Anda di halaman 1dari 36

Referat

Peran Forensik Klinik dalam Kasus Keracunan

Oleh:

Cut Mutiara Sabrina 1010313071


Cantika Dinia Zulda 1010311012
Ilham Rizka Putra 1010313076
Dhia Afra 1010312070
Hasnal Laili Yarza 1010312091

Pembimbing :

dr. Rika Susanti, SpF


dr. Citra Manela, SpF
dr. Noverika Windasari

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Racun adalah zat yang bekerja pada tubuh secara fisiologik dan kimiawi yang dalam
dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau menyebabkan kematian. Keracunan
adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat baik di negara maju maupun
negara berkembang. Angka yang pasti dari keracunan di Indonesia belum diketahui secara
pasti, meskipun banyak dilaporkan kejadian keracunan di beberapa rumah sakit, tetapi angka
tersebut tidak menggambarkan kejadian yang sebenanya di masyarakat.
Dari data statistik diketahui bahwa penyebab keracunan yang banyak terjadi di
Indonesia adalah akibat paparan pestisida, obat-obatan, bahan kimia korosif , alkohol dan
beberapa racun alamiah termasuk bisa ular. Setiap tahunnya di Amerika puluhan ribu orang
meninggal akibat obat-obatan baik langsung maupun tidak langsung. 1
Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akibat yang
berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya.
Pemeriksaan laboratorium forensik mempunyai peranan yang penting dalam membantu
proses tindak kriminal pada kasus yang diduga keracunan. Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis tertarik untuk menulis referat Peran Forensik Klinik dalam Kasus Keracunan.

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan referat ini dibatasi pada peranan forensik klinik pada kasus keracunan
insektisida, alkohol, morfin dan heroin.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai


peranan forensik klinik pada kasus keracunan insektisida, alkohol, morfin dan heroin serta
sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian forensik da
medikolegal RSUP DR. M. Djamil, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

2
1.4 Metode Penulisan

Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk ke


berbagai literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya terhadap
organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di
reseptor, sifat fisiko kimis toksikan tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme,
paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Tosikologi forensik
menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan
peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun
kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam
ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang
dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan
interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan
hukum dan perundangan-undangan.2
Berdasarkan sumber, dapat dibagi menjadi racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan:
opium (dari papaver somniferum), kokain, kurare, aflatoksin (dari aspergilus niger), berasal
dari hewan : bisa / toksin ular/laba-laba/hewan laut, mineral : arsen, timah hitam atau sintetik:
heroin. 2
Berdasarkan tempat di mana racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang terdapat
dialam bebas, misalnya gas racun dialam, racun yang terdapat dirumah tangga; misalnya
detergen, disenfektan, insektisida, pembersih (cleaners). Racun yang digunakan dalam
pertanian, misalnya insektisida, herbisida, pestisida. Racun yang digunakan dalam industri
dan laboratorium, misalnya asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat dalam
makanan, misalnya CN dalam singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta
racun dalam bentuk obat, isalnya hipnotik, sedatif , dan lain-lain. 2
Dapat pula pembagian racun berdasarkan organ tubuh yang dipengaruhi, misalnya
racun yang bersifat hepatotoksik, nefrotoksik. Berdasarkan mekanisme kerja, dikenal racun
yang mengikat gugus sulfhidril (-SH) misalnya Pb, yang berpengaruh pada ATP-ase, yang
membentuk methemoglobin misalnya nitrat dan nitrit. (Nitrat dalam usus oleh flora usus
diubah menjadi nitrit). 2

2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Keracunan


Faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan : 2
a. Cara masuk.

4
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara masuk
lain, berturut-turut ialah intravena, intra muscular, intraperitoneal, subkutan, peroral, dan
paling lambat ialah bila melalui kulit yang sehat.
b. Umur,
Kecuali untuk beberapa jenis racun tertentu, orang tua dan anak-anak lebih
sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi prematur lebih rentan terhadap obat karena eksresi
melalui ginjal belum sempurna dan aktivitas mikrosom dalam hati belum cukup.
c. Kondisi tubuh.
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung, absorbsi dapat terjadi dengan lambat. Bentuk
fisik dan kondisi fisik, misalnya lambung berisi atau kosong.
d. Kebiasaan
Kebiasaan sangat berpengaruh pada racun golongan alkohol dan morfin, sebab
dapat terjadi toleransi, tetapi toleransi tidak dapat menetap, jika pada suatu ketika
dihentikan, maka toleransi akan menurun lagi.
e. Idiosinkrasi
Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran. Makin tinggi takaran makin cepat
(kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bekerja secara lokal,
misalnya asam sulfat. struktur kimia, misalnya calomel (Hg2Cl2) jarang menimbulkan
keracuanan sedangkan Hg sendiri dapat menyebabkan kematian. Morfin dan nalorfin
yang mempunyai struktur kimia hampir sama merupakan antagonis. Terjasi addisi antara
alkohol dan barbiturat atau alkohol dan morfin. Dapat pula terjadi sinergisme yang seperti
addisi, tetapi lebih kuat. Addisi dan sinergisme sangat penting dalam masalah mediko-
legal.
f. Waktu pemberian.
Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorbsi terjadi lebih baik
sehingga efek akan timbul lebih cepat. Jangka pemberian untuk waktu lama (kronik) atau
waktu singkat/sesaat.

5
2.3 Jenis-jenis Keracunan
2.3.1 Insektisida
2.3.1.1 Definisi
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan
atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah
semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan
untuk memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia.3
2.3.1.2 Penggolongan Insektisida
Insektisida dapat digolongkan menjadi:
1. Golongan Hidrokarbon Terkhlorinasi
a. Definisi
Hidrokarbon terklorinasi merupakan bahan campuran yang
ditemukan dalam insektisida, yang bersifat persisten dan dapat
terakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan
makhluk hidup lainnya. Hidrokarbon terklorinasi tidak reaktif, stabil,
memiliki kelarutan yang sangat tinggi di dalam lemak, dan memiliki
kemampuan degradasi yang rendah.4

Jenis hidrokarbon terklorinasi yang terdeteksi adalah DDT,


Dieldrin, aldrin, Endrin, chlordane, lidane, methoxychlor, toxaphane,
dan BHC ( benzene hexa chlorida) yang hampir sama dengan DDT.4

DDT adalah senyawa hidrokarbon terklorinasi. Tiap heksagon dari


struktur ini terdapat gugus fenil (C6H5 -) yang memiliki atom klor yang
mengganti satu atom hidrogen. Namun, perubahan kecil pada struktur
molekularnya dapat membuat hidrokarbon terklorinasi ini aktif secara
kimia. DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang
kimiawan bernama Paul Herman Moller menemukan dengan dosis
kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat dibunuh
dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT
dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida
bila dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis
arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari
kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT. Sebagai

6
suatu senyawa kimia yang persisten, DDT tidak mudah terdegradasi
menjadi senyawa yang lebih sederhana.5

b. Cara Kerja

Farmakokinetik

DDT (Dikloro difenil trikloro etana = klorofenotan) yang


lambat diabsobrsi melalui saluran cerna. Insektisida dalam bentuk
bubuk tidak diabsorbsi melalui kulit, tetapi dilarutkan dalam
solven organik mungkin dapat diabsorbsi melalui kulit. Absorbsi
dapat pula melalui pernapasan bila seseorang terpapar pada
aerosol. Setelah diabsorbsi, DDT dalam jumlah besar ditimbun
dalam lemak. DDT mengalami degradasi dengan lambat daalam
jaringan menjadi DDA (asam dikloro difenil asetat) dan mungkin
pula produk degradasi lain. Setelah pemberian, DDT sedikit sekali
atau tidak ada DDT dalam bentuk tidak berubah dijumpai dalam
urin. Tetapi ekskresi klorin organik melalui saluran kemih
meningkat, dan mencapai puncaknya dalam 24 jam, kemudian
perlahan-lahan turun sampai 10 hari. Sebagian besar klorin ini
terdapat dalam bentuk DDA. Hanya 20% dari DDT yang ditelan
dijumpai sebagai DDA dalam urin. DDT memiliki waktu paruh
hingga delapan tahun, yang berarti setengah dari dosis DDT yang
terkonsumsi baru akan terdegradasi setelah delapan tahun.4

Farmakodinamik

DDT merupakan stimulator SSP yang kuat dengan efek


eksitasi langsung pada neuron, yang mengakibatkan kejang-kejang
dengan mekanisme yang belum jelas. Derajat kejang sebanding
dengan kadar DDT dalam otak. Kejang bersifat epileptiform
dengan interval kejang yang makin lama semakin meningkat. DDT
juga mengakibatkan sensitivitas miokardium meningkat. Kematian
bterjadi akibat depresi pernapasan atau fibrilasi ventrikel. Takaran
toksik DDT pada manusia adalah 1 gran dan takaran fatalnya 30
gram. Takaran fatal pada binatang untuk aldrin 2-5 gram, dieldrin

7
2-5 gram, endrin 10 mg/kg BB, chlordane 6 gram, lidane 15-30
gram, methoxychlor 350-500 gram, toxaphene 2-7 gram.4

c. Gejala Keracunan

Manifestasi utama keracunan adalah muntah-muntah, tremor, dan


kejang-kejang. Gejala pada keracunan ringan adalah merasa lelah,
berat dan sakit kepala, parestesia pada lidah, bibir dan muka, gelisah
dan lesu metal. Gejala pada keracunan berat adalah pusing, gangguan
keseimbangan, bingung, rasa tebal pada jari-jari, tremor, mual, muntah,
fasikulasi, midriasis, kejang tonik dan klonik, kemudian koma.6

d. Pengobatan Keracunan
Prinsip pengobatan pada keracunan akut:4

1. Tindakan darurat medik


a. Bilas lambung dengan air hangat 2-4 liter.
b. Emetik: sirup Ipekak 15 ml, kemudian diberi minum air,
susu, atau sari buah.bila dalam 15 menit tidak timbul
muntah, segera ulang kembali dengan takaran yang sama.
c. Kulit yang terkontaminasi dicuci dengan air dan sabun,
pakaian yang terkena racun harus dilepaskan.
d. Berikan pernapasan buatan dengan oksigen bila terdapat
gangguan pernapasan.
2. Tindakan umum
a. Antikonvulsan: luminal 100 mlg subkutan tiap jam sampai
kejang teratasi atau pemberian luminal telah mencapai 500
mg. Bila kejang hebat, beri sodium pentobarbital 100-500
mg intavena kemudian disusul dengan pemberian 100 mg
luminal subkutan secukupnya.
b. Stimulan tidak boleh diberikan, terutama epinefrin karena
akan menimbulkan fibrilasi ventrikel, mengingat bahwa
pada keracunan insektisida golongan ini menyebabkan
miokardium menjadi sensitif (seperti pada halnya
pemberian kloroform).

8
c.
Prinsip pengobatan pada keracunan kronik:4

1. Pindahkan korban dari lingkungan pekerjaan agar tidak kontak


lagi dengan racun.
2. Diet tinggi karbohidrat, vitamin, dan kalsium untuk mencegah
nekrosis hati.
3. Bila ditemukan tremor beri luminal per oral.
4. Untuk mencegah infeksi dapat diberikan antibiotik.

e. Prognosis Keracunan
d.
Keracunan ringan akan sembuh dengan sempurna. Sedangkan
keracunan berat dengan kejang-kejang hebat dan lama,
penyembuhannya sukar diramalkan. Penyembuhan mungkin
memerlukan waktu 2-4 minggu.4

f. Pemeriksaan Kedokteran Forensik


e. Pada keracunan kronik, dilakukan biopsi lemak tubuh yang
diambil pada perut setinggi garis pinggang minimal 50 gram dan
dimasukkan ke dalam botol bermlut lebar dengan penutup dari gelas
dan ditimbang dengan ketelitian 0,1 mg. Pada keadaan normal,
insektisida golongan ini dalam lemak tubuh terdapat kurang dari 15
ppm. 4
2. Golongan Inhibitor Kolonesterase
a. Definisi
1) Organofosfat
f.
Organofosfat merupakan insektisida yang berasal dari
ester asam fosfat atau asam tiofosfat `dan banyak digunakan dalam
pertanian,rumah tangga, perkebunan dan praktek dokter hewan.
Contoh jenis insektisida ini adalah Azinophosmethyl, Chloryfos,
Demeton Methyl, Dichlorovos, Dimethoat, Disulfoton, Ethion,
Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon, dan Chlorpyrifos.
Waktu paruh insektisida ini tergantung pada derajat keasaman atau
pH dimana pada pH netral waktu paruhnya berkisar beberapa jam
untuk diklorovos hingga beberapa minggu untuk parathion dan
jika pH sedikit asam waktu paruhnya akan meningkat beberapa
kali. Organofosfat bersifat lebih toksik pada hewan-hewan

9
bertulang belakang seperti ikan, burung, cicak dan mamalia karena
pengaruhnya dalam memblokade penyaluran impuls syaraf dengan
mengikat enzim asetilkolinesterase. Di Indonesia, insektisida
organofosfat, jenis diklorvos dan klorfirifos telah dilarang sejak
tahun 2007.5
g.
2) Karbamat
h. Karbamat merupakan ester asam Nmetilkarbamat yang
memiliki daya toksisitas yang rendah terhadap mamalia
dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif dalam
membunuh insekta. Contoh jenis ini adalah Aldikarb, Benfurakarb,
Karbaril, Fenobukarb (BPMC), Metiokarb, dan Propoksur.
Keracunan pada manusia dapat terjadi melalui mulut, inhalasi, dan
kulit. Karbamat akan mengalami karbamilasi dari enzim asetil
kholinesterase jaringan dan menimbulkan akumulasi asetilkholin
pada sambungan kholinergik yang mekanismenya sama dengan
golongan organofosfat.
i.

j. Gambar 2.1. asetilkolinesterasi yang terkarbamilasi

b. Cara Kerja
k. Organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh, melalui saluran
pernafasan atau inhalasi, saluran cerna atau digesti dan permukaan
kulit yang tidak terlindungi atau penetrasi. Umumnya organofosfat
yang diperdagangkan dalam bentuk thion (mengandung sulfur) atau
yang telah mengalami konversi menjadi okson (mengandung
oksigen), okson bersifat lebih toksik dari bentuk thion. Konversi dari
thion menjadi -okson juga dijumpai secara invivo pada metabolism
mikrosom hati sehingga okson menjadi pestisida bentuk aktif pada

10
hama binatan dan manusia. Hepatik esterase dengan cepat
menghidrolisa organofosfat ester, menghasilkan alkil fosfat dan fenol
yang memiliki aktifitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi. 5
l. Organofosfat menimbulkan efek pada serangga, mamalia dan
manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada saraf. Fungsi normal
asetilkolin esterase adalah hidrolisa dan dengan cara demikian tidak
mengaktifkan asetilkolin. Mekanisme toksisitas memerlukan
pengetahuan lebih dulu aksi kolinergik neurotransmiter yaitu
asetilkolin (ACh). Reseptor muskarinik dan nikotinik-asetilkolin
dijumpai pada sistem saraf pusat dan perifer. Pada sistem saraf perifer,
asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik :
1. sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik
2. sinaps postganglion parasimpatik
3. neuromuscular junction pada otot rangka.
m.
Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan
neurotransmiter untuk memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf
pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui
hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada
dua bentuk AChE yaitu true cholinesterase atau asetilkolinesterase
yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular junction.
Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada
serum, plasma dan hati. 5
n.
Insektisida organofosfat menghambat AChE melalui proses
fosforilasi bagian ester anion. Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali yang
irreversibel. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai enzim baru
terbentuk atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan
berfungsi sebagai antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim
kolinesterase yang berfungsi menghidrolisa neurotransmiter asetilkolin
(ACh) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan
ACh pada sinaps-sinaps kolinergik, dan inilah yang menimbulkan
gejala-gejala keracunan organofosfat. Pajanan pada dosis rendah, tanda
dan gejala umumnya dihubungkan dengan stimulasi reseptor perifer
muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor
nikotinik dan reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan

11
menurun, dalam dua atau empat minggu pada pseudocholinesterase
plasma dan empat minggu sampai beberapa bulan untuk eritrosit.5
o.
p.
q.
r.
s.
Gambar 2.2. Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Menjadi Asetat
& Kolin oleh Enzim Asetilkolinesterase5
t.
c. Gejala Keracunan
1) Organofosfat
u.
Gejala awal keracunan organofosfat adalah anoreksia,
sakit kepala, pusing, cemas berlebihan, tremor pada mulut dan
kelopak mata, miosis, dan penurunan kemampuan melihat. Pada
tingkat paparan yang sedang, gejala dan tanda yang bisa timbul
berupa keringat berlebihan, mual, air ludah berlebih, lakrimasi,
kram perut, muntah, denyut nadi menurun, dan tremor otot. Jika
paparan yang terkena berlebihan maka akan menimbulkan
kesulitan pernafasan, diare, edema paru-paru, sianosis, kehilangan
kontrol pada otot, kejang, koma, dan hambatan pada jantung5
v.
w.
x.
y.
z.
aa.
ab.
ac.
ad.
ae. Gambar 2.3. Tanda dan Gejala Klinis
Keracunan Organofosfat
2) Karbamat
af.
Gejala yang ditimbulkan sama dengan keracunan
organofosfat, namun timbulnya mendadak dan pengaruhnya
terhadap enzim asetilkolinesterase tidak berlangsung lama, karena
prosesnya cepat dan reversible sehingga saat timbul gejala, gejala
tersebut tidak bertahan lama dan cepat kembali normal. Insektisida
kelompok ini mampu bertahan dalam tubuh antara 1 sampai 24 jam

12
kemudian diekskresikan. Karbamat jenis propoksur masih
digunakan sebagai insektisida rumah tangga dengan waktu paruh
sekitar 4 jam dan tetap berbahaya jika terjadi akumulasi.5
ag.
d. Pengobatan Keracunan
ah.
Keracunan Akut4
ai. Tindakan darurat:
1. Sulfas atropin dosis tinggi
2. Nafas buatan dan oksigen. Nafas buatan tidak boleh dari mulut
ke mulut.
3. Kulit yang terkontaminasi dicuci dengan air dan sabun.
4. Bilas lambung dengan air hangat atau perangsangan muntah
dengan sirup ipekak.
5. Laksativa, Magnesium sulfat 25 gram dalam satu gelas air.
6. Pemberian sulfas atropin 2 mg IM, diulang tiap 3-6 menit
hingga timbul gejala atropinisasi.
aj. Dosis sulfas atropin untuk anak 0,04 mg/kgBB.
7. Kolinesterase reaktivator, hanya untuk keracunan organofosfat.
ak.
al. Tindakan Umum
1. Sekret pada jalan nafas dikeluarkan dengan suction
2. Hindari pemakaian morfin, aminofilin, barbiturat, fenotiazin,
dan obat-obatan lain yang dapat menimbulkan depresi
pernafasan.
3. Jika kejang diatasi dengan antikejang.
am.
e. Prognosis Keracunan
an.
Masa kritis pada keracunan akut adalah 4-6 jam pertama.
Prognosis korban sangat ditentukan oleh pengobatan.4

13
ao.

f. Pemeriksaan Kedokteran Forensik


ap.
Diduga keracunan insektisida golongan inhibitor kolinesterase
apabila:4
1. Gejala-gejala cepat timbul (kurang dari 6 jam)
2. Gejala bersifat progresif
3. Gejala-gejala tidak termasuk ke dalam sindrom apapun. Gejalanya
dapat menyerupai gastroenteritis, sefalitis, pnemonia, dan penyakit
lainnya.
aq. Diagnosis keracunan ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya
riwayat kontak dengan insektisida golongan tersebut, gejala-gejala
keracunan, dan pemeriksaan laboratorium.
ar. Pada korban meninggal akibat keracunan akut, hanya
ditemukan tanda-tanda asfiksia, edema paru, dan bendungan organ-
organ tubuh.
as. Pada keracunan kronik, yang telah dilakukan pada binatang
percobaan, ditemukan nekrosis sentral, degenarasi bengkak keruh pada
hati, vakuolisasi, girolisis, dan retikulasi basofilik pada otak dan
medula spinalis, perlemakan miokondrium, dan degenerasi sel tubulus
ginjal.
at.
g. Pemeriksaan Laboratorium
au.
Untuk pemeriksaan laboratorium diperlukan darah, jaringan
hati, limpa, paru-paru, dan lemak tubuh. Penentuan kadar AchE dalam
darah dan plasma dilakukan dengan cara tintometer (Edson) dan cara
paper-strip (Acholest). 4
av. Cara Edson: berdasarkan perubahan pH darah
aw. AChE
ax. ACh --------------> kolin + asam asetat
ay. Darah korban ditambahkan dengan indokator brom-timol-biru,
diamkan dan dilihat perubahan warnanya. Warna yang timbul
dibandingkan dengan warna standar pada comparator disc dan dapat
ditentukan kadar AChE dalam darah

14
az.
Tabel 2.1 Interpretasi kadar AChE dalam darah4
ba. % bb.
akt I
ifit
as
Ac
hE
dar
ah
bc. 75 bd.
%- T
100
%
dar
i
nor
mal
be. 50 bf.
%- K
75
%
dar
i
nor
mal
bg. 25 bh.
%- K
50
%
dar
i
nor
mal
bi. 0% bj.
- K

15
25
%
dar
i
nor
mal
bk.
bl. Cara Acholest:
bm.
Serum darah korban diambil dan diteteskan pada kertas
Acholest bersamaan dengan kontrol serum nomal. Kemuadian dicatat
waktu perubahan warnanya hingga menjadi warna kuning telur.4
bn.
Tabel 2.2 Interpretasi waktu perubahan warna pada teknik
Acholest4
bo. bp. In
W te
r
p
re
ta
si
bq. br. Ti
< da
k
ad
a
ke
ra
cu
na
n
bs. bt. K
2 er
ac
u

16
na
n
ri
n
ga
n
bu. bv. K
3 er
ac
u
na
n
be
ra
t
bw.
h. Pemeriksaan Toksikologi
bx. Kristalografi
by.
Bahan sisa makanan atau minuman, muntahan, atau isi
lambung dimasukkan ke dalam gelas beker, dipanaskan dengan
pemanas air sampai kering. Kemudian dilarutkan ke dalam aceton, dan
disaring dengan kertas saring. Filtrat yang didapatkan, diteteskan ke
dalam arloji, dan dipanaskan lagi sampai kering. Dilihat di bawah
mikroskop apakah ada kristal-kristal seperti sapu. Jika ada, maka itu
adalah golongan hidrikarban yang terklorinisasi.4
bz. Kromatografi Lapisan Tipis
ca.
Pemeriksaan ini menggunakan kaca yang berukuran 20 cm x 20
cm yang dilapisi dengan absorben gel silikat atau aluminium oksida,
kemudian dipanaskan pada suhu 110oC selama 1 jam.4
cb.
Darah atau jaringan tubuh korban yang sudah diambil
diteteskan dengan mikropipet pada kaca dan juga disertai dengan
tetesan zat lain yang telah diketahui golongan dan konsentrasinya
sebagai pembanding. Ujung TLC diteteskan ke dalam pelarut, n-
Hexan. Akan tetapi, celupan tidak boleh mengenai tetesan zat tadi.

17
Dengan daya kapilaritas, maka pelarut akan ditarik ke atas sambil
menurunkan filtrat-filtrat tadi. Kemudian kaca TLC dikeringkandan
disemprot dengan Paladium klorida 0,5% dalam HCl pekat dan
Defenilamin 0,5% dalam alkohol. Jika hasilnya berwarna hitam, berarti
golongan hidrokarbon terklorinasi. Warna hijau dengan dasar dadu
berarti golongan organofosfat.4
cc.
2.3.2 Alkohol
2.3.2.1 Definisi
cd.Alkohol adalah suatu yang mempunyai gugus fungsional OH, salah
satunya adalah etanol (C2H5OH). Dari sudut padang medikolegal, alkohol
merupakan faktor yang paling sering berkontribusi terhadapa kematian akibat
kekerasan atau kematian natural, juga inisiden nonfatal. Istilah yang sering
digunakan untuk mengindikasikan penggunaan alkohol yang berulang atau
berlebihan adalah alcohol misuse, yang dapat menyebabkaan permasalahan
sosial, psikologis, dan fisik. Penanda paling sensitif untuk alcohol misuse adalah
konsentrasi serum enzim -glutamyl transferase (-GT) dan mean corpuscular
volume (MCV) eritrosit.7
ce.
Aktivitas -GT segera kembali normal setelah penghentian penggunaan
alkohol. Peningkatan MCV akibat penggunaan alkohol memerlukan waktu 3
bulan untuk mencapai angka normal setelah penghentian penggunaan,
merefleksikan turnover eritrosit oleh sumsum tulang. Alkohol absolut
mengandung 99,95% alkohol.7
2.3.2.2 Konsentrasi Alkohol
cf. Konsentrasi alkohol di darah, urine, dan napas diekspresikan
dengan berbagai macam satuan metrik, yang paling sering digunakan adalah berat
alkohol per volume diluent (mg/100 ml), atau desiliter juga dapat digunakan
selain 100 ml (mg/dl). Pengukuran napas menggunakan satuan mikrogram per
100 ml (g/100 ml). Kekuatan tepat dari minuman beralkohol biasa adalah pint
bir (38%), 1 gelas spirit (brandy, gin, whisky, rum, vodka, dll.) (4055%), 1
gelas wine (814%), 1 gelas sherry (1723%).7
cg.
2.3.2.3 Farmakokinetik

18
ch.
Alkohol masuk ke dalam tubuh terutama oleh ingesti minuman
beralkohol yang merupakan campuran antara alkohol, air, dan substansi lain
(congeners) yang diproduksi pada proses fermentasi. Congeners tersebut
menyebabkan rasa dan bau yang bervariasi dan dapat bertahan di jaringan
beberapa jam setelah alkohol dimetabolisme.7
ci.
Alkohol dapat diabsorbsi di sistem pencernaan bagian manapun.
Duodenum dan jejunum mempunyai kapasitas maksimal untuk absorpsi, diikuti
oleh mukosas gaster. Makanan berlemak dan sus akan memperlambat proses
absorpsi. Lambung yang penuh akan memperlambat absorpsi karena bercampur
dengan alkohol dan menurun aksesnya terhadap mukosa lambung dimana terjadi
penyerapan ke dalam darah. Faktor lain yang memengaruhi kecepatan absorpsi
adalah konsentrasi alkohol. Bila konsentrasi alkohol optimal dan masuk ke dalam
lambung kosong, konsentrasi alkohol darah akan tercapai dalam 30-90 menit.7
cj. Alkohol yang diabsorpsi akan dibawa dari saluran pencernaan ke hepar
melalu vena porta. Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi alkohol pada darah
vena porta melebihi konsentrasi darah di organ lain selama fase aktif absorpsi.
Kemudia, kadar alkohol di vena porta akan menurun setelah dimetabolisme di
hepar dan bercampur dengan darah dari a. hepatica. Selanjutnya, darah akan
dibawa oleh vena cava inferior menuju jantung dan masuk ke sirkulasi.7
ck.
Ketika equilibrium tercapai, distribusi alkohol pada berbagai jaringan
dan cairan tubuh adalah sebagai berikut : darah (1.00), plasma or serum (1.12
1.20), otak (0.85), Cairan spinal (1.101.27), urine (ureteral) (1.3), udara alveolar
(1/2100) and hepar (0.85). Lebih dari 90% alkohol yang diabsorbsi, dieliminasi
dari tubuh melalu proses oksidasi yang dipengaruhi oleh hepar. Sebanyak 10%
alkohol dapat dieliminasi melalui ginjal, paru-paru, kelenjar keringat, dan usus
besar.7
cl. Tahap-Tahap Intoksikasi Alkohol
cm.
Tiga tahap intoksikasi alkohol menurut sudut pandang medikolegal,
adalah sebagai berikut.7
cn.1. Tahap Eksitasi (Konsentrasi Alkohol darah 50150 mg%)
co. Adanya perasaan bahagia, senang, dan kegembiraan. Tingkah laku,
bicara, dan emosi tidak dapat dikontrol karena penurunan inhibisi normal. Wajah
memerah, adanya injeksi konjungtiva, pupil berdilatasi dan terjadi penurunan
refleks cahaya. Dapat terjadi alcohol gaze nystagmus, yaitu adanya gerakan bola

19
mata tiba-tiba yang searah dengan pandangan dan tidak tergantung oleh posisi
kepala. Konsentrasi buruk dan adanya gangguan penilaian.
cp.
cq.2. Tahap Inkoordinasi (Konsetrasi alkohol darah 150300 mg%)
cr. Terjadi inkoordinasi pikiran, bicara, dan tingkah laku. Inkoordinasi
pikiran menyebabkan gangguan kesadaran, cara bicara menjadi tidak jelas.
Inkoordinasi otot menyebabkan terjadinya staggering gait. Pupil dilatasi, refleks
cahaya menurun, pandangan kabur, mulut kering, dan nafas bau alkohol. Dapat
terjadi mual dan muntah. Secara medikolegal, tahap ini merupakan tahap yang
penting, karena kecelakaan lalu lintas dapat terjadi jika seseorang dalam tahap ini
mengemudi.
cs.
ct. 3. Tahap Narkosis (Konsentrasi alkohol darah > 300 mg%)
cu. Tahap ini disebut juga sebagai tahap koma. Penderita dapat masuk ke
fase tidur yang dalam dan hanya merespon rangsangan kuat. Sering ditemukan
gejala mulut kering. Nadi cepat, suhu subfebril, dan pupil mengecil. Tetapi, jika
diberikan rangsangan, pupil penderita akan dilatasi dan kembali ke ukurannya
semula dalam waktu lambat (Macewan sign). Paralisis medula yang progresif
tampak dari gejala seperti pernapasan yang terganggu, kulin sianotik dan
berkeringat, pupil berdilatasi, hilangnya refleks, da lain-lain. Kematian terjadi
akibat paralisis pusat pernapasan.
cv. Penyembuhan terjadi setelah tidur beberapa jam dengan gejala sisa
seperti sakit kepala, mual, pusing, dan lain-lain (gejala hangover) yang
diakibatkan oleh hipoglikemia atau edema otak. Saturday night paralysis terjadi
pada tahap ini. Koma berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan otak
hipoksik yang irreversibel.
cw.
cx.Dosis Fatal
cy. Hal ini bergantung kepada usia dan kebiasan individu serta kuatnya
alkohol yang diingesti. Konsentrasi alkohol darah 400500 mg% atau lebih dapat
menyebabkan kematian.7
cz.
Periode fatal biasanya terjadi dalam 12024 jam. Faktor-faktor yang
memengaruhi waktu konsentrasi maksimal dan kuantitas alkohol di darah antara
lain : (i) berat badan, (ii) kadar dan konsentrasi alkohol yang diingesti, (iii)

20
apakah alkohol diminum dalam 1 tegukan atau berinterval, (iv) ada atau tidaknya
makanan, (v) adiksi alkohol sebelumnya, dan (vi) lama istirahat atau jumlah
latihan setelah konsumsi alkohol.7
da.
2.3.2.4 Diagnosis
db.
Ditemukan gejala seperti bau mulut, dilatasi pupil, penurunan refleks
cahaya pupil, inkoordinasi, perkataan yang tidak jelas, serta adanya riwayat
penggunaan alkohol penting dalam dokumentasi intoksikasi alkohol. Kadar
alkohol dalam darah berhubungan langsung dengan gejala yang terjadi.7
dc.

2.3.2.5 Tatalaksana
dd.
Prioritas utama adalah memastikan tanda-tanda vital stabil tanpa bukti
depresi napas, aritmia jantung, dan lain-lain. Keadaan yang mengancam jiwa
memerlukan tatalaksana gawat darurat dan perawatan di rumah sakit. Pertahankan
patensi jalan napas, berikan thiamine 100 mg intravena, lakukan terapi cairan.7
de.

2.3.2.6 Laboratorium
df.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kuantitatif kadar
alkohol darah, kadar alkohol dari udara ekspirasi dan urine dapat dipakai sebagai
pilihan kedua. Salah satu cara penentuan semikuantitatif kadar alkohol dalam
darah atau urine adalah teknik modifikasi mikrodifusi (Conway). Jika tampak
warna kuning kenari menunjukkan hasil yang negatif, kuning kehijauan
menunjukkan kadar etanol sekitar 80mg%, sedangkan warna hijau sekitar 300 mg
%.5
2.3.3 Narkotika
2.3.3.1 Morfin
a. Epidemiologi
dg. Berdasarkan data kasus Narkoba di Indonesia selama 11 tahun
yaitu dari tahun 1997 hingga 2008, jumlah pengunaan narkotika adalah
paling tertinggi rata rata per tahun adalah 47.2% dibandingkan dengan
psikotropika 38.2% dan zat adiktif 14.6%. Selain itu hasil pemantauan
Badan Narkotika Nasional Indonesia menunjukkan jenis jenis narkotika
yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah Heroin, Kokain,Candu
dan Morphin. Di kalangan empat jenis narkotika, kasus heroin banyak

21
dijumpai yiaitu sebanyak 64%, dikuti dengan kokain sebanyak 30.1%,
candu 4.1% dan morphin 1.8%. 8
b. Farmakodinamik 2
1. Susunan Saraf Pusat
a) Narcosis
dh. Efek morfin terhadap SSP adalah berupa analgesia dan
narcosis. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada
pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya,
pada orang normal seringkali menimbulkan disforia dengan gejala
perasaan kuatir atau takut, disertai dengan mual dan muntah. Dalam
lingkungan yang tenang morfin dengan dosis terapi (15-20 mg)
akan menyebabkan tidur cepat dan nyenyak disertai mimi, napas
lambat dan miosis.
b) Analgesia
di. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan
dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan
medula spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri
c) Eksitasi
dj. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan
muntah, sedangkan dlirium dan konvulsi lebih jarang timbul.
Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan
tingkat eksitasi refleks ( reflex excitatory level ) SSP.
d) Miosis
dk. Morfin dan kebanyakan agonis opioid dapat
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada
segmen otonom pada inti saraf okulomotor. Pada intoksikasi
morfin, pin points pupil merupakan gejala yang khas. Dilatasi
berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin,
yaitu jika sudah ada asfiksia
b) Depresi napas
dl. Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan
bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di
batang otak. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi
napas tanpa menyebabkan tidr atau kehilangan kesadaran. Dosis
toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali / menit. Pada
depresi napas terjadi penurunan frekuensi napas, volume semenit
dan tidal exchange, akibatnya PCO2 dalam darah dan udara

22
alveolar meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaan
pusat napas terhadap CO2 berkurang
dm.
2. Saluran Cerna
a) Lambung
dn. Morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang,
tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang
sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi
lambung ke duodenum diperlambat.
b) Usus halus
do. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas dan
memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia,
morfin mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan
spasme periodik usus halus. Penerusan isi uss yang lambat disertai
sempurnanya absorpsi air menyebabkan isi usus menjadi lebih
padat.
c) Usus Besar
dp. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan
propulsi uss besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme
usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja
menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi
morfin sehingga pasien tidak merasakan kebuuhan untuk defekasi.
3. Sistem kardiovaskuler
dq. Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan
darah, frekuensi maupun irama denyt jantung. Peubahan yang terjadi
adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor
yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat
hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin.

23
dr.
4. Otot Polos
ds. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta
kontraksi ureter dan kandung kemih.
5. Kulit
dt. Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh
darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di
flush area ( muka, leher dan dada bagian atas ). Keadaan tersebut
mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya pelepaan histamin oleh
morfin dan seingkali disertai dengan kulit yang berkeringat. Prurits
kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat pelepasan histamin atau
pengaruh langsung morfin pada saraf.
du.
c. 2,5
Farmakokinetik
dv. Absorpsi dapat berlangsung di saluran cerna, selaput lendir
hidung dan paru, suntikan IV,IM, SC dan kulit yang luka. Mula kerja
semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah
suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi
dengan asam glukoronat di hepar, sbagian dikeluarkan dalam bentuk
bebas dan 10 % tidak diketahui nasibnya. Morfin sangat cepat hilang dari
darah (2,5 menit pada binatang percobaan) dan terkonsentrasi dalam
jaringan parenkim seperti ginjal, paru, hati dan limpa.
dw. Morfin dapat melintasi sawar urin dan mempengaruhi janin.
Ekskresi morfin tertama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan
dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan
lambung.
dx.
d. Tanda dan Gejala Keracunan
dy. Keracunan dapat terjadi secara akut maupun kronik. Keracunan
akut biasanya terjadi akibat percobaan bunh diri atau pada takar lajak,
tetapi dapat pula terjadi pada kecelakaan dan pembunuhan.5
dz. Intoksikasi akut morfin biasanya akibat percobaan bunuh diri
atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor ata koma jika intoksikasi
cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali/ menit, pernapsan berupa
Cheyne stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak

24
kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai
tejadi syok bila napas memburuk, dan diperbaiki dengan memberikan
oksigen. Pupil sangat kecil ( pin point pupils), kemudian midriasis jika
telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena tejadi
pelepasan ADH dan turnnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit
terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. 2
ea. Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut : 2
1) Habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga pasien
ketagihan akan morfin
2) Ketergantungan fisik, yaitu kebutuahn akan morfin karena faal
dan biokimiawi tubuh tidak berfungsi lagi karena morfin
3) Adanya toleransi
eb.
e. Pemeriksaan
ec. Pada korban hidup yang menunjukkan gejala keracunan
narkotika, perlu dilakukan pengambilan urin untuk pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium untk mendeteksi adanya
narkotika minimal adalah Kromatografi lapis tipis (TLC). Cara
pemeriksaan lain adalah menggunakan teknik GLC ( Kromatografi gas )
dan RIA ( Radio Immuno-assay ). 5
ed. Untuk mendeteksi seseorang apakah ia pecandu atau bukan,
dapat diketahui melalui : 5,9
1) Uji Nalorfin
ee. Pemberian nalorfin pada pecabdu morfin akan mempelihatkan
midriasis dan gejala puts obat lainnya. Teapi bila midriasis tidak
terjadi, maka belum tentu ia bukan pecandu.
ef. Caranya : ukur diameter pupil dengan pupilometer dan laukan
pemeriksaan ini dalam ruang khusus yang tidak dipengaruhi cahaya.
Pemeriksaan dilakukan lagi 30 menit setelah diberikan 3 mg Nalorfin
subkutan.
2) Analisa urin
eg. Dapat dikerjakan tersendiri atau bersama-sama dengan uji
nalorfin bila masih meragkan uji nalorfin. Analisa urin merupakan
cara yang paling baik dan paling sering dipakai.
eh. Salah satu metode yang digunakan adalah metode ekstraksi
Deckert yang dimodifikasi oleh F.W.Oberst.

25
ei. Alat-alat yang digunakan :
1. gelas beker
2. corong pemisah (separatory funnel)
3. kertas saring (Whatman no. 42)
4. cawan porselein
5. tabung reaksi
6. corong untuk menyaring
7. mikro pipet dengan skala
ej.
ek. Reagensia : 1. Asam Khorida 0,5 %
el. 2. Asam sulfat 7 %
em. 3. Ammonium molibdat 10 %
en. 4. Amonium vanadat 2%
eo. Prosedur Kerja :
1. Masukkan 35 ml urine ke dalam sebuah gelas beker,
dijenuhkan dengan kristal Natrium bikarbonat, disaring, ambil
filtratnya.
2. Masukkan 25 ml filtrat ke dalam corong pemisah, ditambahkan
larutan etil asetat dengan jumlah volume yang sarna, dikocok kuat-
kuat selama 3 menit, dibiarkan sehingga terbentuk dua lapisan etil-
asetat nya.
3. Ekstraksi diulangi sekali lagi.
4. Saring ekstrak etil-asetat dengan kertas saring yang kering
untuk menghilangkan sisa-sisa urine yang masih ada.
5. Tambahkan kepada ekstrak 0,2 ml larutan asam khlorid 0,5 %,
diuapkan sampai kering di dalam sebuah cawan porselein.
6. Larutkan residu dengan 1,5 ml aquadest dan 0,2 ml larutan
asam sulfat 7 %. Tambahkan 0,2 ml larutan ammonium molibdat
10 %, biarkan selama 20 menit.
7. Saring dengan kertas saring basah ke dalam sebuah tabung
reaksi. Cuci kertas saring tiga kali, setiap kalinya dengan 0,5 ml
aquadest. Air pencuci biarkan bercampur dengan filtrat. Volume
total filtrat ditambah air pencuci jangan lebih dari 3 ml.
8. Tambahkan 0,1 ml (2 tetes) ammonium vanadat 2 %, diaduk.
9. Jika martin ada, maka dalam waktu yang singkat campuran
akan menjadi keruh karena terbentuknya granula warna putih
molibdat-vanadat kompleks.
ep. Interpretasi hasil :
eq. Kekeruhan larutan menentukan banyaknya martin
dalam urine. Makin keruh berarti makin banyak morfinnya. Larutan

26
yang sedikit jernih menunjukkan tidak terdapatnya morfin dalam
urine. Senyawa Kinina, dengan cara di atas menghasilkan endapan
berwarna kuning yang terjadi dengan segera.
er. Ekskresi morfin terutama melalui urine, baik dalam
bentuk bebas ataupun bentuk konyugasi. Dalam waktu 8 jam, ekskresi
telah mencapai 50 %; dalam waktu 24 jam telah diekskresi 90 %.
Tetapi dalam waktu 48 jam masih terdapat sedikit morfin dalam urine,
berarti dalam waktu itu masih dapat dideteksi dengan metode di atas.
Dengan metode ini masih dapat dideteksi 0,03 mgr morfin dalam 25
ml urine.
es. Metode yang telah diterangkan di atas adalah salah satu
dari beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi
morfin. Metode lain misalnya dengan tes warna, tes kristal,
khromatografi dan spektrofotometri.
et.
f. Pengobatan
eu.
Untuk penderita keracunan akut narkotika dapat digunakan
antagonis narkotik seperti Nalorfin HCL ( Nalline ; 0,1 mg/kg.IV ) atau
naloxone HCL ( Narcan ) 0,005 mg/kg.IV. Di antara keduanya yang
paling baik digunakan untk keracuann akut adalah Naloxone karena obat
ini benar-benar bersifat antagonis, sedangkan Nalorfin mempunyai sifat
antagonis dan agonis ( depresi pusat pernafasan ).5
ev.
Selain itu, pernafasan dipelihara dengan memberikan oksigen
serta pembilasan lambung, pemberian norit dan pemberian katartik seperti
larutan Natrium Sulfat ( 30 mg NaSO4 dalam 200 ml air ). 5
ew.
2.3.3.2Heroin
a. Definisi

ex.
Heroin adalah semi sintetik opioid yang di sintesa dari morphin
yang merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal
dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari pengeringan bunga opium
(papaverum somniverum) yang mempunyai kandungan morfin dan kodein
yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif. Heroin merupakan
3,6-diacetyl ester dari morphin (oleh karena itu disebut juga
disetilmorphine).10

27
b. Farmakokinetik10
1. Absorpsi
ey. Heroin diabsorpi dengan baik disubkutaneus, intramuskular dan
permukaan mukosa hidung atau mulut.
2. Distribusi
ez. Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju ke
dalam jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal
dan limpa, sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah.
Konsentrasi di dalam otak relatif rendah dibandingkan organ lainnya
akibat sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih
mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid
lainnya
3. Metabolisme
fa. Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi
monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami
konjugasi dengan asam glukuronik menajdi morfin 6-glukoronid yang
berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi
obat terjadi pada pasien gagal ginjal.

28
4. Ekskresi
fb. Heroin /morfin terutama diekstresi melalui urine (ginjal). 90%
diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan
dalam urine 48 jam heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan
diekskresikan sebagai morfin.
fc.
c. Farmakodinamik
1) Mekanisme kerja
fd. Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan
dengan reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula
spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri.
Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor (mu),
(delta) dan (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis endogeneus
peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yitu enkephalin yang
berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor
dandynorpin dengan resptor . Reseptor merupakan reseptor
untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan
dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase
menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas
pelepasan neurotransmitter terhambat.
fe.
Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter10
a) Pelepasan noradrenalin
ff. Opiat menghambat pelepasan noradrenalin dengan
mengaktivasi reseptor yang berlokasi didaerah noradrenalin.
Efek morfin tidak terbatas dikorteks,tetapi juga di
hipokampus,amigdala, serebelum, daerah peraquadiktal dan locus
cereleus.
b) Pelepasan asetikolin
fg. Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum
oleh reseptor deltha, didaerah amigdala dan hipokampus oleh
reseptor .
c) Pelepasan dopamin
fh. Pelepasan dopamin diinhibisi oleh aktifitas reseptor
kappa
fi.
2) Tempat Kerja

29
fj.
Ada dua tempat kerja obat opiat yang utama, yaitu
susunan saraf pusat dan visceral. Di dalam susunan saraf pusat
opiat berefek di beberapa daerah termasuk korteks, hipokampus,
thalamus, hipothalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus
coreleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan medula
spinalis. Di dalam sistem saraf visceral, opiat bekerja pada pleksus
myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek
konstipasi.10
3) Efek ke sistem organ lainnya
fk.
Susunan saraf pusat10
1. Analgesia
fl. Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor:
a. meningkatkan ambang rangsang nyeri
b. mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat
mengubah reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri pada
waktu penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian
obat penderita masih tetap merasakan (menyadari) adanya
nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidaklagi timbul. Efek
obat ini relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif
(emosional) dibandingkan sensorik
c. Memudahkan timbulnya tidur
2. Eforia
fm. Pemberian morfin pada penderita yang mengalami
nyeri, akan menimbulkan perasaan eforia dimana penderita akan
mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya
pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang normal
yang tidak mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa
perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas fisik
berkurang dan ekstrimitas terasa berat.
3. Sedasi
fn. Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk
dan lethargi. Kombinasi morfin dengan obat yang berefek depresi
sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang
sangat dalam
4. Pernafasan

30
fo. Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi
pernafasan, yang disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat
respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam
7 menit setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi
subkutan atau intramuskular. Respirasi kembali ke normal dalam
2-3 jam
5. Pupil
fp. Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan
miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger
Westphal N.III
6. Mual dan muntah
fq. Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic
chemoreceptor trigger zone di batang otak.
fr.
Efek perifer10
1. Saluran cerna
fs. Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung,
mortilitas lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum
meninggi. Pada usus beasr akan mengurangi gerakan peristaltik,
sehingga dapat menimbulkan konstipasi
2. Sistem kardiovaskular
ft. Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap
tekanan darah, frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang
tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas
badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri
perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme
stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin
3. Kulit
fu. Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit,
sehingga kulit tampak merah dan terasa panas. Seringkali terjadi
pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh
bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral
danpelepasan histamin
4. Traktus urinarius

31
fv. Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot
sphinkter meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.
d. gejala dan Tanda pada Pemakaian Heroin
fw. Intoksikasi akut (overdosis)
fx.
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk
pecandu narkotik. Gejala overdosis biasanya timbul beberapa saat setelah
pemberian obat. 10
fy.
Gejala intoksikasi akut (overdosis): 10
1) Kesadaran menurun, sopor - koma
2) Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit,
dan
3) pernafasan mungkin bersifat Cheyne stokes
4) Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif
5) Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
6) Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi
7) apabila pernafasan memburuk danterjadi syok
8) Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
9) Bradikardi
10) Edema paru
11) Kejang
fz. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka
kematian meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan
obat-obatan yang menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer.
ga. Angka kematian heroin + alkohol 40
%
gb. Angka kematian heroin + tranquilizer 30 %
e. Diagnosa
gc.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan:10
1) Anamnesa
a) Auto anamnesa (pengakuan jujur dari pasien)
b) Alo anamnesa (dari keluarga yang dapat dipercaya)
2) Pemeriksaan fisik
gd.
Intoksikasi akut:10
a) Penurunan kesadaran
b) Ganguan otonom, bradikardi, hipotermia, hipotensi, sianosis,
pin point
c) pupil
d) Depresi pernafasan
e) Edema paru
f) Kejang (jarang)

32
g) Mata, sklera dapat ikterik akibat komplikasi pemakaian opiat
secara IV
h) Bicara menjadi kaku, dismetri
ge.
f. Pemeriksaan laboratorium10
gf. Urine (drug screening)
gg. Untuk mengetahui zat yang dipakai oleh penderita. Urine harus
diperoleh tidak lebih dari 24 jam setelah pemakaian zat terakhir. Metode
pemeriksaan antara lain dengan cara paper chromatography, Thin Layer
Chromatography, Enzym Immunoassay.
g. Penatalaksanaan
gh.
Intoksikasi akut (over dosis)10
1) Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
2) Oksigenasi yang adekua
3) Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 2,0 mg IV (anak-anak 0,01
mg/kgBB)
gi.
Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai
puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat
diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk
memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien
masih harus diobservasi terhadap efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh
karena duration of action yang pendek. Untuk mencegah rekulensi efek
opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga gejala
minimal (menghilang).10
gj. Intoksikasi kronis
gk. Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama
ditujukan untuk:10
1) Terapi kondisi withdrawl
2) Terapi detoksifikasi
3) Terapi rumatan (maintenance)
4) Terapi komplikasi
5) Terapi aftercare
gl. Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik
perlu mendapat prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug
screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan zat lain
yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk
fungsi faal hati, ginjal, danjantung), juga dilakukan foto

33
thorak.Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan
penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya.
Tidak ada bentuk terapi lain yang harus dilakukan sebelum kedua
tujuan tersebut berhasil dicapai.
gm.
Tujuan hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien
agar dapat mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh sebagai
akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps.
Dari segi mental, hospitalisasi membatu mengendalikan suasana
perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling karena
penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindak
kekerasan. Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi
zat yang memang harus mendapatkan perawatan karena kondisinya.
Selama perawatan jangka pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti
terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien tidak pernah
disarankan untuk perawatan jangka panjang.10
gn.
go.

34
gp. BAB III

gq. PENUTUP

gr. 3.1 Kesimpulan

1. Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya terhadap
organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun
di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem
bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Keracunan : cara masuk, umur, kondisi tubuh,
kebiasaan, idiosinkrasi dan waktu pemberian.
3. Jenis-jenis Keracunan : Insektisida, alkohol dan narkotika (morfin dan heroin)
4. Untuk pemeriksaan laboratorium pada kasus keracunan insektisida diperlukan darah,
jaringan hati, limpa, paru-paru, dan lemak tubuh. Penentuan kadar AchE dalam
darah dan plasma dilakukan dengan cara tintometer (Edson) dan cara paper-strip
(Acholest). Dan pemeriksaan tanatologi bisa dilakukan pemeriksaan kristalografi
dan kromatografi Lapisan Tipis
5. Diagnosis pasti dapat ditegakkan seseorang keracunan alkohol dengan pemeriksaan
kuantitatif kadar alkohol darah, kadar alkohol dari udara ekspirasi dan urine dapat
dipakai sebagai pilihan kedua.
6. Pada kasus keracunan morfin, perlu dilakukan pengambilan urin untuk pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium untk mendeteksi adanya narkotika
minimal adalah Kromatografi lapis tipis (TLC). Cara pemeriksaan lain adalah
menggunakan teknik GLC ( Kromatografi gas ) dan RIA ( Radio Immuno-assay ).
7. Pemeriksaan laboratorium pada kasus keracunan heroin dengan menggunakan Urine
(drug screening) untuk mengetahui zat yang dipakai oleh penderita. Metode
pemeriksaan antara lain dengan cara paper chromatography, Thin Layer
Chromatography, Enzym Immunoassay.

35
gs. DAFTAR PUSTAKA
gt.
1. DiMaio VJ, DiMaio Dominick. Forensic Pathology 2nd ed. New York: CRC Press. 2001
2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2009
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam Pengendalian Vektor. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI. 2012
4. Soemirat, Juli. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
5. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1997
6. Raini, mariana. Toksikologi pestisida dan penanganan akibat keracunan pestisida. Media
litbang kesehatan vol. XVII no. 3 tahun 2007
7. Vij, Krishan. Textbook Of Forensic Medicine And Toxicology, 5th Edition. India :
Elsevier, 2011: 495-498.
8. DIT IV/Narkoba. Januari, 2009.
9. Saibi, Arman. Identifikasi Morfin dalam Urin. www.researchgate.net/
publication/42321466._Identifikasi_Morfin_Dalam_Urine di akses tanggal 21 Januari
2015. 2004
10. Japardi, S. Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putauw). Repository.usu.ac.id
diakses tanggal 22 Januari 2015. 2002.
gu.

gv.

gw.

36

Anda mungkin juga menyukai