Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Kulit

Kulit merupakan organ tunggal terberat di tubuh yaitu sekitar 15%

sampai 20% dari berat badan total dan pada orang dewasa memiliki luas

permukaan sebesar 1.5-2 m2 yang langsung terpapar dengan dunia luar. Kulit

memiliki peranan penting yang berfungsi sebagai barier pelindung tubuh,

selain itu juga berperan dalam pengaturuh suhu tubuh, metabolik, dan sensorik

yang memungkinkan manusia mengatur interaksi dengan objek fisik sehingga

sangat penting untuk menjaga kontunuitasnya (Mescher, 2013). Karena letak

kulit terluar, maka organ kulit lebih beresiko memperoleh trauma dari luar

(Harahap, 2015)

Organ kulit terdiri dari dua lapisan utama yaitu lapisan epidermis, yaitu

lapisan epitel yang berasal dari ektoderm dan dermis, suatu lapisan jaringan

ikat yang berasal dari mesoderm (Gambar 2.1). Setiap lapisan kulit tersusun

atas beberapa jaringan yang berbeda-beda dan memiliki fungsi yang berbeda

pula. Lapisan epidermis terletak paling luar, kemudian di bawahnya terdapat

lapisan dermis sebagai penunjang kekuatan, penyuplai darah serta oksigen

untuk lapisan dermis (Mescher, 2013; Wasiatmadja, 2017)

11
12

Gambar 2.1 Lapisan Kulit


(Sumber: Junqueira's Basic Histology Text and Atlas, 2013)

1. Struktur Kulit

a. Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis adalah lapisan terluar dari kulit yang terdiri atas

sel epitel berlapis gepeng berkeratin (keratinosit). Tiga jenis sel

epidermis ialah sel melanosit yang memproduksi pigmen warna kulit, sel

Langerhans yang membantu tubuh memberikan respon terhadap antigen

yang berpenetrasi kedalam kulit dan sel merkel atau sel taktil. Lapisan ini

bersifat avaskuler (tidak memiliki pembuluh darah) dan sangat tipis.

Umumnya lapisan ini beregenerasi setiap empat hingga enam minggu.

Lapisan ini berfungsi untuk mempertahankan integritas kulit, sebagai

barier fisik terhadap benda-benda asing dari luar termasuk yang

berukuran kecil seperti mikroorganisme, serta untuk mengendalikan

hidrasi (kandungan air) dengan menjaga kelembaban kulit (Mescher,

2013; Wasiatmadja, 2017).


13

Epidermis tersusun atas 5 lapisan (stratum) keratinosit. Kelima

lapisan tersebut dari dermis ke atas ialah (Mescher, 2013; Wasiatmadja,

2017).

1) Stratum Basal (horn layer)

Lapisan basal merupakan lapisan epidermis terdalam yang

terletak diatas membran basal pada perbatasan epidermis-dermis.

Lapisan ini terdiri atas selapis sel kuboid yang berasal dari sel-sel

keratinosit basal yang terus bertumbuh, kemudian secara lanjut

berdiferensiasi menjadi lapisan lain dalam lapisan epidermis

(Mescher, 2013; Wasiatmadja, 2017).

2) Stratum Spinosum

Stratum spinosum merupakan lapisan epidermis paling tebal

terutama di epidermal ridges yang terdiri dari sel-sel kuboid atau agak

gepeng dengan inti ditengah dimana nukleolus dan sitoplasma aktif

menyintesis filamen keratin (tonofibril) yang menghubungkan sel

secara kuat untuk menghindari gesekan. Tepat diatas lapisan basal

sejumlah sel masih membelah dan zona kombinasi ini disebut stratum

germinativum (Mescher, 2013; Wasiatmadja, 2017).

3) Stratum Granulosum (granular layer)

Lapisan granulosum terdiri atas tiga sampai lima lapisan sel

poligonal gepeng dan berpartisipasi langsung dalam proses

keratinisasi. Sitoplasma dari sel berisikan massa basofilik intens yang

disebut granul keratohialin. Granul ini mengandung banyak lamel


14

yang dibentuk oleh lipid, selain menghasilkan lipid dan menjalani

eksositosis, bahan ini juga membentuk bagian utama dari penghalang

kulit terhadap hilangnya cairan. Bersama-sama keratinisasi dan

produksi lapisan yang kaya lipid memiliki efek perlindungan yang

membentuk sawar terhadap penetrasi sebagian besar benda asing

(Mescher, 2013; Wasiatmadja, 2017).

4) Stratum Lusidum (malpighi layer)

Lapisan lusidum merupakan lapisan yang bersifat translusen dan

hanya ditemukan pada bagian tertentu tubuh, yaitu pada kulit tebal

seperti pada telapak tangan dan telapak kaki (Mescher, 2013;

Wasiatmadja, 2017).

5) Stratum Korneum

Lapisan korneum merupakan lapisan epidermis yang terletak

paling luar dan tersusun atas sel-sel polihedral secara rapat dan datar.

Pada lapisan korneum yang biasa disebut lapisan tanduk ini terdapat

barier water-proof kulit dan lapisan ini juga berfungsi melindungi

tubuh dari infeksi mikroorganisme, bahan-bahan kimia berbahaya,

kotoran serta polutan lingkungan (Wasiatmadja, 2017).

Lapisan epidermis khususnya pada stratum korneum memiliki

peranan penting dalam menjalankan fungsinya sebagai barier kulit dan

proses hidrasi. Lapisan epidermis memproduksi substansi lemak

seperti kolesterol, ceramide dan asam lemak yang kemudian berfungsi

sebagai barier kulit yang membatasi keluar masuknya air ke dalam


15

tubuh melalui permukaan kulit. Apabila barier kulit kekurangan

lemak, maka kelambaban kulit juga menjadi menurun. (Wasiatmadja,

2017).

b. Lapisan Dermis

Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang terdiri

atas lapisan elastik dan fibrosa padat. Dermis terdiri dari 2 lapisan,yaitu:

1) Pars Papilare

Lapisan ini merupakan lapisan tipis yang menonjol ke

epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah

(Wasiatmadja, 2017). Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar,

dengan fibroblas dan sel jaringan ikat lainnya, seperti sel mast dan

makrofag (Mescher, 2013)

2) Pars Retikulare

Lapisan ini merupakan lapisan tebal yang menonjol ke arah

subkutan. Bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya

serabut kolagen yang memberikan kekuatan pada kulit, elastin dengan

keelastisitas kulit, dan retikulin (Mescher, 2013; Wasiatmadja, 2017).

c. Lapisan Subkutan

Lapisan subkutan terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat

kulit dengan organ secara longgar agar memungkinkan kulit bergeser

diatasnya (Mescher, 2013). Lapisan ini disebut juga hipodermis yang

mengandung jaringan adiposa (jaringan lemak), jaringan ikat, pembuluh

darah utama, pembuluh limfe serta pembuluh saraf. Ketebalan lapisan


16

epidermis, dermis dan subkutan sangat bervariasi pada setiap individu

(Wasiatmadja, 2017).

2. Fungsi Kulit

Kulit memiliki beberapa fungsi diantaranya (Mescher, 2013;

Wasiatmadja, 2017; Harahap, 2015):

a. Proteksi

Kulit bertindak sebagai barier fisik terhadap ransang termal,

mekanis seperti gaya gesekan dan patogen potensial. Kulit juga berfungsi

dalam menjaga tubuh dari serangan infeksi dengan cara mengaktifkan

sistem imun dikulit (APCs) dan karena sifat lapisan korneum epidermis

yang asam sehingga menciptakan resistensi terhadap organisme patogen.

Selain itu, pigmen melanin gelap epidermis melindungi sel dari radiasi

ultraviolet (UV) dan menjaga kekekurangan cairan yang berlebih

(Mescher, 2013; Wasiatmadja, 2017; Harahap, 2015).

b. Termoregulasi

Temperatur kulit lebih mudah dipertahankan berkat insulator kulit

seperti lapisan lemak dan rambut dikepala (Mescher, 2013). Kulit

mengatur suhu kulit melalui proses vasokonstriksi dan vasodilatasi,

keringat dan ekskresi beberapa produk tertentu, seperti elektrolit dan air

(Wasiatmadja, 2017; Harahap, 2015)

c. Sensoris

Ujung saraf pada kulit memiliki banyak tipe reseptor sensorik yang

memungkinkan individu dapat merasakan nyeri, tekanan, panas dan


17

dingin untuk membantu interaksi tubuh dengan objek fisik (Mescher,

2013; Wasiatmadja, 2017; Harahap, 2015).

d. Metabolisme

Kulit berfungsi sebagai tempat sintesis vitamin D3 saat kulit

terpapar oleh sinar matahari sehingga mengaktifkan metabolisme kalsium

dan fosfat yang merupakan mineral-mineral yang berperan dalam proses

osteogenesis tulang (Mescher, 2013; Wasiatmadja, 2017; Harahap,

2015).

e. Proses Imun

Kulit merupakan pintu utama dari sistem imun, karena pada lapisan

epidermis kulit terdapat sel Langerhans dan pada lapisan dermis terdapat

sel dendritik dermal yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh

terhadap antigen (Wasiatmadja, 2017; Harahap, 2015).

f. Estetika

Karena letaknya berada paling luar, maka kulit memiliki peran

penting dalam estetika. Hal ini menyangkut tampilan fisik seseorang

(kosmetik), atribut individual (identifikasi) dan juga mempengaruhi

kemampuan berekspresi (Wasiatmadja, 2017; Harahap, 2015).

B. Luka

1. Definisi

Luka (vulnus) adalah terputusnya kontinuitas struktur anatomi

jaringan tubuh tertentu dengan derajat yang bervariasi mulai yang paling

sederhana seperti lapisan epitel dari kulit sampai lapisan yang paling dalam
18

seperti jaringan subkutis, lemak dan otot bahkan tulang beserta struktur

lainnya seperti tendon, pembuluh darah dan syaraf (Barbul, dkk., 2010).

Luka dapat disebabkan oleh trauma, intentional/operasi, ischemia/vaskuler,

tekanan dan keganasan (Ekaputra, 2013).

2. Penyebab Terjadinya Luka

Menurut (Hoediyanto & Hariadi, 2010) ada beberapa penyebab

terjadinya luka pada kulit dan hal ini berpengaruh terhadap efek yang

ditimbulkan dan cara pengobatannya. Luka dapat disebabkan oleh beberapa

hal, yaitu:

a. Luka akibat benda tajam merupakan kelainan pada tubuh yang

disebabkan persentuhan benda atau alat bermata tajam sehingga merusak

kontinuitas kulit.

b. Luka benda tumpul merupakan luka yang terjadi akibat benda tumpul

c. Luka akibat tembakan senjata api

d. Luka akibat trauma fisik seperti luka bakar akibat bersentuh dengan

benda bersuhu tinggi dan trauma listrik akibat kulit berkontak dengan

listrik bertegangan tinggi

3. Jenis Luka

Luka diklasifikan menurut mekanisme terjadinya luka, waktu

penyembuhan luka, tingkat kontaminasi luka, dan kedalaman serta luas luka

(Arisanty, 2013; Brunner & Suddarth, 2013; Dorland, 2012; NPUAP, 2012)

Berdasarkan mekanisme terjadinya luka terdiri atas (Dorland, 2012) :


19

a. Luka tertutup yaitu luka yang terjadi dibawah kulit sehingga tidak ada

hubungan dengan dunia luar. Luka tertutup terdiri dari:

1) Luka memar (vulnus contusum), luka yang disebabkan oleh dorongan,

kulit tidak cidera akan tetapi cidera pada bagian lunak, yaitu

pembuluh darah subkutan sehingga terjadi hematom dan edema.

2) Luka trauma (vulnus traumaticuk), terjadi didalam tubuh dan tidak

nampak dari luar. Contoh luka ini seperti benturan didada, perut,

leher, atau kepala yang dapat melibatkan kerusakan organ dalam.

b. Luka terbuka yaitu luka yang secara lansung melibatkan kulit sehingga

terjadi hubungan antara kulit dan dunia luar. Luka ini terdiri dari:

1) Luka lecet (vulnus exoriatio) merupakan yang terjadi akibat adanya

gesekan tubuh dengan benda-benda rata seperti aspal atau tanah

2) Luka sayat (vulnus scissum/incisivum) merupakan luka dengan tepi

yang tajam dan licin, biasanya disebabkan oleh potongan intrumen

tajam misalnya dibuat oleh ahli bedah dalam prosedur operasi.

3) Luka robek (vulnus laceratum) merupakan luka dengan tepi bergerigi

dan tidak teratur. Biasanya disebabkan oleh kaca atau goresan kawat.

4) Luka tusuk (vulnus punctum) adalah luka yang disebabkan oleh benda

runcing memanjang. Luka ini biasanya terlihat kecil dari luar tetapi

bagian dalamnya mungkin rusak berat. Luka tusuk sering disebut juga

dengan luka tembuh (vulnus penetrosum)

5) Luka potong (vulnus caesum) adalah luka yang disebabkan oleh

tekanan benda tajam yang besar seperti pedang, pisau, belati, dan
20

lainnya. Luka ini memiliki tepi yang tajam dan rata. Resiko infeksi

pada luka ini besar karena lebih sering terkontaminasi.

6) Luka tembak (vulnus sclopetorum) terjadi karena tembakan atau

granat. Luka ini memiliki tepi yang biasanya tidak teratur dan

ditemukan benda asing didalam luka seperti peluru atau pecahan

granat sehingga kemungkinan infeksi lebih besar

7) Luka gigit (vulnus morsum) disebabkan oleh gigitan binatang atau

manusia. Bentuk luka tergantung gigi penggigit dan kemungkinan

terjadinya infeksi juga lebih besar.

Berdasarkan waktu penyembuhan luka diklasifikasikan menjadi luka

kronik dan luka akut (Arisanty, 2013):

a. Luka akut adalah luka yang terjadi kurang dari 5 hari diikuti proses

hemostasis dan inflamasi. Luka akut memiliki masa penyembuhan yang

sesuai dengan waktu luka penyembuhan luka fisiologis 0-21 hari.

Kriteria luka akut ialah luka baru yang terjadi secara mendadak seperti

luka tusuk, luka bakar, luka sayat, dan luka operasi yang dibuat oleh ahli

bedah

b. Luka kronik berlansung lebih lama dan timbul karena kegagalan proses

penyembuhan. Contoh luka kronis yaitu ulkus dekubitus, ulkus diabetic,

ulkus venous, luka bakar, dan lainnya.


21

Berdasarkan derajat kontaminsai luka dibagi menjadi (Brunner &

Suddarth, 2013):

a. Luka bersih (clean wounds) adalah luka bedah yang tidak terinfeksi dan

tidak terdapat inflamasi. Kemungkinan adanyan infeksi sekitar 1%-5%

b. Luka kontaminasi-bersih (clean-contamined Wounds) merupakan luka

bedah dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau saluran kemih

dibawah kondisi terkontrol dan tidak terdapat kontaminasi yang tidak

lazim. Kemungkinan infeksi ialah 3%-11%

c. Luka terkontaminasi (contamined wounds) merupakan luka terbuka,

baru, dapat terjadi akibat kecelakaan atau prosedur bedah dengan

pelanggaran teknik aseptik atau semburan banyak dari gastrointestinal.

Terdapat inflamasi akut nunpurulen, kemungkinan infeksi sekitar 10%-

17%

d. Luka kotor dan terinfeksi (dirty or infected wound) adalah luka dimana

terdapat organisme yang menyebabkan infeksi, kemungkinan infeksi

27%

Jenis luka berdasarkan luas atau kedalamannya diklasifikasikan

menjadi (NPUAP, 2012):

a. Stadium 1 : luka superfisial (non-blancing erithema) yaitu luka yang

hanya melibatkan lapisan epidermis, epidermis masih utuh atau tanpa

merusak epidermis. Epidermis hanya mengalami perubahan warna

kemerahan, hangat atau dingin, kulit melunak dan ada rasa nyeri atau

gatal. Contohnya adalah kulit yang terpapar matahari atau sunburn atau
22

ketika kita duduk pada satu posisi selama lebih dari dua jam, kemudian

ada kemerahan di gluteus (bokong).

b. Stadium 2 : luka “partial thickness” melibatkan lapisan epidermis-

dermis bagian atas dimana warna dasar luka merah. Epidermis terpisah

dari dermis dan atau mengenai sebagian dermis (partial-tickness).

Umumnya kedalaman luka hingga 0,4 mm, namun bergantung pada

lokasi luka. Contohnya bula atau blister karena epidermis sudah terpisah

dengan dermis.

c. Stadium 3 : luka “full thickness” warna dasar luka merah dan lapisan

kulit mengalami kerusakan mulai dari lapisan epidermis, dermis, hingga

sebagian hipodermis. Umumnya kedalaman luka hingga 1cm. Luka

tampak sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa kerusakan

jaringan sekitar.

d. Stadium 4 : luka “full thickness” kerusakan telah mencapai otot, tendon,

dan tulang (deep full thickness) dengan kerusakan yang luas.

4. Proses Penyembuhan Luka

Secara umum, penyembuhan luka dibagi dalam 3 fase, yaitu

(Primadina, 2019):

a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya trauma sampai

hari ke-3 atau ke-5. Fase ini terbagi menjadi dua fase yaitu fase inflamasi

awal (fase hemostasis) dan fase inflamasi akhir (Primadina, 2019).


23

1) Fase Inflamasi Awal (Fase Hemostasis)

Pada saat jaringan terluka, pembuluh darah akan terputus yang

menyebabkan terjadinya perdarahan, respon pertama tubuh ialah

untuk menghentikan perdarahan dengan adanya fase hemostasis yang

melibatkan tiga hal, yaitu vasospasme (vasokonstrisi), formasi plug

platelet dan koagulasi (Landen, dkk., 2016; Primadina, 2019)

Vasokonstriksi terjadi karena adanya induksi stimulus simpatis

saat pembuluh darah robek. Kontraksi ini akan memperlambat aliran

darah hingga mengurangi perdarahan. Selanjutnya, platelet atau

trombosit beragregasi dan melakukan adesi pada jaringan yang

mengalami cedera, kemudian platelet akan berikatan dengan kolagen

yang ada pada jaringan ikat dan mengeluarkan zat kimia berupa

adenosin difosfat (ADP) dan tromboksan yang akan memanggil

platelet lain untuk membentuk sumbatan platelet (platelet plug

formation) pada jaringan yang cedera. Selain itu, platelet juga

mengeluarkan mediator vasokonstriktor (serotonin dan tromboxane

a2) yang memperkuat spasme dan meningkatkan agregasi platelet.

Setelah sumbatan platelet terbentuk, koagulasi akan terbentuk akibat

adanya faktor intrinsik dan ekstrinsik koagulan, platelet juga

melepaskan tromboplastin yang kemudian dengan Ca2+ akan

mengubah protombin menjadi trombin. Enzim trombin ini kemudian

akan mengkatalisis fibrinogen menjadi benang-benang fibrin hingga

terbentuk gumpalan darah dan menghentikan perdarahan. Kerja dari


24

platelet tetap dikontrol oleh substansi yang disebut plasmin (nitrit

oxide dan prostaglandin), bahan yang dikeluarkan oleh jaringan yang

sehat agar pembentukan bekuan tidak terjadi secara berlebihan

(Landen, dkk., 2016; Primadina, 2019).

2) Fase Inflamasi Akhir (Lag Phase)

Setelah fase hemostasis, pembuluh darah yang mengalami

vasokonstriksi kemudian berdilatasi akibat kemotaksis dari sel-sel

inflamatori menuju daerah luka. Sel ini kemudian berkumpul didaerah

luka dan menimbulkan tanda-tanda inflamasi seperti rubor

(kemerahan), kalor (hangat), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri),

dan functio laesa (hilangnya fungsi jaringan) (Landen, dkk., 2016;

Primadina, 2019).

Adanya kemotaksis dari sel-sel inflamatori akibat adanya

pelepasan sitokin dan growth factor oleh platelet pada jaringan yang

luka. Faktor pertumbuhan yang dikeluarkan yaitu Platelet-Derived

Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor-Beta (TGF-

β). TGF-β berfungsi menarik makrofag dan merangsang pelepasan

sitokin, fibroblast growth factor (FGF), PDGF, TNFα, IL-1 (Landen,

dkk., 2016; Primadina, 2019).

Pada fase ini sel monosit berubah menjadi makrofag yang

kemudian mencerna bakteri patogen, sisa-sisa jaringan dan neutrofil

yang sudah rusak. Neutrofil juga berfungsi memfagositosis benda

asing, bakteri, sel non-fungsional dan komponen matriks yang terluka.


25

Pada daerah luka juga terdapat sel mast yang melepaskan granula

yang berisikan enzim, histamin, dan zat amin aktif lainnya, yang

menyebabkan kapiler menjadi permeabel serta mempercepat

kemotaksis sel-sel ke daerah luka (Landen, dkk., 2016; Primadina,

2019).

b. Fase Proliferasi

Fase proliferasi berlansung mulai hari ke 3 hingga 14 pasca trauma

yang ditandai dengan pergantian sumbatan platelet dan makrofag

digantikan oleh migrasi sel fibroblast dan deposisi sintesis matriks

ekstraseluler (Landen, dkk., 2016; Primadina, 2019). Fase proliferasi

terbagi menjadi tiga tahap, yaitu (Primadina, 2019):

1) Neoangiogenesis yaitu pertumbuhan pembuluh darah baru untuk

mempertahankan kelangsungan fungsi jaringan dan organ. Selama

angiogenesis, sel endotel akan mengeluarkan sitokin dan beberapa

faktor pertumbuhan seperti Vascular Endothelial Growth Factor

(VEGF), angiopoetin, Fibroblast Growth Factor (FGF) dan TGF-β.

Proses angiogenesis dimulai akibat adanya degradasi lamina basal

kapiler yang menyebabkan sel-sel endotel bermigrasi ke tempat

pertumbuhan baru, kemudian sel ini akan berproliferasi dan

berdiferensiasi membentuk pipa kapiler, setiap pipa kapiler akan

berdekatan membentuk jalinan pembuluh darah (anastomosis) hingga

aliran darah dapat melalui pembuluh darah baru dan pengumpulan sel
26

periendotel (perisit) untuk membentuk pembuluh darah matur

(Primadina, 2019).

2) Fibroblast yaitu fase pada saat fibroblas akan memproduksi matriks

ekstraselular untuk menutup luka. Matriks inilah yang tampak skar

pada kulit. Dengan berjalannya waktu, matriks ekstraselular ini akan

digantikan oleh kolagen tipe III yang juga diproduksi oleh fibroblas

(Primadina, 2019).

3) Re-epitalisasi yaitu sel keratinosit akan berproliferasi dan migrasi dari

basal ke permukaan luka. Ketika migrasi sel keratinosit akan menjadi

pipih, panjang, dan membentuk tonjulan sitoplasma yang panajang

(Primadina, 2019).

c. Fase Maturasi (Remodelling)

Fase maturasi berlangsung dari hari ke 21 hingga sekitar 1 tahun

untuk memaksimalkan integritas dan kekuatan jaringan pengisi luka yang

baru, pertumbuhan epitel, dan pembentukan jaringan parut. Pada fase ini

terjadi kontraksi dari luka dan remodelling kolagen (Primadina, 2019).

Kontraksi dari luka terjadi akibat adanya aktivitas fibroblas yang

berdiferensiasi oleh pengaruh TGF-β menjadi myofibroblas.

Myofibroblast akan mengekspresikan α-SMA (α-Smooth Muscle Action)

yang akan membuat luka berkontraksi. Matriks intraselular akan

mengalami maturasi dan asam hyaluronat dan fibronektin akan di

degradasi (Primadina, 2019).


27

Saat kadar produksi dan degradasi kolagen mencapai

keseimbangan, maka mulailah fase maturasi dari penyembuhan jaringan

luka. Selama proses maturasi, kolagen tipe III yang banyak berperan saat

fase proliferasi akan menurun kadarnya secara bertahap, digantikan

dengan kolagen tipe I yang lebih kuat. Serabut-serabut kolagen ini akan

disusun, dirangkai, dan dirapikan sepanjang garis luka (Primadina, 2019).

C. Madu

Madu merupakan salah satu bahan makanan yang istimewa. Bahan

makanan yang bersumber dari alam ini telah banyak digunakan oleh

masyarakat sejak zaman dahulu, selain digunakan untuk makanan atau

minuman, madu juga bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit.

Secara harfiah, madu merupakan suatu substansi dengan viskositas yang

kental, substansi ini berasal dari nektar bunga yang telah diolah oleh lebah

(Malone & Gary, 2016).

Lebah madu merupakan serangga yang berperan menghasilkan madu

dengan cara mengolah nektar dari bunga lalu hasil olahannya disimpan di

dalam sarang lebah. Di Indonesia jenis lebah yang paling banyak digunakan

sebagai penghasil madu adalah lebah lokal (Apis Indica) yang banyak

ditemukan dipulau jawa, lebah hutan (Apis dorsalta) merupakan lebah yang

memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan yang lainnya, dan lebah Eropa

(Apis mellifera) yang umumya didatangkan dari Australia (Jaya, 2017).

Ada banyak jenis madu yang dibedakan berdasarkan sumber nektar, letak

geografi, dan teknologi pemprosennya. Jenis madu berdasarkan sumber


28

nektarnya dibagi menjadi dua, yaitu monoflora dan polifora. Madu monoflora

merupakan madu yang diperoleh dari satu tumbuhan utama, seperti madu

kelengkeng, madu rambutan, dan madu randu. Madu monoflora mempunyai

wangi, warna dan rasa yang spesifik sesuai dengan sumbernya. Madu

monoflora juga disebut madu ternak, karena madu jenis ini pada umumnya

diternakkan. Sedangkan madu polifora merupakan madu yang berasal dari

nektar beberapa jenis tumbuhan bunga. Lebah cenderung mengambil nektar

dari satu jenis tanaman dan baru mengambil dari tanaman lain bila belum

mencukupi. Contoh dari madu jenis ini adalah madu hutan, dimana madu ini

dinamakan berdasarkan lokasi tempat madu dikumpulkan seperti madu

sumbawa, madu sumatra, atau madu timor (Malone & Gary, 2016).

Madu dapat dibedakan dari keadaan lingkungannya yang dibagi menjadi

madu hutan dan madu ternak. Perbedaan madu hutan dan madu ternak meliputi

jenis lebah, perbedaan perlakuan, dan perbedaan kandungannya. Madu ternak

didapat dari lebah madu Apis cerana atau Apis mellifera sementara madu hutan

dari lebah madu Apis dorsata. Dari berbagai jenis lebah madu tersebut, jenis

Apis dorsata merupakan lebah madu Asia yang paling produktif dalam

menghasilkan madu. Perbedaan isi madu dapat meliputi kadar invertase,

proline, kadar oligosakarida, dan rasio fruktosa : glukosa (Jaya, 2017; Malone

& Gary, 2016).

1. Sejarah Madu

Penggunaan madu telah dimulai sejak zaman purba. Pada saat itu

madu merupakan satu-satunya jenis gula atau bahan pemanis yang telah
29

diketahui, di samping berfungsi sebagai obat. Pada zaman Firaun, madu

telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Mesir Kuno sebagai minuman

yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit serta melawan kuman. Pada

zaman itu juga, madu banyak dimanfaatkan untuk mengawetkan mayat atau

mumi. Beberapa catatan pada peninggalan Mesir Kuno menunjukkan bahwa

pada tahun 1553-1550 SM, madu telah diresepkan untuk mengobati luka,

merangsang pengeluaran kemih dan mengobati sakit perut. Selain itu bangsa

Asiria, Cina, Yunani dan Roma juga telah lama memanfaatkan madu dalam

penyembuhan luka bakar. Ratu Cleopatra juga menggunakan madu untuk

merawat kecantikan wajah, kehalusan kulit serta untuk meningkatkan

stamina tubuhnya (Sakri, 2015).

Selain itu, Al-Qur’an menempatkan lebah madu secara istimewa

menjadi sebuah surah yaitu An-Nahl (Lebah). Dalam salah ayatnya:“Dan

Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-

bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat- tempat yang dibuat manusia",

Kemudian makanlah dari tiap - tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah

jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke

luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya

terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-

orang yang memikirkan.(Q.S. An-Nahl: 68-69).


30

2. Kandungan Madu

Komposisi madu dipengaruhi oleh keadaan geografis daerah

dibentuknya, asal nektar, lingkungan cuaca, dan teknik pemrosesannya.

Komposisi utama madu adalah gula yaitu sekitar 80%, dimana 85%

merupakan glukosa dan fruktosa. Selain itu, madu juga memiliki kandungan

vitamin (A,B1, B2, B5, B6, dan C), mineral (Ca, Na, P, Fe, Mg, Mn) dan

enzim berupa diatase (Nayik, dkk., 2015). Beberapa penelitian juga

menyatakan bahwa madu mengandung lemak dalam jumlah yang sangat

kecil yaitu 0,1-0,5/ 100 gram (Sudaryanto, 2010). Masing-masing

komponen inilah yang telah diteliti memiliki efek baik terhadap

penyembuhan luka.

Madu memiliki kadar pH 3,2 - 4,5 mampu menciptakan kondisi yang

tidak mendukung pertumbuhan bakteri yang berkembang biak rerata pada

pH 7,2 - 7,4 dan memungkinkan fase inflamasi dapat berjalan normal.

Selain itu, madu memiliki tingkat osmolaritas yang tinggi (Gulfraz, dkk.,

2010; Sudaryanto, 2010).

3. Efek Madu Terhadap Penyembuhan Luka

a. Antimikroba dan antiinflamsi

Kemampuan madu dalam mengandalikan inflamasi disebabkan

sifat antimikroba. Kandungan gula yang tinggi pada madu mampu untuk

menghambat pertumbuhan mikroba. Hal ini diyakini sebagai akibat dari

efek osmotiknya (gula 80-85% dan air 15-20%). Sifat hiperosmotik alami

menyebabkan peningkatan aliran limfe yang berguna untuk menyediakan


31

nutrisi pada jaringan yang mencegah pertumbuhan bakteri dikarenakan

sedikitnya kandungan air (hipertonis) menyebabkan air yang berada di

dalam sel mikroba keluar sehingga bakteri tidak dapat hidup dan

menjadikan luka menjadi cepat sembuh. Pada madu juga memiliku sifat

yang asam sehingga bakteri tidak mampu berkembang atau hidup

(Oryan, dkk., 2016; Sakri, 2015).

Kandungan glukosa pada madu juga berguna untuk menyediakan

energi glikolisis untuk neutrofil dan makrofag, serta karbohidrat sangat

dibutuhkan sebagai sumber energi sel darah putih. Makrofag sebagai sel

yang sangat penting dalam penyembuhan luka karena memiliki fungsi

fagositosis bakteri dan jaringan mati akan berubah menjadi makrofag

efferositosis (M2) yang mensekresi sitokin anti inflamasi seperti IL-4,

IL-10, IL-13 (Landén, dkk., 2016).

Kandungan glukoasa oksidase pada madu merupakan enzim yang

mengubah glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida.

Hidrogen peroksida ini berfungsi sebagai radikal bebas yang dapat

membunuh bakteri dengan meningkatkan penglisisan bakteri oleh

lisosom. Sementara asam glukonat merupakan asam organik utama yang

memiliki sifat antimikroba (Malone, dkk., 2016; Oryan, dkk., 2016).

Protein berperan sebagai pemacu pembentukan antibodi dan juga

menstimulasi nitrit oksida sehingga dapat meningkatkan aliran darah

berisi nutrisi ke tiap sel dalam jaringan (Oryan, dkk., 2016; Vhora, dkk.,

2011).
32

b. Antioksidan

Efek antioksidan dari madu berasal dari kandungan dari senyawa

fenolik madu yang terdiri dari flavanoid. Selain itu juga berasal dari

kandungan vitamin C, katalase, asam amino, dan asam lemak (Oryan,

dkk., 2016; Vhora, dkk., 2011; Sakri, 2015).

Salah satu jenis asam lemak bebas dalam madu adalah asam

oleanolik. Asam oleanolik termasuk golongan triterpenoid yang

merupakan sumber antioksidan. Sistem perlindungan oleh asam oleanolik

adalah dengan mencegah racun menyusup ke dalam sel dengan cara

meningkatkan sistem pertahanan sel dan juga dapat memperbaiki sel

yang rusak. Asam oleanolik ini juga berperan sebagai antiinflamasi dan

juga antioksidan yang kuat oleh adanya kandungan nitrit oksida sehingga

bersifat racun bagi bakteri (Vhora, dkk., 2011).

Asam askorbat atau vitamin C bermanfaat dalam meningkatkan

daya tahan tubuh terhadap infeksi, memelihara membran mukosa,

mempercepat penyembuhan. Asam askorbat juga berperan sebagai

antioksidan untuk mencegah masuknya radikal bebas dengan pelepasan

elektron (Vhora, dkk., 2011; Sakri, 2015)

c. Stimulasi pertumbuhan jaringan

Makrofag yang memperoleh sumber energi dari gula madu mampu

meningkatkan kerjanya yaitu mensekresi proteinase untuk mendegradasi

matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material

asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM.


33

Makrofag M2 merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang

menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan

pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Oryan, dkk.,

2016)

Asam amino berperan untuk menstimulasi pelepasan nitrit oksida,

dimana nitrit oksida ini penting untuk merangsang hormon pertumbuhan

sehingga dapat memacu sel untuk bertumbuh serta berproliferasi untuk

mempercepat penutupan luka . Asam amino juga berperan dalam

pertumbuhan sintesis protein struktural seperti kolagen (Vhora, dkk.,

2011).

Enzim katalase mampu memberi efek pemulihan luka khususnya

saat terjadi kasus kerusakan jaringan, madu juga menambah kuantitas

glutasium pada luka yang akan membantu terjadinya proses oksidasi dan

reduksi serta merangasang pertumbuhan dan pembelahan sel-sel baru

yang mempercepat penyembuhan luka (Oryan, dkk., 2016).

Vitamin A berfungsi menstimulasi dan meningkatan reepitalisasi,

sintesis kolagen, serta pembentukan kapiler. Vitamin B penting sebagai

kofaktor reaksi enzimatik untuk proses penyembuhan luka. Vitamin C

pun memiliki peranan penting untuk mengaktifkan enzim prolil

hidoksilase yang menunjang tahap hidoksilasi ketika kolagen dibentuk

atau dengan kata lain membantu pembentukan dibentuk sehingga dapat

mempercepat penutupan dan penyembuhan luka (Vhora, dkk., 2011).


34

Sementara vitamin K secara tidak lansung mencegah kelainan

perdarahan. Zn, Fe, Cu, Co, Mn, dan Mg sebagai kofaktor enzim yang

bertanggung jawab dalam sintesis protein, proliferasi sel serta membantu

reepitalisasi (Oryan, dkk., 2016; Vhora, dkk., 2011).

Pengaturan produksi hidrogen peroksida yang rendah (3%) dan

efek antioksidan sangat penting dalam pertumbuhan sel seperti stimulasi

angiogenesis dan pertumbuhan fibroblas. Jika hidrogen peroksida yang

tinggi menujukan dengan konsentrasi 30% dapat mengiritasi ligamen

periodontal nekrosis sementum, ginggiva terbakar dan mengelupas

(Sakri, 2015).

Nitrit oksida merupakan radikal bebas yang dapat meningkatkan

regulasi angiogenesis, sintesis kolagen dan reepitalisasi pada

penyembuhan luka (Oryan, dkk., 2016)

D. Propolis

Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu pro yang berarti

pertahanan dan polis berarti kota. Propolis merupakan suatu bahan resin

bercampur dengan lilin dan enzim lebah, bahan resin atau getah tanaman yang

dikumpulkan oleh lebah berasal dari berbagai jenis tanaman, terutama bagian

bunga dan puncuk tanaman. Propolis ini digunakan oleh lebah sebagai perekat

dengan memperkuat stabilitas struktural sarang dan untuk melindungi sarang

dari berbagai ancaman seperti getaran dari luar sarang dan mikroba, serta

mencegah pembusukan dalam sarang (Siregar, dkk., 2011).


35

Propolis berguna sebagai disinfektan atau antibakteri sehingga mampu

membunuh kuman yang masuk ke sarang lebah. Hal ini dibuktikan dengan

ditemukannya bangkai tikus yang tidak berbau karena tidak membusuk,

dimana bangkai tersebut dibungkus oleh propolis (Siregar, dkk., 2011).

1. Sejarah Propolis

Pliny (seorang dokter romawi) dan Dioscoride merupakan tokoh yang

mencatat tentang propolis dalam lembaran sejarah. Pliny pertama kali

mengungkapkan bahwa propolis merupakan resi yang dipanen oleh lebah

dari puncuk tanaman willow elm atau reed, sementara Dioscorides

berpendapat bahwa propolis berasal dari pohon styrax. Menurut Pliny,

propolis dapat mengurangi pembengkakan, melunakkan jaringan yang

mengeras, mngurangi nyeri, dan menyembuhkan luka. Begitu juga dengan

Dioscorides mengatakan bahwa propolis digunakan sebagai pengobatan

penyakit sejak abad pertama (Siregar, dkk., 2011).

Ibnu Sina dalam bukunya yang berjudul The Canon of MedicineI

mengungkapkan bahwa ada sejenis lilin hitam yang memiliki ciri yang

dapat meluruhkan sumbatan, mengatasi bahaya, dan berefek membersihkan.

Lilin hitam tersebut diperkirakan merupakan propolis (Siregar, dkk., 2011).

Hipocrates bapak kedokteran dunia menganjurkan mengonsumsi

propolis sebagai obat penambah semangat. Pada zaman Aristoteles, propolis

digunakan sebagai obat luka yang tidak kunjung sembuh. Di Rusia, propolis

dicampur dengan vaselin sebagai salep untuk pengobatan luka pascaoperasi

dan dikenal sebagai antibiotik Rusia (Siregar, dkk., 2011).


36

2. Kandungan Propolis

Sama halnya dengan madu, komposisi, sifat fisik dan kimia propolis

tergantung dari lebah penghasil propolis, geografis, waktu pengumpulan,

musim, dan jenis tanaman sumber resin pembentuk propolis. (Oryan, dkk.,

2018; Siregar, dkk., 2011).

Berdasarkan beberapa substansi yang terdapat pada propolis dari

beberapa tempat, secara garis besar propolis mengandung resin dan balsam

(50%), wax/lilin (30%), minyak esensial dan minyak aromatik (10%),

pollen (5%) dan komponen organik (5%) seperti mineral, vitamin A, B

kompleks, vitamin E. Resin terdiri dari fenol dan asam fenolat atau

polifenol. Polifenol terbanyak adalah flavonoid, kemudian asam fenolat

ester (CAPE/ yaitu Caffeic Acid Phenethyl Estern), fenol adehid, keton, dan

lain-lain (Oryan, dkk., 2018).

3. Efek Propolis Terhadap Penyembuhan Luka

a. Antimikroba

Kemampuan antimikroba pada propolis disebabkan adanya

kandungan flavanoid, asam aromatik dan resin yang ada dalam resin.

Flavonoid merupakan senyawa yang berperan sebagian besar dalam

aktivitas biologis. Mekanisme senyawa tersebut dalam aktivitas

antimikroba dengan inhibisi sintesis asam nukleik dan mampu

menyebabkan lisis bakteri parsial. Kemampuannya dalam menghambat

sintesis asam nukleat didiuga dapat menghambat aktivitas dekatenasi


37

topoisomerase IV-dependen dan mengarah ke SOS respon sehingga

menghambat pertumbuhan sel Escherichia coli (Oryan, dkk., 2018).

b. Antioksidan

Cedera pada jaringan akan menyebabkan pelepasan mediator

inflamasi termasuk Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive

Nitrogen Spesies (RNS) yang merupakan radikal bebas yang dapat

merusak sel kulit. Flavanoid dan senyawa fenolik lainnya diduga mampu

menangkal radikal bebas tersebut (Oryan, dkk., 2018).

Selain itu, kandungan polifenol dan CAPE dalam propolis dapat

meningkatkan ekspresi gen AMPs (Antimicrobial Peptides) dan

memfasilitasi reepitalisasi pada kulit. Caffeic Acid Phenethyl Estern

diduga merupakan komponen yang berperan penting sebagai antioksidan

(Oryan, dkk., 2018)

c. Efek terhadap sel mast

Sel mast memiliki peran penting dalam semua fase penyembuhan

luka dengan melepaskan mediator vasoaktif seperti histamin, protease,

Tumor Necrosis Factor (TNF) dan asam arakidonat yang berperan dalam

vasodilatasi dan meningkatkan permeabitlitas vaskular. Selain itu, sel

mast juga dapat melepaskan triptase yang dapat menstimulasi diferensiasi

fibroblast menjadi myofibroblas. Myofibroblas memiliki peranan dalam

pembentukan skar dan kontraktur. Namun, penelitian terakhir

menunjukkan bahwa kehadiran sel mast dalam jumlah besar dapat

merusak proses penyembuhan. Hal ini ditunjukkan melalui penelitian


38

yang menunjukkan adanya blokade sel mast dapat mengurangi

pembentukan skar dan peradangan tanpa mempengaruhi sifat biomekanik

dari luka (Oryan, dkk., 2018).

Aplikasi topikal propolis sedapat menurunkan jumlah sel mast dan

mempercepat proses penyembuhan luka. Komponen Caffeic Acid

Phenethyl Estern merupakan senyawa yang berperan menurunkan

pelepasan histamin dan sitokin inflamasi dalam penyembuhan jaringan

(Oryan, dkk., 2018)

d. Anti-inflamasi

Propolis memiliki senyawa anti-inflamasi yang berbeda-beda

seperti asam kafeik, asam salisilat, Caffeic Acid Phenethyl Estern, asam

ferulat, naringenin, apigenin, vestitol, dan galangin yang dapat menekan

pembentukan prostaglandin, leukotrin dan aktivitas myeloperoksidase,

NADPH-oksidase, ornithine decarboxilase serta tirosin protein kinase.

Komponen tersebut berperan dalam antibakteri, anti-inflamasi,

antioksidan, immunomodulator, anti-tumor dan penyembuhan luka

(Oryan, dkk., 2018).

Caffeic Acid Phenethyl Estern merupakan komponen yang

berperan besar dalam merunurunkan proses inflamasi dengan cara

inhibisi produksi sitokin dan kemokin, proliferasi sel T, serta produksi

limfokin. CAPE juga dapat menurunkan kadar MDA (Malondialdehyde)

dalam plasma yang merupakan indikator generasi radikal bebas sebagai

hasil akhir dari peroksida lipid (Oryan, dkk., 2018).


39

E. Mencit

Mencit (Mus musculus) merupakan hewan mamalia yang paling sering

digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium untuk penelitian medis,

yaitu sekitar 40%-80%. Hal ini dikarenakan mencit memiliki keungguluan,

yakni memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif

pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan

mudah dalam penanganan. Selain itu juga lebih murah dan memiliki waktu

berkembang biak yang lebih cepat (Nugroho, 2018).

Penelitian pada umumnya menggunakan mencit jantan sebagai sampel

dikarenakan kondisi sistem imun yang baik dan stabil, tidak dipengaruhi oleh

hormon reproduksi seperti hormon estrogen yang banyak terdapat pada mencit

betina. Hormon tersebut memberikan efek imunodepresi yang akan

mempengaruhi tingkat stres dari mecit. Adapun usia mencit yang digunakan

sekitar 3 bulan atau ketika berat badan telah mencapai 20-30 gram (Nugroho,

2018).

Tingkatan taksonomi Mus musculus, sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Murinae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus


40

F. Kerangka Teori

Luka Tertutup
Inflamasi
Luka Proses
Luka Terbuka Penyembuhan Proliferasi
Luka
Maturasi
Agen penyembuh luka
G.

Propolis Madu

Gambar 2.2 Kerangka Teori (Takzaree, dkk., 2016)

Katerangan: Variabel yang tidak diteliti

Variabel yang diteliti


41

H. Ketangka Konsep

Insisi punggung mencit

Luka

Menggunakan madu Menggunakan propolis Tanpa perlakuan

Proses penyembuhan luka

Histologis : Klinis :
 Fibrobla  Durasi penyembuhan luka
 Kolagen  Panjang luka

Luka Sembuh

Keterangan: Variabel Independen

Variabel dependen

Anda mungkin juga menyukai