BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Adiksi
Adiksi adalah kondisi yang kompleks, suatu penyakit otak yang dimanifestasikan oleh
penggunaan zat secara kompulsif meski dengan konsekuensi merugikan (APA, 2017). Berbagai
istilah telah digunakan selama bertahun-tahun untuk merujuk pada penyalahgunaan zat. Dalam
ketergantungan perilaku, aktivitas pencarian zat dan bukti terkait pola penggunaan patologis telah
ditekankan, sedangkan ketergantungan fisik mengacu pada efek fisik (fisiologis) dari beberapa
episode penggunaan zat. Ketergantungan psikologis, juga disebut habituasi, ditandai oleh hasrat
terus-menerus atau sebentar-sebentar (yaitu keinginan kuat) untuk penggunaan zat untuk
menghindari keadaan disforik. Ketergantungan perilaku, fisik, dan psikologis adalah ciri khas
Menurut definisi terbaru yang diajukan oleh American Society of Addiction Medicine
(ASAM), adiksi bukan hanya perilaku tapi juga penyakit otak kronis. Adiksi meliputi (A)
ketidakmampuan untuk secara konsisten menjauhkan diri; (B) gangguan dalam pengendalian
perilaku; (C) keinginan atau peningkatan untuk obat-obatan atau pengalaman berharga; (D)
berkurangnya pengakuan akan masalah yang signifikan dengan perilaku dan hubungan
interpersonal seseorang; dan (E) disfungsi respons emosional (Sdrulla, dkk., 2014).
Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap hal-hal tertentu
yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang mengalaminya. Dalam adiksi, terdapat
tuntutan dalam diri untuk menggunakan secara terus menerus dengan disertai peningkatan dosis
terutama setelah terjadinya ketergantungan secara psikis dan fisik serta terdapat pula
11
12
(Pramuditya , 2015).
Dopamin adalah salah satu dari sejumlah neurotransmitter yang ditemukan di sistem saraf
pusat. Dopamin memiliki peran dalam pengaturan mood dan proses motivasi dan sistem imbalan.
Meskipun ada beberapa sistem dopamin di otak, sistem dopamin mesolimbik tampaknya paling
penting untuk proses motivasi. Beberapa zat adiktif menghasilkan efek ampuh pada perilaku
dengan meningkatkan aktivitas dopamin mesolimbik. Peneliti telah lama mengaitkan adiksi
dengan perubahan neurotransmiter di otak, dan beberapa ahli teori berpendapat bahwa semua
adiksi, terlepas dari berbagai jenis (seks, makanan, alkohol, internet), dapat dipicu oleh perubahan
otak yang serupa. Berbagai adiksi ini mungkin memiliki efek yang sama terhadap aktivitas spesifik
di otak, seperti daerah tegmental ventral, lokus ceruleus dan nucleus accumbens (Sadock, dkk.,
2015).
Gangguan otak pada adiksi sebagai akibat dari paparan berulang suatu zat atau
pengulangan aktivitas tertentu yang dapat meningkatkan pelepasan neurotransmiter dopamin pada
mengubah fungsi sirkuit tersebut yang termanifestasi dalam bentuk perilaku kompulsif yang khas
pada kondisi adiksi. Nyeri kronis dan stres diketahui merupakan faktor resiko dalam kerentanan
Faktor kepribadian, sosial, dan genetik mungkin juga penting, namun efek zat pada sistem
saraf pusat (SSP) tetap menjadi faktor penentu adiksi zat. Faktor nonfarmakologis cenderung
penting dalam mempengaruhi penggunaan awal zat dan dalam menentukan seberapa cepat adiksi
12
13
berkembang. Untuk beberapa zat, faktor nonfarmakologis dapat berinteraksi dengan tindakan
farmakologis obat untuk menghasilkan penggunaan zat kompulsif (Young, dkk., 2011).
Penelitian telah membuktikan bahwa perilaku dan karakteristik dari seseorang yang
mengalami adiksi internet serupa dengan judi patologis atau gangguan ketergantungan zat (Zhang,
dkk., 2015). Kebanyakan perilaku impulsnya mulai dari loop ventral dari sistem motivasi dan
beberapa dari perilaku pindah ke bagian dorsal yang artinya dari perilaku impulsif menjadi
kompulsif. Informasi ini juga berasal dari hipokampus, amigdala dan area lain dari prefrontal
Definisi adiksi internet diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Ivan Goldberg pada
tahun 1995. Adiksi internet digambarkan sebagai suatu keadaan patologis atau gangguan karena
terlalu sering menggunakan internet termasuk berbagai perilaku dan pengendalian impuls dalam
menggunakan internet. Seperti yang terjadi pada penyalahgunaan zat, adiksi internet adalah
kebiasaan patologis yang sulit untuk dihapus karena sangat terkait dengan pencarian kesenangan
Adiksi internet ditandai dengan preokupasi yang berlebihan atau kurangnya kontrol,
keinginan, dan/atau perilaku penggunaan internet yang mengakibatkan gangguan atau tekanan di
beberapa kehidupan penting (Salicetia, 2015). Menurut Young (2011) adiksi internet adalah
masalah perilaku yang mirip dengan judi patologis yang dapat didefinisikan sebagai gangguan
kontrol impuls yang tidak melibatkan konsumsi minuman keras dan zat psikoaktif (Young, dkk.,
2011).
13
14
Menurut American Psychiatric Association (APA) tahun 2010 adiksi internet didefinisikan
dipertimbangkan sebagai sinonim dari adiksi internet, meskipun terdapat perbedaan (Jie, dkk.,
2014).
Block dalam Pontes (2015) mendefinisikan adiksi internet sebagai spektrum gangguan
obsesif kompulsif yang melibatkan pola penggunaan komputer secara daring maupun luring (luar
jaringan [offline]) secara berlebihan yang menimbulkan gejala ketergantungan, toleransi dan
Tingkat prevalensi untuk adiksi internet bervariasi antara 0,8% sampai 26,7% dengan laki-
laki biasanya memiliki tingkat adiksi internet yang lebih tinggi daripada perempuan dan remaja
dilaporkan lebih tinggi daripada orangtua. Gangguan afektif dan kecemasan, telah dikaitkan
dengan adiksi internet. Adiksi internet tampaknya terkait dengan gangguan mental pada remaja
dan orang dewasa. Gejala komorbiditas kegelisahan dan adiksi internet ditemukan pada remaja
dan orang dewasa. Peningkatan tingkat stres pada orang dewasa dan peristiwa kehidupan yang
penuh tekanan pada remaja telah dikaitkan dengan adiksi internet (McNicol & Thorsteinsson,
2017).
Remaja laki-laki memiliki tingkat adiksi internet yang lebih tinggi daripada perempuan,
hal ini dimanfaatkan dalam sebuah penelitian yang melibatkan populasi remaja untuk
14
15
membandingkan perbedaan jenis kelamin pada adiksi internet. Remaja laki-laki menggunakan
internet sebagai sarana sosial atau sebagai dasar hubungan interpersonal. Sebagian besar penelitian
di bidang ini biasanya menunjukkan perempuan yang mencari persahabatan jarak dekat dan lebih
memilih komunikasi anonim. Studi ini menemukan bahwa penggunaan internet merupakan
pengganti interaksi sosial kehidupan nyata. Intervensi, program pengobatan, strategi pencegahan
dapat dirancang secara khusus mengingat perbedaan kedua jenis kelamin (Waldo, 2014).
Sebuah studi menunjukkan bahwa kemungkinan bagi laki-laki untuk adiksi internet lebih
besar karena menggunakan internet untuk kepuasan pribadi dan perempuan lebih menyukai
komunikasi sosial. Aktivitas seks internet, perjudian dan perilaku permainan daring kebanyakan
menyebabkan adiksi pada laki-laki, sedangkan adiksi internet pada perempuan sebagian besar
cenderung melakukan internet chatting dan belanja secara daring. Dengan demikian, temuan
Young menunjukkan bahwa obrolan mayoritas dilakukan oleh perempuan dan pornografi internet
dilakukan oleh laki-laki. Penelitian oleh Frangos dkk. (2010) menyebutkan dengan menggunakan
stratified random sampling untuk memilih 1876 siswa Yunani dikatakan bahwa kesenangan dan
waktu luang merupakan alasan utama penggunaan internet bagi laki-laki, dan tujuan interaksi
pembelajaran dan interaksi sosial yang menandakan penggunaan primer bagi perempuan (Adiele
pertama kalinya standar untuk memutuskan adiksi internet memiliki satu prasyarat dan tiga
kondisi. Prasyaratnya adalah bahwa adiksi internet itu harus membahayakan fungsi sosial dan
pecandu internet selama memenuhi salah satu diantara tiga kondisi berikut : (1) individu akan
15
16
merasa bahwa lebih mudah mencapai aktualisasi diri dibanding dalam kehidupan nyata; (2)
individu akan mengalami disforia atau depresi bilamana akses ke internet terputus atau berhenti
berfungsi; (3) individu berusaha menyembunyikan waktu penggunaan sebenarnya dari anggota
1) Dorongan Primitif : Naluri seseorang untuk mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit,
2) Pengalaman euphoria : Aktivitas internet merangsang sistem saraf pusat individu, yang akan
merasa bahagia dan puas. Perasaan akan mendorong individu untuk terus menggunakan
internet dan memperpanjang euforia. Begitu adiksi terbentuk, pengalaman euforia akan segera
3) Toleransi : Akibat penggunaan internet secara berulang, ambang sensorik individu meningkat;
Untuk mencapai pengalaman bahagia yang sama, pengguna harus meningkatkan waktu dan
hasratnya. Toleransi tingkat tinggi adalah batu loncatan untuk adiksi internet dan hasil
16
17
4) Reaksi Abstinen : Sindrom fisik dan psikologis terjadi saat individu berhenti atau setelah
5) Koping Pasif : Perilaku pasif mengakomodasi bentuk lingkungan begitu individu dihadapkan
dengan frustrasi atau menerima efek samping dari luar, termasuk perilaku pasif seperti
imputasi kejadian buruk, pemalsuan kognisi, dan penindasan, pelarian, dan agresi yang
terbentuk.
6) Avalanche effects (Efek longsoran) : Mencakup pengalaman pasif yang terdiri dari reaksi
toleransi dan abstinen, dan dorongan gabungan yang terdiri dari gaya koping pasif individual
Ketika menelaah dorongan primitif terkait adiksi, banyak penelitian yang berasal dari
perilaku otak berkaitan dengan ketergantungan kimiawi (Young & Nabuco de Abreu, 2017).
Interaksi antara faktor lingkungan, faktor psikologis (cemas, gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH), depresi) dan genetik merupakan hal yang sangat penting berperan untuk
adiksi internet. Anak dan remaja yang terlibat aktivitas internet mencoba memecahkan masalah,
menghindari stres atau koping perasaan yang tidak menyenangkan seperti cemas atau depresi
(Chang & Hung, 2012). Adiksi internet kemudian akan berkembang selama proses ini.
Faktor-faktor yang terkait dengan adiksi internet antara lain faktor keluarga (fungsi
keluarga dan pola asuh), faktor sosial ekonomi, faktor kepribadian dan jenis kelamin.
1) Faktor keluarga
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan keluarga seperti hubungan dalam keluarga
terbukti memainkan peran dalam adiksi internet di Korea, menunjukkan bahwa, terutama
17
18
untuk remaja, kurangnya lingkungan keluarga yang mendukung dan komunikatif dapat
memperburuk penggunaan internet. Pola pengasuhan negatif atau perilaku dan gangguan
keluarga memainkan peran penting dalam orang yang adiksi internet. Pola asuh orangtua yang
diterapkan pada anak serta pola komunikasi diantara keduanya berbeda-beda pada setiap
keluarga. Hurlock (1994) membagi pola asuh orangtua ke dalam tiga tipe, yaitu tipe otoriter,
tipe permisif, dan tipe demokratis. Pola asuh otoriter adalah tipe pola asuh dimana orangtua
menetapkan sebuah standar yang mutlak harus dituruti serta biasanya disertai dengan
ancaman, paksaan, dan hukuman. Komunikasi pada pola asuh otoriter cenderung bersifat satu
arah dimana orangtua biasanya tidak mendengarkan umpan balik dari pihak anak.
Berkebalikan dengan pola asuh otoriter yang mengikat, orangtua dengan tipe pola asuh
permisif biasanya memberikan pengawasan yang sangat longgar, dimana terkadang orangtua
tipe ini bahkan cenderung mengabaikan anaknya. Orangtua dengan tipe pola asuh permisif
sangat sedikit dalam memberikan bimbingan kepada anak mereka, sehingga komunikasi juga
jarang terjadi diantara keduanya. Tipe pola asuh demokratis merupakan tipe orangtua yang
memberikan kebebasan kepada anaknya namun disaat yang bersamaan tidak ragu-ragu untuk
mengendalikan mereka. Aturan-aturan yang terdapat dalam keluarga dengan tipe pola asuh
demokratis dibuat dengan melibatkan orangtua dan anak-anak dimana komunikasi diantara
keduanya bersifat dua arah dan hangat. Ketiga tipe pola asuh ini akan memiliki pengaruh yang
berbeda-beda pada perkembangan remaja. Baumrind (dalam Damon & Learner, 2006)
menyatakan bahwa orangtua dengan pola asuh otoriter akan menghasilkan anak-anak yang
penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menantang, suka melanggar norma, dan
penuh dengan kecemasan. Anak-anak yang dididik dengan pola asuh permisif akan memiliki
karakter yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, dan kurang
18
19
percaya diri. Anak-anak dengan pola asuh demokratis akan menjadi anak-anak yang mandiri,
memiliki kontrol diri yang baik, mampu menghadapi stres, mampu mengekspresikan
keinginan secara jelas, dan memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya
(Kartika & Budisetiyani, 2018). Ko dkk. menemukan bahwa munculnya adiksi internet bisa
diprediksi dengan rendah fungsi keluarga (Yao,dkk., 2014). Kurangnya dukungan keluarga
dan sosial merupakan faktor penting untuk memprediksi adiksi internet. Fungsi keluarga yang
baik dapat memberikan dukungan yang cukup bagi anak mereka. Beberapa ahli telah
melaporkan bahwa setelah penggunaan internet, terjadi peningkatan dukungan sosial yang
dirasakan secara signifikan. Beberapa anak yang belum menerima dukungan dari keluarga
atau sosial yang cukup cenderung menggunakan internet untuk mengisi kesendiriannya
Faktor sosial ekonomi juga berperan dalam hubungan adiksi internet dan masalah emosi dan
perilaku. Faktor sosial ekonomi meliputi pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga dan
pekerjaan kedua orangtua. Keluarga berpenghasilan rendah dengan jumlah anak yang banyak
sangat sulit untuk mengalokasikan anggaran untuk perangkat teknologi dan memiliki
kecenderungan memiliki berbagai masalah dalam kehidupan. Anak lebih cenderung beralih
ke internet jika kedua orangtua bekerja hal inilah yang dapat menyebabkan adiksi internet dan
3) Faktor kepribadian
19
20
Sebagian besar studi tentang adiksi internet berfokus terutama pada faktor internal dan
individu yang dapat mempengaruhi individu dalam penggunaan internet yang bermasalah.
terkait dengan adiksi internet (Yao, dkk., 2014). Kuss, Griffiths dan Binder (2013)
mempelajari hubungan antara aktivitas internet dan dimensi kepribadian pada 2257
mahasiswa universitas Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3,2% dari siswa (1,2%
untuk laki-laki dan 1,9% untuk perempuan) diklasifikasikan sebagai adiksi internet dan bahwa
dengan belanja daring dan aktivitas sosial menggunakan internet meningkatkan kemungkinan
menjadi adiksi internet. Lebih jauh lagi, neuroticism dan belanja daring menurunkan risiko
adiksi internet, tetapi permainan daring dan openness terhadap pengalaman meningkatkan
4) Jenis kelamin
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lie dkk (2014) di China yang mengemukakan
bahwa secara signifikan laki-laki lebih cenderung mengalami adiksi internet daripada
motivasi untuk menggunakan internet. Laki-laki cenderung mengalami perilaku yang lebih
adiktif saat bermain permainan daring atau menjelajahi fantasi seksual secara daring,
sedangkan perempuan lebih cenderung berkomunikasi dengan teman-teman yang tertutup dan
tidak dikenal secara daring dengan tujuan membagikan perasaan dan emosi mereka. Liang
dkk (2016) melakukan penelitian pada 1715 remaja di China didapatkan hasil laki-laki dan
perempuan memiliki waktu yang sama dalam menggunakan internet, tetapi perbedaan
signifikan ditemukan dalam tujuan penggunaan internet antara laki-laki dan perempuan
20
21
dimana laki-laki lebih cenderung berselancar internet untuk mencari kesenangan sedangkan
perempuan lebih senang menggunakan internet untuk mencari informasi. Ini menunjukkan
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pola perilaku dan motivasi yang berbeda dalam
Berdasarkan American Center for Online Addiction, secara umum adiksi internet telah
materi pornografi cyber dan mereka juga sangat sering terlibat dalam perbincangan dewasa,
2. Cyber Relationship Addiction. Orang kecanduan terlalu banyak terlibat dengan hubungan
dunia maya dan mereka bahkan dapat terjebak dalam perzinahan dunia maya. Termasuk juga
Social Network Addiction. Semua komunitas virtual dimana orang dapat membuat profil
publik atau semi-publik. Facebook adalah jaringan sosial paling terkenal dengan 60 jutaan
3. Net Gaming Addiction. Ini mencakup berbagai perilaku seperti perjudian, videogame, belanja
Banyaknya informasi di internet menciptakan perilaku kompulsif baru yang terkait dengan
berselancar web atau pencarian basis data. Orang kecanduan menggunakan lebih banyak
waktu untuk mencari dan mengatur data. Kecenderungan obsesif-kompulsif dan pengurangan
21
22
5. Computer Addiction. Di tahun 80-an, permainan komputer seperti Solitaire dan Minesweeper
yang diprogram ke dalam komputer dan peneliti menemukan bahwa perilaku obsesif
Block dalam Weinstein dkk (2013) mengemukakan empat komponen penting awal yang
diusulkan untuk menegakkan diagnosis adiksi internet pada DSM-5: (1) penggunaan internet yang
berlebihan, sering dikaitkan dengan hilangnya rasa waktu atau mengabaikan kebutuhan dasar; (2)
withdrawal, termasuk perasaan marah, ketegangan, dan/atau depresi saat komputer tidak dapat
diakses; (3) toleransi, termasuk kebutuhan untuk peralatan komputer yang lebih baik, perangkat
lunak yang lebih banyak, atau waktu penggunaan yang lebih lama; dan (4) konsekuensi yang
merugikan, termasuk suka membantah, berbohong, prestasi di sekolah yang buruk, kelelahan
Adiksi internet awalnya diusulkan untuk dimasukkan dalam DSM-5 namun belum
diakui sebagai gangguan; Internet Gaming Disorder termasuk dalam DSM-5 bagian ketiga sebagai
mendapatkan kepuasan.
3. Ketika adiksi berkurang atau terganggu, mengalami agitasi psikomotor, kecemasan, depresi,
berpikir obsesif tentang apa yang terjadi di internet, gejala khas ketergantungan.
22
23
4. Kebutuhan untuk log on ke internet lebih banyak dan lebih sering dan untuk jangka waktu
Dari segi perilaku kognitif, beberapa penulis mengatakan bahwa beberapa persepsi salah
b) Terdistorsi persepsi tentang pengalaman tidak mampu, ketidakamanan, kepercayaan diri yang
Penelitian yang dilakukan Salicetia dkk (2015) telah menunjukkan bahwa orang adiksi
mungkin memiliki gangguan kepribadian seperti gangguan mood, kecemasan, dan dyscontrol
impuls. Sehubungan dengan masalah kesehatan, orang yang adiksi memiliki gangguan tidur, sakit
kepala (headache), Carpal Tunnel Syndrome, mata lelah, kebiasaan makan yang buruk (Salicetia,
2015).
internet. Beberapa instrumen mengacu pada DSM IV-TR dengan ketergantungan zat dan
gangguan judi patologis (Li, dkk., 2014). Beberapa contoh alat ukur yang dipakai adalah Internet
Addiction Test (IAT) yang sudah valid untuk mengukur ketergantungan internet yang
dikembangkan oleh DR. Kimberly Young pada tahun 1998 (Young, dkk., 2011).
Telah dilakukan penelitian pada siswa di Amerika dengan memberikan tingkat respons
sebesar 70% (Jelenchick, dkk., 2012). IAT juga memiliki bukti yang valid dan reliabel untuk
23
24
penapisan adiksi internet pada remaja di Cina dengan hasil reabilitas 0,781 dengan koefisien
validasi 0,255 sampai 0,653 (Lai, dkk., 2013). Kuesioner ini juga telah divalidasi pada siswa SMA
negeri di Denpasar dengan angka reabilitas sebesar 0,851 dengan koefisien validasi 0,235 sampai
0,822. Kuisioner ini terdiri dari 20 aitem pertanyaan yang mengukur ringan, menengah dan
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa adiksi internet terjadi pada masa remaja.
Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai
perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial (Batubara, 2016).
Menurut Cobb (2001), tahapan remaja dibagi menjadi remaja awal (early adolescence) dan remaja
akhir (late adolescence). Remaja awal berada pada usia 11- 15 tahun sedangkan remaja akhir
berada pada usia 16-19 tahun (Fellasari & Lestari, 2017). Menurut Konopka (2014) masa remaja
ini meliputi (a) remaja awal : 12-15 tahun; (b) remaja madya : 15-18 tahun; dan (c) remaja akhir :
19-22 tahun. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial baik dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Yusuf, 2014). Kemkominfo menyebutkan 80%
pengguna internet di Indonesia adalah remaja yang berusia 15-19 tahun, pada usia ini sebagian
remaja merupakan siswa-siswi SMA dimana kecenderungan untuk menggunakan internet semakin
besar baik untuk menunjang kebutuhan sekolah maupun di luar sekolah. Dampak negatif pada
Interaksi remaja dengan internet banyak mengurangi aktivitas gerak karena konsep dari
internet adalah memudahkan kehidupan manusia sehingga akan banyak mengurangi dalam
bergerak. Saat ini dalam beraktivitas para remaja sudah banyak menggunakan perantara
24
25
internet. Hal tersebut menyebabkan perkembangan fisik remaja yang terlalu dipapar oleh
internet banyak mengalami penurunan kualitas fisik. Contohnya problem visual seperti
kelelahan mata, sakit kepala bahkan penglihatan kabur karena remaja lebih rentan daripada
orang dewasa terhadap cahaya dan radiasi yang dipancarkan oleh internet. Selain itu obesitas
pada remaja dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan hormonal dan metabolisme yang
Pada remaja, perkembangan emosi tidak lepas dari interaksinya dengan lingkungan sosial.
Bila lingkungan sosial yang ada di sekeliling remaja berupa lingkungan sosial yang virtual
dan tidak pada kenyataannya, perkembangan emosi remaja cenderung tidak adekuat karena
umpan balik dari lingkungan virtual dapat diatur sesuai kehendak remaja sedangkan umpan
balik dari lingkungan nyata belum tentu sesuai dengan kehendak remaja.
Beberapa ahli mengulas tentang pengaruh internet dalam perkembangan inteligensi karena
internet sudah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah ataupun
sekolah. Greenfield menelaah lebih dari 50 studi tentang dampak internet terhadap remaja,
hasil menunjukkan bahwa media seperti internet dapat membatasi beberapa aspek
keterampilan mental, namun juga membantu meningkatkan keterampilan mental dengan cara
mengalami hambatan dalam rentang perhatian, kebutuhan melakukan stimulasi secara segera
(tidak sabar), dan rasa kebingungan dalam identitas. Selain itu internet juga berdampak pada
penalaran kritis karena hampir semua informasi telah tersedia sehingga remaja menjadi kurang
terampil dan cenderung untuk berkonsentrasi hanya pada satu hal untuk jangka waktu yang
25
26
lama dan menyulitkan remaja memecahkan masalah yang membutuhkan waktu pendek dan
Davis (2001) mengusulkan model perilaku kognitif pada adiksi internet berfokus pada apa
yang digambarkan sebagai pemikiran maladaptif sebagai penyebab utama penggunaan internet
patologis. Pikiran ini tumbuh dari psikopatologi yang mendasarinya. Psikopatologi ini (yaitu
depresi, kecemasan sosial, ketergantungan zat), ditambah dengan pengalaman yang kuat dalam
bermasalah. Sun dkk dalam Feder dkk (2013) menemukan bahwa adiksi internet dikaitkan
dengan defisit dalam pengambilan keputusan. Sebuah studi menunjukkan bahwa gangguan
kemampuan kontrol eksekutif relevan untuk memahami adiksi internet. Park dkk. dalam feder
dkk (2013) juga menemukan penurunan kinerja terkait perhatian di antara individu yang
memiliki adiksi internet untuk jangka waktu yang lebih lama (Feder, dkk., 2013).
Dampak dalam perkembangan moral terutama terjadi karena pemaparan pada situs-situs yang
banyak mengandung unsur pornografi dan kekerasan. Banyak kasus di Indonesia tentang
kekerasan dan kejahatan seksual pada remaja, baik pelaku maupun korbannya adalah remaja
akibat paparan terhadap situs internet yang tidak dikontrol oleh orangtua maupun orang
dewasa lain yang bertanggung jawab terhadap perkembangan remaja di Indonesia. Dampak
negatif dalam perkembangan moral juga dapat terjadi karena adanya kesempatan untuk
26
27
Menurut Sarwono (2014), emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang
disertai nuansa afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas
(mendalam). Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada
saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu. John B Watson mengemukakan bahwa ada
tiga pola dasar emosi yaitu takut, marah, dan cinta (fear, anger and love). Ketiga jenis emosi
tersebut menunjukkan respons tertentu pada stimulus tertentu pula, tetapi kemungkinan terjadi
termasuk respons fisiologis terhadap rangsangan emosional, penilaian kognitif terhadap perasaan
dan cara orang menanggapi imbalan. Terdapat empat jenis emosi yang disebut emosi dasar yaitu:
Perilaku manusia adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Secara operasional
perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar
subjek tersebut. Perilaku dapat diartikan sebagai suatu aksi reaksi organisme terhadap
lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan
reaksi yakni yang disebut rangsangan. Rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau
perilaku tertentu. Perilaku dapat juga diartikan sebagai aktivitas manusia yang timbul karena
adanya stimulasi dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung
(Notoatmodjo, 2011)
Perilaku adalah seluruh aktivitas atau kegiatan yang bisa dilihat ataupun tidak pada diri
seseorang sebagai hasil dari proses pembelajaran. Dalam teori perilaku yang dikemukakan oleh
27
28
Skinner bahwa perilaku adalah hasil dari hubungan antara stimulus dan respons pada diri
seseorang. Dengan demikian Skinner membedakan perilaku menjadi dua respons, antara lain:
a. Perilaku yang alami (Innate Behaviour) adalah respons yang dihasilkan oleh rangsangan-
rangsangan tertentu. Biasanya respons yang dihasilkan bersifat relatif tetap, contoh: orang
akan tertawa apabila mendengar kabar gembira atau lucu, sedih jika mendengar musibah,
kehilangan.
b. Perilaku operan (Operant Behaviour) adalah respons yang dihasilkan apabila diberikan
stimulus berupa penguatan. Tujuan dari penguatan ini supaya respons yang dihasilkan
Menurut Notoatmodjo (2011), dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau
reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau
kesadaran dan sikap yang terjadi pada seseorang yang menerima stimulus tersebut, dan
Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang
Studi tentang psikopatologi anak telah mendukung pembagian dua kategori dari masalah
emosi dan perilaku yaitu masalah internalisasi dan eksternalisasi pada populasi anak dan remaja.
28
29
Gangguan yang paling sering dimasukkan dalam masalah internalisasi mencakup karakteristik
kecemasan dan ketakutan yang terkait dengan gangguan depresi mayor (major depressive
disorder, MDD), gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder, GAD), gangguan
cemas perpisahan (separation anxiety disorder, SAD), gangguan panik (panic disorder, PD) dan
fobia. Baru-baru ini, para peneliti telah menemukan bahwa walaupun faktor internalisasi dan
eksternalisasi dipandang sebagai dua hal yang berbeda, tetapi juga dapat berkorelasi (Wilmshurst,
2015).
ketidakpatuhan (Holland, dkk., 2017). Menurut definisinya, masalah internalisasi lebih bersifat
rahasia dan karena itu seringkali lebih sulit untuk dideteksi dan dinilai. Penelitian telah
menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki emosi yang tidak teratur mengalami peningkatan
risiko untuk masalah internalisasi, menunjukkan kesulitan mengekspresikan emosi mereka secara
tepat, terutama emosi negatif, seperti kemarahan atau kesedihan dan lebih cenderung mengalami
depresi daripada rekan mereka yang tanpa masalah pengaturan emosi (Wilmshurst, 2015).
Masyarakat Asia seperti di Cina, Jepang, Korea, dan Taiwan, anak-anak yang
menampilkan perilaku agresif dan mengganggu sering dikritik dan dipermalukan oleh orang lain
di lingkungan publik. Evaluasi sosial negatif seperti mempermalukan dapat membuat anak
psikologis seperti depresi. Hal ini konsisten bahwa agresif berhubungan positif dengan perasaan
kesepian melalui mediasi hubungan teman sebaya pada anak-anak Cina. Selain itu perilaku
eksternalisasi diprediksi secara positif memiliki masalah emosional termasuk depresi (Garber &
Rao, 2014).
29
30
perilaku telah dikaitkan dengan konflik interpersonal mereka yang sering terjadi (misalnya dengan
orang tua, teman sebaya, guru, dan polisi) dan pelaku lainnya (misalnya, disfungsi keluarga,
kegagalan sekolah). Banyaknya tumpang tindih antara gangguan perilaku dan masalah
internalisasi dapat dikaitkan dengan gangguan sikap menentang yang terjadi bersama-sama. Secara
khusus, kehadiran gejala gangguan sikap menentang yang marah dan mudah tersinggung dapat
membantu menunjuk sekelompok anak dengan gangguan perilaku yang memiliki masalah dalam
pengaturan emosi, yang dapat menempatkan mereka pada risiko tertentu untuk berkembang
Dua perubahan yang paling menonjol selama masa remaja adalah peningkatan impulsif
dan peningkatan prevalensi gangguan depresi dengan munculnya rasio 2:1 perempuan terhadap
laki-laki terhadap kelainan itu. Gangguan kejiwaan tumpang tindih: dalam sebuah penelitian
terhadap populasi umum Inggris lebih dari 10% anak-anak dan remaja dengan gangguan sikap
menentang memiliki gangguan emosional. Masalah emosional dan perilaku saling tumpang tindih,
misalnya, emosi temperamental adalah prediktor gangguan emosional dan gangguan sikap
menentang dan tampaknya merupakan prediktor kuat komorbiditas antara keduanya. Gangguan
Berbagai stresor psikososial seringkali dikaitkan dengan terjadinya masalah emosi dan
perilaku pada anak dan remaja, seperti adanya penyakit fisik, pola asuh yang inadekuat, kekerasan
dalam rumah tangga, hubungan dengan teman sebaya yang inadekuat, serta kemiskinan. Stresor
psikososial tersebut mempengaruhi proses perkembangan kognitif anak sehingga anak lebih
memandang negatif lingkungan sekitar dan juga persepsi yang negatif mengenai dirinya. Di
30
31
samping itu, stresor psikososial juga berkaitan dengan peningkatan emosi negatif, perilaku
disruptif dan impulsif, serta menimbulkan cara-cara interaksi yang negatif sehingga berdampak
pada hubungan dengan teman sebaya yang tidak optimal (Wiguna, dkk., 2010).
Faktor yang menyebabkan masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja antara lain:
1. Kondisi/Keadaan Fisik
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat
maupun kebutuhan psikisnya. Kondisi ini kadang menimbulkan perasaan inferioritas dan
menyebabkan ketidakstabilan emosi anak yang pada akhirnya berujung pada gangguan
perilaku.
2. Masalah Perkembangan
Erikson (2000) menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu
dihadapkan berbagai tantangan satu krisis emosi. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini,
individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakat. Sebaliknya
apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan
gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terjadi pada masa kanak-kanak dan masa
pubertas.
3. Lingkungan Keluarga
Keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak.
Keluargalah peletak dasar perasaan aman pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh
pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Aspek-aspek yang berkaitan dengan
31
32
masalah emosi dan tingkah laku, yaitu kasih sayang dan perhatian, keharmonisan keluarga
4. Lingkungan Sekolah
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah berasal dari guru dan
fasilitas pendidikan. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak menjadi tertekan dan
takut menghadapi pelajaran, sehingga anak lebih memilih membolos dan keluyuran. Fasilitas
pendidikan juga mempengaruhi gangguan tingkah laku. Sekolah yang tidak mempunyai
fasilitas untuk anak menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak
5. Lingkungan Masyarakat
Di dalam lingkungan masyarakat terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif
yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negatif
ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan
sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang
sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima oleh kalangan remaja dapat
Hallahan dan Kauffman (2006) mengemukakan tiga ciri khas kondisi emosi dan perilaku
1. Tingkah laku yang sangat ekstrem dan bukan hanya berbeda dengan tingkah laku anak
lainnya.
2. Suatu problem emosi dan tingkah perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara langsung,
32
33
3. Tingkah laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan dengan harapan
Heward & Orlansky (1988) dalam Sunardi (1996) mengatakan seseorang dikatakan
mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut
1. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra
maupun kesehatan.
3. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
diasosiasikan dengan permasalahan permasalahan pribadi atau sekolah (Aprilia & Indrajati,
2014).
Secara empiris, taksonomi problem emosi dapat dibagi menjadi dua dimensi umum, yakni
masalah internalisasi dan masalah ekternalisasi. Masalah eksternalisasi dapat dilihat dari
munculnya konflik dengan orang lain atau dikarenakan harapan yang tidak tercapai, seperti
perilaku agrresif dan perilaku nakal. Sedangkan masalah internalisasi mengindikasikan adanya
tekanan di dalam diri individu, seperti depresi, kecemasan, menarik diri dari lingkungan pergaulan,
dan keluhan somatik yang dapat berdampak negatif pada harga diri (self-esteem), prestasi belajar,
kesehatan, kompetensi sosial, penyesuaian diri individu di masa yang akan datang. Masalah
internalisasi sulit diidentifikasi oleh orang lain karena masalah internalisasi merupakan persepsi
33
34
Achenbach dan Rescorla dalam Ediati (2015) mengidentifikasi delapan jenis problem
Pencegahan dan penanganan masalah emosional dan perilaku secara tepat sejak dini
diharapkan dapat membantu remaja untuk perkembangan yang lebih baik bagi masa depannya.
Instrumen yang dapat digunakan untuk penapisan masalah emosional antara lain Pediatric
Symptom Checklist (PSC), Strength and Difficulties Questionaire (SDQ), Childs Behaviour
Checklist (CBCL), Children Social Behaviour Questionnaire (CSBQ) dan Computer Based
2.4 Hubungan Antara Adiksi Internet dengan masalah emosi dan perilaku
Adiksi internet adalah masalah kesehatan masyarakat yang muncul saat ini. Munculnya
teknologi baru, seperti internet dan situs media sosial yang terkait, telah memaparkan remaja
terhadap risiko daring (paparan pornografi, cyberbullying dan adiksi internet) dan risiko kesehatan
(depresi dan bunuh diri). Studi telah menghubungkan adiksi internet dengan meningkatnya
masalah cyberbullying remaja menyebabkan kerusakan mental, fisik dan sosial. Selain itu, terdapat
penelitian yang mengkaitkan adiksi internet dengan masalah psikiatri seperti konsumsi alkohol,
merokok, defisit perhatian dan hiperaktif, permusuhan, kesepian, rendahnya harga diri dan depresi.
Sebuah studi memiliki faktor terkait seperti rendahnya fungsi keluarga, ketidakpuasan keluarga,
34
35
hubungan orang tua dan remaja yang buruk, dan pemantauan orang tua yang rendah dengan adiksi
internet di kalangan remaja. Sebaliknya, pembatasan orang tua seperti peraturan mengenai waktu
yang dihabiskan untuk daring telah dikaitkan secara negatif dengan adiksi internet dan
Ha dkk (2012) menemukan hubungan antara adiksi internet dan depresi di kalangan
remaja di Korea. Yen dkk (2006) menunjukkan hubungan antara kecanduan internet dan gejala
depresi di bawah kendali dari gejala kejiwaan lainnya di kalangan remaja di Taiwan. Studi
wawancara diagnostik kejiwaan menunjukkan hubungan antara adiksi internet dan gangguan
depresi (gangguan depresi mayor dan distimia) pada mahasiswa. Studi potong lintang
menunjukkan terdapat hubungan antara adiksi internet dan depresi. Ko dan rekan (2012)
melakukan penelitian kuesioner untuk menunjukkan bahwa remaja dengan depresi lebih mungkin
untuk menjadi adiksi internet dengan periode follow-up dua tahun. Sejak internet menyediakan
sarana bagi remaja untuk mencari dukungan sosial, prestasi, kesenangan kontrol, dan dapat
melarikan diri dari masalah emosional di dunia nyata, tampaknya wajar bahwa remaja dengan
depresi akan lebih mungkin untuk menggunakan internet untuk mengurangi depresi, dan akan
Sebuah studi menemukan bahwa stres hidup dari interpersonal dan sekolah berkorelasi
positif dengan adiksi internet. Hasil tersebut mungkin juga didukung oleh studi klinis yang
penyalahgunaan zat, disebabkan oleh stres ringan kronis (Jie, dkk., 2014).
Internet bisa memberikan interaksi tanpa tatap muka dan akan mengurangi kecemasan
saat berinteraksi langsung. Bernardi dan Pallanti (2006) dalam Ko, dkk. (2014) menemukan bahwa
15% dari kasus orang dewasa adiksi internet diklasifikasikan memiliki gangguan kecemasan
35
36
sosial. Gejala kecemasan sosial dapat memprediksi munculnya adiksi internet di follow up selama
dua tahun. Karena penggunaan internet dapat memberikan dukungan sosial, remaja dengan fobia
sosial mungkin memanfaatkan untuk menghindari stres yang disebabkan oleh interaksi tatap muka
dengan orang lain. Namun, jika kesulitan sosial mereka di dunia nyata tidak membaik, remaja
dengan fobia sosial mungkin menerima dukungan sosial terutama dari internet, dan ini bisa
menurunkan motivasi mereka untuk bertemu dengan orang lain di dunia nyata. Kemudian, risiko
menjadi kecanduan penggunaan internet akan meningkat. Dalam kasus apapun, kecemasan sosial
adalah masalah kejiwaan yang penting layak mendapat perhatian lebih ketika mengobati adiksi
Perilaku agresif dikaitkan dengan adiksi internet pada remaja setelah menonton kekerasan
di televisi karena interaksi daring dapat menyebabkan penurunan tanggung jawab pribadi dan
individual. Perilaku agresif di internet dapat dipindahkan ke kehidupan nyata, dan mungkin
memiliki konsekuensi negatif yang signifikan baik untuk individu yang adiksi maupun hubungan
Sebuah studi menunjukkan hubungan yang kuat antara adiksi internet dan perilaku
permusuhan. Studi prospektif menunjukkan bahwa remaja dengan permusuhan yang lebih tinggi
memiliki risiko lebih tinggi berkembang menjadi adiksi internet. Untuk remaja, permusuhan tinggi
mungkin mengakibatkan konflik interpersonal atau penolakan. Banyak aktivitas internet, terutama
kekerasan tanpa pembatasan, tetapi itu tidak berarti kekerasan semacam ini tidak berbahaya (Ko,
dkk., 2012).
Sebuah studi menjelaskan bahwa orang yang didiagnosis dengan GPPH memiliki risiko
adiksi internet yang lebih tinggi daripada mereka tidak terdiagnosis GPPH. Studi komunitas
36
37
potong lintang sebelumnya telah menemukan hubungan yang signifikan antara adiksi internet dan
gejala GPPH pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa muda. GPPH adalah gangguan kejiwaan
yang paling umum di kalangan remaja dengan adiksi internet yang telah merujuk pada perawatan
psikiatri. Studi komunitas prospektif 2 tahun menemukan bahwa GPPH dapat memprediksi
Kurangnya kontrol diri dapat menyebabkan individu dengan GPPH memiliki kesulitan
dalam mengendalikan penggunaan internet dan karenanya menjadi rentan terhadap adiksi internet.
individu. Namun, dengan internet defisit tersebut dapat teratasi. Bagi orang-orang dengan GPPH
membangun hubungan interpersonal dunia maya lebih mudah daripada di dunia nyata (Ko, dkk.,
2012).
37