Anda di halaman 1dari 20

Tugas Individu

BIOKIMIA HASIL PERIKANAN


“Rigor Mortis dan Pembusukan”

OLEH:

EVA ASMARANTI
Q1B1 18 011

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena atas rahmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat

menyusun Makalah Biokimia Hasil Perikanan.

Penulis mengucapkan terima kasih pada para Dosen Pembimbing mata kuliah

Biokimia Hasil Perikanan yang telah membantu menyelesaikan makalah ini serta

rekan-rekan yang telah memberikan semangat, kritik dan saran pada penulis. Penulis

harap adanya makalah ini dapat membantu pemahaman dalam perkuliahan.

Semoga kegiatan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi seluruh mahasiswa. Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis sangat

disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan

kritik dari seluruh pihak sangat kami harapkan.

Kendari, 10 Agustus 2020

Eva Asmaranti
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………….………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang……………………………………………………...…...1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………2
C. Tujuan penulisan………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kemunduran Mutu Ikan………………………………………...............3
B. Pembusukan Ikan………………………………………………...….....10
C. Hubungan Rigor Mortis Dengan Pembusukan………………………....12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………….....16
B. Saran …………………………………………………………………..16
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (perishable

food) karena mengandung protein dan air cukup tinggi. Oleh karena itu, perlakuan

yang benar pada ikan setelah ikan tertangkap sangat penting perannya. Di beberapa

negara maju, ikan telah dikenal sebagai suatu komoditi yang populer karena memiliki

rasa yang enak dan bagus untuk kesehatan. Ikan merupakan sumber asam lemak tak

jenuh, taurin dan asam lemak omega-3. Komponen tersebut telah terbukti dapat

mencegah penyumbatan pembuluh darah (arterioscleosis). Sehingga, banyak orang

berpendapat untuk meningkatkan konsumsi protein harian (daily protein intake)

terutama yang berasal dari ikan.

Kesegaran ikan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan

keseluruhan mutu daripada suatu produk perikanan. Mutu kesegaran dapat mencakup

kenampakan, rasa, bau dan tekstur. Mutu kesegaran ikan dapat mengalami penurunan

dan terjadi secara bertahap yaitu fase pre-rigor, fase rigor mortis dan fase post rigor.

Rigor mortis merupakan merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan

kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,

sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen

menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH dalam tubuh ikan menurun,

diikuti dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan

jaringan otot mempertahankan kekenyalannya.


Berdasarkan latar belakang diatas, maka sangat perlu untuk melakukan

penyusunan makalah tentang rigor mortis dan hubungannya dengan pembusukan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kemunduran mutu pada ikan ?

2. Bagaimana fase rigor mortis pada ikan ?

3. Bagaimana hubungan antara fase rigor mortis dengan pembusukan ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui kemunduran mutu pada ikan

2. Untuk mengetahui fase rigor mortis pada ikan

3. Untuk mengetahui hubungan antara fase rigor mortis dengan pembusukan


BAB II
PEMBAHASAN

A. Kemunduran Mutu Ikan

Ikan merupakan produk yang lebih cepat mengalami kerusakan, pembusukan

atau kemunduran mutu ( highly perishable food). Proses kemunduran mutu ikan akan

terus berlanjut jika tidak dihambat. Kecepatan proses pembusukan sangat dipengaruhi

oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan

itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan

manusia.

Setelah ikan mati, perubahan-perubahan biokimia pun berlangsung dan mualai

terjadi proses penurunan mutu ikan atau deteriorasi yang disebabkan oleh tiga macam

kegiatan yaitu autolisis, kimiawi dan mikrobiologi. Pada deteriorasi ikan, reaksi

kimia yang terjadi adalah auto oksidasi pigmen mioglobin, serta perubahan lainnya.

Proses penurunan mutu secara autolisis (enzymatic, self-digestion) berlangsung

sebagai aksi kegiatan enzim yang mengurai senyawa kimia pada jaringan tubuh ikan.

Enzim bertindak sebagai katalisator yang menjadi pendorong perubahan senyawa

biologis yang terdapat pada ikan, baik perubahan yang sifatnya membangun sel dan

jaringan tubuh, maupun yang merombaknya.

Perubahan mutu pada ikan setelah mati terjadi dalam tiga fase yaitu Pre-rigor,

Rigor mortis dan Post rigor. Tahap prerigor terjadi selama 2 jam setelah ikan

dimatikan. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang mash lembut dan

lentur serta adanya lapisan bening di keliling tubuh ikan yang terbentuk oleh
peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit. Tahap Rigormortis terjadi selama

10 jam setelah ikan dimatikan dengan daging yang kaku.

1. Perubahan-Perubahan Ikan Setelah Mati

a. Aspek Fisik

Kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah

dibandingkan dengan metode lainnya dengan kondisi fisik, yaitu:

 Kenampakan luar: ikan yang masih segar mempunyai penampakan erah dan

tidak suram.

 Lenturan daging ikan: daging ikan segar cukup lentur jika dibengkokkan dan

akan segera kembali ke bentuknya semula apabila di lepaskan.

 Keadaan mata: perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan nyata

pada kecerahan matanya.

 Keadaan daging: kualitas ikan ditentukan oleh daging nikan yang masih segar

dan berdaging kenyal. Jika ditekan dengan telunjuk maka bekasnya akan segera

kembali.

 Keadaan insang: ikan yang masih segar berwarna merah.

Secara fisikawi daging ikan mula-mula akan kehilangan kelenturannya.

Kemudian akan mengerut dan menjadi kaku lalu melemas lagi. Pada fase rigor,

daging akan tampak kering karena kehilangan daya menahan air. Pada fase terakhir,

struktur daging ikan sudah mengalami kerusakan.

Ikan yang telah mengalami pembusukan menampakkan ciri-ciri fisik yang

dapat dikenali dari luar. Adapun yang membedakan antara ikan segar dan ikan busuk
adalah pada ikan segar, mata nampak bening, cerah, cembung dan menonjol.

Sedangkan pada ikan busuk, berwarna pudar, berkerut, cekung dan tenggelam.

b. Biokimia

Setelah ikan ditangkap dan dalam air ikan tidak langsung menjadi mati

perubahan biokimia yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Pada saat itu yang

banyak mengalami perubahan adalah pembakaran ATP dan Kreatin fosfat yang akan

menghasilkan tenaga. Aktivitas enzim pada tubuh hewan setelah mati untuk beberapa

saat masih aktif meskipun dalam aspek yang berbeda dengan saat masih hidup.Saat

suplai oksigen ke jaringan bereaksi, maka reaksi enzimatis berlangsung dalam kondisi

anaerobic. Kondisi ini berlangsung searah dimana pH daging ikan mendekati normal.

c. Mikrobiologi

Proses pengawetan ikan dapat dilakukan secara biologis proses ini disebut

proses isiling. Isiling sudah banyak digunakan untuk mengawetkan bahan-bahan

alami secara mudah,sederhana dan aman serta akan memperbaiki sifat-sifat

organoleptik bahan pangan. Setelah ikan mati, mikroba-mikroba yang terdapat secara

alamiah pada ikan khususnya bakteri akan tumbuh dengan cepat sekali sehingga ikan

akan semakin cepat mengalami penurunan mutu. Disamping ditemukan pada tubuh

ikan sehingga penurunan mutu ikan akan dapat pula ditemukan pada tubuh ikan

sehingga penurunan mutu ikan akan semakin cepat. Akibat serangan bakteri, ikan

mengalami berbagai perubahan yaitu dari venolois menjadi pekat, bergetah, amis.

Mata terbenam, pudar sinarnya serta insang berubah warna dengan susunan tidak

teratur dan berbau busuk. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari

insang atau luka yang terdapat pada kulit.


2. Faktor yang Mempengaruhi Kemunduran Mutu Ikan

Ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik. Semakin

lala ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa penanganan yang baik, maka akan

menurunkan kesegaran mutu ikan tersebut. Faktor-faktor intrinsik yaitu

mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain lokasi tangkapan, musim, metode

penangkapan atau yang lain sebagainya, penanganan ikan diatas kapal, kondisi

kebersihan kapal penangkapan ikan, pemrosesan dan kondisi penyimpanan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi laju perubahan yang dikelompokkan

menjadi dua faktor , yaitu :

 Faktor intrinsik diantaranya spesies ikan, ukuran besar kecilnya, jenis kelamin

dan tingkat kedewasaan.

 Faktor Ekstrinsik diantaranya jenis alat tangkap, keadaan cuaca, letak geografi,

cara handling.

3. Tahap Kemunduran Mutu Ikan

Tahap kemunduran mutu pada ikan terjadi terbagiu menjadi 3 tahap, yaitu:

a. Tahap pre-rigor

Pada tahap ini perubahan biokimia terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Saat ini

yang paling banyak mengalami perubahan adalah perombakan ATP dan kreatin fosfat

yang akan menghasilkan energi. Glikogen dan glukosa bebas di dalam daging ikan

juga akan mengalami penguraian menjadi asam laktat dan menghasilkan ATP. Hal

tersebut mengakibatkan keadaan daging menjadi asam sehingga aktivitas enzim

ATPase dan kreatin fosfokinase meningkat.


Tanda-tanda pre-rigor pada daging ikan ialah sebagai berikut:

 Sarkomer-sarkomer otot dalam keadaan tdak kaku (relaksasi)

 Aktin dan miosin tidak bergabung

 Derajat keasaman atau pH daging sekitar 7,0

 Otot daging dalam kedaan fleksibel/elastis

 Bila daging ditekan, tidak meninggalkan bekas

 Banyak protein yang terekstrak

 Setelah daging dimasak, daging menjadi kenyal

b. Tahap Rigor Mortis

Setelah tahap pre-rigor selesai, kemudian masuk ke tahap rigor mortis yang

ditandai dengan adanya perombakan ATP menjadi ADP oleh enzim ATPase yang

dapat menghasilkan energi. Rigor mortis pada otot ikan biasanya berawal dari ekor,

lalu berangsur menjalar ke sepanjang tubuh hingga kepala sampai seluruh tubuh

menjadi kaku.

Tanda-tanda rigor mortis adalah sebagai berikut:

 Sarkomer-sarkomer otot berkontraksi

 Terbentuknya aktomiosin

 Derajat keasaman (pH) daging sekitar 6,0-6,2

 Sedikit protein yang dapat terekstrak

 Daging ikan kaku yang dimulai dari daging bagian ekor

 Kenyal setelah dimasak


c. Tahap Post-rigor

Pada tahap ini ikan akan kembali menjadi lunak secara perlahan-lahan sampai

mencapai tingkat optimal derajat penerimaan konsumen. Keadaan ini merupakan

hasil kerja enzim dalam tubuh ikan dan prosesnya dinamakan autolisis. Keadaan ini

berlangsung singkat karena bakteri segera berkembang, yang hanya dapat ditunda

dengan pendinginan atau pembekuan daging.

Adapun tanda-tanda autolisis pada daging ikan adalah sebagai berikut:

 Otot-otot daging lumpuh terkulai

 Sarkoplasmik protein sebagian terhidrolisa

 Banyak protein yang dapat diekstrak

 Derajat keasaman (pH) daging sekitar 6,8-7,0

Perubahan-perubahan autolisis pada daging ikan adalah sebagai berikut:

 Proses enzimatis-protease

 Menyebabkan terurainya protein menjadi senyawa yang lebih sederhana

 Melibatkan penghasilan bau

 Menyebabkan perubahan pH kearah yang lebih alkali

 Menyebabkan perubahan tekstur

 Proses hanya perlu diperlambat dengan penurunan suhu

 Kadar autolisis menyeluruh dikawal oleh faktor suhu, pengendalian semasa

penangkapan dan spesies.


4. Kerusakan Selama Penanganan Ikan

a. Luka dan memar

Memar yang dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul,

tergantung atau tergencet. Ikan yang meronta sesat belum mati atau pedagang yang

membanting ikan agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar.

Semua upaya mematikan agar ikan mudah untuk disiangi. Bahan pangan yang memar

akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik.

b. Burst Belly

Belly Bursting terjadi selama pemberian pakan yang berlebih dan jika parah

keadaannya dapat membuat ikan tak layak di konsumsi oleh manusia dalam beberapa

waktu. Hambatan utama dari sektor pelagis adalah deteroration dari bahan mentah

yang menyebabkan belly bursting. Tubuh ikan banyak mengandung mikroba terutama

di bagian permukaan kulit, insang dan bagian pencernaan ikan yang tertangkap dalam

keadaan perutnya kencang. Maka disaluran pencernaan banyak mengandung enzim

pencernaan.

c. Gaping

Empasi bertambah yang mana menyebabkan bertambahnya rasio pora, filet.

Kekacauan otot yang terjadi setelah ikan mati berpengaruh terhadap teknologi karena

proses tersebut mempengaruhi mutu filet. Idealnya, ikan difilet setelah proses

kekakuan berhenti. Apabila ikan difilet dipisahkan dari tulang sebelum proses

pengkakuan berlangsung otot akan berkontraksi secara bebas sehingga filet akan

menendak pada proses pengkakuan berlangsung. Fenomena ini disebut perumpangan

gaping.
d. Melanosis

Melanosis utama yang dialami konjungtiva adalah melanosis serius dan

potensial yang berupa luka dan dapat makin parah dengan membentuk melanoma.

Pembentukan bintik-bintik atau melanosis adalah masalah yang ditemukan pada

kebanyakan udang, lobster dan jenis-jenis crustacea lain yang diperdagangkan yang

banyak menimbulkan dampak negative terhadap nilai komersial dan penerimaan

konsumen terhadap produk tersebut.

B. Pembusukan Ikan

Kecepatan pembusukan ikan sangat tergantung kepada jumlah awal

mikroorganisme yang terdapat di dalam lendir pada permukaan ikan, cara mematikan,

tingkat ketidakkenyangan dari ikan ketika masih hidup dan faktor-faktor lainnya. Jika

lingkungan sesuai bagi mikroorganisme, mereka akan berkembang secara cepat

sehingga jumlahnya perlu diperhitungkan dalam hubungannya dengan proses

pembusukan ikan. Pada suhu rendah, jumlah mikroorganisme yang rendah pada ikan

segar dapat dipertahankan. Pencucian untuk menghilangkan lendir permukaan ikan

segera setelah ikan ditangkap atau dipanen dan kemudian disimpan dalam peti atau

palka ikan yang bersih adalah praktik yang sebaiknya dilakukan. Kecepatan proses

pembusukan sangat tergantung pada jenis ikan. Pada suhu rendah, perbedaan

kecepatan pembusukan antarjenis ikan tidak terlihat nyata, tetapi pada suhu yang

lebih tinggi beberapa jenis ikan membusuk lebih cepat dibandingkan dengan lainnya.

Ikan berukuran lebih kecil akan membusuk lebih cepat karena kondisi fisiknya

yang rapuh dan kandungan air dalam jaringan yang lebih tinggi. Ikan yang baru
bertelur memiliki kandungan air yang tinggi. Ikan yang perutnya kenyang akan

mudah pecah selama penanganan yang kemudian menyebabkan pembusukan dari

dalam tubuh ikan. Ikan dengan perut yang kosong akan dapat dipertahankan mutu

kesegarannya dari proses pembusukan untuk waktu yang lebih lama. Bakteri akan

tumbuh pada selang suhu yang lebar, yaitu antara 0-45 oC. Di dalam air, suhu

kehidupannya meningkat antara 25–35oC. Enzim yang berperan pada proses autolisis

akan bekerja dengan baik pada suhu 40–45oC untuk ikan laut dan 23–27oC untuk ikan

air tawar. Pada suhu di bawah 10 oC, pertumbuhan bakteri menurun secara nyata.

Akan tetapi, begitu proses pembusukan telah mulai terjadi, peningkatan jumlah

mikroba tidak begitu terpengaruh oleh perlakuan penurunan suhu dan pendinginan

tidak akan menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, pendinginan

sebaiknya dilakukan secepatnya setelah ikan di tangkap atau dipanen.

Mikroorganisme menyerang tubuh ikan tidak hanya dari permukaan, tetapi

juga dari bola mata, insang, dan isi perut. Pembuangan organ tersebut dan pencucian

badan ikan dengan air secara baik akan menghambat proses awal pembusukan.

Penetrasi mikroba ke dalam daging ikan dan proses dekomposisi secara perlahan-

lahan senyawa-senyawa nitrogen mulai terjadi hampir secara simultan dengan

autolisis (proteolisis). Akan tetapi, kecepatan dan intensitasnya tergantung pada suhu.

Pada suhu rendah, aktivitas bakteri dihambat, dan proses autolitik terjadi lebih

intensif dibandingkan dengan dekomposisi bakteri, sebaliknya pada suhu yang tinggi

dekomposisi bakterial menjadi lebih dominan. Kandungan kimia yang dominan pada

saat busuk untuk ikan bertulang, ikan bertulang rawan dan ikan air tawar berbeda.

Pembusukan pada ikan bertulang diikuti dengan pembentukan amin dalam jumlah
besar, khususnya trimetilamin (sebagai hasil dari reduksi trimetilamin oksida),

hasil proses deaminasi asam-asam amino). Terbentuknya trimetiamin adalah

merupakan ciri untuk ikan bertulang rawan, yang tidak ditemukan dalam jumlah yang

tinggi pada ikan bertulang yang hidup di laut. Seperti yang telah diterangkan

sebelumnya, ciri khas ikan bertulang rawan, seperti ikan cucut, adalah terdapatnya

amonia dalam jumlah yang besar sebagai akibat dekomposisi urea.

C. Hubungan Rigor Mortis dengan Pembusukan

1. Faktor yang mempengaruhi terjadinya proses rigor mortis

 Ion kalsium

Pada ikan yang hidup kontraksi dan relaksasi dapat dipengaruhi oleh

konsentrasi ion-ion kalsium yang terdapat pada sarkoplasma retikulum dengan

pengaturan konsentrasi Ca2+ yang dapat keluar dari sarkoplasma retikulum dan masuk

ke dalam sarkoplasma. Ca2+ ini dapat menstimulir ATPase, untuk pemecahan ATP

menjadi ADP dalam rangka pelepasan energi. Sebaliknya bila Ca2+ terikat kembali

atau masuk ke dalam sarkoplasma retikulum, akan terjadi proses relaksasi. Pada

daging putih lebih sedikit terjadi proses kontraksi dan relaksasi dari pada daging

merah. Karena Ca2+ banyak terdapat pada sarkoplasma retikulum, maka senyawa ini

disebut sebagai gudang penyimpanan Ca2+.

 pH daging

enzim-enzim akan aktif pada pH optimumnya yang kebanyakan pada pH

sedikit dibawah netral, yaitu sekitar pH 6,2-6,5 pada ikan dan bahkan sekitar pH 5,6-

5,8 pada daging ternak.


 Kreatin fosfat

Fungsi kreatin fosfat seperti ATP yaitu menghasilkan energi. Bila kreatin

fosfat terurai menjadi kreatin dan fosfat inorganik, maka akan melepaskan energi.

Bila kadar kreatin fosfat tinggi, maka energi yang tersedia akan banyak.

 Suhu

Pada suhu kamar, daging ikan akan memasuki masa rigormortis 5-7 jam

setelah ikan mati dan tergantung pada jenis ikan. Pada suhu tinggi, rigormortis akan

terjadi lebih cepat, sedangkan pada suhu rendah terjadi proses sebaliknya. Hal ini

berhubungan dengan pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi-reaksi biokimia di

dallam sel daging pada umumnya.

 Kadar glikogen

Karena oksigen tidak masuk ke dalam sel-sela daging, maka tidak ada lagi

sintesa glikogen dan glikolisis akan berlangsung secara anaerobik, sehingga

menghasilkan asam laktat dan ATP. Asam laktat akan menyebabkan turunnya pH

daging. PH yang dibawah netral ini akan mempercepat aktivitas enzim ATPase dalam

merombak ATP menjadi ADP dan melepaskan energi. Pembentukan aktomiosin

menyebabkan sarkomer daging menjadi lebih pendek dan menyebabkan daging

memasuki fase rigormortis. Semakin bnayak cadangan glikogen yang tersedia di

dalam daging ikan setelah mati, makin lama derajat keasaman rendah dapat

dipertahankan dan makin banyak cadangan ATP yang dihasilkan serta segera dapat

diuraikan oleh Ca2+ATPase menjadi ADP sehingga semakin banyak energi yang

dihasilkan. Hal ini dapat memperpanjang masa pembentukan aktomiosin dan

memperpanjang masa rigormortis.


2. Waktu yang diperlukan untuk memasuki, melalui dan melewati masa rigormortis

Adapun waktu yang diperlukan untuk memasuki, melalui dan melewati masa

rigormortis bergantung pula pada hal-hal sebagai berikut:

 Jenis dan Ukuran Ikan

Pada jenis ikan yang berbeda waktu yang diperlukan untuk melewati masa

rigormortis memiliki perbedaan yang berkisar antara 1-24 jam setelah ikan itu mati.

Meskipun jenis ikan yang sama, tetapi ukurannya berbeda dapat pula membedakan

waktu untuk memasuki masa rigormortis. Untuk ikan jenis yang sama dengan ukuran

yang lebih kecil, maka waktu yang diperlukan untuk memasuki masa rigormortis

akan lebih cepat dibandingkan dengan ukuran ikan yang lebih besar. Pada kondisi

penanganan dan penyimpanan yang sama waktu memasuki rigormortis berbeda bagi

jenis ikan yang berlainan.

 Keadaan fisik ikan menjelang mati

Apabila fesik ikan terlihat lemah menjelang kematian, misalnya akibat

kekurangan makanan sebelum mati atau karena setelah bertelur, maka bagi ikan-ikan

seperti ini akan cepat melalui dan berakhirnya masa rigor.

 Derajat Keletihan

Apabila ikan melakukan perlawanan sebelum mati, maka akan banyak

cadangan energi yang terpakai untuk melakukan perlawanan tersebut. Hal ini akan

mengakibatkan ikan cepat memasuki masa rigormortis dan akan cepat pula

berakhirnya masa rigormortis. Hal ini disebabkan oleh banyaknya cadangan energi

yakni glikogen, kreatin fosfat dan ATP yang sudah berubah untuk menghasilkan

energi.
 Cara penanganan selama rigorortis

Apabila ikan sudah memasuki masa rigormortis lalu diperlakukan dengan

kasar dalam penanganan atau perlakuan penanganan yang berpindah-pindah atau

berulang-ulang dapat memperpendek masa rigormortis ikan tersebut. Hal ini

dimungkinkan antara lain memar atau rusaknya tubuh ikan oleh perlakuan kasar

tersebut, dapat mempercepat kerja enzim proteinase dalam merombak protein

aktomiosin menjadi senyawa yang lebih sederhana.

 Suhu penyimpanan setelah ikan tertangkap

Suhu adalah faktor yang palinng besar perannya dalam menentukan waktu

yang diperlukan ikan saat memasuki, melalui dan melewati rigor mortis. Semakin

rendah suhu penanganan ikan setelah ditangkap, semakin lambat untuk memasuki

tahap rigor dan semakin panjang pula waktu rigor itu berakhir. Hal ini dimungkinkan

oleh pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi-reaksi biokimia di dalam sel daging

ikan, antara lain adanya suhu optimum yang diperlukan oleh enzim untuk dapat

melakukan aktivitas yang maksimum.


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Adapun simpulan dari penulisan makalah ini yaitu:

1. Kemunduran mutu pada ikan setelah mati terjadi dalam tiga fase yaitu Pre-rigor,

Rigor mortis dan Post rigor.

2. Tahap rigor mortis yang ditandai dengan adanya perombakan ATP menjadi ADP

oleh enzim ATPase yang dapat menghasilkan energi.

3. Fase rigor mortis dapat berlangsung dengan cepat pada suhu tinggi sehingga

dapat mempercepat proses pembusukan pada ikan.

B. Saran

Saran penulis kepada pembaca yaitu apabila mendapatkan kesalahan atau

kekurangan dari makalah ini mohon segera dikritik dam perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Munandar, A., Nurjanah & Nurimala, M. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) Pada Penyimpanan Suhu Rendah Dengan Perlakuan
Cara Kematian dan Penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. XI (2): 88-101

Rozi, A. 2018. Laju Kemunduran Mutu Ikan Lele (Clarias sp.) Pada Penyimpanan
Suhu Chilling. Jurnal Perikanan Tropis. 5 (2): 169-182

Suwetja, I.K. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Media Prima Aksara: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai