Anda di halaman 1dari 33

REFERAT FORENSIK DAN STUDI MEDIKOLEGAL

ASFIKSIA

Disusun oleh:
Elita Mulyadi 2014 061 129
Emily 2014 061
Hendry Wijaya 2014 061 134
Inggit Azzahra Herfianti H2A012033
Durotul Farida H2A012036
Zaky Prasetya H2A012051

Konsulen Pembimbing:
dr. Sigid
Residen Pembimbing:
dr. Wian Pisia Anggreliana

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


STUDI MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT DR. KARIADI SEMARANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
yang berjudul Asfiksia. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti program Profesi Kedokteran di bagian Forensik RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Pada penulisan dan penyusunan referat ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak secara
langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Sigid, Sp.F selaku dosen penguji
2. dr. Wian Pisia A. selaku residen pembimbing
Penulis sadar bahwa dalam tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis
menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun
dalam perbaikan referat ini. Penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi
Penulis sendiri.

24 September 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu
akan terjadi dari mulai terhentinya suplai oksigen. Terhentinya suplai oksigen dapat
disebabkan karena adanya hambatan masuknya oksigen ke dalam sistem respirasi.
Hambatan ini juga akan mengakibatkan terganggunya pengeluaran karbon dioksida
dari tubuh sehingga kadarnya dalam darah meningkat. Keadaan dimana terjadi
gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal disebut asfiksia.
Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan
karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan
karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana
oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbon
dioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi
pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling
sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa
manusia. Penting untuk diketahui mengenai gambaran asfiksia, khususnya pada
postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya
asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama bila dikaitkan dengan proses
penyidikan.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan yang menangani seorang
korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya. Untuk itu, sudah selayaknya seorang dokter perlu
mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah satunya asfiksia. Referat ini
secara garis besar akan membahas mengenai asfiksia.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa Pengertian dan Penyebab Asfiksia?
1.2.2. Bagaimana Cara dan Mekanisme terjadinya Asfiksia?
1.2.3. Apa Saja Jenis-jenis Asfiksia?
1.2.4. Bagaimana Cara Mendiagnosa Kematian Akibat Asfiksia?
1.2.5. Bagaimana Gambaran Post Mortem Asfiksia?
1.3. Tujuan Penulisan
Menambah pengetahuan tentang asfiksia secara umum.
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1. Untuk Pendidikan
Tulisan ini diharapkan dapat dapat memberikan pengetahuan dan wawasan
mengenai asfiksia kepada mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase
forensik dan medikolegal.
1.4.2. Untuk Penulis
Tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis mengenai
asfiksia secara umum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan
asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron
yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan
bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.
2.2. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan
atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan
seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
2.3. Tipe Anoksia
Anoksia dapat dibedakan menjadi 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.
Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
Asfiksia termasuk dalam anoksia tipe ini.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Anoksia tipe ini disebabkan ketidakcukupan jumlah hemoglobin untuk membawa
oksigen. Keadaan ini dapat ditemukan pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba.
Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke
pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Anoksia tipe ini disebabkan tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa
oksigen. Dapat disebabkan karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan
ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini
diibaratkan lalu lintas macet yang tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan pada anoksia tipe ini terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga
jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan
atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O 2
oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
2.4. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada
sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati
pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
SKEMA PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,


misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.5. Gejala Klinis


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan
pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude
dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah
cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan
ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.
2. Fase Kejang/konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat
sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak,
akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.
3. Fase Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan
menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya
pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan
terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja
secara mendadak.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah
berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4 menit,
tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
2.6. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat
dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari
pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum.

Tardieus spot
Bintik perdarahan pada jantung
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia

2.7. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan
yang dinamakan sebagai Tardieus spot.

b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
2.8. Jenis-Jenis Asfiksia

2.8.1. Penggantungan (Hanging)

Penggantungan (hanging) adalah peristiwa dimana seluruh atau sebagian dari


berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan
permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah
tersebut mengalami tekanan.

Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat


pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada
penjeratan, tenaga tersebut datang dari luar, sedangkan pada kasus gantung,
tenaga tersebut berasal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu
seluruh berat badan digunakan.
Peristiwa gantung tidak harus seluruh tubuh berada di atas lantai, sebab
dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah cukup untuk
menghentikan aliran darah pada daerah itu. Oleh sebab itu, tindakan gantung
diri dapat dilakukan dengan sebagian tubuh tetap berada di lantai.
Ciri-ciri yang dapat dilihat pada jenazah akibat gantung diri yang
sebagian tubuhnya menyentuh lantai agak berbeda dengan ciri-ciri peristiwa
gantung yang seluruh tubuhnya berada di atas lantai yaitu:
- Jejas jerat tidak begitu nyata
- Letak jejas jerat di leher lebih rendah
- Arah jejas jerat lebih mendekati horizontal
- Karena efek tali hanya menekan vena, maka tanda-tanda lain yang dapat
dilihat adalah muka menjadi sembab, warna merah kebiruan, dan
ditemukan bintik-bintik perdarahan
2.8.1.1. Jenis Penggantungan
1. Menurut letak simpul dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:
o Typical hanging
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan terjadi
penekanan paling besar pada arteri karotis dan vena jugularis. Dimana
simpul terletak di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping
leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran
napas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
o Atypical hanging
Terjadi bila titik gantung terletak di samping, sehingga leher dalam
posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan
hambatan pada arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat arteri
terhambat, korban segera tidak sadar.
o Kasus dengan letak titik gantung di depan atau dagu

Gambar . Jenis Penggantungan Menurut Letak Simpul

2. Menurut posisi tubuh dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:

o Penggantungan parsial / Incomplete hanging


Istilah yang digunakan jika berat tubuh tidak sepenuhnya menjadi
kekuatan daya jerat tali dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,
misal pada korban posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam
posisi telungkup, ataupun posisi lainnya.
Gambar . Incomplete Hanging
o Penggantungan Lengkap / Complete hanging
Istilah yang digunakan jika berat tubuh sepenuhnya menjadi kekuatan
daya jerat tali, misal pada korban dalam posisi seluruh tubuh
menggantung di atas.

Gambar .Complete Hanging

2.8.1.2. Mekanisme Kematian pada Kasus Gantung


- Kerusakan batang otak dan medulla spinalis
Hal ini terjadi akibat dislokasi atau fraktur verterbra ruas leher, misal pada
judicial hanging (hukum gantung). Terhukum dijatuhkan dari ketinggian
dua meter secara mendadak dengan menghilangkan tempat berpijaknya
sehingga mengakibatkan terpisahnya C2-C3 atau C3-C4 yang juga terjadi
akibat terdorong oleh simpul besar yang terletak pada sisi leher. Medula
spinalis bagian atas akan tertarik atau teregang atau terputar dan menekan
medula oblongata. Kadang-kadang pada batas pons terputar sehingga
menyebabkan hilang kesadaran, tetapi denyut jantung dan pernapasan
masih berlangsung sampai 10-15 menit.
- Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering yang mengakibatkan proses
anoksia anoksik akibat terhambatnya aliran udara pernapasan yang
disebabkan oleh jerat tali yang menekan jalan napas. Selain tekanan pada
trakea, sumbatan dapat disebabkan elevasi dan pergeseran lidah, dan atap
rongga mulut ke posterior, yaitu bila jerat terletak di atas laring. Alat
penjerat biasanya berada di atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan
penekanan pada leher, sehingga saluran pernapasan menjadi tersumbat.
- Iskemia otak akibat gangguan sirkulasi darah ke otak
Disebabkan oleh penekanan pada arteri-arteri besar di leher yang berperan
dalam menyuplai darah ke otak, umumnya arteri karotis dan arteri
vertebralis.
- Syok karena vagal reflex
Refleks vaso-vagal yang dihambat secara tiba-tiba menyebabkan serangan
jantung mendadak, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus
atau sinus carotis yang menyebabkan fibrilasi ventrikel dan henti jantung.
Secara eksperimental pada binatang yang dimanipulasi sehingga berada
dalam keadaan obstruktif asfiksia, setelah beberapa menit akan diikuti
penurunan detak jantung, kemudian setelah beberapa saat terjadi takikardi
sampai mengakibatkan kematian.
2.8.1.3. Cara Kematian pada Kasus Gantung
Ada 3 cara kematian pada kasus gantung, yaitu:
- Bunuh diri
Kejadian ini yang paling banyak dijumpai.
- Pembunuhan
Biasanya sebelum digantung dibunuh lebih dahulu dengan cara lain
- Kecelakaan
Contohnya pada waktu jatuh dari pohon, bagian belakang bajunya
tersangkut dahan atau pada waktu terjun payung, lehernya terlilit tali
parasut.

Untuk menentukan cara kematian perlu dilakukan pemeriksaan tempat


kejadian, yaitu:

1. Keadaan lokasi

Perlu dilihat ada tidaknya benda-benda penumpu, misalnya kursi atau meja.

2. Posisi korban

Perlu dipikirkan kemungkinannya korban dapat melakukan gantung diri


dengan posisi seperti yang ditemukan.
3. Keadaan tali
- Jenis simpul tali gantungan
Hal ini penting diperhatikan karena dapat kita jadikan sebagai patokan
apakah korban melakukan bunuh diri ataukah korban pembunuhan.
Simpul tali, baik simpul hidup maupun simpul mati, bila melewati
lingkar kepala korban dapat menunjukkan korban bunuh diri.Apabila
simpul tali tidak melewati lingkar kepala korban, berarti korban dibunuh
lebih dahulu sebelum digantung. Simpul hidup harus dilonggarkan
secara maksimal untuk membuktikannya.
- Arah serabut tali penggantung
Serabut tali penggantung yang arahnya menuju korban dapat memberi
petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan bunuh diri. Sebaliknya, bila
arah serabut tali menjauhi korban menjadi bukti korban dibunuh lebih
dahulu sebelum digantung.

4. Keadaan korban
Distribusi lebam mayat harus kita perhatikan secara seksama, apakah sesuai
dengan posisi mayat ataukah tidak.Kondisi lidah (menjulur atau tidak),
perlu dikaitkan dengan posisi jeratan di leher.
Mengenai keluarnya sperma, urin, dan feses tidak dapat dipakai sebagai
petunjuk bahwa cara kematian yang bersangkutan disebabkan karena bunuh
diri.

2.8.1.4. Gambaran Post Mortem Pada Kasus Gantung


Pemeriksaan luar:
o Kepala
Muka korban penggantungan akan mengalami sianosis dan
terlihat pucat jika arteri dan vena terjepit. Mata korban dapat melotot
akibat adanya bendungan pada kepala korban, yang disebabkan
terhambatnya vena-vena kepala tetapi arteri kepala tidak terhambat.
Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban terjadi akibat
pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah
karena asfiksia.
Busa halus pada hidung dan mulut timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas
bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat
pecahnya kapiler.
Lidah korban penggantungan bisa terjulur, bisa juga tidak
terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada di
bawah kartilago tiroidea dan berwarna lebih gelap akibat proses
pengeringan. Lidah tidak terjulur apabila letak jeratan berada di atas
kartilago tiroidea.
o Leher
Terdapat tanda-tanda khusus pada leher berupa:
- Jejas jerat, yaitu berupa lekukan melingkari leher (secara penuh
atau sebagian) dan di sekitarnya kadang terlihat adanya
bendungan.
- Arah jejas tidak melingkar secara horizontal, melainkan mengarah
ke atas menuju ke atas menuju ke arah simpul dan membentuk
sudut jika jejas diteruskan (pada jejas yang tidak melingkar secara
penuh) akan membentuk sudut yang semu.
- Warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar),
perabaan keras seperti kertas perkamen.
- Resapan darah pada jaringan bawah kulit atau otot.
- Patah tulang, yaitu os hyoid atau kartilago krikoid
- Lebab mayat
Jika sesudah mati tetap dalam keadaan tergantung cukup lama,
maka lebam mayat dapat ditemukan pada tubuh bagian bawah,
anggota badan bagian distal serta alat genitalia bagian distal
- Lidah
Jika posisi tali di bawah kartilago tiroidea, maka lidah akan terlihat
menjulur keluar dan berwarna lebih gelap akibat proses
pengeringan

Gambar .Jejas jerat


o Anggota gerak (lengan dan tungkai)
Anggota gerak korban penggantungan dapat kita temukan adanya
lebam mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai.Penting juga kita
ketahui ada tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut.
o Dubur dan alat kelamin
Dubur korban penggantungan dapat mengeluarkan feses. Alat kelamin
korban dapat mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid).
Pengeluaran urin disebabkan kontraksi otot polos pada stadium
konvulsi atau puncak asfiksia.Lebam mayat dapat ditemukan pada
genitalia eksterna korban.

Pemeriksaan Dalam :

o Kepala

Kepala korban penggantungan dapat kita temukan tanda-tanda


bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medula spinalis dan
medula oblongata. Kedua kerusakan tersebut biasanya terjadi pada
hukuman gantung (judicial hanging).

o Leher

Leher korban penggantungan dapat kita temukan adanya


perdarahan dalam otot atau jaringan, fraktur (os hyoid, kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea), dan robekan kecil pada
intima pembuluh darah leher (vena jugularis).

o Dada dan perut

Pada dada dan perut korban dapat ditemukan adanya perdarahan


(pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan
/kongesti organ. Kekurangan oksigen yang berlangsung lama akan
mengakibatkan kerusakan pembuluh darah kapiler sehingga
permeabilitas kapiler meningkat. Keadaan ini menimbulkan edema
terutama edema paru.

o Darah

Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya


lebih gelap dan konsistensinya lebih cair.

2.8.1.5. Cara Membedakan Kasus Gantung Diri (Pembunuhan


atau Bunuh Diri)

No. Kategori Bunuh Diri Pembunuhan

1 Alat penjerat :

- Simpul Simpul hidup Biasanya simpul


- Jumlah lilitan mati
Satu atau lebih
- Arah
Hanya satu
- Jarak titik Serong keatas
tumpu simpul Mendatar
Jauh
Dekat
2 Korban

- Jejas jerat Meninggi ke arah Berjalan mendatar


- Luka simpul
+
perlawanan
-
- Luka-luka Ada, sering di
lain Biasanya tidak ada, daerah leher
mungkin terdapat luka
percobaan lain
- Jarak dari
Jauh
lantai Dekat, dapat tidak
tergantung

3 TKP

- Lokasi Bervariasi Tersembunyi


- Kondisi
Tidak teratur Teratur

4 Alat Berasal dari TKP Dari pembunuh

5 Surat peninggalan + -

6 Ruangan Terkunci dari dalam Tak teratur, terkunci


dari luar

2.8.2. Penjeratan (Strangulation by ligature)


Jerat adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat suatu
jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat badan
korban.Kalau pada peristiwa gantung kekuatan jeratan berasal dari berat tubuhnya
sendiri, maka jeratan pada dengan tali kekuatan jeratannya berasaldari tarikan
pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan tersebut pembuluh darah balik atau jalan
nafas tersumbat. Tali yang dipakai sering disilangkan dan sering juga dijumpai
adanya simpul.
2.8.2.1. Penyebab Kematian Pada Penjeratan
Ada 3 penyebab kematian pada jerat, yaitu:
1) Asfiksia
2) Iskemia
3) Refleks vagal
2.8.2.2. Cara Kematian Pada Penjeratan
Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan , yaitu:
1) Pembunuhan (paling sering)
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian
infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat,
dan hukuman mati (zaman dahulu).
2) Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat
oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau, dan pemabuk. Refleks vagal
biasanya menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.
3) Bunuh diri
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali
secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik.
Antara jeratan dan leher dimasukkan tongkat lalu tongkat tersebut diputari.

Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain:

a. Arah jerat mendatar/horizontal.


b. Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
c. Jenis simpul penjerat.
d. Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, dan lain-lain.
e. Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang
digunakan untuk menjerat.

2.8.2.3. Gambaran Postmortem pada Kasus Penjeratan


Pada tubuh jenazah yang mati akibat jeratan dengan tali dapat ditemukan
kelainan sebagai berikut:
1) Leher
Jejas jerat
a) Tidak sejelas jejas gantung
b) arahnya horisontal
c) Kedalamannya reguler (sama), tetapi jika ada simpul atau tali
disilangkan maka jejas jerat pada tempat-tempat tersebut lebih
dalam atau nyata
d) Tinggi kedua ujung jejas jerat tidak sama
Lecet atau memar
Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet-lecet
atau memar-memar disekitar jejas. Kelainan tersebut karena korban
berusaha membuka jeratan.
2) Kepala
Terlihat tanda asfiksia
Kongesti dan bintik-bintik perdarahan pada daerah di atas jejas.
Jika kematiannya karena vagal reflex maka tanda-tanda tersebut
diatas tidak ditemukan
3) Tubuh bagian dalam
Leher bagian dalam terdapat
a) Resapan darah pada otot dan jaringan ikat
b) Fraktur dari tulang rawan
c) Konesti pada jaringan ikat, kelenjar limfe dan pangkal lidah
Paru-paru
a) Sering ditemukan edema paru-paru
b) Sering ditemukan adanya buih halus jalan napas

Gambar 15. Penjeratan

2.8.3. Pencekikan
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan
dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas
sehingga udara pernafasan tidak bisa lewat.
Cekikan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan oleh
pembunuhan, kecuali pada kasus latihan bela diri atau pembuatan film
(kecelakaan) wala upun jarang. Namun, sudah jelas pencekikan tidak digunakan
untuk bunuh diri, sebab cekikan akan lepas begitu orang yang melakukan bunuh
diri itu mulai kehilangan kesadaran.
Pada pembunuhan, cekikan dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau
kedua tangan.Kadang-kadang digunakan lengan bawah untuk membantu menekan
leher dari samping.
2.8.3.1. Sebab Kematian
Penyebab kematian dari peristiwa pencekikan dengan tangan ialah:
1) Tertutupnya jalan nafas sehingga menyebabkan anoksia.
2) Tertutupnya pembuluh balik sehingga menyebabkan anoksia otak.
3) Tertutupnya pembuluuh nadi karotis sehingga terjadi gangguan sirkulasi
darah ke otak.
2.8.3.2. Mekanisme Kematian Pada Pencekikan
1) Asfiksia
2) Refleks vagal, akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus pada corpus
caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna.
Refleks vagal jarang terjadi.
2.8.3.3. Kelainan Postmortem
Bagian leher:
Bagian luar :
o Memar yang bentuknya bulat atau lonjong akibat penekanan jari-
jari pelaku pencekikan.
o Lecet berbentuk bulan sabit akibat kuku.
Bagian dalam:
o Resapan darah tampak lebih jelas daripada strangulasi jenis lain,
yaitu pada jaringan ikat dibawah kulit, belakang kerongkongan,
dasar lidah dan kelenjar tiroid.
o Fraktur dari tulang rawan tiroid, krikoid, dan hyoid.
Edema paru terjadi bila anoksia berlangsung lama. Bila penekanan
pada leher terjadi secara intermiten maka pada mulut dan lubang hidung akan
terlihat adanya buih halus.
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan bendungan pada muka dan
kepala karena turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri superficial,
sedangkan arteri vertebralis tidak terganggu.
Luka-luka memar pada kulit, bekkas tekanan jari merupakan petunjuk
berharga untuk menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik.
Apabila terjadi memar subkutan yang luas akan menyulitkan, sedangkan pada
permukaan kulit hanya tampak memar berbintik.
Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat
terjadi akibat kekerasan langsung.Perdarahan pada otot sternokleidomastoid
dapat disebabkan oleh kontraksi kuat pada otot tersebut saat korban melawan.
Fraktur pada tulang lidah (Os. hyoid) dan kornu superior kartilago
tiroid yang unilateral lebih sering terjadi pada pencekikan, namun semua
tergantung pada besar tenaga yang dipergunakan saat pencekikan.Patah tulang
lidah kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti kekerasan bila mayat
sudah dikubur lama sebelum diperiksa.
Pada pemeriksaan jenazah, bila mekanisme kematian adalah refleks
vagal, yang menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdetak, sehingga tidak
terdapat tekanan intravaskular yang menimbulkan bendungan, tidak akan ada
perdarahan ptechiae, tidak ada edema paru dan pada otot-otot leher bagian
dalam hampir tidak pernah ditemukan perdarahan.
2.8.4. Pembekapan (Smothering)
Pembekapan merupakan bentuk asfiksia yang disebabkan oleh penutupan
lubang hidung dan mulut.Penutupan dapat menggunakan tangan atau sesuatu benda
yang lunak (misalnya bantal).Peristiwa pembekapan dapat terjadi karena
pembunuhan, kecelakaan atau bunuh diri.
a. Bunuh diri
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada
penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan kasur, bantal,
pakaian yang diikatkan menutupi hidung dan mulut.
b. Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.Terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup
bantal/selimut.Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu
tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya terbekap atau dalam
kantung plastik.
c. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri.Pada orang dewasa
hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit
berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras.
Kematian yang terjadi pada peristiwa pembekapan lebih cepat daripada
peristiwa sufokasi, dengan tanda-tanda asfiksia yang sangat jelas.Benda-benda lunak
seperti bantal sering digunakan tidak meninggalkan bekas luka.Tanda kekerasan yang
dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
goresan kuku dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi, dan dagu yang mungkin
terjadi akibat korban melawan.Luka memar atau lecet pada bagian atau permukaan
dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi, dan lidah.Luka lecet
pada bagian belakang tubuh korban.
Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar
maupun pembedahan jenazah.Perlu juga dilakukan pemeriksaan kerokan dibawah
kuku korba, untuk menemukan darah atau epitel kulit si pelaku.

2.8.5. Tersedak ( Choking dan Gagging )


Sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengakibatkan hambatan udara
masuk ke paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan
pada choking sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring.
2.8.5.1. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal
akibat ransangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang
menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian
2.8.5.2.Cara Kematian
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1. Bunuh diri ( suicide ). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan
benda asing ke dalam mulut sendiri disebabjan adanya refleks batuk atau
muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit mental atau tahanan.
2. Pembunuhan ( homicodal choking ). Umumnya korban adalah bayi, orang
dengan fisik lemah atau tidak berdaya.
3. Kecelakaan ( accidental choking ). Pada bolus death yang terjadi bila
tertawa atau menangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam
saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang
kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.
2.8.5.3. Gambaran Post Mortem Tersedak
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik
pada pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut
( orofaring atau laringofaring ) ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa
sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan pernah ditemukan arang, batu
dan lain-lainnya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari kemungkinan adanya
tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing.

2.8.6. Sufokasi
Peristiwa sufokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang
memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup
berdesak-desakan dengan banyak orang, pertambangan yang mengalami
keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat
terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan serta kebutuhan
oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada peristiwa
sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO 2, hawa
panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa
kebakaran gedung.
Pada pemeriksaan postmortem dapat dilihat adanya tanda-tanda umum asfiksia
disertai tanda-tanda lain, seperti misalnya luka-luka yang terjadi akibat tertimpa
runtuhan. Analisa toksikologi dari darah juga tidak membantu bila terdapat gas
karbondioksida karena itu termasuk bagian normal dari darah.Hanya gas metana
yang dapat terdeteksi dengan analisa toksikologi darah, namun hanya memberi
gambaran bahwa orang tersebut sudah terpapar gas metana.
Pada pemeriksaan dalam bila kematian terjadi akibat paparan gas seperti
karbondioksida, tidak dapat ditemukanh hasil yang spesifik di organ-organ dalam,
namun tanda-tanda asfiksia secara umum dapat ditemukan.

2.8.7. Crush Asphyxia (Asfiksia Traumatik)


Crush Asphyxia disebabkan oleh karena dada dan perut mendapat tekanan
secara bersamaan oleh suatu kekuatan yang menyebabkan dada terfiksasi sehingga
diafragma tidak dapat bergerak. Hal tersebut kemudian menimbulkan gangguan
gerak pernapasan sehingga udara yang masuk ke dalam atau keluar paru terhambat,
misalnya tertimbun pasir, tanah longsor, runtuhan tembok, pohon yang tumbang
atau tebing yang runtuh.
Crush Asphyxia juga dapat terjadi karena berdesak-desakan keluar dari suatu
ruangan melalui pintu yang sempit. Akibat tekanan tersebut maka akan terjadi
kompresi pada dada dan perut sehingga diafragma dalam keadaan terfiksir.
Akibatnya gerakan pernapasan tidak mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami
asfiksia. Asfiksia traumatik tidak pernah terjadi pada kasus bunuh diri, dan paling
sering terjadi pada kecelakaan. Asfiksia traumatik dapat juga terjadi pada kasus
pembunuhan, sebagai contoh adalah kasus burking yang merupakan kombinasi
pembekapan dan tekanan dari luar pada dada. Pada burking korban dibuat tidak
berdaya, kemudian dilentangkan, diduduki atai berlutut di dada korban dengan satu
tangan menutup lubang hidung dan mulut korban, tangan lain menekan rahang
bawah korban ke arah atas. Korban cepat mati dengan cara ini dan meninggalkan
tanda kekerasan yang minimal atau kadang tidak ada.
Pada pemeriksaan post mortem akan terlihat adanya tanda-tanda umum
asfiksia; seperti misalnya cyanosis, bintik-bintik perdarahan pada bagian atas dari
tubuh, edema serta pembengkakan pada bola mata dan kongesti pada tubuh sebelah
atas akibat darah terdorong ke atas oleh kompresi pada abdomen. Jika benda yang
menekan itu sangat berat maka besar kemunginan kematiannya bukan karena
asfiksia, tetapi karena sebab lain; seperti misalnya perdarahan karena hancurnya
organ dalam.

Presentasi Kasus

Laki-laki usia 40 tahun dibawa ke Departemen Kedokteran Forensik diduga bunuh


diri dengan gantung diri. Tubuh korban ditemukan tergantung di batang pohon didalam hutan
dengan tali tambang dan simoul bebas di regio oksipital. Selain itu, tangan korban terikat di
belakang badan setinggi panggul korban dengan menggunakan tali tambang dengan bahan
yang sama. Polisi juga menemukan surat wasiat didalam kantung celana pasien.

Saat tim dokter melakukan kunjungan ke lokasi kejadian, ditemukan tubuh korban
tergantung di batang pohon dengan tali tambang dan simpul bebas yang terletak di regio
oksipital dan kedua tangan terikat di belakang tubuh korban setinggi panggul dengan tali
tambang dan ada jarak 40 cm diantara kedua tangan. Kaki tidak menyentuh tanah. Lidah
keluar dari bibir dan berwarna biru kehitaman. Di dekat lokasi kejadian juga ditemukan alas
kaki korban sekitar 10 kaki dari lokasi) dan batu tajam serta beberapa tali tambang yang
tampak terurai.

Penemuan Post-Mortem

Jejas ditemukan mengelilingi leher dengan adanya bagian yang bebas jejas yang
menunjukan tempat simpul. Lebar jejas leher bagian depan yaitu 3 cm dan teletak tepat di
kartilago tiroid, sekitar 5 cm, diatas suprasternal notch dan 8c m dibawah puncak dagu. Jejas
mengelilingi leher dengan arah ke belakang dan keatas menujunke regio oksipital. Lebar jejas
bagian kanan yaitu 2.8 cm, terletak 5 cm, dibawah prosesus mastoideus. Lebar jejas di bagian
kiri korban ukuran 2.5 cm dan terletak 4 cm dibawah prosesus mastoideus. Dasar jejas
berwarna coklat tua, ekimosis dan mengkilat.

Saat dilakukan pemeriksaan, ditemukan jaringan dibawah leher yang lunak, berwarna
keputihan dan mengkilap. Tidak ada tanda ekstravasasi darah ke jaringan di sekitar leher.
Tidak ditemukan fraktur pada kartilago tiroid atau tulang hyoid . ditemukan petekie difusa di
kulit kepala. Tulang tengkorakan dalam batas normal. Lapisan meningen intak dan tampak
kongesti. Jaringan otak juga ditemukan dalam keadaan kongesti dan edema dengan petekie
pada parenkim otak. Terdapat kongesti di seluruh organ dalam.

Dari penemuan-penemuan tersebut disimpulkan bahwa korban meninggal akibat


asfiksia karena bunuh diri dengan cara gantung diri. Berdasarkan penulis, kasus ini termasuk
dalam kasus bunuh diri karena ditemukannya :

1. adanya saliva di sudut kanan mulut


2. adanya parenkimatisasi kulit pada tempat terbentuknya jejas
3. tanda sianosis sentral dan kongesti seluruh organ visera
4. penemuan histologis yaitu berupa sel-sel inflamasi di jaringan subcutis.

Pada penggantungan yang disebabkan karena pembunuhan (homicidal hanging),


jarang ditemukan korbannya adalah dewasa tanpa tanda-tanda intoksifikasi atau dibuat tidak
sadar oleh karena suatu hal (misalnya trauma kepala / kekerasan lain yang membuat korban
tidak sadar). Lebih sering ditemukan korbannya adalah anak-anak atau orang yang memiliki
keterbelakangan mental pada kasus homicidal hanging. Biasanya tali telah dikencangkan
terlebih dahulu disekeliling leher. Selain itu, akan ditemukan tanda ditarik / diseret di tanah
yang dapat dibuktikan dengan adanya luka geser atau terdapatnya gesekan pada lokasi jejas.
Dapat pula ditemukan tanda-tanda perlawanan pada kasus gantung dibunuh.

Gambar 1. Korban yang ditemukan gantung diri di batang pohon (complete hanging)
Gambar 1. Pemeriksaan dalam menunjukan adanya kongesti trakea

Gambar 2. Pemeriksaan histopatologis


Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi, ditemukan bagian otot skeletal
sepanjang jaringan fibrosa yang mengalami proses nekrotik dengan penyebaran sel-sel
inflamasi dan pigmen hemosiderin.
BAB III

KESIMPULAN

Asfiksia adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen dan berlebihnya kadar
karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara
oksigen dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru.

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik,
misalnya pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam
(drowning). Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi
4 fase, yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir.

Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari
dan kuku. Bendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada
mata berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada
fase konvulsi.

Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah


darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan,
pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan
berwarna lebih gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura
viseralis, kulit kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis dan edema paru

Anda mungkin juga menyukai