Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KIMIA RACUN (TOKSIKOLOGI)

Disusun Oleh :

Kelompok : 8

Nama : 1. Evi Susilawati P. (06101181722011)

2. Hendrik Simamora (06101281722042)

3. Novani Florensia Br. Sembiring

(06101281722019)

4. Rizki Kinanti (06101281722030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala kebenaran, kebesaran dan limpahan dari nikmat yang diberikan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah Kimia Lingkungan tentang
Kimia Racun (Toksikologi). Tujuan dari pembuatan makalah ilmiah ini adalah
untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Kimia Lingkungan.

Adapun makalah ilmiah kimia lingkungan tentang toksikologi ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin. Namun kami sadar pada makalah ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi penulisan, isi dan lain sebagainya. Maka kami sangat
mengharapkan kritikkan dan saran guna perbaikan untuk pembuatan makalah di
hari yang akan datang.

Kami mengharapkan semoga makalah ilmiah kimia lingkungan tentang


toksikologi ini dapat bermanfaat dan memberikan inspirasi kepada para pembaca.

Indralaya, 28 Agustus 2019

Penyusun

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas dari bahan kimia (Casarett and
Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari jelas kerusakan atau cedera
pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi
substansi atau energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme
terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang
merugikan terhadap organisme. Banyak sekali peran toksikologi dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi bila dikaitkan dengan lingkungan dikenal istilah toksikologi
lingkungan dan ekotoksikologi.
Dua kata toksikologi lingkungan dengan ekotoksikologi yang hamper sama
maknanya ini sering sekali menjadi perdebatan. Toksikologi lingkungan ialah ilmu
yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan
menimbulkan pencemaran lingkungan (Cassaret, 2000). Ekotoksikologi adalah
ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada makhluk hidup, khususnya
populasi dan komunitas termasuk ekosistem, jalan masuknya agen dan interaksi
dengan lingkungan (Butler, 1978). Dengan demikian ekotoksikologi merupakan
bagian dari toksikologi lingkungan.
Kebutuhan akan toksikologi lingkungan meningkat ditinjau dari:
1) Proses Modernisasi, yang akan menaikan konsumsi sehingga produksi juga harus
meningkat. Dengan demikian, industrialisasi dan penggunaan energi akan
meningkat yang tentunta akan meningkatkan resiko toksikologis.
2) Proses Industrialisasi, akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi yang
akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair dan padat. Buangan ini tentunya
akan menimbulkan perubahan kualitas lingkungan yang mengakibatkan resiko
pencemaran, sehingga resiko toksikologi juga akan meningkat.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian toksikologi dan racun?
3
2. Bagaimana karakteristik bahan toksik dan karakteristik pemaparannya?
3. Bagaimana jalur masuk dan tempat pemaparan?
4. Bagaimana jalur waktu dan frekuensi pemaparan?
5. Bagaimana interaksi bahan kimia dan hubungan dosis-respon?
6. Apa yang dimaksud dengan Adsorbsi, distribusi, dan ekskresi toksikan?
7. Bagaimana berlangsungnya biotransformasi toksikan?
8. Apa efek dari toksikan?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian toksikologi dan toksik.
2. Mengetahui klasifikasi bahan toksik dan karakteristik pemaparannya.
3. Mengetahui jalur masuk dan tempat pemaparan.
4. Mengetahui jalur waktu dan frekuensi pemaparan.
5. Mengetahui interaksi bahan kimia dan hubungan dosis-respons.
6. Mengetahui pengertian adsorbs, distribusi, dan ekskresi toksikan.
7. Mengetahui biotransformasi toksikan.
8. Mengetahui efek toksikan

4
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Toksikologi
Toksikologi adalah studi mengenai efek yang tidak diinginkan dari zat-zat
kimia terhadap organisme hidup. Jadi, kalau dilihat dari definisi tersebut tidak perlu
lagi kata kimia dituliskan sesudah toksikologi seperti yang dituliskan dalam judul
makalah ini, meskipun zat toksik bisa juga berasal dari tumbuhan dan binatang.
Gabungan antara berbagai efek potensial yang merugikan serta terdapatnya
keanekaragaman bahan kimia dilingkungan membuat toksikologi sangat luas
cakupannya. Toksikologi meliputi penelitian toksisitas bahan-bahan kimia yang
digunakan, misalnya:(1). Dibidang kedokteran untuk tujuan diagnostik,
pencegahan, dan terapeutik, (2). Dibidang industri makanan sebagai zat tambahan
lansung maupun tidak langsung. (3). Sebagai pestisida , zat pengatur pertumbuhan,
penyerbuk buatan, dan (4). Dibidang industry kimia sebagai pelarut, reagen, dan
sebagainya.
Pencegahan keracunan memerlukan perhitungan terhadap toksisitas
(toxicity), hazard (bahaya), risk (resiko), dan safety (keamanan). Hazard zat
kimia berarti kemungkinan zat kimia tersebut membuat cedera, sedangkan dalam
bahasa Indonesia hazard diterjemahkan sebagai “bahaya”. Hazard berbeda
pengertiannya dengan toksisitas, yang berarti deskripsi dan kuantifikasi sifat-sifat
toksik suatu zat kimia. Hazard dapat berbeda tergantung cara pemaparan zat kimia
tersebut. Zat X dalam bentuk cairan misalnya akan lebih berbahaya (hazardous)
daripada bentuk butiran karena lebih mudah menempel dikulit dan diserap. Suatu
zat kimia dalam bentuk gas akan menimbulkan hazard lebih besar daripada bentuk
cair, karena dapat menyebar luas di udara dan mengenai banyak orang sekaligus.
Namun, bila gas disimpan dalam tangki dengan baik dan diruang sejuk maka hazard
akan menjadi lebih kecil.
Risk didefinisikan sebagai besarnya kemungkinan suatu zat kimia untuk
menurunkan keracunan. Hal ini terutama tergantung dari besarnya dosis yang
masuk dalam tubuh. Peningkatan dosis ditentukn oleh tingginya konsentrasi, lama
5
dan seringnya pemaparan serta cara masuknya zar tersebut masuk kedalam tubuh.
Semakin besar pemaparan terhadap zat kimia maka semakin besar pula resiko
keracunan.
Keamanan suatu xenobiotik perhitungannya sukar dipahami. Hal ini
disebabkan perlu memperhitungkannya keamanan dan menerapkan faktor
keamanan, yang kadang kala merupakan estimasi yang sering berlebihan. Manusia
tidak dapat dipakai sebagai hewan percobaan untuk menilai xenobiotik seperti
biasanya yang dilakukan terhadap obat karena tidak etis. Oleh karena itu,terpaksa
perhitungan harus didasarkan estimasi toksisitas dan bahaya terhadap suatu zat
kimia melalui data yang diperoleh melaui hewan percobaan. Karena ada perbedaan
antara sifat manusia dan hewan maka percobaan harus memperhitungkan faktor
keamanan yang menurut consensus ilmiah sebesar 100. Hal ini menyebabkan
diterimanya standar pemaparan seperti: Acceptable Daily Intake (ADI), Tolerable
Weekly Intake ( TWI), Maximal Allowable Concentration, Tolerence Level, dan
sebagainya.
2.2. Klasifikasi Bahan Toksik dan karakteristik Pemaparan
a. Klasifikasi Bahan Toksik
Bahan-bahan toksik dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, tergantung
dari minat dan tujuan pengelompokkannya. Sebagai contoh pengklasifikasian
berdasarkan:
1. Organ targetnya: hati, ginjal, system hematopotik, dan lain-lain.
2. Penggunaannya: pestisida, pelarut, aditif makanan, dan lain-lain.
3. Sumbernya: toksik tumbuhan dan binatang.
4. Efeknya: kanker, mutasi, kerusakan hati, dan sebagainya.
5. Fisiknya: gas, debu, cair.
6. Sifatnya: mudah meledak.
7. Kandungan kimianya: amina aromatic, hidrokarbon halogen, dan lain-lain.
Tidak ada satupun klasifikasi yang sesuai untuk seluruh spectrum dari bahan
toksik. Kombinasi dari berbagai system klasifikasi atau berdasarkan faktor-faktor
lainnya mungkin diperlukan untuk memberikan system peringkat terbaik untuk
maksud tertentu. Meskipun klasifikasi yang mempertimbangkan komposisi dalam
6
kimiawi dan biologis dari bahan serta karakteristik pemaparan akan lebih
bermanfaat untuk tujuan pengendalian dan pengaturan dari pemakaian zat-zat
toksik.
b. Karakteristik Pemaparan
Efek merugikan (toksik) pada sistem biologis dapat disebabkan oleh bahan
kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya cocok untuk
menimbulkan keadaan toksik. Respon terhadap bahan toksik tersebut antara lain
tergantung kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan, kerentanan sistem biologis,
sehingga bila ingin mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus mengetahui
macam efek yang timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan mengenai
paparan dan sasarannya.
Perbandingan dosis lethal suatu bahan polutan dan perbedaan jalan masuk
dari paparan sangat bermanfaat berkaitan dengan absorbsinya. Suatu bahan polutan
dapat diberikan dalam dosis yang sama tetapi cara masuknya berbeda. Misalnya
bahan polutan pertama melalui intravena, sedangkan bahan lainnya melalui oral,
maka dapat diperkirakan bahwa bahan polutan yang masuk melalui intravena
memberi reaksi cepat dan segera. Sebaliknya bila dosis yang diberikan berbeda
maka dapat diperkirakan absorbsinya berbeda pula, misalnya suatu bahan masuk
kulit dengan dosis lebih tinggi sedangkan lainnya melalui mulut dengan dosis yang
lebih rendah maka, dapat diperkirakan kulit lebih tahan terhadap racun sehingga
suatu bahan polutan untuk dapat diserap melalui kulit diperlukan dosis tinggi.
Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui karakteristik lengkap tentang
bahaya potensial dan toksisitas dari suatu bahan kimia tertentu perlu diketahui tidak
hanya tipe efek yang dihasilkan dan dosis yang yang diperlukan untuk
menghasilkan efek tersebut, tetapi juga informasi mengenai sifat bahan kimianya
sendiri, pemaparannya, dan subjek. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas
yang berhubungan dengan situasi pemaparan terhadap bahan kimia tertentu adalah
jalur masuk kedalam tubuh dan frekuensi pemaparan.

2.3. Jalur Masuk dan Tempat Pemaparan


Jalur masuk bahan toksik untuk dapat masuk kedalam tubuh manusia adalah
7
melalui saluran pencernaan atau gastro intestinal (menelan/ingesti), paru-paru
(inhalasi), kulit (topikal), dan jalur parental lainnya (selain saluran usus/intestinal).
Jalur lain tersebut diantaranya daalah intra muskuler, intra dermal, dan sub kutan.
Jalan masuk yang berbeda ini akan mempengaruhi toksisitas bahan polutan. Bahan
paparan yang berasal dari industri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan
terhirup, sedangkan kejadian “keracunan” biasanya melalui proses tertelan. Bahan
toksik umumnya menyebabkan respon yang paling cepat apabila diberikan melalui
jalur intravena. Di samping itu, jalur masuk dapat mempengaruhi toksisitas dari
bahan kimia. Sebagai contoh, suatu bahan kimia yang didetoksifikasi di hati di
harapkan akan menjadi kurang toksik bila diberikan melalui sirkulasi sitematik
(inhalasi). Pemaparan bahan-bahan toksik di lingkungan industri seringkali sebagai
hasil dari pemaparan melalui inhalasi dan topical, sedangkan keracunan akibat
kecelakaan atau bunuh diri seringkali terjadi melalui ingesti oral.

2.4. Jalur Waktu dan Frekuensi Pemaparan


Pemaparan bahan- bahan kimia terhadap binatang biasanya dibagi dalam 4
(empat) kategori yaitu akut,subakut, dan kronik. Pemaparan aktif adalah pemaparan
terhadap suatu bahan kimia selama kurang dari 24 jam. Biasanya pemaparan akut
terjadi pada waktu adanya kecelakaan misalnya pecahnya saluran gas di suatu
perusahaan sehingga para karyawan langsung menghirup gas beracun dalam
konsentrasi yang cukup tinggi (kasus pabrik Union-Carbide di Bhopal India) atau
memang sengaja bunuh diri misalnya seorang meminum satu gelas racun serangga
(misalnya baygon) yang kalau tidak cepat ketahuan bisa membawa kematian.
Pemaparan akut biasanya berhubungan dengan pemberian tunggal sedangkan
subakut, subkronik dan kronik merupakan pemaparan yang berulang. Contoh,
sebuah percobaan akut telah dilakukan terhadap hewan percobaan tikus putih
dengan jalan memberikan ekstrak ethanol dari bahan alam(tapak dara) secara oral
untuk melihat efek ekstrak tersebut terhadap penemuan kadar glukosa darah yang
dilakukan di Pusat Penyakit Tidak Menular DEPKES Salemba Jakarta.
Pemaparan subakut adalah pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia
untuk jangka waktu satu bulan atau kurang, pemaparan subkronik untuk satu
8
sampai tiga bulan, dan pemaparan kronik untuk lebih dari tiga bulan. Ketiga jenis
pemaparan tersebut dapat terjadi melalui jalur masuk apapun, namun yang paling
sering melalui jalur oral dengan bahan kimia yang ditambahkan langsung dalam
makanan. Untuk kebanyakan bahan kimia, efek toksik setelah pemaparan tunggal
sangat berbeda dibandingkan dengan efek yang dihasilkan oleh pemaparan
berulang. Sebagai contoh, manifestasi toksik akut utama dari benzena adalah
dipresi susunan saraf pusat, tetapi pemaparan berulang dapat menyebabkan
leukimia. Pemaparan akut terhadap bahan kimia yang cepat diserap cenderung
untuk menghasilkan toksik yang segera, namun pemaparan akut dapat pula
menghasilkan beberapa efek akut setelah setiap pemberian, disamping efek jangka
panjang ,ambang rendah, dan efek kronik dari bahan tersebut.
Faktor penting lain yang berhubungan dengan waktu dalam menjelaskan
karakteristik pemaparan adalah frekuensi pemberian. Secara umum dosis yang
terbagi-bagi akan mengurangi efek yang ditimbulkannya. Suatu dosis tunggal dari
suatu zat yang menghasilkan efek berat secara cepat mungkin akan menghasilkan
efek yang kurang dari setengahnya bila di berikan dalam dua dosis terpisah, dan
tidak menimbulkan efek apa-apa bila diberikan secara berkala dalam 10 kali untuk
beberapa jam atau hari. Efek toksik kronik terjadi bila bahan kimia terakumulasi di
dalam sistem biologis(absorpsi melebihi biotransformasi ekskresi), atau bila
menghasilkan efek toksik yang tidak pulih kembali,atau bila tidak cukup dari sistem
biologis untuk melakukan pemulihan dari kerusakan dalam interval frekuensi
pemaparan. Bila tingkat eliminasi lebih kecil dari pada tingkat absorpsi, bahan
toksik biasanya tidak terakumulasi secara tetap, namun mencapai suatu keadaan
keseimbangan bila tingkat eliminasi sama dengan tingkat pemberian.

2.5. Interaksi Bahan Kimia dan Hubungan Dosis-Respons


a. Interaksi Bahan Kimia
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme seperti
perubahan dalam absorpsi, pengikatan protein, dan biotransformasi atau ekskresi
dari satu atau dua zat toksik yang berinteraksi. Efek dari dua bahan kimia yang
diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu respon yang mungkin hanya
9
sekedar aditif dari respon individual masing-masing atau mungkin lebih besar atau
lebih kecil dari yang diharapkan. Beberapa terminologi telah digunakan untuk
menjelaskan interaksi farmakologi dan toksikologi tersebut.
Efek aditif adalah suatu situasi dimana efek gabungan dari dua bahan kimia
sama dengan jumlah dari efek masing-masing bahan bila diberikan sendiri-sendiri
(misalnya : 2+3=5). Sebagai contoh: bila dua insektisida organofosfat diberikan
secra bersamaan, hambatan terhadap cholinesterase biasanya aditif. Efek sinergistik
adalah situasi dimana efek gabungan dari dua bahan kimia jauh melampaui
penjumlahan dari tiap-tiap bahan kimia bila diberikan secara sendiri-sendiri
(misalnya: 2+3=20). Sebagai contoh, CCl4 (karbon tetraklorida) dan C2H5OH
(etanol) yang keduanya adalah senyawa hepatotoksik bila secara bersamaan
diberikan akan menghasilkan kerusakan hati yang jauh lebih hebat dari pada jumlah
masing-masing efek secara individual.
Potensiasi adalah keadaan dimana suatu senyawa kimia tidak mempunyai
efek toksik terhadap sistem atau organ tertentu, tapi bila ditambahkan ke bahan
kimia lain akan membuat bahan tersebut menjadi jauh lebih toksik(misalnya:
0+2=10). Sebagai contoh, isopropanol tidak bersifat hepatotoksik, tetapiu bila zat
tersebut diberikan disamping pemberian karbon tetraklorida,efek hepatotoksik dari
karbon tetraklorida akan menjadi jauh lebih besar dibandingkan bila hanya
diberikan secara sendiri. Antagonistis adalah situasi dimana dua bahan kimia bila
diberikan secara bersamaan efeknya saling mempengaruhi dalam arti saling
meniadakan efek toksik, (misalnya: 4+6=8 atau 4+0=1). Efek antagonis dari bahan-
bahan kimia sering kali merupakan efek yang dikehendaki dalam toksikologi dan
merupakan dasar dari berbagai antidote.
b. Hubungan Dosis-Respons
Karakteristik pemaparan dan spectrum efek secara bersamaan membentuk
hubungan korelasi yang dikenal sebagai hubungan dosis-respons. Hubungan
tersebut merupakan konsep paling dasar dari toksikologi. Pengertian dosis-respons
dalam toksikologi adalah proporsi dari sebuah populasi yang terpapar dengan suatu
bahan dan akan mengalami respon spesifik pada dosis, interval, waktu dan
pemaparan tertentu.
10
Ada beberapa asumsi yang harus dipertimbangkan sebelum hubungan dosis-
respons dapat sesuai digunakan oleh makhluk hidup adalah sebagai berikut.
1.Respon timbul karena adanya bahan kimia yang diberikan terhadap makhluk
hidup .
2. Respon pada kenyataannya berhubungan dengan dosis.
Respon yang terpilih untuk pengukuran, hubungan antara derajat respon
dari sistem biologis dan jumlah bahan toksik yang diberikan membentuk suatu
asumsi bahwa hal ini terjadi secara konsisten dan dipertimbangkan sebagai hal
dasar dan klasik yang disebut hubungan dosis-respons. Hal ini yang mendasari
adanya dosis lethal (mematikan) sebagai suatu indeks (LD50). LD50 adalah dosis
tunggal dari suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari binatang percobaan. Meski penerapan LD50 saat ini
menjadi isu masyarakat karena adanya peningkatan perhatian dan perlindungan
terhadap binatang percobaan, namun LD50 merupakan hal penting untuk
mengetahui karakteristik dan dari suatu bahan kimia dengan demikian juga akan
dapat menetapkan tingkat bahayanya terhadap manusia. Lethal Dose 50 (LD 50)
merupakan dosis tunggal derivat suatu bahan tertentu pada uji toksisitas yang pada
kondisi tertentu pula dapat menyebabkan kematian 50 % dari populasi uji (hewan
percobaan). Aplikasi dosis respon pada nilai LD50 tidak ekuivalen dengan
toksisitas tapi nilai ini dapat diinterpretasikan dalam nilai TD(toxic dose) dan ED
(effectife dose). Toxic Dose (TD) adalah dosis dari suatu bahan yang dipaparkan
pada suatu populasi dan pada tingkat dosis tersebut sudah dapat mengakibatkan
kerusakan pada jaringan tubuh hewan percobaan.

2.6. Adsorbsi, Distribusi, dan Ekskresi Toksikan


Selain menyebabkan efek lokal di tempat kontak, suatu toksikan akan
menyebabkan kerusakan bila ia diserap oleh organisme itu. Sifat dan hebatnya efek
zat kimia terhadap organisme tergantung dari kadarnya di organ sasaran. Kadar ini
tidak hanya tergantung pada dosis yang diberikan tetapi juga pada beberapa faktor
lain misalnya derajat absorpsi, distribusi, pengikatan, dan ekskresi. Agar dapat
diserap (adsorbs), didistribusi, dan akhirnya dikeluarkan (ekskresi), suatu toksikan
11
harus melewati sejumlah membran sel. Suatu membran sel biasanya terdiri atas
lapisan biomolekuler yang dibentuk oleh molekul lipid dengan molekul protein
yang tersebar di seluruh membran. Suatu toksikan melewati membran sel melalui
empat mekanisme, yaitu difusi pasif lewat membran, filtrasi lewat pori-pori
membran, transpor dengan perantaraan carrier, dan pencaplokan (pinositosis). Pada
mekanisme terakhir ini sel berperan aktif dalam transfer toksikan lewat
membrannya.
a. Absorpsi Toksikan
Absorpsi dapat terjadi lewat saluran cerna, paru-paru, kulit dan beberapa
jalur lain. Jalur utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru,
dan kulit. Namun dalam penelitian toksikologi, sering digunakan jalur khusus
seperti injeksi intraperitoneal, intramuskuler dan subkutan.
Saluran Cerna
Banyak toksikan dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air
minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang
kaustik atau amat merangsang mukosa, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan
efek toksik kecuali kalau mereka diserap. Absorpsi dapat terjadi di seluruh saluran
cerna. Namun pada umumnya, mulut dan rektum tidak begitu penting bagi absorpsi
zat-zat kimia dari lingkungan.
Lambung merupakan tempat penyerapan yang penting, terutama untuk
asam-asam lemah yang akan berada dalam bentuk ion-ion yang larut lipid dan
mudah berdifusi. Sebaliknya, basa-basa lemah akan sangat mengion dalam getah
lambung yang bersifat asam dan karenanya tidak mudah diserap. Perbedaan dalam
absorpsi ini diperbesar lagi oleh adanya plasma yang beredar. Asam-asam lemah
terutama akan berada dalam bentuk ion yang terlarut dalam plasma dan diangkut,
sementara basa lemah akan berada dalam bentuk ion-ion dan dapat berdifusi
kembali ke lambung.
Di dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion dan
karenanya tidak mudah diserap. Namun sesampai di darah, mereka mengion
sehingga tidak mudah berdifusi kembali. Sebaliknya zat basa lemah terutama akan
12
berada dalam bentuk non-ion sehingga mudah diserap. Absorpsi usus akan lebih
tinggi dengan lebih lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan
mikrovili usus.
Saluran Napas
Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru. Hal
ini terutama berlaku untuk gas, misalnya CO, NO dan SO2; hal ini juga berlaku
untuk uap cairan misalnya benzen dan CCl4. Kemudahan absorpsi ini berkaitan
dengan luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah dan dekatnya darah
dengan udara alveoli.
Laju absoprsi bergantung pada daya larut gas dalam darah; semakin mudah
larut, semakin cepat absorpsi. Namun keseimbangan antara udara dan darah ini
lebih lambat tercapai untuk zat kimia yang mudah larut, misalnya etilen. Hal ini
terjadi karena suatu zat kimia yang lebih mudah larut akan lebih mudah larut dalam
darah. Karena udara alveolar hanya dapat membawa zat kimia dalam jumlah
terbatas, maka diperlukan lebih banyak pernapasan dan waktu lebih lama untuk
mencapai keseimbangan. Bahkan diperlukan waktu lebih lama lagi kalau zat kimia
itu juga diendapkan dalam jaringan lemak.
Disamping gas dan uap, aerosol cair dan partikel-partikel di udara dapat
juga diserap. Pada umumnya, partikel besar (> 10 mm) tidak memasuki saluran
napas; kalaupun masuk, mereka diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan
diusap, dihembuskan dan berbangkis. Partikel yang sangat kecil (< 0,01 mm) lebih
mungkin terbuang ketika kita menghembuskan napas. Partikel berukuran 0,01-10
mm diendapkan dalam berbagai bagian saluran napas. Partikel yang lebih besar
mungkin diendapkan di nasofaring dan diserap lewat epitel di daerah ini atau lewat
epitel saluran cerna setelah mereka tertelan bersama lendir. Partikel-partikel yang
lebih kecil diendapkan dalam trakea, bronki, dan bronkioli, lalu ditangkap oleh silia
di mukosa atau ditelan oleh fagosit. Partikel-partikel yang dilempar ke atas oleh
silia akan dibatukkan atau ditelan. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap
ke dalam sistem limfatik. Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran
limfe. Partikel-partikel yang dapat larut mungkin diserap lewat epitel ke dalam
darah.
13
Secara kasar dapat dikatakan bahwa 25 % partikel yang terhirup akan
dikeluarkan bersama udara napas, 50 % diendapkan dalam saluran napas bagian
atas, dan 25 % diendapkan dalam saluran napas bagian bawah.
Kulit
Pada umumnya kulit relatif impermeabel, dan karenanya merupakan sawar
(barrier) yang baik untuk memisahkan organisme dari lingkungannya. Namun
beberapa zat kimia dapat diserap lewat kulit dalam jumlah cukup banyak sehingga
menimbulkan efek sistemik. Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel rambut atau
lewat sel-sel kelenjar keringat atau sel kelenjar sebasea. Tetapi penyerapan lewat
jalur ini kecil sekali sebab struktur ini hanya merupakan bagian kecil dari
permukaan kulit. Maka absorpsi zat kimia di kulit sebagian besar adalah menembus
lapisan kulit yang terdiri atas epidermis dan dermis.
Fase pertama absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat epidermis yang
merupakan sawar terpenting, terutama stratum korneum. Stratum korneum terdiri
atas beberapa lapis sel mati yang tipis dan rapat, yang berisi bahan (protein filamen)
yang resisten secara kimia. Sejumlah kecil zat-zat polar tampaknya dapat berdifusi
lewat permukaan luar filamen protein stratum korneum yang terhidrasi; zat-zat non-
polar melarut dan berdifusi lewat matriks lipid di antara filamen protein. Stratum
korneum manusia berbeda struktur dan sifat kimianya dari satu bagian tubuh ke
bagian lainnya, hal ini tercermin dari perbedaan permeabilitasnya terhadap zat-zat
kimia.
Fase kedua absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat dermis yang
mengandung medium difusi yang berpori, non-selektif, dan cair. Oleh karena itu,
sebagai sawar, dermis jauh kurang efektif dibandingkan stratum korneum.
Akibatnya, abrasi atau hilangnya stratum korneum menyebabkan sangat
meningkatnya absorpsi perkutan. Zat-zat asam, basa, dan gas mustard juga akan
menambah aborpsi dengan merusak sawar ini. Beberapa pelarut terutama dimetil
sulfoksid, juga meningkatkan permeabilitas kulit.
b. Distribusi Toksikan
Setelah suatu zat kimia memasuki darah, ia didistribusi dengan cepat ke
14
seluruh tubuh. Laju distribusi ke setiap alat tubuh berhubungan dengan aliran darah
di alat tersebut, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan
membran sel, serta afinitas komponen alat tubuh terhadap zat kimia itu.
Sawar (barrier)
Sawar darah-otak terletak di dinding kapiler. Disana sel-sel endotelial
kapiler bertaut rapat sehingga hanya sedikit atau tak ada pori-pori di antara sel-sel
itu. Jadi toksikan harus melewati endotelium kapiler itu sendiri. Tiadanya vesikel
dalam sel-sel ini menyebabkan kemampuan transpornya lebih rendah lagi.
Akhirnya kadar protein cairan interstisial otak rendah, berbeda dengan kadarnya
dalam alat-alat tubuh lain; oleh karena itu mekanisme transfer toksikan dari darah
ke otak bukan melalui pengikatan protein. Dengan demikian penetrasi toksikan ke
dalam otak bergantung pada daya larut lipidnya. Contoh, metilmerkuri yang mudah
memasuki otak dengan toksisitas utama pada sistem saraf pusat. Sebaliknya,
senyawa merkuri anorganik tidak larut dalam lipid, tidak mudah memasuki otak,
dan toksisitas utamanya bukan di otak, tetapi di ginjal karena air seni mudah
melarutkan merkuri anorganik.
c. Ekskresi Toksikan
Setelah adsorbsi dan distribusi dalam tubuh, toksikan dapat dikeluarkan
dengan cepat atau perlahan. Toksikan dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai
metabolit atau sebagai konjugat. Jalur utama ekskresi adalah urine, tetapi hati dan
paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting untuk zat kimia tertentu.
1. Ekskresi Urin
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa
dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali,
yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler
glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm), karena itu sebagian toksikan
akan lewat di glomerulus, kecuali toksikan yang sangat besar (lebih besar dari BM
60.000) atau yang terikat erat pada protein plasma. Toksikan dalam filtrat
glomerulus akan mengalami absorpsi pasif disel-sel tubuler bila koefisien partisi
lipid/airnya tinggi, atau tetap dalam lumen tubuler dan dikeluarkan bila merupakan
senyawa polar.
15
2. Eksresi Empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk eksresi toksikan,
terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi (anion dan katon), konjugat yang
terikat pada protein lasma, dan senyawa yang BM-nya lebih besar dari 300. Pada
umumnya begitu senyawa ini berada dalam empedu, senyawa ini tidak akan diserap
kembali kedalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Tetapi ada pengecualian,
misalnya konjugat glukuronoid yang dapat dihidrolisis oleh flora usus menjadi
toksikan bebas yang diserap kembali. Pentingnya jalur empedu untuk eksresi
beberapa zat kimia telah diperlihatkan dengan jelas dalam percobaanyang
menunjukkan bertambahnya toksisitas akut beberapa kali lipat pada hewan yang
saluran empedunya diikat. Contoh zat kimia semacam itu adalah dietilstilbestrol
(DES). Toksisitas DES meningkat 130 kali pada tikus percobaan yang saluran
empedunya diikat.
3. Eksresi Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu badan terutama dieksresikan lewat paru-
paru. Cairan yang mudah menguap juga dengan mudah keluar lewat udara
ekspirasi. Cairan yang mudah larut misalnya klorofom dan halotan mungkin
dieksresikan sangat lambat karena ditimbun dalam jaringan lemak dan karena
terbatasnya volume ventilasi. Eksresi toksikan melaluin paru-paru terjadi karena
digusi sederhana lewat membran sel.
4. Ekskresi Jalur Lain
Toksikan dapat dieliminasi dari tubuh melalui beberapa rute. Ginjal
merupakan organ penting untuk mengeluarkan racun. Beberapa xenobiotik diubah
terlebih dahulu menjadi bahan yang larut dalam air sebelum dikeluarkan dalam
tubuh. Rute lain yang menjadi lintasan utama untuk beberapa senyawa tertentu
diantaranya : hati dan sistem empedu, penting dalam ekskresi seperti DDT dan Pb
; paru dalam ekskresi gas seperti CO. Toksikan yang dikeluarkan dari tubuh dapat
ditemukan pada keringat, air mata dan air susu ibu (ASI).

2.7. Biotransformasi Toksikan


Banyak zat kimia yang menjalani biotransformasi atau transformasi didalam
16
metabolit didalam tubuh. Crosby (1998) membagi mekanisme biotransformasi
toksikan dibagi kedalam dua jenis utama fase yaitu adalah sebagai berikut :
1.Reaksi fase I, yang melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, dan lain-lain.
2.Reaksi fase II, merupakan produksi suatu senyawa melalui konjugasi toksikan
atau metabolitnya dengan suatu metabolit endogen.
Karena itu, biotransformasi adalah suatu proses yang umumnya mengubah
senyawa awal menjadi metabolit, kemudian membentuk konjugat. Tetapi, mungkin
yang terjadi hanya salah satu reaksi saja. Misalnya, benzene mengalami oksidasi
pada reaksi fase I menjadi fenol, kemudian berkonjugasi dengan asam sulfat pada
reaksi fase II. Akan tetapi bila zat kimia yang bereaksi adalah fenol, maka hanya
akan terjadi konjugasi dengan asam sulfat tanpa reaksi fase I. Metabolit dan
konjugat biasanya lebih larut dalam air dan lebih polar, karenanya lebih mudah
diekskresi. Oleh karena itu, biotransformasi dapat dianggap sebagai mekanisme
detoksifikasi organisme “pejamu”. Tetapi perlu diingat bahwa dalam kasus tertentu
metabolit dapat lebih toksik daripada senyawa asalnya. Reaksi semacam ini dikenal
dengan bioaktivasi.
Senyawa tertentu yang stabil secara kimia dapat diubah menjadi reaktif
secar kimia. Reaksi ini biasanya dikatalisis oleh system-sistem
monooksigenesayang bergantung pada sitokrom P-450, tetapi enzim-enzim lain
seperti enzim dari flora usus, juga berperan dalm kasus tertentu. Metabolit reaktif
seperti epoksid dapat terikat secara kovalen pada makromolekul sel dan
menyebabkan nekrosis dan atau kanker. Metabolit lain, misalnya radikal bebas
dapat menyebabkan peroksida lipid dan mengakibatkan kerusakan jaringan.
Misalnya, karbon tetraklorida membentuk radikal triklorometil yang menyebabkan
peroksida lemak tak jenuh dan terikat secara kovalen pada proteindan lemak tak
jenuh.

2.8. Efek Toksikan


Penggunaan bahan kimia oleh manusia terutama sebagai bahan baku
didalam industri semakin hari semakin meningkat. Walaupun zat kimia sangat
toksik sudah dilarang dan dibatasi pemakaiannya, seperti pemakaian tetra-etil
17
timbal (TEL) pada bensin, tetapi pemaparan terhadap zat kimia yang dapat
membahayakan tidak dapat dielakkan. Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap
manusia bias bersifat kronik dan akut. Pemaparan akut biasanya terjadi karena suatu
kecelakaan atau disengaja (pada kasus bunuh diri atau dibunuh), dan pemaparan
kronik biasanya dialami oleh para pekerja terutama di lingkungan industry-industri
kimia.
Efek toksik dari bahan-bahan kimia sangat bervariasi dalam sifat, organ
sasaran maupun mekanisme kerjanya. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan
cedera pada tempat yang kena bahan tersebut (efek local), bisa juga efek sistemik
setelah bahan kimia diserap dan tersebar kebagian organ lainnya. Efek toksik ini
dapat bersifat reversible, artinya dapat hilang dengan sendirinya atau irreversible,
artinya akan menetap atau bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan.
Efek irreversible (efek Nirpulih) diantaranya karsinoma, mutasi, kerusakan saraf,
dan sirosis hati. Efek toksikan reversible (berpulih) bila tubuh terpajan dengan
kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat, sedangkan efek nirpulih terjadi
bila pajanan dengan kadar yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama.

18
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-
zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian
secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang
di timbulkannya. Efek merugikan/ toksik pada sistem biologis dapat disebabkan
oleh bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya
cocok untuk menimbulkan keadaan toksik. Respon terhadap bahan toksik tersebut
antara lain tergantung kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan, kerentanan
sistem biologis, sehingga bila ingin mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus
mengetahui macam efek yang timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan
mengenai paparan dan sasarannya. Di dalam ekotoksikologi komponen yang
penting adalah integrasi antara laboratorium dengan peneltian lapangan.

3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi, atas perhatiannya
penulis ucapkan terimakasih.

3.3. Penutup
Demikian makalah ini kami buat dengan sebenar-benarnya sesuai dengan
tugas yang telah diberikan oleh dosen pengampu. Kami tahu makalah kami ini
masih sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami mohon kritik dan
sarannya agar makalah berikutnya menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

19
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : Andi.


Bird, Tony. 1993. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Brady, James. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Binaputra
Aksara.
Cotton dan Wilkinson . 2009 . Kimia Anorganik Dasar . Jakarta : UI-Press.
Gunawan, Adi. dan Roeswati. 2004. Tangkas Kimia. Surabaya : Kartika.
Sukartono. 1993. Ilmu Kimia. Jakarta : Erlangga.

20

Anda mungkin juga menyukai