Anda di halaman 1dari 23

PAPER

MATI GANTUNG (HANGING)


PEMBIMBING:
dr. H. Mistar Ritonga, Sp.F (K)

PENYUSUN :
M. FadlanPulungan

(100100001)

SitiRahmah

(100100014)

Restu

(100100039)
KEPANITERAAN KLINIK RSUP H. ADAM MALIK
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


MEDAN
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
paper yang berjudul Mati Gantung (Hanging).
Selama penulisan laporan kasus ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan arahan, dan untuk itu penuli smengucapkan terimakasih kepada dr.
H.Mistar Ritonga, Sp.F (K) atas bimbingan dan ilmu yang sangat berharga untuk
penulis.
Penulis menyadari paper ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mohon maaf dan juga mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan paper ini. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi kita semua.

Medan, 2 Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............

DAFTAR ISI. ii
BAB 1 PENDAHULUAN. 1
1.1 LatarBelakang.

1.2 TujuanPenulisan.

1.3 ManfaatPenulisan...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3


2.1 Asfiksia..

2.1.1 DefinisiAsfiksia

2.1.2 EtiologiAsfiksia

2.1.3 FisiologiAsfiksia..

2.1.4 PatofisiologiAsfiksia

2.1.5 Gejala-gejalaAsfiksia

2.1.6 TandaKardinalAsfiksia

2.2 DefinisiHanging

2.3 PosisiGantungDiri..

2.4 Mekanisme Terjadinya Kematian..

2.5 Gejala dan Tanda Klinis.

12

2.6 Gambaran Postmortem pada Gantung Diri......................

13

2.6.1 PemeriksaanJenazah.

13

2.7 Perbedaan Gantung Diri dan Pembunuhan.

15

2.8 Aspek Medikolegal

18

BAB 3 KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asfiksia merupakan suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen
dan berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru
paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru paru. Asfiksia karena
obstruksi jalan nafas adalah satu dari beberapa penyebab kegagalan oksigenasi
jaringan yang biasanya karena kekerasan (Amir, 2013).
Terdapat empat jenis asfiksia yaitu anoksia anoksik dimana oksigen gagal
untuk masuk ke dalam sirkulasi darah seperti pembekapan, gantung diri,
penjeratan, pencekikan, pemitingan, atau korpus alienum dalam tenggorokan
sehingga menyebabkan hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan
nafas yang dikenal sebagai asfiksia mekanik. Selain itu terdapat anemik-hipoksia
dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen yang cukup untuk
metabolisme dalam jaringan, stagnan hipoksia dimana karena suatu sebab terjadi
kegagalan sirkulasi, histotoksik-hipoksia dimana oksigen yang terdapat dalam
darah karena suatu hal oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh jaringan.
(Amir, 2013).
Jaringan di tubuh akan terganggu fungsinya apabila kadar oksigen
berkurang. Ketika kadar oksigen dalam keadaan di bawah normal pada aliran
darah yang menuju ke otak, ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran dengan
cepat. Otak merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen
dan ini merupakan alasan bahwa otak adalah organ yang paling terlibat dalam
kematian akibat asfiksia (Spitz, 1977 dalam Nurina, 2010).
Mati gantung sangat akrab dalam kehidupan sehari - hari. Tindakan bunuh
diri dengan cara ini sering dilakukan karena dapat dilakukan dimana dan kapan
saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang dapat melilit leher.
Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman mati dengan cara penggantungan
yang sudah digunakan sejak zaman dahulu (Amir, 2013).

Diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin, laki-laki adalah kelompok


yang paling banyak melakukan bunuh diri. Sedangkan berdasarkan kelompok
umur, yang terbanyak melakukan gantung diri adalah pada rentang usia 22-49
tahun, dimana jumlahnya mencapai 40,7 % dan paling sedikit terdapat pada umur
> 50 tahun yaitu sebanyak 18,5% (Nurina, 2010).
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami mengenai gantung diri / hanging. Tulisan ini juga dibuat untuk
memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik RSUP H.Adam Malik / RS Dr.
Pirngadi Medan.
1.3 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih
mengetahui dan memahami mengenai gantung diri / hanging.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asfiksia
2.1.1 Definisi Asfiksia
Asfiksia adalah kegagalan masuknya udara ke dalam alveoli paru atau
sebab-sebab lain yang mengakibatkan persediaan oksigen dalam jaringan ataum
darah atau keduanya berkurang sampai suatu tingkat tertentu dimana kehidupan
tidak mungkin berlanjut. Biasanya asfiksia akan menyebabkan gagalnya kedua
pilar kehidupan lain (Amir, 2013).
Dalam pemeriksaan mayat medikolegal kematian karena asfiksia termasuk
salah satu pemeriksaan yang sering dihadapi dokter seperti mati tergantung,
penjeratan, tenggelam, dibekap, dan lain-lain. Secara klinis keadaan asfiksia
sering disebut anoksia atau asfiksia (Amir, 2013).
2.1.2 Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis
paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika. Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik
adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti
penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 dalam Nurina, 2010).
2.1.3. Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2013), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:

a. Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam
selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia
murni atau sufokasi.
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan
sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi,
tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet
tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan sianida terjadi
perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian
segera. Pada keracunan barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara
parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloroform, eter dan sebagainya.

c. Metabolik

Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2


oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
d. Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien,
misalnya pada keadaan hipoglikemia.
2.1.4. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan (Amir, 2013), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari
asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian
tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik
terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia. Di sini sel-sel otak
yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang
lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat
kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan
mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat.
Keadaan ini didapati pada:
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
b. Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
2.1.5. Gejala-gejala Asfiksia

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam 4 stadium (Amir, 2013), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang
pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam
dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir
mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila
keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran
hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat
keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas.
Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium
apnoe.
3. Stadium Apnea. Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot
menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun,
pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan
dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan
denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih
berdenyut beberapa saat lagi.
2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996 dalam Nurina,
2010), yaitu:
a.

Tardieus spot (Petechial hemorrages)


Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada
jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian
belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga
bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan
viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring,
jarang pada mesentrium dan intestinum.

b.

Kongesti dan Oedema


Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan petekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi
darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh
darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik
intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh
kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang
interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar
dan rongga badan (terjadi oedema).

c.

Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang
terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan
konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti
darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

d.

Tetap cairnya darah


Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap
cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti
akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini
tidak relevan dalam diagnosis asfiksia.
2.2 Definisi Hanging
Terdapat beberapa definisi tentang hanging . Salah satunya adalah keadaan
dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat
badan tubuh atau kepala. Ada pula yang mendefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat

badan seluruhnya atau sebagian. Dengan demikian berarti alat penjerat sifatnya
pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.
(Fikasari, 2008).
Pada beberapa kasus, konstriksi dari leher terjadi akibat eratnya jeratan tali
bukan karena berat badan yang tergantung. Pada beberapa kasus, jeratan tali
dipererat oleh berat tubuh yang tergantung oleh individu dalam keadaan tegak
lurus. Kekuatan tambahan juga kadang dibutuhkan untuk menggerakkan tali.
2.3 Posisi Gantung Diri
Posisi korban pada kasus gantung diri bisa bermacam macam,
kemungkinan tersering:
1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging)
2. Duduk berlutut (biasanya menggantung pada daun pintu)
Untuk posisi ini ada yang menyebutkan dengan istilah penggantungan
parsial.Istilah ini digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya
menjadi kekuatan daya jerat tali. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak
seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial. Bahan
yang digunakan biasanya tali, ikat pinggang, kain (Fikasari, 2008).
2.4 Mekanisme Terjadinya Kematian
Sebab kematian mati gantung adalah asfiksia, tetapi sering disertai
penyebab yang lain. Yang paling sering adalah kombinasi asfiksia dengan
obstruksi pada pembuluh darah. Dengan demikian, sebab kematian bisa terjadi
karena (Amir, 2013) :

Asfiksia. Merupakan penyebab kematian yang paling sering


Apopleksia (kongesti pada otak). Tekanan pada pembuluh darah vena
menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak dan mengakibatkan

kegagalan sirkulasi.
Kombinasi dari asfiksia dengan apopleksia
Iskemia serebral. Hal ini akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah
arteri yang memperdarahi otak

Syok vaso vagal. Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan henti

jantung
Fraktur atau dislokasi vertebra servikalis. (Pada korban yang dihukum
gantung). Pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang,
kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,52 meter
maka akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan
menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan. Biasa
yang terkena adalah vertebra servikalis ke-2 dan ke-3 ((Fikasari, 2008).
Mekanisme kematian akibat hanging masih belum dimengerti sepenuhnya,
penelitian tentang mekanisme tersebut masih banyak dilakukan. Tanda klasik dari
asfiksia dapat tidak muncul meskipun terdapat penggantungan yang penuh,
keadaan ini menunjukkan adanya penyebab kematian lain yang lebih cepat
mendahului munculnya tanda klasik asfiksia. Fenomena tersebut memunculkan
kemungkinan adanya peran tekanan pada sinus karotis dan henti jantung
neurogenik dalam kematian akibat hanging (James, 2008 dalam Nurina, 2010).
Pada kematian hanging akibat asfiksia, dapat dijumpai beberapa fase
seperti yang ditemukan pada kasus asfiksia secara umum. Fase sekuensial ini yang
dijumpai pada episode asfiksia tersebut adalah; fase dispnea, fase konvulsif,
fase pernafasan pra-terminal, dan fase gasping yang diikuti fase terminal. Tanda
yang dapat dijumpai pada fase tersebut adalah (James, 2008 dalam Nurina, 2010):

1. Fase dispnea ditandai dengan sesak nafas, peningkatan laju pernafasan, dan
sianosis yang dapat berlangsung selama beberapa menit.
2. Fase konvulsif ditandai kehilangan kesadaran, penurunan gerakan bernafas,
kongesti wajah, bradikardi, dan hipertensi yang dapat berlangsung selama
beberapa menit.
3. Fase pernafasan pra-terminal ditandai tidak adanya pernafasan, kegagalan pusat
pernafasan dan sirkulasi, takikardi, dan hipertensi yang juga dapat berlangsung
selama beberapa menit.
4. Fase gasping ditandai refleks pernafasan.
5. Fase terminal ditandai terhentinya gerakan, hilangnya refleks, dan dilatasi pupil.
Mekanisme kematian asfiksia pada hanging termasuk pada asfiksia
mekanis yang berhubungan dengan tekanan pada leher, tiga akibat dari tekanan

10

langsung pada leher yang penting dalam ilmu forensik adalah strangulasi manual,
strangulasi tali, dan hanging. Hampir tidak dapat ditentukan dengan pasti laju
proses kematian dalam keadaan hanging, pada kasus tertentu kematian dapat
terjadi relatif lambat dan menimbulkan tanda klasik asfiksia, sedangkan pada
kasus lain tanda klasik asfiksia tidak timbul. Tekanan langsung pada leher dapat
menimbulkan beberapa efek tergantung pada tipe, daerah, dan luas tekanan yang
terjadi pada leher, efek tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Obstruksi pada vena jugular, mengakibatkan gangguan pada aliran balik vena dari
kepala ke jantung yang berakibat sianosis, kongesti, dan petekie.
2. Obstruksi arteri karotis yang menyebabkan hipoksia serebral.
3. Stimulasi baroreseptor sinus karotis pada daerah bifurkasio dan arteri karotis
komunis berakibat henti jantung neurologis.
4. Elevasi dari laring dan lidah yang menutup saluran nafas pada tingkat faring.

Gambar 2.1.Gambaran lokasi sinus karotis pada bifurkasio arteri karotis komunis
di leher, tekanan pada leher dapat mengakibatkan kompresi sinus karotis
(Catanese, 2010)
Mengikuti kompresi pada leher, kehilangan kesadaran dapat terjadi dengan
cepat kehilangan kesadaran dapat terjadi dalam 10 detik. Namun waktu sampai
terjadi kematian masih belum didapati pastinya, meskipun pada kasus hanging
yang terekam tidak dijumpai gerakan pernafasan setelah 2 menit dan hilangnya
gerakan otot dalam 7,5 menit (James, 2011).Setelah terjadinya kehilangan

11

kesadaran akibat suspensi beban tubuh pada hanging, kerusakan otak yang
ireversibel terjadi dalam 4 6 menit (Catanese, 2010).
Mekanisme kematian spesifik pada hanging dapat dibagi menjadi kejadian
yang berhubungan dengan peradilan (hukuman mati) dan yang tidak berhubungan
dengan peradilan. Pada kejadian hanging non-judicial umumnya individu
menempatkan tali atau pengikat pada daerah superior pada lehernya dengan ujung
lainnya diikatkan pada penyokong yang tetap. Akibatnya beban tubuh (seluruhnya
atau sebagian) menarik kebawah sehingga terjadi oklusi pada struktur leher
sampai terjadinya kehilangan kesadaran. Pada hanging judicial tubuh akan
dijatuhkan dari ketinggian yang menimbulkan kekuatan yang cukup untuk
menimbulkan fraktur pada tulang leher, keadaan ini akan mengakibatkan henti
nafas dan jantung (Catanese, 2010).
Pada keadaan dimana terdapat struktur di dekat tubuh yang digantung,
individu dapat menarik atau mendorong tubuhnya secara parsial sehingga terjadi
pembebasan tekanan dengan derajat bervariasi sebelum hilangnya kesadaran,
keadaan hanging ini akan menimbulkan keadaan serupa dengan strangulasi.
Sirkulasi vena membutuhkan tekanan yang relatif kecil untuk menimbulkan
oklusi, pada keadaan dimana terjadi oklusi vena tanpa hambatan pada sirkulasi
arteri tekanan besar pada arteri akan mengakibatkan ruptur pada kapiler yang
menimbulkan gambaran petekie (Catanese, 2010).
2.5 Gejala dan Tanda Klinis
Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2013), yaitu:
1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas
dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring
(fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri
vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
Dari letak tubuh terhadap lantai, hanging dapat dibedakan menjadi 2 tipe
(Amir, 2013), yaitu:

12

1. Tergantung total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai


2. Setengah tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,
misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup
dan posisi lain. Sisa berat bdan 10-15 kg pada orang dewasa sudah dapat
menyebabkan tersumbat saluran nafas dan hanya diperlukan sisa berat badan 5 kg
untuk menyumbat arteri karotis. Partial hanging hampir selamanya karena bunuh
diri.
Ada dua jenis simpul yaitu simpul hidup (running noose) dan simpul mati
(satu atau lebih). Pemeriksaan jenis dan panjang bahan yang dipakai, serta jenis
simpul dapat membantu menentukan cara kematian. Pada waktu membebaskan
lilitan dari leher korban, tidak boleh membuka simpul, tetapi lilitan dipotong di
luar simpul, karena bentuk simpul bisa membantu penentuan kematian secara
medikolegal.

Gambar 2.2.Perubahan setelah kematian


2.6 Gambaran Postmortem pada Gantung Diri
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau
tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran
pernafasan maka dijumpai tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianosis dan
fase akhir konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena tekanan pembuluh darah
vena, maka sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan (ptechial)
di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan
lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda kekurangan darah di
otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra

13

respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan
jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal. Tandatanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda
gabungan (Amir, 2008 dalam Nurina, 2010).
2.6.1 Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,
2008 dalam Nurina, 2010), yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik,

tidak

bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti


kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir
jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih
gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul
terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan
simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka
jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti
selendang), maka jejas jeratan tidak begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat
dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan korban dan ketatnya
jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara
horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas
jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak
tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera
diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik
perdarahan Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit,
tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut, sianosis, kadang-kadang ada
tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan
tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di

14

bagian depan atau belakang tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan.
Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008 dalam Nurina, 2010):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan kongesti,
demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di
permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer.
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain
jarang.
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada
tunika intima dari arteri karotis interna.

2.7 Perbedaan Gantung Diri dan Pembunuhan


Alat penjerat yang sering digunakan antara lain stocking, kabel telpon /
listrik, sleyer, tali goni dan kadang kadang baju korban. Jika yang digunakan tali
goni jejas cekungan yang ditimbulkan sangat jelas akibat tekanan simpul dan
helaian tali, sedangkan jika tali yang digunakan mempunyai permukaan yang
lembut, tanda-tanda yang ditimbulkan tidak banyak yang dapat diidentifikasi
(Fateh A. 1973 dalam Purwanti et al, 2014).
Bila ditemukan alat jerat yang dicurigai dipakai untuk menjerat korban
pada TKP, tetapi terpisah dari tubuh korban, maka perlu diperiksa epidermis
yang ada pada alat jerat tersebut yang kemudian dibandingkan dengan bekas jerat
pada leher korban (Fatteh A. 1973 dalam Purwanti et al, 2014).
Tidak jarang alur jerat membentuk cetakan yang sesuai dengan bentuk
alat jerat yang digunakan. Bila alat penjerat mempunyai permukaan luas, maka
tekanan yang ditimbulkan tidak terlalu kuat / besar, tetapi cukup untuk menutup
pembuluh darah vena sehingga muka korban tampak sembab, mata menonjol,
wajah merah kebiruan dan kadang kadang disertai keluarnya lidah atau air liur,
sebaliknya jika alat penjerat yang digunakan mempunyai permukaan kecil, maka

15

tekanan yang ditimbulkan kuat / besar sehingga dapat menekan baik pembuluh
darah vena maupun pembuluh darah arteri yang menyebabkan muka korban pucat
dan tidak ada penonjolan mata (Idris AM. 1997, Keith Simpson 1972 dalam
Purwanti et al, 2014).
Sebelum korban diturunkan dari tiang gantungan, maka perlu diukur tinggi
tiang gantungan, panjang tali pengantung dan jarak ujung kaki dari lantai (pada
kasus yang tergantung komplit). Pada kasus gantung diri kaki tidak selalu harus
bebas dari lantai, karena gantung diri dapat dilakukan dengan kaki menempel
lantai kemudian lutut ditekuk (Gonzales1954. Hariadi A. 2005. Njowito H. 1992
dalam Purwanti et al, 2014). Makin jauh jarak antara kaki korban dengan lantai,
maka makin kuat dugaan bahwa kasus tersebut adalah suatu pembunuhan, dan
makin dekat jarak simpul dengan tiang tumpuan, semakin besar dugaan kasus
tersebut adalah pembunuhan (Apuranto H. 2005 dalam Purwanti et al, 2014).
Tekanan 10 pon pada leher sudah dapat menghentikan aliran darah di
leher, namun jejas yang terlihat tidak jelas, bahkan mungkin tak terlihat sama
sekali (Dahlan S. 2000 dalam Purwanti et al, 2014). Sedangkan tekanan pada area
a. Carotis selama 10 menit menyebabkan korban tak sadar, perubahan
elektrocardiography

(EKG)

minimal,

peningkatan

amplitudo

elektro

encephalography (EEG), dan pergerakan pernafasan terhambat (J. D. Dominick,


J, M, Dimaio V. 1993 dalam Purwanti et al, 2014).
Pada kasus bunuh diri biasanya tali diikatkan pada ketinggian, tetapi pada
korban yang mempunyai ketrampilan, tali dapat diikakkan pada pegangan pintu
atau sesuatu yang letaknya rendah (Moritz A.R., R.Crawford M.1975 dalam
Purwanti et al, 2014). Pada gantung diri cekungan bekas alat jerat biasanya naik
ke arah titik gantung memberikan bentuk huruf V terbalik, dan akan semakin
menghilang kearah titik tertinggi dari titik gantung (Fatteh A. 1973 dalam
Purwanti et al, 2014).

16

Tabel 2.1 Perbedaan Gantung Diri dan Pembunuhan (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997 dalam Purwanti et al 2014)
Pembunuhan

Gantung Diri

Biasanya simpul mati

Simpul hidup

Hanya satu

Satu atau lebih

Mendatar

Serong ke atas

Dekat

Jauh

Berjalan mendatar

Meninggi kea rah simpul

- Luka perlawanan

(+)

(-)

- Luka-luka lain

Ada, sering di daerah leher

Biasanya tidak ada, mungkin

A. Alat penjerat:
- Simpul
- Jumlah lilitan
- Arah
- Jarak titik tumpu
simpul
B. Korban :
- Jejas jerat

terdapat luka percobaan lain


- Jarak dari lantai
C.TKP

Jauh

Dekat, dapat tak tergantung

- Lokasi

Bervariasi

Tersembunyi

- Kondisi

Tak teratur

Teratur

- Pakaian

Tak teratur, robek

Rapi dan baik

17

D. Alat
E. Surat Peninggalan
F. Ruangan

Dari si pembunuh
(-)
Tak teratur, terkunci dari luar

Dari yang ada di TKP


(+)
Terkunci dari dalam

2.8 Aspek Medikolegal


Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus, walaupun demikian
pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain
(Fikasari, 2008).
1. Apakah kematian disebabkan oleh penggantungan ? Pertanyaan ini sering diajukan
kepada dokter pemeriksa dalam persidangan.
2. Apakah penggantungan tersebut merupakan bunuh diri, pembunuhan atau
kecelakaan? Beberapa faktor di bawah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan.
(a). Penggantungan biasanya merupakan tindakan bunuh diri, kecuali dibuktikan
lain. Usia tidak menjadi masalah untuk melakukan bunuh diri dengan cara ini.
Pernah ada laporan kasus dimana seorang anak berusia 12 tahun melakukan bunuh
diri dengan penggantungan. Kecelakaan yang menyebabkan penggantungan
jarang terjadi kecuali pada anak-anak di bawah usia 12 tahun.
(b). Cara terjadinya penggantungan.
(c). Bukti-bukti tidak langsung di sekitar tempat kejadian.
(d). Tanda berupa jejas penjeratan.
(e). Tanda-tanda kekerasan atau perlawanan.

18

BAB 3
KESIMPULAN
Penggantungan (hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari
leher oleh alat penjerat, misalnya dengan menggunakan tali, kain, dasi, atau bahan
apa saja yang dapat melilit leher, yang ditimbulkan oleh sebagian atau
keseluruhan berat badan. Pada kematian akibat asfiksia, dapat dijumpai beberapa
fase sekuensial akibat asfiksia, yaitu fase dispnea, fase konvulsif, fase pernafasan
pra-terminal, fase gasping, dan fase terminal. Secara umum, dapat dijumpai juga
tanda klasik asfiksia, yaitu petekia pada kulit wajah, kongesti, edema, dan sianosis
pada wajah. Namun, tanda-tanda tersebut berbeda pada setiap fase sekuensial.
Sebagai dokter, perlu pemahaman lebih mendalam mengenai penggantungan
(hanging), sehingga dapat memastikan apakah kasus penggantungan tersebut
merupakan bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan sehingga dapat memperjelas
suatu perkara pidana khusunya penggantungan.

19

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Amri. 2013. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua. Medan :
Percetakan Ramadhan.
Catanese, C.A., 2010. Asphyxia (Suffocation) and Drowning. Color Atlas of
Forensic Medicine and Pathology. USA : CRC Press Taylor and Francis
Group.
Fikasari, Devi., 2008. Gantung Diri (Hanging). Surakarta: FK UNS/ RSUD Dr.
Moewardi

Surakarta.

Available

from

https://sibermedik.files.wordpress.com/2008/.../gantung_diri_makalah.pdf
Nurina., 2010. Tanda Kardinal Asfiksia Pada Kasus Gantung Diri RSUP H.
Adam

Malik/ RSUD dr Pirngadi MedanPada Bulan Januari 2007-

Desember

2009.

Medan.

Available

from:

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23475/3/Chapter%20II.pdf
Purwanti, T., Apuranto, H. 2014. Kasus Hanging dengan Posisi Duduk Bersandar
di Kursi Sofa. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK
Unair-RSUD dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia,
vol. 16 No. 2 April-Juni 2014

20

Anda mungkin juga menyukai