OLEH
OLEH:
NUR ASTRI ADI NINGSI
NIM. P07134017031
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia berada dalam hubungan yang terus menerus dengan agent-agent toksis. Agent-
agent toksis ini bisa dijumpai dalam makanan yang dimakan, air diminum ataupun udara yang
dihirup. Tergantung pada sifat-sifat fisika dan kimia dari agent-agent toksis ini, mereka bisa
diserap oleh saluran larnbung usus, paruparu dan atau kulit. Untungnya badan mempunyai
kemampuan untuk metabolisir dan mengeluarkan senyawa-senyawa ini kedalam urine, empedu
dan udara. Namun demikian, apabila kecepatan penyerapan melabihi kecepatan ekskresinya
senyawa toksis itu akan menumpuk kesatu konsentrasi kritis didalam badan yang
mengakibatkan akan terlihat efek toksis dari agent tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, muncul satu cabang ilmu yang dikenal sebagai
TOKSIKOLOGI. Pada saat ini, Toksikologi telah berkembang baik untuk kepentingan
laboratorium maupun klinik, namun apabila ditanyakan apa itu toksikologi, orang masih sulit
untuk menjawab dengan tepat. Masing-masing orang mendefinisikan Toksikologi berdasarkan
ilmu yang dimilikinya selama ini. Sebagai contoh : seorang ahli Farmakologi memandang
Toksikologi sebagai salah satu bidang studi mengenai obat-obatan; seorang ahli kimia
memandang Toksikologi ini dari sudut pandang secara kimia maupun secara analisa kimianya
dan kalau perhatian ditujukan terhadap system ataupun organ yang terlibat akan muncul
definisi berbeda. Toksikologi merupakan bidang studi yang jauh lebih luas dibandingkan
definisi-definisi sempit yang dimajukan diatas. Dia melebihi dari sekedar ilmu mengenai racun-
racun. Selanjutnya, disiplin ilmu Toksikologi ini tengah berkembang dan meluas jangkauannya
oleh karena itu satu definisi yang tepat haruslah memasukkan mengenai keluasannya ini dan
kemungkinan perkembangannya dimasa yang akan datang.
Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-obatan
dan senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen biologis dan yang
terkait. Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang sangat beragam: dapat berupa
bahan kimia, pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan obat-obatan (drugs abuse) dan racun
alami.
Toksikologi analitik dapat membantu dalam diagnosis, manajemen dan dalam beberapa
kasus pencegahan keracunan. Selain itu, laboratorium toksikologi analitik dapat dilibatkan
dalam berbagai kegiatan lain seperti penilaian paparan setelah kejadian kimia, pemantauan obat
terapeutik, analisis forensik, dan pemantauan penyalahgunaan obat-obatan. Mereka mungkin
juga terlibat dalam penelitian, misalnya dalam menentukan sifat farmakokinetik dan
toksinokinetik zat atau keefektifan rejimen pengobatan baru.
Sehubungan dengan hal itu, pengetahuan dasar tentang toksikologi klinis dan forensik
sangat penting. Terlebih seorang analis laboratorium harus bisa berkomunikasi secara efektif
dengan klinisi, ahli patologi, petugas pemadam kebakaran, polisi dan, mungkin juga orang lain.
Selain itu, pemahaman yang baik tentang kimia klinis, farmakologi dan farmakokinetik sangat
diharapkan. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai pengertian,
toksikologi klinik ruang lingkup, manfaat, dan dasar-dasar dari toksikologi klinik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu toksikologi dan racun?
2. Bagaimanakah ruang lingkup toksikologi?
3. Bagaimanakah cakupan dan subdisiplin toksikologi?
4. Apa itu toksikologi klinik?
5. Bagaimanakah pemanfaatan toksikologi klinik?
6. Bagaimanakah sistematika analisis toksikologi klinik?
7. Bagaimanakah cara evaluasi dan pengkajian hasil analisis toksikologi klinik?
8. Apa sajakah kompetensi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi
klinik?
1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Secara umum, tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui pengertian,
ruang lngkup, dan dasar-dasar dari tokskologi klinik
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan paper ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan toksikologi dan racun
2. Untuk mengetahui ruang lingkup toksikologi
3. Untuk mengetahui cakupan dan subdisiplin toksikologi
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan toksikologi klinik
5. Untuk mengetahui pemanfaatan dari toksikologi klinik
6. Untuk mengetahui sistematika analisis toksikologi klinik
7. Untuk mengetahui cara evaluasi dan pengkajian hasil analisis toksikologi klinik
8. Untuk mengetahui kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
analisis toksikologi klinik
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya
(efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat
juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan
dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
2. Ilmu toksikologi ditunjang oleh berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika.
Perubahan biologis yang diakibatkan oleh xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu
patologi, immunologi, dan fisiologi. Adapun bidang yang paling berkaitan dengan toksikologi
adalah farmakologi.
3. Cakupan dan subdisiplin dari toksikologi adalah toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi,
toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikologi kerja, toksikologi hukum, dan toksikologi
mekanistik.
4. Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-obatan dan
senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen biologis dan yang terkait.
Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang sangat beragam: dapat berupa bahan kimia,
pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan obat-obatan (drugs abuse) dan racun alami
5. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa manfaat analisis toksikologi klinik adalah:
1) Identifikasi awal yang cepat, sebagai pendahuluan sebelum melakukan terapi yang
spesifik dan terarah
2) Untuk mengontrol keberhasilan dan efek dari penegakan terapi instoksikasi
3) Untuk memastikan atau menjamin diagnose klinis (Wirasuta, 2006).
4) Sebagai studi metabolisme dan toksokinetik dari senyawa toksikan tertentu
5) Sebagai studi penyimpangan farmakokinetik dari toksikan pada kasus instoksikasi
(waktu paruh, volume distribusi, clearance),
6) Sebagai evaluasi data-data toksisitas yang diperoleh dari hewan uji terhadap
kenyataannya pada manusia.
6. Langkah dalam analisis toksikologi klinik dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap analisis
pendahuluan dan analisis lanjutan. Tahap analisis pendahuluan adalah analisis yang cepat dan
tepat, merupakan analisis kualitatif, yang merupakan orientasi mencari dugaan penyebab
instoksikasi. Analisis pendahuluan ini dapat berupa tes / rekasi warna, terhadap toksikan yang
terdapat dalam materi biologi (darah, urin, cucian lambung), sisa tablet atau makanan. Sedangkan
analisis tahap lanjut disebut dengan uji determinasi. Analisis tahap lanjut meliputi: pemastian
dugaan/hasil pada analisis kualitatif (indentifikasi dan kharakterisasi) dan penetapan kadar
toksikan serta metabolitnya
7. Ada tiga tingkat yang dapat dikatakan sebagai sumber kesalahan dalam analisis toksikologi yang
perlu diperhatikan, yaitu tataran teknis, tataran biologis dan tataran nosologi (pengelompokan
penyakit). Kesalahan-kesalahan ini masih dapat diminimalisir dengan persiapan yang baik yang
disertai dengan ketelitian dan kecermatan dalam bekerja.
8. Kemampuan dasar yang diperlukan agar dapat melakukan analisis toksikologi klinik sampai
interpretasi temuan analisis adalah: (1) Penguasaan Kimia Analisis, (2) Penguasaan Farmakologi
Dan Toksikologi Klinik, (3) Penguasaan Farmakokinetik Klinik Dan Metabolisme Obat, dan (4)
Kemampuan Kimia Klinik.
DAFTAR PUSTAKA
Wirasuta, I Made Agus Gelgel dan Rasmaya Niruri. 2007. Toksikologi Umum. Tersedia pada:
https://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Buku-Ajar-Toksikologi-Umum.pdf. Diakses
pada tanggal 07 Februari 2019
Rahayu, Muji dan Moch. Firman Solihat. 2018. Bahan Ajak Teknologi Laboratorium Klinik (TLM)
Toksikologi Klinik. Tersedia pada: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Toksikologi-Klinik_SC.pdf. Diakses pada tanggal 08 Februari 2019
TUGAS RESUME JURNAL TOKSIKOLOGI KLINIK
RESUME JURNAL
OLEH
OLEH:
NUR ASTRI ADI NINGSI
NIM. P07134017031
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2019
JURNAL 1
1. Judul : Analisa Narkoba Jenis Morfin, Amfetamin dan THC (Tetrahidrokannabinol)
Menggunakan Strip Test
2. Latar Belakang
Narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Narke yang berarti beku, lumpuh dan dungu.
Menurut Farmakologi medis, yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama)
rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih
sadar namun harus digertak) serta adiksi (Darman, 2006). Semua istilah ini sebenarnya mengacu
pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko yang oleh masyarakat disebut berbahaya
yaitu kecanduan (adiksi).
Morfin danfentanil merupakan narkotik yang paling sering digunakan. Karena obat ini secara
tunggal dapat menyebabkan depresi pernapasan yang nyata, maka obat obat ini digunakan dalam
dosis rendah dan dikombinasikan dengan barbiturat untuk mencapai stadium operasi (Munaf,
1994). Untuk menentukan pemakaian narkoba pada seorang individu, pemeriksaan narkoba
seringkali dilakukan menggunakan berbagai spesimen biologis seperti darah, urine, cairan oral,
keringat ataupun rambut. Urinalisa adalah metode analisa untuk mendapatkan bahanbahan atau
zat-zat yang dimungkinkan terkandung di dalam urine dan juga untuk melihat adanya kelainan
pada urine. Tes urine adalah jenis tes yang paling umum dan dianggap sebagai gold standard
pengujian obat. Alat tes urine sudah tersedia seperti pada tempat-tempat tes narkoba, analisis
laboratorium, atau toko alat kesehatan.
Indonesia sendiri sudah banyak membuat kemajuan dalam bebarapa tahun terakhir dalam hal
menyita narkotika dan obat bius illegal dalam jumlah besar yang masuk dari luar negeri, terutama
bahan-bahan methamphetamine yang di Indonesia dikenal dengan sebutan sabu-sabu. Untuk
membuktikan hasil tangkapan atau penyitaan tersebut, perlu dicari metode-metode yang cukup
teruji untuk dapat menganalisa narkotika dan obat bius dengan hasil yang cepat, akurat, efesien
dan dapat memberikan informasi tambahan seperti sifat fisika dan sifat kimia suatu sampel.
Selama ini identifikasi narkoba dilapangan menggunakan narcotictest dan untuk penelitian-
penelitian tentang identifikasi narkoba baru menggunakan HPLC dan MS.
3. Metode
Metode yang digunakan adalah Strip Test. Strip test adalah suatu metode immunoassay dengan
prinsip pemeriksaan yaitu reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam
spesimen urine dan bersaing melawan konjugat obat untuk mengikat situs pada antibodi. Selama
pengujian, spesimen urine bermigrasi keatas dengan aksi kapiler dengan prinsip pemeriksaan
adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi
4. Alat dan Bahan
Alat:
1. Strip test Bahan:
2. Penetes 1. Urine pasien 0326
3. Tissue 2. Urine pasien 026
4. Tube 3. Urine Rozi
5. Timer
5. Prosedur Kerja
1) Diambil sampel urine yang akan di periksa dan dimasukkan kedalam tube secukupnya.
2) Dibuka alat strip test yang telah disediakan dan diletakkan diatas meja datar.
3) Ditulis label sampel.
4) Dicelupkan secara vertikal strip pada spesimen urine selama 10 – 15 detik.
5) Ditunggu hingga terbentuk garis C dan T pada alat strip test.
6) Dibaca alat striptest, apabila hanya terbentuk pita pink pada Control (C) maka hasil positif,
terbentuk dua pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) dinyatakan hasil negatif, dan alat
invalid apabila tidak terbentuk pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) atau terbentuk
pita pink pada Test (T) sedangkan pada Control (C) tidak terbentuk pita.
6. Hasil dan Pembahasan
Data hasil tes narkoba dalam sampel urine pada tanggal 06 Maret 2017 di Laboratorium
Kesehatan Daerah Medan dapat dilihat pada tabel 4.1 yakni sebagai berikut:
Tabel 4.1. Hasil Tes Narkoba Dalam Urine
Urine Rozi - + +
Keterangan :
MOP = Morfin
THC = Ganja
AMP = Amfetamin
Sampel urine yang digunakan adalah urine pasien nomor 326, nomor 026 dan Rozi yang
diduga positif mengandung narkoba. Strip test pada sampel urine nomor 326 positif (+)
amfetamin, pada sampel urine nomor 026 negatif (-) narkoba dan pada sampel rozi positif (+)
THC dan amfetamin.
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan narkoba adalah Immunochromatografi
Kompetitif, strip dicelupkan secara vertikal pada spesimen urine lalu ditunggu beberapa menit
dan dilihat hasilnya, jika tertera garis pada control dan test menunjukkan negatif, jika tertera
garis pada control menunjukkan positif sedangkan jika tidak tertera garis menunjukkan invalid.
Sehingga diperoleh hasil bahwa sampel urine yang diuji menunjukkan hasil positif berarti
pasien merupakan pengguna narkoba.
JURNAL 2
1. Judul : RIWAYAT PAPARAN PESTISIDA DAN KADAR INSULIN LIKE GROWTH
FACTOR I (IGF-1) PADA SISWA SD NEGERI DUKUHLO 01 KECAMATAN
BULAKAMBA KABUPATEN BREBES
2. Latar Belakang
Salah satu upaya yang dilakukan para petani yaitu membasmi serangan hama dengan
menggunakan pestisida kimiawi.Penggunaan pestisida dapat meningkatkan produk pertanian secara
cepat, efektif dan terhindar dari hama, tetapi jika penggunaan pestisida secara berlebihan akan
berdampak bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Di Indonesia salah satu daerah pemakai pestisida pertanian yang masih tinggi adalah
Kabupaten Brebes, terdapat ± 700 merk pestisida yang beredar. Salah satu daerah Kabupaten Brebes
yang tingkat penggunaan pestisida tinggi adalah Kecamatan Bulakamba. Kecamatan Bulakamba
menduduki peringkat ke 3 (543.774 kuital/tahun) sebagai penghasil bawang merah di Kabupaten
Brebes, dan sekitar 84,65% penduduknya bekerja sebagai buruh tani (BPS Brebes, 2011). Hasil
observasi di daerah tersebut menunjukan bahwa beberapa petani menggunakan pestisida sangat
tinggi dan intensif, dengan dosis melebihi ketentuan yang tertulis di kemasan. Intensitas
penyemprotan sebanyak 2-3 hari sekali dalam 1 minggu dengan menggunakan campuran 3-5 jenis
pestisida.
Adanya indikasi dalam penggunaan pestisida yang berlebihan di Kecamatan Bulakamba
sehingga berdampak pada kesehatan masyarakat yaitu pada hasil penelitian Suhartono (2013) yang
dilakukan pada anak sekolah dasar di Desa Dukuhlo Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes
menunjukan 16 dari 28 anak (57,1%) positif terdeteksi metabolit pestisida dalam urin (Suhartono,
2013).
Salah satu kelompok populasi yang rentan terpapar pestisida yaitu anak-anak yang tinggal di
daerah pertanian. Hal ini terkait dalam keterlibatan mereka dalam kegiatan pertanian. Kegiatan
tersebut meliputi membantu orang tua yang bekerja sebagai petani dan membantu saat musim
panen. Ketika anak-anak bermain daerah pertanian yang terpapar pestisida secara tidak langsung
akan ada pajanan dari tangan ke mulut, hal ini yang mungkin dipicu oleh paparan awal (Garry,
2004).
Paparan pestisida dalam jangka panjang akan menimbulkan dampak pada gangguan hormonal.
Salah satu gangguan hormonal yaitu hormon pertumbuhan. Berdasarkan laporan penelitian
mengenai efek dari pestisida pada hormon pertumbuhan dan IGF-1 sebagai akibat dari
estrogenik/anti androgenik, ada kemungkinan bahwa pestisida juga dapat mempengaruhi langsung
sistem hormon pertumbuhan-IGF (Gore et al., 2014). IGF-1 memberikan pengaruh selama masa
anak-anak dan remaja, dimana IGF-1 menstimulasi hormon pertumbuhan. Kekurangan maupun
kelebihan IGF-1 akan berpengaruh pada kinerja hormon pertumbuhan. Sehingga jika kerja IGF-1
dimasa anak-anak terganggu dengan adanya hambatan oleh pestisida akan menyebabkan
pertumbuhan tidak dapat maksimal
Berdasarkan informasi mengenai penelitian pengaruh pestisida terhadap kadar IGF-1 manusia
di Indonesia belum ada. Maka diperlukan informasi tambahan dan penelitian mengenai studi
riwayat paparan pestisida dengan kadar Insulin Like Growth Factor I (IGF-1) khususnya pada anak
sekolah dasar yang tinggal di daerah pertanian, sehingga tujuan penelitian ini adalah mengetahui
hubungan riwayat paparan pestisida dengan kadar Insulin Like Growth Factor I (IGF-1) pada siswa
sekolah dasar.
3. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Dukuhlo 01 Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 sebanyak 48 siswa. Besar sampel ini ditentukan
dengan purposive sampling dengan pertimbangan mereka yang mau berpartisipasi pada
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan pemeriksaan kadar IGF-1. Pada penelitian ini,
menggunakan data sekunder dari penelitian tim dosen FKM Undip tahun 2014, yang terdiri dari
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan kadar IGF-1.
Riwayat paparan pestisida dilakukan dengan pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin.
Pemeriksaan metabolit pestisida dilakukan pada jenis pestisida organopospat, menggunakan
metode dialkylphosphate pada urin menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) dengan Triple Quadrupoles Tandem Mass Spectrometer sebagai detektor atau yang umum
disebut LC-MS/MS. Electrospray Ionisation (ESI) positive dengan Multiple Reaction Monitoring
(MRM) digunakan untuk analisa tersebut (Barr & Sampson, 2004). Pemeriksaan kadar IGF-1
menggunakan teknik immunoassay enzim Sanwich kuantitatif (Quantikine). Pengukuran status gizi,
diambil dari nilai yang tertera dalam microtoise (penilaian tinggi badan) dan timbangan digital
(penilaian berat badan). Data mengenai faktor-faktor yang berperan dalam paparan pestisida,
seperti: keterlibatan anak dalam pertanian, kebiasaan bermain anak di pertanian, lama terlibat dalam
pertanian, keberadaan pestisida dalam rumah, riwayat paparan ibu saat hamil terlibat di pertanian,
dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
Analisis data penelitian dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan
untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang berperan dalam paparan pestisida, sedangkan analisis
bivariat dilakukan untuk menguji keterlibatan dalam pertanian, kebiasaan bermain di pertanian,
lama terlibat anak di pertanian, keberadaan pestisida dalam rumah, riwayat paparan ibu saat hamil
terlibat di pertanian dengan kadar metabolit pestisida dalam urin, serta menguji antara kadar
metabolit pestisida dengan kadar IGF-1 pada siswa SD Negeri Dukuhlo 01 Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes.
4. Alat dan Bahan
1) High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
2) Triple Quadrupoles Tandem Mass Spectrometer (LC-MS/MS)
3) Electrospray Ionisation (ESI) positive
4) Multiple Reaction Monitoring (MRM)
5) ELISA
6) Microtoise (penilaian tinggi badan)
7) Timbangan digital (penilaian berat badan)
8) Kertas
9) Pulpen
5. Prosedur Kerja
1) Sampel urine siswa kelas 4 sebanyak 48 siswa diambil
2) Pemeriksaan metabolit pestisida dilakukan menggunakan metode dialkylphosphate pada urin
menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan Triple
Quadrupoles Tandem Mass Spectrometer sebagai detektor atau yang umum disebut LC-
MS/MS
3) Kadar IGF-1 diperiksa menggunakan teknik immunoassay enzim Sanwich kuantitatif
(Quantikine)
4) Pengukuran status gizi, diambil dari nilai yang tertera dalam microtoise (penilaian tinggi badan)
dan timbangan digital (penilaian berat badan)
5) Wawancara kuisoner dilakukan untuk mendapatkan data mengenai faktor-faktor yang berperan
dalam paparan pestisida,
6) Analisis data penelitian dilakukan secara univariat dan bivariat.
6. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (tabel 2) dapat diketahui bahwa responden dalam
penelitian ini telah terdeteksi kadar metabolit pestisida dalam urinnya. Kadar metabolit pestisida
responden yang terdeteksi yaitu senyawa diethylthiophosphate (DETP) dan dimethylditiophosphate
(DMDTP). Rerata kadar DETP responden adalah 0,00515 ppm, kadar terendah 0,000 ppm, kadar
tertinggi 0,104 ppm. Sedangkan rerata kadar DMDTP responden adalah 0,064 ppm kadar terendah
0,000 ppm, kadar tertinggi 0,064 ppm. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk DETP adalah 0,1 ppm,
sedangkan untuk DMDTP adalah 0,05 ppm.
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan kadar IGF-1 responden paling
tinggi 290 ng/ml dan paling rendah 41,90 ng/ml dengan rerata 104,35 ng/ml dan standar deviasi
48,88 ng/ml. Adapun pengkategorian kadar IGF-1 rendah berdasarkan nilai rujukan sesuai dengan
umur respoden yang termasuk dalam pra pubertas adalah 83-255 ng/ml (Granada et al., 2000)
Tabel 1. Karakteristik Responden dan Perilaku Subjek
Variabel Keterangan Frekuensi % Rerata
Umur (tahun) Min-Maks : 8- 9,25
10
Jenis kelamin Laki-laki 28 58,3
Perempuan 20 41,7
Tinggi badan (cm) Min-Maks: 127
116-140
Berat Badan Min-Maks: 26,17
18,5-44,8
IMT Kurus 2 4,2
Normal 43 89,6
Gemuk 3 6,2
Keterlibatan dalam Ya 40 83,3
anak
pertanian
Kebiasaan bermain Ya 41 85,4
di
pertanian
Riwayat keterlibatan ibu Ya 21 43,8
responden saat hamil di
pertanian
Lama terlibat di pertanian Lama (≥ 3tahun) 25 52,1
Baru (< 3 tahun) 15 31,3
Keberadaan pestisida dalam Ya 19 39,6
rumah
Tabel 3. Analisis Bivariat Perilaku Subyek dengan Keberadaan Metabolit Pestisida dalam Urin
No. Variabel p
1. Keterlibatan anak dalam pertanian 0,095a
2. Kebiasaan bermain anak di pertanian 0,544a
3. Lama terlibat anak di pertanian 0,448a
4. Riwayat paparan ibu saat hamil terlibat dalam pertanian 0,556a
5. Metabolit pestisida dalam urin 1,000a
Analisis bivariate menunjukkan bahwa hasil uji statistik Chi-Square tidak ada nilai signifikan
antara variabel penelitian (perilaku subyek) dengan keberadaan metabolit pestisida dalam urin.
Berdasarkan hasil uji statistik Mann Whitney menunjukan bahwa tidak ada perberdaan rerata kadar
IGF-1 pada responden yang positif metabolit pestisida dalam urin dengan rerata kadar IGF-1 pada
responden yang negatif metabolit pestisida dalam urin. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukan
bahwa tidak ada nilai signifikan antara keberadaan metabolit dalam urin dengan kadar IGF-1 pada
responden.
Pada penelitian ini, kadar metabolit pestisida dalam urin sebagai petanda biologis untuk
menunjukan adanya paparan pestisida. Hasil uji Mann Whitney menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan rerata kadar IGF-1 pada responden yang positif metabolit pestisida dalam urin dengan rerata
kadar IGF-1 pada responden yang negatif pestisida dalam urin, hal ini tentu merupakan salah satu
temuan menarik. Sehingga peneliti mencoba melihat dari rerata kadar metabolit pestisida dengan lama
paparan dalam aktivitas pertanian dapat berpengaruh pada banyaknya pestisida yang terabsorbsi dan
terakumulasi dalam tubuh. Rerata kadar metabolit pestisida lebih tinggi pada responden yang terlibat
dalam pertanian lebih dari 3 tahun (0,0180 ppm), dibandingkan dengan rerata kadar metabolit pestisida
pada responden yang terlibat pertanian kurang dari 3 tahun (0,0129 ppm). Lama terlibat di pertanian
dalam periode waktu yang lama memungkinkan anak mengalami lebih lama paparan pestisida,
sehingga berpotensi untuk terjadi bioakumulasi residu pestisida di dalam tubuhnya. Jika dalam waktu
lama terpapar dapat menyebabkan gangguan hormonal.
Pada penelitian ini, pada paparan pestisida dengan biomarker urin kadar reratanya masih
kurang dari NAB sehingga anak belum mengalami efek yang berarti untuk mengalami penurunan
kadar IGF-1. IGF-1 merupakan somatomedin yang kerjanya sebagai mediator hormon pertumbuahn
dan kerjanya mirip insulin. Fungsinya berperan dalam mendorong pertumbuhan.
Hasil wawancara dengan responden, bahwa mereka tidak terlibat secara langsung dengan
kegiatan pertanian seperti menyemprot, tetapi mereka hanya terlibat dalam kegiatan pertanian seperti
melepaskan bawang dari tangkainya, membantu panen, mencari sisa hasil panen. Tidak adanya kontak
langsung antara anak-anak dengan pestisida secara langsung mengurangi risiko pajanan pestisida yang
berlebihan. Intensitas serta frekuensi keterlibatan anak dalam pertanian juga menjadi salah satu faktor
tidak adanya hubungan dengan keberadaan metabolit pestisida dalam urin. Anak-anak terlibat di
pertanian tidak setiap hari, dan lama waktu terlibat 1-2 jam perhari. Keterlibatan anak dalam pertanian
bukan sebagai pekerja/buruh tani tetapi hanya membantu orang tua yang sebagian besar bekerja
sebagai buruh tani sehingga terkadang keterlibatan mereka secara terus-menerus. Pestisida yang masuk
kedalam tubuh akan mengalami degradasi hydrolysis di dalam hati dan jaringan-jaringan lain.
JURNAL 3
1. Judul : DETERMINATION OF TOXIC SUBSTANCES INSWEAT SECRET OF SEVERE
FORMS OFPOISONING - TOXIC COMA. CLINICAL MEANING
2. Latar Belakang
Penentuan zat beracun dalam sekresi keringat bukan metode yang umum digunakan. Ini adalah
alternatif dari metode analitik menggunakan darah, urin, rambut, kuku, lambung perut untuk
membuktikan xenobiotik. Pengetahuan tentang informasi yang diberikan metode ini sangat kecil.
Sangat sedikit laboratorium di dunia yang menggunakannya karena konsumsi tenaga kerjanya dan
kurangnya informasi. Dalam praktik klinis, metode ini digunakan dengan analisis ekskresi keringat
penyalahguna obat untuk membuktikan keberadaan obat, lama setelah melepas kokain. Kelenjar
keringat mengeluarkan banyak obat dan zat toksik: terbukti mengandung barbiterat, broom dan
Jodi, selen, talium, arsen, kokain, alkohol, aseton, fenol, karbohidrat kalogenik. Ekskresi keringat
memang memiliki makna patogen kecil untuk membentuk ekskresi dermatosis - bromoderma dan
jododerma. Menurut Al. Monov, proses eliminasi keringat (obat dan ekskresi toksik) telah
membentuk kerusakan topikal kulit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan zat beracun
dalam ekskresi keringat pasien dengan bentuk koma toksik-toksik yang parah. Dimana, hal ini
menunjukkan makna klinis.
3. Metode
Analisis ini mencakup 4 pasien (P) dalam keracunan koma setelah keracunan dengan amitriptylin
(P¹1), amitriptylin dan klomipramin (P¹2), diazepam (P¹3), carbamazepin (P¹4). Sampel keringat
diambil pada 12 jam, 16jam, 18 jam, dan 24 jam setelah menelan narkotika yang menyebabkan
keracunan. Analisis spektrometri massa-hromato dan kromatografi cairan-fluida telah digunakan
untuk mendeteksi zat beracun dalam sampel keringat ini.
4. Alat dan Bahan
Tampon, pilocarpin 0,2%, 0,6% NaH2CO3, elektroda, stopwatch, kertas saring, timbangan, kertas
film, gunting, inkubator, dan etil asetat.
5. Prosedur Kerja
1) Sampel keringat diambil pada 12 jam, 16 jam, 18jam, dan 24 ja, setelah menelan obat yang
menyebabkan keracunan.
2) Sampel keringat diambil dari kulit yang tidak terpengaruh pada forearmarea.
3) Secara bersamaan, sampel urine dan darah diambil
4) Setelah mencuci dan mengeringkan bagian dalam dan luar area lengan bawah, tampon diletakkan
dengan pilocarpin 0,2% (di dalam) dan 0,6% NaH2CO3 (di luar).
5) Anoda terhubung dengan tampon pilocarpin dan katoda terhubung dengan tampon natrium
bikarbonat.
6) Keringat dirangsang dengan listrik 5 mA selama 15 menit
7) Setelah stimulasi, elektroda harus dilepas, bagian dalam dan luar lengan - dicuci dan dikeringkan.
8) Kertas saring awal ditimbang dan ditempatkan di area keringat dan ditutupi dengan film syaraf.
9) Setelah 30 menit, kertas saring dihilangkan dan disiram dengan keringat dan sekali lagi
ditimbang untuk mengukur kuantitas air. Kemudian kertas saring dipotong dalam garis-garis 2
mm, yang dibiarkan diinkubasi selama 24 jam di suhu kamar dengan penambahan 2 ml etil asetat.
6. Hasil dan Pembahasan
Untuk pasien ¹1, kehadiran Amitriptylin terbukti di dalam keringat, darah dan urin. Untuk
pasien ¹2 kehadiran Aripriptylin dan Clomipramine (Anafranyl) terbukti dalam keringat, darah dan
urin. Untuk pasien ¹ 3 kehadiran Diazepam dalam darah dan urin terbukti secara kuantitatif,
sementara dalam keringat terbukti - secara kualitatif. Untuk pasien ¹4, kehadiran Carbamazepin
terbukti dalam keringat, darah dan urin.
Drug Blood Urine Sweat
( mg/ml ) ( mg/ml ) ( mg/ml )
Rambe, ESD. 2017. Analisa Narkoba Jenis Morfin, Amfetamin dan THC (Tetrahidrokannabinol)
Menggunakan Strip Test. Tersedia pada:
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/4727/142401100.pdf?sequence=1&
isAllowed=y. Diakses pada tanggal 08 Februari 2019
Hidayah, Nurul, dkk. 2016. RIWAYAT PAPARAN PESTISIDA DAN KADAR INSULIN
LIKE GROWTH FACTOR I (IGF-1) PADA SISWA SD NEGERI DUKUHLO 01
KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES. Tersedia pada:
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/article/view/9812. Diakses
pada tanggal 09 Februari 2019
Zlateva, Snezha, et al. 2007. DETERMINATION OF TOXIC SUBSTANCES IN SWEAT
SECRET OF SEVERE FORMS OF POISONING - TOXIC COMA. CLINICAL
MEANING. Tersedia pada: https://www.journal-imab-bg.org/statii-07/vol07_1_81-
83str.pdf. Diakses pada tanggal 09 Februari 2019
Universitas Sumatera Utara
2017
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/4727
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
ANALISA NARKOBA JENIS MORFIN, AMFETAMIN DAN THC
(Tetrahidrokannabinol) MENGGUNAKAN STRIP TEST
TUGAS AKHIR
DEPARTEMEN KIMIA
MEDAN
2017
TUGAS AKHIR
DEPARTEMEN KIMIA
MEDAN
2017
Disetujui di
Disetujui Oleh
Program Studi D3 Kimia FMIPA USU
Ketua, Pembimbing,
TUGAS AKHIR
Saya mengakui bahwa tugas akhir ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan
ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan
karunia-Nya berupa kesehatan dan keterbukaan pikiran bagi penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Analisa Narkoba Jenis Morfin, Amfetamin dan
THC (Tetrahidrokannabinol) Menggunakan Strip Test”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
keluarga terutama kedua orangtua terkasih dari penulis yang telah membesarkan dan mendidik
serta memberikan dorongan moral dan material kepada penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi
D3 Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Selesainya tugas akhir ini juga tak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka
dengan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Darwin Yunus Nst, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis
dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, S. Si M. Si selaku Ketua Departemen Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Minto Supeno, MS selaku Ketua Program Studi D3 Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh keluarga dan saudara yang telah memberi doa serta semangat kepada penulis.
5. Kepada Chrystel Thadea (Kak Cita, Anita Sitanggang, Anita Rohadame, Mawar
Siboro).
6. Teman-temanyang selalu mendoakan dan memberi semangat Eben, Naldi, Mula, Fery,
Alex, Andre, Deon, Meylia, Rika dan Olan.
7. Teman sepermainan Yulia, Mawar, Putri, Debby, Elsa, Yuni, Fitri, Anita dan teman
seperjuangan Kimia Kelas C. Terimakasih untuk kekompakan, kebersamaan, semangat,
bantuan, keceriaan,kegilaan, persaudaraan dan doa yang diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya atas kekurangan dan kesalahan dalam tugas akhir ini karena
keterbatasan kemampuan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap
semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
Telah dilakukan analisa narkoba jenis morfin, amfetamin dan THC (Tetrahidrokannabinol)
menggunakan strip test. Analisa dilakukan pada 3 sampel urine yang berasal dari pasien yang
berbeda. Metode dilakukan dengan mencelupkan strip test secara vertikal kedalam spesimen
urine selama 10 – 15 detik kemudian ditunggu sampai terbentuk garis pada alat strip test.Dari
hasil analisa tersebut diperoleh hasil negatif pada satu sampel urine dan hasil positif pada dua
sampel urine yang mengandung amfetamin dan tetrahidrokannabinol. Dilakukan dengan
pemeriksaan skrining metode immunoassay denganhasil yang cepat, sensitif, tidak mahal
dengan tingkat presisi dan akurasi yang masih dapat diterima walaupun kurang spesifik.
Kata kunci : Narkoba, Morfin, Amfetamin, Tetrahidrokannabinol, Strip test.
The research have done of drug analysis morphine, amphetamine and THC
(Tetrahidrokannabinol) using strip test. Analysis did on three urine samples from different
patients. This method is done by dipping the strip test vertically into the urine specimen for ten
until fifteen seconds and then waiting until the line is formed on the test strip tool. From the
analysis results obtained negative results on one sample of urine and positif results in two urine
samples containing amphetamine and tetrahidrokannabinol. Done with immunoassay screening
tests with fast, sensitive, inexpensive results with an acceptable level of precision and accuracy
although less spesific.
Keyword : Drug, Morphine, Amphetamine, Tetrahidrokannabinol, Strip test.
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN i
PERNYATAAN ii
PENGHARGAAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 2
1.3. Tujuan 2
1.4. Manfaat 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Narkoba 3
2.2. Jenis-jenis Narkoba 4
2.2.1. Narkotika 4
2.2.1.1. Opioid 8
2.2.1.1.1. Morfin 10
2.2.1.1.2. Heroin 11
2.2.1.2. Amphetamin 12
2.2.1.3. THC 13
2.2.2. Psikotropika 15
2.2.3. Zat Adikitif Lainnya 17
2.3. Cara Penggunaan Narkoba 17
2.4. Tanda dan Gejala Narkoba 19
2.5. Urine 20
2.6. Pemeriksaan Narkoba 20
2.6.1. Biochip Array Technology 21
2.6.2. FTIR (fourier transform infrared) 22
2.6.3. XRD (X-Ray Diffrection) 22
2.6.4. Strip Test 23
BAB 3 METODE PERCOBAAN
3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan 25
3.2. Alat dan Bahan 25
3.2.1. Alat 25
3.2.2. Bahan 25
3.3. Prosedur Kerja 26
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Data dan Hasil Percobaan 27
4.2. Pembahasan 28
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 31
5.2. Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
DAFTAR TABEL
2.1. Narkoba
Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran,
suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan,
diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya (Kurniawan, 2008).
Menurut Hawari (2009) selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA atau NAZA yang merupakan singkatan
dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkoba merupakan bahan/zat yang bila masuk ke
dalam tubuh akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial. Semua zat yang
termasuk NAZA menimbulkan adiksi (ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada dependensi
(ketergantungan). Zat yang termasuk NAZA memiliki sifat sebagai berikut:
a. Keinginan yang tak tertahankan (an over-powering desire) terhadap zat yang dimaksud
dan akan melakukan segala cara untuk memperolehnya.
b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis) sesuai dengan toleransi tubuh.
c. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan
gejala-gejala kejiwaan seperti kegelisahan, kecemasan, depresi dan sejenisnya.
d. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala
fisik yang dinamakan gejala putus zat (with drawal symptoms).
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Lama kelamaan disadari
bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru sebab istilah obat berbahaya dalam ilmu kedokteran
adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas, karena pemberiannya dapat membahayakan bila
tidak melalui pertimbangan medis. Banyak jenis narkotika dan psikotropika memberi manfaat
yang besar bila digunakan dengan baik dan benar dalam bidang kedokteran. Tindakan operasi
(pembedahan) yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan pembiusan. Orang mengalami
stres dan gangguan jiwa diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter agar dapat
sembuh. Banyak jenis narkoba yang sangat bermanfaat dalam bidang kedokteran. Karena sikap
antinarkoba sangat keliru, yang benar adalah anti penyalahgunaan narkoba (Partodiharjo, 2003).
Beberapa obat bertindak sebagai stimulan yang memberi rasa nyaman, hilaritas, ekspansifitas
yang pada akhirnya mengurangi pengguna menjadi makhluk non produktif yang hanya bergantung
pada obat-obatan dan merasa “bahagia”. Kelompok obat lain adalah depresan yang menenangkan
seorang yang merasa terbebani secara mental (Nandy, 1995).
2.2. Jenis-jenis Narkoba
Narkoba dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya.
Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok (Partodiharjo, 2003).
2.2.1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, serta
hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat.
Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat
tinggi (Partodiharjo, 2003).
Narkotika termasuk obat tertua dalam praktik kedokteran. Pada tahun 1680 Sydenham menulis,
“Dari obat-obatan yang telah disiapkan para dokter kepada pasien untuk meringankan
penyakitnya, tidak ada yang begitu baik dan sangat manjur seperti opium”. Seperti banyak obat
atau bahan yang memiliki manfaat namun ada yang harus dipertimbangkan dalam hal kerugian
tertentu dan narkotika memiliki kekurangan tersebut. Begitu banyak perhatian publik pada
penyebaran dan penyalahgunaan gelap narkotika sehingga nilai medis yang besar sering diabaikan
(Coggeshall, 1964).
Menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1997 yang dimaksud dengan narkotika
meliputi :
1. Golongan Opiat : heroin, morfin, madat dan lain-lain.
2. Golongan Kanabis : ganja, hashish.
3. Golongan Koka : kokain, crack.
a. Alkohol adalah minuman yang mengandung etanol.
b. Psikotropika menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1997 meliputi : ecxtasy, shabu-
shabu, Isd, obat penenang/obat tidur, obat anti depresi dan anti psikosis.
c. Zat adiktif lain termasuk inhalansia (aseton, thinner cat, lem atau glue), nikotin
(tembakau), kafein (kopi).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 pasal 6, jenis
narkotika di bagi atas 3 golongan :
1. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi
menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali
untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw.
2. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tapi bermanfaat
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidindan turunannya, benzetidin,betametadol.
3. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Makarao,
2003).
Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintesis, yang
digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri. Untuk kepentingan pengobatan
dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan
III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Partodiharjo, 2003).
Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan kedalam 3 golongan juga, yaitu narkotika
alami, narkotika semisintesis dan narkotika sintesis (Partodiharjo, 2003).
1. Narkotika alami
Narkotika alami adalah narkotika yang zat adiktifnya diambil dari tumbuh-tumbuhan
(alam). Contohnya :
a. Ganja
Tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong dan berbulu halus, jumlah jarinya selalu
ganjil, yaitu 5,7,9. Tumbuhan ini banyak tumbuh di beberapa daerah di
Indonesia seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Pulau Jawa dan lain-lain. Daun ganja
sering digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Bila digunakan sebagai bumbu masak, daya
adiktifnya rendah. Namun, tidak demikian bila dibakar dan asapnya dihirup.Cara
penyalahgunaannya adalah dengan mengeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau
langsung dijadikan rokok lalu dibakar dan dihisap.
b. Hasis
Hasis adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, hasis
dan mariyuana juga dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair, harganya sangat mahal.
Gunanya adalah untuk disalahgunakan oleh pemadat-pemadat
“kelas tinggi”.
c. Koka
Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya yang matang berwarna merah seperti biji
kopi. Dalam komunitas masyarakat Indian kuno, biji koka sering digunakan untuk menambah
kekuatan orang yang berperang atau berburu binatang. Koka kemudian diolah menjadi kokain.
d. Opium
Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah bunga opium dihasilkan
candu (opiat). Di Mesir dan daratan Cina, opium dulu digunakan untuk mengobati beberapa
penyakit, memberi kekuatan, atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu
berperang atau berburu.
2. Narkotika semisintesis
Narkotika semisintesis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil zat aktifnya (inti sarinya)
agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran.
Contohnya :
a. Morfin : dipakai dalam dunia kedokteran untuk menghilangkan rasa sakit atau
pembiusan pada operasi (pembedahan).
b.Kodein : dipakai untuk obat penghilang batuk. Ikatan dengan protein rendah. Potensi
untuk di salahgunakan sedang. Efektif dan paling banyak digunakan sebagai penekan
batuk (Munaf, 1994).
c. Heroin : tidak dipakai dalam pengobatan karena daya adiktifnya sangat besar dan
manfaatnya secara medis belum ditemukan. Dalam perdagangan gelap, heroin diberi
nama putaw atau pete. Bentuknya seperti tepung terigu halus, putih dan agak kotor.
d.Kokain : hasil olahan dari biji koka.
3. Narkotika sintesis
Narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari bahan kimia. Narkotika ini digunakan
untuk pembiusan dan pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan narkoba (substitusi).
Contohnya :
a. Petidin : untuk obat bius lokal, operasi kecil, sunat, dsb.
b.Methadon : untuk pengobatan pecandu narkoba.
c. Naltrexon : untuk pengobatan pecandu narkoba.
Selain untuk pembiusan narkotika sintesis biasanya diberikan oleh dokter kepada penyalahguna
narkoba untuk menghentikan kebiasannya yang tidak kuat melawan suggesti
(relaps) atau sakaw. Narkotika sintesis berfungsi sebagai “pengganti sementara”. Bila sudah benar-
benar bebas, asupan narkoba sintesis dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya berhenti total
(Partodiharjo, 2003).
2.2.1.1. Opioid
Anelgesik opioid adalah golongan obat penghilang nyeri alamiah, semisintetik dan sintetik yang
sebagian sifat-sifatnya sama atau hampir sama dengan opium atau morfin. Penggunaan utama ialah
untuk mengatasi rasa nyeri yang tidak hilang dengan anelgesik biasa. Bahaya penggunaan obat
golongan opioid ini ialah terjadinya adiksi dan ketergantungan obat, yang dapat menimbulkan
penyalahgunaan berat dengan dampak negatifnya pada masalah sosial dalam masyarakat. Karena
itu distribusi dan pengedarannya diawasi dengan ketat dan diatur oleh undang-undang. Golongan
opioid ini disebut juga sebagai opiat atau narkotik. Opiat adalah istilah yang pertama kali
digunakan untuk semua obat yang diturunkan dari opium, seperti morfin, kodein dan derivat-
derivat semisintetik dan sintetik lain. Karena obat ini menurunkan kesadaran, maka muncul istilah
narkotik (Munaf, 1994).
Berdasarkan bukti arkeologis dan historis menunjukkan bahwa opium telah digunakan
sebagai analgesik sejak abad ketiga SM (Rodger, 1980).
Opium adalah obat yang menginduksi kantuk. Berasal dari buah mentah yaitu tanaman Papaver
somniferum (tanaman poppy). Getah kental berwarna putih dari sayatan pada buah ini dikeringkan
untuk mendapatkan jenis opium coklat tua. Opium memiliki rasa pahit dan bau khas. Hal itu
menyebabkan depresi C.N.S, analgesia dan hipnosis. Kombinasi analgesia dan hipnosis adalah
pembiusan. Opium adalah narkotika sejati (Nandy, 1995).
Gambar 2.1. Tanaman Papaver somniferum
2.5. Urine
Urine atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang
kemudian oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisasi.
Ekskresi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh
ginjaldan untuk menjaga homeostatis cairan tubuh. Dalam mempertahankan homeostatis tubuh
peranan urine sangat penting, karena sebagian pembuangan cairan oleh tubuh adalah melalui
sekresi urine (Indrati, 2015).
Urine merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan narkoba rutin karena
ketersediaannya dalam jumlah besar dan memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih
mudah mendeteksi obat dibandingkan pada spesimen lain. Teknologi yang digunakan pada
pemeriksaan narkoba pada urine sudah berkembang baik. Kelebihan lain spesimen urine adalah
pengambilannya yang tidak invasif dan dapat dilakukan oleh petugas yang bukan medis. Urine
merupakan matriks yang stabil dan dapat disimpan beku tanpa merusak integritasnya. Obat-obatan
dalam urine biasanya dapat dideteksi sesudah 1 – 3 hari. Kelamaan pemeriksaan urine adalah
mudah dilakukan pemalsuan dengan cara substitusi dengan bahan lain maupun diencerkan
sehingga mengacaukan hasil pemeriksaan (Indrati, 2015).
Tingkat akurasi uji narkoba melalui rambut lebih tinggi dibanding via urine. Jika pemakai narkoba
berhenti mengkonsumsi selama satu bulan, saat diuji urine tidak akan terdeteksi. Namun dengan
uji rambut masih dapat terdeteksi . Itu karena komponen drugs akan terbawa kerambut dan bisa
bertahan dalam jangka waktu 60 – 90 hari. Jadi meskipun pengguna berhenti selama satu tahun
masih bisa terdeteksi (Indrati, 2015).
2.6. Pemeriksaan Narkoba
Pemeriksaan narkoba seringkali dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan konfirmatori.
Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat pada golongan yang besar atau
metabolitnya dengan hasil presumptif positif dan negatif. Secara umum pemeriksaan skrining
merupakan pemeriksaan yang cepat, sensitif, tidak mahal dengan tingkat presisi dan akurasi yang
masih dapat diterima, walaupun kurang spesifik dan dapat menyebabkan hasil positif palsu karena
terjadinya reaksi silang dengan substansi lain dengan struktur kimia yang mirip. Pada pemeriksaan
skrining, metode yang sering digunakan adalah immunoassay dengan prinsip pemeriksaan adalah
reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan diluar
laboratorium dengan metode ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) (Indrati, 2015).
Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif pada
pemeriksaan skrining. Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif
palsu. Metode konfirmasi yang sering digunakan adalah gas chromatography/mass spectrometry
(GC/MS) atau liquid chromatography yang dapat mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan
tidak dapat bereaksi silang dengan substansi lain. Kekurangan metode konfirmasi adalah waktu
pengerjaannya yang lama, membutuhkan keterampilan tinggi serta biaya pemeriksaan yang tinggi
(Lum, 2004).
2.6.1.Biochip Array Technology
Biochip Array Technology merupakan metode pemeriksaan dengan teknologi nano yang prinsip
kerjanya berdasarkan metode ELISA. Metode yang digunakan untuk pemeriksaan toksikologi
memiliki prinsip kerjanya berdasarkan ELISA kompetitif. Pada biochip tersebut sudah tertanam
antibodi spesifik yang dapat beriteraksi dengan antigen yang diinginkan maupun antigen spesifik
yang tertaut enzim sinyal atau antigen yang tidak berinteraksi dengan antigen spesifik (Fitzgerald,
et al. 2005).
Kelemahan dari pemeriksaan skrining menggunakan metode ELISA adalah adanya
reaksi silang terhadap zat yang diperiksa yang memiliki kemiripan struktur kimia Berdasakan
penelitian yang sudah dilakukan , pemeriksaan dengan metode Biochip Array Technology
meminimalisir terjadinya reaksi silang tersebut (Fitzgerald, et al. 2005).
2.6.2. FTIR (fourier transform infrared)
Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) merupakan salah satu teknik analitik yang sangat
baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu senyawa. Informasi struktur molekul dapat
diperoleh secara tepat dan akurat (memiliki resolusi yang tinggi). Keuntungan yang lain dari
metode ini adalah dapat digunakan untuk mengidentifikasi sampel dalam berbagai fase (Harmita,
2006).
2.6.3.XRD (X-Ray Diffrection)
Metode XRD sangat potensial untuk mengidentifikasi material diberbagai bidang hal ini karena
pola XRD yang dihasilkan tergantung pada jarak antar-atom dan antar-molekul dari material yang
diperiksa dan ini akan menghasilkan pola difraksi yang khas untuk masing-masing material.
Secara khusus, telah menunjukkan bahwa energi dipersif dari XRD memungkinkan untuk
identifikasi narkoba (Pani, et al. 2009).
2.6.4. Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC/MS)
GC/MS merupakan salah satu metode analisis yang mengkombinasi teknik Gas-
LiquidChromatography dan Mass Spectrometry untuk mengidentifikasi zat tertentu dalam suatu
uji laboratorium. Kombinasi teknik pemeriksaan gas Chromatography dan Mass Spectrometry
(GC/MS) mulai dikenal sejak tahun 1960 sebagai alat yang paling sensitif dan serbaguna untuk
mengidentifikasi senyawa organik yang mudah menguap. Saat ini penggunan GC/MS untuk
penghitungan kuantitatif senyawa-senyawa organik yang spesifik menjadi aplikasi utamanya. Hal
tersebut dikarenakan alat GC/MS memiliki sensitivitas, akurasi dan fleksibilitas yang tidak
tertandingi dengan teknik lainnya, termasuk jenis pemeriksaan teknik immunoassay (Rodger, et
al. 1980).
2.6.5. Strip Test
Strip Test adalah metode immunoassay dengan prinsip pemeriksaan yaitu reaksi antigen dan
antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam spesimen urine dan bersaing melawan
konjugat obat untuk mengikat situs pada antibodi. Selama pengujian, spesimen urine bermigrasi
keatas dengan aksi kapiler dengan prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara
kompetisi (Baselt, 1982).
Spesimen urine dengan hasil positif tidak akan membentuk garis berwarna pada daerah garis uji
karena persaingan obat, sementara spesimen urine dengan hasil negatif akan menghasilkan garis
di daerah uji karena adanya kompetisi obat. Berfungsi sebagai kontrol prosedural, garis berwarna
akan selalu muncul di garis kontrol, menunjukkan bahwa jumlah spesimen yang tepat telah
ditambahkan (Baselt, 1982).
Gambar 2.8. Hasil Positif dan Negatif Pada Strip Test
Kontrol prosedural disertakan dalam tes. Sebuah garis merah muncul di kontrol wilayah (C)
dianggap sebagai pengendalian prosedural positif internal.
1. Negatif : Dua baris muncul. Satu garis merah harus berada di wilayah kontrol (C) dan garis
merah atau pink yang lain yang jelas harus berada di daerah uji (T).
2. Positif : Satu garis merah muncul diwilayah kontrol (C). Tidak ada garis yang masuk pada
daerah uji (T).
3. Invalid: Garis kontrol gagal muncul. Volume spesimen tidak mencukupi atau teknik
prosedural yang salah adalah alasan yang paling mungkin untuk kegagalan kontrol.
Tinjau kembali prosedur dan ulangi dengan strip test baru.
BAB 3
METODE PERCOBAAN
Urine Rozi + +
Keterangan :
MOP = Morfin
THC = Ganja
AMP = Amfetamin
4.2. Pembahasan
Narkotik berasal dari bahasa Yunani untuk menyatakan penurunan kesadaran (stupor)
(Nandy, A. 1995).
Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika adalah zat yang bisa
menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh.
Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan
halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan
dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia dibidang
pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain lain (Pieter, 2010).
Urine merupakan matriks yang stabil dan dapat disimpan beku tanpa merusak integritasnya
(Dasgupta, 2007).
Metabolit yang di ketemukan pada urine untuk psikotropika sebagian besar dalam bentuk bebas
sedangkan untuk narkotika sebagian besar dalam bentuk konjugasi atau diperlukan pengasaman
atau hidrolisis untuk memutuskan ikatan konjugasi tersebut sehingga dapat dideteksi.
Pendeteksian narkotika dan psikotropika di dalam urine berbeda dengan bentuk aslinya yaitu
termetabolisme oleh tubuh sehingga menghasilkan dua atau tiga zat (dalam keadaan bebas maupun
terkonjugasi) (Moffat, et al. 2004).
Menurut Stimmel (1993) bahwa masing-masing obat (narkotika atau psikotropika) memiliki
waktu pendeteksian yang berbeda-beda. Golongan amphetamine masih dapat dideteksi pada
rentang waktu satu hingga maksimal tiga hari. Golongan barbiturate masih dapat dideteksi pada
rentang waktu tiga hingga maksimal empat hari. Golongan cocaine masih dapat dideteksi pada
rentang waktu dua hingga tiga hari. Golongan opiat seperti codeine dan heroin(dideteksi sebagai
morphine) masih dapat dideteksi pada rentang waktu dua hingga maksimal empat hari. Golongan
mariyuana masih dapat dideteksi pada rentang waktu satu hingga maksimal sepuluh hari.
Tabel 4.2. Rentang Waktu Deteksi Narkotika dan Psikotropika
Amphetamine 1 - 3 hari
Barbiturat 3 - 4 hari
Cocaine 2 - 3 hari
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pemeriksaan narkoba dengan sampel urine menggunakan Strip Test. Di peroleh hasil positif pada
sampel urine nomor 326 yang mengandung amfetamin yang ditandai dengan terbentuk garis pada
area control amfetamin, pada sampel urine nomor 026 di peroleh hasil negatif ditandai dengan
terbentuknya 2 garis pada area control dan test, dan pada sampel rozi hasil positif THC dan
amfetamin yaitu terbentuk garis pada area control THC dan amfetamin.
5.2. Saran
Dari pihak Laboratorium Kesehatan sendiri hendaknya melakukan pengujian yang lebih spesifik
dan meyakinkan untuk analisa narkoba serta kandungan yang ada didalamnya agar diperoleh hasil
yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
1
Magister Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro
2
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro
Sejarah Artikel: Latar Belakang: Salah satu wilayah di Kabupaten Brebes dengan penggunaan pestisida terbesar
Diterima Maret 2016 adalah Desa Dukuhlo Kecamatan Bulakamba. Anak-anak yang tinggal di wilayah pertanian dapat
Disetujui April 2016 menjadi populasi berisiko untuk terpapar pestisida dengan efek yang jangka panjang. Tujuan
Publikasi April 2016 penelitian ini adalah mengetahui riwayat paparan pestisida berhubungan dengan kadar insulin
antara rerata kadar IGF-1 pada anak yang positif metabolit pestisida dengan rerata kadar IGF-1
pada anak yang negatif metabolit pestisida.
Simpulan: Simpulan penelitian ini adalah proporsi anak yang positif dengan kadar IGF-1 rendah
lebih tinggi (40%) daripada proporsi anak yang negatif dengan kadar IGF-1 normal.
Abstract
Background: One of villages in Brebes which the largest usage of pesticides is the Dukuhlo Village. Children
living in agricultural regions are one of the populations at risk for experiencing pesticides exposure with long term
adverse impact. The objective was to know history pesticide exposure with levels of serum Insulin Like Growth
Factor I (IGF-1).
Methods: This research was a cross sectional design, with 48 children. Data were obtained from the results of
the examination of IGF-1 levels in urine.
Results: It showed that 15 (3.3%) of 48 children with positive metabolit and IGF-1 levels from 18 of 48
children were low (37.5%). The results showed there was no difference between IGF-1 mean among children
with positive metabolite pesticide than IGF-1 mean among children with negative metabolite pesticide
Conclusion: The conclusion was proportion on children with positive metabolite and had a less IGF-1 were
higher (40%) than proportion on children with negative metabolite and had a normal IGF-1.
Alamat korespondensi: ISSN 2527-4252
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
tinggal di daerah pertanian. Hal ini terkait dalam
PENDAHULUAN
keterlibatan mereka dalam kegiatan pertanian.
Kegiatan tersebut meliputi membantu orang tua
Salah satu upaya yang dilakukan para
yang bekerja sebagai petani dan membantu saat
petani yaitu membasmi serangan hama dengan
musim panen. Pekerjaan orang tua diasumsikan
menggunakan pestisida kimiawi. Di tahun 2009
akan berdampak terhadap keterlibatan anak
ada 1.832 jenis pestisida yang beredar di
dalam kegiatan pertanian baik secara langsung di
Indonesia. Kebutuhan pestisida juga
area pertanian maupun di rumah. Keterlibatan
memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun, rata-
ini dimungkinkan berdampak terhadap anak
rata peningkatan total konsumsi pestisida per
dapat kontak dengan pestisida. Ketika anak-anak
tahun mencapai 6,33%, namun pada
bermain daerah pertanian yang terpapar pestisida
kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat
secara tidak langsung akan ada pajanan dari
mencapai lebih dari 10-20% (Djunaedy, 2009).
tangan ke mulut, hal ini yang mungkin dipicu
Penggunaan pestisida dapat meningkatkan
oleh paparan awal (Garry, 2004).
produk pertanian secara cepat, efektif dan
Paparan pestisida dalam jangka panjang
terhindar dari hama, tetapi jika penggunaan
akan menimbulkan dampak pada gangguan
pestisida secara berlebihan akan berdampak bagi
hormonal. Salah satu gangguan hormonal yaitu
lingkungan dan kesehatan masyarakat.
hormon pertumbuhan. Berdasarkan laporan
Di Indonesia salah satu daerah pemakai
penelitian mengenai efek dari pestisida pada
pestisida pertanian yang masih tinggi adalah
hormon pertumbuhan dan IGF-1 sebagai akibat
Kabupaten Brebes, terdapat ± 700 merk pestisida
dari estrogenik/anti androgenik, ada
yang beredar. Hal ini terjadi karena komoditas
kemungkinan bahwa pestisida juga dapat
utama Kabupaten Brebes adalah pertanian. Salah
mempengaruhi langsung sistem hormon
satu daerah Kabupaten Brebes yang tingkat
pertumbuhan-IGF (Gore et al., 2014) Studi pada
penggunaan pestisida tinggi adalah Kecamatan
hewan dan pada manusia telah menunjukkan
Bulakamba. Kecamatan Bulakamba menduduki
bahwa polusi lingkungan, seperti benzopyrene,
peringkat ke 3 (543.774 kuital/tahun) sebagai
dioxin, Dibenzofurans, dan hexachlorobenzene
penghasil bawang merah di Kabupaten Brebes,
bisa mengubah sintesis normal atau sekresi IGF-
dan sekitar 84,65% penduduknya bekerja sebagai
I (Holloway, 2007).
buruh tani (BPS Brebes, 2011). Hasil observasi di
IGF-1 mempunyai peran dalam mengatur
daerah tersebut menunjukan bahwa beberapa
pertumbuhan, metabolisme dan kelangsungan
petani menggunakan pestisida sangat tinggi dan
hidup sel. IGF-1 memberikan pengaruh selama
intensif, dengan dosis melebihi ketentuan yang
masa anak-anak dan remaja, dimana IGF-1
tertulis di kemasan. Intensitas penyemprotan
menstimulasi hormon pertumbuhan.
sebanyak 2-3 hari sekali dalam 1 minggu dengan
Kekurangan maupun kelebihan IGF-1 akan
menggunakan campuran 3-5 jenis pestisida.
berpengaruh pada kinerja hormon pertumbuhan.
Adanya indikasi dalam penggunaan
Sehingga jika kerja IGF-1 dimasa anak-anak
pestisida yang berlebihan di Kecamatan
terganggu dengan adanya hambatan oleh
Bulakamba sehingga berdampak pada kesehatan
pestisida akan menyebabkan pertumbuhan tidak
masyarakat yaitu pada hasil penelitian
dapat maksimal
Suhartono (2013) yang dilakukan pada anak
Berdasarkan informasi mengenai
sekolah dasar di Desa Dukuhlo Kecamatan
penelitian pengaruh pestisida terhadap kadar
Bulakamba Kabupaten Brebes menunjukan 16
IGF-1 manusia di Indonesia belum ada. Maka
dari 28 anak (57,1%) positif terdeteksi metabolit
diperlukan informasi tambahan dan penelitian
pestisida dalam urin (Suhartono, 2013).
mengenai studi riwayat paparan pestisida dengan
Salah satu kelompok populasi yang rentan
kadar Insulin Like Growth Factor I (IGF-
terpapar pestisida yaitu anak-anak yang
1) khususnya pada anak sekolah dasar yang
Analisis data penelitian dilakukan secara
tinggal di daerah pertanian, sehingga tujuan
univariat dan bivariat. Analisis univariat
penelitian ini adalah mengetahui hubungan
dilakukan untuk mendeskripsikan faktor-faktor
riwayat paparan pestisida dengan kadar Insulin
yang berperan dalam paparan pestisida,
Like Growth Factor I (IGF-1) pada siswa sekolah
sedangkan analisis bivariat dilakukan untuk
dasar.
menguji keterlibatan dalam pertanian, kebiasaan
bermain di pertanian, lama terlibat anak di
METODE
pertanian, keberadaan pestisida dalam rumah,
riwayat paparan ibu saat hamil terlibat di
Penelitian ini merupakan penelitian
pertanian dengan kadar metabolit pestisida
observasional dengan pendekatan cross sectional.
dalam urin, serta menguji antara kadar metabolit
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Dukuhlo
pestisida dengan kadar IGF-1 pada siswa SD
01 Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.
Negeri Dukuhlo 01 Kecamatan Bulakamba
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas
Kabupaten Brebes.
4 sebanyak 48 siswa. Besar sampel ini ditentukan
dengan purposive sampling dengan pertimbangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
mereka yang mau berpartisipasi pada
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan
SD Negeri Dukuhlo 01 terletak di Desa
pemeriksaan kadar IGF-1. Pada penelitian ini,
Dukuhlo Kecamatan Bulakamba secara
menggunakan data sekunder dari penelitian tim
geografis terletak di bagian utara Kabupaten
dosen FKM Undip tahun 2014, yang terdiri dari
Brebes dengan batas wilayah utara Desa
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan
Tegongan Kecamatan Tanjung, selatan Desa
kadar IGF-1.
Padakaton kecamatan Ketanggungan, timur
Riwayat paparan pestisida dilakukan
Desa Kluwut kecamatan Bulakamba, dan
dengan pemeriksaan metabolit pestisida dalam
sebelah barat Desa Sutamaja Kecamatan
urin. Pemeriksaan metabolit pestisida dilakukan
Kresana.
pada jenis pestisida organopospat, menggunakan
Berdasarkan hasil pemeriksaan
metode dialkylphosphate pada urin menggunakan
laboratorium (tabel 2) dapat diketahui bahwa
alat High Performance Liquid Chromatography
responden dalam penelitian ini telah terdeteksi
(HPLC) dengan Triple Quadrupoles Tandem Mass
kadar metabolit pestisida dalam urinnya. Kadar
Spectrometer sebagai detektor atau yang umum
metabolit pestisida responden yang terdeteksi
disebut LC-MS/MS. Electrospray Ionisation (ESI)
yaitu senyawa diethylthiophosphate (DETP) dan
positive dengan Multiple Reaction Monitoring
dimethylditiophosphate (DMDTP). Rerata kadar
(MRM) digunakan untuk analisa tersebut (Barr
DETP responden adalah 0,00515 ppm, kadar
& Sampson, 2004). Pemeriksaan kadar IGF-1
terendah 0,000 ppm, kadar tertinggi 0,104 ppm.
menggunakan teknik immunoassay enzim Sanwich
Sedangkan rerata kadar DMDTP responden
kuantitatif (Quantikine). Pengukuran status gizi,
adalah 0,064 ppm kadar terendah 0,000 ppm,
diambil dari nilai yang tertera dalam microtoise
kadar tertinggi 0,064 ppm. Nilai Ambang Batas
(penilaian tinggi badan) dan timbangan digital
(NAB) untuk DETP adalah 0,1 ppm, sedangkan
(penilaian berat badan). Data mengenai faktor-
untuk DMDTP adalah 0,05 ppm.
faktor yang berperan dalam paparan pestisida,
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui
seperti: keterlibatan anak dalam pertanian,
bahwa hasil pemeriksaan kadar IGF-1 responden
kebiasaan bermain anak di pertanian, lama
paling tinggi 290 ng/ml dan paling rendah 41,90
terlibat dalam pertanian, keberadaan pestisida
ng/ml dengan rerata 104,35 ng/ml dan standar
dalam rumah, riwayat paparan ibu saat hamil
deviasi 48,88 ng/ml. Adapun pengkategorian
terlibat di pertanian, dilakukan dengan
kadar IGF-1 rendah berdasarkan nilai rujukan
wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
sesuai dengan umur
respoden yang termasuk dalam pra pubertas
adalah 83-255 ng/ml (Granada et al., 2000)
Tabel 3. Analisis Bivariat Perilaku Subyek dengan Keberadaan Metabolit Pestisida dalam Urin
No. Variabel p
1. Keterlibatan anak dalam pertanian 0,095a
2. Kebiasaan bermain anak di pertanian 0,544a
3. Lama terlibat anak di pertanian 0,448a
4. Riwayat paparan ibu saat hamil terlibat dalam pertanian 0,556a
5. Metabolit pestisida dalam urin 1,000a
a : Uji Chi- Square
penurunan kadar IGF-1. IGF-1 merupakan
Analisis bivariat
somatomedin yang kerjanya sebagai mediator
Analisis bivariate menunjukkan bahwa
hormon pertumbuahn dan kerjanya mirip
hasil uji statistik Chi-Square menunjukan bahwa
insulin. Fungsinya berperan dalam mendorong
tidak ada nilai signifikan antara variabel
pertumbuhan.
penelitian (perilaku subyek) dengan keberadaan
Penelitian pada petani di Thailand yang
metabolit pestisida dalam urin. Berdasarkan hasil
terlibat secara langsung di pertanian seperti
uji statistik Mann Whitney menunjukan bahwa
menyemprot memiliki rerata kadar metabolit
tidak ada perberdaan rerata kadar IGF-1 pada
pestisida 0,0984 ppm (Miskiyah & Munarso,
responden yang positif metabolit pestisida dalam
2009). Kadar metabolit tersebut lebih tinggi
urin dengan rerata kadar IGF-1 pada responden
dibandingkan dengan hasil penelitian ini, di sini
yang negatif metabolit pestisida dalam urin.
adanya perbedaan kegiatan pertanian yang
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukan bahwa
dilakukan sehingga menunjukan adanya
tidak ada nilai signifikan antara keberadaan
perbedaan paparan pestisida yang masuk
metabolit dalam urin dengan kadar IGF-1 pada
kedalam tubuh.
responden.
Hasil wawancara dengan responden,
bahwa mereka tidak terlibat secara langsung
Hubungan Metabolit Pestisida dalam Urin dengan
dengan kegiatan pertanian seperti menyemprot,
Kadar IGF-1
tetapi mereka hanya terlibat dalam kegiatan
Pada penelitian ini, kadar metabolit
pertanian seperti melepaskan bawang dari
pestisida dalam urin sebagai petanda biologis
tangkainya, membantu panen, mencari sisa hasil
untuk menunjukan adanya paparan pestisida.
panen. Tidak adanya kontak langsung antara
Hasil uji Mann Whitney menunjukan bahwa tidak
anak-anak dengan pestisida secara langsung
ada perbedaan rerata kadar IGF-1 pada
mengurangi risiko pajanan pestisida yang
responden yang positif metabolit pestisida dalam
berlebihan. Intensitas serta frekuensi keterlibatan
urin dengan rerata kadar IGF-1 pada responden
anak dalam pertanian juga menjadi salah satu
yang negatif pestisida dalam urin, hal ini tentu
faktor tidak adanya hubungan dengan
merupakan salah satu temuan menarik. Sehingga
keberadaan metabolit pestisida dalam urin.
peneliti mencoba melihat dari rerata kadar
Anak-anak terlibat di pertanian tidak setiap hari,
metabolit pestisida dengan lama paparan dalam
dan lama waktu terlibat 1-2 jam perhari.
aktivitas pertanian dapat berpengaruh pada
Keterlibatan anak dalam pertanian bukan
banyaknya pestisida yang terabsorbsi dan
sebagai pekerja/buruh tani tetapi hanya
terakumulasi dalam tubuh. Rerata kadar
membantu orang tua yang sebagian besar bekerja
metabolit pestisida lebih tinggi pada responden
sebagai buruh tani sehingga terkadang
yang terlibat dalam pertanian lebih dari 3 tahun
keterlibatan mereka secara terus-menerus.
(0,0180 ppm), dibandingkan dengan rerata kadar
Pestisida yang masuk kedalam tubuh akan
metabolit pestisida pada responden yang terlibat
mengalami degradasi hydrolysis di dalam hati
pertanian kurang dari 3 tahun (0,0129 ppm).
dan jaringan-jaringan lain.
Lama terlibat di pertanian dalam periode waktu
Waktu paruh organofosfat berkisar antara
yang lama memungkinkan anak mengalami lebih
1-2 hari setelah absorbsi (Hanchenlaksh et al.,
lama paparan pestisida, sehingga berpotensi
2012). Pestisida masuk kedalam tubuh akan
untuk terjadi bioakumulasi residu pestisida di
menempel pada enzim kolinesterase, sehingga
dalam tubuhnya. Jika dalam waktu lama
terjadi akumulasi substrat (asetilkolin) pada sel
terpapar dapat menyebabkan gangguan
efektor. Keadaan tersebut akan menyebabkan
hormonal.
gangguan pada syaraf berupa aktifitas kolinergik
Pada penelitian ini, pada paparan pestisida
secara terus menerus akibat asetilkolin yang tidak
dengan biomarker urin kadar reratanya masih
dihidrolisis. Asetilkolin berperan sebagai
kurang dari NAB sehingga anak belum
jembatan penyeberangan bagi mengalirnya
mengalami efek yang berarti untuk mengalami
1. Kekurangan hormon tiroid secara tidak
getaran-getaran syaraf. Melalui sistem syaraf
langsung juga akan mempengaruhi hormon
inilah organ-organ didalam tubuh menerima
pertumbuhan dimana hormon pertumbuhan
informasi untuk mempergiat atau mengurangi
akan terganggu dalam menghidrolisasi IGF-1
aktifitas sel pada organ. Sistem syaraf pusat
(Pricre, 1994).
dihubungkan dengan hipofisis melalui
hipotalamus, ini adalah hubungan yang paling
SIMPULAN
nyata antara sistem syaraf pusat dan sistem
endokrin (Hindmarch & Dennison, 1999).
Simpulan penelitian ini adalah tidak ada
Kedua sistem ini saling berhubungan baik
perbedaan rerata kadar IGF-1 pada anak yang
melalui syaraf maupun vascular. Proses tersebut
positif metabolit pestisida dalam urin dengan
yang menyebabkan terjadinya gangguan
rerata kadar IGF-1 pada anak yang negatif
terhadap sistem hipotalamus-pituitari-tiroid.
metabolit pestisida dalam urin, namun rerata
Pestisida memiliki beberapa mekanisme yang
kadar IGF-1 lebih tinggi pada anak yang positif
mengganggu sistem endokrin. Bahan kimia dapat
metabolit pestisida dalam urin dibandingkan
mengganggu pada fungsi kelenjar tiroid melalui
dengan rerata kadar IGF-1 pada anak yang
mekanisme yang berbeda, misalnya pada tingkat
negatif pestisida dalam urin.
reseptor dalam mengikat protein, mekanisme
transport seluler, atau mengganggu metabolisme
DAFTAR PUSTAKA
hormon tiroid.
Metabolisme hormon tiroid yang
Barr, D., & Sampson, E. J. (2004). Laboratory Procedure
terganggu akibat adanya pestisida akan
Manual Dialkyl phosphate Metabolites of
mempengaruhi kinerja sistem endokrin. Hormon Organophosphorus Pesticides. Toxicology Branch
pertumbuhan merupakan salah satu sistem Division of Laboratory Sciences National
endrokrin yang merupakan untuk mengatur Center for Enviromental Health NHANES .
pertumbuhan seseorang. Pelepasan hormon BPS Brebes. (2011). Kabupaten Brebes dalam Angka
pertumbuhan distimulasi oleh Growth Hormone Tahun 2008. Brebes: Badan Pusat Statistik
RrlaH dan diinhibasi oleh somatomedin C atau Kabupaten Brebes.
IGF-1 Hormon pertumbuhan tidak bekerja Djunaedy, A. (2009). Biopeptisida sebagai Pengendali
Organisme Pengganggu Tanaman Obat yang
secara sendiri, tetapi ada hormon tiroid yang
Ramah Lingkungan. Fakultas Pertanian Unjiyo.
berkaitan dengan kinerja hormon pertumbuhan.
Garry, F. (2004). Pesticides and Children. Elsevier.
Hormon tiroid yang terdiri dari hormon tiroksin Gore, A. C., Crews, D., Doan, L. L., Merrill, M.,
(T4) dan triiodotironin (T3). Kelenjar tiroid Patisaul, H., & Zota, A. (2014). Introduction to
bekerjasama dengan hipotalamus dan kelenjar Endocrine Disrupting Chemicals (EDCs) a
hipofise yang terletak di otak supaya hormon Guide for Public Interest Organization and
yang dihasilkan tidak berlebih atau berkurang. Policy-makers. Endocrine Society.
Pestisida jenis organofosfat dapat mengganggu Granada, M. L., Murillo, J., & Lucas, A. (2000).
mekanisme deyondinasi terhadap enzim yang Diagnostic Efficiency of Serum IGF-1, IGF-
binding Protein-3 (IGFBP-3), IGF/IGFB-3
berfungsi mengubah T4 yang tidak aktif menjadi
Molar Ratio and Urinary GH Measurements in
T3 (Raini, 2009).
the Diagnosis of Adult GH Deficiency:
Gangguan pada sistem ini dapat Importance of an Appropriate Reference
menyebabkan terjadinya kekurangan hormon Population. Eur J Endocrinol(142), 243-253.
tiroid. Kekurangan hormon tiroid akan Hanchenlaksh, C., Povey , A., & Vocht, F. D. (2012).
menyebabkan terhentinya pertumbuhan linear. Pesticide Exposure and Urinary DAP Metabolites
Hal ini menunjukan kinerja hormon among Thai Farmers and Their Families. Centre
pertumbuhan yang melibatkan hormon tiorid. for Occupational and Enviromental Health,
Hormon tiroid meningkatkan respons sekresi University of Manchester.
hormon pertumbuhan dan meningkatkan IGF-
Hindmarch , P. C., & Dennison, E. (1999). A Sexually Dimorphic Pattern of Growth Hormone Secretion in the Elderly. J Clin
Endocrinal Metab(84), 2679-85.
Holloway. (2007). Influence of Dichlorodiphenylchoroethylene on Vascular Endothelial. Growth Factor and
Insulin-Like Growth Hormone & IGF Research, 17(6), 506- 511.
Miskiyah, & Munarso, S. J. (2009). Kontaminasi Residu Pestisida pada Cabai Merah, Selada, dan Bawang Merah (Studi Kasus di
Bandungan dan Brebes Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat). J Hort, 19(1), 101-111.
Pricre, S. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Buku Keodkteran EGC.
Quantikine. (n.d.). Human IGF-1 Immunoassay. United Kingdom: R&B Systems Inc.
Raini, M. (2009). Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 19(2).
Suhartono. (2013). Laporan Penelitian Paparan Pestisida dan Fungsi Tiroid pada Siswa SD Kabupaten Brebes.
Journal of IMAB - Annual Proceeding (Scientific Papers) 2007, vol. 13, book 1
REFERENCES:
1. Balabanova S., E. Schneider*, R. 195 (3), 2004: 278-87. 5. Gibson L., R. Cooke. A test for
Wepler, G. Buler, B. Hermann*, H. 4. Gasiewiez T., G. Rucci, E. Henry, concentrations of electrolytes in sweat
Boscek, H. Schneider, H. Jentzmik. R. Baggs. Changes in hamster hepatic in cystic fibrosis of the pancreas
Capacity of the eccrine sweat glands to cytochrome P450, ethoxycoumarin O- utilizing pilocarpine ionophoresis.
store cocaine. Dermatollogishe deethylase and reduced NAD (P): Pediatrics, 23, 1959: 545-549.
Monatsschrift, 178, 1992: 89-92. menadione oxidoreductase following 6. Krushkov I., I. Lambrev.
2. Beveridge G. Sweat gland treatment with 1,2,7,8- Pharmakotheraupevtic reference book,
necrosis in Barbiturate poisoning. tetrachlorodibenzo-p-dioxin. Partial MF, Sofia 1998: 104
Arch. Derm., 1970: 101:369. dissociation with temp and dose- 7. Lujnikov E., L. Kostomarova
3. Du L, S. Hoffman, D. Keeney. response relationship from elicited Acute poisonings. Moskow1989: 258.
Epidermal CYP2 family cytochromes toxicity. Biochem.Pharmacol., 35, 1986: 8. Laevell U., K. Lexington. Sweat
P450. Toxicol Appl Pharmacol., Mar 15, 2737-2772. gland necrosis in barbiturate
poisoning. Arch. Dermatol., 1969;100: sequence – specific DNA adducts to characterization of morfine-6b-
218-21. sustained cytochrome P450 1A1 glucoronide, a very potent morphine
9. Mandy S, A. Ackerman. Characte- induction by 3-methylcholanthrene. metabolite. J. Pharmacol. Exp. Ther.,
ristic traumatic skin lesions in drug Redox Report. Communication free 1989, 25:477.
indused coma. JAMA, 1970; 213:253-6. Radical Research, 2002; 7:1; 9. 14. Penev Zl. N. Zlatkov, A.
10. Monov Al.,Clinic toxicology, 12. Noonan P., R. Wester. Durmishev. Reference book of
volume I, ethiology, pathogenesis,cell- Cutaneous Biotransformations and dermatology and venerology, 1987: 27
organo pathology, diagnosis and some Pharmacological and 15. Singer M., L. Shapiro, N. Shear.
threatment of poisonings. Clinical Toxicological Implications in Cytohrome P-450 3A: Interaction with
human states and their threatment. Dermatotoxicology, III ed., Marzuli F. N. dermatologic therapies. Clinical review.
Vanel-OOD, Sofia, 1995 (editor), USA, 1987: 84-88. Journal of American Academy of
11. Moorthy B. 3-Methylcholan- 13. Paul D., K. Standifer, C. Inturrisi, Dermatology N 37, N5, Part 1, 1998:
threne–inducible hepatic DNA-adducts G. Paternack. Pharmacological 765-711
a mechanistic hypothesis linking