Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH TOKSIKOLOGI

RACUN YANG MELALUI PERNAPASAN

OLEH :

KELOMPOK 7

1. TITIK ERLIYAH (P27834117050)


2. DIAN NATA WULANSARI (P27834117060)
3. HERLINA RIZKI PRIANITA (P27834117073)
4. PUJI RAHMANIA (P27834117078)
5. HERWIN DWI PURWANTO (P27834117091)
6. AGUS PRASETIYO (P27834117084)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


PRODI ALIH JENJANG DIV ANALIS KESEHATAN

TAHUN AJARAN 2017-2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Toksikologi Racun Yang Melalui

Pernafasan”.

Penyusunan makalah ini adalah merupakan salah satu tugas kelompok dari

mata kuliah Toksikologi yang ditujukan agar mahasiswa dapat memahami dan

mengerti tentang “Toksikologi Racun Yang Melalui Pernafasan”.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon dengan rendah hati agar pembaca

berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan

penulisan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Surabaya, April 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Toksikologi dan Racun .......................................................... 5
2.2 Toksisitas Inhalasi ...................................................................................... 6
2.3 Fase Eksposisi ............................................................................................ 7
2.3.1 Eksposisi Melalui Jalur Inhalasi ...................................................... 8
2.4 Fase Toksokinetik ...................................................................................... 9
2.4.1 Absorpsi Xenobiotika Melalui Saluran Napas ................................ 11
2.5 Fase Toksodinamik .................................................................................... 12
2.5.1 Mekanisme Kerja Toksik Pada Fase Toksodinamik ........................ 13
2.6 Prinsip Pengobatan Pada Kasus Keracunan ............................................... 15
2.6.1 Mencegah Atau Menghambat Absorbsi .......................................... 16
2.6.2 Mempercepat Eliminasi .................................................................. 17
2.6.3 Pemberian Antidotum ..................................................................... 17

BAB 3 KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia

(Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas atau

kerusakan atau cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang

diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja

efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan

mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme.

Toksikologi pernapasan meningkat ditinjau dari proses modernisasi yang akan

menaikan konsumsi sehingga produksi juga harus meningkat, dengan demikian

industrialisasi dan penggunaan energi akan meningkat yang tentunya akan

meningkatkan resiko toksikologis.

Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi

yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang

meningkat. Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas

lingkungan yang mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi

juga akan meningkat.

Inhalasi adalah proses pernapasan atau inspirasi udara ke dalam paru-paru

yang melalui saluran napas atas (rongga hidung, nasofaring, orofaring, dan

laringofaring) dan bawah (laring, trakea, bronkhi, paru-paru. Toksikologi Inhalasi

adalah proses atau jalan masuknya zat-zat beracun ke dalam tubuh melalui proses

pernapasan.

1
Kejadian yang terjadi di lapangan terkait paparan inhalasi dapat menyebabkan

efek yang dapat merugikan bagi kesehatan. Ini adalah kejadian dari penelitian

observai mengenai para pekerja yang bekerja di sekitar bahan kimia tertentu atau

di pertambangan dan pabrik pengolahan bijih seperti peleburan logam, fabrikasi

logam, serta manufaktur dan pemanfaatan bahan kimia dan petrokimia yang

tentunya membawa dampak kesehatan bagi para pekerja.

Keracunan dapat terjadi karena tidak adanya pemahaman yang mendalam

untuk memberikan respon yang sesuai dengan intensitas paparan agen kimia

tertentu yang dapat membahayakan bila salah penanganan. Toksidan spesifik

dikaitkan dengan efek samping spesifik, seperti paparan dalam pekerjaan dan

lingkungan dari timbale (Pb) dan neuropati (Grant 2009; Fischbein and Hu, 2007),

merkuri (Hg) dan neurotoksisitas (Grandjean and Nielsen 2009, Goldman 2007),

karbon monoksida (CO) sebagai penyebab hipoksia dan penyakit jantung iskemik

(Kleinman, 2009)

Kebanyakan penyakit akibat kerja disebabkan oleh menghirup bahan-bahan

kimia yang digunakan di dalam industri maupun yang terdapat di udara

lingkungan kerja dan hampir semua bahan toksik dapat dihisap. Bahan toksik

yang masuk melalui saluran pernapasan menuju paru-paru akan diserap oleh

alveolus paru-paru.

Paru-paru adalah organ yang sangat kaya darah untuk memfasilitasi

penyerapan oksigen dan memungkinkan penyerapan cepat zat racun langsung ke

dalam aliran darah. Setelah berada dalam aliran darah, dengan cepat menghasilkan

efek toksik.

Jumlah seluruh senyawa beracun yang diabsorbsi atau diserap melalui saluran

pernapasan, bergantung dari kadarnya di udara, lamanya waktu pemajanan, dan

2
volume aliran udara dalam paru-paru yang dapat naik setiap beban kerja menjadi

lebih besar.

Apabila bahan beracun juga dalam bentuk aerosol, maka pengendapan dan

penyerapan dapat terjadi dalam saluran pernapasan. Hal inilah yang dapat

membahayakan tubuh dan dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian toksikologi dan racun?

2. Apa pengertian toksisitas inhalasi?

3. Apa pengertian fase eksposisi?

4. Apa pengertian fase toksokinetik?

5. Apa pengertian fase toksodinamik?

6. Bagaimana cara pencegahan toksikologi racun yang melalui pernapasan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian toksikologi dan racun

2. Mengetahui pengertian toksisitas inhalasi.

3. Mengetahui pengertian fase eksposisi.

4. Mengetahui pengertian fase toksokinetik.

5. Mengetahui pengertian fase toksodinamik.

6. Mengetahui cara pencegahan toksikologi racun yang melalui pernapasan.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Bagi Mahasiswa

Dapat menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang toksikologi

khususnya racun yang menyerang pernapasan.

3
3. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi bacaan tentang berbagai penyebab keracunan

yang dapat menyerang pernapasan beserta cara-cara pencegahannya. Terutama

bagi para pekerja maupun masyarakat sekitar yang hidup dan bekerja di area yang

terpapar bahan-bahan kimia.

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Toksikologi dan Racun

Toksikologi merupakan studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan

dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang

penilaian secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajan serta

efek yang di timbulkannya. Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat

didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai

bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga

membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut

sehubungan dengan terpejannya terhadap makhluk hidup.

Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak

akan dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk

biotransformasinya mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi

dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik. Faktor utama

yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemajanan

terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam tubuh, jangka waktu

dan frekuensi pemaparan.

Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya

dibagi dalam empat kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk

manusia pemaparan akut biasanya terjadi karena suatu kecelakaan atau disengaja,

dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja terutama di lingkungan industri-

industri kimia.

5
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek

dari dua atau lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan

menghasilkan suatu respons yang mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan

antagonistik. Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek secara

bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal dengan hubungan dosis-

respons.

Apabila zat kimia dikatakan beracun maka kebanyakan diartikan sebagai

zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi

tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh:

dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau

sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang

ditimbulkan.

2.2 Toksisitas Inhalasi

Toksisitas inhalasi adalah cabang ilmu dalam toksikologi, yang membahas

tentang teknis kompleksitas bagaimana suatu bahan beracun yang terhirup pada

konsentrasi yang tepat dapat menyebabkan keracunan. Itu dapat terjadi

disebabkan berbagai peralatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan, mengelola,

dan kemudian membuang limbah udara itu menggunakan metode yang tidak

simpel, namun juga sangat mahal. Salah satu bentuk penanggulangan dampak

toksisitas inhalasi yaitu pemberian intranasal yang semakin sering digunakan.

dalam hal ini, kendaraan yang digunakan dapat menjadi penyebab iritasi epitel

hidung, sehingga mengorbankan penyerapan.

Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses

fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini

umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi, toksokinetik

6
dan toksodinamik. Dalam menelaah interaksi xenobiotika atau tokson dengan

organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: kerja

xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme terhadap xenobiotika. Yang

dimaksud dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu senyawa

kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek toksodinamik).

Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika atau tokson umumnya dikenal

dengan fase toksokinetik.

2.3 Fase Eksposisi

Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika,

pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik atau

farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Dalam fase ini terjadi kontak antara

xenobiotika dengan organisme atau dengan lain kata, terjadi paparan xenobiotika

pada organisme. Paparan ini dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan

(inhalasi) atau penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme

(injeksi).

Jika suatu objek biologik terpapar oleh sesuatu xenobiotika, maka, kecuali

senyawa radioaktif, efek biologik atau toksik akan muncul, jika xenobiotika

tersebut telah terabsorpsi menuju sistem sistemik. Umumnya hanya xenobiotika

yang terlarut, terdistribusi molekular, yang dapat diabsorpsi. Dalam hal ini akan

terjadi pelepasan xenobiotika dari bentuk farmaseutikanya.

Penyerapan xenobiotika sangat tergantung pada konsentrasi dan lamanya

kontak antara xenobiotika dengan permukaan organisme yang berkemampuan

untuk mengaborpsi xenobiotika tersebut. Dalam hal ini laju absorpsi dan jumlah

xenobitika yang terabsorpsi akan menentukan potensi efek biologik atau toksik.

7
2.3.1 Eksposisi Melalui Jalur Inhalasi.

Pemejanan xenobiotika yang berada di udara dapat terjadi melalui penghirupan

xenobiotika tersebut. Tokson yang terdapat di udara berada dalam bentuk gas,

uap, butiran cair, dan partikel padat dengan ukuran yang berbeda-beda. Disamping

itu perlu diingat, bahwa saluran pernafasan merupakan sistem yang komplek,

yang secara alami dapat menseleksi partikel berdasarkan ukurannya. Oleh sebab

itu ambilan dan efek toksik dari tokson yang dihirup tidak saja tergantung pada

sifat toksisitasnya tetapi juga pada sifat fisiknya.

Gambar 2.4: Skema saluran pernafasan manusia.

Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus,

serta acini paru-paru, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan

alveoli. Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus,

serta acini paru-paru, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan

alveoli (lihat gambar 2.4).

Nasofaring berfungsi membuang partikel besar dari udara yang dihirup,

menambahkan uap air, dan mengatur suhu. Umumnya partikel besar ( > 10 μm)

8
tidak memasuki saluran napas, kalau masuk akan diendapkan di hidung dan

dihilangkan dengan diusap, dihembuskan dan berbangkis. Saluran trakea dan

bronkus berfungsi sebagai saluran udara yang menuju alveoli. Trakea dan bronki

dibatasi oleh epiel bersilia dan dilapisi oleh lapisan tipis lendir yang disekresi dari

sel tertentu dalam lapisan epitel. Dengan silia dan lendirnya, lapisan ini dapat

mendorong naik partikel yang mengendap pada permukaan menuju mulut.

Partikel yang mengandung lendir tersebut kemudian dibuang dari saluran

pernafasan dengan diludahkan atau ditelan.

Namun, butiran cairan dan partikel padat yang kecil juga dapat diserap

lewat difusi dan fagositosis. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke

dalam sistem limfatik. Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran

limfatik. Partikel-partikel yang dapat terlarut mungkin diserap lewat epitel ke

dalam darah. Alveoli merupakan tempat utama terjadinya absorpsi xenobiotika

yang berbentuk gas, seperti carbon monoksida, oksida nitrogen, belerang dioksida

atau uap cairan, seperti bensen dan karbontetraklorida. Kemudahan absorpsi ini

berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah, dan dekatnya

darah dengan udara alveoli. Laju absorpsi bergantung pada daya larut gas dalam

darah. Semakin mudah larut akan semakin cepat diabsorpsi.

2.4 Fase Toksokinetik

Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah

xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan

xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka

xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke

seluruh tubuh dan ke reseptor. Pada saat yang bersamaan sebagian molekul

9
xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal,

melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya.

Proses biologik yang terjadi pada fase toksokinetik umumnya

dikelompokkan ke dalam proses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dari

absorpsi, transpor, dan distribusi, sedangkan evesi juga dikenal dengan eleminasi.

Absorpsi suatu xenobiotika adalah pengambilan xenobiotika dari permukaan

tubuh (termasuk juga mukosa saluran cerna) atau dari tempat-tempat tertentu

dalam organ ke aliran darah atau sistem pembuluh limfe.

Apabila xenobiotika mencapai sistem sirkulasi sistemik, xenobiotika akan

ditranspor bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. WEISS (1990) membagi

distribusi ke dalam konveksi (transpor xenobiotika bersama peredaran darah) dan

difusi (difusi xenobiotika di dalam sel atau jaringan). Sedangkan eliminasi (evesi)

adalah semua proses yang dapat menyebabkan penurunan kadar xenobiotika

dalam sistem biologi / tubuh organisme, proses tersebut reaksi biotransformasi

dan ekskresi. Sederetan proses tersebut sering disingkat dengan ADME, yaitu:

1. Adsorpsi

2. Distribusi

3. Metabolisme

4. Eliminasi.

Proses absorpsi akan menentukan jumlah xenobiotika (dalam bentuk aktifnya)

yang dapat masuk ke sistem sistemik atau mencapai tempat kerjanya. Jumlah

xenobiotika yang dapat masuk ke sistem sistemik dikenal sebagai ketersediaan

biologi / hayati. Keseluruhan proses pada fase toksokinetik ini akan menentukan

menentukan efficacy (kemampuan xenobiotika mengasilkan efek), efektifitas dari

xenobiotika, konsentrasi xenobiotika di reseptor, dan durasi dari efek farmako

10
dinamiknya. Farmakokinetik dapat juga dipandang suatu bidang ilmu, yang

mengkaji perubahan konsentrasi (kinetika) dari xenobiotika di dalam tubuh

organisme sebagai fungsi waktu. Secara umum toksokinetik menelaah tentang laju

absorpsi xenobiotika dari tempat paparan ke sistem peredaran darah, distribusi di

dalam tubuh, bagaimana enzim tubuh memetabolismenya, dari mana dan

bagaimana tokson atau metabolitnya dieliminasi dari dalam tubuh.

2.4.1 Absorpsi Xenobiotika Melalui Saluran Napas

Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru,

terutama berlaku untuk gas (seperti karbon monoksida, oksida nitrogen, dan

belerang oksida) dan juga uap cairan (seperti benzen dan karbon tetraklorida).

Sistem pernapasan mempunyai kapasitas absorpsi yang tinggi. Absorpsi ini

berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli, laju aliran darah yang cepat, dan

dekatnya darah dengan udara alveoli.

Absorpsi pada jalur ini dapat terjadi melalui membran ”nasal cavity” atau

absorpsi melalui alveoli paru-paru. Kedua membran ini relatif mempunyai

permeabilitas yang tinggi terhadap xenobiotika. Sebagai contoh senyawa

amonium quarterner, dimana sangat susah diserap jika diberikan melalui jalur

oral, namun pada pemberian melalui ”nasal cavity” menunjukkan tingkat

konsentrasi di darah yang hampir sama dibandingkan dengan pemakaian secara

intravena.

Luas permukaan alveoli yang sangat luas, ketebalan diding membran yang

relatif tipis, permeabilitas yang tinggi, laju aliran darah yang tinggi, dan tidak

terdapat reaksi ”first-pass-efect” merupakan faktor yang menguntungkan proses

absorpsi xenobiotika dari paru-paru. Namun pada kenyataannya jalur eksposisi ini

sedikit dipillih dalam uji toksisitas dari suatu xenobiotika, dikarenakan :

11
1. Kesulitan mengkuantisasikan dosis yang terserap

2. Partikel dengan ukuran tertentu akan terperangkap oleh rambut silia

atau lendir dimana selanjutnya dibuang melalui saluran cerna, sehingga

absopsi justru terjadi melalui saluran cerna.

3. Senyawa volatil (mudah menguap) pada umumnya melalui jalur ini

terabsorpsi sebagian, bagian yang tidak terabsorsi akan dihembuskan

menuju udara bebas, hal ini tidak seperti jalur eksposisi saluran cerna.

2.5 Fase Toksodinamik

Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat

kerja toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul

efek toksik atau farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan

interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan

fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya

(reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-

balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini

didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana

terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan

perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari

xenobiotika, seperti pembentukan peroksida.

Dalam fase toksodinamik atau farmakodinamik akan membahas interaksi

antara molekul tokson atau obat pada tempat kerja spesifik, yaitu reseptor dan

juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya timbul efek toksik atau

terapeutik. Kerja sebagian besar tokson umumnya melalui penggabungan dengan

makromolekul khusus di dalam tubuh dengan cara mengubah aktivitas biokimia

dan biofisika dari makromolekul tersebut. Makromolekul ini sejak seabad dikenal

12
dengan istilah reseptor, yaitu merupakan komponen sel atau organisme yang

berinteraksi dengan tokson dan yang mengawali mata rantai peristiwa biokimia

menuju terjadinya suatu efek toksik dari tokson yang diamati. Interaksi tokson -

reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini

mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika

tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang

terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan

subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika

dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersifat.

irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari

suatu perubaran kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida.

Terbentuknya peroksida ini mengakibatkan luka kimia pada substrat

biologi. Efek irrevesibel diantaranya dapat mengakibatkan kerusakan sistem

biologi, seperti: kerusakan saraf, dan kerusakan sel hati (serosis hati), atau juga

pertumbuhan sel yang tidak normal, seperti karsinoma, mutasi gen. Umumnya

efek irreversibel akan menetap atau justru bertambah parah setelah pejanan tokson

dihentikan. Pada umumnya semakin tinggi konsentrasi akan meningkatkan

potensi efek dari obat tersebut, untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bahasan

hubungan dosis dan respon. Jika konsetrasi suatu obat pada jaringan tertentu

tinggi, maka berarti dengan sendirinya berlaku sebagai tempat sasaran yang

sebenarnya, tempat zat tersebut bekerja. Jadi konsentrasi suatu tokson/obat pada

tempat kerja ”tempat sasaran” umumnya menentukan kekuatan efek biologi yang

dihasilkan.

13
2.5.1 Mekanisme Kerja Toksik Pada Fase Toksodinamik

Hanya sebagian kecil dari jumlah zat yag diserap tubuh dapat mencapai

tempat kerjanya, yaitu jaringan yang sesuai. Fase toksodinamika meliputi

interaksi antara molekul racun dengan reseptor yang kemudian memacu sederetan

reaksi kimia yang pada akhirnya menimbulkan efek. Semua racun mempunyai

dasar reaksi interaksi tersebut. Kerusakan pada taraf molekul akibat kerja toksik

disebut lesi primer. Bila takaran racun yang diserap kecil kerusakan terbatas pada

beberapa sel saja dan suatu organ dapat tetap menjalankan fungsi normalnya,

tetapi bila telah banyak sel yang rusak menyebabkan organ tersebut tidak lagi

dapat memenuhi fungsinya. Pada keadaan demikian biasanya keracunan atau kerja

toksik akan terlihat. Contoh mekanisme kerja tosik pada beberapa senyawa :

Senyawa racun Lesi primer Stimulan Efek Efek toksik

Nitrit Oksidasi Blokade Kekurangan oksigen Pusing, tekanan


ferrohemoglob transport jaringan darahturun,kelum
in menjadi oksigen puhan pernafasan
futhemoglobin
Pestisida Menghambat Stimulasi Kontraksi berlebihan Muntah, diare
pospat organik enzim berlebihan jaringan otot
kolinestrerase jaringan otot

Berikut ini beberapa mekanisme kerja toksik :

1. Iritasi kimia berlangsung pada jaringan. Contoh, asam sulfat ekat

2. Interaksi dengan fungsi umum sel, menyebabkan gangguan transport

oksigen dan zat makan pada saraf pusat oleh eter atau khloroform

menimbulkan efek anestesi. Interaksi menimbulkan paralisis seperti yang

ditimbulkan oleh alaloida kurare dan toksin botulisme.

14
3. Interaksi dengan sistem enzim, menyebabkan proses biokimia terganggu,

padahal proses tersebut sangat penting dalam kehidupan normal.

Contohnya, interaksi pospat organik dengan enzim kolinesterase,

menimbulkan pemupukan asetikolin di ujung saraf parasimpatik,

menimbulkan rangsangan berlebihan jaringan otot.

4. Interaksi dengan hemoglobin menganggu transport oksigen ke jaringan,

seperti yang terjadi pada ikatan dengan CO membentuk karboksi-

hemoglobin dan aksidasi oleh nitrit menjadi methemeglobin.

5. Reaksi hipersensitif, terjadi karena kontak ulang dengan suatu zat. Kontak

pertama zat tadi berperan sebagai antigen, terjadi reaksi antigen-antibodi

menimbulkan reaksi hipersensitif.

6. Kerusakan jaringan, yang ditandai dengan degenerasi sel bersama-sama

dengan pembentukan vakuola besar, penimbunan lemak dan nekrosis.

Efek demikian sering terjadi di hati dan ginjal, di antaranya karena

pengaruh khloroform dan karbontetrakhlorida.

2.6 Prinsip Pengobatan Pada Kasus Keracunan

Pada dasarnya pengobatan korban keracunan tidak berbeda dengan

pengobatan penderita penyakit pada umumnya, karena itu pertolongan keracunan

hanya dibenarkan dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan. Terhadap orang

awam, pertolongan yang boleh dilakukan adalah membawa korban ke dokter atau

rumah sakit terdekat.

Pengobatan keracunan pada prinsipnya meliputi, mengurangi atau

mencegah sebesar-besarnya absorbsi keracunan atau dekontaminasi, mempercepat

ekskresinya, memberi antidotum yang sesuai atau menetralkan efek racun dan

15
mengurangi atau menghilangkan gejala yang ditimbulkannya. Tanpa

memperhatikan jenis racun, usaha pencegahan atau penghambatan penyerapan

racun dan mempertinggi ekskresinya, merupakan hal yang penting dilakukan

karena dapat menurunkan kadar racun dalam tubuh, sedangkan pemberian

antidotum dan pengobatan gejalanya amat ditentukan oleh jenis racun tersebut.

2.6.1 Mencegah Atau Menghambat Absorbsi

Bila keracunan terjadi karena korban menghitup uap beracun, maka

korban harus secepatnya dibawa ke tempat yang udaranya bersih. Jika penyerapan

racun melalui kulit, kulit segera dibilas dengan air hangat dan sabun. Bila zat yang

merangsang masuk mata, maka segera organ tersebut dicuci dengan air atau

larutan natrium bikarbonat 2% bila zat itu bersifat asam, atau larutan asam borat

2% bila zat tadi bersifat basa. Mata harus dicuci selama 5-10 menit sebelum

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada keracunan per oral, upaya untuk

menghambat absorbsi racun dalam saluran cerna dapat dilakukandengan

pembesihan saluran itu, pemberian zat pengabsorbsi dan atau zat yang dapat

menetralkan atau menginaktifkan racun secara kimiawi. Dua macam zat tersebut

terakhir termasuk antidotum

Khusus untuk racun yang tertelan masuk saluran cerna, racun dikeluarkan

dari saluran tersebut dengan cara memuntahkan, bilas lambung atau pemberian

laksansia. Memuntahkan atau bilas lambung dilakukan bila diperkirakan racun

masih ada di lambung. Dalam upaya pembersihan itu digunakan cairan pencuci,

berupa air, suspensi arang aktif, suspensi antidotum universal, atau larutan zat

tertentu dalam air, untuk lebih mempercepat pembersihan racun.

Memuntahkan dapat dilaksanakan dengan cara menyentuh dinding rongga

mulut bagian belakang atau dengan pemberian larutan garam. Pemberian ernetika

16
kadang diperlukan bila upaya sederhana itu tidak berhasil, ernetika yang

digunakan misalnya sirup ipekak atau injeksi apomorfin. Dalam kondisi tertentu,

upaya memuntahkan tidak dibenarkan yaitu :

1. Kesadaran penderita berkurang

2. Kejang

3. Korban menelan cairan minyak tanah atau yang jenisnya lebih ringan

daripada cairan lambung, karena dikhawatirkan cairan tersebut masuk

saluran pernafasan

4. Racun yang tertelan berisifat korosif, seperti fenol, asam kuat dan basa

kuat, karena dikhawatirkan merusak dinding lambung.

Racun yang telah mencapai usus halus dikeluarkan dengan pemberian

pencahar atau laksansia. Digunakan magnesium sulfat atau natrium sulfat dengan

takaran 10 gm/100 ml air, agar-agar atau parafin cair. Pemberian pencahar tidak

dibenarkan bila ada keluhan sakit perut.

2.6.2 Mempercepat Eliminasi

Racun yang telah beredar dalam cairan tubuh dapat dipercepat

eliminasinya dengan menghasilkan ekskresi racun. Hal ini dapat dilakukan

diuretik paksa dengan menggunakan cairan garam fisiologis atau cairan infus

secara intra vena, dialisa peritoneal, hemodialisaatau transfusi penukar.

2.6.3 Pemberian Antidotum

Antidotum menetralkan racun dengan cara kimia atau fisika sehingga

mencegah penyerapannya oleh tubuh. Antidotum demikian diberikan waktu

memuntahkan atau bilas lambung. Bila penyebab keracunan tidak diketahui dapat

diberikan :

17
Jenis racun Antidotum
Asam Ca-hidroksida, Na-Bikarbonat
Basa Air jeruk, Asam cuka
Alkaloida Tingkur Iodium
Oksalat Air kapur

Apabila racun tidak diketahui, dapat diberikan :

Jenis racun Antidotum


Morfin Nalokson, Nalorfin
Bartiburat Amfetamin, Kofein, Strikhnin
Pestisida Pospat Organik Atropin
Kokain Bartiburat

18
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia.

Selain itu, toksikologi tidak hanya mempelajari efek dari racun, tetapi juga

mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia

yang merugikan terhadap organisme.

Kebanyakan penyakit akibat kerja disebabkan oleh menghirup bahan-

bahan kimia yang digunakan di dalam industri maupun yang terdapat di udara

lingkungan kerja dan hampir semua bahan toksik dapat diisap. Bahan toksik yang

masuk melalui saluran pernapasan menuju paru-paru akan diserap oleh alveolus

paru-paru, kondisi ini disebut toksisitas inhalasi. Toksisitas inhalasi terbagi

menjadi 3 fase, yaitu: fase eksposisi, toksokinetik dan toksodinamik

Salah satu bentuk penanggulangan dampak toksisitas inhalasi yaitu

pemberian intranasal yang semakin sering digunakan, mengurangi atau mencegah

sebesar-besarnya absorbsi keracunan atau dekontaminasi, mempercepat

ekskresinya, memberi antidotum yang sesuai atau menetralkan efek racun dan

mengurangi atau menghilangkan gejala yang ditimbulkannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Chi Chen, Lung and Morton Lippmann. 2016. Inhalation Toxicology Methods:
The Generation and Characterization of Exposure Atmospheres and
Inhalational Exposures. Curr Protoc Toxicol. National Institute of Health:
63: 24.4.1–24.4.23. doi:10.1002/0471140856.tx2404s63. New York:
Nelson Institute of Environmental Medicine, New York University School
of Medicine
Dario, S.Apt. 2014. Toksikologi: Analisa Pada Kasus Keracunan. Sidoarjo:
Universitas Ma’arif Hasyim Latif
Gilbert, Steven G. 2012. A Small Dose Of Toxicology: The Health Effect of
Common Chemicals Second Edition. United States: Healthy World Press.
Rachmawati, Aisyah. 2013. Jenis-Jenis Toksikologi. Malang: Universitas Negeri
Malang
Woolley, Adam. 2008. A Guide For Practical Toxicology: Evaluation, Prediction
And Risk Second Edition. New York: Informa Healthcare USA, Inc.
Wirasuta, I Made dan Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum FA 324620. Bali:
Fakultas MIPA Universitas Udayana.

20

Anda mungkin juga menyukai