaran Penilaian Ikan Segar Tanpa Pendinginan

No Parameter Bobot Skor Keterangan Hasil Penilaian


1 Bau 20% 10 Segar, Berbau ikan, spesifik menurut jenisnya.
9 Segar, bau ikan mulai berkurang.
8 Tawar, Netral.
7 Berbau susu, belum ada bau asam, ada bau seperti ikan
asin.
6 Berbau susu asam atau seperti susu kental
5 Berbau seperti kentang rebus atau seperti logam.
4 Berbau asam asetat, rumput atau seperti sabun.
3 Bau ammonia mulai timbul.
2 Bau ammonia kuat, ada bau H2S.
0 Bau Busuk, bau indol.
2 Kenampakan 16% 5 Cerah, pupil hitam menonjol dengan kornea jernih.
Mata 3 Bola mata agak cekung, pupil berubah abu-abu, kornea
agak keruh.
2 Bola mata agak cekung, pupil putih susu, kornea
keruh
0 Bola mata dan pupil tenggelam, tertutuo
lendir kuning tebal.
3 Kenampakan 16% 5 Warna merah cemerlang tanpa adanya lendir.
insang 3 Mulai terjadi perubahan warna merah muda sampai
merah coklat, terdapat sedikit lendir, bau asam mulai
nyata.
2 Perubahan warna lebih nyata. Warna merah coklat,
lendir tebal, bau kuat.
0 Warna Merah coklat, merah, atau abu-abu. Tertutup
lendir tebal, berbau asam atau busuk.
4 Keadaan 16% 5 Lapisan lendir jernih, tembus cahaya (transparan),
Lendir dan mengkilat cerah, belum ada perubahan warna, berbau
Permukaan segar.
Badan 3 Lendir dipernukaan mulai keruh, warnanya agak putih
susu, mulai suram. Mulai terjadi bau tidak sedap.
2 Lendir tebal terkadang menggumpal, mulai timbul
perubahan warna karena aktifitas bakteri. Bau tidak
enak semakin kuat.
0 Lendir berwarna kekuning-kuningan, coklat, tebal,
warna kusam. Bau menusuk kuat, terjadi pengeringan
lendir karena udara.
5 Tekstur 16% 5 Padat. Lentur, jika ditekan dengan jari bekasnya segera
daging hilang, sulit menyobek dagingnya dari tulang
belakangnya.Kadangkadang agak lunak sesuai dengan
jenisnya.
3 Daging agak lunak, jika ditekan dengan jari belum ada
bekasnya
2 Lunak. Bekas tekanan jari lama hilangnya. Sisik mudah
dilepaskan.
0 Sangat lunak. Bekas jari tak mudah hilang. Daging
mudah disobek dari tulang belakangnya

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 36

No Parameter Bobot Skor Keterangan Hasil Penilaian


6 Keadaan 16% 5 Sayatan daging berwarna cemerlang, tak ada warna
Daging dan merah sepanjang tulangbelakang, perutnya utuh dan
Perut belum ada perubahan warna. Ginjal merah cerah,
dinding perut utuh, isi perut berbau segar. timbu
3 Sayatan daging cerah, dinding perut mulai lembek dan
timbul perubahan warna. Warna ginjal pudar, bau tidak
segar mulai
2 Sayatan daging mulai berkurang kecerahannya, lunak
dan terdapat warna merah sepanjang tulang belakang.
Rusuk sudah lembek, bau isi perut makin kuat.
0 Daging warnanya pudar. Terdapat warna merah
sepanjang tulang belakang. Dinding perut mulai hancur,
isi perutnya hancur dan berwarna seperti tanah, berbau
busuk.

Tabel 6.3. Lembaran Penilaian Ikan Segar yang Diberi Perlakuan Pendinginan.
Skor Bau Ketengikan citarasa
5 Segar, manis Negatif Segar, manis, sedikit seperti
bau kerang
4 Kehilangan sedikit Sangat sedikit Kehilangan kesegarannya
kesegarannya, ada dan kemanisannya
sedikit perubahan bau
3 Perubahan bau lebih Ketengikan mulai Netral atau sedikit asam
nyata berperanan
2 Berbau asam atau tengik Ketengikan berperanan Asam, tetapi masih dapat
tetapi belum banyak (dominan) dimakan
1 Bau asam atau tengik Ketengikan berperanan Sangat asam, tak dapat
sangat kuat (dominan) dimakan

5. Perubahan Setelah Ikan Mati


Setelah ikan mati terjadi penurunan tingkat kesegaran ikan, terlihat dengan adanya
perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan yang disebabkan oleh aktivitas enzim,
mikroorganisme dan kimiawi.
Segera setelah ditangkap, hasil perikanan akan menurun mutu kesegarannya apabila
penanganannya tidak benar yang ditandai dengan terjadinya perubahan sifat
organoleptiknya, yaitu : rupa, bau, citarasa dan teksturnya. Pada jenis ikan tertentu (sidat,
kepiting atau lobster, udang, kerang-kerangan) ketentuan persyaratan mutu menuntut
keharusan penanganan hidup sebelum diolah di pabrik. Penanganan dapat dilakukan dengan
pendinginan, pembekuan atau dimasak untuk menghambat pertumbuhan mikroba.
Penanganan hidup dilakukan dengan mengepak dalam keranjang atau dalam wadah kedap
air berisi air tawar atau air laut.
Ciri-ciri ikan yang masih segar memiliki penampilan yang menarik dan mendekati kondisi
ikan baru mati. Ikan tampak cemerlang, mengkilap keperakan sesuai jenis dan warna aslinya.
Pada ikan segar permukaan tubuh tidak berlendir atau berlendir tipis dimana lender bening
dan encer. Ciri-ciri lain ikan yang masih segar adalah sisik tidak mudah lepas, perut padat
dan utuh, sedangkan lubang anus tertutup, mata ikan cembung, cerah dan putih jernih, tidak

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 37

berdarah dengan pupil hitam, insang masih tampak merah cerah dan tidak berlendir. Selain
itu daging ikan yang masih segar ikan masih lentur atau kaku dengan tekstur daging pejal,
lentur, dan jika ditekan cepat kembali ke bentuk semula dan bau segar atau sedikit agak
amis. Jika kondisi semacam itu masih dapat dikenali dengan baik, maka ikan dapat
dikategorikan sebagai ikan yang masih segar dan bermutu tinggi.
Perubahan sejak ikan mati hingga busuk dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan yaitu :
a. Perubahan biokimiawi yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku (keras). Tahap pertama
berlangsung dalam waktu antara 1-7 jam sejak ikan mati, tergantung jenis ikan.
b. Daging ikan akan menjadi lebih keras dari keadaan sebelumnya.
c. Daging ikan akan kembali menjadi lunak. Daging ikan akan kembali menjadi lunak secara
perlahan-lahan, akibat proses kimia dan kerja bakteri. Proses kimia dan kerja bakteri
dapat diperlambat/ditunda dengan proses pendinginan atau pembekuan, mengeluarkan
darah sebanyak banyaknya dengan pemotongan dan penyayatan.
Dengan mendinginkan ikan sampai sekitar 0°C maka ikan dapat diperpanjang masa
kesegarannya antara 12 – 18 hari sejak saat ikan ditangkap dan mati. Kegiatan bakteri dapat
dihentikan bila ikan mencapai suhu – 12°C, suhu ini dapat dicapai melalui cara pembekuan
ikan. Cara pengawetan dengan pendinginan terhadap ikan bertujuan mengawetkan sifat-
sifat asli ikan seperti tekstur daging, rasa, bau, dan sebagainya.
Handling atau penanganan ikan dengan pendinginan dapat dilakukan dengan salah satu
atau kombinasi dari cara-cara berikut ini :
a. Pendinginan dengan udara dingin
b. Pendinginan dengan es
c. Pendinginan dengan es kering (dry ice)
d. Pendinginan dengan air dingin :
e. Air tawar bercampur es atau air yang didinginkan dengan mesin pendingin
f. Air laut dingin bercampur es (chilled seawater, CSW)
g. Air laut yang didinginkan dengan mesin pendingin (refrigerated sea water, RSW)

Produk akhir hasil pengawetan tidak berbeda jauh dengan bahan asli. Sedangkan produk
akhir hasil pengolahan mempunyai bentuk yang jauh berbeda dibandingkan dengan aslinya.
Pengawetan diartikan sebagai setiap usaha untuk mempertahankan mutu ikan selama
mungkin sehingga masih dapat dimanfaatkan dalam keadaan yang baik dan layak.
Peranan pengawetan :
a. Dalam bidang produksi ikan:
 Setiap perusahaan usaha budidaya ikan dapat memproduksi ikan sebanyak
mungkin tanpa kekhawatiran akan busuk dan percuma.
 Bagi kapal penangkap ikan dapat beroperasi dengan jarak yang lebih jauh dan
waktu yang lebih panjang.
 Memberi tunjangan bagi usaha budidaya ikan
b. Dalam bidang distribusi/perdagangan
 Ikan dapat diperdagangkan setelah pemanenan ikan di tambak/kolam.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 38

 Memungkinkan distribusi ikan secara lebih luas dan lebih jauh sampai ke pelosok-
pelosok pedalaman, sehingga setiap manusia di manapun dapat menikmati ikan.
 Memungkinkan perdagangan ikan secara internasional.
 Memungkinkan stabilitas harga di pasar
 Metode pengawetan dan pengolahan ikan dapat dilakukan beberapa cara,
diantaranya : :
o Pendinginan (chilling) dengan es, es kering, air dingin, air laut dingin, atau alat
pendingin mekanis
o Pembekuan (freezing)
o Pengalengan (canning)
o Penggaraman (salting), termasuk pemindangan
o Pengeringan (drying) secara alami dan mekanis
o Pengasaman
o Pengasapan (smoking)
o Pembuatan hasil olahan khusus seperti bakso ikan, abon, kamaboko, surimi,
dan lain-lain.
o Pembuatan hasil sampingan seperti tepung ikan, minyak ikan, kecap ikan, dan
lain-lain.

6. Persyaratan Mutu Hasil Perikanan


Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan menjadi empat kelas mutu, yaitu ikan
yang tingkat kesegarannya sangat baik sekali (prima), ikan yang kesegarannya baik
(advanced), ikan yang kesegarannya mundur (sedang), ikan yang sudah tidak segar lagi
(busuk). Persyaratan bahan baku ikan segar adalah sebagai berikut:
Tabel 6.4. Persyaratan Bahan Baku Ikan Segar

7. Penanganan Higienis Hasil Panen


Pengertian sanitasi menurut Ehler dan Steel dalam Tausin, (1994) adalah segala usaha
pencegahan penyakit dengan menghilangkan atau mengawasi faktor lingkungan fisik yang
membentuk mata rantai penularan penyakit. Sedangkan hygiene menurut UU No. 11 tahun

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 39

1962 dalam Tausin, (1994) adalah segala usaha untuk memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatan.
Penanganan ikan pada dasarnya terdiri dari dua tahap, yaitu penanganan saat pemberokan
dan penanganan pada saat pengemasan. Tahap penanganan menentukan nilai jual dan
proses pemanfaatan selanjutnya serta mutu produk olahan ikan yang dihasilkan.
Sanitasi industri perikanan merupakan suatu pengawasan seluruh kondisi dan praktek di
dalam perusahaan sehingga hasil perikanan yang diolah bebas dari mikroorganisme
penyebab penyakit serta bebas dari benda-benda asing lainnya.
Unsur-unsur penting suatu program sanitasi yang efektif dari setiap industry perikanan
adalah:
a) Manajemen harus memahami segala kebutuhan untuk sanitasi yang baik,
b) Konstruksi dan lokasi pabrik harus sesuai,
c) Tersedia suplai air bersih yang cukup,
d) Tersedia tempat pencucian ikan yang cukup,
e) Permukaan meja/tempat kerja/proses pengolahan harus halus dan rata agar mudah
dibersihkan,
f) Tersedia fasilitas sanitary (tempat membersihkan diri) yang cukup
g) Memiliki kebiasaan kesehatan personal yang baik dari setiap pekerjanya dan
h) Memiliki program pengawasan terhadap serangga dan hama lainnya yang efektif.

8. Tujuan dan Peranan Sanitasi


Kerusakan daging ikan diawali oleh pencemaran bersifat perubahan-perubahan sifat
inderawi seperti rasa bau, warna dan tekstur. Perubahan ini terjadi karena pencemaran
mikroba pembusuk pada daging ikan. Kegiatan sanitasi akan berguna untuk :
a. memperoleh produk yang tidak membahayakan konsumen.
b. memperoleh persyaratan sesuai dengan peraturan dan undang-undang.
c. memperoleh jumlah daging ikan yang tidak berkurang sebagai akibat kerusakan selama
pengolahan dan karena daging ikan lebih lama disimpan.
d. memperoleh kemantapan daging ikan sebagai komoditi perdagangan di pasaran.
e. memperoleh kepercayaan konsumen terhadap hasil panen.
f. memperkuat kedudukan perusahaan dan meningkatkan kepercayaan badan-badan yang
diperlukan perusahaan.

Sebaliknya sanitasi yang tidak baik akan menyebabkan :


a. Hasil olahan dapat memiliki potensi membahayakan masyarakat konsumen.
b. Tidak dipenuhinya persyaratan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang
diterbitkan.
c. Menimbulkan kericuhan perdagangan berupa tuntutan oleh konsumen.
d. Mengurangi tersedianya hasil olahan ikan bagi masyarakat karena ada yang rusak.
e. Melemahkan kedudukan hasil olahan ikan sebagai komoditi perdagangan di pasaran.
f. Mengurangi kepercayaan pembeli terhadap perusahaan.
g. Mengurangi kepercayaan badan-badan yang diperlukan perusahaan.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 40

h. Akan terjadi keadaan yang tidak menguntungkan bagi pengusaha karena hasil olahannya
mengandung racun yang dapat menyebabkan menurunnya sejumlah konsumen
sehingga dapat mengakibatkan ditutupnya perusahaan dan dituntutnya pengusaha ke
depan pengadilan.

9. Pembekuan Hasil Panen Ikan


Pembekuan adalah proses mengawetkan produk makanan dengan menggunakan suhu
rendah yang bertujuan untuk menghambat perkembang biakan bakteri pembusuk. Keadaan
beku menyebabkan aktivitas mikrobiologi dan enzim terhambat sehingga daya simpan
produk menjadi lama/panjang. Pembekuan ikan harus dilakukan dengan cara yang baik dan
sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP), jika proses pembekuan tidak sesuai
dengan SOP maka proses pembekuan akan merusak produk yang dihasilkan sehingga bakteri
akan berkembang dengan baik. Selama pembekuan banyak proses yang terjadi baik
perubahan fisik, kimia maupun biologi, penyebab kerusakan ikan seperti pendinginan,
sedangkan pembekuan dimaksudkan untuk mengawetkan sifat-sifat alami ikan. Jenis
pembekuan terbagi menjadi dua golongan yaitu pembekuan cepat (quick freezing) dan
pembekuan lambat (slow freezing). Faktor yang menentukan kecepatan pembekuan ikan
diantaranya jenis Freezer, Suhu produk dalam pembekuan, tebal produk, suhu produk dan
jenis ikan (Murniyati dan Sunarman, 2000).
a) Prinsip Pembekuan Ikan
Seperti pendinginan, pembekuan dimaksudkan untuk mengawetkan sifat-sifat alami ikan.
Pembekuan menggunakan suhu yang lebih rendah, yaitu jauh dibawah titik beku ikan
(4C). Pembekuan mengubah hampir seluruh kandungan air pada ikan menjadi es, tetapi
pada waktu ikan dilelehkan kembali untuk digunakan, keadaan ikan harus kembali seperti
sebelum dibekukan. Keadaan beku menyebabkan bakteri dan enzim terhambat, sehingga
daya awet ikan beku lebih besar dibandingkan dengan ikan yang hanya didinginkan
(Murniyati dan Sunarman, 2000)
b) Jenis Pembekuan
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) jenis pembekuan ikan berdasarkan panjang-
pendeknya waktu dibagi menjadi 2 yaitu yang pertama adalah Pembekuan lambat (slow
freezing atau sharp freezing) pembekuan dengan waktu lebih dari 2 jam.
Pembekuan lambat menghasilkan kristal yang besar-besar. Kristal es ini mendesak dan
merusak susunan jaringan daging. Tekstur daging ketika ikan dicairkan menjadi
kurang baik, ia menjadi berongga-rongga (keropos, honey combed), dan banyak
sekali drip yang terbentuk. Pembekuan lambat juga menyebabkan penggumpalan dari
garam dan enzim di dalam sel daging dalam bentuk larutan, menyebabkan enzim menjadi
lebih aktif dan membuat perubahan-perubahan tekstur dan rasa yang tidak dikehendaki.
Ikan yang dibekukan dengan lambat tidak dapat digunakan sebagai bahan bagi
pengolahan-pengolahan tertentu misalnya pengalengan, pengasapan dan sebagainya.
Kedua pembekuan cepat (quick freezing), yaitu pembekuan dengan thermal arrest time
tidak lebih dari 2 jam. Pembekuan cepat menghasilkan kristal yang kecil-kecil di dalam

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 41

jaringan daging ikan, jika ikan dicairkan kembali maka kristal-kristal es yang mencair akan
diserap kembali oleh daging dan hanya sedikit yang mengalami drip (Murniyati dan
Sunarman, 2000).
c) Alat-Alat Pembekuan
Alat yang digunakan untuk membekukan ikan disebu freezer. Freezer atau alat pendingin
pada umumnya bekerja dengan menyerap panas dari produk yang didinginkan, dan
memindahkan panas itu ke tempat lain dengan perantara bahan pendingin (refrigerant),
misalnya amoniak dan Freon. Berdasarkan alat yang dipakai, cara pembekuan pada
proses pembekuan dibagi menjadi 5 yaitu:
 Sharp Freezer, termasuk jenis pembekuan lambat, yaitu pada prosesnya produk
diletakkan di atas rak yang terbuat dari pipa pendingin.
 Multi Plate Freezer (Contact Plate freezer), merupakan jenis pembekuan yang
memanfaatkan susunan pelat aluminium sebagai pendingin, yaitu ikan dijepitkan
diantara pelat–pelat tersebut. Cara pembekuan ini lebih efisien dan cepat
membekukan produk
 Air Blast Freezer, merupakan jenis pembekuan yang memanfaatkan udara dingin,
yaitu dengan menghembuskan dan mengedarkan udara dingin ke sekitar produk
secara continue.
 Immersion Freezer, pembekuan dilakukan dengan mencelupkan ikan ke dalam
larutan garam (NaCl) bersuhu –170C, atau dengan menyemprot ikan memakai brine
dingin, selain itu Immersion Freezer membekukan produk dalam larutan garam yang
direfrigasi. Waktu pembekuanya tergolong cepat.
 Spray Freezer, pembekuan ini dilakukan dengan cara menyemprot ikan dengan cairan
dingin ke bagian tubuh ikan

10. Pendinginan Hasil Perikanan


Prinsip pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah
mungkin tetapi tidak sampai menjadi beku. Umumnya pendinginan tidak dapat mencegah
pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan, semakin besar penurunan
aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan
biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak dihentikan.
Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry ice (es cair),
dan air laut dingin (chilled sea water). Cara yang paling mudah dalam mengawetkan ikan
dengan pendinginan adalah menggunakan es sebagai bahan pengawet, baik untuk
pengawetan di atas kapal maupun setelah didaratkan, yaitu ketika di tempat pelelangan,
selama distribusi dan ketika dipasarkan.
Perbandingan es dan ikan yang ideal untuk penyimpanan dingin dengan es adalah 1 : 1.
wadah yang digunakan untuk penyimpanan harus mampu mempertahankan es selama
mungkin agar tidak mencair. Wadah harus mampu mempertahankan suhu tetap dingin,
kuat, tahan lama, kedap air dan mudah dibersihkan.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 42

Pendinginan dapat dilakukan dengan diberi es dan juga dimasukkan ke dalam kulkas.
Keuntungan menggunakan es dalam pendinginan ikan adalah :
a. Es sanggup mendinginkan ikan dengan cepat, panas dari ikan ditariknya sehingga ikan
cepat dingin dan pembusukan terhambat.
b. Es berasal dari air sehingga tidak akan menimbulkan kesulitan apa-apa dan tidak
membahayakan kesehatan manusia
c. Es melindungi ikan dari panas dan ikan tidak cukup didinginkan saja tetapi harus dijaga
jangan sampai kering, kalau kering akan timbul perubahan pada otot serta warna
dagingnya
d. Es mudah dibuat atau diperoleh.

Langkah-langkah pendinginan ikan dengan


es adalah dengan mempersiapkan peti/cool
box tempat ikan, lalu tempat tersebut
dibersihkan dan diberi lapisan es yang
cukup. Ikanikan yang telah dibersihkan
disusun berjajar di dalam peti tersebut, lalu Gb. 6.3 Penurunan suhu ikan menggunakan es
ditutupi dengan pecahan es. Perbandingan
yang baik antara ikan dan es adalah 2 : 1 atau 1 : 1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pendinginan dengan menggunakan es adalah:
a. Lapisan es dan ikan tidak boleh lebih tinggi dari 50 cm, karena jika lebih tinggi akan
menyebabkan ikan dibagian bawah akan tergencet dan rusak.
b. Jika tinggi peti es lebih dari 50 cm, sebaiknya diberi sekat hidup untuk menahan beban
ikan di sebelah atas.
c. Jenis ikan yang berkulit dan berduri kasar jangan dicampur dengan ikan yang berkulit
halus.
d. Makin cepat ikan diberi es makin baik, karena pembusukan tidak sempat berlangsung.
Fungsi es dalam pendinginan ikan yaitu (Adawyah 2007):
a. Menurunkan suhu daging sampai mendekati 0 C.
b. Mempertahankan suhu ikan tetap dingin
c. Menyediakan air es untuk mencuci
lendir, sisa-sisa darah, dan bakteri dari
permukaan badan ikan.
d. Mempertahankan keadaan berudara
(aerobik) pada ikan, selama disimpan di
dalam palka.

a) Es curah (small ice atau fragmentary ice)


Es curah merupakan es yang berbentuk Gb. 6.4 Es Curah untuk pendinginan Ikan
butiran-butiran yang sangat halus dengan
diameter 2 mm dan tekstur lembek, umumnya sedikit berair. Mesin yang digunakan
berukuran kecil dan produksinya sedikit, hanya untuk ikan di sekitar pabrik. Es ini lebih

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 43

cepat meleleh sehingga proses pendinginan lebih cepat terjadi. Tetapi, di lain pihak akan
banyak jumlah es yang hilang sehingga lebih banyak jumlah es yang diperlukan. Ukuran
es yang semakin kecil menyebabkan ikan akan lebih cepat dalam proses
pendinginannya. Untuk mengatasi kelemahan es halus perlu disimpan dan diangkut di
dalam kotak yang berinsulasi atau jika memungkinkan dengan mesin pendingin.
Keuntungan lainnya berupa es curah lebih mudah penggunaannya, tidak perlu
dihancurkan dulu sebelum digunakan sedangkan kelemahan es curah memerlukan
ruang penyimpanan yang lebih besar, karena permukaan es lebih luas dan banyak
rongga udara, meleleh lebih cepat.
Es curah dalam perdagangan dikenal dengan nama es keeping (flake ice), es potongan
atau es lempeng (slice ice), es tabung (tube ice), es kubus (cube ice), es pelat (plate ice),
es pita (ribbon ice) dan lain-lain (Ilyas 1998 diacu dalam Wulandari 2007).
Es dalam bentuk curah lebih efektif (cepat) dalam mendinginkan daripada bentuk es
balok (block ice) karena lebih luas permukaannya, sehingga juga lebih cepat cair.
Dengan kata lain semakin kecil ukuran butiran es semakin cepat kemampuan
mendinginkannya dan semakin mudah mencair (Martono 2007).

b) Es balok
Es balok merupakan es yang berbentuk
balok berukuran 12-60 kg/balok.
Sebelum dipakai es balok harus
dipecahkan terlebih dahulu untuk
memperkecil ukuran. Es balok
merupakan jenis es yang paling banyak
atau umum untuk digunakan dalam
pendinginan ikan karena harganya
murah dan mudah dalam
Gb. 6.4 Es balok dapat digunakan untuk
pengangkutannya. Es balok lebih
pendinginan ikan
mudah dalam pengangkutannya karena lebih sedikit meleleh. Akan tetapi, memerlukan
sarana penumbuk es atau penghancur secara mekanis (ice crusher) sehingga es yang
keluar dari pabrik sudah siap pakai dengan ukuran 1 cm x 1 cm. Keuntungan lain dari
penggunaan es balok ialah es balok lebih lama mencair dan menghemat penggunaan
tempat pada palka, es balok ditransportasikan dan disimpan dalam bentuk balok dan
dihancurkan bila akan digunakan

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 44

Latar Belakang
Ikan dan produk perikanan merupakan salah satu sumber pangan yang sangat penting bagi
masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global di masa yang akan datang akan
makin meningkat karena beberapa faktor, di antaranya meningkatnya jumlah penduduk
serta pendapatan masyarakat dunia; meningkatnya apresiasi terhadap makanan sehat atau
healthy food (di antarannya ditandai dengan rendahnnya kandungan kolesterol dan
tingginya asam lemak tak jenuh ganda omega-3 serta komposisi asam amino yang lebih
lengkap), sehingga mendorong perubahan pola konsumsi daging dari red meat ke white
meat; adanya globalisasi yang menuntut adanya makanan yang bersifat universal semisal
ikan. (Tampubolon, 2009). Sebelum ikan menjadi produk makanan yang bersifat universal,
maka produk perikanan harus melalui persyaratan jaminan mutu yang ketat yang juga
bersifat universal atau berlaku di seluruh dunia.

Sebagai produk pangan, ikan tetap dapat menyebabkan permasalahan kesehatan. Ikan dan produk
perikanan dapat terkontaminasi sejak dari proses penangkapan / pembudidayaan sampai dengan
sesaat sebelum dimakan. Kemungkinan terjadinya kontaminasi pada ikan dan produk perikanan
telah mendorong setiap negara untuk melindungi konsumen dengan mengeluarkan kebijakan berupa
peraturan-peraturan dan standar mutu, di mana setiap produk perikanan yang diekspor harus bisa
memenuhi persyaratan peraturan-peraturan dan standar mutu di negara tujuan ekspor. Demikian
pula sebaliknya, produk perikanan asing yang masuk ke Indonesia harus juga bisa memenuhi
peraturan-peraturan dan standar mutu produk di Indonesia.

Hasil perikanan tangkap sebagian besar tetap statis selama dua dekade terakhir, produksi perikanan
budidaya telah berkembang pesat dalam periode yang sama. Dari tahun 1970-2008, produksi ikan
konsumsi dari budidaya meningkat rata-rata 8,3 persen.

Cina sejauh ini merupakan produsen utama produk perikanan budidaya dunia, pada tahun 2008,
produksinya sekitar 33 juta ton produk perikanan budidaya (tidak termasuk tumbuhan). Produksi
perikanan budidaya China diperkirakan 10 kali lebih besar dari hasil produksi produsen kedua,
India dengan 3,4 juta ton pada tahun 2008.

Beberapa negara anggota APEC lainnya merupakan produsen utama produk perikanan budidaya.
Vietnam, Indonesia, Thailand, Chile, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Republik Korea dan Cina
Taipei; semua peringkat 15 teratas produsen produk perikanan budidaya dunia.

Isu keamanan pangan terkait dengan produk ini berasal dari beberapa faktor termasuk metode
produksi ikan budidaya, mudah terkontaminasi dan dekomposisi, dan penggunaan bahan kimia
secara sengaja yang tidak diijnkan.

Permasalahan ini sulit dihitung secara global, meskipun informasi yang cukup dapat diperoleh dari
sistem pemantauan, seperti Sistem Peringatan Cepat untuk Pangan dan Pakan Eropa (European
Rapid Alert System for Food and Feed – RASFF).

Pada tahun 2009 ikan, krustasea dan moluska menyumbang 22,3% dari 3.204 total notifikasi
RASFF. Pada tahun 2008, notifikasi RASFF meningkat 14,8% dari 3.045. Sebagian besar
peningkatan 2008-2009 adalah karena lonjakan besar penolakan produk perikanan di pintu akibat
penyalahgunaan senyawa antimikroba seperti nitrofurans, kendati masalah tetap ada dengan bahaya
keamanan pangan lainnya. Penolakan pada pintu masuk perbatasan (border rejection)
dipublikasikan di RASFF. Penyebab utama notifikasi RASFF adalah: Ikan (467 total notifikasi) –

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 45

mikroorganisme patogen, kontrol yang buruk/tidak memadai, biokontaminan, logam berat, dan
parasit. Kekeerangan (54 total notifikasi) – mikroorganisme patogen dan biotoxins. Cephalopoda
(39 total notifikasi) – logam berat dan kontrol yang buruk/tidak memadai. Crustacea (177 total
notifikasi) – Residu dari obat-obatan (hewan), logam berat, dan bahan tambahan pangan. Analisis
tren bahaya dilaporkan RASFF pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
menunjukkan: Masalah signifikan yang lebih besar pada nitrofurans, kadmium, parasit, Listeria
monocytogenes, pelabelan yang tidak tepat, kontrol yang buruk/kurang memadai, dan pembusukan.
Masalah signifikan yang lebih sedikit adalah karena kontaminasi sulfit dan Vibrio sp.

2. Tujuan Penulisan
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan pangan
4. Mengetahui resistensi Salmonella typhi yang diisolasi dari ikan Serigala/ ikan ganas (Hoplias
malabaricus) terhadap Antibiotik dan mengetahui aplikasi bakteri penghambat dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Vibrio dalam pemeliharaan larva udang windu

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 18/2012 tentang pangan, bahwa keamanan
pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan,
dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,
dan budaya masyarakat, sehingga aman untuk dikonsumsi.

Pangan yang tidak aman akan menyebabkan penyakit yang disebut foodborne disease, yaitu segala
penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun
atau organisme patogen

Penyebab Ketidakamanan Pangan

Penyebab ketidakamanan pangan adalah (Baliwati, dkk, 2004):

1. Segi gizi, jika kandungan gizinya berlebihan yang dapat

menyebabkan berbagai penyakit degeneratif seperti jantung,

kanker, diabetes.

1. Segi kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme

ataupun bahan-bahan kimia.

Penyebab pangan tersebut berbahaya karena, makanan tersebut dicemari zat-zat yang
membahayakan kehidupan dan juga karenan didalam makanan itu sendiri telah terdapat zat-zat yang
membahayakan kesehatan (Azwar, 1995). Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan mutu pangan adalah
nilai yang ditentukan atas dasar kriteria

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 46

keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan
minuman.

Dalam menanggapi masalah keamanan pangan yang terkait dengan makanan hasil laut, produk ini
harus memenuhi standar yang semakin ketat untuk memastikan mutu dan keamanannya.

Standar pangan umumnya berasal dari dua sumber. Pertama, Standar Sektor Publik, yang meliputi
hukum dan peraturan pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tergantung pada negara,
peraturan dapat lebih spesifik sesuai negara itu sendiri, atau berpotensi diterapkan disuatu wilayah
(misalnya Uni Eropa) atau blok perdagangan. Negara-negara anggota Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization – WTO) mengakui Codex Alimentarius Commission sebagai
sumber utama untuk standar pangan, pedoman dan dokumen terkait seperti kode praktek. Dokumen
Codex seringkali menjadi dasar untuk menyusun hukum dan peraturan spesifik negara yang oleh
lembaga pengawasan pangan nasional.

Standar Codex mengalami revisi berkesinambungan yang prosesnya diatur oleh kerjasama program
standar pangan FAO/WHO. Halaman berikut memberikan sebagian daftar standar Codex yang
diterapkan untuk sektor perikanan termasuk budidaya.

BAB III

PEMBAHASAN

Perundang-undangan Pangan

Undang-undang pangan pada tahap awal digunakan untuk pencegahan penipuan pada
penjualan produk pangan. Seiring berkembangnya jaman, perundang-undangan pangan
selanjutnya mencakup keamanan produk pangan atau lebih mengutamakan pertimbangan
kesehatan bagi konsumen, sebagai contoh kemanan pangan terkait dengan mikrobiologi yang
ada kemungkinan berbahaya pada manusia. Selain itu ada juga standard/peraturan khusus
yang ditentukan terkait dengan permasalahan bahaya yang lebih serius, seperti standard
pengolahan pangan itu sendiri daripada pencapaian standar mikrobiologinya. Antar negara di
belahan dunia menerapkan standard kemanan pangan yang berbeda-beda, hal ini akan menjadikan
hambatan pada proses jual-beli produk pangan, perlu adanya penyelarasan perundang-undangan
pangan agar semua negara terfasilitasi dalam proses jual-beli produk pangan.

Hukum serta perundang-undangan yang mengatur higiene makanan seperti penggunaan zat aditif
serta pelabelan merupakan suatu “Single Act Measures” atau langkah tindakan tunggal yang berarti
adalah bagian dari kemajuan menuju pasar tunggal. Langkah-langkah ini terkait dengan pentingnya
aliran barang dan jasa secara bebas di pasar internasional. Undang-undang dibuat dengan standar
tinggi sebagai fungsi perlindungan konsumen terkait keamanan pangan. Konsumen seharusnya

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 47

mengetahui secara memadai tentang produk pangan yang beredar, misalnya sifat bahan, asal
produk, serta kesesuaian produk dengan syarat yang berlaku.

Di Indonesia, untuk mengatur Keamanan Pangan, pemerintah telah menetapkan peraturan


perundangan-undangan yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, serta Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Keamanan Pangan
didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Mengacu kepada peraturan perundangan tentang keamanan
pangan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap keamanan
suatu produk pangan, yaitu :

1. Sanitasi Pangan

Perlakuan efektif Sanitasi Pangan dimaksudkan untuk menghilangkan sel vegetatif mikroba yang
membahayakan kesehatan, sekaligus mengurangi mikroba lainnya yang tidak diinginkan, tanpa
mempengaruhi mutu produk dan keamanan bagi konsumen. Selain itu perlu adanya syarat higiene
pada alat, tempat, pekerja, serta sarana lain yang bersangkutan dengan proses produksi pangan.

2. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Jenis dan batas maksimum penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) diatur dalam pasal 10
sampai 12 UU No. 7/1996 dan peraturan di bawahnya. Penggunaan BTP harus diatur agar bahaya
terhadap kesehatan manusia dapat dicegah. Selain itu dalam Permenkes No.
722/Menkes/PER/IX/88 selain menetapkan BTP yang aman juga menetapkan Bahan Terlarang dan
Berbahaya. Untuk menguji keamanan BTP, di tingkat dunia BTP dinyatakan aman oleh suatu badan
atau komite ahli yang dibentuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan Dunia
(FAO) yang dikenal dengan Joint Expert Committee on Food Additives and Contaminant, disingkat
JECFA.

3. Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan

Pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG) adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan
bahan baku, Bahan Tambahan Pangan dan bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa
genetika. Proses rekayasa genetika adalah proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat)
dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama, untuk mendapatkan jenis baru
yang mampu menghasilkan pangan yang lebih unggul. Untuk menjamin keamanan PRG, produsen
wajib memeriksakan keamanannya bagi kesehatan manusia sebelum produk tersebut diedarkan ke
konsumen.

Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat
radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta
membebaskan pangan dari jasad renik patogen. Proses produksi dengan teknik atau metode iradiasi
wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan
radioaktif. Hal itu penting untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja dan kelestarian
lingkungan.

4. Kemasan Pangan

Menurut UU No.7/1996 tentang Pangan, setiap produsen pangan wajib mengemas produk pangan
dengan kemasan yang aman, serta mampu melindungi pangan dari cemaran yang merugikan atau

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 48

membayakan kesehatan manusia. Kemasan yang baik, mampu memberi perlindungan terhadap
produk dari benturan fisik, cahaya, oksigen dan uap air yang dapat memicu pertumbuhan mikroba
dan reaksi enzimatik.

5. Penggunaan Bahan Terlarang dan Berbahaya Pada Produk Pangan

Sesuai dengan Permenkes No. 772/Menkes/PER/IX/88, produsen makanan dilarang menggunakan


bahan-bahan yang ditetapkan sebagai Bahan Terlarang dan Berbahaya, antara lain adalah:

1. Asam Borat (Boraks)


2. Asam Salisilat
3. Dietil Pirokarbonat
4. Dulsin
5. Formalin
6. Kalium Bromat
7. Kalium Klorat
8. Minyak Nabati yang dibrominasi
9. Kloramfenikol
10. Nitrafurazon

Berdasarkan jurnal “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan
Serigala(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” didapatkan hasil yaitu :

Resistensi antibiotik

Resistensi adalah mekanisme tubuh yang secara keseluruhan membuat rintangan untuk
berkembangnya penyerangan atau pembiakan agent menular atau kerusakan oleh racun
yang dihasilkannya. Resistensi antibiotika timbul bila suatu antibiotika kehilangan
kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan bakteri
dengan kata lain bakteri mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun telah
diberikan antibiotika dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan.

Resistensi antibiotik meningkat di sejumlah patogen makanan. Hal tersebut ditunjukan pada kasus
yang terjadi di inggris dan wales pada tahun 1981 dan 1994:

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 49

Pada tahun 1984, turunan Salmonella typhimurium DT104 resisten terhadap antibiotik seperti
ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, sulphonamides dan tetracyline (R-type ACSSuT).
Bakteri ini pertamakali diisolasikan di Inggris yang diperoleh dari hewan ternak seperti babi, daging
unggas dan berbagai makanan manusi. Pada tahun 1995, jumlah isolasi bakteri ini naik hingga
3000. Kenaikan ini juga ditandai dengan resistennya bakteri tersebut terhadap antibiotik
trimethorpin dan ciprofloxacin. Turunan lain dari Salmonella hadar mengalami resisten terhadap
antibiotik jenis ciprofloxain, kemudian bakteri lain Salmonella serovar juga mengalami resisten
terhadap antibiotik ini. Hal yang sama juga terjadi pada bakteri Campylobacter spp. di Belanda,
Spanyol dan Austria. Hal tersebut masuk akal terjadi karena pemberian enrofloxacin (antibiotik lain
flouroquinolone) pada makanan hewan mengakibatkan Salmonella menjadi reisiten terhadap
antibiotik ciprofloxacin. Awalnya penggunaan enrofloxacin dibatasi di Eropa, namun mendapat
lisensi untuk dipakai di Inggris pada tahun November 1993. Sejak saat itu frekuensi reisisten bakteri
Salmonella typhimurium terhadap antibiotik ciprofloxacin meningkat dari nol menjadi 14%.

Berdasarkan jurnal kedua yang kami review tentang “Pola Resistensi Salmonella typhi yang
Diisolasi dari Ikan Serigala/ ikan ganas(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” ,
dijelaskan bahwa resistensi Salmonella typhi pada ikan menggambarkan dua hal yaitu
pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten sebelumnya. Bakteri ini dapat
berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan). Kedua, bahwa bakteri mengalami
proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat pemberian antibiotik yang kurang tepat dan
berkepanjangan. Sedangkan antibiotik streptomycin, gentamycin, dan chlorampenicol
memiliki sensitivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri S. typhidengan diameter hambat
berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm. (Monica et al., 2013)

Pengobatan infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik baik yang bersifat bakteriostatik maupun
bakteriosidal. Namun penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan yang kurang bijak
menimbulkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya mikroba sebagai target antibiotik
tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain yang memiliki habitat yang sama dengan mikroorganisme
target .Penggunaan antibiotik dalam jumlah besar kurang efisien, tidak ekonomis, dan
mengakibatkan bertambahnya jenis bakteri yang resisten, serta dapat mencemari lingkungan
(Yuhana, 2008). Kejadian resisten antibotik mengakibatkan obat tidak mampu menghambat atau
membunuh bakteri yang bersangkutan sehingga pengobatan akan sia-sia (Besung, 2009).Resistensi
antimikroba telah menjadi masalah global. Strategi untuk menghindari resistensi adalah
menemukan inovasi dan antimikroba baru (Devendr et al., 2011). Produksi antibiotika baru yang
berasal dari fitofarmaka (tanaman obat) merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan.

Resistensi ini biasanya berawal dari kesalahan diagnosa dalam menentukan antibiotik yang
tepat dalam menangani suatu penyakit, selain itu beberapa faktor yang mendukung antara
lain :

1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah,
diagnose awal yang salah, potensi yang tidak kuat.
2. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan
mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai
suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai
dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
3. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan
monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
4. Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan
pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 50

meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait
baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI,
2011).

Mekanisme resistensi oleh bakteri dapat melalui beberapa cara:

1. Bakteri mensintesis suatu enzyme inaktivator atau penghancur antibiotik. Misalnya


Staphylococcy, resisten terhadap Penicilin G menghasilkan β-Laktamase yang merusak obat
tersebut. β-Laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang gram negatif.
2. Bakteri melakukan mutasi genetic sehingga sasaran antibiotik tidak bekerja.
3. Terjadinya perubahan permeabilitas bakteri terhadap obat tertentu. misalnya tetrasiklin,
tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
4. Bakteri mengembangkkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi
kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein
spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang
rentan.
5. Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat,misalnya kuman yang
resisten terhadap obat golongan sulfonamida, tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat
menggunakan asam folat, sehingga sulfonamida yang berkompetisi dengan PABA tidak
berpengaruh pada metabolisme sel.
6. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya
tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya
beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai
afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).

Program keselamatan seluruh dunia

Program keamanan pangan membutuhkan pengawasan yang memadai untuk menyusun melaporkan
wabah keracunan makanan, tanda masalah pada makanan yang terkontaminasi dan mengatur studi
epidemiologi yang spesifik. Sebagian besar Negara memiliki skema pemberitahuan untuk kasus
keracunan makanan dan laporan tahunan dikumpulkan. Koordinasi upaya oleh industry makanan
dan pemerintah diperlukan untuk mencapai program pengawasan makanan yang efektif dan
karenanya program keamanan pangan untuk usaha misalnya Sweden untuk mengurangi salmonella
pada unggas karena produksi dan distribusi pangan merupakan latihan global yang koordinasi ini
masih dalam tahap awal; Namun demikian berbagai inisiatif yang dibahas dalam bagian ini.

Orang-orang di Eropa mulai terinfeksi Salmonella pada tahun 1995 .Dilakukan upaya-upaya
peningkatan pencegahansalmonellosisdi Eropa, seperti:

 Menyelaraskan dan memperpanjang penggunaan fag mengetik untuk serotipe salmonella yang
paling umum
 Mengidentifikasi wabah internasional salmonellosis dan membantu dalam studi epidemiologi
berikutnya.
 Membuat database internasional mengenai laporan laboratorium salmonella pada manusia yang
diperbarui secara teratur dan tersedia untuk setiap tim yang berpartisipasi.
 Penggunaan sistem telematika yang cocok untuk mentransfer informasi elektronik untuk
memperbarui database internasional dan menyebarkan informasi pada waktu yang tepat.
3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan
4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 51

 Mekanisme otomatis untuk mendeteksi pengelompokan kasus untuk memfasilitasi wabah


internasional salmonellosis

Berdasarkan jurnal kedua yang kami review tentang “PENERAPAN BUDIDAYA UDANG
RAMAH LINGKUNGAN DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI
ANTAGONIS UNTUK BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon
Fabr.)

Permasalahan utama yang dihadapi petambak udang windu adalah serangan penyakit bakteri udang
menyala (luminescent vibriosis), karena udang yang terserang pada keadaan gelap tampak
bercahaya. Penyebab penyakit udang menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan
wabah pada awal tahun 1990 hingga sekarang (Irianto, 2003). Hal ini terjadi karena merosotnya
mutu lingkungan budidaya yaitu mutu air sumber dari perairan di sekitarnya dan mutu lingkungan
tambak sendiri (Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri Vibrio melakukan serangan secara ganas dan
cepat sehingga dapat menimbulkan kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun
pembesaran. Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari segi ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit
vibriosis ini melemahkan roda industri udang nasional.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan
penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik.
Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang
memuaskan karena pada dosis tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi
bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994). Sejumlah isolat
Vibrio berpendar yang diisolasi dari tempat pembenihan udang windu di Jawa Timur ternyata
resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol,
eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak
antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia
(Tompo et al., 2006).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberlanjutan daya dukung
ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi bahan kimia dan obat-obatan melalui
aplikasi musuh alami hama penyakit dan patogen. Program eksplorasi dan pengembangan musuh
alami untuk pengendalian hama dan penyakit akan sangat efektif diterapkan dalam upaya
pengendalian hama dan penyakit terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik. Untuk mengembangkan
probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah dilakukan studi mengenai mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan menekan patogen. Salah satu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri
antagonis terhadap patogen udang yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem tambak.
Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong,
1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999),
Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio
(Suprapto, 2005). Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin
penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan
penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan
sistem keamanan hayati untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya
udang.

Bakteri Vibrio merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan estuaria. Umumnya
bakteri Vibrio menyebabkan penyakit pada hewan perairan laut dan payau. Sejumlah spesies Vibrio
yang dikenal sebagai patogen seperti V. alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae,
V. harveyii, V. ordalii dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987) Vibrio sp.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 52

menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Vibrio sp. mempunyai sifat gram negatif, sel
tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0)
µm dan lebar (0,3 – 1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella polar (Gambar 1). Menurut Pitogo et
al., (1990), karakteristik spesies Vibrio berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio adalah oksidase
positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129 (Logan, 1994 cit. Gultom,
2003).

Bakteri Vibrio sp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi. Menurut
Rheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang
tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20-40‰. Bakteri Vibrio berpendar termasuk bakteri
anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada
pH 4 – 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 – 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et al.,
1984 cit. Herawati, 1996).

Genus Vibrio merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti
ikan, udang, dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang berpendar umumnya menyerang larva
udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang
secara sekunder yaitu pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan
bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada tahap postlarva dan
koloni Vibrio sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian pakan yang tidak terkontrol
mengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar tambak sehingga menyebabkan terbentuknya
lapisan anaerob yang menghasilkan H2S (Anderson et al., 1988 cit. Muliani, 2002). Akibat
akumulasi H2S tersebut maka bakteri patogen oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah
berkembang dan memungkinkan timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al., 1993 cit. Muliani,
2002).

Patogenesis Bakteri Vibrio pada Udang Windu

Tingkat kematian udang yang terkena Vibrio harveyii berbeda-beda berdasarkan umur. Pada stadia
zoea I tingkat kematian udang sebesar 74%, stadia mysis I 73%, dan postlarva 1 (PL1) 69%,
postlarva 2 (PL2) 51,5% (Prayitno dan Latchford, 1995 cit. Muliani, 2002). Jiravanichpaisal et al.,
(1994) cit. Muliani (2002) menyatakan bahwa mortalitas udang windu dewasa yang terkena Vibrio
harveyii isolat B-2 dengan kepadatan 8,20 x 105 cfu/ekor sebesar 100%, dan udang yang diinfeksi
dengan Vibrio harveyii isolat B-4 dengan kepadatan 1,55 x 106 cfu/ekor sebesar 80%.

B. Udang berpendar pada cahaya


A. Udang tampak normal
gelap
Gambar 3. Bioluminescens Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948)

Tingkat patogenesis bakteri ditentukan oleh suatu mekanisme dalam proses pertumbuhan.
Menurut Greenberg (1999) cit. Muliani (2002) suatu mekanisme yang umum untuk mengontrol
kepadatan populasi bakteri gram negatif adalah dengan menghambat komunikasi antar sel.
Kemampuan komunikasi satu sama lain terjadi setelah mencapai quorum sensing yang terjadi
karena adanya suatu senyawa acylhomoserine lactone. Sifat virulensi Vibrio harveyii berkaitan erat
dengan fenomena bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing.

Penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. masih menjadi fokus perhatian
utama dalam produksi budidaya udang. Penggunaan antibiotik dalam budidaya udang adalah
mahal dan merugikan karena dapat memunculkan strain bakteri yang tahan terhadap
antibiotik serta munculnya residu antibiotik dalam kultivan. Antibiotik merupakan suatu
senyawa kimia yang sebagian besar dihasilkan oleh mikroorganisme, karakteristiknya tidak

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 53

seperti enzim, dan merupakan hasil dari metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yang
berlebih pada tubuh manusia dapat menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik
yang digunakan. Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba
oleh antibiotik (Gan et.al., 1987 dalam Putraatmaja, 1997). Sejumlah isolat Vibrio berpendar
yang diisolasi dari hatcheri udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam
antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin,
ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam
dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006).

Salah satu cara pengendalian bakteri patogen adalah mempertemukan dengan bakteri
antagonisnya. Vershere et al. (2000) cit. Isnansetyo (2005) mengemukakan bahwa bakteri
antagonis dalam perannya sebagai agen pengendalian hayati melalui mekanisme
menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, kompetisi pemanfaatan senyawa
tertentu atau kompetisi tempat menempel, mempertinggi respon imun inang, meningkatkan
kualitas air dan adanya interaksi dengan fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan
sebagai agen pengendalian hayati dimasukkan dalam istilah probiotik. Menurut Gatesoupe (1999),
probiotik merupakan mikrobia yang diberikan dengan berbagai cara sehingga masuk dalam saluran
pencernaan dengan tujuan mempertinggi derajat kesehatan inang.

Menurut Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006), pengendalian hayati adalah penggunaan
musuh alamiah untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh organisme yang
berbahaya atau pengaturan populasi penyakit oleh musuh alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994)
menyatakan bahwa populasi bakteri Vibrio harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat
ditekan dengan cara mengintroduksikan bakteri tertentu yang diisolasi dari perairan laut di
sekitar tambak atau pembenihan udang. Tetraselmis suecica dilaporkan mampu menghambat
Aeromonas hydrophila, A. salmonidica, Serratia liquefaciens, Vibrio anguilarum, V. salmonisida,
Yerisnia rockery (Austin et al., 1992), Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis
(Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio
anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp., dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak
mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005).

Bakteri Vibrio sp. NM 10 yang diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat antagonis terhadap
Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan berat molekul kuang dari 5 kDA. Protein
tersebut diduga bacteriocin atau senyawa serupa bacteriocin (bacteriocin like substance) (Sugita et
al., 1997 cit. Isnansetyo, 2005). Bacteriocin adalah senyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri
asam laktat (Ringo and Gatesoupe, 1998). Kamei dan Isnansetyo (2003) menemukan Pseudomonas
sp. AMSN mampu menghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus karena menghasilkan senyawa
2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp. NM 12 yang diisolasi dari intestine ikan Callionymus sp.
mampu menghambat Vibrio vulnificus RIMD 2219009 dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita
et al., 1998). Siderofor merupakan protein spesifik pengikat ion Fe dengan berat molekul rendah
yang mampu melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme tersebut merupakan kompetisi
pemanfaatan senyawa tertentu oleh mikroorganisme.

Pengembangan Bakteri Antagonis

Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 411 tahun 1995, pengendalian hayati adalah setiap
organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa,
cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap
perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau
organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan
lainnya. Tahapan pengembangan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati dapat
dilakukan melalui:

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 54

1. Seleksi Bakteri Antagonis

Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendali hayati dari populasi alaminya,
seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen, atau mutan yang tidak patogen. Pada
tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan identitas calon agen pengendali hayati
perlu diketahui dengan baik agar pengembangannya di masa datang tidak menimbulkan masalah.
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah melakukan penelitian tentang
pengendalian Vibrio Harveyii secara biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat
bakteri penghambat yaitu GSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al., 1998). Berdasarkan uji
biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolat GSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio
alginolyticus sedangkan isolat GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum.

Suatu strain dalam satu spesies dapat dijadikan sebagai agen pengendalian hayati tetapi strain yang
lain dalam spesies tersebut mungkin tidak mempunyai kemampuan sebagai pengendali hayati
terhadap patogen yang sama. Selain itu suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifat
patogen tetapi strain lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagai pengendali hayati. Sebagai
contohnya Vibrio alginolyticus. Strain dari bakteri Vibrio tersebut dapat digunakan sebagai agen
pengendali hayati dalam budidaya salmon (S. salam), udang windu (Penaeus monodon) dan udang
vannamei (Litopneaeus vannamei), walaupun strain lain dari Vibrio alginolyticus juga diketahui
sebagai patogen.

2. Aplikasi Bakteri Antagonis

Aplikasi pengendalian hayati ini dapat dicobakan mulai dari penyediaan pakan alami yaitu
fitoplankon (S. Costatum) dan zooplankon (Brachionus dan Artemia) pada pemeliharaan
larva, post larva, maupun benih. Inveksi patogen khususnya pada stadium larva dan post
larva sangat tinggi karena sejak kecil udang terpapar dalam air yang banyak mengandung
mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis dapat diterapkan dalam pembuatan pakan obat
yaitu dengan menambahkan probiotik dari bakteri antagonis. Pakan tersebut diharapkan
dapat membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuh udang, sehingga udang tidak
mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005) menggunakan formulasi pakan obat dengan metode
pembuatan sebagai berikut: Probiotik antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5×103 sel/ml
dicampurkan ke dalam pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukan dengan cara
menumbuhkan bakteri selama 48 jam pada TSA pada suhu 250C dengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri
kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xg selama 15 menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml
physiological saline (0,85% NaCl) sebanyak 2,5×105 sel/ml dan dicampur dengan jumlah yang
sama dengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan dengan cara mengaduk selama
30 menit untuk mendapatkan dosis eqivalen 25×103 sel/g pada pakan dengan jumlah kandungan
minyak ikan sebanyak 10% (w/v).

3. Uji Efektivitas Bakteri Antagonis

Tahap kedua adalah menguji keefektifan agen pengendali hayati dalam kondisi terbatas dan
homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen target. Apabila suatu agen
pengendali hayati menunjukkan penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan
dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian terbatas dalam
kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji sensitivitas bakteri antagonis telah dilakukan oleh Roza
et al., (1999) terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033. Metode yang digunakan berupa
sensitivity disc agar (SDA) (Gambar 7).

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 55

Isolat GSB-95030 dan GSB-95033

6 botol (15 ml) pepton broth 1 % NaCl

3 botol GSB-95030 3 botol GSB-95033

Inkubasi 24, 72 dan 144 jam

Sentrifus 15 menit 3000 rpm

Ambil supernatan 5 ml

Kultur Vibrio harveyi kedalam petri 20 mL yang berisi media Sensitivity Disk Agar (SDA)
secara merata

Rendam kertas sensitivity disk selama 1 menit dalam supernatan yang telah diencerkan

Letakkan kertas sensitivity disk pada tengah pelat agar

(kontrol kertas sensitivity disk tanpa direndam)

Inkubasi 24 jam 25 °C

Amati zona hambatnya


3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan
4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 56

Gambar 7. Diagram alir pengujian sensitivitas bakteri penghambat terhadap pertumbuhan


Vibrio harveyii

Berdasarkan hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolat bakteri
penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai aktivitas dalam menekan
perkembangan Vibrio Harveyii. Hal ini terlihat dengan adanya zona hambat di sekeliling
kertas sensitivity disk yang bebas dari Vibrio Harveyii (Tabel 1), sedangkan dalam aplikasi
pemanfaatan bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 dalam pemeliharaan larva
udang dapat menekan perkembangan Vibrio harveyii dengan skala pemeliharaan yang lebih
besar.

Hasil aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaan larva udang dapat
dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii dalam air pemeliharaan larva
udang windu sampai kepadatan yang jauh lebih rendah yakni 5,3 x 102 cfu/ml dengan sintasan
67,8% dan 9,9 x 102 cfu/ml dengan sintasan 63,5%, dibandingkan dengan kontrol 8,7 x 104 cfu/ml
dengan sintasan lebih rendah 18,1%.

Tabel 1. Sensitivitas V. Harveyii terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033 dengan 24, 72,
dan 144 jam masa inkubasi

Zona (cm) yang bebas Vibrio harveyii


Isolat 72 144
24 jam
jam jam
GSB-95030 0.60 0.71 0.80
GSB-95033 0.90 0.98 1.02
Kontrol 0.00 0.00 0.00

Sumber: Roza et al., 1999

Apabila pada tahap ini kemampuan agen pengendali hayati masih konsisten dalam menekan
perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas.
Pada pengujian lapang, biasanya agen pengendali hayati harus diformulasikan secara lebih baik.
Dalam proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan harus dipastikan tidak akan
menimbulkan kerusakan pada target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan.

4. Komersialisasi

Tahap terakhir adalah komersialisasi agen pengendali hayati. Pada tahap ini diperlukan peran
industri untuk memperbanyak agen pengendali hayati secara massal dan memfor-
mulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan terstandar. Pada tahap akhir inilah data
tentang analisis risiko dari suatu agen pengendali hayati harus dilengkapi untuk memperoleh
izin penggunaannya. Beberapa agens hayati berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada
lingkungan atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan
penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang
3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan
4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 57

tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu
agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan 1997) tentang agen hayati
untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi mengenai kejelasan
identitas dari bahan aktif, karakteristik biologi, data toksisitas, dan data residu serta toksisitas bagi
lingkungan.

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

3. Faktor yang berpengaruh terhadap keamanan suatu produk pangan, yaitu :

1. Sanitasi Pangan,
2. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan,
3. Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan,
4. Kemasan Pangan, dan
5. Penggunaan Bahan Terlarang dan Berbahaya Pada Produk Pangan

4. Pada jurnal “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala/ ikan ganas(Hoplias
malabaricus) terhadap Antibiotik” , dijelaskan bahwa resistensi Salmonella typhi pada ikan
menggambarkan dua hal yaitu pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten
sebelumnya. Bakteri ini dapat berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan). Kedua,
bahwa bakteri mengalami proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat pemberian antibiotik yang
kurang tepat dan berkepanjangan. Sedangkan antibiotik streptomycin, gentamycin, dan
chlorampenicol memiliki sensitivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri typhi dengan diameter
hambat berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm dan aplikasi bakteri penghambat pada udang
windu yaitu Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii dalam pemeliharaan larva udang windu

DAFTAR PUSTAKA

Atmosumarsono, M. M.I. Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi Kasus Penyakit Udang di
Kabupaten Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M. Atmosumarsono., S. Ismawati. Seminar Hasil
Penelitian Perikanan Budidaya Pantai; Maros, 16-19 Juli. Maros.

Azwar A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Di dalam :

Soekirman et al, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.

Jakarta, 17-19 Mei. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 129-131.

Baliwati, Y.F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakrta.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 58

Besung NK. 2009. Kejadian Kolibasilosis Pada Anak Babi. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol 13. No
1. Hal:1-7.

Devendr BN,. Rinivas N,. Talluri VSSLP, and Latha PS. 2011. Antimicrobial Activity OfMoringa
Oleifera Lam., Leaf Extract, Against Selected Bacterial and Fungal Strains. International Journal of
Pharma and Bio Sciences. ISSN 0975 – 6299.

Egidius, E. 1987. Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture: 87: 15-28.

FAO. 1988 Guidelines for the Registration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome. 7 pp.

FAO. 1997. Code of Conduct For The Import And Release of Exotic Biological Control Agents.
Biocontrol News and Information 18(4): 119N-124N.

Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai Penyebab
Penyakit Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and clinical pharmacology. Third
edition. Appleton and Lange, Norwalk.

Jiranvanichpaisal, P., P. Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as the Prebiotic Bacteria
In The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand.

Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics in Aquaculture. Aquaculture. 180:147-185.

Gram, L., J. Melchiorsen, B. Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999. Inhibition of Vibrio
anguilarum AH 2 a Possible Probiotic Treatment of Fish. Appl. Environ. Microbiol.: 123: 31-32.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku panduan hari kesehatan sedunia.

Monica, S.M., Mahatmi, H., Besung,K. 2013. Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari
Ikan Serigala (Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik. Jurnal Ilmu dan Kesehatan
Hewan.Vol .1.No. 2. Hal :64-69.

Prayitno, S.B. 1994. Studies of Bacteria Causing Prawn Disease in Indonesia with Special
Emphasis on Luminous Bacterial Disease. Bangor: School of Ocean Science. University of North
Wales.

Putraatmaja, E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada Udang Akibat Perlakuan Sebelum Proses
Pengolahan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Roza, D. dan Zafran. 1998. Pengendalian Vibrio harveyi Secara Biologis pada Larva Udang Windu
(Penaeus monodon): Aplikasi Bakteri Penghambat. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 4 (2) : 24-30.

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 59

Roza, D. dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads Larva Kepiting Bakau (Scyila
serrata Forsskal) Melalui Disinfeksi Induk Selama Fengeraman Telur. J. Penelitian Perikanan
Indonesia: 5 (2) : 28-34.

Sugita. H. K. Shibuga. 1996. Antibacterial Capabilies of Instinal Bacteria I Fresh Water Cultured
Fish. Aquaculture: 145: 195-203.

Suprapto, H. 2005. Studi Pendahuluan Bacillus sp. sebagai Probiotik untuk Mengurangi Jumlah
Bakteri Vibrio sp. pada Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 54-
59.

Tjahjadi, M.R. 1994. Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk Menanggulangi Penyakit
Berpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Tompo, A., E. Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam Murwantoko et.
al. Pengaruh Vaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada Budidaya Udang Windu (Penaeus
monodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli. Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-
249.

Yuhana M, Normalina I, Sukenda. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Bawang Putih Allium sativum untuk
Pencegahan dan Pengobatan pada Ikan Patin Pangasionodon Hypophthalamus yang di Infeksi
Aeromonas Hydropilla. IPB.Bogor

Dalam praktik dilapangan, pascapanen ikan nila focus pada penanganan ikan hidup
dan ikan segar yang telah mati. Ciri-ciri ikan nila segar antara lain memiliki warna
cerah dan bersih, sisik melekat kuat serta mengilat (terlihat seperti ikan hidup), warna
insan merah tidak pucat, daging tidak lembek dan apabila ditekan dengan jari terasa
kenyal atau kembali seperti semula.

Tabel. Ciri-ciri ikan nila segar bermutu tinggi dan bermutu rendah
Ikan Segar Bermutu Ikan Segar Bermutu
No Para Meter
Tinggi Rendah
1 Mata Cerah, bola mata Bola mata cekung, pupil
menonjol, kornea jernih putih susu, kornea keruh
2 Insang Warna merah cemerlang, Warna kusam, dan berlendir
tanpa lender
3 Lendir Lapisan lender jernih, Lendir berwarna
transparan, mengilat kekuningan sampai coklat
cerah, belum ada tebal, warna cerah hilang,
perubahan warna pemutihan nyata
4 Daging dan perut Sayatan daging sangat Sayatan daging kusam,

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 60

cemerlang, berwarna asli, warna merah jelas


tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang,
sepanjang tulang dinding perut membubar,
belakang, perut utuh, bau busuk
ginjal merah terang,
dinding perut dagingnya
utuh, bau isi perut segar
5 Bau Segar, bau rumput laut, Bau busuk
bau spesifik menurut
jenis
6 Konsistensi Padat, elastis bila ditekan Sangat lunak, bekas jari
dengan jari, sulit tidak mau hilang bila
menyobek daging dari ditekan, mudah sekali
tulang belakang menyobek daging dari
tulang belakang

Jika tidak tertangani dengan baik nilai produk yang dijual dapat dipastikan mengalami
penurunan yang cukup tajam. Akibatnya harga jualnya tinggal setengah dari harga jual
ikan hidup

No Ciri ikan segar Ciri ikan tidak segar


1 Rupa dan warna ikan secara Warna insang pucat dan
keseluruhan masih cerah, berbau busuk.
mengkilap spesifik sesuai jenis
ikan.
2 Lendir yang tipis, bening dan Lender alami yang
encer menyelubungi tubuh ikan, menutupi permukaan ikan
baunya normal dan khas jenis hilang atau mengering atau
ikan menjadi pekat dan lengket
3 Sisik melekat kuat mengkilat Warna kulit menjadi pudar,
dengan warna atau tanda kulit ikan akan mengering
khusus sesuai jenis ikan. dan retak.
4 Mata cemerlang, cembung, Sisik – sisiknya banyak
bening,pupil hitam dan tidak yang lepas.
banyak berdarah.
5 Daging kenyal, jika dipijat Dagingnya lunak dan
bekas pijatan tidak nampak. kehilangan elastisitasnya.
6 insang berwarna merah cerah, Insannya berwarna
khas menurut jenis ikan, kecoklatan
tertutup lendir yang tipis,
7 Bagian perut masih kuat, tidak
pecah dan lubang dubur
tertutup.
Sumber: Junianto, 2003

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi
Materi Teknik Penanganan Pasca Panen-Fahrurrozi, S.Pi 61

3.6 Menganalisis pengendalian mutu hasil pemanenan ikan


4.6 Melakukan pengendalian mutu hasil pemanenan ikan Fahrurrozi, S.Pi

Anda mungkin juga menyukai