Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU FORENSIK & MEDIKOLEGAL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2022


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

ASFIKSIA : PEMBEKAPAN

Disusun Oleh:
A. Rara Pramei
70700120004

Pembimbing:
dr. Denny Mathius, Sp. F., M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK & MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERAITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : A. Rara Pramei

NIM : 70700120004

Judul : Asfiksia : Pembekapan

Telah menyelesaikan Referat yang berjudul “Pembekapan” dan telah disetujui

serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam rangka

kepaniteraan klinik pada bagian Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Menyetujui, Makassar, Mei 2022

Supervisor Pembimbing, Penulis,

dr. Denny Mathius, Sp.F., M. Kes A. Rara Pramei

BAB I
PENDAHULUAN

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya


gangguan pertukaran udara dalam saluran pernapasan yang berakibat menurunnya
oksigen dalam darah berkurang disertai dengan meningkatnya karbon dioksida.
Kata asfiksia berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “terhentinya denyut nadi”
atau “tanpa denyut nadi” namun, definisi yang lebih banyak diterima dan
digunakan adalah “tanpa oksigen”. Hal ini merujuk kepada kurangnya oksigenasi
jaringan. Seluruh kematian secara alamiah bersifat asfiksial, namun pada setting
forensik asfiksia memilki makna gangguan pertukaran oksigen dan karbon
dioksida didalam tubuh.5
Gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida dapat disebabkan oleh
sebab mekanik (asfiksia mekanik). Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang
terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh
berbagai kekerasan (bersifat mekanik), yaitu pembekapan, penyumpalan, jeratan,
cekikan dan gantung. Asfiksia mekanik merupakan istilah luas yang melingkupi
berbagai keadaan asfiksia, namun pada kebanyakan kasus memerlukan kriteria
seperti tubuh yang berada pada posisi tertentu sehingga terjadi kompromi terhadap
pernapasan (asfiksia posisional) atau terdapat tekanan eksternal pada dada, leher,
atau area tubuh lainnya yang membuat usaha pernafasan hampir tidak mungkin
dilakukan. Pada beberapa kasus asfiksia mekanik merujuk kepada kompresi leher
yang menyebabkan terjadinya kompresi terhadap suplai darah menuju otak dan
atau terganggunya fungsi respirasi.5,6
Dalam kasus-kasus di mana terdapat kompresi terhadap dada yang parah
(biasanya dari benda besar, berat), istilah asfiksia traumatis digunakan, meskipun
asfiksia mekanik juga akan sesuai. Tidak jarag beberapa mekanisme asfiksia yang
berbeda terjadi bersamaan dalam kasus yang sama. Seseorang harus
mempertimbangkan kemungkinan bahwa terdapat lebih dari satu kemungkinan
mekanisme asfiksial yang terlibat dalam kematian. Karena beberapa jenis asfiksia
mungkin tidak meninggalkan temuan yang dapat diobservasi pada otopsi,
penyelidikan adegan yang tepat bisa menjadi sangat penting. Dalam beberapa
kasus asfiksia, jika adegan telah diubah, dan cara asfiksia diproduksi dihilangkan,
seseorang mungkin tidak dapat menentukan penyebab kematian. 4
Berdasarkan database berbagai penyebab kematian milik Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1999-2004, sertifikat kematian
penduduk Amerika Serikat, tedapat sekitar 20.000 kematian akibat kecelakaan dan
non kecelakaan pada periode tersebut yang (attributed) terhadap berbagai jenis
asfiksia mekanis, seperti drowning, hanging, strangulation, dan suffocation.
Penyebab kematian akibat asfiksia tersering berbeda-beda pada setiap kelompok
usia. Tenggelam merupakan penyebab kematian akibat asfiksia tersering pada
kelompok usia 1-4 tahun, sedangkan hanging, strangulation, dan drowning
merupakan penyebab tersering pada kelompok usia 35-44 tahun. Homicidal
asphyxia secara relatif jarang terjadi dan hanya berkontribusi pada < 5% kasus
pembunuhan secara nasional setelah cedera senjata api, luka benda tajam dan
cedera benda tumpul6.
Sebuah penelitian retrospektif dilakukan di Bagian Forensik RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou periode tahun 2010-2015 untuk mengetahui gambaran kasus
asfiksia mekanik. Pada penelitian didapatkan 22 kasus kematian akibat asfiksia
mekanik. Kasus terbanyak pada tahun 2011 yaitu 8 kasus (36,5%). Kelompok usia
terbanyak ialah 17-25 tahun dengan 7 kasus (31,8%). Jenis kelamin laki-laki
sedikit lebih banyak yaitu 12 kasus (54,5%) dibandingkan perempuan yaitu 10
kasus (45,5%). Kasus asfiksia mekanik tersering ialah gantung dengan jumlah 15
kasus (68,2%). Tanda asfiksia yang sering ditemukan ialah pembendungan organ
dalam yaitu 19 kasus (86,4%).5 pindah ke bagian epid

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan

pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)

disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian

organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi

kematian. Pada kematian karena asfiksia, nadi sebenarnya masih berdenyut untuk

beberapa menit setelah pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi

kedokteran ialah anoksia atau hipoksia. Secara fisiologis anoksia adalah

kegagalan oksigen mencapai sel-sel tubuh.3

1. Anoxic anoxia, oksigenasi yang tidak sempurna pada darah yang berada

dalam paru-paru. Beberapa hal yang dapat menyebabkannya adalah

adanya obstruksi pada aliran udara (suffokasi, pembekapan), obstruksi

pada aliran udara yang menuju ke traktus respiratorius (tenggelam,

tersedak, penggatungan, pencekikan), kompresi berlebihan pada dada dan

dinding perut, terhentinya gerakan respirasi secara primer yang

menyebabkan kegagalan pernapasan (keracunan narkotik, luka listrik),

serta inhalasi karbon dioksida dan karbon monoksida.4

2. Anaemic anoxia, disebabkan oleh karena menurunnya kemampuan darah

membawa oksigen, misalnya pada kasus keracunan akut akibat karbon

monoksida, klorat, dan nitrit.4

3. Histotoxic anoxia, terjadi karena adanya depresi pada proses oksidatif di

jaringan, misalnya pada kasus keracunan hydrocyanid acid.4


4. Stagnant anoxia, terjadi akibat insuffisiensi dari sirkulasi darah pada

jaringan, misalnya pada kasus syok traumatik, heat stroke, keracunan

iritan dan korosif akut.2,4

Asfiksia mekanik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

keadaan dimana terjadi gangguan respirasi secara mekanik yang dapat terjadi

karena adanya hambatan aliran udara ke paru-paru, berkurangnya suplai darah ke

kepala dan leher, atau serangan jantung yang tiba-tiba yang disebabkan oleh

stimulasi sinus karotis yang menghasilkan mekanisme refleks vagal.2,3,4.

Pembagian asfiksia berdasarkan penyebabnya : 2,3,4

1. Kekurangan oksigen (hipoksi-hipoksia/anoksi-anoksia dalam darah

paru-paru)

a. Kekurangan oksigen dalam udara bebas (atmosfer)

contoh : ada gas dalam cerobong asap, exposure to seur gas

(pembakaran hutan)

b. Secara mekanik : gangguan dalam saluran pernapasan (paru-paru)

1. Smothering : tertutupnya saluran napas pada hidung dan mulut

2. Chocking : terdapatnya benda dalam saluran pernapasan

3. Drowning (tenggelam)

c. tekanan saluran pernapasan dari luar (strangulation)

1. Manual stranglation (throttling/cekikan)

2. Ligatur strangulation (jeratan)

3. Hanging (gantung diri)

4. Tekanan pada dada atau perut yang kuat


5. Kegagalan saluran pernapasan primer : paralise pusat pernapasan

dan elektrik

2. Anemik hipoksia

Berkurangnya kemampuan membawa oksigen je dalam darah

Contoh : keracunan CO (dimana HbCO > dari HbO2)

3. Gangguan sirkulasi darah dalam pelepasan oksigen permenit (stagnan

hipoksia)

Contoh : pasien dalam keadaan syok.

Asfiksia Traumatik (Burking) merupakan kematian akibat asfiksia

traumatik terjadi karena penekanan dari luar pada dinding dada yang

menyebabkan dada terfiksasi dan menimbulkan gangguan gerak pernapasan,

misalnya tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok, atau tertimpa saat saling

berdesakan. Penyebab kematian dapat diakibatkan oleh kegagalan pernapasan

dan sirkulasi. Tanda Asfiksia pada Pemeriksaan Jenazah adalah pada pemeriksaan

luar ditemukan sianosis dan bendungan hebat. Bendungan tersebut menyebabkan

muka membengkak dan penuh dengan petekie, edema konjungtiva, dan

perdarahan subkonjungtiva. Petekie terdapat pula pada leher, bokong, dan kaki.2,4

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut data dari Centers for Disease Control (CDC) tahun 1999-2004 di

Amerika Serikat didapatkan sekitar 20.000 kasus kematian disengaja maupun

tidak disengaja. Di Pakistan, menunjukkan bahwa jumlah total kematian akibat

asfiksia sebanyak 130 kasus kematian dari total 3.265 kasus kematian. Kematian

akibat gantung diri merupakan yang paling banyak terjadi. Studi yang dilakukan
di India mendapatkan hasil kematian akibat asfiksia sebanyak 3960 kasus

(21,23%) dari total kematian 18.648 pada tahun 2009-2011. Dilaporkan kasus

kematian asfiksia mekanik di Manado didapatkan sebanyak 22 kasus. Kasus

terbanyak terjadi pada tahun 2011 sebanyak 8 kasus (32%), dan tertinggi

ditemukan pada kelompok usia 17-25 tahun dengan 7 kasus (31.8%).4

2.3 MEKANISME ASFIKSIA

Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut:

a.      Gangguan pertukaran udara pernapasan.


b.      Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksemia).
c.      Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).
d.      Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh (hipoksia).3
Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau

menggunakan oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia

adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua

yaitu hipoksia jaringan (primer) dan mekanisme kompensasi tubuh (sekunder). 1

a. Kematian pada mekanisme primer

Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada

tipe dari asfiksia. Sel - sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O 2. Di sini sel

- sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan

mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh

jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya

kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri

dari sel glia.1


b. Kematian pada mekanisme sekunder

Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah

dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.

Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung

maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini

didapati pada :

a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan)

b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan

dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena

cairan menghalangi udara masuk ke paru – paru

c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan

(traumatic asphyxia)

d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat

pernafasan, misalnya pada keracunan. 1


Gambar 3. Patologi asfiksia 1

2.4 GEJALA DAN TANDA ASFIKSIA

a) Gejala Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam empat fase, yaitu: 1,2,4
1. Fase Dispnea

Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan karbondioksida

dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata,

sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat,

tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama

pada muka dan tangan.

2. Fase Kejang

Perangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi

(kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi

kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami

dilatasi, denyut jantung dan tekanan darah menurun. Efek ini berkaitan

dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan

oksigen.

3. Fase Kelelahan (Exhaustion phase)

Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernapasan, otot menjadi

lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun,

pernapasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti

bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas


telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa

dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.

4. Fase Apnea

Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernafasan berhenti

setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih

berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat

bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung

lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen,

bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda

asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

b) Tanda Asfiksia pada Pemeriksaan Jenazah

Tanda asfiksia pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan, yaitu: 1,2,4

1. Sianosis

Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput

lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb

yang tidak berikatan dengan oksigen).

2. Kongesti

Terjadi perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung

kanan. Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh

darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya

tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam

vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah

dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s

spot.

Gambar 4. Tardieu’s spot 2,4

3. Buih halus

Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat

peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput

lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam

saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur

darah akibat pecahnya kapiler.


Gambar 5. Buih halus 7

4. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap

Warna lebam mayat merah kebiruan gelap ini terbentuk lebih cepat.

Distribusi lebam lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan

akitivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan

mudah mengalir. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan,

antara lain: 1,4

1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer karena kadar

karbondioksida yang tinggi dan fibrinolisin darah yang meningkat

paska kematian.

2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga

menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap, dan pada pengirisan banyak

mengeluarkan darah.

4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada

bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular,

subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika

dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot

temporal, mukosa epiglotis, dan daerah subglotis.


Gambar 6. Lebam mayat 7

5. Pengenceran darah, dulu diduga bahwa darah yang encer pada kadaver

merupakan salah satu indikasi asfiksia. Tetapi, penelitian lebih lanjut

menemukan bahwa pengenceran darah post mortem merupakan akibat dari

tingginya fibrinolisis yang disebabkan oleh meningkatnya kadar

fibrinolisin pada kematian yang cepat. Jadi, keenceran (fluiditas) darah

bergantung pada fibrinolisin dan jumlah fibrinolisin lebih bergantung pada

kecepatan kematian daripada alam.

6. Edema paru, masih diperdebatkan apakah disebabkan karena gagal jantung

atau peningkatan permeabilitas kapiler. Tapi hal ini tidak terlalu bermakna

pada diagnosis kematian akibat obstruksi respiratorik. Pada kematian

karena anoksia, edema jaringan apapun yang melebihi kadar minor

mengindikasikan bahwa kematian tersebut belum terlalu cepat. Paru-paru

harus ditimbang dengan benar untuk mengetahui luasnya edema.

2.5 KLASIFIKASI

Asfiksia dapat terjadi oleh karena trauma mekanik (asfiksia mekanik),


maupun diakibatkan oleh intoksikasi bahan kimia (asfiksia non mekanik).

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan

terhalang oleh berbagai kekuatan (yang bersifat mekanik) seperti pembekapan,

penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan lain-lain. Pada konteks forensik, asfiksia

jenis ini merupakan jenis yang paling banyak ditemukan. Asfiksia mekanik

terbagi menjadi beberapa tipe berdasarkan mekanisme terjadinya, yaitu1,2

1. Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas

a. Pembekapan (smothering)

b. Penyumbatan (gagging, chocking)

2. Penekanan pada leher

a. Penjeratan ( Ligature Strangulation)

b. Pencekikan (manual strangulation, throttling)

c. Gantung (hanging)

3. Penekanan dinding dada dari luar (Asfiksia Traumatic)

4. Saluran pernafasan terisi air (tenggelam / drowning)

Kematian akibat asfiksia mekanik dapat diklasifikasikan menjadi empat,

yaitu penggantungan (hanging), pencekikan (manual strangulation), penjeratan

(ligature strangulation), suffokasi (smothering, gagging, dan choking).1

2.6 PEMBEKAPAN (SMOTHERING)

Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari

lingkungan ke dalam mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan

dengan menutup mulut dan hidung dengan menggunakan kantong plastik.


Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana yang terjadi

secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap masih

mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.

Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari

rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia.

Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada

pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses

pernafasan tidak dapat berlangsung.

Selain pembekapan yang juga termasuk mati lemas adalah : tindakan

menyumpal rongga mulut dengan benda asing (“choking”); menindih atau

menekan dada korban sehingga dada tidak dapat bergerak (“overlying”), dan

tertimbunnya tubuh korban misalnya tertimbun tanah longsor atau bangunan

runtuh (“traumatic or crush asphyxia”).

Kecuali pembekapan dan penyumpalan atau penyumbatan rongga mulut

yang pada umumnya merupakan kasus pembunuhan; maka yang lainnya yaitu :

overlying, dan traumatic asphyxia biasanya bersifat kecelakaan.

Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah,

orang dewasa yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang

terjadi karena pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar

terdapat di mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar

dan robekan pada bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan dengan

gigi.
Tanda-tanda asfiksia, yaitu :

- Sianosis

Tanda ini dapat dengan mudah dilihat pada ujung-ujung jari dan

bibir dimana terdapat pembuluh darah kapiler. Sianosis mempunyai arti

jika keadaan mayat masih baru (kurang dari 24 jam post mortal).

- Perdarahan Berbintik (petechial haemorrhages; Tardiu`s Spot)

Keadaan ini mudah dilihat pada tempat dimana struktur

jaringannya longgar, seperti pada konjunctiva bulbi, palpebra, dan

subserosa lain. Pada kasus yang hebat perdarahan tersebut dapat dilihat

pada kulit, khususnya di daerah wajah. Pelebaran pembuluh darah

konjunctiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya

tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam

vena, venula, dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel

kapiler sehingga dinding kaplier yang terdiri dari selapis sel akan pecah

dan timbul bintik-bintik perdarahan.

- Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.

Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi.

- Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat

peningkatan aktivitas pernafasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput

lendir saluran nafas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat

dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang

bercampur darah akibat pecahnya kapiler.


Tanda-tanda asfiksia ini juga disertai dengan adanya luka lecet tekan dan

memar di daerah mulut, hidung, dan sekitarnya, dan merupakan petunjuk pasti

bahwa pada korban telah terjadi pembekapan yang mematikan.

Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain

menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus

pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar

pada otot leher bagian belakang, yang untuk membuktikannya kadang-kadang

harus dilakukan sayatan untuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuka

seluruh kulit yang menutupi daerah tersebut.

Bunuh diri dengan cara pembekapan dapat terjadi pada pasien dengan

gangguan jiwa, yaitu dengan “membenamkan” wajahnya ke dalam kasur atau

menyumbat dengna benda-benda yang ada di sekitarnya; dan hal tersebut dapat

terjadi khususnya bila dalam keadaan mabuk.

Pada bayi dapat terbekap secara tidak disengaja (accidental smothering),

khususnya bila bayi tersebut prematur, yaitu bila ia tertindih oleh selimut atau

bantal. Pada orang dewasa dapat pula terbekap tanpa disengaja, misalnya pada

pekerja yang jatuh pada cairan yang kental, atau pada tumpukan tepung dan

sejenisnya.

Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :

1. Bunuh diri (suicide)

Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi

misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam


keadaan mabuk, yaitu dengan “membenamkan” wajahnya ke

dalam kasur, atau menggunakan bantal, pakaian, yang diikatkan

menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan menggunakan

plester yang menutupi hidung dan mulut.

2. Kecelakaan (accidental smothering)

Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-

bulan pertama kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung

dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut. Selain itu juga dapat

terjadi kecelakaan dimana seorang anak yang tidur berdampingan

dengan orangtuanya dan secara tidak sengaja orangtuanya

menindih si anak sehingga tidak dapat bernafas. Keadaan ini

disebut overlying.

Pada anak-anak dan dewasa muda bisa terjadi kecelakaan

terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara,

misalnya terbekap dengan atau dalam kantong plastik.

Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada

penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga

mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan

sebagainya.

3. Pembunuhan (homicidal smothering)

Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada

orang dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti
orangtua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau

minuman keras.

Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan

dengan cara hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah,

kain atau dasi yang dibekapkan pada hidung dan mulut.

Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan

bersamaan dengan menindih atau menduduki dada korban.

Keadaan ini dinamakan burking.

Sufokasi merupakan bentuk asfiksia akibat obstruksi pada saluran udara

menuju paru-paru yang bukan karena penekanan pada leher atau tenggelam.

a) Jenis - jenis sufokasi, berdasarkan penyebabnya dibedakan atas:

Pembekapan (smoothering). Keadaan ini biasanya adalah kecelakaan

berupa asfiksia pada anak atau bayi karena ibu yang kurang berpengalaman.

Bayi didekap terlalu erat pada dada ibu sewaktu menyusui. Jarang sekali hal

ini terjadi sebagai upaya pembunuhan. Orang dewasa juga sangat jarang

mengalami kematian akibat pembekapan.

Tersedak benda asing (gagging and choking). Yaitu jika terdapat benda

asing di dalam saluran pernafasan. Misalnya biji kopi. Hal ini lebih sering

akibat kecelakaan, yaitu karena adanya makanan, tulang, biji-bijian atau

cairan yang diaspirasi dari saluran pernafasan sehingga menyebabkan asfiksia

parsial. Penekanan pada dada. Keadaan ini sering terjadi akibat kecelakaan

dan jarang sekali merupakan upaya pembunuhan. Pada kasus pembunuhan


maka akan tampak tanda-tanda perlawanan. Penekanan pada dada akan

disertai dengan cedera dada dan fraktur tulang iga.

Inhalasi gas-gas berbahaya. Gas yang sering terhirup adalah karbon

dioksida, karbon monoksida dan sulfur dioksida. Hal ini bisa disebabkan

karena kecelakaan ataupun bunuh diri. Jika seluruh ruangan penuh berisi gas

yang berbahaya, akan mengakibatkan sufokasi yang fatal. Hapus saja

b) Penyebab kematian Penyebab kematian pada sufokasi adalah asfiksia dan

syok (jarang). Biasanya dalam waktu 4-5 menit setelah mengalami sufokasi

komplit. Pada beberapa kasus terjadi kematian mendadak.

c) Gambaran post mortem.

a. Pemeriksaan Luar

i. anda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis

benda yang digunakan dan kekuatan menekan.

ii. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka

lecet jenis tekan atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar

wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi, yang

mungkin terjadi akibat korban melawan.

iii. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada

bagian/permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong

dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat

mengalami memar atau cedera.

iv. Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal

dengan bantal, maka pada pemeriksaan luar jenazah


mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan. Memar

atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam.

Pada pembekapan dengan mempergunakan bantal, bila

tekanan yang dipergunakan cukup besar, dan orang yang

dibekap kebetulan memakai gincu (lipstick), maka pada

bantal tersebut akan tercetak bentuk bibir yang bergincu

tadi, yang tidak jarang sampai merembes ke bagian yang

lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri.

v. Pada anak-anak oleh karena tenaga untuk melakukan

pembekapan tersebut tidak terlalu besar, kelainan biasanya

minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau memar pada bibir

bagian dalam yang berhadapan dengan gigi dan rahang.

vi. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan

yang lain menekan kepala korban dari belakang, yang dapat

pula terjadi pada kasus pencekikan dengan satu tangan;

maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar pada otot

leher bagian belakang, yang untuk membuktikannya

kadang-kadang harus dilakukan sayatan untuk melihat otot

bagian dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang

menutupi daerah tersebut.

vii. Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian

belakang tubuh korban.


viii. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada

pemeriksaan luar maupun pada pembedahan jenazah. Perlu

pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban,

adakah darah atau epitel kulit si pelaku.

b. Pemeriksaan Dalam

i. Tetap cairnya darah

Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan

aktivitas fibrinolisin. Pendapat lain dihubungkan dengan

faktor-faktor pembekuan yang ada di ekstra vaskuler, dan

tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena

cepatnya proses kematian

ii. Kongesti (pembendungan yang sistemik)

Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi

jantung kanan merupakan ciri klasik pada kematian karena

asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan banyak darah.

iii. Edema pulmonum

Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering

terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.

iv. Perdarahan Berbintik (Petechial haemorrhages)

Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada

bagian belakang jantung daerah aurikuloventrikular,

subpleura visceralis paru terutama di lobus bawah pars

diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah


dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan

daerah subglotis.

v. Bisa juga didapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.

d) Gambaran Mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopik sangat penting dilakukan untuk melihat

reaksi intravitalitas yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup

terhadap luka. Reaksi ini penting untuk membedakan apakah luka terjadi

pada saat seseorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi vital yang umum

berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie dan emboli.

Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu

keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan

peningkatan kadar karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada

parenkim paru dapat meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus

kematian yang disebabkan karena asfiksia.

Gambaran mikroskopis parenkim paru karena peembekapan dapat diperoleh

antara lain sebagai berikut :


Pada gambaran di atas terdapat hiperinflasi duktus (ov), kolapnya alveolus

(col), dan edema interstisiel (ed). Hiperinflasi duktus yang terjadi akibat emfisema

yang akut merupakan tanda khas dari kasus sufokasi.

Dalam penerapan ilmu forensik, untuk mengetahui penyebab kematian

karena asfiksia dapat menimbulkan berbagai pertanyaan apabila tidak disertai

tanda-tanda luka di luar maupun di dalam tubuh atau sumbatan pada saluran

pernafasan, dan kondisi saat kematian tidak diketahui secara pasti. Ditambah

pemeriksaan secara makroskopis dan histopatologis kerusakan umum pada

hipoksia seperti edema, perdarahan, emfisema, kongesti pasif dan degenerasi sel

yang biasanya bervariasi dan tidak mengarah pada penemuan tunggal.

Pembekapan mengacu pada kematian akibat penyumbatan mekanis mulut

dan hidung yang mencegah pernapasan. Alat yang digunakan pada pembekapan

biasanya berupa kain, lembaran kedap air atau tangan, namun terkadang zat

seperti pasir, lumpur, biji-bijian atau tepung juga digunkan untuk menutup jalan

napas. Dalam pembekapan, kematian dapat terjadi baik oleh bahan oklusi yang

menekan lubang wajah, atau dengan berat pasif kepala yang menekan hidung dan

mulut hingga mengalami oklusi. Pembunuhan yang disengaja terlihat biasanya

pada orang tua, orang yang lemah dan pada bayi.2,4

Pada kasus pembekapan, tanda-tanda klasik asfiksia seperti kongesti,

sianosis dan peteki wajah dan konjungtiva biasanya tidak ditemukan baik pada

korban selamat maupun yang meninggal. Apabila seseorang tidak dapat meronta

saat dibekap, misalnya karena usia tua atau intoksikasi, maka pada pemeriksaan
biasanya tidak didapatkan bukti berupa luka, termasuk pada area mulut dan

hidung. Terkadang pemeriksaan akan menampakkan luka intraoral (termasuk

memar dan laserasi pada bagian dalam bibir atau memar pada gusi pada pasien

yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit gigi) dan diseksi jaringan lunak

wajah dapat memperlihatkan memar subkutan disekitar mulut dan hidung. Sangat

sulit untuk membuktikan pembunuhan dari temuan objektif. Retensi dari objek

yang digunakan untuk membekap korban yang bertahan dapat memberikan nilai

bukti. Saliva, misalnya, dapat diidentifikasi pada bantal yang digunakan pada

penyerangan, dan dikuatkan dengan pencocokan DNA.2,4

Pemeriksaan Luar

1. Tidak ada tanda-tanda eksternal apabila obstruksi tersebut oleh

beberapa bahan lembut seperti pakaian tidur, bantal, payudara ibu atau

bahkan tangan pelaku yang digunakan dengan lembut.

2. Terdapat luka lecet goresan, bekas kuku jari, laserasi pada bagian

lunak wajah korban.

3. Bisa terdapat memar dan laserasi pada bibir, gusi dan lidah.

4. Bekas penekanan pada wajah jarang dapat dibedakan dari perubahan

postural postmortem, di mana pucat circumoral dan circumnasal hanya

disebabkan oleh tekanan pasif kepala setelah kematian, yang mencegah

hipostasis gravitasi memasuki area ini. Bahkan ketika kepala

ditemukan pada posisi supine, variasi warna masih umum ditemukan

pada wajah, dengan bercak putih dan merah muda yang kontras, yang

biasanya berubah seiring memanjangnya interval postmortem.


5. Kecuali jika ditemukan memar atau lecet di pipi, sekitar mulut, bibir

atau lesi di dalam bibir atau mulut, cukup rawan jika menafsirkan

variasi warna saja, dari perubahan darah di kapiler wajah, yang

biasanya merupakan fenomena postmortem.4

Gambar 19. Luka laserasi yang mengalami kontusi pada sisi dalam bibir

pada kasus pembekapan 4

BAB III

PENUTUP

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan

pertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)

disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian

organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan mengalami

kematian.

Etiologi asfiksia adalah alamiah : misalnya penyakit yang menyumbat

saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan gangguan

pergerakan paru seperti fibrosis paru ; mekanik : misalnya trauma yang


mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral,

sumbatan pada saluran nafas dan sebagainya. Kejadian ini sering dijumpai pada

keadaan gantung diri, tenggelam, pencekikan, dan pembekapan ; keracunan :

Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat,

narkotika.

Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada

pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses

pernafasan tidak dapat berlangsung. Pembekapan juga berarti obstruksi mekanik

terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam mulut dan atau lubang hidung,

yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung dengan

menggunakan kantong plastik

Tanda-tanda asfiksia disertai dengan adanya luka lecet tekan dan memar di

daerah mulut, hidung, dan sekitarnya, merupakan petunjuk pasti bahwa pada

korban telah terjadi pembekapan yang mematikan.

Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana yang

terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap

masih mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.

Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari

rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia.


DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun'im TWA, Sidhi, Hertian S, et

all. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Bagian Kedokteran

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. p. 55-70

2. Shepherd R. Simpson's Forensic Medicine. 12th ed. London: Arnold; 2003.

p. 94-101

3. Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. Forensic Pathology - Principles and

Practice. Elsevier Academic Press; 2005. p. 201-34


4. Dikshit PC. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi:

Peepee Publishers and Distributors. p. 334-65

5. Robi M, Siwu FL, Kristanto E. 2016. Gambaran kasus asfiksia mekanik di

Bagian Forensik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou periode tahun 2010 -2015.

Jurnal e-Clinic. 4(2): 1-5

6. Graham MA. 2016. Pathology of Asphyxial Death.

https://emedicine.medscape.com/article/1988699-overview#a2.

7. Aflani I, Nirmalasri N, dan Arizal A H, Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal. Hal 153. 2017. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai