Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

ASFIKSIA

Disusun Oleh:
Andra Mahar Fadillah
(1102019018)

Pembimbing:
dr.Riza Rivani, Sp.F., MH.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN
ARJAWINANGUN PERIODE 02 – 27
JANUARI 2024
TINJAUAN PUSTAKA

1. Asfiksia

1.1 Definisi
Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari “a” yang berarti “tidak”,
dan “sphinx” yang artinya “nadi”. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai “tidak
ada nadi” atau “tidak berdenyut”. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya.
Akibatnya sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia
lainnya (Roman’s Forensic, Ed. 25).
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hiposik) dan terjadi kematian (FKUI,
1997).

1.2 Etiologi
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut :
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan,
seperti laryngitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumothorax
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan misalnya
barbiturat, narkotika (FKUI, 1997).

Pembagian menurut London :

1. Hipoksik-hipoksia (Keadaan dimana oksigen gagal untuk masuk ke dalam


sirkulasi darah) : kadar oksigen yang memang rendah atau gangguan masuk,
biasanya karena gangguan sist.respirasi : hipoksia mekanik : intraluminer (co :
tersedak) & ekstraluminer (co : pencekikan, penjeratan)
2. Anemik-hipoksia (Darah tidak dapat membawa O2 yang cukup untuk
metabolisme ) : biasanya Hb yang kurang atau volume darah yang kurang.
3. Stagnan-hipoksia (Terjadinya kegagalan sirkulasi) : biasanya gangguan pembuluh
darah, jantung, vagal refleks, emboli, dekomp kordis
4. Histotoksik-hipoksia (HH) (Keadaan yang mengakibatkan O2 tdk bisa digunakan
jaringan)
a. HH ekstraseluler : gangguan enzim, contoh keracunan CO
b. HH periseluler : gangguan permeabilitas membran sel, contoh keracunan
eter/kloroform
c. HH substrat : bahan/substrat yang tidak cukup
d. HH metabolit : gangguan metabolisme karena end product tidak dapat
dieliminir, contoh uremia, keracunan CO2 (Roman’s Forensic, Ed. 25).

Anoksia (hipoksia) adalah suatu keadaan dimana tubuh sangat


kekurangan oksigen, yang berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 4 golongan,
yaitu:
1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia); yaitu keadaan anoksia yang disebabkan
oksigen tidak dapat mencapai darah sebagai akibat kurangnya oksigen yang masuk
kedalam paru-paru.
2. Anoksia anemic (anaemix anoxia); yaitu keadaan anoksia yang disebabkan darah
tidak dapat menyerap oksigen, seperti pada keracunan karbon monoksida.
3. Anoksia stagnan (stagnant anoxia); yaitu keadaan anoksia yang disebabkan darah
tidak mampu membawa oksigen ke jaringan, seperti pada heart failure atau
embolism.
4. Anoksia histotoksik (histotoxic anoxia); yaitu keadaan anoksia yang disebabkan
jaringan tidak mampu menyerap oksigen, seperti pada keracunan sianida. Ketiga
jenis anoksia yang terakhir (yaitu anoksia anemic, stagnan dan histotoksik)
disebabkan oleh penyakit atau keracunan, sedangkan anoksia yang pertama
(yaitu anoksia anoksik) disebabkan oleh kekurangan oksigen atau karena
obstruksi mekanik pada jalan nafas. Pengertian asfiksia sebenarnya adalah
anoksia anoksik atau sering juga di sebut asfiksia mekanik (Dahlan, S, 2019).

1.3 Stadium Asfiksia


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam 4 fase, yaitu :
1.
Fase dispnea. Penurunan kadan oksigen sel darah merah dan penimbunan CO 2
dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata,
sehingga amplitude dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat,
tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada
muka dan tangan.
2.
Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan
terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula
berupa kejang klonik tetapi menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme
opistotonik. Pupil menjadi dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak
akibat kekurangan O2.
3.
Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah
dan dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
4.
Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih
berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit,
tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap (FKUI, 1997).

1.4 Pemeriksaan Jenazah


Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung
jari dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah
sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin ini sangat
berhubungan dengan cepatnya proses kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai secret selaput lender saluran napas bagian
atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa
yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebral yang terjadi pada fase 2. Akibat tekanan hidrostatik
dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu,
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis
sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s
spot.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai
pada kulit di wajah. Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spot ini akan timbul
karena permeabilitas kapiler yang meningkat.

Pemeriksaan bedah jenazah.


Kelainan yang umum ditemukan pada pembedahan jenazah korban mati akibat asfiksia
adalah:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat pasca mati.
2. Busa halus di dalam saluran pernafasan.
3. Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung daerah aurikulo-ventrikular, subpleura viseralis paru terutama di
lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam
terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis) (FKUI, 1997).

2. Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik),
misalnya :
1. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas : pembekapan (smothering),
penyumbatan (gagging dan choking).
2. Penekanan dinding saluran pernapasan : penjeratan (strangulation), pencekikan
(manual strangulation, throttling), gantung (hanging).
3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatic).
4. Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning).
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan
oleh asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukan tenggelam ke
dalam kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan tersendiri (FKUI, 1997).

2.1 Pembekapan (smothering)


Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang
menghambat pemasukan udara ke paru-paru. Pembekapan menimbulkan kematian
akibat asfiksia.
Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa :
1. Bunuh diri (suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi
misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan
gulungan kasur, bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering). Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung
dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut. Anak-anak dan dewasa muda yang
terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya
terbekap dengan atau dalam kantung plastik. Orang dewasa yang terjatuh waktu
bekerja atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh,
sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung dan
sebagainya.
9
3. Pembunuhan (homicidal smothering). Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan
anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya
seperti orang tua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman
keras.
Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar
jenazah mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat
ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku
dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat
korban melawan. Memar pada permukaan belakang bibir pada kasus pembekapan. Luka
memar atau lecet pada bagian/permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan
menekan gigi, gusi dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun
pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku
korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku (FKUI, 1997).

2.2 Gagging dan choking


Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang
mengakibatkan hambatan udara untuk masuk ke paru-paru. Pada gagging, sumbatan
terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam pada
laringofaring.
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal
akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring, yang menimbulkan
inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1. Bunuh diri (suicide). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukkan benda
asing ke dalam mulut sendiri disebabkan adanya refleks batuk atau muntah.
Umumnya korban adalah penderita sakit mental atau tahanan.
2. Pembunuhan (homicidal choking). Umumnya korban adalah bayi, orang
dengan fisik lemah atau tidak berdaya.
3. Kecelakaan (accidental choking). Pada bolus death yang terjadi bila tertawa atau
menangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam saluran
pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang kemudian
masuk ke dalam saluran pernapasan.
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada
pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut (orofaring atau
laringofaring) ditemukan sumbatan berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan
pernah ditemukan arang, batu dan sebagainya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari
kemunginan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing (FKUI, 1997).
2.3 Pencekikan (manual strangulation)
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan dinding
saluran napas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas sehingga udara
pernafasan tidak dapat lewat.
Mekanisme kematian pada pencekikan adalah :
1. Asfiksia.
2. Refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus pada
corpus caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna.
Refleks vagal ini jarang sekali terjadi.
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala
karena turut tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superfisial, sedangkan arteri
vertebralis tidak terganggu. Tanda-tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan
distribusi berbeda-beda, tergantung pada cara mencekik: Luka-luka lecet pada kulit,
berupa luka lecet kecil, dangkal, berbentuk bulan sabit akibat penekanan kuku jari.
Luka-luka memar pada kulit, bekas tekanan jari, merupakan petunjuk berharga
untuk menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik. Akan menyulitkan bila
terdapat memar subkutan luas, sedangkan pada permukaan kulit hanya tampak memar
berbintik. Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat terjadi akibat
kekerasan langsung. Perdarahan pada otot sternokleido-mastoideus dapat disebabkan
oleh kontraksi yang kuat pada otot tersebut saat korban melawan.
Fraktur pada tulang lidah (os hyoid) dan kornu superior rawan gondok yang
unilateral lebih sering terjadi pada pencekikan, namun semuanya tergantung pada besar
tenaga yang dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah kadang-kadang
merupakan satu-satunya bukti adanya kekerasan, bila mayat sudah lama dikubur sebelum
diperiksa.
Pada pemeriksaan jenazah, bila mekanisme kematian adalah asfiksia, maka akan
ditemukan tanda-tanda asfiksia. Tetapi bila mekanisme kematian adalah refleks vagal,
yang menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, sehingga tidak ada tekanan
intravaskular untuk dapat menimbulkan perbendungan, tidak ada perdarahan petekial,
tidak ada edema pulmoner dan pada otot-otot leher bagian dalam hampir tidak
ditemukan perdarahan. Diagnosis kematian akibat refleks vagal hanya dapat dibuat
pereksklusionam (FKUI, 1997).

2.4 Penjeratan (strangulation)


Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang
makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup. Berbeda dengan gantung
diri yang biasanya merupakan suicide (bunuh diri) maka penjeratan biasanya adalah
pembunuhan. Mekanisme kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks
vasovagal (perangsangan reseptor pada carotid body).
Pada gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada
penjeratan, arteri vertebralis biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh karena
kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar.
Jerat. Bila jerat masih ditemukan melingkari leher, maka jerat tersebut harus
disimpan dengan baik sebab merupakan benda bukti dan dapat diserahkan kepada
penyidik bersama-sama dengan Visum et Repertum nya.
Terdapat dua jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup (lingkar jerat dapat diperbesar
atau diperkecil) dan simpul mati (lingkar jerat tidak dapat diubah).Simpul harus
diamankan dengan melakukan pengikatan dengan benang agar tidak berubah pada waktu
mengangkat jerat. Untuk melepaskan jerat dari leher, jerat harus digunting serong (jangan
melintang) pada tempat yang berlawanan dari letak simpul, sehingga dapat
direkonstruksikan kembali di kemudian hari. Kedua ujung jerat harus diikat sehingga
bentuknya tidak berubah.
Jejas jerat. Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher dan
terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak
setinggi atau di bawah rawan gondok.
Keadaan jejas jerat pada leher sangat bervariasi. Bila jerat lunak dan lebar seperti
handuk atau selendang sutera, maka jejas mungkin tidak ditemukan dan pada otot-otot
leher sebelah dalam dapat atau tidak ditemukan sedikit resapan darah. Tali yang tipis
seperti kaus kaki nylon akan meninggalkan jejas dengan lebar tidak lebih dari 2-3 mm.
Pola jejas dapat dilihat dengan menempelkan transparant scotch tape pada daerah jejas
di leher, kemudian ditempelkan pada kaca obyek dan dilihat dengan mikroskop atau
dengan sinar ultra violet.
Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban melawan
akan menyebabkan luka lecet di sekitar jejas jerat, yang tampak jelas berupa kulit yang
mencekung berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka lecet
tekan). Pada otot-otot leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah.

Cara kematian dapat berupa:


1. Bunuh diri (self strangulation). Hal ini jarang dan menyulitkan diagnosis. Pengikatan
dilakukan sendiri oleh korban dengan simpul hidup atau bahan hanya dililitkan saja,
dengan jumlah lilitan lebih dari satu.
2. Pembunuhan. Pengikatan biasanya dengan simpul mati dan sering terlihat bekas luka
pada leher.
3. Kecelakaan. Dapat terjadi pada orang yang sedang bekerja dengan selendang di leher
dan tertarik masuk ke mesin (FKUI, 1997).
Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk memperkirakan
cara kematian memberikan gambaran:
Pembunuhan Bunuh diri
Alat penjerat : Biasa simpul mati Simpul hidup
- Simpul Hanya Satu Satu atau lebih
- Jumlah lilitan Mendatar Serong ke atas
- Arah Dekat Jauh
- Jarak titik tumpu-simpul

Korban : Berjalan mendatar Meninggi kearah


- Jejas jerat + simpul -
- Luka perlawanan Ada, sering di daerah Biasanya tidak ada,
- Luka-luka lain leher Jauh mungkin terdapat
luka percobaan lain
Dekat, dapat tidak
- Jarak dari lantai
tergantung

TKP : Bervariasi Tersembunyi


- Lokasi Tidak teratur Teratur
- Kondisi Tak teratur, robek Rapi dan baik
- Pakaian

Alat : Dari si pembunuh Berasal dari yang ada


di TKP

Surat peninggalan : - +

Ruangan : Tak teratur, terkunci Terkunci dari dalam


dari luar

2.5 Gantung (hanging).


Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal
tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada penjeratan, tenaga
tersebut datang dari luar, sedangkan pada kasus gantung, tenaga tersebut berasal dari
berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu seluruh berat badan digunakan.

Mekanisme kematian pada kasus gantung:


1. Kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis. Hal ini terjadi akibat dislokasi atau
fraktur vertebra ruas leher, misalnya pada judicial hanging (hukum gantung). Terhukum
dijatuhkan dari ketinggan 2 meter secara mendadak dengan "menghilangkan" tempat
berpijaknya sehingga mengakibatkan terpisahnya C2-C3 atau C3-C4, yang juga terjadi
akibat terdorong oleh simpul besar yang terletak pada sisi leher. Medula spinalis bagian
atas akan tertarik/ teregang atau terputar dan menekan medula oblongata. Kadang-
kadang medula oblongata pada batas pons terputar sehingga menyebabkan
hilang kesadaran, sedangkan denyut jantung dan pernapasan masih berlangsung sampai
10-15 menit. Pada autopsi sering ditemukan adanya faring yang terluka dan biasanya
tidak ada perbendungan, sedangkan arteri karotis terputar sebagian atau seluruhnya.
2. Asfiksia akibat terhambatnya aliran udara pernapasan.
3. Iskemia otak akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher.
4. Refleks vagal.

Kasus gantung biasanya merupakan kasus bunuh diri (gantung diri)


meskipun kasus pembunuhan kadang-kadang dilaporkan, yaitu untuk menunjukan
kesan seolah olah si korban bunuh diri dengan maksud untuk menghilangkan jejak
pembunuhan. Posisi korban pada kasus gantung diri:
1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging).
2. Duduk berlutut (biasanya menggantung pada daun pintu).
3. Berbaring (biasanya di bawah tempat tidur).

Diketahui terdapat beberapa jenis gantung diri:


1. Typical hanging, terjadi bila titik gantung terletak di atas darah oksiput dan tekanan
pada arteri karotis paling besar.
2. Atypical hanging, bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher
dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada
arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
3. Kasus dengan letak titik gantung di depan atau dagu.
Pada pemeriksaan jenazah, kelainan pada autopsi tergantung pada apakah arteri
pada leher tertutup atau tidak. Bila jerat kecil dan keras maka terjadi hambatan total
arteri sehingga muka akan tampak pucat dan tidak terdapat petekie pada kulit maupun
konjungtiva.
Bila jerat lebar dan lunak maka hambatan hanya terjadi pada saluran pernapasan dan
pada aliran vena dari kepala ke leher, sehingga akan tampak perbendungan pada daerah
sebelah atas ikatan. Kadang-kadang perbendungan akan dialirkan melalui pleksus vena
vertebralis yang tidak begitu mudah tertekan seperti sistem vena jugularis, meskipun
pengikatan tetap atau tidak berubah.
Pada keadaan di atas, darah tidak terkumpul di otak, sedangkan pada kulit dan
konjungtiva masih terdapat petekie yang merupakan akibat terkumpulnya darah
ekstravaskular.
Jejas jerat relatif terletak lebih tinggi pada leher dan tidak menatar, melainkan
lebih meninggi di bagian simpul, kulit mencekung kedalam sesuai dengan bahan
penjeratnya, berwarna coklat, perabaan kaku, dan akibat bergesekan dengan kulit leher,
maka paada tepi jejas dapat ditemukan luka lecet.
Kadang-kadang pada tepi jejas jerat akan terdapat sedikit perdarahan, sedangkan
pada jaringan bawah kulit dan otot-otot sebelah dalam terdapat memar jaringan. Namun
ini tidak selalu terjadi, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopik untuk melihat
reaksi vital pada jaringan di bawah jejas untuk menentukan apakah jejas terjadi pada
waktu orang masih hidup atau setelah meninggal.
Patah tulang lidah atau rawan gondok atau keduanya tidak sering terjadi pada
kasus gantung. Rawan gondok biasanya patah pada persambungan kornu superior
dengan lamina sedangkan tulang lidah patah pada atau dekat persambungan taju dan
korpus. Fraktur biasanya diliputi sedikit perdarahan.
Distribusi lebam mayat pada kasus gantung, mengarah ke bawah yaitu pada kaki,
tangan dan genitalia eksterna, bila korban tergantung cukup lama. Pada korban wanita,
labium membesar dan terdapat lebam, sedangkan pada korban laki-laki hal ini terjadi
pada skrotum. Penis dapat tampak seolah mengalami ereksi akibat terkumpulnya darah,
sedangkan semen keluar karena relaksasi otot sfingter post mortal.
Asfiksia seksual terjadi pada kasus deviasi seksual yang menggunakan cara
gantung atau jerat untuk mendapatkan kepuasan, yang karena terlambat mengendurkan
tali atau sukar melepaskan diri sesudah tercapai keadaan penurunan kesadaran. Korban
biasanya lelaki, pasca adolesens dan ditemukan tanda penyimpangan seksual lain.
Efek lanjut penekanan saluran pernapasan. Bila korban masih hidup setelah
penjeratan, sebagai akibat perbendungan, maka perdarahan petekie akan menetap selama
beberapa hari. Sedangkan jejas jerat akan membengkak dan terbentuk kulit keras pada
epidermis yang telah terkikis. Keadaan ini akan menghilang setelah 1-2 minggu. Luka
pada laring akan menimbulkan kesulitan menelan karena nyeri, dan suara serak selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Patah tulang akan menyembuh. Hipoksia
serebral yang menimbulkan koma, dapat bersifat menetap (irreversible), yang bila
sembuh akan meninggalkan gejala sisa seperti psikosis, kelainan neurologik, dan lain
lain (FKUI, 1997).
2.6 Asfiksia Traumatik
Kematian akibat asfiksia traumatik terjadi karena penekanan dari luar pada
dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi dan menimbulkan gangguan gerak
pernapasan; misalnya tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok atau tergencet saat saling
berdesakan. Mekanisme kematian dapat diakibatkan oleh kegagalan pernapasan dan
sirkulasi. Pada mayat ditemukan sianosis dan bendungan hebat.
Perbendungan pada muka menyebabkan muka membengkak dan penuh dengan
petekie, edema konjungtiva dan perdarahan sub-konjungtiva. Petekie terdapat pula pada
leher, bokong dan kaki (FKUI, 1997).
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Kedokteran Forensik FKUI. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik.


Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dahlan, S, Tisnadi S. (2019). Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi
Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Unissula.
Hoediyanto, A Hariadi. (2010). Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Surabaya : Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

18

Anda mungkin juga menyukai