Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

“TOKSIKOLOGI”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakologi

Dosen Pembimbing:

Ahmad Djailani S. Fram., Apt.

Disusun oleh:

Sumiati Aristi (1831800001)

Raudatul Jannah (1831800003)

Putri Inni Khozaimah (1831800005)

Melinia Akhirul Fitri (1831800007)

PRODI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NURUL JADID

PAITON - PROBOLINGGO

2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanallahu wa ta’alaa yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayahnya sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan sebuah makalah dengan judul
“Toksikologi”

Makalah ini berisi tentang toksikologi yang sangat penting diterapkan dalam tatanan
layanan keperawatan maupun rumah sakit untuk memberikan kenyamanan sekaligus kepuasaan
bagi seorang pasien.

Penulis berharap setelah membaca dan mempelajari makalah ini, pembaca mendapatkan
manfaat berupa ilmu pengetahuan yang lebih baik sebagaimana tertera dalam tujuan penulisan
makalah.

Mengingat proses penulisan makalah ini masih penulis rasakan jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis selalu membuka diri untuk menerima berbagai masukan sehingga makalah ini
dapat lebih sempurna dan bermanfaat.

Paiton, 10 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................
C. Tujuan...............................................................................................................................................
D. Manfaat.............................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................

A. Perkembangan Awal Toksikologi...........................................................................................


B. Pengertian Toksikologi dan Racun........................................................................................
C. Golongan Obat.......................................................................................................................
D. Mekanisme Kerja Obat..........................................................................................................
E. Cara Penggunaan Obat...........................................................................................................
F. Efek Toksik Pada Tubuh ..............................................................................................................
G. Proses Interaksi Zat Dalam Toksikologi .....................................................................................
H. Cara Penamaan Obat......................................................................................................................
I. Contoh Obat....................................................................................................................................
J. Bahan Kimia yang di Waspadai....................................................................................................
K. Hal-hal yang perlu diperhatikan...................................................................................................

BAB III PENUTUP............................................................................................................................

A. Kesimpulan.......................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat
kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara
kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di
timbulkannya.
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan
dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya
mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang
cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi
toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan
kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi
pemaparan.

Dalam perkembangan beradaban modern, masyarakat menuntut perbaikan kondisi


kesehatan dan kehidupan, diantaranya makanan bergizi, mutu kesehatan yang tinggi,
pakaian, dan sportasi. Untuk memenuhi tujuan ini, berbagai jenis bahan kimia harus
diproduksi dan digunakan, banyak diantaranya dalam jumlah besar. Diperkirakan berribu-
ribu bahan kimia telah diproduksi secara komersial baik di negaranegara industri maupun
di negara berkembang. Melalui berbagai cara bahan kimia ini kontak dengan penduduk,
dari terlibatnya manusia pada proses produksi, distribusi ke konsumen, hingga terakhir
pada tingkat pemakai.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan perkembangan toksikologi!
2. Bagaimana mekanisme toksikologi?
3. Golongan apa saja yang terkait toksikologi?
C. Tujuan
Menambah wawasan pada ilmu toksikologi dan mengetahui mekanisme toksin
D. Manfaat
Memberikan pengetahuan terhadap obat-obatan yang mengandung toksin

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Awal Toksikologi
Sejak perkembangan peradaban manusia dalam mencari makanan, tentu telah
mencoba beragam bahan baik botani, nabati, maupun dari mineral. Melalui
pengalamannya ini ia mengenal makanan, yang aman dan berbaya. Dalam kontek ini kata
makanan dikonotasikan ke dalam bahan yang aman bagi tubuhnya jika disantap,
bermanfaat serta diperlukan oleh tubuh agar dapat hidup atau menjalankan fungsinya.
Sedangkan kata racun merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan
mengambarkan berbagai bahan “zat kimia” yang dengan jelas berbahaya bagi badan.
Kata racun ”toxic” adalah bersaral dari Bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox,
dimana dalam bahasa Yunani berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan
sebagai senjata dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat racun. Di
dalam ”Papyrus Ebers (1552 B.C.)“ orang Mesir kuno memuat informasi lengkap tentang
pengobatan dan obat. Di Papyrus ini juga memuat ramuan untuk racun, seperti antimon
(Sb), tembaga, timbal, hiosiamus, opium, terpentine, dan verdigris (kerak hijau pada
permukaan tembaga). Sedangkan di India (500 -600 B.C.) di dalam Charaka Samhita
disebutkan, bahwa tembaga, besi, emas, timbal, perak, seng, bersifat sebagai racun, dan
di dalam Susrata Samhita banyak menulis racun dari makanan, tananaman, hewan, dan
penangkal racun gigitan ular.
Hippocrates (460-370 B.C.), dikenal sebagai bapak kedokteran, disamping itu dia
juga dikenal sebagai toksikolog dijamannya. Dia banyak menulis racun bisa ular dan di
dalam bukunya juga menggambarkan, bahwa orang Mesir kuno telah memiliki
pengetahuan penangkal racun, dari saluran pencernaan. Disamping banyak lagi nama
besar toksikolog pada jaman ini, terdapat satu nama yang perlu mendapat catatan disini,
yaitu besar pada jaman Mesir dan Romawi kuno adalah Pendacious Dioscorides (A.D.
50), dikenal sebagai bapak Materia Medika, adalah seorang dokter tentara. Di dalam
bukunya dia mengelompokkan racun dari tanaman, hewan, dan mineral.
Hal ini membuktikan, bahwa efek berbahaya (toksik) yang ditimbulkan oleh zat
racun (tokson) telah dikenal oleh manusia sejak awal perkembangan beradaban manusia.
Oleh manusia efek toksik ini banyak dimanfaatkan untuk tujuan seperti membunuh atau
bunuh diri. Untuk mencegah keracunan, orang senantiasa berusaha menemukan dan
mengembangkan upaya pencegahan atau menawarkan racun. Usaha ini seiring dengan
perkembangan toksikologi itu sendiri. Namun, evaluasi yang lebih kritis terhadap usaha
ini baru dimulai oleh Maimonides (1135 - 1204) dalam bukunya yang terkenal Racun dan
Andotumnya. Sumbangan yang lebih penting bagi kemajuan toksikologi terjadi dalam
abad ke-16 dan sesudahnya. Paracelcius adalah nama samara dari Philippus Aureolus
Theophratus Bombast von Hohenheim (1493-1541), toksikolog besar, yang pertama kali
meletakkan konsep dasar dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya menyatakan: “Semua
zat adalah racun dan tidak ada zat yang tidak beracun, hanya dosis yang membuatnya
menjadi tidak beracun”. Pernyataan ini menjadi dasar bagi konsep hubungan dosis
reseptor dan indeks terapi yang berkembang dikemudian hari.
Matthieu Joseph Bonaventura Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern. Ia
adalah orang Spayol yang terlahir di pulau Minorca, yang hidup antara tahun 1787
sampai tahun 1853. Pada awak karirnya ia mempelajari kimia dan matematika, dan
selanjutnya mempelajari ilmu kedokteran di Paris. Dalam tulisannya (1814-1815)
mengembangkan hubungan sistematik antara suatu informasi kimia dan biologi tentang
racun. Dia adalah orang pertama, yang menjelaskan nilai pentingnya analisis kimia guna
membuktikan bahwa simtomatologi yang ada berkaitan dengan adanya zat kimia tertentu
di dalam badan. Orfila juga merancang berbagai metode untuk mendeteksi racun dan
menunjukkan pentingnya analisis kimia sebagai bukti hukum pada kasus kematian akibat
keracunan.
B. Pengertian Toksikologi dan Racun
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia
terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian
kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya
(exposed) makhluk tadi. Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan
diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme
biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh:
dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek
yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka
perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul.
Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya
menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu
organisme.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme
biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah
tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada
mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu
terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi
interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua
aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan
organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik /
toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik /
toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub bahasan kerja toksik.
Telah dipostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat
ditentukan oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat
yang berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga
keracunan. Misal insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan
menimbulkan efek yang berbahaya bagi manusia, namun pada dosis tersebut memberikan
efek yang mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tersebut
berada jauh dibawah konsentrasi minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya apabila
kita terpejan oleh DDT dalam waktu yang relatif lama, dimana telah diketahui bahwa
sifat DDT yang sangat sukar terurai dilingkungan dan sangat lipofil, akan terjadi
penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama. Karena sifat
fisiko terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga
apabila batas konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek toksik. Efek
atau kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang bersifat kronis.
Toksin Clostridium botulinum, adalah salah satu contoh tokson, dimana dalam
konsentrasi yang sangat rendah (10-9 mg/kg berat badan), sudah dapat mengakibatkan
efek kematian. Berbeda dengan metanol, baru bekerja toksik pada dosis yang melebihi 10
g. Pengobatan parasetamol yang direkomendasikan dalam satu periode 24 jam adalah 4 g
untuk orang dewasa dan 90 mg/kg untuk anak-anak. Namun pada penggunaan lebih dari
7 g pada orang dewasa dan 150 mg/kg pada anak-anak akan menimbulkan efek toksik.
Dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatnya
sendiri, tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumlah yang
masuk dan diabsorpsi. Dengan lain kata tergantung dengan cara kerja, frekuensi kerja dan
waktu kerja. Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat dan sesuatu tokson tidak
terdapat perbedaan yang prinsipil, ia hanya relatif. Semua kerja dari suatu obat yang tidak
mempunyai sangkut paut dengan indikasi obat yang sebenarnya, dapat dinyatakan
sebagai kerja toksik.
Kerja medriatik (pelebaran pupil), dari sudut pandangan ahli mata merupakan
efek terapi yang dinginkan, namun kerja hambatan sekresi, dilihat sebagai kerja samping
yang tidak diinginkan. Bila yang sama untuk terapi, lazimnya keadaan ini manjadi
terbalik. Pada seorang anak yang tanpa menyadarinya telah memakan buah Atropa
belladonna, maka mediaris maupun mulut kering harus dilihat sebagai gejala keracuanan.
Oleh sebab itu ungkapan kerja terapi maupun kerja toksik tidak pernah dinilai secara
mutlak. Hanya tujuan penggunaan suatu zat yang mempunyai kerja farmakologi dan
dengan demikian sekaligus berpotensial toksik, memungkinkan untuk membedakan
apakah kerjanya sebagai obat atau sebagai zat racun.
Tidak jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat baru.
Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea dan lanata,
yaitu diperoleh antikuagulan yang bekerja tidak langsung, yang diturunkan dari zat racun
yang terdapat di dalam semanggi yang busuk. Inhibitor asetilkolinesterase jenis ester
fosfat, pada mulanya dikembangkan sebagai zat kimia untuk perang, kemudian
digunakan sebagai insektisida dan kini juga dipakai untuk menangani glaukoma.
Toksikologi modern merupakan bidang yang didasari oleh multi displin ilmu, ia
dengan dapat dengan bebas meminjam bebarapa ilmu dasar, guna mempelajari interaksi
antara tokson dan mekanisme biologi yang ditimbulkan (lihat gambar Ilmu toksikologi
ditunjang oleh berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika. Kimia
analisis dibutuhkan untuk mengetahui jumlah tokson yang melakukan ikatan dengan
reseptor sehingga dapat memberikan efek toksik.

Bidang ilmu biokimia diperlukan guna mengetahui informasi penyimpangan


reaksi kimia pada organisme yang diakibatkan oleh xenobiotika. Perubahan biologis yang
diakibatkan oleh xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu patologi, immonologi,
dan fisiologi. Untuk mengetahui efek berbahaya dari suatu zat kimia pada suatu sel,
jaringan atau organisme memerlukan dukungan ilmu patologi, yaitu dalam menunjukan
wujud perubahan /penyimpangan kasar, mikroskopi, atau penyimpangan submikroskopi
dari normalnya. Perubahan biologi akibat paparan tokson dapat termanisfestasi dalam
bentuk perubahan sistem kekebakan (immun) tubuh, untuk itu diperlukan bidang ilmu
immunologi guna lebih dalam mengungkap efek toksik pada sistem kekebalan organisme.
Mengadopsi konsep dasar yang dikemukakan oleh Paracelcius, manusia menggolongkan
efek yang ditimbulkan oleh tokson menjadi konsentrasi batas minimum memberikan
efek, daerah konsentrasi dimana memberikan efek yang menguntungkan (efek terapeutik,
lebih dikenal dengan efek farmakologi), batas konsentrasi dimana sudah memberikan
efek berbahaya (konsetrasi toksik), dan konstrasi tertinggi yang dapat menimbulkan efek
kematian. Agar dapat menetapkan batasan konsentrasi ini toksikologi memerlukan
dukungan ilmu kimia analisis, biokimia, maupun kimia instrmentasi, serta hubungannya
dengan biologi. Ilmu statistik sangat diperlukan oleh toksikologi dalam mengolah baik
data kualitatif maupun data kuantitatif yang nantinya dapat dijadikan sebagai besaran
ekspresi parameter-parameter angka yang mewakili populasi.
Bidang yang paling berkaitan dengan toksikologi adalah farmakologi, karena ahli
farmakologi harus memahami tidak hanya efek bermanfaat zat kimia, tetapi juga efek
berbahayanya yang mungkin diterapkan pada penggunaan terapi. Farmakologi pada
umumnya menelaah efek toksik, mekanisme kerja toksik, hubungan dosis respon, dari
suatu tokson.
C. Golongan Obat
1. Narkotika
Narkotika merupakan salah satu obat yang diperlukan dalam dunia pengobatan,
demikian juga dalam bidang penelitian, yaitu untuk tujuan pendidikan,
pengembangan ilmu, dan penerapannya. Meskipun ada bahayanya, namun masih
dapat dibenarkan penggunaan narkotika untuk kepentingan pengobatan, dan atau
tujuan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, untuk kepentingan pengobatan dan atau
tujuan ilmu pengetahuan, maka dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika,
dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika, mengekspor obat-obatan yang
mengandung narkotika, menanam, memelihara papaver, koka dan ganja. Sehingga
UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tersebut tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman di waktu itu, karena yang diatur didalamnya hanyalah
mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang ada di dalam peraturan yang
dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang
pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.
Disamping manfaatnya tersebut, narkotika apabila disalahgunakan atau salah
pemakaiannya, dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan bagi
perorangan serta menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai kebudayaan.
Karena itu penggunaan narkotika hanya dibatasi untuk kepentingan pengobatan dan
atau tujuan ilmu pengetahuan.
Penyalahgunaan pemakaian narkotika dapat berakibat jauh dan fatal serta
menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada narkotika untuk kemudian
berusaha agar senantiasa memperoleh narkotika itu dengan segala cara, tanpa
mengindahkan norma-norma sosial, agama maupun hukum yang berlaku. Dalam hal
ini, tidak mustahil kalau penyalahgunaan narkotika adalah merupakan salah satu
sarana dalam rangka kegiatan subversi.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Dalam undang-undang ini Narkotika dikelompokkan
menjadi 3 golongan:
a. Golongan I: Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: heroin, kokain, ganja.
b. Golongan II: Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Morfin, Petidin.
c. Golongan III: Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Codein.

Mengingat terdapat peningkatan penggunaan zat baru yang berpotensi


mengakibatkan ketergantungan, maka dilakukan perubahan penggolongan narkotika
yang diatur dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan, maka diterbitkan Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 13 tahun 2014. Dalam Permenkes ini ditambahkan jenis
narkotika yang dimasukkan dalam Narkotika golongan I, yang semula 65 menjadi 82.

2. Psikotropika
Menurut Undang-undang Psikotropika nomor 5 tahun 1997 tersebut, Psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Selain narkotika, psikotropika juga memegang peranan penting dalam pelayanan
kesehatan. Di samping itu, psikotropika juga digunakan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan, dan pengajaran
sehingga ketersediaannya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.
Psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan, maka ketersediaannya perlu dijamin. Akan tetapi
karena tingginya penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia
dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan
nasional; serta makin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
transformasi, komunikasi, dan informasi telah mengakibatkan gejala meningkatnya
peredaran gelap psikotropika yang makin meluas serta berdimensi Internasional;
maka ditetapkanlah peraturan tentang psikotropika ini dalam bentuk Undang-undang.
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:
a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika
c. Memberantas peredaran gelap psikotropika

Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan


apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan
bagi penyalah guna, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional,
sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.
Penyalahgunaan psikotropika mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan
peredaran gelap psikotropika menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang
makin meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya
pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan psikotropika dan upaya
pemberantasan peredaran gelap. Di samping itu, upaya pemberantasan peredaran
gelap psikotropika terlebih dalam era globalisasi komunikasi, informasi, dan
transportasi sekarang ini sangat diperlukan.
Upaya untuk mengendalikan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan
psikotropika, maka disahkan UU Psikotropika nomor 5 tahun 1997. Undang-undang
ini mengatur kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang berada di bawah
pengawasan internasional, yaitu yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan dan digolongkan menjadi:

a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk


tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: katinon,
LSD, psilosibin.
b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
amfetamin, metamfetamin, metakualon, metilfenidat.
c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
amobarbital, flunitrazepam, buprenofrin.
d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
diazepam, bromazepam, fenobarbital, alprazolam.

Penggolongan psikotropika juga bisa didasarkan pada penggunaannya, digolongkan


menjadi:

1. Antipsikosis (major trankuilizer, neuroleptik)


Antipsikotika disebut neuroleptika atau major tranquilizers yang bekerja sebagai
antipsikotis dan sedative:
a. Obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi
fungsifungsi umum, seperti berpikir dan kelakuan normal.
b. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan dapat mengurangi
gangguan jiwa seperti impian khayal (halusinasi) serta menormalkan perilaku.
Oleh karena itu, antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa
hebat misahya penyakit skizofrenia "gila” dan mania. Minor tranquilizers
adalah anksiolitik yang digunakan pada gangguan kecemasan dan pada
gangguan tidur, seperti hipnotika. Contoh: chlorpromazine, Haloperidol,
Trifluoperazine.
2. Anti anxietas (antineurosis, minor tranquilizer)
Antiansietas, untuk pengobatan simtomatik penyakit psikoneurosis dan sebagai
obat tambahan pada terapi penyakit ansietas / cemas dan ketegangan mental.
Penggunaan antiansietas dosis tinggi jangka lama, dapat menimbulkan
ketergantungan psikis dan fisik. Contoh antara lain diazepam, bromazepam.
3. Antidepresan
Antidepresi, adalah obat untuk mengatasi depresi mental, dapat menghilangkan
atau mengurangi depresi yang timbul pada beberapa jenis skizofi. Perbaikan
depresi ditandai dengan perbaikan alam perasaan, bertambahnya aktivitas fisik
dan kewaspadaan mental, nafsu makan dan pola tidur yang lebih baik Contoh:
amitriptilin.
4. Psikotogenik (psikotomimetik, psikodisleptik, halusinogenik)
Psikotogenik, adalah obat yang dapat menimbulkan kelainan tingkah laku,
disertai halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir dan perubahan alam perasaan,
dapat menimbulkan psikosis. Istilah psikotogenik paling cocok untuk golongan
obat yang dahulu disebut psikotomimetik (obat yang menimbulkan keadaan mirip
Psikosis) kadang-kadang obat ini disebut obat halusinogenik yang berarti obat
yang menimbulkan halusinasi. Contoh: Meskalin, dietilamid lisergad (LSD) dan
mariyuana atau ganja. Narkotika dan psikotropika juga dapat digolongkan
berdasarkan efek farmakologisnya, yaitu: depresan, stimulant, opiat dan
halusinogen.
a) Depresan memperlambat fungsi otak normal. Karena efek ini, depresan sering
digunakan untuk mengobati kegelisahan dan gangguan tidur. Meskipun obat
depresi yang berbeda bekerja secara unik di otak, namun efeknya pada
aktivitas GABA (gamma amino butyric acid= asam amino gamma butirat)
yang menghasilkan efek mengantuk atau menenangkan. GABA bekerja untuk
mengurangi aktivitas otak.
Meskipun resep mereka untuk pengobatan kegelisahan dan gangguan tidur,
depresan juga membawa potensi adiktif tinggi. Efek withdrawl dari
penggunaan depresan jangka panjang dapat mengancam jiwa dan
menghasilkan beberapa konsekuensi terburuk dari klasifikasi obat lainnya.
Perlu diingat: ini termasuk alkohol. Contohnya meliputi: Valium, Librium, dan
barbiturat.
b) Halusinogen adalah obat yang menyebabkan perubahan persepsi dan perasaan.
Halusinogen memiliki efek pengubahan pikiran yang hebat dan dapat
mengubah bagaimana otak merasakan waktu, realitas sehari-hari, dan
lingkungan sekitar. Mereka mempengaruhi daerah otak yang bertanggung
jawab untuk koordinasi, proses berpikir, pendengaran, dan penglihatan.
Mereka bisa menyebabkan orang mendengar suara, melihat sesuatu, dan
merasakan sensasi yang tidak ada.
Halusinogen mengubah cara kerja otak dengan mengubah cara sel saraf
berkomunikasi satu sama lain sehingga memiliki efek mengubah pikiran yang
kuat. Mereka bisa mengubah persepsi otak terhadap waktu, realitas sehari-
hari, dan lingkungan sekitar. Halusinogen mempengaruhi daerah dan struktur
di otak yang bertanggung jawab atas koordinasi, proses berpikir, pendengaran,
dan penglihatan. Hal ini bisa menyebabkan orang yang menggunakannya
mendengar suara, melihat gambar, dan merasakan sensasi yang sebenarnya
tidak ada. Periset belum yakin bahwa kimia otak berubah secara permanen
pada penggunaan halusinogen, namun beberapa orang yang menggunakannya
tampaknya mengalami gangguan jiwa kronis.
Halusinogen memiliki potensi kecanduan moderat dengan potensi toleransi
yang sangat tinggi, tingkat psikologis yang moderat, dan potensi
ketergantungan fisik yang rendah. Sebagian besar risiko yang terkait dengan
penggunaan halusinogen dikaitkan dengan risiko cedera pribadi dan
kecelakaan yang mengancam jiwa. Contohnya meliputi: LSD, PCP, MDMA
(Ekstasi), ganja, mescaline, dan psilocybin.
c) Opiat adalah obat penghilang rasa sakit yang sangat kuat. Opiat terbuat dari
opium, getah putih pada tanaman opium. Opiat menghasilkan perasaan senang
yang cepat dan intens diikuti oleh rasa nyaman dan tenang.
Penggunaan opiat jangka panjang mengubah cara kerja otak dengan mengubah
cara sel saraf berkomunikasi satu sama lain. Jika opiat diambil dari sel otak
yang bergantung opiat, banyak dari mereka akan menjadi terlalu aktif.
Akhirnya, sel akan bekerja normal lagi jika orang tersebut sembuh, namun
menyebabkan banyak gejala putus obat yang mempengaruhi pikiran dan
tubuh. Seperti banyak obat lainnya, opiat memiliki potensi kecanduan yang
sangat tinggi. Contohnya meliputi: heroin, morfin, kodein, dan Oxycontin.
d) Stimulan adalah golongan obat yang meningkatkan mood, meningkatkan
perasaan baik, dan meningkatkan energi dan kewaspadaan. Stimulan dapat
menyebabkan jantung berdetak lebih cepat dan juga akan menyebabkan
tekanan darah dan pernapasan meningkat. Penggunaan stimulan berulang
dapat menyebabkan paranoid dan permusuhan.
Stimulan mengubah cara kerja otak dengan mengubah cara sel saraf
berkomunikasi satu sama lain. Seperti banyak obat lain, stimulan memiliki
potensi adiktif yang sangat tinggi. Contohnya meliputi: kokain,
methamphetamine, amfetamin, MDMA (ekstasi). Nikotin dan kafein tidak
termasuk golongan narkotika dan psikotropika, mempunyai efek stimulant.
3. Prekursor
Prekursor sebagai bahan pemula atau bahan kimia banyak digunakan dalam
berbagai kegiatan baik pada industri farmasi, industri non farmasi, sektor pertanian
maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengadaan prekursor untuk memenuhi kebutuhan industri farmasi, industri non
farmasi dan kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini baru
diatur dalam tingkat Peraturan Menteri. Kendatipun Prekursor sangat dibutuhkan di
berbagai sektor apabila penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya dan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau disalahgunakan dalam pembuatan Narkotika dan
Psikotropika secara gelap akan sangat merugikan dan membahayakan kesehatan.
Meningkatnya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dewasa ini sangat erat
kaitannya dengan penggunaan alat-alat yang berpotensi dalam penyalahgunaan narkotika
dan psikotropika maupun prekursor sebagai salah satu zat atau bahan pemula atau bahan
kimia yang digunakan untuk memproduksi narkotika dan psikotropika secara gelap. Alat
potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan
Psikotropika adalah alat potensial yang diawasi dan ditetapkan sebagai barang di bawah
pengawasan Pemerintah, antara lain: jarum suntik, semprit suntik (syringe), pipa
pemadatan dan anhidrida asam asetat.
Pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pencegahan dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap prekursor sangat membutuhkan langkah-langkah
konkrit, terpadu dan terkoordinasi secara nasional, regional maupun internasional, karena
kejahatan penyalahgunaan prekursor pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan
secara sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama, bahkan oleh sindikat yang
terorganisasi rapi dan sangat rahasia. Disamping itu kejahatan Prekursor bersifat
transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih
termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan prekursor. Perkembangan kualitas kejahatan
prekursor tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat
manusia.
Adapun yang dimaksud precursor narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan narkotika, ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 44 tahun 2010 tentang Prekursor, bahwa yang dimaksud Prekursor adalah zat atau
bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan
Psikotropika.
Pengaturan Prekursor ini bertujuan untuk:
a. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor
b. Mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor
c. Mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor
d. Menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi, dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam Peratutan Pemerintah nomor 44 tahun 2010 tersebut precursor digolongkan
menjadi 2, sebagai berikut:

NO Tabel I Tabel II
1 Acetic Anhydride Acetone
2 N-Acetylanthranilic Acid Anthranilic Acid
3 Ephedrine Ethyl Ether
4 Ergometrine Hydrochloric Acid
5 Ergotamine Methyl Ethyl Ketone
6 Isosafrole Phenylacetic Acid
7 Lysergic Acid Piperidine
8 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone Sulphuric Acid
9 Norephedrine Toluene
10 1-Phenyl-2-Propanone
11 Piperonal
12 Potassium Permanganat
13 Pseudoephedrine
14 Safrole

D. Mekanisme Kerja Obat


Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika,
biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya
dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase
toksodinamik.
1. Fase Eksposisi
Merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada umumnya, kecuali
radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/ farmakologi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi
molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek
obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi
hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di
tempat kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju
sistem sistemik. Fase ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan
farmasi.
2. Fase Toksikinetik
Disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada dalam
ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi
menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama
aliran darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik
(reseptor). Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan
termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju
saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya.
3. Fase Toksodinamik
Adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan juga
proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik/farmakologik.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik
(reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila
xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor).
Dari gambaran singkat di atas dapat digambarkan dengan jelas bahwa efek
toksik/farmakologik suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh sifat toksokinetik
xenobiotika, tetapi juga tergantung kepada faktor yang lain seperti:
a. Bentuk farmasetika dan bahan tambahan yang digunakan,
b. Jenis dan tempat eksposisi,
c. Keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,
d. Distribusi xenobiotika dalam organisme,
e. Ikatan dan lokalisasi dalam jaringan,
f. Biotransformasi (proses metabolisme), dan
g. Keterekskresian dan kecepatan ekskresi,

Dimana semua faktor di atas dapat dirangkum ke dalam parameter farmaseutika dan
toksokinetika (farmakokinetika).
Proses biologik yang terjadi pada fase toksokinetik umumnya dikelompokkan ke dalam
proses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dari absorpsi, transpor, dan distribusi,
sedangkan evesi juga dikenal dengan eleminasi.

Sederetan proses tersebut sering disingkat dengan ADME, yaitu: Adsorpsi, Distribusi,
Metabolisme dan Eliminasi.

a) Absorpsi
Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak
(paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi didefinisikan
sebagai jumlah xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi sistemik dalam bentuk
tidak berubah. Tokson dapat terabsorpsi umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut
atau terdispersi molekular. Absorpsi sistemik tokson dari tempat extravaskular
dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomic dan fisiologik tempat absorpsi (sifat membrane
biologis dan aliran kapiler darah tempat kontak), serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan
bentuk farmseutik tokson (tablet, salep, sirop, aerosol, suspensi atau larutan). Jalur
utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Pada pemasukan
tokson langsung ke system sirkulasi sistemik (pemakaian secara injeksi), dapat
dikatakan bahwa tokson tidak mengalami proses absorpsi.
Absorpsi suatu xenobiotika tidak akan terjadi tanpa suatu transpor melalui
membran sel, demikian halnya juga pada distribusi dan ekskresi. Oleh sebab itu
membran sel (membran biologi) dalam absorpsi merupakan sawar “barier“ yaitu batas
pemisah antara lingkungan dalam dan luar.
b) Distribusi
Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama darah akan
diedarkan/ didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari system sirkulasi sistemik ia akan
terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sitem organ atau ke jaringan-
jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dapat pandang sebagai
suatu proses transpor reversibel suatu xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain di
dalam tubuh. Di beberapa buku reference juga menjelaskan, bahwa distribusi adalah
proses dimana xenobiotika secara reversible meninggalkan aliran darah dan masuk
menuju interstitium (cairan ekstraselular) dan/atau masuk ke dalam sel dari jaringan
atau organ.
Distribusi xenobiotika di dalam tubuh umumnya melalui proses transpor, yang
pada mana dapat di kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu konveksi (transpor
xenobiotika bersama aliran darah) dan transmembran (transpor xenobiotika melewati
membran biologis). Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi oleh:
tercampurnya xenobiotika di dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor
transmembran. Umumnya faktor tercampurnya xenobiotika di darah dan laju aliran
darah ditentukan oleh factor psikologi, sedangkan laju transpor transmembrane
umumnya ditentukan oleh faktor sifat fisiko-kimia xenobiotika. Transpor transmembran
dapat berlangsung melalui proses difusi pasif, difusi terpasilitasi, difusi aktif, filtrasi
melalui poren, atau proses fagositisis.
c) Metabolisme
Xenobiotika yang masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem enzim
tubuh, sehingga senyawa tersebut akan mengalami perubahan struktur kimia dan pada
akhirnya dapat dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialami oleh
”xenobiotika” dikenal dengan reaksi biotransformasi yang juga dikenal dengan reaksi
metabolisme. Biotransformasi atau metabolism pada umumnya berlangsung di hati dan
sebagian kecil di organ-organ lain seperti: ginjal, paru-paru, saluran pencernaan,
kelenjar susu, otot, kulit atau di darah.
d) Eliminasi
Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang dimaksud
proses eliminasi adalah proses hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh organisme.
Eliminasi suatu xenobiotika dapat melalui reaksi biotransformasi (metabolisme) atau
ekskresi xenobiotika melalui ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi
lainnya (kelenjar keringat, kelenjar mamae, kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur
eliminasi yang paling penting adalah eliminasi melalui hati (reaksi metabolisme) dan
eksresi melalui ginjal.
Secara umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase I
(reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Dalam fase pertama ini tokson
akan mengalami pemasukan gugus fungsi baru, pengubahan gugus fungsi yang ada atau
reaksi penguraian melalui reaksi oksidasi (dehalogenasi, dealkilasi, deaminasi,
desulfurisasi, pembentukan oksida, hidroksilasi, oksidasi alkohol dan oksidasi
aldehida); rekasi reduksi (reduksi azo, reduksi nitro reduksi aldehid atau keton) dan
hidrolisis (hidrolisis dari ester amida). Pada fase II ini tokson yang telah siap atau
termetabolisme melalui fase I akan terkopel (membentuk konjugat) atau melalui proses
sintesis dengan senyawa endogen tubuh, seperti: Konjugasi dengan asam glukuronida
asam amino, asam sulfat, metilasi, alkilasi, dan pembentukan asam merkaptofurat.
Enzim-enzim yang terlibat dalam biotransformasi pada umumnya tidak spesifik
terhadap substrat. Enzim ini (seperti monooksigenase, glukuronidase) umumnya terikat
pada membran dari retikulum endoplasmik dan sebagian terlokalisasi juga pada
mitokondria, disamping itu ada bentuk terikat sebagai enzim terlarut (seperti esterase,
amidase, sulfoterase). Sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase I umumnya terdapat
di dalam retikulum endoplasmik halus, sedangkan system enzim yang terlibat pada
reaksi fase II sebagian besar ditemukan di sitosol. Disamping memetabolisme
xenobiotika, sistem enzim ini juga terlibat dalam reaksi biotransformasi senyawa
endogen (seperti: hormon steroid, biliribun, asam urat, dll). Selain organ-organ tubuh,
bakteri flora usus juga dapat melakukan reaksi metabolisme, khususnya reaksi reduksi
dan hidrolisis. Uraian tentang reaksi biotransformasi yang terjadi atau yang dialami oleh
suatu xenobiotika di dalam tubuh berikutnya akan dibahas di dalam bahasan tersendiri.
Ekskresi

Setelah diabsorpsi dan didistrubusikan di dalam tubuh, xenobiotika/tokson dapat


dikeluarkan dengan capat atau perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam bentuk
asalnya maupun sebagai metabolitnya. Jalus ekskresi utama adalah melalui ginjal bersama
urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting bagi tokson tertentu.
Disamping itu ada juga jalur ekskresi lain yang kurang penting seperti, kelenjar keringan,
kelenjar ludah, dan kelenjar mamae.

1. Ekskresi urin.
Ginjal sangat memegang peranan penting dalam mengekskresi baik senyawa
eksogen (xenobiotika) maupun seyawa endogen, yang pada umumnya tidak
diperlukan lagi oleh tubuh. Proses utama ekskresi renal dari xenobiotika adalah:
filtrasi glumerula, sekresi aktif tubular, dan resorpsi pasif tubular. Pada filtrasi
glumerular, ukuran melekul memegang peranan penting. Molekul-molekul dengan
diameter yang lebih besar dari 70 Å atau dengan berat lebih besar dari 50 kilo Dalton
(k Da) tidak dapat melewati filtrasi glumerular. Oleh sebab itu hanya senyawa dengan
ukuran dan berat lebih kecil akan dapat terekskresi. Xenobiotika yang terikat dengan
protein plasma tentunya tidak dapat terekskresi melalui ginjal. Resorpsi pasiv tubular
ditentukan oleh gradien konsentrasi xenobitika antara urin dan plasma di dalam
pembuluh tubuli. Berbeda dengan resorpsi tubular, sekresi tubular melibatkan proses
transpor aktif. Suatu tokson dapat juga dikeluarkan lewat tubulus ke dalam urin
dengan difusi pasif.
2. Ekskresi Empedu.
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi xenobiotika,
terutama untuk senyawa-senyawa dengan polaritas yang tinggi (anion dan kation),
kojugat yang terikat pada protein plasma, dan senyawa dengan berat molekul lebih
besar dari 300. Umumnya, begitu senyawa tersebut terdapat dalam empedu, mereka
tidak akan diserap kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Namun
terdapat pengecualian konjugat glukuronida, dimana konjugat ini oleh mikroflora
usus dapat dipecah menjadi bentuk bebasnya dan selanjunya akan diserap kembali
menuju sistem sirkulasi sistemik. Peran pentingnya ekskresi empedu telah
ditunjukkan oleh beberapa percobaan, dimana toksisitas dietilstibestrol meningkat
130 kali pada tikus percobaan yang saluran empedunya diikat.
3. Ekskresi paru-paru.
Zat yang pada suhu badan berbentuk gas terutama diekskresikan lewat paru-paru.
Cairan yang mudah menguap juga mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang
sangat mudah larut lemak seperti kloroform dan halotan mungkin diekskresikan
sangat lambat, karena mereka tertimbun dalam jaringan lemak dan karena
keterbatasan volume ventilasi. Ekskresi xenobiotika melalui paru-paru terjadi secara
difusi sederhana lewat membran sel.
4. Jalur lain.
Jalur ekskresi ini umumnya mempunyai peranan yang sangat kecil dibandingkan
jalur utama di atas, jalur-jalur ekskresi ini seperti, ekskresi cairan bersama feses,
ekskresi tokson melalui kelenjar mamai (air susu ibu, ASI), keringan, dan air liur.
Jalur ekskresi lewat kelenjar mamai menjadi sangat penting ketika kehadiran zat-zat
racun dalam ASI akan terbawa oleh ibu kepada bayinya atau dari susu sapi ke
manusia.
Karena air susu bersifat agak asam, maka senyawa basa akan mencapai kadar
yang lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma, dan sebaliknya untuk senyawa
yang bersifat asam. Senyawa lipofilik, misalnya DDT dan PCB juga mencapai kadar
yang lebih tinggi dalam susu karena kandungan lemaknya dalam susu yang relatif
tinggi.
E. Cara Penggunaan Obat
Agar obat dapat bekerja dengan efektif dan aman, ikutilah panduan cara minum obat
yang baik dan benar berikut ini:
1. Konsumsi sesuai dosis yang dianjurkan
Sebagian orang mungkin ada yang beranggapan bahwa menggandakan dosis obat
dapat mempercepat penyembuhan penyakit, padahal anggapan ini tidak benar. Alih-
alih membuat Anda sembuh lebih cepat, minum obat dengan dosis berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh hingga overdosis. Anda juga tidak boleh
mengurangi dosis obat tanpa anjuran dokter karena mengurangi dosis obat bisa
membuat obat bekerja dengan tidak efektif. Oleh karena itu, konsumsilah obat sesuai
dosis yang ditentukan oleh dokter atau sesuai petunjuk pemakaian obat.

2. Gunakan sesuai dengan cara yang direkomendasikan


Obat yang diminum terdiri dari beragam sediaan, mulai dari tablet, kapsul, puyer,
sirop, dan obat tetes (oral drops). Untuk obat tablet atau kapsul, hindari membelah,
menghancurkan, atau mengunyah obat sebelum menelannya, kecuali jika obat
tersebut memang dikonsumsi sebagai obat kunyah. Untuk obat cair, Anda bisa
menggunakan sendok takar khusus yang telah tersedia di dalam kemasan untuk
mengukur dosis obat. Bila tidak tersedia, Anda bisa menggunakan sendok teh sebagai
takarannya. Untuk obat tetes oral, Anda bisa menggunakan pipet khusus yang tersedia
dalam kemasan obat.
3. Minum obat sesuai waktu yang telah ditentukan
Obat umumnya diberikan dengan beberapa jenis aturan pakai, misalnya 3 kali
sehari, dengan pembagian waktu yang tepat. Hal ini berarti obat diminum setiap 8
jam sekali dalam 1 hari.
Sebagai contoh, bila dosis pertama dikonsumsi jam 7 pagi, maka dosis berikutnya
dikonsumsi pada jam 3 sore dan dosis terakhir pada jam 11 malam. Minumlah obat
pada waktu yang sama setiap harinya. Jika Anda lupa mengonsumsi obat, disarankan
untuk segera melakukannya bila jeda dengan jadwal konsumsi obat berikutnya tidak
terlalu dekat. Namun jika jedanya sudah dekat, abaikan dosis tersebut dan
konsumsilah obat pada jadwal berikutnya untuk mengganti dosis yang terlewatkan.
Selain itu, beberapa jenis obat ada yang dianjurkan untuk dikonsumsi sebelum,
setelah, atau bersamaan dengan waktu makan. Pastikan untuk mengikuti petunjuk
penggunaan obat tersebut agar obat dapat bekerja dengan efektif.
4. Perhatikan makanan dan minuman yang dikonsumsi bersama dengan obat
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek interaksi obat jika dikonsumsi
bersamaan dengan makanan atau minuman tertentu. Selain itu, interaksi obat juga
bisa terjadi jika obat diminum bersamaan dengan obat jenis lain atau suplemen
tertentu. Sebagai contoh, mengonsumsi suplemen zat besi bersamaan dengan susu
bisa menurunkan penyerapan zat besi oleh tubuh. Contoh lainnya adalah
mengonsumsi obat hipertensi ACE inhibitor bersamaan atau berdekatan waktunya
dengan konsumsi makanan tinggi kalium, seperti pisang, dapat menurunkan
efektivitas obat tersebut. Oleh karena itu, obat sebaiknya diminum bersamaan dengan
segelas air putih agar risiko terjadinya efek interaksi obat dapat berkurang. Saat
mendapatkan resep obat, Anda juga disarankan untuk menanyakan kepada dokter
yang meresepkan obat terkait minuman atau makanan apa yang perlu dihindari ketika
mengonsumsi obat tersebut.
F. Efek Toksik Pada Tubuh
a) Lokal dan Sistemik
Lokal: bahan yang bersifat korosif, iritatif
Sistemik: terjadi setelah bahan kimia masuk, diserap dan distribusikan ke tubuh
Konsentrasi bahan berbahaya tidak selalu paling tinggi dalam target organ (misal,
target organ methyl merkuri adalah otak, tapi konsentrasi tertinggi ada di hati dan
ginjal, DDT target organnya adalah susunan pusat syaraf pusat tapi konsentrasi
tertinggi pada jaringan lemak)
1> Efek Reversibel dan Irreversibel
Reversible: bila efek yang terjadi hilang dengan dihentikannya paparan bahan
berbahaya. Biasanya konsentrasi masih rendah dan waktu singkat.
Irreversible: bila efek yang terjadi terus menerus bahkan jadi parah walau pajanan
telah dihentikan (misal karsinoma, penyakit hati), biasanya konsentrasi tinggi dan
waktu lama
2> Efek Langsung dan Tertunda
Efek langsung: segera terjadi setelah pajanan (misal sianida).
Efek tertunda: efek yang terjadi beberapa waktu setelah pajanan (efek
karsinogenik).
3> Reaksi Alergi dan Idiosynkrasi
Reaksi alergi (hipersensitivitas) terjadi karena sensitisasi sebelumnya yang
menyebabkan dibentuknya antibodi oleh tubuh.
Reaksi Idiosynkrasi merupakan reaksi tubuh yang abnormal terhadap genetik
(misal kekurangan enzim succynicholin).
G. Proses Interaksi Zat Dalam Toksikologi
Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses mulai dari
proses biokimia, fisika dan bilogi yang begitu kompleks. Proses ini umumnya
dikelompokkan dalam tiga fase yaitu:
1. Fase Eksposisi meliputi paparan bahan kimia di ambien pada gas/uap, debu, kabut dan
fume
2. Fase Toksokinetik meliputi absorpsi, distribusi penyimpanan, metabolisme, dan
eksresi
3. Fase Toksodinamika meliputi interaksi antara tokson dengan reseptor dalam organ

Sebagai contoh pada kasus Munir tepat 15 tahun lalu, penggiat HAM, Munir Said
Thalib tutup usia. Ia meninggal dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda akibat
racun arsenik. Hingga kini kasus tewasnya Munir masih tak jelas ujung pangkalnya.
Banyak pihak menduga dalang di balik pembunuhan aktivis dan pejuang hak asasi
manusia itu masih berkeliaran bebas. Racun arsenik sendiri merupakan senyawa kimia
yang biasanya ditemukan di dalam air, udara, dan tanah. Senyawa ini banyak
dimanfaatkan untuk kegiatan tambang dan industri. Meski mudah ditemui, seperti kasus
Munir, senyawa ini punya sifat yang sangat mematikan. Adapun batas arsen yang
dierkomendasikan saat ini adalah 10 μg/L. Perawatan dan penanganan arsenik beragam,
tergantung pada jenis dan tahap keracunannya.

Dan pada kasus kedua yaitu Orfila bekerja sebagai ahli medikolegal di Sorbonne di
Paris. Orfila memainkan peranan penting pada kasus LaFarge (kasus pembunuhan
dengan arsen) di Paris, dengan metode analisis arsen, ia membuktikan kematian
diakibatkan oleh keracuanan arsen. M.J.B. Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi
modern karena minatnya terpusat pada efek tokson, selain itu karena ia memperkenalkan
metodologi kuantitatif ke dalam studi aksi tokson pada hewan, pendekatan ini melahirkan
suatu bidang toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Dalam bukunya Traite des
poison, terbit pada tahun 1814, dia membagi racun menjadi enam kelompok, yaitu:
corrosives, astringents, acrids, stupefying or narcotic, narcoticacid, dan septica atau
putreficants.
a. Interaksi Selama Fase Eksposisi
1) Kombinasi Zat yang membahayakan
Kombinasi zat yang membahayakan adalah kombinasi dari zat-zat yang
hanya berbahaya jika diberikan bersama-sama. Zat semacam ini harus disimpan
secara terpisah, harus dibungkus dan diangkut secara terpisah pula. Contohnya,
jika asam berkontak dengan sianida akan terbentuk gas asam sianida yang sangat
toksik (HCN). Berbagai peroksida dapat menimbulkan ledakan kalau berkontak
dengan logam atau senyawa logam tertentu. Logam alkali, aluminium dan
magnesium bubuk tidak boleh berkontak dengan halogen dan karbontetraklorida,
karena akan bereaksi dengan hebat (Ingat peristiwa bom di Bali). Untuk
meminimalkan bahaya, maka diperlukan penanganan dalam hal pengangkutan
dan penyimpanan zat yang berisiko menimbulkan bahaya. Risiko ledakan atau
kebakaran harus dinyatakan secara jelas dengan tanda khusus pada kemasan atau
ruang penyimpanan.
2) Bahaya kebakaran dan penanggulangannya
Penggunaan air pada penanggulangan kebakaran mempunyai masalah
tersendiri. Berbagai zat kimia, bila bereaksi dengan air membebaskan gas yang
mudah terbakar (misalnya logam alkali natrium dan kalium, kalsiumkarbida). Bila
terkena air akan terurai dan membentuk gas beracun serta kalor dalam jumlah
besar (misalnya aluminium klorida, fosfortriklorida, dan fosfida). Uap dan gas
beracun dapat pula terbentuk pada kebakaran atau pada penanggulangan
kebakaran. Jika pada pembuatan kerangka kapal digunakan pembakar asetilen,
serta kapal dicat dengan zat warna yang mengandung timbal atau senyawa timbal,
akan sangat berbahaya kalau pekerjaan tersebut dilakukan dalam ruang tertutup.
3) Pembentukan produk toksik dalam lingkungan
Pada reaksi kimia antara zat-zat yang mencemari lingkungan, terdapat bahaya
timbulnya produk toksik, bahkan tanpa perlakuan apapun oleh manusia.
Contohnya adalah kabut fotokimia. Kabut terdiri dari zat yang terbentuk karena
interaksi nitrogen oksida dan hidrokarbon tertentu dengan oksigen, dibawah
pengaruh sinar matahari. Ozon dan peroksida organik merangsang selaput lendir
dengan sangat kuat. Hasil pembakaran industri dan mobil dapat berubah menjadi
kabut fotokimia pada kondisi cuaca tertentu, misalnya pada penyinaran oleh sinar
matahari dan tak ada angin. Contoh lain adalah berubahnya senyawa raksa
anorganik menjadi senyawa raksa organik oleh mikroorganisme, terutama metil
dan dimetil raksa (II). Karena senyawa raksa organik bersifat lipofil, maka akan
tertimbun dalam ikan dan anjing laut. Hal yang sama terjadi pada DDT, yang
menyebabkan terjadinya pemekatan sepanjang rantai makanan, dan
hewan/organisme yang ada pada ujung rantai ini akan terkena bahayanya.

4) Adsorbensia dalam Filter


Penggunaan adsorbensia dalam filter (termasuk filter pada topeng gas) juga
dapat dilihat sebagai interaksi zat selama fase eksposisi. Karena terdapat begitu
banyaknya racun yang berbeda-beda, maka tidak dapat digunakan filter universal.
Tergantung pada jenis uap atau gas racun yang mungkin terjadi, maka digunakan
filter tertentu yang ditandai dengan nomor atau warna.
5) Pembentukan produk toksik oleh kerja sistem biologik
Pembentukan senyawa metil dan dimetil raksa (II) yang relatif toksik
daripada raksa anorganik oleh mikroorganisme, serta pembentukan HCN dari
sianogen (misalnya, dari amigdalin dengan bantuan ludah) merupakan contoh
pembentukan produk toksik karena kerja sistem biologi. Contoh lain adalah
pembentukan asam sulfida yang toksik selama proses pembusukan. Pembentukan
nitrosamin karsinogenik pada reaksi antara nitrit dengan sejumlah amin pada pH
rendah, misalnya dalam lambung. Nitrit terdapat dalam produk-produk daging
dan dapat juga terjadi dari nitrat yang terdapat dalam air tanah dan sayur yang
pada penanamannya menggunakan pupuk yang mengandung N dalam jumlah
besar.
6) Peningkatan absorpsi racun oleh ikan
Untuk perlindungan lingkungan perlu diketahui bahwa ikan yang berkontak
dengan deterjen, akan menyebabkan absorpsi berbagai racun melalui insang ikan
tersebut diperbesar. Hal ini berarti bahwa pemeriksaan dengan zat tunggal untuk
menentukan batas toleransi akan dapat memberikan hasil yang salah, karena
toksisitas akan dapat sangat dipertinggi dengan adanya deterjen yang secara
praktis terdapat dalam semua air limbah.
b. Interaksi Selama Fase Toksikokinetik
Interaksi semacam ini akan meyebabkan naik atau turunnya konsentrasi zat dalam
plasma atau menyebabkan bertambah lama atau bertambah singkatnya obat/zat ada
dalam organisme. Berbagai zat, mulai dari zat kimia biasa sampai obat-obatan bahkan
komponen makanan dapat ikut ambil bagian disini.

1) Interaksi antara senyawa yang menginhibisi biotransformasi zat asing dengan zat
toksik
Inhibisi enzim yang berperan pada biotransformasi dapat menaikkan kerja
biologik suatu zat dan dengan demikian akan memperkuat efek toksiknya. Karena
sejumlah besar senyawa kimia yang masuk ke dalam organisme, pada
metabolismenya diuraikan oleh beberapa enzim yang sama, maka seringkali
terjadi interaksi pada proses enzimatiknya. Induksi enzim, disamping dapat timbul
karena insektisida (DDT) atau obat-obatan tertentu, juga dapat disebabkan oleh
zat kimia yang digunakan di industri.
2) Interaksi akibat reaksi pendesakan
Pendesakan zat toksik dari berbagai tempat ikatan, dapat mengubah distribusi
zat tersebut dalam jaringan, dan kerja toksik akan meningkat atau pada keadaan
tertentu juga dapat turun. Yang paling berarti adalah interaksi pada ikatan protein
plasma. Karena pendesakan suatu tokson dari tempat ikatannya pada protein
plasma, maka konsentrasinya dalam jaringan akan naik.
3) Interaksi kimiawi langsung
Berbagai antidot bekerja dengan melakukan interaksi dengan zat toksik yang
ada dalam tubuh. Jika pada keracunan secara oral digunakan emetika atau
laksansia (misalnya magnesium atau natrium sulfat), maka interaksi terjadi pada
peralihan dari fase eksposisi ke fase farmakokinetik. Contoh lain dari interaksi
kimiawi langsung ialah perubahan asam sianida menjadi asam rodanida dengan
pemberian tiosulfat, atau menciptakan terjadinya methemoglobinemia secara
sengaja dengan nitrit pada keracunan HCN. Tidak seperti hemoglobin,
methemoglobin mengikat HCN dan dengan demikian mencegah inhibisi sistem
redoks pada rantai pernapasan di dalam sel.
4) Cara mempengaruhi laju ekskresi
Pada ekskresi juga dapat terjadi interaksi, dan interaksi ini akan menyebabkan
perubahan laju ekskresi. Zat pengasam atau pembasa yang mengubah pH urin
akan dapat mempengaruhi laju ekskresi asam atau basa lemah. Pengaruh pada
ekskresi ini terjadi pada transpor pasif, artinya pada absorpsi ulang zat
bersangkutan dari urin melalui epitel tubulus masuk ke dalam plasma. Interaksi
pada proses angkutan aktif, antara lain dalam ginjal, terjadi jika suatu zat
mengusir zat lain dari sistem pengemban (carrier) yang berperan pada transpor
aktif. Produk konjugasi, yang terbentuk sebagai produk akhir metabolisme zat
asing dalam tubuh, pada umumnya diekskresi melalui transpor aktif. Karena
sistem transpor untuk ekskresi sangat terbatas untuk sejumlah zat, maka interaksi
pada transpor aktif sering terjadi.
c. Interaksi Selama Fase Toksikodinamik
Masuknya beberapa racun bersama-sama, yang cara kerjanya sangat berbeda satu
dari yang lainnya, seringkali mempertinggi risiko karena dengan kerja zat yang satu
tidak jarang kemampuan pertahanan tubuh berkurang hingga daya tahan tubuh
terhadap racun lainnya juga berkurang. Dalam hal ini terutama pada kerja
karsinogenik dan mutagenik, karena biasanya jika dua karsinogen atau dua mutagen
bekerja, akan terjadi sumasi (penjumlahan) dari kerja kedua zat tersebut. Juga kontak
sebelumnya dengan zat karsinogen atau mutagen patut diperhitungkan. Sumasi kerja
dapat pula terjadi pada kerusakan kronis yang terjadi sebelumnya. Contohnya,
perokok berat terutama rokok putih seringkali menderita bronkhitis kronis, dan patut
dipertanyakan apakah orang ini harus ditempatkan pada kedudukan dimana terjadi
rangsangan tambahan lagi bagi saluran napasnya. Pada umumnya setiap orang yang
bekerja pada suatu tempat yang mengharuskannya berkontak dengan zat yang dengan
cara apapun dapat menimbulkan kerusakan kronis, sebaiknya waktu kerja dibatasi.
Misalnya, setelah waktu eksposisi tertentu, diadakan pertukaran atau mutasi kerja.
Risiko keracunan di tempat pekerjaan akan lebih tinggi pada orang yang selalu
minum obat atau yang selalu merokok. Penggolongan interaksi toksikodinamik dari
zat aktif biologi dapat digunakan untuk mengenal dan mengatasi persoalan yang
timbul akibat pemakaian kombinasi beberapa zat. Pada kombinasi dua zat dapat
terjadi kemungkinan berikut: (1) kombinasi suatu zat aktif A dengan zat B yang tak
aktif akan tetapi dapat mengubah kerja zat A, dan (2) kombinasi dua zat, yang
keduanya aktif.
H. Cara Penamaan Obat
1. Menggunakan nama/bahasa latin
Dengan beberapa pengecualian, nama latin ditulis dalam bentuk tunggal dan
diperlukan sebagai kata benda netral deklinasi kedua.
Nama garam ditulis dengan menyebutkan unsure logam dalam bentuk genetif, di
ikuti nama bagian asam dalam bentuk nominative, baik dalam bentuk nominatif, baik
dalam jenis netral deklinasi kedua maupun dalam jenis maskulin deklinasi ketiga.
Untuk senyawa yang diturunkan dari asam yang tidak sesungguhnya kedua bagian
ditulis dalam nomatif dengan menyebutkan nama bagian asamnya diikuti nama unsure
logamnya. Misal: Paracetamol (Paracetamolum).
Perhatikan contoh berikut:
a. Acetaminophenum
b. Acidum Ascorbicum
c. Aethambubutoli Hydrochloridum
d. Isoniazidum
e. Pethdini Hydrochoridum
2. Menggunakan nama generic
Nama generik adalah nama obat yang sama dengan zat aktif berkhasiat yang
dikandungnya, sesuai nama resmi International Non Propietary Names yang telah di
tetapkan dalam Farmakope Indonesia. Contohnya: Parasetamol, Antalgin, Asam
Mefenamat, Amoksisilin, Cefadroxyl, Loratadine, Ketoconazole, Acyclovir, dan lain-
lain. Obat-obat tersebut sama persis antara nama yang tertera di kemasan dengan
kandungan zat aktifnya.
3. Menggunakan nama kimia
Obat pada waktu ditemukan diberi nama kimia yang menggambarkan struktur
molekulnya. Karena itu, nama kimia obat biasanya amat kompleks sehingga tak
mudah diingat orang awam. Untuk kepentingan penelitian acapkali nama kimia ini
disingkat dengan kode tertentu, misalnya PH 131. Setelah obat itu dinyatakan aman
dan bermanfaat melalui uji klinis, barulah obat tersebut di daftarkan pada Badan
Pengawasan Obat dan Makanan.
4. Menggunakan nama paten/nama dagang
Yang dimaksud obat paten/nama dagang adalah nama sediaan obat yang diberikan
oleh pabriknya dan terdaftar di departemen kesehatan suatu negara, disebut juga
sebagai merek terdaftar. Dari satu nama generik dapat diproduksi berbagai macam
sediaan obat dengan nama dagang yang berlainan misal: Pehamoxil (berisi :
Amoxicillin), Diafac (berisi : metformin) dll.
Nama dagang ini sering juga disebut nama paten. Perusahaan obat yang
menemukan obat tersebut dapat memasarkannya dengan nama dagang. Nama dagang
biasanya diusahakan yang mudah diingat oleh pengguna obat. Jadi, pada dasarnya obat
generik dan obat paten berbeda dalam penamaan, sedangkan pada prinsipnya
komposisi obat generik dan obat paten adalah sama.
Disebut obat paten karena pabrik penemu tersebut berhak atas paten penemuan
obat tersebut dalam jangka waktu tertentu. Selama paten tersebut masih berlaku, tidak
boleh diproduksi oleh pabrik lain, baik dengan nama dagang dari pabrik peniru
ataupun dijual dengan nama generiknya. Produksi obat generiknya baru dapat
dilakukan setelah obat nama dagang tersebut berakhir masa patennya. Jika pabrik lain
ingin menjual dengan nama generik atau dengan nama dagang dapat dilakukan dengan
mengajukan ijin lisensi dari pemegang paten. Obat nama dagang yang telah habis
masa patennya dapat diproduksi dan dijual oleh pabrik lain dengan nama dagang
berbeda yang biasa disebut sebagai me-too product (di beberapa negara barat disebut
branded generik) atau tetap dijual dengan nama generik.
I. Contoh Obat

Antidot Indikasi keracunan


Asetilsistein Parasetamol
Atropin sulfat organoforus Pestisida karbamat
Benztropin Obat penginduksi distonia
Bikarbonat,natrium Obat pemblok kanal natrium
Bromokriptin Sindrom Neuroleptik
Karnitin Hiperammonemia valproat
Dantrolen Hipertermia ganas
Deveroksamin Besi
Digoksin Glikosida jantung
Difenhidramin Obat penginduksi distonia
Dimerkaprol Raksa, Arsen
Etanol Metanol, etilen glikol
Fomepizol Metanol, etilen glikol
Flumazenil Benzodiazepin
Glukagon Antagonis adrenergik
Hidroksokobalamin hidroklorida Sianida
Insulin dosis tinggi Pemblok kanal kalsium

J. Bahan Kimia yang di Waspadai


Zat toksik dapat berasal dari berbagai macam sumber, salah satunya yaitu zat
toksik yang berasal dari bahan kimia. Toksisitas senyawa kimia sendiri didefinisikan
sebagai kemampuan senyawa kimia mengakibatkan bahaya terhadap metabolism jaringan
makhluk hidup. Racun yang berasal dari zat atau senyawa kimia dapat berada di dalam
lingkungan secara alamiah atau yang sengaja dibuat oleh manusia. Harus diakui bahwa
zat kimia beracun kebanyakan berasal dari aktivitas manusia dan meliputi berbagai aspek
kehidupan. Senyawa kimia beracun juga dapat hadir di dalam lingkungan secara alamiah.
Kehadiran zat kimia beracun alamiah di dalam lingkungan diasumsikan akan selalu
konstan, kecuali ditambah oleh aktivitas manusia seperti penambahan logam beracun
kedalam lingkungan oleh kegiatan-kegiatan industry dan kemajuan teknologi. Pengaruh
kehadiran berbagai jenis zat kimia beracun tersebut di dalam lingkungan mungkin dapat
diketahui dengan cepat,akan tetapi pengaru negative pada umumnya baru diketahui
setelah masuknya zat kimia tersebut dalam jangka waktu cukup lama.
Kehadiran zat kimia beracun alamiah mungkin dapat semakin meningkat atau
bahkan semakin menurun, tergantung kondisi lingkungan. Sebagai contoh, jumlah bakteri
dan jamur yang mengkotaminasi makanan saat ini mungkin semakin berkurang sesuai
dengan tersedianya peralatan yang dapat menjaga makanan terbebas dari bakteri dan
jamur. Akan tetapi perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini juga memungkinkan
akan munculnya species baru yang atahan terhadap berbagai kondisi anti bakteri dan anti
jamur baru yang sangat immun terhadap berbagai jenis kondisi dapat meningkatkan
jumlah racun alamiah di dalam lingkungan.

Beberapa senyawa kimia beracun alamiah dan pengaruh toksiknya terhadap makhluk
hidup yang suda diidentifikasi seperti pada tabeldi bawah ini:
N Pengaruh Toksik
Pasti Diduga
O Jenis zat toksik Kehadiran di dalam
1 Logam Pb, Hg, Air, makanan dan Inhibitor enzim, sel Karsigonenik,
As, Sb, Cu, Cr, debu atmisfer racun. Efekneurology.
Mn, Se, Ni.
2 Gas CO, NO2, Sedikit do atmosfer Iritasi pada paru-paru -
SO2, SO3. dan mata
3 Alkaloid, Pada sayuran,jumlah Efek toksik -
peptide, protein besar pada tumbuhan
sterol. beracun
4 Bakteri toksin Di dalam makanan Racun -
terkontaminasi
5 Jamur toksin Di dalam makanan Keracunan hati Karsinogenik
fermentasi
6 Radioaktif Di dalam udara, air Mutasi Karsinogenik,
(bukan senyawa) dan makanan dalam leukaemia.
jumlah kecil.

K. Hal-hal yang perlu diperhatikan


1. Dosis
Pada Ernst Mutchler ”Dinamika Obat”, 1991, Penerbit ITB Bandung, disebutkan
bahwa ”Semua zat adalah racun dantidak ada zat yang bukan racun; hanya dosislah
yang membuat suatu zat bukan racun. Hal ini berarti zat yang potensial belum tentu
menyebabkan keracunan. Hampir tiap individu dapat dideteksi sejumlah tertentu zat
seperti DDT dan timbal, tetapi zat-zat tersebut tidak menimbulkan reaksi keracunan
karena dosis yang ada masih berad dibawah konsentrasi toksik. Setelah dosis berada
pada dosis toksik maka zat tersebut dapat menimbulkan kercunan.
Hal yang sebaliknya, jika zat yang digunakan dalam jumlah yang besar maka
dapat menimbulkan kerusakan atau keracunan bagi tubuh, bahkan air sekalipun.
Karenanya perlunya pengetahuan yang mendasari tentang resiko toksisitas suatu zat.
Untuk keamanan pada penggunaan zat kimia perlu ditinjau data pada:
a. Bank data toksikologik dan data zat kimia baru sesuai dengan Technical Report
no. 586 dari WHO
b. Undang-undang tentang ketentuan uji toksisitas zat kimia baru di Amerika
Serikat, sebelum diperdagangkan (Toxic Substance Control Act = TOSCA)

Dosis terutama ditentukan oleh: Konsentrasi dan lamanya ekposisi zat. Racun
pada konsentrasi yang rendah tetapi terdapat kontak yang lama dapat menimbulkan
efek Tosik yang sama dengan zat yang terpapar pada konsentrasi tinggi dengan
waktu kontak yang singkat.

2. Perbedaan Kepekaan Seseorang


Faktor yang berpengaruh dalam hal ini adalah:
a. Umur, Contoh: tetrasiklin yang diberikan pada anak 1 (satu) tahun dapat
menyebabkan warna gigi menjadi coklat.
b. Jenis Kelamin, Contoh: Nikotin (seperti pada rokok) dimetabolisis secara
berbeda antara laki-laki dan perempuan.
c. Kehamilan, Penggunaan zat pada masa kehamilan dimana terjadi
perkembahan janin pada kandungan, dapat mempengaruhi dari kondisi
perkembangan organ yang terbentuk. Hal ini telah dijelaskan pada subbab
jenis-jenis respon yaitu pada pembahasan efek teratogenik.
d. Faktor lain, Faktor lain yang berpengaruh seperti kekurangan gizi makanan,
penggunaan obat-obatan, reaksi sensitifitas (alergi), dan kesehatan yang
menyeluruh.
3. Jangka Waktu dan Cara Meminum Obat
Berkaitan dengan penggunaan obat, ada banyak hal yang mesti kita ketahui
sebagai seorang yang ingin sembuh, kekurang telitian atau kesalahan karena
kurang patuh terhadap petunjuk atau saran mengenai penggunaan obat akan
berakibat fatal bagi penyembuhan kita dan berpengaruh pada produktifitas dalam
keseharian kita.
Diantara berbagai Informasi obat yang mesti kita sebagai pasien yang ingin
sembuh adalah waktu penggunaan obat. Mungkin ini hal biasa, namun bila kita
cermati berbagai kemungkinan yang berakibat buruk pada kita, maka kita akan
sadar betapa pentingnya Informasi waktu penggunaan obat ini diketahui oleh
mereka yang ingin sehat.
Dalam pemahaman awam masyarakat kita, waktu penggunaan obat yang
diketahuinya adalah sebelum ataukah sedudah makan. Akan tetapi itu hanyalah
salah satu dari sekian banyak aspek yang harus diperhatikan serorang pasien
dalam meminum obat. Berikut adalah pertimbangan lainnya:
a. Interval pemberian obat, acapkali kita menganggap pemberian obat 2 kali
sehari artinya pagi dan sore, begitu pula dengan 3 kali sehari artinya pagi,
siang dan malam. Ternyata paradigma ini telah ditinggalkan oleh karena
berkembangnya ilmu farmasis, sehingga 2 kali sehari tidak lagi dianggap pagi
dan sore melainkan obat diminum tiap 12 Jam sekali, begitu pula dengan 3
kali sehari tidak lagi dianggap pagi, siang dan malam melainkan obat
diminum tiap 8 Jam sekali.
Jadi waktu meminum obat bisa dilakukan kapan saja, yang mesti kita lakukan
adalah menghitung waktu obat pertama kali disesuaikan dengan yang kedua
dan seterusnya. Pengetatan ini berpengaruh pada Index terapi obat, Index
terapi dimaksudkan kadar obat dalam tubuh berada pada rentang terapi untuk
mengobati suatu penyakit.
Gimana kalau berdekatan atau berjauhan sekali? ada dua kemungkinan yang
terjadi kalau berdekatan menyebabkan kadar obat dalam darah akan tinggi,
pada obat-obatan tertentu akan menyebabkan hal yang fatal misalnya syok dll.
Yang kedua bila jarak meminum obat berjauhan maka efek menyebuhkannya
akan lama. Sedangkan efek obt optimal bisa dicapai apabila ada kontinuitas
kadar obat yang terjaga pada index terapi terus menerus. Tanpa di perpendek
ataupun diperpenjang waktu meminumnya.
b. Sebelum atau sesudah makan arti dari istilah ini, bahwa obat diminum
sebelum makan dengan asumsi pada saat sebelum makan, di
dalam lambung (perut) tidak terdapat makanan dengan kata lain pada saat
lambung kosong kira-kira 1-2 jam sebelum makan, sedangkan bahwa obat
diminum sesudah makan dengan asumsi pada saat sesudah makan, lambung
dalam keadaan berisi makanan kira-kira 2 jam setelah makan.
Adanya tidaknya makanan di lambung ini penting karena akan mempengaruhi
absorbsi (penyerapan) obat dalam tubuh yang akan berpengaruh pada efek
obat yang optimal untuk menyembuhkan suatu gejala atau suatu penyakit.
Misalnya obat-obatan yang baik diminum sebelum makan seperti tetrasiklin,
ampinsilin, eritromisin, PCT, dll, dan obat-obatan yang baik diminum setelah
makan seperti obat-obatan untuk epilepsi (Fenitoin), untuk radang (asetosal,
diklofenak, piroxicam, dexametason), untuk hipertensi (propanolol), dll.
c. Berpengaruhnya terhadap lambung, meski jadi pertimbangan karena golongan
obat-obat tertentu akan mengiritasi lambung bila pemakaiaanya tidak
diperhatikan. Obat-obatan ini biasanya obat golongan asam, kortikosteroid
atau golongan non steroidal anti inflamatori drugs (NSAID). Oleh karena itu
diusahakan obat-obatan ini diminum pada saat ada makanan dilambung. Jika
tidak di indahkan, apalagi orang dengan penyakit maag, maka akan
memperparah sakit maagnya.
d. Pengaruh dengan makanan tertentu, obat-obatan tertentu akan kurang berefek
atau tidak sama sekali bila dalam meminum obat juga memakan makanan
yang dapat berinteraksi dengan obat menyebabkan akan terbentuk suatu
senyawa baru yang senyawa tersebutsukar di absorbsi oleh tubuh. Misalnya
Tetrasiklin bersamaan diminum dengan susu, atau makanan lain yang
mengandung kalsium, akan menyebabkan efek dari tetrasiklin berkurang,
contoh lain obat penambah darah, jika dimunum dengan susu, teh, atau kopi
akan menyebabkan absorbsi dari obat tambah darah akan berkurang.
e. Waktu tepat meminum obat, beberapa obat meski diberikan pada waktu-waktu
tertentu, yang menjadi pertimbangan adalah keluarnya zat-zat tertentu dalam
tubuh pada waktu tertentu (fisiologi), dan pertimbangan kesibukan dari kita.
Misalnya obat-obatan anthipertentsi misalnya golongan diuretik
(Hidroclortiazid, Furosemid, spirinolakton), obat ini akan menyebabkan
pasien sering kekamar kecil, sehingga obat-obatan ini baik diberikan pada
waktu bagi hari. Obat-obatan Kolesterol misalnya simvastatin baik diminum
pada malam hari karena pada waktu ini, metabolisme tubuh dalam keadaan
stabil. Obat-obatan Diabetes Melitus (DM) misalnya Metformin,
glibenklamid, dll. baik diberikan pada pukul 4-6 pagi karena pada waktu itu
sensitifitas Insulin sangat baik. Obat-obatan anemia misalnya Fe sulfat dll.
Baik diberikan pada waktu malam hari, efek obat-obatan ini lebih besari 3-4
kali dibandingkan dengan diberikan pada waktu siang hari.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan
dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya
mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang
cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi
toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan
kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi
pemaparan.
DAFTAR PUSTAKA

Istiantoro, Y., V, Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.

Katzung,B., Trevor., J. A. (2009). Buku Bantu Farmakologi. jakarta: EGC.

Tambunan, T. (2012). FORMULARIUM SPESIALISTIK ILMU KESEHATAN ANAK. In T.


Tambunan, L. Rundjan, H. I. Satari, E. Windiastuti, D. H. Somasetia, & M. Kadim (Eds.).
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Wirasuta, I. M. A. G., & Niruri, R. (2006). BUKU AJAR TOKSIKOLOGI UMUM. BALI:
JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM UNIVERSITAS UDAYANA.

Anda mungkin juga menyukai