Anda di halaman 1dari 10

Sebuah Studi tentang Penggantungan Fatal dan Nonfatal

Penulis: Gerda Andriuskeviciute, M.M.; Sigitas Chimieliasukas, Ph.D; Algimantas Jasulaitis, Assoc. Prof.; Sigitas Laima, M.D.;
Dmitrij Fomin, M.Sc.; dan Jurgita Stasiuniene, M.D.

Abstrak: Sebanyak sekitar 50% kasus bunuh diri yang terjadi di dunia disebabkan oleh
pencekikan. Artikel ini menyajikan macam-macam pemeriksaan medikolegal terhadap kasus
gantung diri, membahas mekanisme patogenetik dan gambaran klinis korban, serta memuat
contoh-contoh proses diagnosis dan kesimpulan ahli. Artikel ini ditujukan untuk dokter dan ahli
patologi forensik. Literatur yang berfokus pada asfiksia akibat pencekikan ditinjau. Data dari
Rumah Sakit Vilnius dan Layanan Kedokteran Forensik Negara (State Forensic Medicine
Service) mengenai pencekikan yang dilakukan pada tahun 2012-2014 dianalisis dan mencakup
temuan dari 5650 otopsi (36% asfiksia) dan 4 korban yang selamat. Gejala yang paling dominan
adalah gejala neurologis, kardiovaskular, dan pernapasan. Setelah mengalami asfiksia, pasien
dikonsulkan dengan psikiater, dokter spesialis mata, dokter spesialis pencernaan, dan dokter
spesialis endokrin. Tanda pengikat/jeratan adalah tanda yang paling mudah ditemukan dari
asfiksia akibat pencekikan leher. Hanya komplikasi pasca pencekikan yang ditangani. Asfiksia
mekanis harus diidentifikasi sebagai cedera utama dalam diagnosis klinis dan dikodekan sebagai
ICD-10.

Kata kunci: ilmu forensik, jeratan leher, tanda jeratan, refleks vagal, periode pasca jeratan, jejas
primer
Setiap tahun, lebih dari 800 ribu orang meninggal karena bunuh diri di seluruh dunia. Penyebab
paling umum dari kematian akibat bunuh diri adalah meracuni diri sendiri dengan bahan kimia
atau obat bius, gantung diri, dan menembak diri sendiri. Di negara-negara maju, 50% dari semua
kasus bunuh diri adalah kasus gantung diri. Demikian juga di Eropa, di mana penyebab paling
umum kematian akibat bunuh diri adalah pencekikan, penyalahgunaan zat kimia atau obat bius,
jatuh dari tempat yang tinggi, dan luka tembak. Pria cenderung lebih sering melukai diri mereka
sendiri daripada wanita. Metode bunuh diri yang paling populer adalah pencekikan karena
bersifat sederhana dan akses yang mudah terhadap bahan yang diperlukan, serta dikaitkan
dengan tingkat kematian yang tinggi dan kematian yang relatif cepat. Menurut beberapa penulis,
tingkat kematian akibat pencekikan berkisar 80-90%. Banyak literatur yang menggambarkan
asfiksia sebagai kondisi patologis yang disebabkan oleh kekurangan hingga kehilangan oksigen
dan peningkatan karbon dioksida di badan penderitanya. Hal ini menyebabkan hipoksia yang
terjadi akibat tidak tercukupinya kebutuhan oksigen di jaringan dan gangguan proses oksidatif di
tubuh. Pada ilmu forensik, asfiksia mekanik diklasifikasikan berdasarkan metode tersumbatnya
saluran pernafasan, meliputi: pencekikan (leher ditekan/dikompresi oleh jeratan/pengikat dengan
penggantungan inkomplit atau dengan tangan orang tersebut); penggantungan (leher
ditekan/dikompresi oleh jeratan/pengikat yang dikombinasikan dengan penggantungan sempurna
berbentuk lingkaran); tersedak; penekanan/kompresi; dan pembekapan. Pada praktiknya,
diagnosis klinis seringkali kurang tepat.
Artikel ini akan menganalisis asfikisa mekanik yang disebabkan oleh penekanan/kompresi leher
pada penggantungan dan patogenesis, tanda-tanda obyektif dari asfiksia akibat pencekikan, dan
perubahan awal dan akhir dari fungsi sistem organ penderita yang selamat akibat penjeratan.
Selain itu, kami membahas mengenai penatalaksanaan, proses merumuskan diagnosis, dan
rekomendasi untuk pasien setelah keluar dari rumah sakit.

Patogenesis dari Asfiksia

Kematian disebabkan oleh sejumlah faktor yang bergantung pada metode kompresi/penekanan
pada leher. Efek neurologis dari kompresi leher disebabkan oleh iritasi pada pleksus
parasimpatis, gangguan aliran darah, obstruksi jalan napas, dan, yang lebih jarang terjadi,
kompresi medula yang disebabkan oleh fraktur vertebra servikalis kedua. Pada artikel ini, efek
neurologis dan gangguan aliran darah yang disebabkan oleh asfiksia akibat pencekikan akan
dibahas lebih lanjut.

Efek neurologis dari kompresi leher bermanifestasi sebagai iritasi pleksus parasimpatis (refleks
vagal) ketika saraf vagus (X) dan glosofaring (IX) dirangsang secara berlebihan, yang
menyebabkan henti jantung selama fase sistol. Cedera pada cabang faring (motorik) dari saraf
kranial X menyebabkan disfagia, yaitu gangguan menelan. Lesi pada saraf laring (campuran)
superior menyebabkan anestesi pada bagian superior laring dan kelumpuhan otot krikotiroid.
Cedera pada saraf laring berulang menyebabkan suara serak dan disfonia (kesulitan berbicara)
karena kelumpuhan pita suara. Kelumpuhan pada kedua saraf laring yang berulang menyebabkan
afonia (kehilangan suara) dan stridor inspirasi (napas yang keras dan tersengal-sengal). Akibat
iritasi saraf kranial IX, terjadi hipersekresi air liur, dan stimulasi baroreseptor sinus karotis dapat
menyebabkan bradikardia, aritmia ventrikel, dan kemudian detak jantung (disebut henti jantung
neurologis). Ketika kedua akar sensorik saraf IX terluka, refleks menelan akan melemah. Cedera
saraf timpani unilateral (dari IX) menyebabkan kesemutan dan tinitus di telinga.

Obstruksi aliran darah terjadi saat asfiksia ketika vena jugularis tertekan. Hal ini mengganggu
aliran darah vena dari kepala ke jantung (sianosis wajah, penumpukan darah, dan petekie).
Kompresi arteri karotis mengganggu aliran darah ke otak, sehingga hanya menyisakan aliran
darah melalui arteri vertebralis. Terdapat beberapa penyebab patofisiologis dari penurunan
tekanan darah sistemik (TD), yang mengakibatkan penurunan perfusi otak dan sinkop. Sinkop
adalah hilangnya kesadaran sementara akibat hipoperfusi global otak; biasanya ditandai dengan
onset yang cepat, durasi yang singkat, dan pemulihan yang spontan. Telah terbukti bahwa
gangguan mendadak pada suplai darah ke otak, bahkan untuk waktu yang singkat (6-8 detik),
sudah cukup untuk menyebabkan hilangnya kesadaran sepenuhnya, yang mengakibatkan orang
tersebut tidak lagi dapat keluar dari lingkaran gantung. Gaya gravitasi yang dikombinasikan
dengan insufisiensi vasomotor meningkatkan akumulasi darah dalam sistem vena di bawah
diafragma, yang mengakibatkan aliran balik vena ke jantung menurun dan curah jantung
menurun. Sinkronisasi refleks (neurovegetatif) biasanya terdiri dari sekumpulan kondisi yang
heterogen, termasuk refleks kardiovaskular yang tidak adekuat saat terjadi vasodilatasi dan/atau
bradikardia, dan hal ini menyebabkan penurunan tekanan darah dan perfusi otak. Sinkop jantung
biasanya terjadi karena aritmia, yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan dapat
menyebabkan curah jantung yang kritis dan penurunan perfusi otak.

Obstruksi jalan napas terjadi karena laring dan lidah terangkat akibat tulang rawan di trakea
tertekan.

Pada kasus yang jarang terjadi, ketika pasien terjatuh dengan cepat dalam posisi tergantung, os
vertebra serviks kedua dapat patah dan menyebabkan cedera sumsum tulang belakang dan
kompresi medula.

Tanda-tanda obyektif pencekikan yang umumnya ditemukan setelah kompresi leher oleh jeratan
tali meliputi tanda jeratan di leher, petechiae wajah, sianosis pada wajah, perdarahan dari hidung
dan telinga karena hiperemi vena di kepala, kulit yang lebih pucat di bawah tanda jeratan dan
yang disebut "tanda air pasang (tide mark)", dan memar dan / atau lecet kulit berbentuk setengah
lingkaran (tanda bekas kuku jari, yang terbentuk ketika korban berusaha melepaskan diri dari
jeratan). Tanda yang jarang ditemukan meliputi fraktur laring, tulang hyoid, dan tulang leher.

Gejala Klinis Awal pada Periode Pasca Jeratan


Periode pasca jeratan adalah keadaan pasca asfiksia yang mencakup proses yang disebabkan oleh
kompresi leher oleh lingkaran tali atau tangan. Gejala klinisnya ditandai dengan patogenesis
umum yang terjadi karena cedera mekanis pada jaringan dan organ leher, dan oleh gejala yang
diamati pada organ target (otak, paru-paru, jantung) dan biasanya berakibat fatal (koma asfiksia,
distrofi miokard postasfiksia akut, pneumonia).

Pada tahap awal pemulihan bagi orang yang berhasil bebas (dikeluarkan) dari lingkaran gantung,
sering ditemukan tanda pengikat atau bekasnya di leher dan rasa sakit yang terlokalisasi di area
leher, kepala, atau punggung. Dapat juga ditemukan rasa sakit saat menelan, suara serak, air liur
berlebih, tinitus, mati rasa dan kelumpuhan anggota tubuh, kejang, edema serebral akibat
hipoksia progresif dan disfungsi metabolik.

Penggantungan sempurna didefinisikan sebagai seluruh tubuh menggantung tanpa menyentuh


tanah, dengan seluruh berat badan korban digantung di leher. Data menunjukkan bahwa setelah
korban dibebaskan dari lingkaran gantung setelah digantung sempurna selama 3-4 menit,
hilangnya kesadaran dapat berlangsung hingga 5-6 jam. Ketika penggantungan berlangsung
hingga 5-6 menit, kemudian korban dibebaskan dari lingkaran gantung, korban dapat hilang
kesadaran hingga 20-24 jam.
Penggantungan tidak sempurna didefinisikan sebagai beberapa bagian tubuh yang menyentuh
tanah, dengan berat badan korban tidak sepenuhnya ditopang oleh leher. Dalam kasus-kasus
penggantungan tidak sempurna yang berlangsung selama 10 menit atau lebih, korban dapat
mengalami koma yang berlangsung hingga 12-14 jam setelah korban dibebaskan dari
penggantungan.

Bagi mereka yang berhasil dibebaskan keluar dari lingkaran jeratan dan mendapatkan kembali
kesadarannya, terdapat 3 bentuk amnesia yang biasanya terjadi: retrograde, anterograde, dan
retroanterograde. Amnesia adalah ketidakmampuan untuk menghafal, menyimpan, atau
mengingat kembali informasi, dan bermanifestasi sebagai kehilangan memori. Amnesia
retrograde adalah bentuk yang paling umum dan memiliki durasi yang bervariasi, mulai dari
beberapa menit hingga beberapa hari atau minggu. Amnesia retrograde adalah disfungsi memori
kuantitatif yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengambil informasi yang diperoleh
sebelum kecelakaan atau penyakit. Amnesia anterograde didefinisikan sebagai kurangnya
ingatan akan informasi atau peristiwa yang terjadi setelah kecelakaan. Amnesia retroanterograde
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengingat informasi dari sebelum dan sesudah
kecelakaan. Bagi orang-orang yang dibebaskan dari lingkaran jeratan dan selamat, didapatkan
tanda-tanda amnesia yang terjadi akibat edema otak ekstraseluler, yang menyebabkan disfungsi
permeabilitas membran sel karena hipoksia. Hal ini terjadi akibat disfungsi energi pada membran
sel, natrium dan air dilepaskan dari sel yang mengganggu aktivitas pompa K±/Na+.
Pada 1-12 jam setelah pencekikan, dapat terjadi kejang yang disebabkan oleh perubahan pada
sistem saraf pusat (SSP) karena konsentrasi CO2 yang meningkat dalam darah. Menurut literatur,
dalam sebuah percobaan dimana dilakukan 37 percobaan bunuh diri di mana penggantungan
dihentikan, didapatkan 23 orang mengalami kejang pada 1-3 jam setelah kejadian. Kejang
tersebut bervariasi dari kejang tonik-klonik hingga kejang epilepsi. Dalam kasus kompresi leher
yang berlangsung singkat (2-3 menit), kejang mungkin tidak terjadi; namun, jika kompresi
berlangsung hingga 6-7 menit, kejang berulang dan ekspresif dapat terjadi. Kejang adalah hasil
dari lingkaran setan hipoksia progresif dan disfungsi metabolik yang mengakibatkan edema
serebral.

Tanda-tanda SSP signifikan lainnya dapat diamati: ketidaksamaan refleks tendon, tanda Kerning
dan Babinski, gangguan persarafan saraf kranial, anisokoria, stroke hemoragik (ditemukan saat
autopsi), cedera saraf otonom, inkontinensia urine dan feses, serta koma.

Perubahan pada sistem pernapasan selama periode pasca jeratan ditemukan pada hampir semua
kasus. Setelah pembebasan kompresi leher, laju pernapasan dan perubahan gerakan segera
terlihat, dengan suara napas yang menurun dan bunyi crackles kering atau lembab selama
auskultasi paru-paru. Menurut beberapa sumber literatur, ketika penggantungan berlangsung
hingga 3 menit, terutama pada kasus penggantungan yang tidak sempurna, tetap ditandai dengan
stridor dengan inspirasi tiba-tiba dan ekspirasi yang berkepanjangan. Untuk penjeratan yang
berlangsung selama 3-4 menit, gerakan pernapasan tidak terlihat. Ketika kemudian pasien
diresusitasi, pasien pulih setelah 10-15 menit. Untuk orang yang dibebaskan dari jeratan dan
bertahan hidup, gangguan pernapasan akibat edema paru dapat ditemukan pada periode pasca
jeratan. Hal ini terjadi karena kerusakan hipoksia pada bilik jantung kanan, yang mengganggu
inotropi dan meningkatkan permeabilitas kapiler paru.

Pneumonia yang dapat muncul selama periode pasca jeratan diklasifikasikan sebagai efek
sekunder dari pencekikan. Gangguan aspirasi hemodinamik, masalah ventilasi di paru-paru, air
liur dan isi lambung, dan gangguan neuroendokrin merupakan faktor signifikan yang terlibat
dalam terjadinya pneumonia. Stasis vena hepatik dan gagal hati dapat merubah surfaktan dan
menyebabkan mikroatelektasis, dan perlindungan antimikroba yang diberikan oleh surfaktan
menjadi berkurang. Diagnosis pneumonia ditentukan oleh peningkatan imunodefisiensi secara
bertahap, gangguan penyesuaian pernapasan pusat, penurunan refleks batuk, dan elemen aspirasi
yang berkontribusi.

Ketika kompresi leher hanya berlangsung dalam waktu singkat, aktivitas jantung mungkin tidak
terganggu karena setelah periode bradikardi akan diikuti dengan takikardi yang menyebabkan
denyut nadi dapat kembali normal dengan cepat. Menurut literatur, ketika asfiksia akibat
penjeratan berlangsung selama 3-4 menit, ditemukan adanya bradikardia yang akan membaik
seiring dengan pulihnya pernafasan. Jika penjeratan berlangsung selama 5-6 menit, akan teraba
denyut nadi yang lemah dan terjadi hipotensi. Denyut nadi tidak dapat diraba jika kompresi leher
berlangsung selama 6-7 menit. Meskipun aktivitas jantung pulih, denyut nadi tetap lemah dan
tidak menentu. Eksperimen telah menunjukkan bahwa selama asfiksia akibat kompresi leher,
akan terjadi imbalans elektrolit miokardium karena defisiensi K+ , Ca+ , dan Mg, yang akan
bermanifestasi sebagai kerusakan miokardial hipoksik akut melalui mekanisme konduktivitas
membran.

Selama periode pasca jeratan, fungsi sekresi-ekskresi lambung dan diuresis harian menurun.
Akan terjadi nocturia yang menurunkan sintesis protein hati dan karbohidrat, yang dapat
menyebabkan pembengkakan dan peningkatan konsentrasi residu nitrogen dalam darah. Pada
beberapa kasus, kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi, dan pendarahan diapedetic dari
telinga tanpa kerusakan gendang telinga dapat terjadi, yang dapat menyebabkan gangguan
pendengaran. Strangulasi yang berlangsung lama disertai dengan disfungsi tiroid yang progresif
akibat kegagalan mekanis kelenjar tiroid dapat meningkatkan kadar hormon tiroid dalam darah.

Tatalaksana

Tatalaksana terdiri dari beberapa tahap yang mana membutuhkan bantuan medis darurat untuk
memastikan jalan napas terbuka dan mencapai rehabilitasi pernapasan yang memadai serta
pemulihan fungsi jantung. Bantuan medis ahli di rumah sakit juga sangat penting untuk menjaga
ventilasi mekanis, mencegah kejang, memastikan tidur narkoleptik, memperbaiki
ketidakseimbangan hemodinamik dan elektrolit, detoksifikasi, profilaksis edema otak dan
penyakit menular, terapi antioksidan penstabil membran antihipoksia, dan pemberian nutrisi
parenteral.

Gejala Klinis Akhir selama Periode Pasca Jeratan

Efek residu dari periode pasca jaratan dapat terjadi berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
setelah pencekikan. Hal ini mencakup gangguan memori dan perhatian, perubahan karakter, dan
sakit kepala yang terus-menerus. Kasus-kasus yang lebih jarang terjadi meliputi penurunan
intelektualitas dan gangguan penglihatan ataupun pendengaran yang tidak terkoreksi.

Metode

Data otopsi dan klinis dari penderita yang selamat dari penjeratan leher dari tahun 2012-2014
diperoleh dari Rumah Sakit Universitas Republik Vilnius, Rumah Sakit Universitas Vilnius
Santariskes, dan Layanan Kedokteran Forensik Negara (SFMS). Ditemukan dan dianalisis data
berupa 5.750 otopsi (36% dari kasus asfiksia) dan 4 korban yang selamat dari penjeratan leher.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan dilakukan telaah literatur yang
berfokus pada asfiksia akibat pencekikan.
Hasil

Hasil dari 5.650 otopsi yang dilakukan di rumah sakit Vilnius telah diperiksa; 2339 (41%) dari
kasus-kasus tersebut adalah kasus bunuh diri; dan 824 (36%) dari kasus-kasus tersebut adalah
kasus penjeratan leher. Dari 824 kasus penjeratan leher, terdapat tiga orang yang selamat dari
penjeratan leher dirawat di rumah sakit selama 9 jam hingga 16 hari dan satu orang yang selamat
dirawat di rumah sakit selama 3 hari. Rentang usia korban yang selamat adalah 44-84 tahun.
Semua korban selamat dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Dalam penelitian ini, tanda klinis
objektif yang dominan adalah tanda ligatur atau lecet pada leher pada proyeksi laring, tingkat
kesadaran dengan Glasgow Coma Scale/GCS berupa skor 3-7, pupil melebar, gagal napas,
penurunan suara napas, penurunan tekanan darah arteri dengan peningkatan tiba-tiba, takikardia,
inkontinensia urin, amnesia retrograd, dan gangguan pendengaran. Sayangnya, perubahan organ
sistem akhir pada korban tidak dapat dianalisis karena waktu pengamatan yang singkat
(maksimum 16 hari).

Menurut anamnesis, para korban biasanya ditemukan dalam posisi berlutut, mengalami
penggantungan selama kurang lebih 15-45 menit, dibebaskan keluar dari penggantungan oleh
kerabatnya, dan disadarkan kembali selama 15 menit hingga 1 jam dan dibawa dengan ambulans
ke rumah sakit. Dalam dua kasus, keluarga korban menyebutkan bahwa para korban mengalami
depresi dan mengonsumsi obat antidepresan. Komplikasi seperti edema serebral, koma,
pneumonia, gagal napas akut, sepsis, dan sindrom disfungsi beberapa organ, biasanya
berkembang di rumah sakit. Diagnosis klinis yang berlaku dari penyakit/cedera yang mendasari
yang dibuat di institusi medis adalah gangguan kardiovaskular, pernapasan, atau neurologis,
seperti infark serebral, sindrom bulbar, hemiparesis, sindrom vestibular, ataksia, koma, edema
serebral, atau keracunan etanol, dan, hanya dalam satu kasus, asfiksia. Asfiksia paling sering
diidentifikasi sebagai komplikasi atau ketidaknyamanan yang menyertai. Untuk semua kasus
yang menjalani pemeriksaan medis forensik, asfiksia mekanis diidentifikasi sebagai cedera
utama, dengan edema serebral, koma, gangguan hemodinamik dan fungsi pernapasan, dan
pneumonia diidentifikasi sebagai komplikasi.

Menurut World Health Organization (WHO), metode bunuh diri yang dominan di banyak negara
adalah gantung diri. Di Eropa Timur (yaitu, Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, dan Rumania),
gantung diri adalah metode bunuh diri yang paling sering digunakan oleh 90% pria dan 80%
wanita.

Penulis lain (n = 111) telah melaporkan bahwa 43% orang yang dibebaskan dari jeratan dan
sadar Kembali mengalami kehilangan memori selama periode pasca pencekikan dan 25%
melaporkan mengalami kelelahan, sakit kepala, dan pusing. Perubahan karakter diamati pada
44% orang yang digantung dalam jangka waktu yang lama. Didapatkan gejala organik akibat
cedera otak seperti insufisiensi piramidal dan kerusakan saraf kranial. Jejak tanda jeratan
menghilang dalam waktu 15 hari pada 83% kasus, dalam waktu satu bulan pada 8% kasus, dalam
1,5 bulan sebanyak 5%, dan setelah lebih dari satu tahun sebanyak 4%.

Diskusi

Dari berbagai sumber literatur, belum ada kesepakatan mengenai waktu terjadinya sinkop atau
mekanisme patogenetik yang pertama kali mengaktifkannya. Selama penjeratan, tujuh
mekanisme bekerja secara bersamaan, dan kematian disebabkan oleh faktor kuat yang berbeda-
beda, tergantung pada metode kompresi leher. Patogenesis asfiksia mekanik secara bersamaan
melibatkan gangguan aliran darah otak, stimulasi pleksus parasimpatis, dan kompresi jalan napas
dari luar.

Sinkop terjadi dalam waktu 6-8 detik setelah kompresi leher oleh lingkaran tali. Jika kompresi
leher berlanjut, pasien akan mengalami anoksia. Impuls parasimpatis melalui cabang saraf vagus
mencapai jantung yang menyebabkan bradikardia dan asistol. Ketika leher dikompresi selama
10-30 detik, vena wajah meluap dan petekie berkembang. Penelitian ini menunjukkan bahwa
orang yang menggantung diri untuk tujuan bunuh diri dan dalam keadaan mabuk pada saat
percobaan bunuh diri tidak menderita amnesia setelah kejadian tersebut. Fenomena ini dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa edema otak ekstraseluler yang diinduksi asfiksia dikompensasi oleh
edema intraseluler yang disebabkan oleh alkohol yang dikonsumsi.

Namun, diagnosis klinis yang ditegakkan selama perawatan di rumah sakit pada periode pasca
jeratan tidak menekankan penyebab utama cedera, yaitu asfiksia mekanis. Ketika dokter
berkonsentrasi pada komplikasi, seperti koma dan pneumonia, mereka mengabaikan aspek lain
dari patogenesis asfiksia mekanis. Dalam hal kedokteran forensik, penyebab utama kematian
adalah asfiksia mekanis, bukan komplikasinya, yang merupakan sumber utama ketidaksesuaian
antara diagnosis klinis dan forensik.

Kesimpulan

Di antara pasien yang dirawat di rumah sakit selama periode tahun 2012 - 2014, hanya sedikit
yang selamat dari gantung diri. Sebagian besar korban adalah laki-laki. Tanda jeratan tetap
menjadi tanda yang paling obyektif dari asfiksia akibat penjeratan. Selama asfiksia akibat
penjeratan, beberapa mekanisme bekerja secara bersamaan, termasuk mekanisme neurologis,
kardiovaskular, dan pernapasan. Pemahaman yang tepat terhadap berbagai gejala yang ada dapat
melibatkan konsultasi dengan ahli paru, ahli jantung, psikiater, ahli THT, dokter spesialis mata,
dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis pencernaan, dan dokter spesialis endokrin.
Meskipun demikian, gejala-gejala klinis ini harus dikenali sebagai konsekuensi dari cedera
utama: penggantungan. Dalam praktik klinis, komplikasi kompresi leher diidentifikasi dalam
diagnosis sebagai penyakit/cedera yang mendasari dalam banyak kasus. Oleh karena itu, penting
untuk menentukan cedera utama: asfiksia akibat kompresi leher. Oleh karena itu, hal ini harus
dikodekan di bawah International Classification of Disease-10/Klasifikasi Penyakit
Internasional-10 (ICD10) sebagai R09.0-asfiksia, yaitu asfiksia akibat penyebab selain
persalinan, paparan karbon monoksida, benda asing di saluran pernapasan, komplikasi
intrauterine, dan trauma, serta sebagai T71-asfiksia, mati lemas (dengan penjeratan), kekurangan
oksigen akibat berkurangnya kadar oksigen di udara, dan obstruksi jalan napas mekanis.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................... 2
Daftar Isi.............................................................................................................................. 3
Identitas Jurnal..................................................................................................................... 4
Isi Jurnal.............................................................................................................................. 5
Abstrak................................................................................................................................. 5
1. Pendahuluan............................................................................................................... 7
2. Tatalaksana................................................................................................................. 12
3. Metode........................................................................................................................ 13
4. Hasil........................................................................................................................... 13
5. Diskusi........................................................................................................................ 14
6. Kesimpulan................................................................................................................ 15
Analisis Jurnal..................................................................................................................... 16
Kesimpulan.......................................................................................................................... 17
Daftar Pustaka...................................................................................................................... 18

Anda mungkin juga menyukai