Anda di halaman 1dari 27

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Adiksi

2.1.1 Pengertian Adiksi

Adiksi adalah kondisi yang kompleks, suatu penyakit otak yang dimanifestasikan oleh

penggunaan zat secara kompulsif meski dengan konsekuensi merugikan (APA, 2017). Berbagai

istilah telah digunakan selama bertahun-tahun untuk merujuk pada penyalahgunaan zat. Dalam

ketergantungan perilaku, aktivitas pencarian zat dan bukti terkait pola penggunaan patologis telah

ditekankan, sedangkan ketergantungan fisik mengacu pada efek fisik (fisiologis) dari beberapa

episode penggunaan zat. Ketergantungan psikologis, juga disebut habituasi, ditandai oleh hasrat

terus-menerus atau sebentar-sebentar (yaitu keinginan kuat) untuk penggunaan zat untuk

menghindari keadaan disforik. Ketergantungan perilaku, fisik, dan psikologis adalah ciri khas

gangguan penggunaan zat (Sadock, dkk., 2015).

Menurut definisi terbaru yang diajukan oleh American Society of Addiction Medicine

(ASAM), adiksi bukan hanya perilaku tapi juga penyakit otak kronis. Adiksi meliputi (A)

ketidakmampuan untuk secara konsisten menjauhkan diri; (B) gangguan dalam pengendalian

perilaku; (C) keinginan atau peningkatan untuk obat-obatan atau pengalaman berharga; (D)

berkurangnya pengakuan akan masalah yang signifikan dengan perilaku dan hubungan

interpersonal seseorang; dan (E) disfungsi respons emosional (Sdrulla, dkk., 2014).

Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap hal-hal tertentu

yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang mengalaminya. Dalam adiksi, terdapat

tuntutan dalam diri untuk menggunakan secara terus menerus dengan disertai peningkatan dosis

terutama setelah terjadinya ketergantungan secara psikis dan fisik serta terdapat pula

11
12

ketidakmampuan untuk mengurangi dan/atau menghentikan meskipun sudah berusaha keras

(Pramuditya , 2015).

2.1.2 Patofisiologi Adiksi

Dopamin adalah salah satu dari sejumlah neurotransmitter yang ditemukan di sistem saraf

pusat. Dopamin memiliki peran dalam pengaturan mood dan proses motivasi dan sistem imbalan.

Meskipun ada beberapa sistem dopamin di otak, sistem dopamin mesolimbik tampaknya paling

penting untuk proses motivasi. Beberapa zat adiktif menghasilkan efek ampuh pada perilaku

dengan meningkatkan aktivitas dopamin mesolimbik. Peneliti telah lama mengaitkan adiksi

dengan perubahan neurotransmiter di otak, dan beberapa ahli teori berpendapat bahwa semua

adiksi, terlepas dari berbagai jenis (seks, makanan, alkohol, internet), dapat dipicu oleh perubahan

otak yang serupa. Berbagai adiksi ini mungkin memiliki efek yang sama terhadap aktivitas spesifik

di otak, seperti daerah tegmental ventral, lokus ceruleus dan nucleus accumbens (Sadock, dkk.,

2015).

Gangguan otak pada adiksi sebagai akibat dari paparan berulang suatu zat atau

pengulangan aktivitas tertentu yang dapat meningkatkan pelepasan neurotransmiter dopamin pada

sirkuit dopaminergik mesokortikolimbik sehingga menimbulkan efek reward. Peningkatan

pelepasan dopamin secara abnormal berulang mendorong terjadinya neuroadaptasi yang

mengubah fungsi sirkuit tersebut yang termanifestasi dalam bentuk perilaku kompulsif yang khas

pada kondisi adiksi. Nyeri kronis dan stres diketahui merupakan faktor resiko dalam kerentanan

akan terjadinya adiksi (Tanamal , 2016).

Faktor kepribadian, sosial, dan genetik mungkin juga penting, namun efek zat pada sistem

saraf pusat (SSP) tetap menjadi faktor penentu adiksi zat. Faktor nonfarmakologis cenderung

penting dalam mempengaruhi penggunaan awal zat dan dalam menentukan seberapa cepat adiksi

12
13

berkembang. Untuk beberapa zat, faktor nonfarmakologis dapat berinteraksi dengan tindakan

farmakologis obat untuk menghasilkan penggunaan zat kompulsif (Young, dkk., 2011).

Penelitian telah membuktikan bahwa perilaku dan karakteristik dari seseorang yang

mengalami adiksi internet serupa dengan judi patologis atau gangguan ketergantungan zat (Zhang,

dkk., 2015). Kebanyakan perilaku impulsnya mulai dari loop ventral dari sistem motivasi dan

beberapa dari perilaku pindah ke bagian dorsal yang artinya dari perilaku impulsif menjadi

kompulsif. Informasi ini juga berasal dari hipokampus, amigdala dan area lain dari prefrontal

cortex (Stahl, 2013).

2.2 Adiksi Internet

2.2.1 Pengertian Adiksi Internet

Definisi adiksi internet diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Ivan Goldberg pada

tahun 1995. Adiksi internet digambarkan sebagai suatu keadaan patologis atau gangguan karena

terlalu sering menggunakan internet termasuk berbagai perilaku dan pengendalian impuls dalam

menggunakan internet. Seperti yang terjadi pada penyalahgunaan zat, adiksi internet adalah

kebiasaan patologis yang sulit untuk dihapus karena sangat terkait dengan pencarian kesenangan

dan kebahagiaan (Salicetia, 2015).

Adiksi internet ditandai dengan preokupasi yang berlebihan atau kurangnya kontrol,

keinginan, dan/atau perilaku penggunaan internet yang mengakibatkan gangguan atau tekanan di

beberapa kehidupan penting (Salicetia, 2015). Menurut Young (2011) adiksi internet adalah

masalah perilaku yang mirip dengan judi patologis yang dapat didefinisikan sebagai gangguan

kontrol impuls yang tidak melibatkan konsumsi minuman keras dan zat psikoaktif (Young, dkk.,

2011).

13
14

Menurut American Psychiatric Association (APA) tahun 2010 adiksi internet didefinisikan

sebagai ketidakmampuan untuk mengendalikan penggunaan internet yang menyebabkan

konsekuensi negatif dalam kehidupan sehari-hari. Istilah penggunaan internet kompulsif,

penggunaan internet patologis, masalah penggunaan internet dan sebagainya, biasanya

dipertimbangkan sebagai sinonim dari adiksi internet, meskipun terdapat perbedaan (Jie, dkk.,

2014).

Block dalam Pontes (2015) mendefinisikan adiksi internet sebagai spektrum gangguan

obsesif kompulsif yang melibatkan pola penggunaan komputer secara daring maupun luring (luar

jaringan [offline]) secara berlebihan yang menimbulkan gejala ketergantungan, toleransi dan

dampak negatif (Pontes, dkk., 2015).

2.2.2 Prevalensi adiksi internet

Tingkat prevalensi untuk adiksi internet bervariasi antara 0,8% sampai 26,7% dengan laki-

laki biasanya memiliki tingkat adiksi internet yang lebih tinggi daripada perempuan dan remaja

dilaporkan lebih tinggi daripada orangtua. Gangguan afektif dan kecemasan, telah dikaitkan

dengan adiksi internet. Adiksi internet tampaknya terkait dengan gangguan mental pada remaja

dan orang dewasa. Gejala komorbiditas kegelisahan dan adiksi internet ditemukan pada remaja

dan orang dewasa. Peningkatan tingkat stres pada orang dewasa dan peristiwa kehidupan yang

penuh tekanan pada remaja telah dikaitkan dengan adiksi internet (McNicol & Thorsteinsson,

2017).

Remaja laki-laki memiliki tingkat adiksi internet yang lebih tinggi daripada perempuan,

hal ini dimanfaatkan dalam sebuah penelitian yang melibatkan populasi remaja untuk

14
15

membandingkan perbedaan jenis kelamin pada adiksi internet. Remaja laki-laki menggunakan

internet sebagai sarana sosial atau sebagai dasar hubungan interpersonal. Sebagian besar penelitian

di bidang ini biasanya menunjukkan perempuan yang mencari persahabatan jarak dekat dan lebih

memilih komunikasi anonim. Studi ini menemukan bahwa penggunaan internet merupakan

pengganti interaksi sosial kehidupan nyata. Intervensi, program pengobatan, strategi pencegahan

dapat dirancang secara khusus mengingat perbedaan kedua jenis kelamin (Waldo, 2014).

Sebuah studi menunjukkan bahwa kemungkinan bagi laki-laki untuk adiksi internet lebih

besar karena menggunakan internet untuk kepuasan pribadi dan perempuan lebih menyukai

komunikasi sosial. Aktivitas seks internet, perjudian dan perilaku permainan daring kebanyakan

menyebabkan adiksi pada laki-laki, sedangkan adiksi internet pada perempuan sebagian besar

cenderung melakukan internet chatting dan belanja secara daring. Dengan demikian, temuan

Young menunjukkan bahwa obrolan mayoritas dilakukan oleh perempuan dan pornografi internet

dilakukan oleh laki-laki. Penelitian oleh Frangos dkk. (2010) menyebutkan dengan menggunakan

stratified random sampling untuk memilih 1876 siswa Yunani dikatakan bahwa kesenangan dan

waktu luang merupakan alasan utama penggunaan internet bagi laki-laki, dan tujuan interaksi

pembelajaran dan interaksi sosial yang menandakan penggunaan primer bagi perempuan (Adiele

& Olatokun, 2014).

2.2.3 Neuropsikologi adiksi internet

China Youth Association for Network Development (CYAND) mengemukakan untuk

pertama kalinya standar untuk memutuskan adiksi internet memiliki satu prasyarat dan tiga

kondisi. Prasyaratnya adalah bahwa adiksi internet itu harus membahayakan fungsi sosial dan

komunikasi interpersonal seorang individu. Seorang individu akan diklasifikasikan sebagai

pecandu internet selama memenuhi salah satu diantara tiga kondisi berikut : (1) individu akan

15
16

merasa bahwa lebih mudah mencapai aktualisasi diri dibanding dalam kehidupan nyata; (2)

individu akan mengalami disforia atau depresi bilamana akses ke internet terputus atau berhenti

berfungsi; (3) individu berusaha menyembunyikan waktu penggunaan sebenarnya dari anggota

keluarganya (Young & Nabuco de Abreu, 2017).

Gambar 2.1 Neuropsikologi adiksi internet (Young, dkk., 2011).

Penjelasan kaitan neuropsikologi adiksi internet adalah :

1) Dorongan Primitif : Naluri seseorang untuk mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit,

yang mewakili berbagai motif dan dorongan untuk menggunakan internet.

2) Pengalaman euphoria : Aktivitas internet merangsang sistem saraf pusat individu, yang akan

merasa bahagia dan puas. Perasaan akan mendorong individu untuk terus menggunakan

internet dan memperpanjang euforia. Begitu adiksi terbentuk, pengalaman euforia akan segera

berubah menjadi kebiasaan dan mati rasa

3) Toleransi : Akibat penggunaan internet secara berulang, ambang sensorik individu meningkat;

Untuk mencapai pengalaman bahagia yang sama, pengguna harus meningkatkan waktu dan

hasratnya. Toleransi tingkat tinggi adalah batu loncatan untuk adiksi internet dan hasil

penguatan pengalaman euforia mengenai internet

16
17

4) Reaksi Abstinen : Sindrom fisik dan psikologis terjadi saat individu berhenti atau setelah

mengalami gangguan penggunaan internet, terutama meliputi disforia, insomnia,

ketidakstabilan emosional dan mudah tersinggung

5) Koping Pasif : Perilaku pasif mengakomodasi bentuk lingkungan begitu individu dihadapkan

dengan frustrasi atau menerima efek samping dari luar, termasuk perilaku pasif seperti

imputasi kejadian buruk, pemalsuan kognisi, dan penindasan, pelarian, dan agresi yang

terbentuk.

6) Avalanche effects (Efek longsoran) : Mencakup pengalaman pasif yang terdiri dari reaksi

toleransi dan abstinen, dan dorongan gabungan yang terdiri dari gaya koping pasif individual

berdasarkan dorongan primitif individu.

Ketika menelaah dorongan primitif terkait adiksi, banyak penelitian yang berasal dari

perilaku otak berkaitan dengan ketergantungan kimiawi (Young & Nabuco de Abreu, 2017).

Interaksi antara faktor lingkungan, faktor psikologis (cemas, gangguan pemusatan perhatian dan

hiperaktivitas (GPPH), depresi) dan genetik merupakan hal yang sangat penting berperan untuk

adiksi internet. Anak dan remaja yang terlibat aktivitas internet mencoba memecahkan masalah,

menghindari stres atau koping perasaan yang tidak menyenangkan seperti cemas atau depresi

(Chang & Hung, 2012). Adiksi internet kemudian akan berkembang selama proses ini.

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi adiksi internet

Faktor-faktor yang terkait dengan adiksi internet antara lain faktor keluarga (fungsi

keluarga dan pola asuh), faktor sosial ekonomi, faktor kepribadian dan jenis kelamin.

1) Faktor keluarga

Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan keluarga seperti hubungan dalam keluarga

terbukti memainkan peran dalam adiksi internet di Korea, menunjukkan bahwa, terutama

17
18

untuk remaja, kurangnya lingkungan keluarga yang mendukung dan komunikatif dapat

memperburuk penggunaan internet. Pola pengasuhan negatif atau perilaku dan gangguan

keluarga memainkan peran penting dalam orang yang adiksi internet. Pola asuh orangtua yang

diterapkan pada anak serta pola komunikasi diantara keduanya berbeda-beda pada setiap

keluarga. Hurlock (1994) membagi pola asuh orangtua ke dalam tiga tipe, yaitu tipe otoriter,

tipe permisif, dan tipe demokratis. Pola asuh otoriter adalah tipe pola asuh dimana orangtua

menetapkan sebuah standar yang mutlak harus dituruti serta biasanya disertai dengan

ancaman, paksaan, dan hukuman. Komunikasi pada pola asuh otoriter cenderung bersifat satu

arah dimana orangtua biasanya tidak mendengarkan umpan balik dari pihak anak.

Berkebalikan dengan pola asuh otoriter yang mengikat, orangtua dengan tipe pola asuh

permisif biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar, dimana terkadang orangtua

tipe ini bahkan cenderung mengabaikan anaknya. Orangtua dengan tipe pola asuh permisif

sangat sedikit dalam memberikan bimbingan kepada anak mereka, sehingga komunikasi juga

jarang terjadi diantara keduanya. Tipe pola asuh demokratis merupakan tipe orangtua yang

memberikan kebebasan kepada anaknya namun disaat yang bersamaan tidak ragu-ragu untuk

mengendalikan mereka. Aturan-aturan yang terdapat dalam keluarga dengan tipe pola asuh

demokratis dibuat dengan melibatkan orangtua dan anak-anak dimana komunikasi diantara

keduanya bersifat dua arah dan hangat. Ketiga tipe pola asuh ini akan memiliki pengaruh yang

berbeda-beda pada perkembangan remaja. Baumrind (dalam Damon & Learner, 2006)

menyatakan bahwa orangtua dengan pola asuh otoriter akan menghasilkan anak-anak yang

penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menantang, suka melanggar norma, dan

penuh dengan kecemasan. Anak-anak yang dididik dengan pola asuh permisif akan memiliki

karakter yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, dan kurang

18
19

percaya diri. Anak-anak dengan pola asuh demokratis akan menjadi anak-anak yang mandiri,

memiliki kontrol diri yang baik, mampu menghadapi stres, mampu mengekspresikan

keinginan secara jelas, dan memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya

(Kartika & Budisetiyani, 2018). Ko dkk. menemukan bahwa munculnya adiksi internet bisa

diprediksi dengan rendah fungsi keluarga (Yao,dkk., 2014). Kurangnya dukungan keluarga

dan sosial merupakan faktor penting untuk memprediksi adiksi internet. Fungsi keluarga yang

baik dapat memberikan dukungan yang cukup bagi anak mereka. Beberapa ahli telah

melaporkan bahwa setelah penggunaan internet, terjadi peningkatan dukungan sosial yang

dirasakan secara signifikan. Beberapa anak yang belum menerima dukungan dari keluarga

atau sosial yang cukup cenderung menggunakan internet untuk mengisi kesendiriannya

(Chen, dkk., 2015).

2) Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi juga berperan dalam hubungan adiksi internet dan masalah emosi dan

perilaku. Faktor sosial ekonomi meliputi pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga dan

pekerjaan kedua orangtua. Keluarga berpenghasilan rendah dengan jumlah anak yang banyak

sangat sulit untuk mengalokasikan anggaran untuk perangkat teknologi dan memiliki

kecenderungan memiliki berbagai masalah dalam kehidupan. Anak lebih cenderung beralih

ke internet jika kedua orangtua bekerja hal inilah yang dapat menyebabkan adiksi internet dan

masalah psikologis pada anak (Kayri & Günüç, 2016)

3) Faktor kepribadian

19
20

Sebagian besar studi tentang adiksi internet berfokus terutama pada faktor internal dan

individu yang dapat mempengaruhi individu dalam penggunaan internet yang bermasalah.

Misalnya, faktor kepribadian seperti introversion, psychoticism, dan neuroticism sangat

terkait dengan adiksi internet (Yao, dkk., 2014). Kuss, Griffiths dan Binder (2013)

mempelajari hubungan antara aktivitas internet dan dimensi kepribadian pada 2257

mahasiswa universitas Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3,2% dari siswa (1,2%

untuk laki-laki dan 1,9% untuk perempuan) diklasifikasikan sebagai adiksi internet dan bahwa

tingginya kepribadian neuroticism dan rendahnya kepribadian agreeableness dikombinasikan

dengan belanja daring dan aktivitas sosial menggunakan internet meningkatkan kemungkinan

menjadi adiksi internet. Lebih jauh lagi, neuroticism dan belanja daring menurunkan risiko

adiksi internet, tetapi permainan daring dan openness terhadap pengalaman meningkatkan

resiko adiksi internet (Matos, dkk., 2016).

4) Jenis kelamin

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lie dkk (2014) di China yang mengemukakan

bahwa secara signifikan laki-laki lebih cenderung mengalami adiksi internet daripada

perempuan. Banyak penelitian melaporkan perbedaan jenis kelamin berkaitan dengan

motivasi untuk menggunakan internet. Laki-laki cenderung mengalami perilaku yang lebih

adiktif saat bermain permainan daring atau menjelajahi fantasi seksual secara daring,

sedangkan perempuan lebih cenderung berkomunikasi dengan teman-teman yang tertutup dan

tidak dikenal secara daring dengan tujuan membagikan perasaan dan emosi mereka. Liang

dkk (2016) melakukan penelitian pada 1715 remaja di China didapatkan hasil laki-laki dan

perempuan memiliki waktu yang sama dalam menggunakan internet, tetapi perbedaan

signifikan ditemukan dalam tujuan penggunaan internet antara laki-laki dan perempuan

20
21

dimana laki-laki lebih cenderung berselancar internet untuk mencari kesenangan sedangkan

perempuan lebih senang menggunakan internet untuk mencari informasi. Ini menunjukkan

bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pola perilaku dan motivasi yang berbeda dalam

menggunakan internet (Liang, dkk., 2016).

2.2.5 Jenis adiksi internet

Berdasarkan American Center for Online Addiction, secara umum adiksi internet telah

diidentifikasi menjadi lima jenis sebagai berikut :

1. Cyber Sexual Addiction. Orang kecanduan mengunduh, menggunakan dan memperdagangkan

materi pornografi cyber dan mereka juga sangat sering terlibat dalam perbincangan dewasa,

terobsesi dengan cybersex dan materi pornografi cyber.

2. Cyber Relationship Addiction. Orang kecanduan terlalu banyak terlibat dengan hubungan

dunia maya dan mereka bahkan dapat terjebak dalam perzinahan dunia maya. Termasuk juga

Social Network Addiction. Semua komunitas virtual dimana orang dapat membuat profil

publik atau semi-publik. Facebook adalah jaringan sosial paling terkenal dengan 60 jutaan

pengguna yang terus berkembang.

3. Net Gaming Addiction. Ini mencakup berbagai perilaku seperti perjudian, videogame, belanja

dan e-trading obsesif.

4. Information Overload. Juga dikenal sebagai kecanduan informasi yang berlebihan.

Banyaknya informasi di internet menciptakan perilaku kompulsif baru yang terkait dengan

berselancar web atau pencarian basis data. Orang kecanduan menggunakan lebih banyak

waktu untuk mencari dan mengatur data. Kecenderungan obsesif-kompulsif dan pengurangan

produktivitas kerja yang terkait dengan jenis kecanduan.

21
22

5. Computer Addiction. Di tahun 80-an, permainan komputer seperti Solitaire dan Minesweeper

yang diprogram ke dalam komputer dan peneliti menemukan bahwa perilaku obsesif

permainan komputer menjadi bermasalah dalam organisasi (Salicetia, 2015).

2.2.6 Kriteria adiksi internet

Block dalam Weinstein dkk (2013) mengemukakan empat komponen penting awal yang

diusulkan untuk menegakkan diagnosis adiksi internet pada DSM-5: (1) penggunaan internet yang

berlebihan, sering dikaitkan dengan hilangnya rasa waktu atau mengabaikan kebutuhan dasar; (2)

withdrawal, termasuk perasaan marah, ketegangan, dan/atau depresi saat komputer tidak dapat

diakses; (3) toleransi, termasuk kebutuhan untuk peralatan komputer yang lebih baik, perangkat

lunak yang lebih banyak, atau waktu penggunaan yang lebih lama; dan (4) konsekuensi yang

merugikan, termasuk suka membantah, berbohong, prestasi di sekolah yang buruk, kelelahan

(fatigue) dan isolasi sosial (Weinstein, dkk., 2013).

Adiksi internet awalnya diusulkan untuk dimasukkan dalam DSM-5 namun belum

diakui sebagai gangguan; Internet Gaming Disorder termasuk dalam DSM-5 bagian ketiga sebagai

pertimbangan yang memerlukan studi lebih lanjut (Weinstein, dkk., 2013).

Gejala perilaku yang paling penting mencirikan adiksi internet adalah:

1. Kebutuhan untuk menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan internet untuk

mendapatkan kepuasan.

2. Kurangnya ketertarikan terhadap semua kegiatan kecuali internet.

3. Ketika adiksi berkurang atau terganggu, mengalami agitasi psikomotor, kecemasan, depresi,

berpikir obsesif tentang apa yang terjadi di internet, gejala khas ketergantungan.

22
23

4. Kebutuhan untuk log on ke internet lebih banyak dan lebih sering dan untuk jangka waktu

lebih panjang dibandingkan dengan apa yang direncanakan sebelumnya.

5. Ketidakmampuan untuk mengganggu atau tetap di bawah kontrol penggunaan internet.

6. Membuang waktu yang berkaitan dengan aktivitas internet

7. Menjaga menggunakan internet meskipun kesadaran sehat, masalah psikologis sosial.

Dari segi perilaku kognitif, beberapa penulis mengatakan bahwa beberapa persepsi salah

yang diamati pada orang adiksi internet antara lain:

a) Terdistorsi pikiran tentang diri dan dunia.

b) Terdistorsi persepsi tentang pengalaman tidak mampu, ketidakamanan, kepercayaan diri yang

rendah dan masalah hubungan.

Penelitian yang dilakukan Salicetia dkk (2015) telah menunjukkan bahwa orang adiksi

mungkin memiliki gangguan kepribadian seperti gangguan mood, kecemasan, dan dyscontrol

impuls. Sehubungan dengan masalah kesehatan, orang yang adiksi memiliki gangguan tidur, sakit

kepala (headache), Carpal Tunnel Syndrome, mata lelah, kebiasaan makan yang buruk (Salicetia,

2015).

2.2.7 Instrumen Pengukuran Adiksi Internet

Berbagai jenis instrumen telah dikembangkan untuk menegakkan diagnosis adiksi

internet. Beberapa instrumen mengacu pada DSM IV-TR dengan ketergantungan zat dan

gangguan judi patologis (Li, dkk., 2014). Beberapa contoh alat ukur yang dipakai adalah Internet

Addiction Test (IAT) yang sudah valid untuk mengukur ketergantungan internet yang

dikembangkan oleh DR. Kimberly Young pada tahun 1998 (Young, dkk., 2011).

Telah dilakukan penelitian pada siswa di Amerika dengan memberikan tingkat respons

sebesar 70% (Jelenchick, dkk., 2012). IAT juga memiliki bukti yang valid dan reliabel untuk

23
24

penapisan adiksi internet pada remaja di Cina dengan hasil reabilitas 0,781 dengan koefisien

validasi 0,255 sampai 0,653 (Lai, dkk., 2013). Kuesioner ini juga telah divalidasi pada siswa SMA

negeri di Denpasar dengan angka reabilitas sebesar 0,851 dengan koefisien validasi 0,235 sampai

0,822. Kuisioner ini terdiri dari 20 aitem pertanyaan yang mengukur ringan, menengah dan

beratnya tingkat adiksi internet pada seseorang.

2.2.8 Dampak adiksi internet

Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa adiksi internet terjadi pada masa remaja.

Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai

perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial (Batubara, 2016).

Menurut Cobb (2001), tahapan remaja dibagi menjadi remaja awal (early adolescence) dan remaja

akhir (late adolescence). Remaja awal berada pada usia 11- 15 tahun sedangkan remaja akhir

berada pada usia 16-19 tahun (Fellasari & Lestari, 2017). Menurut Konopka (2014) masa remaja

ini meliputi (a) remaja awal : 12-15 tahun; (b) remaja madya : 15-18 tahun; dan (c) remaja akhir :

19-22 tahun. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial baik dalam

lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Yusuf, 2014). Kemkominfo menyebutkan 80%

pengguna internet di Indonesia adalah remaja yang berusia 15-19 tahun, pada usia ini sebagian

remaja merupakan siswa-siswi SMA dimana kecenderungan untuk menggunakan internet semakin

besar baik untuk menunjang kebutuhan sekolah maupun di luar sekolah. Dampak negatif pada

penggunaan dan adiksi internet pada remaja antara lain:

1. Dampak Pada Perkembangan Fisik

Interaksi remaja dengan internet banyak mengurangi aktivitas gerak karena konsep dari

internet adalah memudahkan kehidupan manusia sehingga akan banyak mengurangi dalam

bergerak. Saat ini dalam beraktivitas para remaja sudah banyak menggunakan perantara

24
25

internet. Hal tersebut menyebabkan perkembangan fisik remaja yang terlalu dipapar oleh

internet banyak mengalami penurunan kualitas fisik. Contohnya problem visual seperti

kelelahan mata, sakit kepala bahkan penglihatan kabur karena remaja lebih rentan daripada

orang dewasa terhadap cahaya dan radiasi yang dipancarkan oleh internet. Selain itu obesitas

pada remaja dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan hormonal dan metabolisme yang

akan menggiring terjadinya serangan jantung prematur.

2. Dampak Pada Perkembangan Emosi dan Sosial

Pada remaja, perkembangan emosi tidak lepas dari interaksinya dengan lingkungan sosial.

Bila lingkungan sosial yang ada di sekeliling remaja berupa lingkungan sosial yang virtual

dan tidak pada kenyataannya, perkembangan emosi remaja cenderung tidak adekuat karena

umpan balik dari lingkungan virtual dapat diatur sesuai kehendak remaja sedangkan umpan

balik dari lingkungan nyata belum tentu sesuai dengan kehendak remaja.

3. Dampak Pada Perkembangan Inteligensi

Beberapa ahli mengulas tentang pengaruh internet dalam perkembangan inteligensi karena

internet sudah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah ataupun

sekolah. Greenfield menelaah lebih dari 50 studi tentang dampak internet terhadap remaja,

hasil menunjukkan bahwa media seperti internet dapat membatasi beberapa aspek

keterampilan mental, namun juga membantu meningkatkan keterampilan mental dengan cara

lain. Remaja yang menggunakan internet secara berlebihan memiliki kecenderungan

mengalami hambatan dalam rentang perhatian, kebutuhan melakukan stimulasi secara segera

(tidak sabar), dan rasa kebingungan dalam identitas. Selain itu internet juga berdampak pada

penalaran kritis karena hampir semua informasi telah tersedia sehingga remaja menjadi kurang

terampil dan cenderung untuk berkonsentrasi hanya pada satu hal untuk jangka waktu yang

25
26

lama dan menyulitkan remaja memecahkan masalah yang membutuhkan waktu pendek dan

kompleks (Surilena, 2016).

4. Dampak Pada Fungsi Kognitif

Davis (2001) mengusulkan model perilaku kognitif pada adiksi internet berfokus pada apa

yang digambarkan sebagai pemikiran maladaptif sebagai penyebab utama penggunaan internet

patologis. Pikiran ini tumbuh dari psikopatologi yang mendasarinya. Psikopatologi ini (yaitu

depresi, kecemasan sosial, ketergantungan zat), ditambah dengan pengalaman yang kuat dalam

berinternet berkembang menjadi perilaku maladaptif yang mempertahankan perilaku

berlebihan dan perilaku bermasalah lainnya (Rooij & Prause, 2014).

Beberapa faktor kognitif telah ditemukan terkait dengan penggunaan internet

bermasalah. Sun dkk dalam Feder dkk (2013) menemukan bahwa adiksi internet dikaitkan

dengan defisit dalam pengambilan keputusan. Sebuah studi menunjukkan bahwa gangguan

kemampuan kontrol eksekutif relevan untuk memahami adiksi internet. Park dkk. dalam feder

dkk (2013) juga menemukan penurunan kinerja terkait perhatian di antara individu yang

memiliki adiksi internet untuk jangka waktu yang lebih lama (Feder, dkk., 2013).

5. Dampak Pada Perkembangan Moral

Dampak dalam perkembangan moral terutama terjadi karena pemaparan pada situs-situs yang

banyak mengandung unsur pornografi dan kekerasan. Banyak kasus di Indonesia tentang

kekerasan dan kejahatan seksual pada remaja, baik pelaku maupun korbannya adalah remaja

akibat paparan terhadap situs internet yang tidak dikontrol oleh orangtua maupun orang

dewasa lain yang bertanggung jawab terhadap perkembangan remaja di Indonesia. Dampak

negatif dalam perkembangan moral juga dapat terjadi karena adanya kesempatan untuk

mengunduh isi situs tanpa ijin (Surilena, 2016).

26
27

2.3 Masalah Emosi dan Perilaku

2.3.1 Pengertian emosi dan perilaku

Menurut Sarwono (2014), emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang

disertai nuansa afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas

(mendalam). Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada

saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu. John B Watson mengemukakan bahwa ada

tiga pola dasar emosi yaitu takut, marah, dan cinta (fear, anger and love). Ketiga jenis emosi

tersebut menunjukkan respons tertentu pada stimulus tertentu pula, tetapi kemungkinan terjadi

pula perubahan (Yusuf, 2014).

Para ahli mengemukakan istilah emosi untuk menggambarkan berbagai fenomena

termasuk respons fisiologis terhadap rangsangan emosional, penilaian kognitif terhadap perasaan

dan cara orang menanggapi imbalan. Terdapat empat jenis emosi yang disebut emosi dasar yaitu:

kebahagiaan, kesedihan, kemarahan dan kecemasan (Stringaris, 2015).

Perilaku manusia adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Secara operasional

perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar

subjek tersebut. Perilaku dapat diartikan sebagai suatu aksi reaksi organisme terhadap

lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan

reaksi yakni yang disebut rangsangan. Rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau

perilaku tertentu. Perilaku dapat juga diartikan sebagai aktivitas manusia yang timbul karena

adanya stimulasi dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung

(Notoatmodjo, 2011)

Perilaku adalah seluruh aktivitas atau kegiatan yang bisa dilihat ataupun tidak pada diri

seseorang sebagai hasil dari proses pembelajaran. Dalam teori perilaku yang dikemukakan oleh

27
28

Skinner bahwa perilaku adalah hasil dari hubungan antara stimulus dan respons pada diri

seseorang. Dengan demikian Skinner membedakan perilaku menjadi dua respons, antara lain:

a. Perilaku yang alami (Innate Behaviour) adalah respons yang dihasilkan oleh rangsangan-

rangsangan tertentu. Biasanya respons yang dihasilkan bersifat relatif tetap, contoh: orang

akan tertawa apabila mendengar kabar gembira atau lucu, sedih jika mendengar musibah,

kehilangan.

b. Perilaku operan (Operant Behaviour) adalah respons yang dihasilkan apabila diberikan

stimulus berupa penguatan. Tujuan dari penguatan ini supaya respons yang dihasilkan

berikutnya semakin bagus dan berkembang (Hermawan, 2011).

Menurut Notoatmodjo (2011), dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku

dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

a) Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau

reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau

kesadaran dan sikap yang terjadi pada seseorang yang menerima stimulus tersebut, dan

belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b) Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang

dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

2.3.2 Masalah Emosi Dan Perilaku

Studi tentang psikopatologi anak telah mendukung pembagian dua kategori dari masalah

emosi dan perilaku yaitu masalah internalisasi dan eksternalisasi pada populasi anak dan remaja.

28
29

Gangguan yang paling sering dimasukkan dalam masalah internalisasi mencakup karakteristik

kecemasan dan ketakutan yang terkait dengan gangguan depresi mayor (major depressive

disorder, MDD), gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder, GAD), gangguan

cemas perpisahan (separation anxiety disorder, SAD), gangguan panik (panic disorder, PD) dan

fobia. Baru-baru ini, para peneliti telah menemukan bahwa walaupun faktor internalisasi dan

eksternalisasi dipandang sebagai dua hal yang berbeda, tetapi juga dapat berkorelasi (Wilmshurst,

2015).

Masalah eksternalisasi diarahkan ke luar dan melibatkan perilaku, kecerobohan dan

ketidakpatuhan (Holland, dkk., 2017). Menurut definisinya, masalah internalisasi lebih bersifat

rahasia dan karena itu seringkali lebih sulit untuk dideteksi dan dinilai. Penelitian telah

menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki emosi yang tidak teratur mengalami peningkatan

risiko untuk masalah internalisasi, menunjukkan kesulitan mengekspresikan emosi mereka secara

tepat, terutama emosi negatif, seperti kemarahan atau kesedihan dan lebih cenderung mengalami

depresi daripada rekan mereka yang tanpa masalah pengaturan emosi (Wilmshurst, 2015).

Masyarakat Asia seperti di Cina, Jepang, Korea, dan Taiwan, anak-anak yang

menampilkan perilaku agresif dan mengganggu sering dikritik dan dipermalukan oleh orang lain

di lingkungan publik. Evaluasi sosial negatif seperti mempermalukan dapat membuat anak

menjadi agresif, mengganggu, dan antisosial kemudian berkembang mengalami kesulitan

psikologis seperti depresi. Hal ini konsisten bahwa agresif berhubungan positif dengan perasaan

kesepian melalui mediasi hubungan teman sebaya pada anak-anak Cina. Selain itu perilaku

eksternalisasi diprediksi secara positif memiliki masalah emosional termasuk depresi (Garber &

Rao, 2014).

29
30

Perkembangan masalah internalisasi, terutama depresi, di kalangan remaja dengan masalah

perilaku telah dikaitkan dengan konflik interpersonal mereka yang sering terjadi (misalnya dengan

orang tua, teman sebaya, guru, dan polisi) dan pelaku lainnya (misalnya, disfungsi keluarga,

kegagalan sekolah). Banyaknya tumpang tindih antara gangguan perilaku dan masalah

internalisasi dapat dikaitkan dengan gangguan sikap menentang yang terjadi bersama-sama. Secara

khusus, kehadiran gejala gangguan sikap menentang yang marah dan mudah tersinggung dapat

membantu menunjuk sekelompok anak dengan gangguan perilaku yang memiliki masalah dalam

pengaturan emosi, yang dapat menempatkan mereka pada risiko tertentu untuk berkembang

menjadi gangguan emosional (Wekerle, dkk., 2014).

Dua perubahan yang paling menonjol selama masa remaja adalah peningkatan impulsif

dan peningkatan prevalensi gangguan depresi dengan munculnya rasio 2:1 perempuan terhadap

laki-laki terhadap kelainan itu. Gangguan kejiwaan tumpang tindih: dalam sebuah penelitian

terhadap populasi umum Inggris lebih dari 10% anak-anak dan remaja dengan gangguan sikap

menentang memiliki gangguan emosional. Masalah emosional dan perilaku saling tumpang tindih,

misalnya, emosi temperamental adalah prediktor gangguan emosional dan gangguan sikap

menentang dan tampaknya merupakan prediktor kuat komorbiditas antara keduanya. Gangguan

emosional dan perilaku juga menunjukkan rangkaian komorbiditas (Stringaris, 2015).

2.3.3 Faktor yang mempengaruhi masalah emosi dan perilaku

Berbagai stresor psikososial seringkali dikaitkan dengan terjadinya masalah emosi dan

perilaku pada anak dan remaja, seperti adanya penyakit fisik, pola asuh yang inadekuat, kekerasan

dalam rumah tangga, hubungan dengan teman sebaya yang inadekuat, serta kemiskinan. Stresor

psikososial tersebut mempengaruhi proses perkembangan kognitif anak sehingga anak lebih

memandang negatif lingkungan sekitar dan juga persepsi yang negatif mengenai dirinya. Di

30
31

samping itu, stresor psikososial juga berkaitan dengan peningkatan emosi negatif, perilaku

disruptif dan impulsif, serta menimbulkan cara-cara interaksi yang negatif sehingga berdampak

pada hubungan dengan teman sebaya yang tidak optimal (Wiguna, dkk., 2010).

Faktor yang menyebabkan masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja antara lain:

1. Kondisi/Keadaan Fisik

Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat

mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan

timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa kebutuhan fisik-biologis

maupun kebutuhan psikisnya. Kondisi ini kadang menimbulkan perasaan inferioritas dan

menyebabkan ketidakstabilan emosi anak yang pada akhirnya berujung pada gangguan

perilaku.

2. Masalah Perkembangan

Erikson (2000) menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu

dihadapkan berbagai tantangan satu krisis emosi. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini,

individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakat. Sebaliknya

apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan

gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terjadi pada masa kanak-kanak dan masa

pubertas.

3. Lingkungan Keluarga

Keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak.

Keluargalah peletak dasar perasaan aman pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh

pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Aspek-aspek yang berkaitan dengan

31
32

masalah emosi dan tingkah laku, yaitu kasih sayang dan perhatian, keharmonisan keluarga

dan kondisi ekonomi.

4. Lingkungan Sekolah

Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah berasal dari guru dan

fasilitas pendidikan. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak menjadi tertekan dan

takut menghadapi pelajaran, sehingga anak lebih memilih membolos dan keluyuran. Fasilitas

pendidikan juga mempengaruhi gangguan tingkah laku. Sekolah yang tidak mempunyai

fasilitas untuk anak menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak

menyalurkan aktivitas pada hal-hal yang kurang baik.

5. Lingkungan Masyarakat

Di dalam lingkungan masyarakat terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif

yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negatif

ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan

sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang

sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima oleh kalangan remaja dapat

menimbulkan perilaku yang negatif (Aprilia & Indrajati, 2014).

2.3.4 Karakteristik masalah emosi dan perilaku

Hallahan dan Kauffman (2006) mengemukakan tiga ciri khas kondisi emosi dan perilaku

antara lain yaitu:

1. Tingkah laku yang sangat ekstrem dan bukan hanya berbeda dengan tingkah laku anak

lainnya.

2. Suatu problem emosi dan tingkah perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara langsung,

32
33

3. Tingkah laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan dengan harapan

sosial dan kultural.

Heward & Orlansky (1988) dalam Sunardi (1996) mengatakan seseorang dikatakan

mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut

dalam kurun waktu yang lama, yaitu:

1. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra

maupun kesehatan.

2. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin hubungan

dengan teman sebaya dan pendidik.

3. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.

4. Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.

5. Kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau ketakutan-ketakutan yang

diasosiasikan dengan permasalahan permasalahan pribadi atau sekolah (Aprilia & Indrajati,

2014).

Secara empiris, taksonomi problem emosi dapat dibagi menjadi dua dimensi umum, yakni

masalah internalisasi dan masalah ekternalisasi. Masalah eksternalisasi dapat dilihat dari

munculnya konflik dengan orang lain atau dikarenakan harapan yang tidak tercapai, seperti

perilaku agrresif dan perilaku nakal. Sedangkan masalah internalisasi mengindikasikan adanya

tekanan di dalam diri individu, seperti depresi, kecemasan, menarik diri dari lingkungan pergaulan,

dan keluhan somatik yang dapat berdampak negatif pada harga diri (self-esteem), prestasi belajar,

kesehatan, kompetensi sosial, penyesuaian diri individu di masa yang akan datang. Masalah

internalisasi sulit diidentifikasi oleh orang lain karena masalah internalisasi merupakan persepsi

subjektif individu terhadap tekanan/stres di dalam dirinya (Ediati, 2015).

33
34

Achenbach dan Rescorla dalam Ediati (2015) mengidentifikasi delapan jenis problem

emosi pada anak dan remaja, yakni: 1) kecemasan/depresi (anxious/depressed); 2) menarik

diri/tertekan (withdrawn/depressed); 3) keluhan fisik yang bukan disebabkan oleh sakit/penyakit

(somatic complaints); 4) problem sosial/pergaulan (social problems); 5) kesulitan berpikir

(thought problems); 6) kesulitan berkonsentrasi/memusatkan perhatian (attention problems); 7)

perilaku melanggar norma/aturan (rule-breaking behavior); dan 8) perilaku agresif (aggressive

behavior) (Ediati, 2015).

2.3.5 Penapisan Masalah Emosi dan Perilaku

Pencegahan dan penanganan masalah emosional dan perilaku secara tepat sejak dini

diharapkan dapat membantu remaja untuk perkembangan yang lebih baik bagi masa depannya.

Instrumen yang dapat digunakan untuk penapisan masalah emosional antara lain Pediatric

Symptom Checklist (PSC), Strength and Difficulties Questionaire (SDQ), Childs Behaviour

Checklist (CBCL), Children Social Behaviour Questionnaire (CSBQ) dan Computer Based

Screening for Adolescent (CBSA) (Damayanti, 2011)

2.4 Hubungan Antara Adiksi Internet dengan masalah emosi dan perilaku

Adiksi internet adalah masalah kesehatan masyarakat yang muncul saat ini. Munculnya

teknologi baru, seperti internet dan situs media sosial yang terkait, telah memaparkan remaja

terhadap risiko daring (paparan pornografi, cyberbullying dan adiksi internet) dan risiko kesehatan

(depresi dan bunuh diri). Studi telah menghubungkan adiksi internet dengan meningkatnya

masalah cyberbullying remaja menyebabkan kerusakan mental, fisik dan sosial. Selain itu, terdapat

penelitian yang mengkaitkan adiksi internet dengan masalah psikiatri seperti konsumsi alkohol,

merokok, defisit perhatian dan hiperaktif, permusuhan, kesepian, rendahnya harga diri dan depresi.

Sebuah studi memiliki faktor terkait seperti rendahnya fungsi keluarga, ketidakpuasan keluarga,

34
35

hubungan orang tua dan remaja yang buruk, dan pemantauan orang tua yang rendah dengan adiksi

internet di kalangan remaja. Sebaliknya, pembatasan orang tua seperti peraturan mengenai waktu

yang dihabiskan untuk daring telah dikaitkan secara negatif dengan adiksi internet dan

cyberbullying (Chang, dkk., 2015).

Ha dkk (2012) menemukan hubungan antara adiksi internet dan depresi di kalangan

remaja di Korea. Yen dkk (2006) menunjukkan hubungan antara kecanduan internet dan gejala

depresi di bawah kendali dari gejala kejiwaan lainnya di kalangan remaja di Taiwan. Studi

wawancara diagnostik kejiwaan menunjukkan hubungan antara adiksi internet dan gangguan

depresi (gangguan depresi mayor dan distimia) pada mahasiswa. Studi potong lintang

menunjukkan terdapat hubungan antara adiksi internet dan depresi. Ko dan rekan (2012)

melakukan penelitian kuesioner untuk menunjukkan bahwa remaja dengan depresi lebih mungkin

untuk menjadi adiksi internet dengan periode follow-up dua tahun. Sejak internet menyediakan

sarana bagi remaja untuk mencari dukungan sosial, prestasi, kesenangan kontrol, dan dapat

melarikan diri dari masalah emosional di dunia nyata, tampaknya wajar bahwa remaja dengan

depresi akan lebih mungkin untuk menggunakan internet untuk mengurangi depresi, dan akan

lebih rentan terhadap kecanduan internet (Ko, dkk., 2012).

Sebuah studi menemukan bahwa stres hidup dari interpersonal dan sekolah berkorelasi

positif dengan adiksi internet. Hasil tersebut mungkin juga didukung oleh studi klinis yang

menunjukkan bahwa kebanyakan gangguan emosional dan perilaku manusia, seperti

penyalahgunaan zat, disebabkan oleh stres ringan kronis (Jie, dkk., 2014).

Internet bisa memberikan interaksi tanpa tatap muka dan akan mengurangi kecemasan

saat berinteraksi langsung. Bernardi dan Pallanti (2006) dalam Ko, dkk. (2014) menemukan bahwa

15% dari kasus orang dewasa adiksi internet diklasifikasikan memiliki gangguan kecemasan

35
36

sosial. Gejala kecemasan sosial dapat memprediksi munculnya adiksi internet di follow up selama

dua tahun. Karena penggunaan internet dapat memberikan dukungan sosial, remaja dengan fobia

sosial mungkin memanfaatkan untuk menghindari stres yang disebabkan oleh interaksi tatap muka

dengan orang lain. Namun, jika kesulitan sosial mereka di dunia nyata tidak membaik, remaja

dengan fobia sosial mungkin menerima dukungan sosial terutama dari internet, dan ini bisa

menurunkan motivasi mereka untuk bertemu dengan orang lain di dunia nyata. Kemudian, risiko

menjadi kecanduan penggunaan internet akan meningkat. Dalam kasus apapun, kecemasan sosial

adalah masalah kejiwaan yang penting layak mendapat perhatian lebih ketika mengobati adiksi

internet (Ko, dkk., 2012).

Perilaku agresif dikaitkan dengan adiksi internet pada remaja setelah menonton kekerasan

di televisi karena interaksi daring dapat menyebabkan penurunan tanggung jawab pribadi dan

individual. Perilaku agresif di internet dapat dipindahkan ke kehidupan nyata, dan mungkin

memiliki konsekuensi negatif yang signifikan baik untuk individu yang adiksi maupun hubungan

interpersonal mereka baik daring maupun luring (Kuss, dkk., 2013).

Sebuah studi menunjukkan hubungan yang kuat antara adiksi internet dan perilaku

permusuhan. Studi prospektif menunjukkan bahwa remaja dengan permusuhan yang lebih tinggi

memiliki risiko lebih tinggi berkembang menjadi adiksi internet. Untuk remaja, permusuhan tinggi

mungkin mengakibatkan konflik interpersonal atau penolakan. Banyak aktivitas internet, terutama

permainan daring, memberikan sarana untuk mengekspresikan permusuhan dan melakukan

kekerasan tanpa pembatasan, tetapi itu tidak berarti kekerasan semacam ini tidak berbahaya (Ko,

dkk., 2012).

Sebuah studi menjelaskan bahwa orang yang didiagnosis dengan GPPH memiliki risiko

adiksi internet yang lebih tinggi daripada mereka tidak terdiagnosis GPPH. Studi komunitas

36
37

potong lintang sebelumnya telah menemukan hubungan yang signifikan antara adiksi internet dan

gejala GPPH pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa muda. GPPH adalah gangguan kejiwaan

yang paling umum di kalangan remaja dengan adiksi internet yang telah merujuk pada perawatan

psikiatri. Studi komunitas prospektif 2 tahun menemukan bahwa GPPH dapat memprediksi

terjadinya adiksi internet pada remaja (Chou , dkk., 2015).

Kurangnya kontrol diri dapat menyebabkan individu dengan GPPH memiliki kesulitan

dalam mengendalikan penggunaan internet dan karenanya menjadi rentan terhadap adiksi internet.

Impulsif, hiperaktif, dan kurangnya perhatian biasanya mempengaruhi hubungan interpersonal

individu. Namun, dengan internet defisit tersebut dapat teratasi. Bagi orang-orang dengan GPPH

membangun hubungan interpersonal dunia maya lebih mudah daripada di dunia nyata (Ko, dkk.,

2012).

37

Anda mungkin juga menyukai