PENYUSUN :
M. FadlanPulungan
(100100001)
SitiRahmah
(100100014)
Restu
(100100039)
KEPANITERAAN KLINIK RSUP H. ADAM MALIK
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
paper yang berjudul Mati Gantung (Hanging).
Selama penulisan laporan kasus ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan arahan, dan untuk itu penuli smengucapkan terimakasih kepada dr.
H.Mistar Ritonga, Sp.F (K) atas bimbingan dan ilmu yang sangat berharga untuk
penulis.
Penulis menyadari paper ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mohon maaf dan juga mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan paper ini. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............
DAFTAR ISI. ii
BAB 1 PENDAHULUAN. 1
1.1 LatarBelakang.
1.2 TujuanPenulisan.
1.3 ManfaatPenulisan...
2.1.1 DefinisiAsfiksia
2.1.2 EtiologiAsfiksia
2.1.3 FisiologiAsfiksia..
2.1.4 PatofisiologiAsfiksia
2.1.5 Gejala-gejalaAsfiksia
2.1.6 TandaKardinalAsfiksia
2.2 DefinisiHanging
2.3 PosisiGantungDiri..
12
13
2.6.1 PemeriksaanJenazah.
13
15
18
BAB 3 KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asfiksia merupakan suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen
dan berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru
paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru paru. Asfiksia karena
obstruksi jalan nafas adalah satu dari beberapa penyebab kegagalan oksigenasi
jaringan yang biasanya karena kekerasan (Amir, 2013).
Terdapat empat jenis asfiksia yaitu anoksia anoksik dimana oksigen gagal
untuk masuk ke dalam sirkulasi darah seperti pembekapan, gantung diri,
penjeratan, pencekikan, pemitingan, atau korpus alienum dalam tenggorokan
sehingga menyebabkan hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan
nafas yang dikenal sebagai asfiksia mekanik. Selain itu terdapat anemik-hipoksia
dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen yang cukup untuk
metabolisme dalam jaringan, stagnan hipoksia dimana karena suatu sebab terjadi
kegagalan sirkulasi, histotoksik-hipoksia dimana oksigen yang terdapat dalam
darah karena suatu hal oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh jaringan.
(Amir, 2013).
Jaringan di tubuh akan terganggu fungsinya apabila kadar oksigen
berkurang. Ketika kadar oksigen dalam keadaan di bawah normal pada aliran
darah yang menuju ke otak, ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran dengan
cepat. Otak merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen
dan ini merupakan alasan bahwa otak adalah organ yang paling terlibat dalam
kematian akibat asfiksia (Spitz, 1977 dalam Nurina, 2010).
Mati gantung sangat akrab dalam kehidupan sehari - hari. Tindakan bunuh
diri dengan cara ini sering dilakukan karena dapat dilakukan dimana dan kapan
saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang dapat melilit leher.
Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman mati dengan cara penggantungan
yang sudah digunakan sejak zaman dahulu (Amir, 2013).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asfiksia
2.1.1 Definisi Asfiksia
Asfiksia adalah kegagalan masuknya udara ke dalam alveoli paru atau
sebab-sebab lain yang mengakibatkan persediaan oksigen dalam jaringan ataum
darah atau keduanya berkurang sampai suatu tingkat tertentu dimana kehidupan
tidak mungkin berlanjut. Biasanya asfiksia akan menyebabkan gagalnya kedua
pilar kehidupan lain (Amir, 2013).
Dalam pemeriksaan mayat medikolegal kematian karena asfiksia termasuk
salah satu pemeriksaan yang sering dihadapi dokter seperti mati tergantung,
penjeratan, tenggelam, dibekap, dan lain-lain. Secara klinis keadaan asfiksia
sering disebut anoksia atau asfiksia (Amir, 2013).
2.1.2 Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis
paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika. Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik
adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti
penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 dalam Nurina, 2010).
2.1.3. Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2013), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
a. Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam
selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia
murni atau sufokasi.
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan
sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi,
tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet
tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan sianida terjadi
perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian
segera. Pada keracunan barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara
parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloroform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam 4 stadium (Amir, 2013), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang
pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam
dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir
mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila
keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran
hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat
keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas.
Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium
apnoe.
3. Stadium Apnea. Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot
menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun,
pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan
dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan
denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih
berdenyut beberapa saat lagi.
2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996 dalam Nurina,
2010), yaitu:
a.
b.
c.
Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang
terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan
konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti
darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
d.
badan seluruhnya atau sebagian. Dengan demikian berarti alat penjerat sifatnya
pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.
(Fikasari, 2008).
Pada beberapa kasus, konstriksi dari leher terjadi akibat eratnya jeratan tali
bukan karena berat badan yang tergantung. Pada beberapa kasus, jeratan tali
dipererat oleh berat tubuh yang tergantung oleh individu dalam keadaan tegak
lurus. Kekuatan tambahan juga kadang dibutuhkan untuk menggerakkan tali.
2.3 Posisi Gantung Diri
Posisi korban pada kasus gantung diri bisa bermacam macam,
kemungkinan tersering:
1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging)
2. Duduk berlutut (biasanya menggantung pada daun pintu)
Untuk posisi ini ada yang menyebutkan dengan istilah penggantungan
parsial.Istilah ini digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya
menjadi kekuatan daya jerat tali. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak
seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial. Bahan
yang digunakan biasanya tali, ikat pinggang, kain (Fikasari, 2008).
2.4 Mekanisme Terjadinya Kematian
Sebab kematian mati gantung adalah asfiksia, tetapi sering disertai
penyebab yang lain. Yang paling sering adalah kombinasi asfiksia dengan
obstruksi pada pembuluh darah. Dengan demikian, sebab kematian bisa terjadi
karena (Amir, 2013) :
kegagalan sirkulasi.
Kombinasi dari asfiksia dengan apopleksia
Iskemia serebral. Hal ini akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah
arteri yang memperdarahi otak
jantung
Fraktur atau dislokasi vertebra servikalis. (Pada korban yang dihukum
gantung). Pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang,
kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,52 meter
maka akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan
menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan. Biasa
yang terkena adalah vertebra servikalis ke-2 dan ke-3 ((Fikasari, 2008).
Mekanisme kematian akibat hanging masih belum dimengerti sepenuhnya,
penelitian tentang mekanisme tersebut masih banyak dilakukan. Tanda klasik dari
asfiksia dapat tidak muncul meskipun terdapat penggantungan yang penuh,
keadaan ini menunjukkan adanya penyebab kematian lain yang lebih cepat
mendahului munculnya tanda klasik asfiksia. Fenomena tersebut memunculkan
kemungkinan adanya peran tekanan pada sinus karotis dan henti jantung
neurogenik dalam kematian akibat hanging (James, 2008 dalam Nurina, 2010).
Pada kematian hanging akibat asfiksia, dapat dijumpai beberapa fase
seperti yang ditemukan pada kasus asfiksia secara umum. Fase sekuensial ini yang
dijumpai pada episode asfiksia tersebut adalah; fase dispnea, fase konvulsif,
fase pernafasan pra-terminal, dan fase gasping yang diikuti fase terminal. Tanda
yang dapat dijumpai pada fase tersebut adalah (James, 2008 dalam Nurina, 2010):
1. Fase dispnea ditandai dengan sesak nafas, peningkatan laju pernafasan, dan
sianosis yang dapat berlangsung selama beberapa menit.
2. Fase konvulsif ditandai kehilangan kesadaran, penurunan gerakan bernafas,
kongesti wajah, bradikardi, dan hipertensi yang dapat berlangsung selama
beberapa menit.
3. Fase pernafasan pra-terminal ditandai tidak adanya pernafasan, kegagalan pusat
pernafasan dan sirkulasi, takikardi, dan hipertensi yang juga dapat berlangsung
selama beberapa menit.
4. Fase gasping ditandai refleks pernafasan.
5. Fase terminal ditandai terhentinya gerakan, hilangnya refleks, dan dilatasi pupil.
Mekanisme kematian asfiksia pada hanging termasuk pada asfiksia
mekanis yang berhubungan dengan tekanan pada leher, tiga akibat dari tekanan
10
langsung pada leher yang penting dalam ilmu forensik adalah strangulasi manual,
strangulasi tali, dan hanging. Hampir tidak dapat ditentukan dengan pasti laju
proses kematian dalam keadaan hanging, pada kasus tertentu kematian dapat
terjadi relatif lambat dan menimbulkan tanda klasik asfiksia, sedangkan pada
kasus lain tanda klasik asfiksia tidak timbul. Tekanan langsung pada leher dapat
menimbulkan beberapa efek tergantung pada tipe, daerah, dan luas tekanan yang
terjadi pada leher, efek tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Obstruksi pada vena jugular, mengakibatkan gangguan pada aliran balik vena dari
kepala ke jantung yang berakibat sianosis, kongesti, dan petekie.
2. Obstruksi arteri karotis yang menyebabkan hipoksia serebral.
3. Stimulasi baroreseptor sinus karotis pada daerah bifurkasio dan arteri karotis
komunis berakibat henti jantung neurologis.
4. Elevasi dari laring dan lidah yang menutup saluran nafas pada tingkat faring.
Gambar 2.1.Gambaran lokasi sinus karotis pada bifurkasio arteri karotis komunis
di leher, tekanan pada leher dapat mengakibatkan kompresi sinus karotis
(Catanese, 2010)
Mengikuti kompresi pada leher, kehilangan kesadaran dapat terjadi dengan
cepat kehilangan kesadaran dapat terjadi dalam 10 detik. Namun waktu sampai
terjadi kematian masih belum didapati pastinya, meskipun pada kasus hanging
yang terekam tidak dijumpai gerakan pernafasan setelah 2 menit dan hilangnya
gerakan otot dalam 7,5 menit (James, 2011).Setelah terjadinya kehilangan
11
kesadaran akibat suspensi beban tubuh pada hanging, kerusakan otak yang
ireversibel terjadi dalam 4 6 menit (Catanese, 2010).
Mekanisme kematian spesifik pada hanging dapat dibagi menjadi kejadian
yang berhubungan dengan peradilan (hukuman mati) dan yang tidak berhubungan
dengan peradilan. Pada kejadian hanging non-judicial umumnya individu
menempatkan tali atau pengikat pada daerah superior pada lehernya dengan ujung
lainnya diikatkan pada penyokong yang tetap. Akibatnya beban tubuh (seluruhnya
atau sebagian) menarik kebawah sehingga terjadi oklusi pada struktur leher
sampai terjadinya kehilangan kesadaran. Pada hanging judicial tubuh akan
dijatuhkan dari ketinggian yang menimbulkan kekuatan yang cukup untuk
menimbulkan fraktur pada tulang leher, keadaan ini akan mengakibatkan henti
nafas dan jantung (Catanese, 2010).
Pada keadaan dimana terdapat struktur di dekat tubuh yang digantung,
individu dapat menarik atau mendorong tubuhnya secara parsial sehingga terjadi
pembebasan tekanan dengan derajat bervariasi sebelum hilangnya kesadaran,
keadaan hanging ini akan menimbulkan keadaan serupa dengan strangulasi.
Sirkulasi vena membutuhkan tekanan yang relatif kecil untuk menimbulkan
oklusi, pada keadaan dimana terjadi oklusi vena tanpa hambatan pada sirkulasi
arteri tekanan besar pada arteri akan mengakibatkan ruptur pada kapiler yang
menimbulkan gambaran petekie (Catanese, 2010).
2.5 Gejala dan Tanda Klinis
Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2013), yaitu:
1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas
dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring
(fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri
vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
Dari letak tubuh terhadap lantai, hanging dapat dibedakan menjadi 2 tipe
(Amir, 2013), yaitu:
12
13
respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan
jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal. Tandatanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda
gabungan (Amir, 2008 dalam Nurina, 2010).
2.6.1 Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,
2008 dalam Nurina, 2010), yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik,
tidak
14
bagian depan atau belakang tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan.
Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008 dalam Nurina, 2010):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan kongesti,
demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di
permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer.
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain
jarang.
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada
tunika intima dari arteri karotis interna.
15
tekanan yang ditimbulkan kuat / besar sehingga dapat menekan baik pembuluh
darah vena maupun pembuluh darah arteri yang menyebabkan muka korban pucat
dan tidak ada penonjolan mata (Idris AM. 1997, Keith Simpson 1972 dalam
Purwanti et al, 2014).
Sebelum korban diturunkan dari tiang gantungan, maka perlu diukur tinggi
tiang gantungan, panjang tali pengantung dan jarak ujung kaki dari lantai (pada
kasus yang tergantung komplit). Pada kasus gantung diri kaki tidak selalu harus
bebas dari lantai, karena gantung diri dapat dilakukan dengan kaki menempel
lantai kemudian lutut ditekuk (Gonzales1954. Hariadi A. 2005. Njowito H. 1992
dalam Purwanti et al, 2014). Makin jauh jarak antara kaki korban dengan lantai,
maka makin kuat dugaan bahwa kasus tersebut adalah suatu pembunuhan, dan
makin dekat jarak simpul dengan tiang tumpuan, semakin besar dugaan kasus
tersebut adalah pembunuhan (Apuranto H. 2005 dalam Purwanti et al, 2014).
Tekanan 10 pon pada leher sudah dapat menghentikan aliran darah di
leher, namun jejas yang terlihat tidak jelas, bahkan mungkin tak terlihat sama
sekali (Dahlan S. 2000 dalam Purwanti et al, 2014). Sedangkan tekanan pada area
a. Carotis selama 10 menit menyebabkan korban tak sadar, perubahan
elektrocardiography
(EKG)
minimal,
peningkatan
amplitudo
elektro
16
Tabel 2.1 Perbedaan Gantung Diri dan Pembunuhan (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997 dalam Purwanti et al 2014)
Pembunuhan
Gantung Diri
Simpul hidup
Hanya satu
Mendatar
Serong ke atas
Dekat
Jauh
Berjalan mendatar
- Luka perlawanan
(+)
(-)
- Luka-luka lain
A. Alat penjerat:
- Simpul
- Jumlah lilitan
- Arah
- Jarak titik tumpu
simpul
B. Korban :
- Jejas jerat
Jauh
- Lokasi
Bervariasi
Tersembunyi
- Kondisi
Tak teratur
Teratur
- Pakaian
17
D. Alat
E. Surat Peninggalan
F. Ruangan
Dari si pembunuh
(-)
Tak teratur, terkunci dari luar
18
BAB 3
KESIMPULAN
Penggantungan (hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari
leher oleh alat penjerat, misalnya dengan menggunakan tali, kain, dasi, atau bahan
apa saja yang dapat melilit leher, yang ditimbulkan oleh sebagian atau
keseluruhan berat badan. Pada kematian akibat asfiksia, dapat dijumpai beberapa
fase sekuensial akibat asfiksia, yaitu fase dispnea, fase konvulsif, fase pernafasan
pra-terminal, fase gasping, dan fase terminal. Secara umum, dapat dijumpai juga
tanda klasik asfiksia, yaitu petekia pada kulit wajah, kongesti, edema, dan sianosis
pada wajah. Namun, tanda-tanda tersebut berbeda pada setiap fase sekuensial.
Sebagai dokter, perlu pemahaman lebih mendalam mengenai penggantungan
(hanging), sehingga dapat memastikan apakah kasus penggantungan tersebut
merupakan bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan sehingga dapat memperjelas
suatu perkara pidana khusunya penggantungan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Amri. 2013. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua. Medan :
Percetakan Ramadhan.
Catanese, C.A., 2010. Asphyxia (Suffocation) and Drowning. Color Atlas of
Forensic Medicine and Pathology. USA : CRC Press Taylor and Francis
Group.
Fikasari, Devi., 2008. Gantung Diri (Hanging). Surakarta: FK UNS/ RSUD Dr.
Moewardi
Surakarta.
Available
from
https://sibermedik.files.wordpress.com/2008/.../gantung_diri_makalah.pdf
Nurina., 2010. Tanda Kardinal Asfiksia Pada Kasus Gantung Diri RSUP H.
Adam
Desember
2009.
Medan.
Available
from:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23475/3/Chapter%20II.pdf
Purwanti, T., Apuranto, H. 2014. Kasus Hanging dengan Posisi Duduk Bersandar
di Kursi Sofa. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK
Unair-RSUD dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia,
vol. 16 No. 2 April-Juni 2014
20