ASFIKSIA
Disusun oleh:
Elita Mulyadi 2014 061 129
Emily 2014 061
Hendry Wijaya 2014 061 134
Inggit Azzahra Herfianti H2A012033
Durotul Farida H2A012036
Zaky Prasetya H2A012051
Konsulen Pembimbing:
dr. Sigid
Residen Pembimbing:
dr. Wian Pisia Anggreliana
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
yang berjudul Asfiksia. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti program Profesi Kedokteran di bagian Forensik RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Pada penulisan dan penyusunan referat ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak secara
langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Sigid, Sp.F selaku dosen penguji
2. dr. Wian Pisia A. selaku residen pembimbing
Penulis sadar bahwa dalam tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis
menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun
dalam perbaikan referat ini. Penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi
Penulis sendiri.
24 September 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. Pengertian
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan
asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron
yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan
bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.
2.2. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan
atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan
seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
2.3. Tipe Anoksia
Anoksia dapat dibedakan menjadi 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.
Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
Asfiksia termasuk dalam anoksia tipe ini.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Anoksia tipe ini disebabkan ketidakcukupan jumlah hemoglobin untuk membawa
oksigen. Keadaan ini dapat ditemukan pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba.
Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke
pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Anoksia tipe ini disebabkan tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa
oksigen. Dapat disebabkan karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan
ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini
diibaratkan lalu lintas macet yang tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan pada anoksia tipe ini terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga
jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan
atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O 2
oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
2.4. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada
sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati
pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
SKEMA PATOFISIOLOGI ASFIKSIA
Tardieus spot
Bintik perdarahan pada jantung
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan
yang dinamakan sebagai Tardieus spot.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
2.8. Jenis-Jenis Asfiksia
1. Keadaan lokasi
Perlu dilihat ada tidaknya benda-benda penumpu, misalnya kursi atau meja.
2. Posisi korban
4. Keadaan korban
Distribusi lebam mayat harus kita perhatikan secara seksama, apakah sesuai
dengan posisi mayat ataukah tidak.Kondisi lidah (menjulur atau tidak),
perlu dikaitkan dengan posisi jeratan di leher.
Mengenai keluarnya sperma, urin, dan feses tidak dapat dipakai sebagai
petunjuk bahwa cara kematian yang bersangkutan disebabkan karena bunuh
diri.
Pemeriksaan Dalam :
o Kepala
o Leher
o Darah
1 Alat penjerat :
3 TKP
5 Surat peninggalan + -
Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain:
2.8.3. Pencekikan
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan
dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas
sehingga udara pernafasan tidak bisa lewat.
Cekikan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan oleh
pembunuhan, kecuali pada kasus latihan bela diri atau pembuatan film
(kecelakaan) wala upun jarang. Namun, sudah jelas pencekikan tidak digunakan
untuk bunuh diri, sebab cekikan akan lepas begitu orang yang melakukan bunuh
diri itu mulai kehilangan kesadaran.
Pada pembunuhan, cekikan dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau
kedua tangan.Kadang-kadang digunakan lengan bawah untuk membantu menekan
leher dari samping.
2.8.3.1. Sebab Kematian
Penyebab kematian dari peristiwa pencekikan dengan tangan ialah:
1) Tertutupnya jalan nafas sehingga menyebabkan anoksia.
2) Tertutupnya pembuluh balik sehingga menyebabkan anoksia otak.
3) Tertutupnya pembuluuh nadi karotis sehingga terjadi gangguan sirkulasi
darah ke otak.
2.8.3.2. Mekanisme Kematian Pada Pencekikan
1) Asfiksia
2) Refleks vagal, akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus pada corpus
caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna.
Refleks vagal jarang terjadi.
2.8.3.3. Kelainan Postmortem
Bagian leher:
Bagian luar :
o Memar yang bentuknya bulat atau lonjong akibat penekanan jari-
jari pelaku pencekikan.
o Lecet berbentuk bulan sabit akibat kuku.
Bagian dalam:
o Resapan darah tampak lebih jelas daripada strangulasi jenis lain,
yaitu pada jaringan ikat dibawah kulit, belakang kerongkongan,
dasar lidah dan kelenjar tiroid.
o Fraktur dari tulang rawan tiroid, krikoid, dan hyoid.
Edema paru terjadi bila anoksia berlangsung lama. Bila penekanan
pada leher terjadi secara intermiten maka pada mulut dan lubang hidung akan
terlihat adanya buih halus.
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan bendungan pada muka dan
kepala karena turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri superficial,
sedangkan arteri vertebralis tidak terganggu.
Luka-luka memar pada kulit, bekkas tekanan jari merupakan petunjuk
berharga untuk menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik.
Apabila terjadi memar subkutan yang luas akan menyulitkan, sedangkan pada
permukaan kulit hanya tampak memar berbintik.
Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat
terjadi akibat kekerasan langsung.Perdarahan pada otot sternokleidomastoid
dapat disebabkan oleh kontraksi kuat pada otot tersebut saat korban melawan.
Fraktur pada tulang lidah (Os. hyoid) dan kornu superior kartilago
tiroid yang unilateral lebih sering terjadi pada pencekikan, namun semua
tergantung pada besar tenaga yang dipergunakan saat pencekikan.Patah tulang
lidah kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti kekerasan bila mayat
sudah dikubur lama sebelum diperiksa.
Pada pemeriksaan jenazah, bila mekanisme kematian adalah refleks
vagal, yang menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdetak, sehingga tidak
terdapat tekanan intravaskular yang menimbulkan bendungan, tidak akan ada
perdarahan ptechiae, tidak ada edema paru dan pada otot-otot leher bagian
dalam hampir tidak pernah ditemukan perdarahan.
2.8.4. Pembekapan (Smothering)
Pembekapan merupakan bentuk asfiksia yang disebabkan oleh penutupan
lubang hidung dan mulut.Penutupan dapat menggunakan tangan atau sesuatu benda
yang lunak (misalnya bantal).Peristiwa pembekapan dapat terjadi karena
pembunuhan, kecelakaan atau bunuh diri.
a. Bunuh diri
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada
penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan kasur, bantal,
pakaian yang diikatkan menutupi hidung dan mulut.
b. Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.Terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup
bantal/selimut.Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu
tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya terbekap atau dalam
kantung plastik.
c. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri.Pada orang dewasa
hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit
berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras.
Kematian yang terjadi pada peristiwa pembekapan lebih cepat daripada
peristiwa sufokasi, dengan tanda-tanda asfiksia yang sangat jelas.Benda-benda lunak
seperti bantal sering digunakan tidak meninggalkan bekas luka.Tanda kekerasan yang
dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
goresan kuku dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi, dan dagu yang mungkin
terjadi akibat korban melawan.Luka memar atau lecet pada bagian atau permukaan
dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi, dan lidah.Luka lecet
pada bagian belakang tubuh korban.
Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar
maupun pembedahan jenazah.Perlu juga dilakukan pemeriksaan kerokan dibawah
kuku korba, untuk menemukan darah atau epitel kulit si pelaku.
2.8.6. Sufokasi
Peristiwa sufokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang
memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup
berdesak-desakan dengan banyak orang, pertambangan yang mengalami
keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat
terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan serta kebutuhan
oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada peristiwa
sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO 2, hawa
panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa
kebakaran gedung.
Pada pemeriksaan postmortem dapat dilihat adanya tanda-tanda umum asfiksia
disertai tanda-tanda lain, seperti misalnya luka-luka yang terjadi akibat tertimpa
runtuhan. Analisa toksikologi dari darah juga tidak membantu bila terdapat gas
karbondioksida karena itu termasuk bagian normal dari darah.Hanya gas metana
yang dapat terdeteksi dengan analisa toksikologi darah, namun hanya memberi
gambaran bahwa orang tersebut sudah terpapar gas metana.
Pada pemeriksaan dalam bila kematian terjadi akibat paparan gas seperti
karbondioksida, tidak dapat ditemukanh hasil yang spesifik di organ-organ dalam,
namun tanda-tanda asfiksia secara umum dapat ditemukan.
Presentasi Kasus
Saat tim dokter melakukan kunjungan ke lokasi kejadian, ditemukan tubuh korban
tergantung di batang pohon dengan tali tambang dan simpul bebas yang terletak di regio
oksipital dan kedua tangan terikat di belakang tubuh korban setinggi panggul dengan tali
tambang dan ada jarak 40 cm diantara kedua tangan. Kaki tidak menyentuh tanah. Lidah
keluar dari bibir dan berwarna biru kehitaman. Di dekat lokasi kejadian juga ditemukan alas
kaki korban sekitar 10 kaki dari lokasi) dan batu tajam serta beberapa tali tambang yang
tampak terurai.
Penemuan Post-Mortem
Jejas ditemukan mengelilingi leher dengan adanya bagian yang bebas jejas yang
menunjukan tempat simpul. Lebar jejas leher bagian depan yaitu 3 cm dan teletak tepat di
kartilago tiroid, sekitar 5 cm, diatas suprasternal notch dan 8c m dibawah puncak dagu. Jejas
mengelilingi leher dengan arah ke belakang dan keatas menujunke regio oksipital. Lebar jejas
bagian kanan yaitu 2.8 cm, terletak 5 cm, dibawah prosesus mastoideus. Lebar jejas di bagian
kiri korban ukuran 2.5 cm dan terletak 4 cm dibawah prosesus mastoideus. Dasar jejas
berwarna coklat tua, ekimosis dan mengkilat.
Saat dilakukan pemeriksaan, ditemukan jaringan dibawah leher yang lunak, berwarna
keputihan dan mengkilap. Tidak ada tanda ekstravasasi darah ke jaringan di sekitar leher.
Tidak ditemukan fraktur pada kartilago tiroid atau tulang hyoid . ditemukan petekie difusa di
kulit kepala. Tulang tengkorakan dalam batas normal. Lapisan meningen intak dan tampak
kongesti. Jaringan otak juga ditemukan dalam keadaan kongesti dan edema dengan petekie
pada parenkim otak. Terdapat kongesti di seluruh organ dalam.
Gambar 1. Korban yang ditemukan gantung diri di batang pohon (complete hanging)
Gambar 1. Pemeriksaan dalam menunjukan adanya kongesti trakea
KESIMPULAN
Asfiksia adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen dan berlebihnya kadar
karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara
oksigen dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik,
misalnya pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam
(drowning). Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi
4 fase, yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari
dan kuku. Bendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada
mata berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada
fase konvulsi.