OLEH:
EVA ASMARANTI
Q1B1 18 011
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat
Penulis mengucapkan terima kasih pada para Dosen Pembimbing mata kuliah
Biokimia Hasil Perikanan yang telah membantu menyelesaikan makalah ini serta
rekan-rekan yang telah memberikan semangat, kritik dan saran pada penulis. Penulis
Semoga kegiatan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi seluruh mahasiswa. Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis sangat
disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
Eva Asmaranti
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………….………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang……………………………………………………...…...1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………2
C. Tujuan penulisan………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kemunduran Mutu Ikan………………………………………...............3
B. Pembusukan Ikan………………………………………………...….....10
C. Hubungan Rigor Mortis Dengan Pembusukan………………………....12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………….....16
B. Saran …………………………………………………………………..16
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
food) karena mengandung protein dan air cukup tinggi. Oleh karena itu, perlakuan
yang benar pada ikan setelah ikan tertangkap sangat penting perannya. Di beberapa
negara maju, ikan telah dikenal sebagai suatu komoditi yang populer karena memiliki
rasa yang enak dan bagus untuk kesehatan. Ikan merupakan sumber asam lemak tak
jenuh, taurin dan asam lemak omega-3. Komponen tersebut telah terbukti dapat
keseluruhan mutu daripada suatu produk perikanan. Mutu kesegaran dapat mencakup
kenampakan, rasa, bau dan tekstur. Mutu kesegaran ikan dapat mengalami penurunan
dan terjadi secara bertahap yaitu fase pre-rigor, fase rigor mortis dan fase post rigor.
kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,
sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen
menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH dalam tubuh ikan menurun,
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
atau kemunduran mutu ( highly perishable food). Proses kemunduran mutu ikan akan
terus berlanjut jika tidak dihambat. Kecepatan proses pembusukan sangat dipengaruhi
oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan
itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan
manusia.
terjadi proses penurunan mutu ikan atau deteriorasi yang disebabkan oleh tiga macam
kegiatan yaitu autolisis, kimiawi dan mikrobiologi. Pada deteriorasi ikan, reaksi
kimia yang terjadi adalah auto oksidasi pigmen mioglobin, serta perubahan lainnya.
sebagai aksi kegiatan enzim yang mengurai senyawa kimia pada jaringan tubuh ikan.
biologis yang terdapat pada ikan, baik perubahan yang sifatnya membangun sel dan
Perubahan mutu pada ikan setelah mati terjadi dalam tiga fase yaitu Pre-rigor,
Rigor mortis dan Post rigor. Tahap prerigor terjadi selama 2 jam setelah ikan
dimatikan. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang mash lembut dan
lentur serta adanya lapisan bening di keliling tubuh ikan yang terbentuk oleh
peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit. Tahap Rigormortis terjadi selama
a. Aspek Fisik
Kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah
Kenampakan luar: ikan yang masih segar mempunyai penampakan erah dan
tidak suram.
Lenturan daging ikan: daging ikan segar cukup lentur jika dibengkokkan dan
Keadaan daging: kualitas ikan ditentukan oleh daging nikan yang masih segar
dan berdaging kenyal. Jika ditekan dengan telunjuk maka bekasnya akan segera
kembali.
Kemudian akan mengerut dan menjadi kaku lalu melemas lagi. Pada fase rigor,
daging akan tampak kering karena kehilangan daya menahan air. Pada fase terakhir,
dapat dikenali dari luar. Adapun yang membedakan antara ikan segar dan ikan busuk
adalah pada ikan segar, mata nampak bening, cerah, cembung dan menonjol.
Sedangkan pada ikan busuk, berwarna pudar, berkerut, cekung dan tenggelam.
b. Biokimia
Setelah ikan ditangkap dan dalam air ikan tidak langsung menjadi mati
perubahan biokimia yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Pada saat itu yang
banyak mengalami perubahan adalah pembakaran ATP dan Kreatin fosfat yang akan
menghasilkan tenaga. Aktivitas enzim pada tubuh hewan setelah mati untuk beberapa
saat masih aktif meskipun dalam aspek yang berbeda dengan saat masih hidup.Saat
suplai oksigen ke jaringan bereaksi, maka reaksi enzimatis berlangsung dalam kondisi
anaerobic. Kondisi ini berlangsung searah dimana pH daging ikan mendekati normal.
c. Mikrobiologi
Proses pengawetan ikan dapat dilakukan secara biologis proses ini disebut
organoleptik bahan pangan. Setelah ikan mati, mikroba-mikroba yang terdapat secara
alamiah pada ikan khususnya bakteri akan tumbuh dengan cepat sekali sehingga ikan
akan semakin cepat mengalami penurunan mutu. Disamping ditemukan pada tubuh
ikan sehingga penurunan mutu ikan akan dapat pula ditemukan pada tubuh ikan
sehingga penurunan mutu ikan akan semakin cepat. Akibat serangan bakteri, ikan
mengalami berbagai perubahan yaitu dari venolois menjadi pekat, bergetah, amis.
Mata terbenam, pudar sinarnya serta insang berubah warna dengan susunan tidak
teratur dan berbau busuk. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari
Ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik. Semakin
lala ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa penanganan yang baik, maka akan
mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain lokasi tangkapan, musim, metode
penangkapan atau yang lain sebagainya, penanganan ikan diatas kapal, kondisi
Faktor intrinsik diantaranya spesies ikan, ukuran besar kecilnya, jenis kelamin
Faktor Ekstrinsik diantaranya jenis alat tangkap, keadaan cuaca, letak geografi,
cara handling.
Tahap kemunduran mutu pada ikan terjadi terbagiu menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Tahap pre-rigor
Pada tahap ini perubahan biokimia terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Saat ini
yang paling banyak mengalami perubahan adalah perombakan ATP dan kreatin fosfat
yang akan menghasilkan energi. Glikogen dan glukosa bebas di dalam daging ikan
juga akan mengalami penguraian menjadi asam laktat dan menghasilkan ATP. Hal
Setelah tahap pre-rigor selesai, kemudian masuk ke tahap rigor mortis yang
ditandai dengan adanya perombakan ATP menjadi ADP oleh enzim ATPase yang
dapat menghasilkan energi. Rigor mortis pada otot ikan biasanya berawal dari ekor,
lalu berangsur menjalar ke sepanjang tubuh hingga kepala sampai seluruh tubuh
menjadi kaku.
Terbentuknya aktomiosin
Pada tahap ini ikan akan kembali menjadi lunak secara perlahan-lahan sampai
hasil kerja enzim dalam tubuh ikan dan prosesnya dinamakan autolisis. Keadaan ini
berlangsung singkat karena bakteri segera berkembang, yang hanya dapat ditunda
Proses enzimatis-protease
Memar yang dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul,
tergantung atau tergencet. Ikan yang meronta sesat belum mati atau pedagang yang
membanting ikan agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar.
Semua upaya mematikan agar ikan mudah untuk disiangi. Bahan pangan yang memar
b. Burst Belly
Belly Bursting terjadi selama pemberian pakan yang berlebih dan jika parah
keadaannya dapat membuat ikan tak layak di konsumsi oleh manusia dalam beberapa
waktu. Hambatan utama dari sektor pelagis adalah deteroration dari bahan mentah
yang menyebabkan belly bursting. Tubuh ikan banyak mengandung mikroba terutama
di bagian permukaan kulit, insang dan bagian pencernaan ikan yang tertangkap dalam
pencernaan.
c. Gaping
Kekacauan otot yang terjadi setelah ikan mati berpengaruh terhadap teknologi karena
proses tersebut mempengaruhi mutu filet. Idealnya, ikan difilet setelah proses
kekakuan berhenti. Apabila ikan difilet dipisahkan dari tulang sebelum proses
pengkakuan berlangsung otot akan berkontraksi secara bebas sehingga filet akan
gaping.
d. Melanosis
potensial yang berupa luka dan dapat makin parah dengan membentuk melanoma.
kebanyakan udang, lobster dan jenis-jenis crustacea lain yang diperdagangkan yang
B. Pembusukan Ikan
mikroorganisme yang terdapat di dalam lendir pada permukaan ikan, cara mematikan,
tingkat ketidakkenyangan dari ikan ketika masih hidup dan faktor-faktor lainnya. Jika
pembusukan ikan. Pada suhu rendah, jumlah mikroorganisme yang rendah pada ikan
segera setelah ikan ditangkap atau dipanen dan kemudian disimpan dalam peti atau
palka ikan yang bersih adalah praktik yang sebaiknya dilakukan. Kecepatan proses
pembusukan sangat tergantung pada jenis ikan. Pada suhu rendah, perbedaan
kecepatan pembusukan antarjenis ikan tidak terlihat nyata, tetapi pada suhu yang
lebih tinggi beberapa jenis ikan membusuk lebih cepat dibandingkan dengan lainnya.
Ikan berukuran lebih kecil akan membusuk lebih cepat karena kondisi fisiknya
yang rapuh dan kandungan air dalam jaringan yang lebih tinggi. Ikan yang baru
bertelur memiliki kandungan air yang tinggi. Ikan yang perutnya kenyang akan
dalam tubuh ikan. Ikan dengan perut yang kosong akan dapat dipertahankan mutu
kesegarannya dari proses pembusukan untuk waktu yang lebih lama. Bakteri akan
tumbuh pada selang suhu yang lebar, yaitu antara 0-45 oC. Di dalam air, suhu
kehidupannya meningkat antara 25–35oC. Enzim yang berperan pada proses autolisis
akan bekerja dengan baik pada suhu 40–45oC untuk ikan laut dan 23–27oC untuk ikan
air tawar. Pada suhu di bawah 10 oC, pertumbuhan bakteri menurun secara nyata.
Akan tetapi, begitu proses pembusukan telah mulai terjadi, peningkatan jumlah
mikroba tidak begitu terpengaruh oleh perlakuan penurunan suhu dan pendinginan
tidak akan menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, pendinginan
juga dari bola mata, insang, dan isi perut. Pembuangan organ tersebut dan pencucian
badan ikan dengan air secara baik akan menghambat proses awal pembusukan.
Penetrasi mikroba ke dalam daging ikan dan proses dekomposisi secara perlahan-
autolisis (proteolisis). Akan tetapi, kecepatan dan intensitasnya tergantung pada suhu.
Pada suhu rendah, aktivitas bakteri dihambat, dan proses autolitik terjadi lebih
intensif dibandingkan dengan dekomposisi bakteri, sebaliknya pada suhu yang tinggi
dekomposisi bakterial menjadi lebih dominan. Kandungan kimia yang dominan pada
saat busuk untuk ikan bertulang, ikan bertulang rawan dan ikan air tawar berbeda.
Pembusukan pada ikan bertulang diikuti dengan pembentukan amin dalam jumlah
besar, khususnya trimetilamin (sebagai hasil dari reduksi trimetilamin oksida),
merupakan ciri untuk ikan bertulang rawan, yang tidak ditemukan dalam jumlah yang
tinggi pada ikan bertulang yang hidup di laut. Seperti yang telah diterangkan
sebelumnya, ciri khas ikan bertulang rawan, seperti ikan cucut, adalah terdapatnya
Ion kalsium
Pada ikan yang hidup kontraksi dan relaksasi dapat dipengaruhi oleh
pengaturan konsentrasi Ca2+ yang dapat keluar dari sarkoplasma retikulum dan masuk
ke dalam sarkoplasma. Ca2+ ini dapat menstimulir ATPase, untuk pemecahan ATP
menjadi ADP dalam rangka pelepasan energi. Sebaliknya bila Ca2+ terikat kembali
atau masuk ke dalam sarkoplasma retikulum, akan terjadi proses relaksasi. Pada
daging putih lebih sedikit terjadi proses kontraksi dan relaksasi dari pada daging
merah. Karena Ca2+ banyak terdapat pada sarkoplasma retikulum, maka senyawa ini
pH daging
sedikit dibawah netral, yaitu sekitar pH 6,2-6,5 pada ikan dan bahkan sekitar pH 5,6-
Fungsi kreatin fosfat seperti ATP yaitu menghasilkan energi. Bila kreatin
fosfat terurai menjadi kreatin dan fosfat inorganik, maka akan melepaskan energi.
Bila kadar kreatin fosfat tinggi, maka energi yang tersedia akan banyak.
Suhu
Pada suhu kamar, daging ikan akan memasuki masa rigormortis 5-7 jam
setelah ikan mati dan tergantung pada jenis ikan. Pada suhu tinggi, rigormortis akan
terjadi lebih cepat, sedangkan pada suhu rendah terjadi proses sebaliknya. Hal ini
Kadar glikogen
Karena oksigen tidak masuk ke dalam sel-sela daging, maka tidak ada lagi
menghasilkan asam laktat dan ATP. Asam laktat akan menyebabkan turunnya pH
daging. PH yang dibawah netral ini akan mempercepat aktivitas enzim ATPase dalam
dalam daging ikan setelah mati, makin lama derajat keasaman rendah dapat
dipertahankan dan makin banyak cadangan ATP yang dihasilkan serta segera dapat
diuraikan oleh Ca2+ATPase menjadi ADP sehingga semakin banyak energi yang
Adapun waktu yang diperlukan untuk memasuki, melalui dan melewati masa
Pada jenis ikan yang berbeda waktu yang diperlukan untuk melewati masa
rigormortis memiliki perbedaan yang berkisar antara 1-24 jam setelah ikan itu mati.
Meskipun jenis ikan yang sama, tetapi ukurannya berbeda dapat pula membedakan
waktu untuk memasuki masa rigormortis. Untuk ikan jenis yang sama dengan ukuran
yang lebih kecil, maka waktu yang diperlukan untuk memasuki masa rigormortis
akan lebih cepat dibandingkan dengan ukuran ikan yang lebih besar. Pada kondisi
penanganan dan penyimpanan yang sama waktu memasuki rigormortis berbeda bagi
kekurangan makanan sebelum mati atau karena setelah bertelur, maka bagi ikan-ikan
Derajat Keletihan
cadangan energi yang terpakai untuk melakukan perlawanan tersebut. Hal ini akan
mengakibatkan ikan cepat memasuki masa rigormortis dan akan cepat pula
berakhirnya masa rigormortis. Hal ini disebabkan oleh banyaknya cadangan energi
yakni glikogen, kreatin fosfat dan ATP yang sudah berubah untuk menghasilkan
energi.
Cara penanganan selama rigorortis
dimungkinkan antara lain memar atau rusaknya tubuh ikan oleh perlakuan kasar
Suhu adalah faktor yang palinng besar perannya dalam menentukan waktu
yang diperlukan ikan saat memasuki, melalui dan melewati rigor mortis. Semakin
rendah suhu penanganan ikan setelah ditangkap, semakin lambat untuk memasuki
tahap rigor dan semakin panjang pula waktu rigor itu berakhir. Hal ini dimungkinkan
oleh pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi-reaksi biokimia di dalam sel daging
ikan, antara lain adanya suhu optimum yang diperlukan oleh enzim untuk dapat
A. Simpulan
1. Kemunduran mutu pada ikan setelah mati terjadi dalam tiga fase yaitu Pre-rigor,
2. Tahap rigor mortis yang ditandai dengan adanya perombakan ATP menjadi ADP
3. Fase rigor mortis dapat berlangsung dengan cepat pada suhu tinggi sehingga
B. Saran
kekurangan dari makalah ini mohon segera dikritik dam perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Munandar, A., Nurjanah & Nurimala, M. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) Pada Penyimpanan Suhu Rendah Dengan Perlakuan
Cara Kematian dan Penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. XI (2): 88-101
Rozi, A. 2018. Laju Kemunduran Mutu Ikan Lele (Clarias sp.) Pada Penyimpanan
Suhu Chilling. Jurnal Perikanan Tropis. 5 (2): 169-182
Suwetja, I.K. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Media Prima Aksara: Jakarta