Anda di halaman 1dari 32

Tugas Individu

TOKSIKOLOGI HASIL PERIKANAN

OLEH:

EVA ASMARANTI
Q1B1 18 011

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji

syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,

Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah

“Toksikologi Hasil Perikanan” tepat pada waktunya. Penyusunan makalah semaksimal

mungkin penulis upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat

memperlancar dalam penyusunannya.

Untuk itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Namun tidak lepas dari semua itu,

penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi

penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada penulis

membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun

kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penulis sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat

diambil manfaatnya dan besar keinginan penulis dapat menginspirasi para pembaca

untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Kendari, 28 Oktober 2020

Eva Asmaranti
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berkembangnya agroindustri hasil perikanan selain membawa dampak positif

yaitu sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja,

juga telah memberikan dampak negatif yaitu berupa buangan limbah. Limbah hasil dari

kegiatan tersebut dapat berupa limbah padat dan limbah cair. Banyak kasus yang terjadi

pada hasil olah perikanan dihindari oleh konsumen karena menyebabkan penyakit,

sehingga dalam mutu yang diberikan pada hasil industri perikanan ditentukan pada baik

atau tidaknya hasil olah tersebut atau teknik pengolahan yang salah serta kondisi yang

tidak menerapkan prinsip sanitasi higyene yang dapat dinyatakan dengan indera ataupun

non indera. Selain itu dapat disebabkan oleh bahan-bahan yang digunakan mengandung

toksik.

Dampak negatif dari hasil industri perikanan cenderung menghasilkan limbah cair

yang banyak mengandung bahan organik. Tingkat pencemaran limbah cair industri

pengolahan perikanan sangat tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan

yang diolah. Kandungan nutrien organik yang tinggi ini apabila berada dalam badan air

akan menyebabkan eutrofikasi pada perairan umum, yang kemudian akan menyebabkan

kematian organisme yang hidup di dalam air tersebut, pendangkalan, penyuburan

ganggang dan bau yang tidak nyaman.

Toksikologi merupakan suatu bidang ilmu yang mempelajari tentang racun, tidak

hanya efeknya tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme.

Toksikoligi industri adalah salah satu cabang ilmu toksikologi yang menaruh perhatian
pada pengaruh pemajanan bahan-bahan yang dipakai sejak awal sebagai bahan baku,

proses produksi, hasil produksi beserta penanganannya terhadap tenaga kerja yang

bekerja di unit produksi tersebut.

Toksin dapat diartikan sebagai zat dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan

kerusakan pada jaringan hidup. Toksin dapat juga diartikan sebagai zat yang apabila

masuk ke dalam tubuh dalam dosis cukup, bereaksi secara kimiawi dapat menimbulkan

kematian/kerusakan berat badan pada orang yang sehat. Sedangkan keracunan dapat

dairtikan sebagai perubahan morfologi, fisisologi, pertumbuhan dan erkembangan

tubuh, ataupun prngurangan usia hidup suatu organisme dan mengakibatkan kerusakan

kapasitas fungsi atau gangguan kemampuan bertahan terhadap racun ataupun

meningkatkan kerentanan organisme terhadap zat beracun dari lingkungan.

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penulisan makalah

tentang definisi toksikologi, sejarah toksikologi, klasifikasi toksikologi, toksikokinetik,

toksikodinamik dan efek toksik.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:

1. Bagaimana definisi toksikologi ?

2. Bagaimana sejarah toksikologi ?

3. Bagaimana klasifikasi toksikologi ?

4. Bagaimana toksikokinetik ?

5. Bagaimana toksikodinamik ?

6. Bagaimana efek toksik terhadap suatu organisme ?


C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan makalah toksikologi hasil perikanan adalah:

1. Untuk mengetahui definisi toksikologi

2. Untuk mengetahui sejarah toksikologi

3. Untuk mengetahui kalsifikasi toksikologi

4. Untuk mengetahui toksikokinetik

5. Untuk mengetahui toksikodinamik

6. Untuk mengetahui efek toksik terhadap suatu organisme

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dalam penulisan makalah toksikologi hasil perikanan adalah:

1. Memahami definisi toksikologi

2. Memahami sejarah toksikologi

3. Memahami kalsifikasi toksikologi

4. Memahami toksikokinetik

5. Memahami toksikodinamik

6. Memahami efek toksik terhadap suatu organisme


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Toksikologi

Toksikologi berarti ilmu tentang racun (study of poisons). Racun merupakan zat

kimia tunggal atau campuran yang dalam jumlah yang relatif sedikit berbahaya bagi

kesehatan bahkan jiwa manusia. Toksis adalah sifat yang dimiliki oleh suatu zat kimia

untuk menyebabkan keracunan. Pengertian tentang racun tersebut sudah cukup

memuaskan, walaupun masih harus ditambah pemahaman yang mendasar bahwa soal

racun atau toksis tidaknya sesuatu zat sangatlah tergantung kepada kuantitas zat

tersebut. Misalnya garam dapur NaCl yang merupakan bahan tambahan pangan. Garam

dapur dalam jumlah besar dapat menyebabkan efek buruk bagi kesehatan bahkan juga

mungkin berbahaya bagi jiwa manusia. Sehingga dalam toksikologi yang penting adalah

informasi yang sifatnya kuantitatif dan kualitatif tentang sesuatu zat yang dikaitkan

dengan efeknya terhadap faktor manusia. Toksisitas merupakan istilah yang

menunjukkan kemampuan suatu zat menyebabkan terjadinya keracunan. Efek racun

suatu zat kimia tidak hanya dihubungkan dengan manusia saja, melainkan juga dengan

seluruh makhluk hidup baik hewan maupun tumbuhan. Istilah beracun berbeda dari

istilah berbahaya; kata berbahaya yang menunjuk kepada kemampuan menyebabkan

terjadinya kebakaran atau peledakan atau lainnya lebih luas dari pengertian beracun;

kata beracun berbahaya mencakup pula pengertian bahaya oleh keracunan suatu zat

Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang aksi berbahaya zat kimia atas

jaringan biologi. Definisi ini mengandung makna bahwa di dalam tubuh, dalam kondisi
tertentu, zat kimia dapat berinteraksi dengan jaringan tubuh, sehingga mengakibatkan

timbulnya efek berbahaya atau toksik dengan wujud dan sifat tertentu. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi, aksi (mekanisme), wujud, dan sifat efek

toksik sesuatu zat kimia, merupakan dasar atau asas utama untuk belajar dari memahami

toksikologi karena itu pulalah ilmu ini disebut toksikologi dasar.

Toksikologi industri adalah cabang ilmu dalam Bidang Keselamatan dan Kesehatan

Kerja yang mempelajari efek bahaya zat kimia pada sistem biologi. Kajian toksikologi

meliputi studi quantitatif tentang efek bahaya zat kimia dan zat fisika, sifat dan aksinya

racun, dan gangguan kesehatan yang ditimbulkan pada manusia dan hewan. penggunaan

bahan kimia ini disamping menghasilkan produk yang bermanfaat tetapi juga

memberikan dampak bagi kesehatan manusia. Bahan kimia merupakan permasalahan

besar bagi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Di beberapa negara, pembuangan

bahan kimia memberikan konsekwensi serius bagi tenaga kerja dan masyarakat maupun

lingkungan. Oleh karena itu mempelajari keberadaan bahan kimia, efek dan

penanggulangannya sangat penting bagi ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Menurut ILO (1983) toksikologi adalah : “interdiciplinary science concern with

the working and living environment”, sehingga dikenal juga cabang keilmuan lain

seperti “Industrial Toxicology“, “Neuro behavioural Toxicology“, “Clinical

Toxicology”, “Environmental Toxicology”.

Toksikologi industri membahas tentang berbagai bahan beracun yang digunakan

diolah atau dihasilkan oleh industri. Bahan toksik atau racun adalah bahan kimia yang

dalam jumlah relatif sedikit, berbahaya bagi kesehatan atau jiwa manusia.
B. Sejarah Toksikologi

1. Perkembangan awal

Manusia jaman dahulu sangat sadar akan efek toksik sejumlah bahan seperti racun

ular, racun tumbuhan, racun akonit, serta bahan mineral (arsen, timbal dan antimon).

Beberapa diantaranya sebenarnya sengaja dimanfaatkan untuk membunuh atau bunuh

diri. Pembunuhan dengan bahan beracun umum terjadi di Eropa selama berabad-abad.

Hippocrates (460-370 B.C) dikenal sebagai bapak kedokteran dan dikenal juga

sebagai toksikolog. Beliau juga banyak menulis bisa ular dan di dalam bukunya juga

menggambarkan bahwa orang Mesir Kuno telah memilikipengetahuan penangkal racun

yaitu dengan menghambat laju penyerapan racun dari saluran pencernaan. Selain itu,

masih banyak para toksikolog pada itu, ada satu nama besar pada zaman Mesir dan

Romawi Kuno yaitu Pendacious Dioscorides (A.D. 50) dikenal sebgai bapak Material

Medika, yaitu seorang dokter tentara. Dalam bukunya, Beliau mengelompokkan racun

dari tanaman, hewan dan mineral.

Untuk mencegah keracunan, setiap orang senantiasa berusaha menemukan dan

mengembangkan upaya pencegahan dan menawarkan racun. Namun, evaluasi yang

lebih kritis terhadap usaha ini baru dimulai oleh Maimonides (1135-1204) dalam

bukunya yang terkenal “Racun dan Anti Dotumnya” yang diterbitkan tahun 1198.

Sumbangan yang lebih penting pada kemajuan toksikologi yaitu pada abad 16 dan

sesudahnya. Paracelsus (1493-1541), adalah toksikolog besar yang meletakkan konsep

dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya menyatakan “tidak ada zat yang dengan

sendirinya bersifat racun, dosislah yang membuat suatu zat menjadi racun dari obat”.
Pernyataan ini menjadi dasar bagi konsep “hubungan dosis-respon” dan “indeks

terapetik” yang dikembangkan kemudian.

Matthieu Joseph Bonaventura Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern,

barasal dari Pulau Minorca, Spanyol (1787-1853). Beliau mempelajari kimia,

matematika dan ilmu kedokteran. Orfila menulis suatu tulisan penting (1814-1815)

yang menggambarkan hubungan sistematik antara suatu informasi kimiawi dan biologis

tentang racun. Beliau adalah orang pertama yang menjelaskan nilai pentingnya analisis

kimia guna membuktikan bahwa simptomatologi yang ada berkaitan dengan adanya zat

kimia di dalam tubuh. Orfila juga menunjukkan pentingnya analisis kimia sebagai

hukum pada kasus kematian akibat keracunan. Dikenalnya pendekatan ini

menumbuhkan suatu bidang khusus dalam toksikologi modern yaitu toksikologi

forensik.

2. Perkembangan mutahir

Dalam menghadapi perkembangan penduduk, masyarakat modern menuntut

perbaikan kondisi kesehatan dan kehidupan diantaranya gizi, pakaian, tempat tinggal

dan transportasi. Untuk memenuhi tujuan ini, berbagai jenis bahan kimia harus

diproduksi dan digunakan, banyak diantaranya dalam jumlah besar. Dengan berbagai

cara, bahan kimia ini bersentuhan dengan berbagai segmen penduduk, proses

pembuatan, penanganan dan yang menggunakan (pelukis, pemakai pestisida) bahkan

yang mengonsumsinya (obat-obatan, zat makanan) yang menyalahgunakannya (bunuh

diri dan keracunan secara tidak sengaja). Untuk menggambarkan efek ganas, beberapa

contoh keracunan masif akut dan keracunan jangka panjang dicantumkan dalam
apendiks. Dalam kasus ini, banyak penyelidikan toksikologi yang canggih dilakukan

untuk memastikan etimologinya.

Dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan ilmiah sebagai alat dasar bagi profesi

kesehatan, para ahli toksikologi akan selalu terlibat dalam penentuan batas pajanan yang

aman atau penilaian resiko. Batas pajanan yang aman mencakup asupan (intek) harian

yang diperbolehkan dan nilai ambang batas. Penentuan ini merupakan penelitian

menyeluruh tentang sifat toksik, pembuktian dosis yang aman, menentukan hubungan

dosis-efek dan dosis-respon, serta penelitian toksikokinetik dan biotransformasi.

C. Klasifikasi Toksikologi

Klasifikasi toksikologi dapat dibedakan berdasarkan jenis zat dan keadaan:

1. Toksikologi Obat

Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di

gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,

menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau

rohaniah pada manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh

manusia.

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang

yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat

dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat

sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis

dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan
dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka

kita tidak akan memperoleh penyembuhan (Anief, 1991).

Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih

atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.

Keracunan obat spesifik diantaranya:

a. Asetaminofen

Efek toksik:

1) Keracunan akut

 Bia terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah. Diaphoresis, pucat, depresi

SSP

 Bila sudah 24-48 jam: tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen RUQ, hematomegali

ringan)

 Prothrombine time mamanjang

 Bilirubin serum meningkat

 Aktivitas transaminase meningkat

 Gangguan fungsi ginjal

2) Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.

 Prothrombine time mamanjang > 2x

 Bilirubin serum > 4 mg/dl

 pH < 7,3

 Kreatinin serum > 3,3


3) Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada penderita alkoholik,

dapat sekaligus terjadi insufiensi hati & ginjal yang berat, disertai dehidrasi, icterus,

koaguloathi, hipoglikemi, dan ATN.

b. Obat anti kolinergik

Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan kronik dalam 1-

3 hari setelah pemberian terapi dimulai.

Efek Toksik :

 Manifestasi SSP: agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi,

gangguan pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)

 Letargi

 Depresi nafas

 Koma

 Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil,

kulit & mukosa menjadi kering, retensi urine, menimgkatnya nadi, tensi,

respirasi, dan suhu.

 Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinyarhabdomiolis

is dan hipertermi

 Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang

 Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin): pemanjangan interval DT dengan

takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.


2. Toksikologi industri

Toksikologi industri adalah cabang ilmu dalam Bidang Keselamatan dan

Kesehatan Kerja yang mempelajari efek bahaya zat kimia pada sistem biologi. Kajian

tokskologi meliputi: studi quantitatif tentang efek bahaya zat kimia dan zat fisika, sifat

dan aksinya racun, dan gangguan kesehatan yang ditimbulkan pada manusia dan hewan.

penggunaan bahan kimia ini disamping menghasilkan produk yang bermanfaat tetapi

juga memberikan dampak bagi kesehatan manusia. Bahan kimia merupakan

permasalahan besar bagi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Di beberapa negara,

pembuangan bahan kimia memberikan konsekwensi serius bagi tenaga kerja dan

masyarakat maupun lingkungan. Oleh karena itu mempelajari keberadaan bahan kimia,

efek dan penanggulangannya sangat penting bagi ahli Keselamatan dan Kesehatan

Kerja.

Toksikologi industri membahas tentang berbagai bahan beracun yang digunakan

diolah atau dihasilkan oleh industri.Bahan toksik atau racun adalah bahan kimia yang

dalam jumlah relatif sedikit, berbahaya bagi kesehatan atau jiwa manusia. Sedang

toksisitas atau derajat racun merupakan kemampuan suatu bahan toksik untuk

meninbulkan kerusakan pada organisme hidup.

3. Toksikologi Lingkungan

Toksikologi lingkungan berhubungan dengan dampak zat kimia yang berpotensi

merugikan, yang muncul sebagai polutan lingkungan bagi organisme hidup. Istilah

lingkungan mencakup udara, tanah, dan air. Polutan adalah suatu zat yang didapatkan

dalam lingkungan, yang mempunyai efek merugikan bagi kehidupan organisme,

khususnya manusia dan sebagian merupakan perbuatan manusia. Pada dasarnya efek
yang merugikan ini timbul melalui empat proses yakni pelepasan ke lingkungan,

tansport oleh biota dengan atau tanpa transportasi bahan-bahan kimia, pengeksposan

oleh organisme baik itu satu atau lebih dari satu terget, dan kemudian timbullah respon

individu, populasi, ataupun komunitas.

4. Toksikologi Ekonomi

Toksikologi ekonomi Adalah suatu pembahasan toksikologi yang menjurus pada

efek-efek berbahaya dari substansi khusus yang berhubungan dengan kebutuhan

manusia seperti bahan pengawet makanan dan pestisida. Suatu zat di katakana racun

bila zat tersebut menyebabkan efek yang meugikan pada yang mnggunakannya. Namun

dalam kehidupan sehari-hari yang dikatakan racun adalah zat dengan esiko kerusakan

yang relative besar, dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa sola dosis facit venenum

(Paracelsus) artinya kehadiran suatu zat yang potensial toksis di dalam organisme

belum tentu menghasilkan juga keracunan. Dalam hampir setiap manusia dapat

dinyatakan jumlah tertentu dari timbale, air raksa dan DDT, namun demikian zat ini

tidak menimbulkan gejala keracunan selama jumlah yang diabsorbsi berada di bawah

kosentrasi yang toksik, hanya pada dosis toksik suatu senyawa menjadi racun,

sebaliknya bila diabsorbsi dalam jumlah yang besar ternyata beracun.

5. Toksikologi Forensik

Toksikologi forensik adalah menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu

toksikologi untuk kepentingan peradilan. melakukan analisis kualitatif maupun

kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam

ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang
dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Jadi

toksikologi kehakiman ini lebih menekankan aspek medis dan aspek hukum dari bahan-

bahan berbahaya yang baik secara sengaja maupun tidak sengaja diekspose.

Klasifikasi toksikologi juga dapat dibedakan berdasarkan efek toksik:

1. Efek toksik akut

Mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat toksik.

2. Efek toksik kronik

Mempunyai zat toksik dalam jumlah kecil, diabsorpsi dalam waktu yang lama dan

terakumulasi mencapai konsentrasi toksik sehingga menyebabkan keracunan.

3. Toksisitas jangka waktu panjang

Merupakan efek toksik yang baru muncul setelah periode waktu laten yang lama

sehingga menimbulkan karsinogenik dan mutagenik.

D. Toksikokinetik

Toksikokinetik melibatkan proses invasi (masuknya xenobiotika ke tubuh),

transportasi dan distribusi (pergerakan xenobiotika di dalam tubuh), serta proses

eliminasi (hilangnya xenobiotika di dalam tubuh). Semua proses ini menentukan efikasi

(kemampuan xenobiotika menghasilkan efek), efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi

xenobiotika pada reseptor dan durasi dari efek farmakodinamiknya. Sifat-sifat

farmakokinetik suatu xenobiotika digunakan oleh farmakolog, ilmuwan klinik dan

toksikolog untuk mengembangkan pengobatan, untuk mengertikan faktor-faktor yang

dapat mendorong penyalahgunaan xenobiotika tersebut, serta dijadikan dasar untuk


mengetahui kapan dan dalam bentuk apa xenobiotika tersebut masih dapat dideteksi

setelah selang waktu pemakaian dan menginterpretasikan efek-efek xenobitika tersebut.

1. Absorpsi (proses invasi)

Semua proses transfer xenobiotik dari lingkungan menuju sistem peredaran darah

dirangkum kedalam proses invasi, proses ini juga digambarkan sebagai resorpsi.

Xenobiotik dapat teresorpsi umumnya berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi

molekular. Laju resorpsi xenobiotik ditentukan oleh daerah paparan (topikal, oral,

inhalasi atau injeksi), bentuk farmasetik xenobiotik (tablet, salep, sirop, aerosol,

suspensi atau larutan), proses resorpsi, sifat fisikokimia xenobiotik dan konsentrasinya.

Proses invasi disebut juga dengan absorpsi, yang ditandai oleh masuknya xenobiotika

dari tempat kontak (paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh. Laju absorpsi

xenobiotika ditentukan oleh sifat membran biologis dan aliran kapiler darah tempat

kontak serta sifat fisiko kimia dari xenobiotika itu sendiri. Pada pemakaian oral (misal

sediaan dalam bentuk padat), maka terlebih dahulu kapsul/tablet akan terdistegrasi,

sehingga xenobiotika akan telarut di dalam cairan saluran pencernaan. Xenobiotika

yang terlarut ini akan terabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan

ditransport melalui pembuluh kapiler mesenterika menuju vena porta hepatika menuju

hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Kelarutan xenobiotika akan sangat mempengaruhi

laju absorpsinya, jika xenobiotika terlalu non polar, maka dia akan terlarut cukup kuat

dalam lapisan lipofil dari membran sel. Demikian juga jika terlalu polar xenobiotika ini

akan mudah terlarut di dalam saluran cerna namun transport melalui membran biologis

akan terhambat.
Paparan xenobiotika (rute administrasi) dapat melalui oral, inhalasi, topikal,

rektal, atau vaginal. Sedangkan pemasukan xenobiotika langsung ke sirkulasi sistemik

(injeksi), dapat dikatakan bahwa xenobiotika tidak mengalami proses absorpsi. Rute

pemaparan akan mempengaruhi onset dari aksi, durasi efek, intensitas dan qualitas efek

dari xenobiotik. Pada pemakaian intravenus obat dapat langsung ditranspor ke reseptor,

rute pemakaian ini tentunya akan memberikan efek yang paling maksimum dan onset

aksi yang singkat. Namun pemakaian intravena pada penyalahgunaan obat terlarang

lebih banyak menimbulkan resiko yang berbahanya, oleh sebab itu pada kasus ini

pemakaian melalui inhalasi dan merokok merupakan alternatif yang lebih poluler

dikalangan junkies. Jika drug dihisap melalui hidung atau bersamaan dengan rokok,

maka drug akan sangat cepat terabsorpsi di alveoli paru- paru dan selanjutnya melalui

pembuluh darah arteri dibawa ke otak. Oleh sebab itu efek akan lebih cepat timbul.

Pemakaian ”crack” (bentuk kokain yang digunakan secara merokok) dengan menghisap

akan menimbulkan onset aksi yang sangat singkat, sehingga intesitas eforia akan cepat

tercapai. Demikian juga pada pemakain heroin secara inhalasi, efek euforia akan relatif

sama tercapainya dibandingkan dengan pemakaian secara intravena.

Heroin biasanya digunakan dengan cara menguapkan dan kemudian uap dihirup,

dengan merokok, atau injeksi secara intravena. Setelah heroin sampai di sirkulasi

sistemik, maka heroin sangat cepat menuju otak. Karena sangat cepatnya timbulnya

efek pada pemakaian intravenus, maka rute pemakaian ini sangat digemari oleh para

junkis. Namun pemakain ini sangat berisiko ketimbang pemakaian secara inhalasi atau

merokok, karena sering ditemui muncul penyakit bawaan lain pada pemakaian injeksi,

seperti infeksi HIV dan hepatitis.


Pada paparan melalui oral bentuk farmasetik (tablet, kapsul, dll) akan terdispersi

dan melarut di dalam cairan saluran pencernaan. Bentuk terlarut melalui pembuluh

kapiler pada saluran pencernaan akan terabsorpsi. Absorpsi ini sebagaian besar

berlangsung di pembuluh kapiler usus halus, kemudian melalui pembuluh kapiler

mesenterika menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik, dari

sini akan terdistribusi ke seluruh tubuh.

2. Distribusi

Setelah xenobiotik mencapai sistem peredahan darah, bersama darah akan

terdistribusi ke seluruh tubuh. Weiss (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi

(transpor xenobiotik bersama peredaran darah) dan difusi (difusi xenobiotik di dalam sel

atau jaringan). Transprot xenobiotik intra dan inter organ di dalam tubuh diprasaranai

oleh sistem peredaran darah. Difusi berperan penting dalam transport suatu xenobiotik

diantara ekstra dan intra selular. Difusi xenobiotik melalui membran biologi dapat

berlangsung melalui berbagai proses difusi, seperti: difusi pasif, difusi aktif (melalui

sistem transport tertentu,”carrier”, melalui pinocitosis, atau fagositosis) atau melalui

poren. Laju difusi suatu xenobiotik sangat ditentukan oleh sifat fisikokimianya

(lipofilik, ukuran melekul, derajat ionisasi, ikatan dengan protein plasma).

Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting dalam transport xenobiotika

antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sehingga laju peredaran darah di dalam organ

atau jaringan juga akan menentukan kecepatan distribusi xenobiotika di dalam tubuh.

Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru-paru, jantung, lambung dan usus, adalah

organ-organ yang memiliki laju aliran darah (perfusi) yang baik. Karena laju aliran

darah dalam organ-organ ini sangat baik, maka xenobiotika akan sangat cepat
terdistribusi homogen di dalam organ tersebut, jika dibandingkan pada organ-organ

yang memiliki laju aliran darah relatif lambat.

Pada pemodelan farmakokinetik, tubuh dibagi menjadi berbagai ruang difusi

(kompartemen). Pembagian ruang ini hanya didasarkan pada laju distribusi xenobiotika.

Perlu ditegaskan di sini bahwa, pembagaian kompartimen ini hanya merupakan langkah

abstraksi guna mempermudah pemahaman ruang distribusi (difusi) xenobiotika di

dalam tubuh. Model yang paling sederhana untuk memahami jalu difusi xenobiotika di

dalam tubuh adalah model kompartimen tunggal. Pada model ini tubuh dipandang

seperti satu ember besar, dimana difusi xenobiotika hanya ditentukan oleh daya

konveksi di dalam ember. Namun pada kenyataannya, agar xenobitika dapat

ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel pada jaringan tubuh,

haruslah melewati membran biologis, yaitu membran yang menyeliputi sel-sel di dalam

tubuh.

Laju penetrasi xenobiotika melewati membran biologis akan ditentukan oleh

struktur membran basal dan juga sifat lipofilitasnya. Senyawa-senyawa lipofil akan

dapat menembus membran biologis dengan baik, sedangkan senyawa yang polar (larut

air) haruslah melewati lubang- lubang di membran biologis, yang dikenal dengan

“poren“. Jumlah poren dalam membran biologis adalah terbatas, oleh sebab itu dapatlah

dimengerti, bahwa senyawa lipofil akan terdistribusi lebih cepat dibandingkan senyawa

hidrofil. Difusi xenobiotika melalui membran biologis dapat berlangsung melalui

berbagai proses, seperti: difusi pasif, difusi aktif, melalui poren dan juga melalui

jembatan intraseluler.
Ketika xenobiotika mencapai pembuluh darah, maka bersama darah melalui

sirkulasi sistemik siap untuk didistribusikan ke reseptor dan ke seluruh tubuh. Untuk

memudahkan memahami sejauh mana suatu xenobiotika terdistribusi di dalam tubuh,

para ilmuan farmakokinetik mengumpamakan bahwa xenobitika di dalam tubuh akan

terdistribusi di dalam suatu ruang, yang memiliki sejumlah volume tertentu. Jadi

kemampuan suatu xenobiotika untuk terdistribusi di dalam tubuh dinyatakan sebagian

parameter yang disebut dengan volume distribusi.

Faktor yang mempengaruhi distribusi diantaranya:

 Faktor biologis, meliputi laju aliran darah dari organ dan jaringan, sifat membran

biologis dan perbedaan pH antara plasma dan jaringan

 Faktor sifat molekul xenobiotika, meliputi ukuran molekul, ikatan antara protein

plasma dan protein jaringan, kelarutan dan sifat kimia.

3. Eliminasi

Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi, yaitu proses

hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh organisme. Eliminasi suatu xenobiotika dapat

melalui reaksi biotransformasi (metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melalui ginjal,

empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya (kelenjar keringat, kelenjar

mamae, kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang paling penting adalah

eliminasi melalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal.

Xenobiotika yang masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem enzim

tubuh, sehingga senyawa tersebut akan mengalami perubahan struktur kimia dan pada

akhirnya dapat dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialami oleh

xenobiotika dikenal dengan reaksi biotransformasi yang juga dikenal dengan reaksi
metabolisme. Biotransformasi atau metabolisme pada umumnya berlangsung di hati dan

sebagian kecil di organ-organ lain seperti ginjal, paru-paru, saluran pencernaan, kelenjar

mamae, otot, kulit atau di dalam darah.

Secara umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase I

(reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Dalam fase pertama ini

xenobiotik akan mengalami pemasukan gugus fungsi baru, pengubahan gugus fungsi

yang ada atau reaksi penguraian melalui reaksi oksidasi (dehalogenasi, dealkilasi,

deaminasi, desulfurisasi, pembentukan oksida, hidroksilasi, oksidasi alkohol dan

oksidasi aldehida); reaksi reduksi (reduksi azo, reduksi nitro, reduksi aldehid atau

keton) dan hidrolisis (hidrolisis dari ester amida). Pada fase II ini xenobiotik yang telah

siap atau termetabolisme melalui fase I akan terkopel (membentuk konjugat) atau

melalui proses sintesis dengan senyawa endogen tubuh, seperti: Konjugasi dengan asam

glukuronida asam amino, asam sulfat, metilasi, alkilasi, dan pembentukan asam

merkaptofurat. Enzim-enzim yang terlibat dalam biotransformasi pada umumnya tidak

spesifik terhadap substrat. Enzim ini (seperti monooksigenase, glukuronidase)

umumnya terikat pada membran dari retikulum endoplasmik dan sebagian terlokalisasi

juga pada mitokondria, disamping itu ada bentuk terikat sebagai enzim terlarut (seperti

esterase, amidase, sulfoterase). Sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase I umumnya

terdapat di dalam retikulum endoplasmik halus, sedangkan sistem enzim yang terlibat

pada reaksi fase II sebagian besar ditemukan di sitosol.

Perubahan biokimia yang terjadi dapat mengakhiri respon biologis atau mungkin

terjadi pengaktifan. Pada umumnya reaksi biotransformasi merubah xenobiotika lipofil

menjadi senyawa yang lebih polar sehingga akan lebih mudah diekskresi dari dalam
tubuh organinsme. Karena sel pada umumnya lebih lipofil dari pada lingkungannya,

maka senyawa-senyawa lipofil akan cendrung terakumulasi di dalam sel. Bioakumulasi

xenobiotika di dalam sel pada tingkat yang lebih tinggi yang dapat mengakibatkan

keracunan sel (sitotoksik), namun melalui reaksi biotransformasi terjadi penurunan

kepolaran xenobiotika sehingga akan lebih mudah diekskresi dari dalam sel, oleh sebab

itu keracunan sel akan dapat dihindari.

Ekskresi ini adalah jalur utama eliminasi xenobiotika dari dalam tubuh, oleh

sebab itu oleh tubuh sebagian besar senyawa-senyawa lipofil terlebih dahulu dirubah

menjadi senyawa yang lebih bersifat hidrofil, agar dapat dibuang dari dalam tubuh. Pada

awalnya toksikolog berharap melalui berbagai proses reaksi biokimia tubuh akan terjadi

penurunan atau pengilangan toksisitas suatu toksikan, sehingga pada awalnya reaksi

biokimia ini diistilahkan dengan reaksi ”detoksifikasi”.

Biotransformasi belangsung dalam dua tahap, yaitu reaksi fase I dan fase II.

Rekasi-reaksi pada fase I biasanya mengubah molekul xenobiotika menjadi metabolit

yang lebih polar dengan menambahkan atau memfungsikan suatu kelompok fungsional

(-OH, -NH2, -SH, - COOH), melibatkan reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Kalau

metabolit fase I cukup terpolarkan, maka ia kemungkinannya akan mudah diekskresi.

Namun, banyak produk reaksi fase I tidak segera dieliminasi dan mengalami reaksi

berikutnya dengan suatu subtrat endogen, seperti: asam glukuronida, asam sulfat, asam

asetat, atau asam amino ditempelkan pada gugus polar tadi. Oleh sebab itu reaksi fase II

disebut juga reaksi pengkopelan atau reaksi konjugasi.


E. Toksikodinamik

Farmakodinamika atau toksodinamika merupakan suatu senyawa xenobiotik

mempengaruhi tubuh. Jika senyawa tersebut bersifat toksik, maka fase toksodinamik

adalah proses ketika senyawa tersebut mempengaruhi tubuh hingga menimbulkan efek

toksik. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun gejalanya.

Pemahaman tentang toksodinamika ini berguna untuk menilai bahaya suatu racun bagi

kesehatan, dan untuk mengembangkan upaya pencegahan dan terapi.

Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan dan atau

metabolitnya dengan struktur sasaran yaitu reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur ini

dapat bersifat spesifik dan nonspesifik. Reseptor non spesifik seperti jaringan tubuh

yang berkontak langsung dengan bahan korosif. Sedangkan reseptor spesifik misalnya

struktur seluler reseptor morfin.

Mekanisme kerja toksik adalah meliputi interaksi antara molekul xenobiotik

dengan tempat kerja atau reseptor. Organ target dan tempat kerja tidak selalu sama,

sebagai contoh: suatu zat kimia toksik yang bekerja pada sel ganglion pada sistem saraf

pusat juga dapat menimbulkan efek kejang pada otot seran lintang. Konsentrasi zat

toksik menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya dapat

ditemukan konsentrasizat kimia toksik yang cukup tinggi dalam hepar (hati) dan ren

(ginjal) karena pada kedua organ tersebut zat toksik dimetabolisme dan diekskresi.

Mekanisme kerja toksik dikelompokkan sebagai berikut:

1. Interaksi dengan sistem enzim

 Inhibisi (hambatan) enzim tak bolak-balik (irreversible)

 Inhibisi enzim secara reversible


 Pemutusan reaksi biokimia

 Sintesa zat mematikan

 Pengikatan ion logam yang penting untuk kerja enzim

2. Inhibisi pada transpor oksigen karena gangguan hemoglobin

 Keracunan karbon monoksida (CO)

 Pembentukan methemoglobin dan sulfhemo-globin

3. Interaksi dengan sel umum

 Kerja narkose, kerja atau efek narkose (membius) dimiliki oleh senyawa, seperti

eter, siklopropana dan halotan.

 Pengaruh pengantaran rangsangan neurohormonal

4. Gangguan sintesis DNA-RNA

Kerja toksik racun dapat disebabkan oleh gangguan pada pengaturan proses

sintesis DNA dan RNA. Gangguan ini dapat terjadi pada penggandaan DNA selama

pembelahan sel, transkripsi informasi DNA kepada RNA, penyampaian informasi

melalui RNA pada sintesis protein, sintesis bangunan dasar protein dan asam nukleat,

biasanya melalui penghambatan pada sintesis enzim yang berperan serta atau melalui

sintesa zat mematikan, proses pengaturan yang menentukan pola aktivitas sel.

 Kerja sitostatika, yaitu penghambatan pembelahan sel yang akan mempengaruhi

pertumbuhan jaringan pada perbanyakan sel. Contoh: obat tumor ganas.

 Kerja mutagenik, yaitu zat kimia yang bekerja mengubah sifat genetika sel.

 Kerja karsinogenik, yaitu zat kimia yang dapat menyebabkan kanker pada waktu

yang lama.
5. Kerja teratogenik

Suatu kondisi abnormal yang terjadi pada janin yang timbul selama fase

perkembangan embrio (fetus) atau bisa diartikan dengan pembentukan cacat bawaan.

Efek yang terjadi adalah janin terlahir dengan pertumbuhan organ tubuh yang tidak

lengkap. Jenis kerusakan tidak hanya tergantung dari zat penyebab tapi juga tergantung

pada fase perkembangan embrio, tempat zat teratogenik bekerja.

6. Gangguan sistem imun

Fungsi dari sistem imun adalah melindungi tubuh dari organisme asing (virus,

bakteri, jamur), sel asing (neoplasma), dan zat asing lain. Adanya sistem imun ini

adalah sangat penting, hal ini dapat diperlihatkan pada efek imunodefisiensi, dimana

kecenderungan terjadinya infeksi dan tumor lebih mudah terjadi. Suatu zat atau senyawa

toksik yang mengganggu sistem imum adalah Imunotoksikan.

Imunotoksikan terdiri atas tiga, yaitu:

 Imunostimulan (peningkatan sistem imun), dapat menyebabkan reaksi

hipersensitivitas atau alergi.

 Imunosupresan (penekanan sistem imun), zat yang termasuk dalam

imunosupresan terdiri atas lima golongan diantaranya antineoplastik

(metotreksat), logam berat (timbal, merkuri, kromium, arsenat), pestisida

(DDT, heksaklorobenzen, dieldrin, karbanil), hidrokarbon berhalogen

(kloroform, trikloroetilen, pentaklorofenol) dan berbagai senyawa lain

(benzo[a]piren, benzen, glukortikoid, dietilstilbenstrol).

 Auto imun, Sistem imune menghasilkan auto antibodi tehadap antigen

endogen, yang merusak jaringan normal. Seperti anemia hemolitik, pada


penyakit ini terjadi fagositosis terhadap eritrosit sehingga terjadi hemolisis dan

anemia. Senyawa yang dapat mengakibatkan anemia hemolitik adalah pestisida

dieldrin.

7. Iritasi kimia langsung pada jaringan

Reaksi dari zat kimia yang terjadi dapat diuraikan antara lain sebagai berikut:

 Kerusakan kulit, suatu perubahan harga pH lokal yang kuat yang dapat

mengubah keratin kulit yang menimbulkan pembengkakan karena penyerapan

air.

 Gas air mata, pada konsentrasi rendah telah menyebabkan nyeri mata dan aliran

air mata yang deras.

 Toksisitas pada jaringan, terjadinya toksisitas jaringan dapat ditandai dengan

terjadinya degenerasi sel bersama-sama dengan pembentukan vakuola besar,

penimbunan lemak, dan nekrosis (kematian sel/jaringan/organ).

F. Efek Toksik

Efek toksik adalah hasil sederetan proses, hingga adanya perubahan fungsional

yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat asing (xenobiotik) dengan

substrat biologi. Bahasan ini membagi efek toksik berdasarkan respon di jaringan utama

dan organ manusia, yaitu sistem pernafasan, kulit, hati, darah dan sistem kardiovaskular,

sistem kekebalan tubuh, sistem endokrin, sistem saraf, sistem reproduksi, dan ginjal

serta kandung kemih. Hal ini sesuai dengan jalur utama paparan, pengangkutan, dan

penghapusan racun dalam tubuh manusia. Racun dapat dihirup melalui sistem

pernapasan atau diserap melalui kulit. Senyawa yang tertelan melalui sistem pencernaan
biasanya melewati hati. Toksisitas sistemik dibawa oleh darah dan melaluisistem getah

bening ke berbagai organ dan dapat mempengaruhi sistem endokrin, sistem saraf, dan

sistem reproduksi. Akhirnya, ginjal dan saluran kencing merupakan rute utama untuk

menghilangkan metabolit toksik sistemik dari tubuh.

1. Sistem pernafasan

Saluran pernafasan dapat menderita berbagai penyakit yang bisa diakibatkan oleh

paparan toksik, yang umum terjadi adalah:

a. Bronkitis akut atau kronis, akibat pembengkakan lapisan membran tabung bronkial,

yang dapat disebabkan oleh racun atau oleh infeksi. Bronkitis kronis dapat

disebabkan oleh amonia, arsen, debu kapas (penyakit paru-paru coklat), dan oksida

besi dari paparan asap las.

b. Emfisema, kondisi paru-paru yang ditandai dengan pembesaran abnormal ruang

udara yang distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan penghancuran dinding

tanpa fibrosis yang jelas dan hilangnya elastisitas ruang udara paru. Emfisema

ditandai dengan pembesaran paru-paru yang tidak mengeluarkan udara secara

memadai dan melakukan tidak menukar gas dengan baik, sehingga sulit bernafas,

terjadi pada perokok berat.

c. Gangguan interstisial, fibrosis paru dimana jaringan ikat fibrosa berlebih

berkembang di paru-paru dapat diakibatkan oleh penumpukan bahan berserat di

dalam rongga paru. Fibrosis kronis dapat terjadi akibat paparan debu aluminium,

aluminium, kromium (VI), debu batubara, debu tanah liat kaolin, ozon, fosgen,

silika, dan talk mineral.


d. Cedera paru akut, edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru; meningkatkan

penghalang kapiler alveolar dan membuat pernapasan menjadi lebih sulit, pada

kasus yang parah, paru-paru benar-benar tenggelam dalam cairan tersebut. Contoh

penyebab edema paru adalah ozon, phosgene (COCl2).

e. Kanker paru-paru Sebanyak 90% kanker paru-paru disebabkan oleh paparan asap

tembakau. Periode laten terjadinya kanker paru-paru dari sumber ini biasanya 20

hingga 40 tahun atau lebih. Zat lain adalah asbes dan gas radon, alpha radioaktif.

Efek toksik yang umum terjadi pada paru adalah akibat dari beban oksidatif.

Beban oksidatif terjadi sebagai akibat oksidan aktif, terutama radikal bebas yang

dihasilkan oleh berbagai agen toksik dan respon sel pertahanan paru-paru. Ozon, O3,

NO2, polutan udara yang paling sering dikaitkan dengan asap fotokimia, adalah oksidan

yang sangat aktif di udara yang tercemar. Sebagian besar kerusakan oksidatif pada paru-

paru akibat radikal bebas, seperti radikal hidroksil, HO- dan ion superoksida, O- , yang

memulai dan menengahi reaksi berantai oksidatif. Paru-paru yang terpapar oksidan

menunjukkan peningkatan kadar enzim yang menangkis radikal bebas, memberikan

bukti peran mereka dalam kerusakan oksidatif. Ada bukti yang menunjukkan bahwa sel

paru-paru yang rusak akibat pelepasan zat toksik yang mengubah paru-paru menjadi

reaktif yaitu anion superoksida, O2-.

2. Kulit

Penyakit kulit dan kondisi kulit yang paling umum akibat terpapar zat beracun
adalah:
a. Dermatitis kontak, ditandai dengan permukaan kulit yang teriritasi, gatal, dan

kadang terasa sakit, gejalanya adalah eritema, atau kemerahan.


b. Urticaria, yang biasa dikenal dengan gatal-gatal, adalah reaksi alergi tipe I yang

berawal sangat cepat dari paparan racun yang menjadi subjek sensitif.

3. Hepar atau Hati

Senyawa yang bersifat toksik terhadap hepar disebut hepatotoksikan.

Manifestasinya dapat berupa:

a. Steatosis, yang biasa dikenal dengan fatty liver, adalah kondisi di mana lipid

menumpuk di hati lebih dari sekitar 5%.

b. Hepatitis, radang sel hati akibat zat yang menyebabkan respons kekebalan, atau

penyakit mematikan sel, dan sisa-sisanya dilepaskan ke jaringan hati, atau zat yang

menyebabkan kematian sel (nekrosis) sel hati, contohnya dimethylformamida.

c. Gangguan produksi dan ekskresi empedu dikenal sebagai choleostasis kanalis,

dapat disebabkan oleh chlorpromazine.

d. Sirosis, yang disebabkan alkoholisme kronis, adalah hasil akhir yang fatal dari

kerusakan hati.

e. Tumor dan kanker hati, disebabkan aflatoksin dari jamur, arsenik, dan torium

dioksida (sebagai kontras radioaktif untuk tujuan diagnostik).

f. Hemangiosarcoma, akibat paparan vinil klorida, akibat dari epoksida reaktif yang

dihasilkan oleh metabolism secara oksidasi enzimatik vinil klorida di hati.

4. Darah dan Kardiovaskuler

Toksisitas terhadap darah dan system kardiovaskuler disebut hematotoksik dan

kardiotoksik

a. Hipoksia adalah kondisi jaringan kekurangan oksigen, ada 3 jenis yaitu Hipoksia

stagnan, Hipoksia anemia dan Hipoksia histotoxic


b. Anemia Hipoksia jangka panjang dapat menurunkan pembentukan sel darah di

sumsum tulang.

c. Leukemia, yaitu produksi leukosit yang tidak terkontrol adalah suatu bentuk

kanker, paparan benzena kini dianggap sebagai penyebab kanker jenis ini

d. Cardiotoksik, sirkulasi darah terjadi akibat denyut jantung dan juga dipengaruhi

oleh kondisi sistem vaskular.

e. Kerusakan pembuluh darah di paru-paru oleh hidrogen fluorida, oksida nitrat,

dan ozon dapat menyebabkan akumulasi cairan yang dikenal sebagai edema

paru.

5. Sistem Saraf

Efek dari neurotoksikan dapat dimanifestasikan dalam dua kategori yaitu

encephelopathy dan neurophaty perifer.

a. Encephelopathy mengacu pada kelainan otak, meliputi edema serebral (akumulasi

cairan di otak), degenerasi dan hilangnya neuron otak, dan nekrosis korteks

serebral.

b. Neuropati perifer mengacu pada kerusakan saraf di luar sistem saraf pusat.

c. Axonopati, kondisi akibat kemunduran akson saraf dan mielin sekitarnya, dapat

disebabkan oleh hasil metabolisme n-hexane, γ-diketones, colchicine, disulfiram,

hydralazine, dan insektisida pyrethroids.

d. Mielinopathi, efek neurotoksik akibat disintegrasi insulasi myelin disekitar akson,

disebabkan hexachlorophene, suatu antiseptik pada sabun bayi.

e. Gangguan neurotransmisi. Beberapa neurotoksin tidak mengubah struktur sel saraf,

namun mengganggu transmisi neurotransmisi, transmisi impuls saraf.


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Adapun simpulan dari penulisan makalah ini yaitu

1. Toksikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang racun (study of poisons).

2. Manusia jaman dahulu sangat sadar akan efek toksik sejumlah bahan seperti racun

ular, racun tumbuhan, racun akonit, serta bahan mineral (arsen, timbal dan

antimon).

3. Klasifikasi toksikologi dibedakan berdasarkan jenis zat dan keadaan serta efek

toksiknya.

4. Toksikokinetik melibatkan proses invasi (masuknya xenobiotika ke tubuh),

transportasi dan distribusi (pergerakan xenobiotika di dalam tubuh), serta proses

eliminasi (hilangnya xenobiotika di dalam tubuh).

5. Toksodinamik merupakan suatu senyawa xenobiotik mempengaruhi tubuh.

6. Efek toksik adalah hasil sederetan proses, hingga adanya perubahan fungsional

yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat asing (xenobiotik)

dengan substrat biologi.

B. Saran

Saran saya yaitu agar dalam penulisan makalah selanjutnya mahasiswa lebih

memperhatikan literatur yang baik dan penulisan makalah yang baik juga sangat

dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Donatus, I.A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta: DEPKES RI


Lu, Frank. 2010. Toksikologi Dasar. UI Press: Jakarta
Rahayu, M., Mochamad, F.S. 2018. Toksikologi Klinik. Kemkes RI. 447 hal
Suma’mur, 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES) Edisi 2.
Jakarta: Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai