Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Tindakan mengakhiri hidup dapat dilakukan siapa saja, kapan saja dan
dimana saja. Tindakan bunuh diri dengan penggantungan sering kali dilakukan
karena dirasa mudah, hanya dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang
dapat melilit leher seseorang dapat mengakhiri hidup. Demikian dengan
pembunuhan atau hukuman mati dengan cara penggantungan sudah dilakukan
sejak zaman dahulu diseluruh dunia. Kasus gantung hampir sama dengan
penjeratan, perbedaannya hanya terletak pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk
memperkecil lingkaran jerat dan bentuk lingkar jerat. Pada kasus gantung tenaga
tersebut berasal dari berat korban sendiri, sedangkan pada kasus penjerartan tenaga
tersebut datang dari luar.1
Penggantungan merupakan penyebab kematian yang sering menimbulkan
persoalan karena rawan terjadi salah interpretasi, baik oleh ahli forensik, polisi, dan
dokter non-forensik. Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan
penggantungan dilaporkan setiap tahun. Penggantungan baik akibat bunuh diri atau
pembunuhan lebih sering ditemukan di perkotaan. Di Amerika Serikat, pada tahun
2001, dilaporkan terdapat 279 kematian yang disebabkan penggantungan yang
tidak disengaja dan strangulasi, dan 131 kematian akibat penggantungan,
strangulasi dan mati lemas.2 Di Indonesia, data statistik mengenai frekuensi dan
distribusi variasi kasus gantung diri masih sangat langka. Penelitian tentang
gantung diri di Indonesia juga masih sangat terbatas jumlahnya. Data yang
dihimpun dari Polda Metro Jaya diketahui bahwa pada tahun 2009 ada 90 kasus
gantung diri, tahun 2010 ada 101 kasus dan tahun 2011 ada 82 kasus gantung diri.3
Penggantungan adalah salah satu penyebab kematian akibat asfiksia yang
paling sering ditemukan dalam kasus kedokteran forensik, umumnya merupakan
urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalulintas dan trauma mekanik. 4 Asfiksia adalah
suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Tanda-
tanda asfiksia yang paling sering ditemukan pada korban gantung diri adalah
sianosis, kongesti dan oedema, tetap cairnya darah dan perdarahan berbintik
(petechial haemorraghes).5

I.2 Rumusan Masalah


a.Apa pengertian Asfiksia?
b. Apa saja yang termasuk jenis-jenis asfiksia beserta mekanisme terjadinya
asfiksia?
c.Bagaimana gambaran post mortem pada Asfiksia?

I.3 Tujuan
Tujuan penulisan jurnal reading ini adalah:
a.Sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase Forensik dan medikolegal di
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
b. Menjelaskan pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta memahami
gambaran post mortem pada berbagai kasus asfiksia.

I.4 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
wawasan kepada mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase forensik dan
medikolegal mengenai asfiksia yang meliputi: pengertian asfiksia, jenis-jenis
asfiksia serta gambaran post mortem pada berbagai kasus asfiksia.
BAB II
JURNAL

Studi Temuan Postmortem dari Struktur Leher dalam Kasus


Kematian Asfiksia
Suresh Chand 1, Rishi Solanki 2, Anil Aggrawal 3, PC Dikshit 4, Rajesh Ranjan 5
1 Asisten Profesor, Departemen Kedokteran Forensik, GS Medical College, Pilkhuwa, Hapur, Uttar Pradesh, India, 2
Senior Resident, Rumah Sakit Aruna Asaf Ali Pemerintah, Rajpur Jalan Civil Lines, New Delhi, India, 3 Direktur dan
Profesor, Departemen Kedokteran Forensik, MAMC, New Delhi, India, 4 Profesor dan Kepala Departemen Kedokteran
Forensik, Hamdard Institute of Medical Sciences dan Penelitian, New Delhi, India, 5 Departemen Masyarakat
Administrasi Kesehatan, Resident, NIHFW, New Delhi, India

Abstrak
Pendahuluan : Kematian asfiksia sering terjadi dalam praktek forensik. Istilah
“asfiksia” umumnya berarti “kekurangan oksigen” dan secara harfiah berarti
“oksigenasi darah yang tidak tepat” karena sebab apapun.
Bahan dan metode : Penelitian dilakukan di Departemen Kedokteran Forensik,
Maulana Azad Medical College, New Delhi. Ini adalah penelitian deskriptif cross-
sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai dengan Maret
2012. Kasus kematian asfiksia yang datang untuk pemeriksaan postmortem
medikolegal.
Hasil : Dari 73 kasus kematian asfiksia, 58 kasus kematian asfiksia akibat penekanan
pada leher dianggap dan dipelajari untuk melihat berbagai perubahan dalam struktur
leher dalam kematian karena asfiksia. Penelitian ini meliputi 89,65% dari kasus
gantung, 8,62% kasus pencekikan, dan 1,72% dari kasus pencekikan ligatur dari kedua
jenis kelamin antara 0 dan 79 tahun kelompok usia.
Kesimpulan : Insiden kematian asfiksia akibat penyempitan leher lebih tinggi terjadi
pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan dalam kasus ini; modus kematian
yaitu dengan menggantung diri. Angka-angka tertinggi pada kasus terlihat pada orang
dewasa muda (20-29 tahun). Dalam sebagian besar kasus, kain digunakan sebagai
bahan pengikat. Simpul dari bahan pengikat sebagian besar baik di sisi kanan atau kiri
samping dibandingkan dengan depan dan belakang leher. Posisi khas simpul ditemukan
dalam beberapa kasus. Dalam kebanyakan kasus adalah kasus gantung komplit.
PENDAHULUAN
Kematian yang disebabkan larena asfiksia sering terjadi dalam praktek
forensik. Istilah “asfiksia” umumnya berarti “kekurangan oksigen” dan secara harfiah
berarti 'oksigenasi darah yang tidak tepat’ karena sebab apapun. Namun, istilah ini
telah diterjemahkan dari bahasa Yunani asli, menyiratkan “pulselessness / tidak
adanya pulsasi”. Adelson didefinisikan “asfiksia” sebagai keadaan fisiologis dan
kimia dalam organisme hidup yang kurangnya ketersediaan oksigen yang
berlangsung akut untuk metabolisme sel yang dikaitkan dengan ketidakmampuan
untuk menghilangkan kelebihan CO2.
Umumnya istilah “anoksia” menyiratkan “ketiadaan oksigen”. Namun,
Bacroft 3 menggunakan istilah ini dibagi kondisi menjadi tiga kelompok: (1) Anoxic
anoksia - yang berarti pencegahan oksigen untuk mencapai paru-paru, (2) anemia
anoksia - yang berarti ketidakmampuan darah untuk membawa oksigen yang cukup
ke jaringan karena kandungan hemoglobin rendah, dan (3) stagnan anoksia - yang
berarti kurangnya transportasi darah yang membawa oksigen ke jaringan karena
sirkulasi terganggu. Kemudian, Peters dan Van Slyke pada tahun 1931 menambahkan
kelompok keempat untuk itu disebut anoksia histotoksik - dimana, meskipun tersedia
secara bebas dalam aliran darah, oksigen tidak dapat dimanfaatkan oleh jaringan.
Meskipun banyak proses penyakit alami mungkin melibatkan penyerapan tidak
memadai dan / atau pengiriman oksigen (misalnya penyakit paru obstruktif kronik),
istilah “asfiksia” umumnya dicadangkan untuk kondisi yang berkaitan dengan
atmosfer abnormal dan efek mekanik dan kimia langsung mengarah ke kelainan
tersebut. Penentuan jenis tertentu asfiksia operatif Dalam kasus tertentu, penyebab
kematian, dan cara kematian tergantung pada munculnya informasi selama
penyelidikan medikolegal kematian - yaitu, sejarah (keadaan), penyelidikan adegan,
dan pemeriksaan postmortem (termasuk studi radiografi dan laboratorium pendukung
yang sesuai).
Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai istilah “asfiksia” dalam literatur
medis, itu secara luas digunakan untuk tujuan medikolegal dan dikategorikan sebagai
asfiksia mekanik dan non-mekanis1-15. Pada asfiksia mekanik,1 aliran udara ke dalam
tubuh terganggu melalui beberapa hambatan fisik seperti (1) tekanan pada eksterior
leher, misalnya, tergantung dan pencekikan, (2) obstruksi saluran udara dari luar,
misalnya, mati lemas dan tercekik, (3) obstruksi saluran udara dari interior, misalnya
tersedak, tersedak, (4) tekanan pada dada, misalnya, asfiksia traumatik, dan (5)
kematian perendaman, misalnya, tenggelam. Sedangkan pada asfiksia non-mekanik,1
hambatan fisiologis menyebabkan terganggunya oksigen oleh penipisan dan
penggantian dengan gas lain atau oleh gangguan kimia dengan penyerapan dan
pemanfaatan oleh tubuh sendiri atau di mana ada cukup oksigen di atmosfer itu
sendiri, misalnya keracunan CO dan keracunan CN.
Saat ini, asfiksia istilah telah digunakan untuk menunjukkan kematian atau
cedera berat yang memiliki risiko tinggi menyebabkan kematian karena hipoksia
serebral mekanis yang disebabkan dan disertai dengan tanda-tanda aliran balik vena
terhambat. Derajat yang sama pada hipoksemia dari setiap organ / jaringan dapat
terjadi oleh karena gangguan suplai darah atau dengan menghalangi drainasenya.
Tekanan pada leher dapat mempengaruhi otak dengan dua cara atau dua arah pada
saat yang sama, menghasilkan Infark (iskemik atau hyperemic).16-30
Kematian asfiksia dapat disebabkan oleh salah satu dari metode di atas secara
individu maupun dalam kombinasi dengan satu sama lain. Sebuah studi kasus dari
Rumania menunjukkan bahwa korban dibunuh oleh tiga mekanisme yang berbeda
dari asfiksia: dibekap dengan tangan, pengguna pencekikan (Strangulasi Manual)
dengan sisi lain, dan asfiksia traumatik oleh kompresi dada dengan lutut. bentuk yang
tidak biasa dari kematian asfiksia tertentu seperti autoerotic, posisi, dan memegang
leher juga telah dilaporkan.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di Departemen Kedokteran Forensik, Maulana Azad
Medical College, New Delhi dengan sampel 58 kasus
 Desain studi: studi cross-sectional deskriptif.
 Masa studi: Penelitian ini dilakukan antara September 2010 dan Maret 2012.
 Populasi penelitian: Kasus kematian asfiksia yang ditujukan untuk aspek
medikolegal pada pemeriksaan postmortem.

Kriteria inklusi
 Kematian asfiksia (gantung dan pencekikan) ditujukan untuk aspek medikolegal
pada pemeriksaan postmortem.
Kriteria eksklusi
 Tubuh membusuk.
 Kasus asfiksia akibat tenggelam, mati lemas.

Metode
Pemeriksaan umum yang cermat dilakukan dengan referensi khusus untuk
leher dan semua karakteristik dicatat. Ketika ligatur muncul di sekitar leher
dilepaskan dengan mencegah jerat. Tengkorak dan dada dibuka dan isinya dibawa
keluar untuk mengalirkan darah dari leher sehingga struktur leher bisa diperiksa di
bidang yang relatif tak berdarah sehingga menghindari perdarahan artifactual. Kami
menempatkan sayatan berbentuk Y yang diizinkan pemeriksaan menyeluruh dimulai
dari pemeriksaan anterior dari organ leher bagian anterior.
Kulit dan jaringan superfisial leher tercermin untuk mengekspos struktur
dasar dari kulit dengan mencabut dan meregangkan pada garis potongan kulit
menggunakan jari atau forsep non-bergigi dan membuat irisan horisontal lembut di
sepanjang bidang jaringan dermosubcutaneous. Kemudian, leher dibedah lapis demi
lapis.

Lapisan berikut diperiksa secara bertahap:


1.Platysma.
2. Sternokleidomastoid.
3. (A) Omohyoid (b) digastrikus.
4. Sternohyoid.
5. (A) Sternothyroid dan (b) thyrohyoid.
Berikut struktur dan temuan patologis yang tercatat:
1. Cedera Eksternal - dalam bentuk lecet, memar, dll
2. Luka - Luka memar dan pendarahan dalam substansi setiap lapisan otot dan di
depan dan di belakangnya.
3. Memar, bendungan, dan perdarahan di berbagai struktur leher seperti kelenjar
getah bening, kelenjar submandibular, tiroid, dan paratiroid.
4. Kerusakan pada arteri karotis, vena jugularis (internal dan eksternal), vagus,
dan saraf frenikus.
5. Fraktur hyoid, kartilago tiroid, kartilago krikoid, dan corniculate dan runcing
kartilago.
6. Kerusakan arteri vertebralis.

HASIL
Penelitian dilakukan di Departemen Kedokteran Forensik, Maulana Azad
Medical College. Sebanyak 1.889 otopsi medikolegal dilakukan selama periode
(September 2010 sampai Maret 2012) studi, yang 73 (3,86%) kasus kematian asfiksia
dicatat. Dari ini 73 kasus kematian asfiksia, 58 kasus kematian asfiksia akibat
penyempitan leher dianggap dan dipelajari untuk melihat berbagai perubahan dalam
struktur leher kematian karena asfiksia. Penelitian ini meliputi 89,65% dari kasus
gantung, 8,62% dari kasus manual strangulasi (MS), tenggelam 20.54% dan 1,72%
dari kasus pencekikan ligasi (SL) dari kedua jenis kelamin antara 0 dan 79 tahun
kelompok usia. Rasio antara laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1 dengan kelompok
usia 20-29 tahun. Alat yang digunakan yaitu kain dengan jumlah kasus 28, diikuti
dengan tali 19 kasus dan bahan lain berjumlah 4 kasus. Pada pengikat didapatkan
paling banyak yaitu pada sisi kanan leher dengan persentase 43.39%. sedangkan jenis
gantung terbanyak yaitu pada atipikal sebesar 88.46%. Tanda jaringan parut
ditemukan paling banyak pada tingkat di atas tulang rawan tiroid di 26 kasus (50%).
Sebagian kasus merupakan kasus gantung komplit sebesar 98.07%, tanda jaringan
parut ada dalam semua kasus. Noda air liur didapatkan pada 25 kasus (48.07%) dan
<50% kasus ditemukan adanya hiperemis pada wajah. Tanda perdarahan atau ptekie
ditemukan pada 32 kasus (61.53%). Tidak didapatkan adanya fraktur pada
kartilahkrikoid namun ditemukan adanya keretakan pada kompleks laringoid sebesar
15.51% dari 58 kasus. Pada kasus gantung didapatkan adanya fraktur tulang hyoid
sebanyak 5 kasus; fraktur tulang rawan tiroid sebanyak 4 kasus; dengan kelompok
usia dewasa muda pada laki-laki sedangkan pada wanita pada usia paruh baya. Pada
ksus pencekikan didapatkan adanya fraktur tulang hyoid pada semua kasus. Terdapat
fraktur tulang besar kornu pada sisi kanan dan kiri pada 2 kasus. Ditemukan adanya
fraktur tulang rawan tiroid pada semua kasus. Lokasi fraktur pada tulang rawan tiroid
paling banyak pada bagian ujung atas (laring prominen), lalu pada garis tengan dan
ujung bawah tulang rawan tiroid. Terdapat adanya air mata intima pada 30% kasus,
terletak di kedua arteri carotid internal. Tidak ditemukan adanya cedera pada kelenjar
getah bening, kelenjar submandilbular, kelenjar tiroid dan paratiroid dan tidak ada
teuan yang spesifik yang tercatat dalam vena jugularis (internal dan eksternal), vagus,
dan saraf frenikus.

DISKUSI
Kematian asfiksia akibat penyempitan leher yang seing terjadi di semua
bagian dunia. Dalam penelitian kami, kematian asfiksia berkontribusi 3,86%
kematian antara September 2010 dan Maret 2012. kematian asfiksia akibat gantung
yang paling umum dan terlihat dalam 52 kasus (71,23%) diikuti oleh tenggelam
dalam 15 kasus (20,54%), SM dalam 5 ( 6.84%) kasus, dan SL dalam 1 (1,36%)
kasus. Insiden gantung adalah yang tertinggi (71,23%) di antara jenis lain asfiksia.
Menurut Sharma et al., 18 5% dari kasus berkontribusi kematian asfiksia, Gantung
adalah modus yang paling umum diamati pada 66 (69%) kasus, diikuti oleh
tenggelam dalam 10 (11%). Dalam studi retrospektif Amandeep, dari jumlah total
otopsi yang dilakukan selama periode 4 tahun, yaitu, 2000-2003, 111 (5,26%) kasus
adalah karena asfiksia, dari yang tenggelam ditemukan paling umum, yaitu, 66 kasus
(59,4% ), diikuti dengan menggantung 27 (24,3%), trauma asfiksia 7 (6,3%) kasus,
pencekikan 6 (5,4%) kasus, dan throttling 5 (4,5%) kasus. Insiden tenggelam adalah
tertinggi di antara kematian asfiksia, sehingga penelitian ini tidak sesuai dengan studi
kami dan itu mungkin karena variasi geografis dan keberadaan sumber air mudah
diakses di daerah itu.

Semua kasus tergantung dalam penelitian ini adalah bunuh diri, dan semua
kasus pencekikan yang membunuh di alam. Temuan ini bertepatan dengan temuan
penulis yang paling lain menggantung hampir selalu bunuh diri kecuali terbukti
sebaliknya dan pencekikan sebagian besar pembunuh. Hanging adalah metode
terkemuka bunuh diri di Jerman dan Jepang, dan itu adalah metode bunuh diri kedua
terkemuka setelah intoksikasi di India dan Amerika Serikat. 26 Rentang usia korban
dalam penelitian ini adalah antara bayi yang baru lahir hingga 70 tahun. jumlah
maksimum kasus (51%) terlihat pada kelompok usia 20-29 tahun diikuti oleh 30-39
tahun (15,51%) pada kedua jenis kelamin. Hal ini mirip dengan studi yang
dilaporkan oleh Amandeep di mana jumlah maksimum kasus terlihat pada kelompok
usia 21-25 tahun (29,62%) dan 16-20 tahun (29,62%) diikuti oleh 26-30 tahun
(18,51%).
Dalam studi ini, ada dominasi laki-laki dalam semua kasus asfiksia (65,51%)
dibandingkan dengan perempuan (32,75%). Rasio ini menjadi 2: 1. Hal ini mirip
dengan studi yang dilaporkan oleh berbagai penulis. dominasi laki-laki dalam kasus
gantung dapat dijelaskan oleh fakta bahwa itu bukan metode yang umum memilih
bunuh diri oleh perempuan dibandingkan dengan asupan racun dan pembakaran.
Angka ini berbeda dengan tingginya insiden tergantung pada wanita (40%)
melaporkan di Denmark oleh Simonsen.

Temuan umum Gross


Dalam studi ini, kemerahan wajah dan air liur noda terdapat pada <50%
kasus dan perdarahan petekie sebesar 58,62% dari 61,53% kasus menggantung,
dan 33,33% dari kasus tercekik. Dalam sebuah studi pada kasus gantung oleh
Suárez-Peñaranda et al.,19 kemerahan wajah ditemukan pada 42,9% kasus dan
petekie perdarahan dari wajah dan konjungtiva di 23,4% kasus.
18
Temuan ini tidak konsisten dengan studi Sharma et al. di mana petechiae
ditemukan hanya dalam kasus gantung (42%) dari yang 75% adalah dari kasus
gantung tidak lengkap dan 25% adalah dari kasus gantung lengkap atipikal.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini adalah bahwa di Delhi, kejadian kematian
asfiksia akibat penyempitan leher lebih pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan, dan dalam kebanyakan kasus, modus kematian menggantung. Sebuah
angka maksimum kasus terlihat pada orang dewasa muda (20-29 tahun). Sebuah
angka maksimum kasus terlihat pada bulan Maret. Dalam sebagian besar kasus, kain
lembut digunakan sebagai bahan pengikat. Simpul dari bahan pengikat sebagian besar
baik di sisi kanan atau kiri dibandingkan dengan depan dan belakang leher. Posisi
khas simpul ditemukan dalam beberapa kasus. Dalam jumlah maksimum kasus,
menggantung komplit. Tanda pengikat hadir dalam semua kasus gantung dan SL, dan
dalam kebanyakan kasus, itu pada tingkat tulang rawan tiroid diikuti oleh diatas
kartilago tiroid. Perdarahan otot hadir dalam semua kasus SM dan dalam beberapa
kasus menggantung. Perubahan struktur internal dari leher hadir dalam beberapa
kasus saja. patah tulang hyoid lebih umum dibandingkan dengan fraktur tulang rawan
tiroid dan lebih sering terlihat pada laki-laki sedangkan fraktur tulang rawan tiroid
lebih umum pada wanita. Terjadinya patah tulang dari kedua tulang secara bersamaan
memiliki prevalensi yang sama sama di kedua jenis kelamin. Gabungan fraktur dari
kedua tulang meningkat dengan bertambahnya usia dan penurunan di kelompok usia
yang lebih rendah. Patah tulang hyoid terlihat terutama pada kasus SM dan sangat
langka pada kasus gantung. Fraktur kartilago tiroid terlihat di ujung atas (laring
prominen) pada garis tengah. Air mata intima terlihat biasa dalam kasus SM dan
sangat langka di kasus gantung diri.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ASFIKSIA
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.

Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:Tidak ada atau
tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong
plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni
atau sufokasi. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas
seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan
sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup
tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas
macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan
hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik
yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

A. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia,
yaitu:
1. Strangulasi
2. Gantung (Hanging)
3. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
4. Pencekikan (Manual Strangulation)
5. Sufokasi
6. Pembengkapan (Smothering)
7. Tenggelam (Drowning)
8. Crush Asphyxia
9. Keracunan CO dan SN

B. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap
kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih
banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan
terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat
pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,
ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen
langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan
vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak
cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian
berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
 Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
 Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau
pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke
paru-paru.
 Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau
berdesakan (Traumatic asphyxia).
 Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada
pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa
bentuk keracunan.
Darah Urin, Feses,
menjadi Fibrinolisis Relaksasi Cairan
encer Sfingter Sperma
Keluar
ASFIKSIA

Tak Sadar Tekanan Kerusakan


Dilatasi
Oksigen & Dinding
Kapiler
Darah Turun Kapiler dan
Lapisan

Tenaga Otot Stasis Kapiler


Menurun Sianosis
Peningkatan
Permeabilita
s Kapiler
Bendungan Darah
Kapiler Berwarna
Ungu

Kongesti Tekanan Tardie Spot


Visceral Intrakapiler & Oedema
Lebam
meningkat Mayat Ungu

Ruptur Pembuluh
Kapiler

SKEMA PATOFISIOLOGI ASFIKSIA


C. Gejala Klinis
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis,
yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar
CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla
oblongata, sehingga gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang
ditandai dengan meningkatnya amplitude dan frekuensi pernapasan
disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir
mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan
tangan. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan
susunan saraf pusat sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-
mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan
akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut
jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut menurun. Efek
ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak,
akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.
3. Fase Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot
pernapasan menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah
semakin menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang,
akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat
kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir
tidak teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut
beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan
berhenti setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada
leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan
terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian
sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian
sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2
berlangsun g lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan
lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

Lingkaran Setan Asfiksia


D. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian
akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut
yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena,
terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit
dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan
sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru
dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura,
perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum.

Tardieu’s spot
Bintik perdarahan pada
jantung
Tardieu’s spot pada mata

2. Kongesti dan Oedema


Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan
ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga
terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya
gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang
terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja
pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam
ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela
jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi
(Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan
sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml
darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari
jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis
hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena
yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi
darah.

E. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi
jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat
asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar
karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam
darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)


4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul
akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu
yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas.
Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur
darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan
ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan
subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran
pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi
pada fase kejang. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler
sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan
pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan
sebagai Tardieu’s spot.

b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena
fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh
sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada
pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus,
epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah
aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di
lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit
kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa
epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan
dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan,
seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung,
perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid
(pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
3.2 Gantung Diri
A. Jenis
Penggantungan dapat dikelompokkan berdasarkan posisi korban pada saat
gantung diri, yang terdiri dari :
1. Complete Hanging, yaitu posisi penggantungan dimana kedua kaki
tidak menyentuh lantai.

Gambar 2. Contoh posisi pada complete hanging

2. Partial Hanging, yaitu posisi penggantungan berupa duduk berlutut.


Istilah ini digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya
menjadi kekuatan daya jerat tali. Pada kasus tersebut berat badan
tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut
penggantungan parsial.

Gambar 3. Contoh posisi pada partial hanging


3. Berbaring, posisi penggantungan seperti ini biasanya dilakukan di
bawah tempat tidur.

Gambar 4. Contoh posisi gantung diri berbaring

Selain berdasarkan posisi, penggantungan (hanging) juga dapat


dikelompokkan berdasarkan letak jeratan, yaitu typical hanging dan atypical
hanging.
1. Typical hanging, yaitu bila titik penggantungan ditemukan di daerah
oksipital dan tekanan pada arteri karotis paling besar.
2. Atypical hanging, yaitu bila titik penggantungan terletak di samping,
sehingga leher sangat miring (fleksilateral), yang mengakibatkan
hambatan pada arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat arteri
terhambat, korban segera tidak sadar.

F. Aspek Medikolegal
Saat ini masih terdapat stigma dalam masyarakat bahwa kasus hanging lebih
menunjukkan kasus bunuh diri. Penyidik lebih cenderung yakin terhadap kasus bunuh
diri, terlebih lagi apabila peyidik tidak sadar terhadap tanda-tanda yang membedakan
antara hanging bunuh diri dengan hanging pada kasus pembunuhan. Dalam hal ini,
dokter dapat membantu menjelaskan kepada penyidik mengenai tanda-tanda post-
mortem tersebut dan membantu memberikan suatu kesimpulan (Saukko, 2004).
Perbuatan bunuh diri dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dan
dari remaja hingga orang tua. Pemeriksaan TKP penting untuk menjelaskan luka di
tubuh korban. Pembunuhan dengan cara hanging jarang terjadi, kecuali pada orang
yang tidak berdaya atau dilemahkan terlebih dahulu dengan kekerasan atau racun.
Tidak jarang korban yang telah mati digantung untuk menghilangkan jejak
pembunuhan (Amir, 2013).
Beberapa faktor di bawah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan:
a. Penggantungan biasanya merupakan tindakan bunuh diri, kecuali
dibuktikan lain.
b. Cara terjadinya penggantungan
c. Bukti-bukti tidak langsung di sekitar tempat kejadian
d. Tanda berupa jejas penjeratan
e. Tanda-tanda kekerasan atau perlawanan

G. Jenis Hanging
1. Accidental Hanging
Penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu melampiaskan nafsu
seksual yang menyimpang ( Auto – erotic Hanging ). Auto-erotic hanging atau sexual
asphyxia adalah salah satu bentuk dari accidental hanging. Disebutkan bahwa
penjeratan pada leher dapat meningkatkan rangsangan seksual. Korbannya yang
paling banyak adalah pria. Beberapa bahan lunak seperti handuk atau kabel
digunakan oleh korban dan kekuatan jeratannya ditingkatkan dengan tangan atau
digerakkan dengan kaki. Korbannya biasanya ditemukan dalam keadaaan telanjang
dengan gambar atau benda berisi hal-hal porno di sekitarnya. Jika korban telah
meminum alkohol, proses asfiksia menjadi lebih cepat terjadi. Terkadang, korban
tidak dapat melepaskan atau menurunkan kekuatan jeratan tepat pada waktunya dan
mungkin mati. Di dalam semua kasus seperti ini, pemeriksaan tempat kejadian di
sekitar korban sangat berguna (Bryan, 2005; Sharma, 2005).
2. Homicidial Hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korbannya relatif jarang dijumpai,
cara ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak – anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah, baik lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah pengaruh
obat bius, alkohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara
penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku (Bryan, 2005).

3. Judicial Hanging
Judicial hanging telah dilakukan sejak zaman dahulu sebagai bentuk
penghukuman. Pada judicial hanging, kematian berlangsung sangat cepat karena
fraktur di vertebra servikalis yang mengakibatkan perdarahan di medulla oblongata.
Sering didapati jantung masih berdenyut untuk beberapa saat kemudian. Bila
kematian karena penutupan arteri juga berlangsung cepat karena iskemik otak,
sedangkan kematian berlangsung lebih lambat pada penyumbatan vena. Bila yang
terobstruksi adalah saluran pernapasan, maka kematian dapat berlangsung di bawah 5
menit (Amir, 2013).

H. Gambaran Post-Mortem Korban Penggantungan


Ada beberapa hal yang dapat kita jumpai pada pemeriksaan luar dan dalam
pada korban penggantungan. Ada 5 bagian tubuh korban yang kita perhatikan
saat melakukan pemeriksaan luar dan dalam, yaitu:
1. Kepala.
2. Leher.
3. Anggota gerak (lengan dan tungkai).
4. Dubur.
5. Alat kelamin.
Ada 4 bagian kepala korban yang kita perhatikan saat melakukan pemeriksaan
luar autopsi, yaitu:
1. Muka.
2. Mata.
3. Konjungtiva.
4. Lidah.

Gambaran yang ditemukan pada korban berdasarkan alat penggantung:


1. Penampang kecil (tali)
Muka korban penggantungan (hanging) akan mengalami
sianosis dan terlihat pucat karena vena terjepit. Pucat yang tampak
pada wajah korban disebabkan tekanan alat penggantung tidak hanya
menyebabkan terjepitnya vena, tetapi tekanan penggantung juga
menyebabkan terjepitnya arteri.
2. Penampang lebar (sarung, sprei)
Mata korban penggantungan (hanging) melotot akibat
terjadinya bendungan pada kepala korban.wajah korban tampak
kongesti. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya vena-vena kepala
tetapi arteri kepala tidak terhambat.

Hasil Pemeriksaan Luar dan Pemeriksaan Dalam Korban


Penggantungan
Pemeriksaan Luar
1) Tanda penjeratan pada leher. Alur jeratan pada leher korban
penggantungan (hanging) berbentuk lingkaran (V shape). Alur jerat
berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Alur jeratan pucat.
2. Tepi alur jerat coklat kemerahan.
3. Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan
(hanging) menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher
korban. Alur jeratan yang asimetris / atipikal menunjukkan letak
simpul disamping leher.
Gambar 5. Gambaran post-mortem pada leher korban hanging

Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter, dan keadaannya


bergantung kepada beberapa kondisi:
 Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan
kecil dibandingkan jika menggunakan tali yang besar.
 Bentuk jeratannya berjalan miring (oblik) pada bagian depan
leher, dimulai pada leher bagian atas di antara kartilago tiroid
dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang
bawah menuju belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas
pada bagian belakang.
 Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit
tampak kering, keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa
seperti perabaan kertas perkamen, disebut tanda
parchmentisasi.
 Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit di
bagian bawah telinga, tampak daerah segitiga pada kulit di
bawah telinga.
 Pinggirannya berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda
abrasi di sekitarnya.
 Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2
buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa
tali dijeratkan ke leher sebanyak 2 kali.

Deskripsi leher korban penggantungan (hanging) yang penting kita


berikan antara lain:
- Lokasi luka
Lokasi luka pada leher korban penggantungan (hanging) dapat
berada di depan, samping dan belakang leher. Luka yang
berada di depan leher kita ukur dari dagu atau manubrium
sterni korban. Luka yang berada di samping leher kita ukur
dari garis batas rambut korban. Luka yang berada di belakang
leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban.
- Jenis luka
Jenis luka korban penggantungan (hanging) terdiri atas luka
lecet, luka tekan dan luka memar. Penting juga kita
mendeskripsikan mengenai warna, lebar, perabaan dan keadaan
sekitar luka. Anggota gerak korban penggantungan (hanging)
dapat kita temukan adanya lebam mayat pada ujung bawah
lengan dan tungkai.
- Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher).
- Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati).

2) Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh


tergantung
3) Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang
4) Tanda-tanda asfiksia. Mata menonjol keluar, perdarahan berupa
petekia tampak pada wajah dan subkonjungtiva. Bintik-bintik
perdarahan pada konjungtiva korban penggantungan (hanging) terjadi
akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah karena asfiksia.

Gambar 6. Petechie pada mata sebagai tanda asfiksia pd kasus


gantung diri

Lidah menjulur menunjukkan adanya penekanan pada bagian leher.


Lidah korban penggantungan (hanging) bisa terjulur, bisa juga tidak
terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada
pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada
diatas kartilago tiroidea.
5) Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan
tempat simpultali. Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan
ante-mortem
6) Lebam mayat paling sering terlihat pada tungkai
7) Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam
8) Urin dan feses bisa keluar. Pengeluaran urin pada korban
penggantungan disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi
atau puncak asfiksia.

Pemeriksaan Dalam
1) Kepala korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan tanda-
tanda bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis
dan medulla oblongata.
2) Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan
perabaan seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika
mayat tergantung cukup lama.Pada jaringan di bawahnya mungkin
tidak terdapat cedera lainnya.
3) Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus
penggantungan yang disertai dengan tindakan kekerasan.
4) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding
pembuluh darah.
5) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung
yang panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang
vertebra. Adanya efusi darah di sekitar fraktur menunjukkan bahwa
penggantungannya ante-mortem.
6) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi.
7) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering
terjadi pada korban hukuman gantung

Gambar 7. Kiri: Fraktur melintang pada prosesus servikalia ke lima-enam (C5-6)


(panah lurus penuh), fraktur pada tepi depan C6 (panah melengkung) dan perluasan
persendian antara tulang C5 dan C6 (panah kosong). Kanan: patah tulang krikoid
8) Dada dan perut korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan
adanya perdarahan (pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan
bendungan / kongesti organ.
9) Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih
gelap dan konsistensinya lebih cair.

a. Perbedaan Antara Penggantungan Ante-Mortem dan Penggantungan


Post-Mortem
Perbedaan antara penggantungan ante-mortem dan penggantungan post-
mortem dapat dilihat pada tabel.1 di bawah ini.

No Penggantungan Ante-Mortem Penggantungan Post-Mortem

1. Tanda-tanda penggantungan Tanda-tanda post-mortem


antemortem bervariasi. Tergantung dari menunjukkan kematian yang bukan
cara kematian disebabkan penggantungan

2. Tanda jejas jeratan miring, berupa Tanda jejas jeratan biasanya


lingkaran terputus (non-continuous) dan berbentuk lingkaran utuh
letaknya pada leher bagian atas (continuous), agak sirkuler dan
letaknya pada bagian leher
tidak begitu tinggi

3. Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali biasanya lebih dari satu,
pada sisi leher diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada bagian depan leher

4. Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis pada salah satu sisi jejas
sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
tampak di atas jejas jerat danpada Lebam mayat terdapat pada bagian
tungkai bawah tubuh yang menggantung sesuai
dengan posisi mayat setelah
meninggal
5. Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau
teraba seperti perabaan kertas tidak begitu jelas
perkamen, yaitu tanda parchmentisasi

6. Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan Sianosis pada bagian wajah, bibir,
lain-lain sangat jelas terlihat terutama telinga dan lain-lain tergantung dari
jika kematian karena asfiksia penyebab kematian

7. Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata


mengalami kongesti dan agak menonjol, tidak terdapat, kecuali jika penyebab
disertai dengan gambaran pembuluh kematian adalah  pencekikan
dara vena yang jelas pada bagian dahi (strangulasi)  atau sufokasi

8. Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada
sekali kasus kematian akibat pencekikan

9. Penis. Ereksi penis disertai dengan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
keluarnya cairan sperma sering terjadi tidak ada. Pengeluaran feses juga
pada korban pria. Demikian juga sering tidak ada
ditemukan keluarnya feses

10. Air liur. Ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan menetes
mulut, dengan arah yang vertikal pada kasus selain kasus
menuju dada. Hal ini merupakan penggantungan
pertanda pasti penggantungan ante-
mortem

b. Perbedaan Penggantungan pada Gantung Diri dan Penggantungan pada


Pembunuhan
Perbedaan gantung diri dan penggantungan pada pembunuhan dapat dilihat
pada table.2 di bawah ini.

No Gantung Diri Penggantungan pada Pembunuhan


1. Usia. Gantung diri lebih sering Tidak mengenal batas usia, karena
terjadi pada remaja dan orang tindakan pembunuhan dilakukan oleh
dewasa.Anak-anak di bawah usia musuh atau lawan dari korban dan
10 tahun atau orang dewasa di atas tidak bergantung pada usia
usia 50 tahun jarang melakukan
gantung diri

2. Tanda jejas jeratan, bentuknya Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran


miring, berupa lingkaran terputus tidak terputus, mendatar, dan
(non-continuous) dan terletak pada letaknya di bagian tengah leher,
bagian atas leher. karena usaha pelaku pembunuhan
untuk membuat simpul tali

3. Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu
simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul
samping leher tali tersebut terikat kuat

4. Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai


mempunyai riwayat untuk riwayat untuk bunuh diri
mencoba bunuh diri dengan cara
lain

5. Cedera. Luka-luka pada tubuh Cedera berupa luka-luka pada tubuh


korbanyang bisa menyebabkan korban biasanya mengarah kepada
kematianmendadak tidak pembunuhan
ditemukan pada kasusbunuh diri

6. Racun. Ditemukannya racun Terdapatnya racun berupa asam


dalam lambung korban, misalnya opium hidrosianat atau kalium
arsen,sublimat korosif dan lain- sianida tidak sesuai pada kasus
lain tidak bertentangan dengan pembunuhan, karena untuk hal ini
kasus gantung diri. Rasa nyeri perlu waktu dan kemauan dari korban
yang disebabkan racun tersebut itu sendiri. Dengan demikian maka
mungkin mendorong korban untuk kasus penggantungan tersebut adalah
melakukan gantung diri karena bunuh diri

7. Tangan tidak dalam keadaan Tangan yang dalam keadaan terikat


terikat karena sulit untuk gantung mengarahkan dugaan pada kasus
diri dalamkeadaan tangan terikat pembunuhan

8. Kemudahan. Pada kasus bunuh Pada kasus pembunuhan mayat


diri mayat biasanya ditemukan ditemukan tergantung pada tempat
tergantung pada tempat yang yang sulit dicapai oleh korban dan
mudah dicapai oleh korban atau di alat yang digunakan untuk mencapai
sekitarnya ditemukan alat yang tempat tersebut tidak ditemukan
digunakan untuk mencapai tempat
tersebut

9. Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya


berlangsung di dalam kamar, pada ruangan ditemukan terkunci dari
dimana pintu, jendela ditemukan luar, maka penggantungan adalah
dalam keadaan tertutup dan kasus pembunuhan
terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh
diri

10 Tanda-tanda perlawanan, Tanda-tanda perlawanan hampir


. tidak ditemukan pada kasus selalu ada kecuali jika korban sedang
gantung diri tidur, tidak sadar atau masih anak-
anak
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada jurnal penelitian ini didapatkan bahwa kematian dari 73 kasus kematian akibat asfiksia, 58
kasus diantaranya merupakan kematian akibat gantung diri. Gantung diri sendiri merupakan
salah satu cara untuk mengakhiri hidup baik untuk keperluan hukum, pembunuhan ataupun
bunuh diri. Namun, pada penelitian ini didapatkan semua kasus gantung diri (hanging) karena
bunuh diri.

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa kasus bunuh diri terjadi paling banyak pada laki-laki
dengan rasio 2 : 1 dibandingkan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan gantung diri sedangkan perempuan lebih
memilih bunuh diri dengan meminum racun (Ritonga et al,2012).

Kelebihan dari jurnal penelitian :

 Menyajikan banyak data dan menggambarkan persentase tertinggi dari setiap variable
 Membahas dengan singkat, jelas dan padat dan mudah dimengerti walaupun variabel
penelitian dinilai dari multifaktor namun, disajikan dalam bentuk tabel sehingga pembaca
mudah menerima informasi.

Kekurangan dari jurnal penelitian :

 Jumlah sampel sedikit yaitu hanya 3.86% dari total kasus otopsi yang dilakukan pada
tahun 2010 – 2012
 Dengan didapatkannya data kematian karena asfiksia, penelitian tidak membandingkan
perbedaan tanda post mortem yang didapatkan pada asfiksia hanging dengan asfiksia
karena sebab lain (tenggelam dan lain-lain)
 Penelitian tidak menilai dan menggambarkan aspek medikolegal kasus hanging seperti
pada suicide hanging, homicidal hanging dan accidental hanging
 Penelitian tidak menilai perbedaan ante mortem dan post mortem kasus hanging
 Variabel yang didapatkan beragam dan multifaktor namun, penelitian dilakukan hanya
menggambarkan dengan menggunakan deskriptif cross sectional, tidak menghubungkan
keterkaitan antarvariabel

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan Journal reading yang dilakukan, dapat diketahui bahwa kejadian kematian asfiksia
akibat penyempitan leher lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dan
paling banyak terjadi pada kasus kematian menggantung dan lebih banyak pada kasus dewasa
muda (20-29 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian Dr. SH Bosle yang pada jurnalnya
dikatakan pada kasus kematian gantung paling banyak pada pria dan rentang usia 21-30 tahun.
Simpul dari bahan pengikat sebagian berada di sisi kanan atau kiri dibandingkan dengan depan
dan belakang leher. Sebagian besar adalah tipe menggantung komplit. Tanda pengikat hadir
dalam semua kasus gantung dan SL, dan dalam banyak kasus, berada di setingkat tulang rawan
tiroid diikuti di atas kartilago tiroid, dimana juga sesuai dengan penelitian Dr. SH Bosle yang
menyatakan 70% pada kematian gantung ditemukan tanda bekas penggantungan di atas kartilago
tiroid. Perdarahan otot hadir dalam semua kasus SM dan dalam beberapa kasus gantung.
Perubahan struktur internal dari leher ada dalam beberapa kasus saja. patah tulang hyoid lebih
umum dibandingkan dengan fraktur tulang rawan tiroid dan lebih sering terlihat pada laki-laki
sedangkan fraktur tulang rawan tiroid lebih umum pada wanita. Terjadinya patah tulang dari
kedua tulang secara bersamaan memiliki prevalensi yang sama sama di kedua jenis kelamin.
Gabungan fraktur dari kedua tulang meningkat dengan bertambahnya usia dan penurunan di
kelompok usia yang lebih rendah. Patah tulang hyoid terlihat terutama pada kasus SM dan sangat
langka pada kasus gantung, .
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu tardieu’s spot, kongesti dan
oedema, serta sianosis. Gambaran umum postmortem akibat asfiksia terdiri dari
pemeriksaan luar dan dalam. Berdasarkan pemeriksaan luar terdapat adanya sianosis pada
bibir, ujung jari, dan kuku, pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi
jantung kanan, warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat, busa
halus pada hidung dan mulut, kapiler yang lebih mudah pecah, serta gambaran
pembendungan pada mata. Pada pemeriksaan dalam didapatkan darah berwarna lebih
gelap dan lebih encer, busa halus di dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi
pada seluruh organ, petekie, edema paru, serta kelainan-kelainan yang berhubungan
dengan kekerasan.
Dalam kasus gantung, pemeriksaan postmortem juga terdiri atas pemeriksaan luar
dan dalam. Pada pemeriksaan luar didapatkan Tanda penjeratan pada leher, kedalaman
dari bekas penjeratan, ukuran leher, tanda-tanda asfiksia, air liur, lebam mayat paling
sering terlihat pada tungkai, posisi tangan, urin dan feses bisa keluar. Pada pemerikaan
dalam didapatkan tanda-tanda bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla
spinalis dan medulla oblongata, Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih,
berkilat dan perabaan seperti perkamen, platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin
memar atau ruptur, lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur, fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas, adanya perdarahan
dan bendungan / kongesti organ pada dada dan perut, darah dalam warnanya lebih gelap
dan konsistensinya lebih cair.
DAFTAR PUSTAKA

1. Indra et al. 2012. Gambaran Tanda Kardinal Asfiksia Pada Kasus Kematian Gantung Diri di
Departemen Forensik RSU Dr. Muhammad Hoesin Palembang Periode Tahun 2011-2012. Syifa
medika. Palembang
2. Noharakrizo. 2011. Makalah Hanging.
3. Felisiani T. 2012. Laporan Wartawan Tribunnews.com.: Gantung diri jadi trend 2009 hingga awal
2012.
4. Amir, A. 2008. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik (edisi ke-2). Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia. Hal. 120-133.
5. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik: “Kematian
Akibat Asfiksia Mekanik”. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Hal.
55-64.
6. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
7. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang: 2000.
8. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
9. Aflanie I, Abdi M, Setiawan R, Muna. Roman’s Forensic 25th Ed. Banjarmasin:
Departemen Kedokteran Kehakiman FK UNLAM-RSUD Ulin. 2011
10. Chaudhary et al 2008. ‘Sucidal hanging versus homicidal hanging- A case report’. Indian
Journal of Forensic Medicine and Toxicology. Vol 2, No. 2(200807-2008-12). Diunduh
dari: http://www.indmedica.com/journals.php?
journalid=11&issueid=131&articleid=1738&action=article
11. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Online. 2016. Diunduh dari:
https://emedicine.medscape.com/article/826704-overview
12. Monticelli FC et al 2015. ‘Homicide by hanging: A case report and its forensic-medical
aspects’. Journal of Forensic and Legal Medicine, April 2015, pp 71-75
13. Rao D. Hanging. Forensic Pathology Online. Diunduh dari:
http://www.forensicpathologyonline.com/e-book/asphyxia/hanging

Anda mungkin juga menyukai