PENDAHULUAN
I.3 Tujuan
Tujuan penulisan jurnal reading ini adalah:
a.Sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase Forensik dan medikolegal di
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
b. Menjelaskan pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta memahami
gambaran post mortem pada berbagai kasus asfiksia.
I.4 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
wawasan kepada mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase forensik dan
medikolegal mengenai asfiksia yang meliputi: pengertian asfiksia, jenis-jenis
asfiksia serta gambaran post mortem pada berbagai kasus asfiksia.
BAB II
JURNAL
Abstrak
Pendahuluan : Kematian asfiksia sering terjadi dalam praktek forensik. Istilah
“asfiksia” umumnya berarti “kekurangan oksigen” dan secara harfiah berarti
“oksigenasi darah yang tidak tepat” karena sebab apapun.
Bahan dan metode : Penelitian dilakukan di Departemen Kedokteran Forensik,
Maulana Azad Medical College, New Delhi. Ini adalah penelitian deskriptif cross-
sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai dengan Maret
2012. Kasus kematian asfiksia yang datang untuk pemeriksaan postmortem
medikolegal.
Hasil : Dari 73 kasus kematian asfiksia, 58 kasus kematian asfiksia akibat penekanan
pada leher dianggap dan dipelajari untuk melihat berbagai perubahan dalam struktur
leher dalam kematian karena asfiksia. Penelitian ini meliputi 89,65% dari kasus
gantung, 8,62% kasus pencekikan, dan 1,72% dari kasus pencekikan ligatur dari kedua
jenis kelamin antara 0 dan 79 tahun kelompok usia.
Kesimpulan : Insiden kematian asfiksia akibat penyempitan leher lebih tinggi terjadi
pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan dalam kasus ini; modus kematian
yaitu dengan menggantung diri. Angka-angka tertinggi pada kasus terlihat pada orang
dewasa muda (20-29 tahun). Dalam sebagian besar kasus, kain digunakan sebagai
bahan pengikat. Simpul dari bahan pengikat sebagian besar baik di sisi kanan atau kiri
samping dibandingkan dengan depan dan belakang leher. Posisi khas simpul ditemukan
dalam beberapa kasus. Dalam kebanyakan kasus adalah kasus gantung komplit.
PENDAHULUAN
Kematian yang disebabkan larena asfiksia sering terjadi dalam praktek
forensik. Istilah “asfiksia” umumnya berarti “kekurangan oksigen” dan secara harfiah
berarti 'oksigenasi darah yang tidak tepat’ karena sebab apapun. Namun, istilah ini
telah diterjemahkan dari bahasa Yunani asli, menyiratkan “pulselessness / tidak
adanya pulsasi”. Adelson didefinisikan “asfiksia” sebagai keadaan fisiologis dan
kimia dalam organisme hidup yang kurangnya ketersediaan oksigen yang
berlangsung akut untuk metabolisme sel yang dikaitkan dengan ketidakmampuan
untuk menghilangkan kelebihan CO2.
Umumnya istilah “anoksia” menyiratkan “ketiadaan oksigen”. Namun,
Bacroft 3 menggunakan istilah ini dibagi kondisi menjadi tiga kelompok: (1) Anoxic
anoksia - yang berarti pencegahan oksigen untuk mencapai paru-paru, (2) anemia
anoksia - yang berarti ketidakmampuan darah untuk membawa oksigen yang cukup
ke jaringan karena kandungan hemoglobin rendah, dan (3) stagnan anoksia - yang
berarti kurangnya transportasi darah yang membawa oksigen ke jaringan karena
sirkulasi terganggu. Kemudian, Peters dan Van Slyke pada tahun 1931 menambahkan
kelompok keempat untuk itu disebut anoksia histotoksik - dimana, meskipun tersedia
secara bebas dalam aliran darah, oksigen tidak dapat dimanfaatkan oleh jaringan.
Meskipun banyak proses penyakit alami mungkin melibatkan penyerapan tidak
memadai dan / atau pengiriman oksigen (misalnya penyakit paru obstruktif kronik),
istilah “asfiksia” umumnya dicadangkan untuk kondisi yang berkaitan dengan
atmosfer abnormal dan efek mekanik dan kimia langsung mengarah ke kelainan
tersebut. Penentuan jenis tertentu asfiksia operatif Dalam kasus tertentu, penyebab
kematian, dan cara kematian tergantung pada munculnya informasi selama
penyelidikan medikolegal kematian - yaitu, sejarah (keadaan), penyelidikan adegan,
dan pemeriksaan postmortem (termasuk studi radiografi dan laboratorium pendukung
yang sesuai).
Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai istilah “asfiksia” dalam literatur
medis, itu secara luas digunakan untuk tujuan medikolegal dan dikategorikan sebagai
asfiksia mekanik dan non-mekanis1-15. Pada asfiksia mekanik,1 aliran udara ke dalam
tubuh terganggu melalui beberapa hambatan fisik seperti (1) tekanan pada eksterior
leher, misalnya, tergantung dan pencekikan, (2) obstruksi saluran udara dari luar,
misalnya, mati lemas dan tercekik, (3) obstruksi saluran udara dari interior, misalnya
tersedak, tersedak, (4) tekanan pada dada, misalnya, asfiksia traumatik, dan (5)
kematian perendaman, misalnya, tenggelam. Sedangkan pada asfiksia non-mekanik,1
hambatan fisiologis menyebabkan terganggunya oksigen oleh penipisan dan
penggantian dengan gas lain atau oleh gangguan kimia dengan penyerapan dan
pemanfaatan oleh tubuh sendiri atau di mana ada cukup oksigen di atmosfer itu
sendiri, misalnya keracunan CO dan keracunan CN.
Saat ini, asfiksia istilah telah digunakan untuk menunjukkan kematian atau
cedera berat yang memiliki risiko tinggi menyebabkan kematian karena hipoksia
serebral mekanis yang disebabkan dan disertai dengan tanda-tanda aliran balik vena
terhambat. Derajat yang sama pada hipoksemia dari setiap organ / jaringan dapat
terjadi oleh karena gangguan suplai darah atau dengan menghalangi drainasenya.
Tekanan pada leher dapat mempengaruhi otak dengan dua cara atau dua arah pada
saat yang sama, menghasilkan Infark (iskemik atau hyperemic).16-30
Kematian asfiksia dapat disebabkan oleh salah satu dari metode di atas secara
individu maupun dalam kombinasi dengan satu sama lain. Sebuah studi kasus dari
Rumania menunjukkan bahwa korban dibunuh oleh tiga mekanisme yang berbeda
dari asfiksia: dibekap dengan tangan, pengguna pencekikan (Strangulasi Manual)
dengan sisi lain, dan asfiksia traumatik oleh kompresi dada dengan lutut. bentuk yang
tidak biasa dari kematian asfiksia tertentu seperti autoerotic, posisi, dan memegang
leher juga telah dilaporkan.
Kriteria inklusi
Kematian asfiksia (gantung dan pencekikan) ditujukan untuk aspek medikolegal
pada pemeriksaan postmortem.
Kriteria eksklusi
Tubuh membusuk.
Kasus asfiksia akibat tenggelam, mati lemas.
Metode
Pemeriksaan umum yang cermat dilakukan dengan referensi khusus untuk
leher dan semua karakteristik dicatat. Ketika ligatur muncul di sekitar leher
dilepaskan dengan mencegah jerat. Tengkorak dan dada dibuka dan isinya dibawa
keluar untuk mengalirkan darah dari leher sehingga struktur leher bisa diperiksa di
bidang yang relatif tak berdarah sehingga menghindari perdarahan artifactual. Kami
menempatkan sayatan berbentuk Y yang diizinkan pemeriksaan menyeluruh dimulai
dari pemeriksaan anterior dari organ leher bagian anterior.
Kulit dan jaringan superfisial leher tercermin untuk mengekspos struktur
dasar dari kulit dengan mencabut dan meregangkan pada garis potongan kulit
menggunakan jari atau forsep non-bergigi dan membuat irisan horisontal lembut di
sepanjang bidang jaringan dermosubcutaneous. Kemudian, leher dibedah lapis demi
lapis.
HASIL
Penelitian dilakukan di Departemen Kedokteran Forensik, Maulana Azad
Medical College. Sebanyak 1.889 otopsi medikolegal dilakukan selama periode
(September 2010 sampai Maret 2012) studi, yang 73 (3,86%) kasus kematian asfiksia
dicatat. Dari ini 73 kasus kematian asfiksia, 58 kasus kematian asfiksia akibat
penyempitan leher dianggap dan dipelajari untuk melihat berbagai perubahan dalam
struktur leher kematian karena asfiksia. Penelitian ini meliputi 89,65% dari kasus
gantung, 8,62% dari kasus manual strangulasi (MS), tenggelam 20.54% dan 1,72%
dari kasus pencekikan ligasi (SL) dari kedua jenis kelamin antara 0 dan 79 tahun
kelompok usia. Rasio antara laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1 dengan kelompok
usia 20-29 tahun. Alat yang digunakan yaitu kain dengan jumlah kasus 28, diikuti
dengan tali 19 kasus dan bahan lain berjumlah 4 kasus. Pada pengikat didapatkan
paling banyak yaitu pada sisi kanan leher dengan persentase 43.39%. sedangkan jenis
gantung terbanyak yaitu pada atipikal sebesar 88.46%. Tanda jaringan parut
ditemukan paling banyak pada tingkat di atas tulang rawan tiroid di 26 kasus (50%).
Sebagian kasus merupakan kasus gantung komplit sebesar 98.07%, tanda jaringan
parut ada dalam semua kasus. Noda air liur didapatkan pada 25 kasus (48.07%) dan
<50% kasus ditemukan adanya hiperemis pada wajah. Tanda perdarahan atau ptekie
ditemukan pada 32 kasus (61.53%). Tidak didapatkan adanya fraktur pada
kartilahkrikoid namun ditemukan adanya keretakan pada kompleks laringoid sebesar
15.51% dari 58 kasus. Pada kasus gantung didapatkan adanya fraktur tulang hyoid
sebanyak 5 kasus; fraktur tulang rawan tiroid sebanyak 4 kasus; dengan kelompok
usia dewasa muda pada laki-laki sedangkan pada wanita pada usia paruh baya. Pada
ksus pencekikan didapatkan adanya fraktur tulang hyoid pada semua kasus. Terdapat
fraktur tulang besar kornu pada sisi kanan dan kiri pada 2 kasus. Ditemukan adanya
fraktur tulang rawan tiroid pada semua kasus. Lokasi fraktur pada tulang rawan tiroid
paling banyak pada bagian ujung atas (laring prominen), lalu pada garis tengan dan
ujung bawah tulang rawan tiroid. Terdapat adanya air mata intima pada 30% kasus,
terletak di kedua arteri carotid internal. Tidak ditemukan adanya cedera pada kelenjar
getah bening, kelenjar submandilbular, kelenjar tiroid dan paratiroid dan tidak ada
teuan yang spesifik yang tercatat dalam vena jugularis (internal dan eksternal), vagus,
dan saraf frenikus.
DISKUSI
Kematian asfiksia akibat penyempitan leher yang seing terjadi di semua
bagian dunia. Dalam penelitian kami, kematian asfiksia berkontribusi 3,86%
kematian antara September 2010 dan Maret 2012. kematian asfiksia akibat gantung
yang paling umum dan terlihat dalam 52 kasus (71,23%) diikuti oleh tenggelam
dalam 15 kasus (20,54%), SM dalam 5 ( 6.84%) kasus, dan SL dalam 1 (1,36%)
kasus. Insiden gantung adalah yang tertinggi (71,23%) di antara jenis lain asfiksia.
Menurut Sharma et al., 18 5% dari kasus berkontribusi kematian asfiksia, Gantung
adalah modus yang paling umum diamati pada 66 (69%) kasus, diikuti oleh
tenggelam dalam 10 (11%). Dalam studi retrospektif Amandeep, dari jumlah total
otopsi yang dilakukan selama periode 4 tahun, yaitu, 2000-2003, 111 (5,26%) kasus
adalah karena asfiksia, dari yang tenggelam ditemukan paling umum, yaitu, 66 kasus
(59,4% ), diikuti dengan menggantung 27 (24,3%), trauma asfiksia 7 (6,3%) kasus,
pencekikan 6 (5,4%) kasus, dan throttling 5 (4,5%) kasus. Insiden tenggelam adalah
tertinggi di antara kematian asfiksia, sehingga penelitian ini tidak sesuai dengan studi
kami dan itu mungkin karena variasi geografis dan keberadaan sumber air mudah
diakses di daerah itu.
Semua kasus tergantung dalam penelitian ini adalah bunuh diri, dan semua
kasus pencekikan yang membunuh di alam. Temuan ini bertepatan dengan temuan
penulis yang paling lain menggantung hampir selalu bunuh diri kecuali terbukti
sebaliknya dan pencekikan sebagian besar pembunuh. Hanging adalah metode
terkemuka bunuh diri di Jerman dan Jepang, dan itu adalah metode bunuh diri kedua
terkemuka setelah intoksikasi di India dan Amerika Serikat. 26 Rentang usia korban
dalam penelitian ini adalah antara bayi yang baru lahir hingga 70 tahun. jumlah
maksimum kasus (51%) terlihat pada kelompok usia 20-29 tahun diikuti oleh 30-39
tahun (15,51%) pada kedua jenis kelamin. Hal ini mirip dengan studi yang
dilaporkan oleh Amandeep di mana jumlah maksimum kasus terlihat pada kelompok
usia 21-25 tahun (29,62%) dan 16-20 tahun (29,62%) diikuti oleh 26-30 tahun
(18,51%).
Dalam studi ini, ada dominasi laki-laki dalam semua kasus asfiksia (65,51%)
dibandingkan dengan perempuan (32,75%). Rasio ini menjadi 2: 1. Hal ini mirip
dengan studi yang dilaporkan oleh berbagai penulis. dominasi laki-laki dalam kasus
gantung dapat dijelaskan oleh fakta bahwa itu bukan metode yang umum memilih
bunuh diri oleh perempuan dibandingkan dengan asupan racun dan pembakaran.
Angka ini berbeda dengan tingginya insiden tergantung pada wanita (40%)
melaporkan di Denmark oleh Simonsen.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini adalah bahwa di Delhi, kejadian kematian
asfiksia akibat penyempitan leher lebih pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan, dan dalam kebanyakan kasus, modus kematian menggantung. Sebuah
angka maksimum kasus terlihat pada orang dewasa muda (20-29 tahun). Sebuah
angka maksimum kasus terlihat pada bulan Maret. Dalam sebagian besar kasus, kain
lembut digunakan sebagai bahan pengikat. Simpul dari bahan pengikat sebagian besar
baik di sisi kanan atau kiri dibandingkan dengan depan dan belakang leher. Posisi
khas simpul ditemukan dalam beberapa kasus. Dalam jumlah maksimum kasus,
menggantung komplit. Tanda pengikat hadir dalam semua kasus gantung dan SL, dan
dalam kebanyakan kasus, itu pada tingkat tulang rawan tiroid diikuti oleh diatas
kartilago tiroid. Perdarahan otot hadir dalam semua kasus SM dan dalam beberapa
kasus menggantung. Perubahan struktur internal dari leher hadir dalam beberapa
kasus saja. patah tulang hyoid lebih umum dibandingkan dengan fraktur tulang rawan
tiroid dan lebih sering terlihat pada laki-laki sedangkan fraktur tulang rawan tiroid
lebih umum pada wanita. Terjadinya patah tulang dari kedua tulang secara bersamaan
memiliki prevalensi yang sama sama di kedua jenis kelamin. Gabungan fraktur dari
kedua tulang meningkat dengan bertambahnya usia dan penurunan di kelompok usia
yang lebih rendah. Patah tulang hyoid terlihat terutama pada kasus SM dan sangat
langka pada kasus gantung. Fraktur kartilago tiroid terlihat di ujung atas (laring
prominen) pada garis tengah. Air mata intima terlihat biasa dalam kasus SM dan
sangat langka di kasus gantung diri.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ASFIKSIA
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.
Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:Tidak ada atau
tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong
plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni
atau sufokasi. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas
seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan
sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup
tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas
macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan
hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik
yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
A. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia,
yaitu:
1. Strangulasi
2. Gantung (Hanging)
3. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
4. Pencekikan (Manual Strangulation)
5. Sufokasi
6. Pembengkapan (Smothering)
7. Tenggelam (Drowning)
8. Crush Asphyxia
9. Keracunan CO dan SN
B. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap
kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih
banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan
terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat
pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,
ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen
langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan
vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak
cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian
berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau
pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke
paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau
berdesakan (Traumatic asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada
pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa
bentuk keracunan.
Darah Urin, Feses,
menjadi Fibrinolisis Relaksasi Cairan
encer Sfingter Sperma
Keluar
ASFIKSIA
Ruptur Pembuluh
Kapiler
Tardieu’s spot
Bintik perdarahan pada
jantung
Tardieu’s spot pada mata
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena
fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh
sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada
pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus,
epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah
aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di
lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit
kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa
epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan
dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan,
seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung,
perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid
(pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
3.2 Gantung Diri
A. Jenis
Penggantungan dapat dikelompokkan berdasarkan posisi korban pada saat
gantung diri, yang terdiri dari :
1. Complete Hanging, yaitu posisi penggantungan dimana kedua kaki
tidak menyentuh lantai.
F. Aspek Medikolegal
Saat ini masih terdapat stigma dalam masyarakat bahwa kasus hanging lebih
menunjukkan kasus bunuh diri. Penyidik lebih cenderung yakin terhadap kasus bunuh
diri, terlebih lagi apabila peyidik tidak sadar terhadap tanda-tanda yang membedakan
antara hanging bunuh diri dengan hanging pada kasus pembunuhan. Dalam hal ini,
dokter dapat membantu menjelaskan kepada penyidik mengenai tanda-tanda post-
mortem tersebut dan membantu memberikan suatu kesimpulan (Saukko, 2004).
Perbuatan bunuh diri dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dan
dari remaja hingga orang tua. Pemeriksaan TKP penting untuk menjelaskan luka di
tubuh korban. Pembunuhan dengan cara hanging jarang terjadi, kecuali pada orang
yang tidak berdaya atau dilemahkan terlebih dahulu dengan kekerasan atau racun.
Tidak jarang korban yang telah mati digantung untuk menghilangkan jejak
pembunuhan (Amir, 2013).
Beberapa faktor di bawah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan:
a. Penggantungan biasanya merupakan tindakan bunuh diri, kecuali
dibuktikan lain.
b. Cara terjadinya penggantungan
c. Bukti-bukti tidak langsung di sekitar tempat kejadian
d. Tanda berupa jejas penjeratan
e. Tanda-tanda kekerasan atau perlawanan
G. Jenis Hanging
1. Accidental Hanging
Penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu melampiaskan nafsu
seksual yang menyimpang ( Auto – erotic Hanging ). Auto-erotic hanging atau sexual
asphyxia adalah salah satu bentuk dari accidental hanging. Disebutkan bahwa
penjeratan pada leher dapat meningkatkan rangsangan seksual. Korbannya yang
paling banyak adalah pria. Beberapa bahan lunak seperti handuk atau kabel
digunakan oleh korban dan kekuatan jeratannya ditingkatkan dengan tangan atau
digerakkan dengan kaki. Korbannya biasanya ditemukan dalam keadaaan telanjang
dengan gambar atau benda berisi hal-hal porno di sekitarnya. Jika korban telah
meminum alkohol, proses asfiksia menjadi lebih cepat terjadi. Terkadang, korban
tidak dapat melepaskan atau menurunkan kekuatan jeratan tepat pada waktunya dan
mungkin mati. Di dalam semua kasus seperti ini, pemeriksaan tempat kejadian di
sekitar korban sangat berguna (Bryan, 2005; Sharma, 2005).
2. Homicidial Hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korbannya relatif jarang dijumpai,
cara ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak – anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah, baik lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah pengaruh
obat bius, alkohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara
penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku (Bryan, 2005).
3. Judicial Hanging
Judicial hanging telah dilakukan sejak zaman dahulu sebagai bentuk
penghukuman. Pada judicial hanging, kematian berlangsung sangat cepat karena
fraktur di vertebra servikalis yang mengakibatkan perdarahan di medulla oblongata.
Sering didapati jantung masih berdenyut untuk beberapa saat kemudian. Bila
kematian karena penutupan arteri juga berlangsung cepat karena iskemik otak,
sedangkan kematian berlangsung lebih lambat pada penyumbatan vena. Bila yang
terobstruksi adalah saluran pernapasan, maka kematian dapat berlangsung di bawah 5
menit (Amir, 2013).
Pemeriksaan Dalam
1) Kepala korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan tanda-
tanda bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis
dan medulla oblongata.
2) Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan
perabaan seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika
mayat tergantung cukup lama.Pada jaringan di bawahnya mungkin
tidak terdapat cedera lainnya.
3) Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus
penggantungan yang disertai dengan tindakan kekerasan.
4) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding
pembuluh darah.
5) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung
yang panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang
vertebra. Adanya efusi darah di sekitar fraktur menunjukkan bahwa
penggantungannya ante-mortem.
6) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi.
7) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering
terjadi pada korban hukuman gantung
3. Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali biasanya lebih dari satu,
pada sisi leher diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada bagian depan leher
4. Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis pada salah satu sisi jejas
sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
tampak di atas jejas jerat danpada Lebam mayat terdapat pada bagian
tungkai bawah tubuh yang menggantung sesuai
dengan posisi mayat setelah
meninggal
5. Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau
teraba seperti perabaan kertas tidak begitu jelas
perkamen, yaitu tanda parchmentisasi
6. Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan Sianosis pada bagian wajah, bibir,
lain-lain sangat jelas terlihat terutama telinga dan lain-lain tergantung dari
jika kematian karena asfiksia penyebab kematian
8. Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada
sekali kasus kematian akibat pencekikan
9. Penis. Ereksi penis disertai dengan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
keluarnya cairan sperma sering terjadi tidak ada. Pengeluaran feses juga
pada korban pria. Demikian juga sering tidak ada
ditemukan keluarnya feses
10. Air liur. Ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan menetes
mulut, dengan arah yang vertikal pada kasus selain kasus
menuju dada. Hal ini merupakan penggantungan
pertanda pasti penggantungan ante-
mortem
3. Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu
simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul
samping leher tali tersebut terikat kuat
Pada jurnal penelitian ini didapatkan bahwa kematian dari 73 kasus kematian akibat asfiksia, 58
kasus diantaranya merupakan kematian akibat gantung diri. Gantung diri sendiri merupakan
salah satu cara untuk mengakhiri hidup baik untuk keperluan hukum, pembunuhan ataupun
bunuh diri. Namun, pada penelitian ini didapatkan semua kasus gantung diri (hanging) karena
bunuh diri.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa kasus bunuh diri terjadi paling banyak pada laki-laki
dengan rasio 2 : 1 dibandingkan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan gantung diri sedangkan perempuan lebih
memilih bunuh diri dengan meminum racun (Ritonga et al,2012).
Menyajikan banyak data dan menggambarkan persentase tertinggi dari setiap variable
Membahas dengan singkat, jelas dan padat dan mudah dimengerti walaupun variabel
penelitian dinilai dari multifaktor namun, disajikan dalam bentuk tabel sehingga pembaca
mudah menerima informasi.
Jumlah sampel sedikit yaitu hanya 3.86% dari total kasus otopsi yang dilakukan pada
tahun 2010 – 2012
Dengan didapatkannya data kematian karena asfiksia, penelitian tidak membandingkan
perbedaan tanda post mortem yang didapatkan pada asfiksia hanging dengan asfiksia
karena sebab lain (tenggelam dan lain-lain)
Penelitian tidak menilai dan menggambarkan aspek medikolegal kasus hanging seperti
pada suicide hanging, homicidal hanging dan accidental hanging
Penelitian tidak menilai perbedaan ante mortem dan post mortem kasus hanging
Variabel yang didapatkan beragam dan multifaktor namun, penelitian dilakukan hanya
menggambarkan dengan menggunakan deskriptif cross sectional, tidak menghubungkan
keterkaitan antarvariabel
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan Journal reading yang dilakukan, dapat diketahui bahwa kejadian kematian asfiksia
akibat penyempitan leher lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dan
paling banyak terjadi pada kasus kematian menggantung dan lebih banyak pada kasus dewasa
muda (20-29 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian Dr. SH Bosle yang pada jurnalnya
dikatakan pada kasus kematian gantung paling banyak pada pria dan rentang usia 21-30 tahun.
Simpul dari bahan pengikat sebagian berada di sisi kanan atau kiri dibandingkan dengan depan
dan belakang leher. Sebagian besar adalah tipe menggantung komplit. Tanda pengikat hadir
dalam semua kasus gantung dan SL, dan dalam banyak kasus, berada di setingkat tulang rawan
tiroid diikuti di atas kartilago tiroid, dimana juga sesuai dengan penelitian Dr. SH Bosle yang
menyatakan 70% pada kematian gantung ditemukan tanda bekas penggantungan di atas kartilago
tiroid. Perdarahan otot hadir dalam semua kasus SM dan dalam beberapa kasus gantung.
Perubahan struktur internal dari leher ada dalam beberapa kasus saja. patah tulang hyoid lebih
umum dibandingkan dengan fraktur tulang rawan tiroid dan lebih sering terlihat pada laki-laki
sedangkan fraktur tulang rawan tiroid lebih umum pada wanita. Terjadinya patah tulang dari
kedua tulang secara bersamaan memiliki prevalensi yang sama sama di kedua jenis kelamin.
Gabungan fraktur dari kedua tulang meningkat dengan bertambahnya usia dan penurunan di
kelompok usia yang lebih rendah. Patah tulang hyoid terlihat terutama pada kasus SM dan sangat
langka pada kasus gantung, .
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu tardieu’s spot, kongesti dan
oedema, serta sianosis. Gambaran umum postmortem akibat asfiksia terdiri dari
pemeriksaan luar dan dalam. Berdasarkan pemeriksaan luar terdapat adanya sianosis pada
bibir, ujung jari, dan kuku, pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi
jantung kanan, warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat, busa
halus pada hidung dan mulut, kapiler yang lebih mudah pecah, serta gambaran
pembendungan pada mata. Pada pemeriksaan dalam didapatkan darah berwarna lebih
gelap dan lebih encer, busa halus di dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi
pada seluruh organ, petekie, edema paru, serta kelainan-kelainan yang berhubungan
dengan kekerasan.
Dalam kasus gantung, pemeriksaan postmortem juga terdiri atas pemeriksaan luar
dan dalam. Pada pemeriksaan luar didapatkan Tanda penjeratan pada leher, kedalaman
dari bekas penjeratan, ukuran leher, tanda-tanda asfiksia, air liur, lebam mayat paling
sering terlihat pada tungkai, posisi tangan, urin dan feses bisa keluar. Pada pemerikaan
dalam didapatkan tanda-tanda bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla
spinalis dan medulla oblongata, Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih,
berkilat dan perabaan seperti perkamen, platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin
memar atau ruptur, lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur, fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas, adanya perdarahan
dan bendungan / kongesti organ pada dada dan perut, darah dalam warnanya lebih gelap
dan konsistensinya lebih cair.
DAFTAR PUSTAKA
1. Indra et al. 2012. Gambaran Tanda Kardinal Asfiksia Pada Kasus Kematian Gantung Diri di
Departemen Forensik RSU Dr. Muhammad Hoesin Palembang Periode Tahun 2011-2012. Syifa
medika. Palembang
2. Noharakrizo. 2011. Makalah Hanging.
3. Felisiani T. 2012. Laporan Wartawan Tribunnews.com.: Gantung diri jadi trend 2009 hingga awal
2012.
4. Amir, A. 2008. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik (edisi ke-2). Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia. Hal. 120-133.
5. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik: “Kematian
Akibat Asfiksia Mekanik”. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Hal.
55-64.
6. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
7. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang: 2000.
8. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
9. Aflanie I, Abdi M, Setiawan R, Muna. Roman’s Forensic 25th Ed. Banjarmasin:
Departemen Kedokteran Kehakiman FK UNLAM-RSUD Ulin. 2011
10. Chaudhary et al 2008. ‘Sucidal hanging versus homicidal hanging- A case report’. Indian
Journal of Forensic Medicine and Toxicology. Vol 2, No. 2(200807-2008-12). Diunduh
dari: http://www.indmedica.com/journals.php?
journalid=11&issueid=131&articleid=1738&action=article
11. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Online. 2016. Diunduh dari:
https://emedicine.medscape.com/article/826704-overview
12. Monticelli FC et al 2015. ‘Homicide by hanging: A case report and its forensic-medical
aspects’. Journal of Forensic and Legal Medicine, April 2015, pp 71-75
13. Rao D. Hanging. Forensic Pathology Online. Diunduh dari:
http://www.forensicpathologyonline.com/e-book/asphyxia/hanging