Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

CRUSH ASFIKSIA

Disusun Oleh:

MUHAMAD WILIANTO
1102014164

Pembimbing:
dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF, MH

Kepaniteraan Klinik Ilmu forensik


Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi 2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu
akan tejadi dengan mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat
dilihat setelah beberapa menit atau beberapa jam. Dalam kasus tertentu, salah satu
kewajiban dokter adalah membantu penyidik menegakan keadilan. Untuk itu dokter
sedapat mungkin membantu menentukan beberapa hal seperti saat kematian dan
penyebab kematian.
Saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-
tanda dan gejala setelah kematian sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa
hal diantarannya umur, kondisi fisik pasien, penyakit fisik sebelumnya maupun
penyebab kematian itu sendiri.
Salah satu penyebab kematian adalah terjadinya gangguan pertukaran udara
pernafasan yang mengakibatkan suplai oksigen berkurang. Hal ini sering dikenal
dengan istilah asfiksia, Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering
diperiksa oleh dokter, hal tersebut menempati urutan ketiga setelah kecelakaan lalu
lintas dan traumatik mekanik.
Pada berbagai kasus asfiksia, ditemukan tanda-tanda kematian yang berbeda.
Hal ini sangat tergantung dari penyebab kematian. Untuk itu kita perlu memahami
lebih lanjut tentang penyebab asfiksia tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

2
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia
sering disebut anoksia atau hipoksia.

Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron
yang memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan
bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:


a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya karbon
monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan seluler dengan
menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

FISIOLOGI ASFIKSIA

Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:


1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)

3
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya
kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi
sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O 2
oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada
sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.

4
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati
pada:
 Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
 Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
 Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
 Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

GEJALA KLINIS

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan
pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude
dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah
cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan
ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat
sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak,
akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.
3. Fase Apnea

5
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan
menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya
pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan
terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja
secara mendadak.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah
berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4 menit,
tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

TANDA KARDIAL (KLASIK) ASFIKSIA

6
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah
ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat
dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari
pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum.

Tardieu’s spot
Bintik perdarahan pada jantung
2. Kongesti dan Edema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan

7
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia

GAMBARAN UMUM POST MORTEM ASFIKSIA


a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.

8
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan
yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot.

b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

JENIS-JENIS ASFIKSIA

Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)
2. Sufokasi
3. Pembengkapan (Smothering)
4. Tenggelam (Drowning)

9
5. Crush Asphyxia (Asfiksia)
6. Keracunan CO dan SN

CRUSH ASPHYXIA (TRAUMATIK ASFIKSIA)


Crush Asphyxia disebabkan oleh karena dada dan perut mendapat tekanan secara
bersamaan oleh suatu kekuatan yang menyebabkan dada terfiksasi sehingga diafragma tidak
dapat bergerak. Hal tersebut kemudian menimbulkan gangguan gerak pernapasan sehingga
udara yang masuk ke dalam atau keluar paru terhambat, misalnya tertimbun pasir, tanah
longsor, runtuhan tembok, pohon yang tumbang atau tebing yang runtuh.

MEKANISME KEJADIAN

 Keadaan asfiksia traumatik merupakan hasil dari penekanan yang terus-menerus pada
dada dan abdomen oleh kejatuhan sesuatu, kendaraan yang berat, tekanan kerumunan
orang dan sebagainya.

 Asfiksia kompresif (juga disebut dengan kompresi dada) mengarah pada suatu
pembatasan mekanik dari ekspansi paru oleh kompresi pada sumbu tubuh, yang
mengakibatkan gerakan berlawanan dengan pergerakan nafas sebenarnya. Asfiksia
kompresif terjadi ketika dada atau abdomen mengalami penekanan (terutama dari
posterior).

 Pada kecelakaan, istilah asfiksia traumatik atau crush asphyxia biasanya digunakan
untuk menggambarkan asfiksia kompresif yang dihasilkan dari keadaan tertekan atau
terjepit dibawah beban maupun gaya yang berat. Sebagai contohnya adalah kasus
dimana seseorang terjepit di kolong mobilnya ketika mencoba memperbaiki mobil
dan tubuhnya terhimpit oleh beban mobil tersebut.

 Pada kasus lainnya, seperti kecelakaan di stadion Heysel, asfiksia traumatik disebut
dengan riot-crush. Berlawanan dengan pendapat umum, kejadian tersebut bukanlah
akibat trauma tumpul dari terinjak-injaknya korban, namun lebih dikarenakan asfiksia
karena tekanan sebagai hasil dari kerumunan yang kacau. Dalam lingkungan yang
terkurung, orang-orang saling mendorong dan bersandar pada orang lain; buktinya
adalah terdapatnya pagar terali baja yang bengkok pada beberapa kecelakaan pada
kerumunan kacau yang fatal menunjukkan gaya horizontalnya melebihi 4500 N

10
(sekitar 460kg). Dalam keadaan dimana terdapat kerumunan orang dewasa dan saling
bersandar satu sama lain sehingga membentuk suatu gundukan manusia, telah
dilakukan penilaian dimana terdapat sekitar 380kg beban tekanan pada lapisan yang
paling bawah.

 Asfiksia akibat dihimpit orang dapat terjadi ketika seseorang berada di tempat orang
yang berkerumun seperti dalam satu kumpulan dan tiba-tiba terjadi kekacauan yang
menyebabkan orang akan saling mendorong karena mencoba melarikan diri. Dalam
keadaan ini, ada yang terjatuh terinjak-injak, dan ada pula yang terdorong serta
terhimpit beberapa lama sehingga akhirnya mati akibat asfiksia.

 Pada Asfiksia kedudukan dapat dikatakan semua kejadiannya merupakan akibat dari
intoksikasi narkotika atau alkohol. Individu yang mengalami intoksikasi dan jatuh ke
tempat yang sempit sering kali tidak boleh bergerak (akibat terlalu mabuk), kepalanya
tertekuk dan ini menghalanginya bernafas.

 Asfiksia traumatik terjadi apabila objek yang berat jatuh ke atas atau menekan dada
atau bagian abdomen atas, menyebabkan korban tidak dapat bernafas. Terdapat juga
kasus dimana korbannya mati akibat asfiksia traumatik karena ditekan dengan lemari
es atau pepohonan; terjepit dalam kenderaan sewaktu kecelakaan atau terjepit diantara
kayu-kayu besar.Kompresi dada juga dapat terjadi pada berbagai oleh raga gulat
militer, yang kadang disebut dengan istilah “wringing”. Berbagai teknik digunakan
untuk mengunci lawan. Sebagai contonya adalah kompresi pada dada yang meliputi
posisi yang disebut dengan knee-on-stomach position, atau teknik seperti leg scissors
(juga disebut dengan body scissors, do-jime, dan trunk strangle) jika pelaku
melilitkan kaki di sekitar pertengahan tubuh lawan dan menekan nya bersamaan.

GAMBARAN KLINIS

Temuan klinisnya adalah craniocervical cyanosis/cervicofacial cyanosis dan


edema, subconjunctival haemorrhage atau petechiae, serta distensi dari vena leher.
Sering dihubungkan dengan cedera yang meliputi kontusio pulmoner dan
hemothoraks.

11
(A) The knee-on-belly position yang menekan dada, membuat orang di
bawahnya kesulitan bernafas. (B) Asfiksia traumatik dengan beban badan
sendiri

PEMERIKSAAN JENAZAH

Pada kasus traumatik asfiksia dimana dada tertekan, bronkus dan trakea
terdapat darah, hal ini biasanya terjadi pada koban kecelakaan lalu lintas. Kondisi ini
sering terjadi pada tulang dada yang lentur yaitu pada anak-anak dimana dadanya
tertekan tanpa menimbulkan patah tulang iga yang kemudian kembali ke bentuk
semula.Pada keadaan ini, hemoragi terjadi akibat dari benturan dan laserasi internal
paru-paru dan sering menjadi hemoragi yang luas tanpa menyebabkan robekan pleura.
Yang perlu diperhatikan pada korban kecelakaan adalah perdarahan asfiksia, dimana
darah terhisap dari luka yang ada di hidung, bibir dan rahang. korban bisa
diselamatkan jika hal ini diketahui dengan cepat. Dengan cara aliran udara
dilancarkan dengan penghisapan.

Bentuk Post mortem sering dramatis yaitu kongesti yang berat pada jaringan
diatas area penekanan serta petekie perdarahan yang banyak di kulit dan konjungtiva,
juga edem dan dipenuhi dengan darah. Meskipun tanda-tanda yang dramatis yang
terlihat pada asfiksia traumatik, ini merupakan tanda yang dapat hilang

PEMERIKSAAN LUAR

 Sianosis pada bibir, ujung jari dan kuku

 Lebam mayat merah kebiruan lebih gelap dan terbentuk lebih cepat dan lebih luas

 Busa halus pada hidung dan mulut

12
 Pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra

 Tardieu’s Spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra

 Tanda-tanda kekerasan dan perlawanan

 Untuk kasus penjeratan, jejas biasanya mendatar, melingkari leher, setinggi/dibawah


rawan gondok

PEMERIKSAAN DALAM

 Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer

 Busa halus di saluran pernafasan

 Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh, sehingga organ dalam
menjadi lebih gelap dan lebih berat

 Tardieu’s spot pada mukosaorgan dalam

 Edema paru

 Kelainan-kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
2. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang: 2000.
3. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan,
2007.
5. Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik Kasus
Tindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2009.
6. Mohan S. Dharma, Dkk., Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi
Forensik FK, 2008, Tersedia di:
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-dengan-
toksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf., Diakses pada tanggal 05 Januari 2012.
7. Bionity Team. Asphyxia. 2009. Tersedia di:
http://www.bionity.com/en/encyclopedia/Asphyxia.html. Diakses Pada Tanggal 05
Januari 2012.

14

Anda mungkin juga menyukai