Anda di halaman 1dari 10

VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN

DALAMMENGUNGKAP TINDAK
PIDANA PEMERKOSAAN

Sujadi

Abstrak
Visum et repertum berasal dari kata latin yang diterjemahkan kedalam bahasa
Inggris yaitu something seen atau appearance (visum) dan inventions atau find out
(repertum). Menurut istilah, visum et repertum berarti laporan tertulis yang dibuat
oleh dokter berdasarkan sumpah jabatannya terhadap apayang dokter lihat dan
periksa berdasarkan keilmuannya. Laporan tersebut dokter buat atas
permintaantertulis dari pihak berwenang untuk kepentingan penyidikan atau
pemeriksaan perkara di pengadilan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pihak
berwenang yang berhak meminta pembuatan visum et repertum kepada dokter adalah
polisi,jaksa dan hakim. Jaksa dan hakim meminta pembuatannya melalui polisi.
Tindak pidana perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak
laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu
seksual.Dalam membuktikan telah terjadi peristiwa hukum atau tidak terhadap
dugaan terjadinya tindak pidana perkosaan harus dilakuakn ekstra hati-hati oleh
penyidik. Visum et refertum sangat membantu penyidik dalam hal membuktikan
peristiwa pidana.

Kata Kunci : visum et refertum, penyidikan alat bukti, pemerkosan

Pendahuluan
Dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu
masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah
tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan
seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil
selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat
penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya
yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang
kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan
dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan
keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu
keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban,
terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu
persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Fungsi visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan
sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang
cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian
terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum
et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu
kasus perkosaan.
Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku
penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan
kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.Sehubungan dengan
fungsivisum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus
perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak
Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga
tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang
tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan
yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan.
Visum Et Repertum (VER)
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik,
biasanya dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk
tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau
visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti
tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan
Repertumberarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter
terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan
diketemukan (R. Atang Ranoemihardja, 1983: 10).
Abdul Munim Idris dalam R. Atang Ranoemihardja, 1983: 18), memberikan
pengertian visum et repertum sebagai berikut: Suatu laporan tertulis dari dokter yang
telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang
diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan
peradilan.
Pada dasarnya dalam ilmu kedokteran dan kehakiman ada 3 (tiga) jenis visum et
repertum, yaitu sebagai berikut: Pertama, Visum et repertum orang hidup. Adapun Visum
et repertum orang hidup, terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu: (a). Visum et repertum
luka/visum et repertum seketika/visum et repertum defenitif. Visum ini tidak
membutuhkan perawatan dan pemeriksaan lanjut sehingga tidakmenghalangi pekerjaan
korban. Kualifikasi luka yang dokter tulis pada bagian kesimpulan visum etrepertum
yakni luka derajat I (satu) atau luka golongan C. Dokter tidak diperkenankan menulis
lukapenganiayaan ringan karena ini istilah hukum. (b). Visum et repertum sementara.
Visum ini membutuhkan perawatan dan pemeriksaan lanjut sehinggamenghalangi
pekerjaan korban. Kualifikasi lukanya tidak ditentukan dan tidak ditulis oleh dokter
padabagian kesimpulan visum et repertum. (c). Visum et repertum lanjutan. Visum ini
dilakukan bilamana luka korban telah dinyatakan sembuh. Alasanlain pembuatannya
yaitu korban pindah rumah sakit, korban pindah dokter atau korban pulang paksa. Kedua,
Visum et repertum jenasah. Visum ini dilakukan Jika korban meninggal dunia maka
dokter membuat visum et repertum jenasah. Dokter menuliskualifikasi luka pada bagian
kesimpulan visum et repertum kecuali luka korban belum sembuh ataukorban pindah
dokter. Ketiga, Expertisemerupakan visum et repertum khusus yang melaporkan keadaan
benda atau bagian tubuhkorban. Misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, rambut,
tulang, dan lain-lain. Ada pihak yangmengatakan bahwa expertise bukan termasuk visum
et repertum.
Ada 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta
dokter untuk membuat visum et repertum korban hidup, yakni sebagai berikut: Pertama,
Harus tertulis, tidak boleh secara lisan; Kedua, Langsung menyerahkannya kepada dokter,
tidak boleh dititip melalui korban atau keluarganya, serta tidak boleh melalui jasa pos;
Ketiga, Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter;
Keempat, Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter; Kelima, Ada identitas
korban; Keenam, Ada identitas pemintanya; Ketujuh, Mencantumkan tanggal
permintaannya; Kedelapan, Korban diantar oleh polisi atau jaksa.
Proses Penyidikan Tindak Pidana
Fungsi hukum acara pidana, hal ini diantaranya dapat disimpulkan berdasarkan
pendapat JM. Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Sudjono (1984: 1), yang
mengemukakan sebagai berikut bahwa pada pokoknya hukum acara pidana mengatur hal-
hal: Pertama, diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilanggarnya ketentuan
pidana oleh alat-alat negara; Kedua, diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan
tersebut; Ketiga, diikhtiarkan segala daya agar pelaku dari perbuatan dapat ditangkap, jika
perlu untuk ditahan; Keempat, dikumpulkannya bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal)
yang telah diperoleh pada pengusutan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan
membawa terdakwa ke hadapan hakim; Kelima, menyerahkan kepada hakim untuk
diambil putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang disangkakan dilakukan
terdakwa serta untuk menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib lainnya; Keenam,
menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan yang
diambil hakim; Ketujuh, akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan
tata tertib.
Pendapat tentang fungsi hukum acara pidana seperti dikemukanan di atas.
bahwa hukum acara pidana dilaksanakan untuk mendapatkan suatu kebenaran materiil
dari suatu perkara pidana dengan tujuan diberikannya putusan yang tepat dan adil
terhadap perkara tersebut, hal ini membawa akibat bahwa dalam usaha menemukan
kebenaran tersebut terdapat dua proses yang teramat penting, kedua proses ini yaitu:
Pertama, Pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan sebelum dihadapkan
pada sidang pengadilan; Kedua, Pemeriksaan di depan sidang pengadilan.
Sementara tindakan penyidikan berdasarkan definisi yuridis, beberapa ketentuan
perundang-undangan yang menyebutkan pengertian penyidikan diantaranya KUHAP dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 1 angka 13 Undang-undang Th.2002 No.2 tentang Kepolisian RI serta
Pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pengertian yang sama tentang tindakan penyidikan,
dinyatakan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana ialah
mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang
sebenarnya. Abdul Munin Idris dan Agung LegowoTjiptomartono (2002: 4),
mengemukakan mengenai fugsi penyidikan adalah Fungsi penyidikan adalah merupakan
fungsi teknis reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi
jelas, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-
lengkapnya mengenai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terjadi.
R.Soesilo (1990: 27), menyamakan fungsi penyidikan dengan tugas penyidikan
sebagai berikut : Sejalan dengan tugas Hukum Acara Pidana maka tugas penyidikan
perkara adalah mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenar-
benarnya.Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi penyidikan adalah
untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai
suatu kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak
pidana tertentu telah dilakukan.
Selanjutnya tujuan utama dalam rangka penyidikan adalah mengumpulkan
sebanyak mungkin keterangan, hal ikhwal, bukti dan fakta-fakta yang benar mengenai
peristiwa yang terjadi. Berdasarkan atas fakta ini kemudian dicoba membuat gambaran
kembali apa yang terjadi. Fakta-fakta yang masih kurang dicari untuk dilengkapi
sehingga gambaran peristiwa yang telah terjadi tersebut akhirnya menjadi lengkap.
Berdasarkan uraian tersebut tugas seorang penyidik yaitu mencari serta
mengumpulkan bukti atas suatu peristiwa yang telah ternyata sebagai tindak pidana,
untuk membuat terang tindak pidana tersebut dan guna menemukan pelakunya.
Proses dilakukannya penyidikan suatu perkara yang merupakan tindak pidana
oleh penyidik diberitahukan kepada penuntut umum dengan diserahkannya Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sesuai dengan Pasal 109 ayat (1)
KUHAP. Setelah bukti-bukti terkumpul dan yang diduga sebagai tersangkanya telah
ditemukan selanjutnya penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk
dilimpahkan kepada penuntut umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana. Jika
penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka
penyidikan dihentikan demi hukum.
Kemudian dalam Pasal 8 ayat (3) bila penyidikan telah selesai maka penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, penyerahan dilakukan dengan dua
tahap, yaitu: Pertama, Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
Kedua, Tahap kedua, dalam hal penyidikan telah dianggap selesai penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Selanjutnya dalam Pasal 110 ayat (4) KUHAP, penyidikan dianggap selesai jika
dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas hasil
penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan
mengenai hal tersebut dari penuntut umum kepada penyidik. Setelah penyidikan dianggap
selesai, maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum.
Pada dasarnya proses pemeriksaan pada tahap penyidikan merupakan tahap
awal dari keseluruhan proses pidana. Tujuan penyidikan adalah untuk memperoleh
keputusan dari penuntut umum apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat
dilakukan penuntutan. Proses pidana merupakan rangkaian tindakan pelaksanaan
penegakan hukum terpadu. Antara penyidikan dan penuntutan terdapat hubungan erat,
bahkan berhasil tidaknya penuntutan di sidang pengadilan tidak terlepas dari hasil
penyidikan
Tindak Pidana Perkosaan
Tindak pidana perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata
perkosaan yang berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau
menggagahi (Diknas, 2002: 94). Pengertian tindak pidana perkosaan tersebut mempunyai
makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan sexual (sexual intercouse)
tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto (1997: 20), yang dimaksud dengan
perkosaan adalah Suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar.
Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat
dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak
melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa
pelanggaran norma serta tertib sosial.
Pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkosaan
merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang
berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya
baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di
masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan
perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan
pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.
Ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya
tindak pidana perkosaan atau verkrachting terdapat dalam Pasal 285 KUHP. Dirumuskan
dalam pasal tersebut : Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun (Moeljatno, 1996: 104).
Rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP tersebut, menurut
Adami Chazawi (2002: 56), dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah
sebagai berikut: Pertama, Perbuatannya : memaksa, Kedua, Caranya, dilakukan dengan
sebagai berikut: 1) dengan kekerasan,2) dengan ancaman kekerasan; Ketiga, seorang
wanita bukan istrinya; Keempat, bersetubuh dengan dia.
Perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain
dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima
kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Pengertian ini
pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan
dengan kehendak seseorang tersebut.
Satochid Kartanegara sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung (1996: 52),
menyatakan sebagai berikut perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai
perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain. Memaksa
dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan
membuat seorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin,
harus dimasukkan dalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan hubungan
kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita
adalah wanita itu sendiri.
Menurut R. Soesilo ( kekerasan ialah mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani yang tidak kecil secara tidak syah. Sementara Satochid Kartanegara
mengartikan kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan
badan yang tidak ringan atau agak berat (Leden Marpaung, 1996: 52).
Adami Chazawi (2002: 56),memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285
sebagai berikut Kekerasan yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang
ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan
kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu
menjadi tidak berdaya secara fisik. Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya
ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada bermacam-macam yang tidak terbatas.
Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menusuk, dan lain sebagainya.
M.H. Tirtamidjaja dalam Leden Marpaung, (1996: 53), mengadakan hubungan
kelamin atau bersetubuh berati persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan
perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu telah terjadi
pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
Berdasarkan hal tersebut Moch. Anwar (1986: 266) menyatakansebagai berikut
Persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke
dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa
disertai ejakulasi.
Berbicara tentang Visum Et Refertum sebagai alat bukti yang kuat dalam
mengungkap tindak pidana pemerkosaan. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas pada
dasarnya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian terhadap peristiwa tindak
pidana pemerkosaan sangat sulit untuk dibuktikan, hal ini seringkali pelaku dan korban
itu sendiri mengelak dalam hal perbuatannyanya . Alat bukti Visum Et Refertum sangat
penting dalam pembuktian tindak pidana pemerkosaan. Berikut akan diuraikan teori
pembuktian dalam suatu tindak pidana
Teori Pembuktian
Proses pembuktian dalam proses persidangan mendudukitempat yang sangat
penting dalam pemerikasaan suatu perkara. Darihasil proses pembuktian inilah nantinya
akan ditentukan nasibterdakwa, apakah dari hasil pembuktian tersebut
terdakwadinyatakan bersalah atau dibebaskan. Definisi tentang pembuktianitu sendiri
tidak tercantum secara tegas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
walaupun terdapat aturan perihalpembuktian. Menanggapi hal tersebut muncul beberapa
pendapatdari para ahli hukum mengenai pengertian dari pembuktian, diantaranya
Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisipenggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengaturalat-
alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2002 : 273).
Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita ( 2003 : 10) hukum pembuktian adalah:
merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti
yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata
cara mengajukan bukti tersebut secara kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan
menilai suatu pembuktian.dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan (M.Yahya Harahap, 2002 : 273).
Kesimpulan
Proses pembuktian sebagaimana yang telah disebutkan diatas, merupakan inti
dari rangkaian pemeriksaan dalam acara pidana, oleh karena itu pembuktian itu sendiri
harus dilakukan secara cermat dan tepat karena hal ini menyangkut tentang kehidupan
seseorang pada nantinya. Disinilah diperlukan adanya asas-asas pembuktian yang
meliputi: Pertama Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, meskipun
terdakwa telah memberikan pengakuan jaksa penuntut umum dalam peridangan tetap
berkewajiban untuk membuktikankesalahan terdakwa dengan menggunakan alat bukti
yang lain. Hal ini tidak terlepas dari tujuan pembuktian dari acara pidana itu sendiri yakni
mencari dan mendapatkan kebenaran materiil (substantial truth), sesuai dengan pasal 189
ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi ; keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang sah.
Kedua, Hal yang secara umum tidak perlu dibuktikan (notoir feiten), yang berdasar pada
pasal 184 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi ; hal yang
secara umumsudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Secara garis besar fakta notoir
dibedakan menjadi dua golonganyaitu : (a). Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum
bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya yang benarnya
atau semestinya demikian. (b). Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan
selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian (Hari
Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 20).

Daftar Pustaka
Moch.Anwar, 1986, Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku II) Jilid II, Alumni Bandung.

Chazawi, Adami, 2002, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Biro Konsultasi & Bantuan
Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Hari Sasangka dan Lily RositA.2003. Hukum Pembuktian dalam PerkaraPidana.
Bandung. Mandar Maju

Lamintang,P.A.F, 1990, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma
Kesusilaan Dan Norma-Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung.

Marpaung, Leden, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,
Cetakan I,Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan kesembilan belas,
Bumi Aksara, Jakarta,

Munin, Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, 2002, Penerapan Ilmu
Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta

Soedjono.D, 1984, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Penerbit Alumni,
Bandung.

Soesilo,R. 1990, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politeia, Bogor.

Soetardjo Wignjo Soebroto, 1997, Kejahatan Perkosaan Telaah Dari Sudut Tinjauan
Ilmu Sosial, dalam Eko Prasetyo (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,
PKBI, Yogyakarta.

Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta.
Sinar Grafika

Anda mungkin juga menyukai

  • 880 872 1 PB
    880 872 1 PB
    Dokumen10 halaman
    880 872 1 PB
    Rani Istanti Siswono
    Belum ada peringkat
  • Bab4
    Bab4
    Dokumen46 halaman
    Bab4
    Rani Istanti Siswono
    Belum ada peringkat
  • Pidana Mati
    Pidana Mati
    Dokumen22 halaman
    Pidana Mati
    Rani Istanti Siswono
    Belum ada peringkat
  • Pidana Mati
    Pidana Mati
    Dokumen22 halaman
    Pidana Mati
    Rani Istanti Siswono
    Belum ada peringkat
  • Fungsi Peranan Konstitusi
    Fungsi Peranan Konstitusi
    Dokumen22 halaman
    Fungsi Peranan Konstitusi
    nur syabaniawati
    Belum ada peringkat
  • Premanisme
    Premanisme
    Dokumen92 halaman
    Premanisme
    Lana Dwi Tiffany
    100% (1)
  • Bahan Ajar Phi
    Bahan Ajar Phi
    Dokumen160 halaman
    Bahan Ajar Phi
    Rani Istanti Siswono
    100% (1)