Anda di halaman 1dari 61

PAPER TOKSIKOLOGI KLINIK

PENGANTAR TOKSIKOLOGI KLINIK

OLEH

OLEH:
NUR ASTRI ADI NINGSI
NIM. P07134017031

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia berada dalam hubungan yang terus menerus dengan agent-agent toksis. Agent-
agent toksis ini bisa dijumpai dalam makanan yang dimakan, air diminum ataupun udara yang
dihirup. Tergantung pada sifat-sifat fisika dan kimia dari agent-agent toksis ini, mereka bisa
diserap oleh saluran larnbung usus, paruparu dan atau kulit. Untungnya badan mempunyai
kemampuan untuk metabolisir dan mengeluarkan senyawa-senyawa ini kedalam urine, empedu
dan udara. Namun demikian, apabila kecepatan penyerapan melabihi kecepatan ekskresinya
senyawa toksis itu akan menumpuk kesatu konsentrasi kritis didalam badan yang
mengakibatkan akan terlihat efek toksis dari agent tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, muncul satu cabang ilmu yang dikenal sebagai
TOKSIKOLOGI. Pada saat ini, Toksikologi telah berkembang baik untuk kepentingan
laboratorium maupun klinik, namun apabila ditanyakan apa itu toksikologi, orang masih sulit
untuk menjawab dengan tepat. Masing-masing orang mendefinisikan Toksikologi berdasarkan
ilmu yang dimilikinya selama ini. Sebagai contoh : seorang ahli Farmakologi memandang
Toksikologi sebagai salah satu bidang studi mengenai obat-obatan; seorang ahli kimia
memandang Toksikologi ini dari sudut pandang secara kimia maupun secara analisa kimianya
dan kalau perhatian ditujukan terhadap system ataupun organ yang terlibat akan muncul
definisi berbeda. Toksikologi merupakan bidang studi yang jauh lebih luas dibandingkan
definisi-definisi sempit yang dimajukan diatas. Dia melebihi dari sekedar ilmu mengenai racun-
racun. Selanjutnya, disiplin ilmu Toksikologi ini tengah berkembang dan meluas jangkauannya
oleh karena itu satu definisi yang tepat haruslah memasukkan mengenai keluasannya ini dan
kemungkinan perkembangannya dimasa yang akan datang.
Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-obatan
dan senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen biologis dan yang
terkait. Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang sangat beragam: dapat berupa
bahan kimia, pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan obat-obatan (drugs abuse) dan racun
alami.
Toksikologi analitik dapat membantu dalam diagnosis, manajemen dan dalam beberapa
kasus pencegahan keracunan. Selain itu, laboratorium toksikologi analitik dapat dilibatkan
dalam berbagai kegiatan lain seperti penilaian paparan setelah kejadian kimia, pemantauan obat
terapeutik, analisis forensik, dan pemantauan penyalahgunaan obat-obatan. Mereka mungkin
juga terlibat dalam penelitian, misalnya dalam menentukan sifat farmakokinetik dan
toksinokinetik zat atau keefektifan rejimen pengobatan baru.
Sehubungan dengan hal itu, pengetahuan dasar tentang toksikologi klinis dan forensik
sangat penting. Terlebih seorang analis laboratorium harus bisa berkomunikasi secara efektif
dengan klinisi, ahli patologi, petugas pemadam kebakaran, polisi dan, mungkin juga orang lain.
Selain itu, pemahaman yang baik tentang kimia klinis, farmakologi dan farmakokinetik sangat
diharapkan. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai pengertian,
toksikologi klinik ruang lingkup, manfaat, dan dasar-dasar dari toksikologi klinik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu toksikologi dan racun?
2. Bagaimanakah ruang lingkup toksikologi?
3. Bagaimanakah cakupan dan subdisiplin toksikologi?
4. Apa itu toksikologi klinik?
5. Bagaimanakah pemanfaatan toksikologi klinik?
6. Bagaimanakah sistematika analisis toksikologi klinik?
7. Bagaimanakah cara evaluasi dan pengkajian hasil analisis toksikologi klinik?
8. Apa sajakah kompetensi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi
klinik?

1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Secara umum, tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui pengertian,
ruang lngkup, dan dasar-dasar dari tokskologi klinik
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan paper ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan toksikologi dan racun
2. Untuk mengetahui ruang lingkup toksikologi
3. Untuk mengetahui cakupan dan subdisiplin toksikologi
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan toksikologi klinik
5. Untuk mengetahui pemanfaatan dari toksikologi klinik
6. Untuk mengetahui sistematika analisis toksikologi klinik
7. Untuk mengetahui cara evaluasi dan pengkajian hasil analisis toksikologi klinik
8. Untuk mengetahui kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
analisis toksikologi klinik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Toksikologi dan Racun


Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi. Apabila
zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
“tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan
terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah
toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek
berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada
suatu organisme (Wirasuta, 2007).
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa satu
zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali
jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab
itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas
berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan
berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi (Wirasuta, 2007).
Pada umumnya, efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi
antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu
kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh
organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail
dibahas pada sub bahasan kerja toksik (Wirasuta, 2007).
Telah dipostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat ditentukan
oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat yang
berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga keracunan. Misal
insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan menimbulkan efek yang
berbahaya bagi manusia, namun pada dosis tersebut memberikan efek yang mematikan bagi
serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tersebut berada jauh dibawah konsentrasi
minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya apabila kita terpejan oleh DDT dalam waktu
yang relatif lama, dimana telah diketahui bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai
dilingkungan dan sangat lipofil, akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh
dalam waktu relatif lama. Karena sifat fisiko kimia dari DDT, mengakibatkan DDT akan
terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga apabila batas
konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek toksik. Efek atau kerja toksik
seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang bersifat kronis (Wirasuta, 2007).
Dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatnya sendiri,
tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumlah yang masuk dan
diabsorpsi. Dengan lain kata tergantung dengan cara kerja, frekuensi kerja dan waktu kerja.
Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat dan sesuatu tokson tidak terdapat perbedaan
yang prinsipil, ia hanya relatif. Semua kerja dari suatu obat yang tidak mempunyai sangkut
paut dengan indikasi obat yang sebenarnya, dapat dinyatakan sebagai kerja toksik (Wirasuta,
2007).
Tidak jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat baru.
Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea dan lanata, yaitu
diperoleh antikoagulan yang bekerja tidak langsung, yang diturunkan dari zat racun yang
terdapat di dalam semanggi yang busuk. Inhibitor asetilkolinesterase jenis ester fosfat, pada
mulanya dikembangkan sebagai zat kimia untuk perang, kemudian digunakan sebagai
insektisida dan kini juga dipakai untuk menangani glaukoma (Wirasuta, 2007).

2.2 Ruang Lingkup Toksikologi


Toksikologi modern merupakan bidang yang didasari oleh multi disiplin ilmu, ia
dengan dapat dengan bebas meminjam bebarapa ilmu dasar, guna mempelajari interaksi antara
tokson dan mekanisme biologi yang ditimbulkan. Ilmu toksikologi ditunjang oleh berbagai
ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika. Kimia analisis dibutuhkan untuk
mengetahui jumlah tokson yang melakukan ikatan dengan reseptor sehingga dapat memberikan
efek toksik. Bidang ilmu biokimia diperlukan guna mengetahui informasi penyimpangan reaksi
kimia pada organisme yang diakibatkan oleh xenobiotika. Perubahan biologis yang diakibatkan
oleh xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu patologi, immunologi, dan fisiologi.
Untuk mengetahui efek berbahaya dari suatu zat kimia pada suatu sel, jaringan atau organisme
memerlukan dukungan ilmu patologi, yaitu dalam menunjukan perubahan wujud atau
perubahan makroskopi, mikroskopi, atau submikroskopi dari normalnya. Perubahan biologi
akibat paparan toksin dapat termanisfestasi dalam bentuk perubahan sistem kekebalan (immun)
tubuh, untuk itu diperlukan bidang ilmu immunologi guna lebih dalam mengungkap efek toksik
pada sistem kekebalan organisme (Rahayu dan Solihat, 2018).

Gambar Kedudukan Ilmu Toksikologi (Wirasuta, 2007)


Bidang yang paling berkaitan dengan toksikologi adalah farmakologi, karena ahli
farmakologi harus memahami tidak hanya efek bermanfaat zat kimia, tetapi juga efek
berbahayanya yang mungkin diterapkan pada penggunaan terapi. Farmakologi pada umumnya
menelaah efek toksik, mekanisme kerja toksik, hubungan dosis respon, dari suatu tokson
(Wirasuta, 2007).

2.3 Cakupan dan Subdisiplin Toksikologi


Toksikologi sangat luas cakupannya. Ia menangani studi efek toksik “toksisitas” di
berbagai bidang, LU (1995) mengelompokkan ke dalam empat bidang, yaitu:
1. Bidang kedokteran untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapeutik,
2. Bidang industri makanan sebagai zat tambahan baik langsung maupun tidak langsung,
3. Bidang pertanian sebagai pestisida zat pengatur pertumbuhan, peyerbuk bantuan, dan
zat tambahan pada makanan hewan,
4. Bidang industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara bagi plastik serta
banyak jenis bahan kimia lainnya. Di dalam industri kimia juga dipelajari pengaruh
logam (misal dalam dalam pertambangan dan tempat peleburan), produk minyak bumi,
kertas dan pulpa, tumbuhan beracun, dan racun hewan terhadap kesehatan (Wirasuta,
2007).
LOOMIS (1979) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga
kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi forensik.
1. Toksikologi lingkungan lebih memfokuskan telaah racun pada lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan, dampak negatif dari akumulasi residu senyawa kimia pada
lingkungan, kesehatan lingkungan kerja.
2. Toksikologi ekonomi membahas segi manfaat dan nilai ekonomis dari xenobiotika.
3. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi ilmu toksikologi untuk kepentingan
peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah analisis racun baik kualitatif
maupun kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan
(Wirasuta, 2007).
Masih dijumpai subdisiplin toksikologi lainnya selain tiga golongan besar diatas,
seperti toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikologi kerja, toksikologi hukum, dan
toksikologi mekanistik. Untuk menegakan terapi keracunan yang spesifik dan terarah,
diperlukan kerjasama antara dokter dan toksikologi klinik. Hasil analisis toksikologi dapat
memastikan diagnose klinis, dimana diagnose ini dapat dijadikan dasar dalam melakukan terapi
yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga ancaman kegagalan pengobatan (kematian)
dapat dihindarkan. Analisis toksikologi klinik dapat berupa analisis kualitatif maupun
kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan bahwa kasus keracunan adalah
memang benar diakibatkan oleh instoksikasi. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat
diperoleh informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan interpretasi konsentrasi
tokson, baik di darah maupun di urin, yang lebih seksama. Untuk mengetahui tepatnya tingkat
toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis tokson yang berulang baik dari darah maupun
urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah toksisitas pada fase
eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi (Wirasuta, 2007).
Keracunan mungkin terjadi akibat pejanan tokson di tempat kerja. Hal ini mungkin
dapat mengkibatkan efek buruk yang akut maupun kronik. Efek toksik yang ditimbulkan oleh
kesehatan dan keselamatan kerja merupakan masalah bidang toksikologi kerja. Toksikologi
kerja merupakan subbagian dari toksikologi lingkungan (Wirasuta, 2007).
Toksikologi hukum mencoba melindungi masyarakat umum dari efek berbahaya tokson
dengan membuat undang-undang, peraturan, dan standar yang membatasi atau melarang
penggunaan zat kimia yang sangat beracun, juga dengan menentukan syarat penggunaan zat
kimia lainnya. Gambaran lengkap tentang efek toksik sangat diperlukan untuk menetapkan
peraturan dan standar yang baik. Profil semacam itu hanya dapan ditentukan lewat berbagai
jenis penelititan toksikologi yang relevan, dan ini membentuk dasar bagi toksikologi hukum
(Wirasuta, 2007).

2.4 Toksikologi Klinik


Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-obatan
dan senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen biologis dan yang
terkait. Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang sangat beragam: dapat berupa
bahan kimia, pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan obat-obatan (drugs abuse) dan racun
alami (Rahayu dan Solihat, 2018).
Toksikologi analitik dapat membantu dalam diagnosis, manajemen dan dalam beberapa
kasus pencegahan keracunan. Selain itu, laboratorium toksikologi analitik dapat dilibatkan
dalam berbagai kegiatan lain seperti penilaian paparan setelah kejadian kimia, pemantauan obat
terapeutik, analisis forensik, dan pemantauan penyalahgunaan obat-obatan. Mereka mungkin
juga terlibat dalam penelitian, misalnya dalam menentukan sifat farmakokinetik dan
toksinokinetik zat atau keefektifan rejimen pengobatan baru (Rahayu dan Solihat, 2018).
Sehubungan dengan hal itu, pengetahuan dasar tentang toksikologi klinis dan forensik
sangat penting. Terlebih seorang analis laboratorium harus bisa berkomunikasi secara efektif
dengan klinisi, ahli patologi, petugas pemadam kebakaran, polisi dan, mungkin juga orang lain.
Selain itu, pemahaman yang baik tentang kimia klinis, farmakologi dan farmakokinetik sangat
diharapkan (Rahayu dan Solihat, 2018).
Analisis toksikologi meliputi: (1) toksikologi darurat dan rumah sakit umum, termasuk
pemeriksaan “bisa” dan (2) kategori khusus: toksikologi forensik, skrining untuk
penyalahgunaan obat (drugs abuse), pemantauan obat terapeutik (therapeutic drugs
monitoring=TDM) dan toksikologi lingkungan serta yang terkait dengan pekerjaan
(occupational toxicology), meskipun ada banyak tumpang tindih antara semua area ini (Rahayu
dan Solihat, 2018).
Metode analisis yang digunakan dalam melakukan analisis toksikologi pada sampel
biologis terkait dari studi toksikologi itu sendiri, terutama toksikologi klinis dan forensik.
Laboratorium tidak dapat melakukan apapun untuk membantu proses diagnostik kecuali
seseorang, baik itu klinisi, ahli patologi, atau orang lain, mencurigai penyebab keracunan dan
memastikan spesimen dikumpulkan dan dikirim untuk dianalisis. Namun, pengumpulan dan
penanganan sampel yang tepat tidak selalu mudah dan memang merupakan subjek tersendiri
(Rahayu dan Solihat, 2018).
2.5 Pemanfaatan Toksikologi Klinik
Analisis toksikologi klinik dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari
hasil analisis kualitatif dapat dipastikan bahwa kasus keracunan adalah memang benar
diakibatkan oleh instoksikasi. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh
informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan interpretasi konsentrasi toksikan,
baik di darah maupun di urin, yang lebih seksama. Untuk mengetahui tepatnya tingkat
toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis toksikan yang berulang baik dari darah maupun
urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah toksisitas pada fase
eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi (Wirasuta, 2007).
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa manfaat analisis toksikologi klinik adalah:
1. Identifikasi awal yang cepat, sebagai pendahuluan sebelum melakukan terapi yang spesifik
dan terarah
2. Untuk mengontrol keberhasilan dan efek dari penegakan terapi instoksikasi
3. Untuk memastikan atau menjamin diagnose klinis (Wirasuta, 2007).
Selain manfaat klinis (terapi instoksifikasi), analisis toksikologi klinik dapat
mempunyai makna yang besar dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti
yang telah diketahui adalah tidak mungkin untuk melakukan uji toksisitas (uji farmakologis,
toksokinetik dan uji lainnya) langsung pada manusia. Sehingga beberapa masalah, seperti data
toksisitas, dapat dikumpulkan dari data-data hasil analisis toksikologi klinik, seperti:
1. Studi metabolisme dan toksokinetik dari senyawa toksikan tertentu
2. Studi penyimpangan farmakokinetik dari toksikan pada kasus instoksikasi (waktu paruh,
volume distribusi, clearance),
3. Evaluasi data-data toksisitas yang diperoleh dari hewan uji terhadap kenyataannya pada
manusia (Wirasuta, 2007).

2.6 Sistematika Analisis Toksikologi Klinik


Pemeriksaan toksikologi yang sistematis adalah merupakan suatu keharusan dalam
melakukan analisis toksikologi, jika terdapat dugaan keracunan tetapi tidak terdapat informasi
yang tepat tentang toksikan sebagai penyebabnya (Wirasuta, 2007).
Gibitz (1995) mengelompokkan langkah analisis menjadi dua tahap, yaitu tahap
analisis pendahuluan dan analisis lanjutan. Tahap analisis pendahuluan adalah analisis yang
cepat dan tepat, merupakan analisis kualitatif, yang merupakan orientasi mencari dugaan
penyebab instoksikasi. Uji ini seharusnya dikerjakan di rumah sakit pada saat pada saat awal
pasien diterima. Analisis pendahuluan ini dapat berupa tes / rekasi warna, terhadap toksikan
yang terdapat dalam materi biologi (darah, urin, cucian lambung), sisa tablet atau makanan.
Belakangan ini telah berkembang dengan pesat metode uji penapisan yang lebih sederhana
dalam pengerjaannya dan memberikan hasil yang lebih spesifik dibandingkan rekasi warna,
yaitu metode immunokimia ”immunoassay”. Pemeriksaan gas dari buangan pernapasan juga
dikelompokkan dalam tahap ini. Pemeriksaan ini ditujukan pada toksikan yang dapat dianalisis
dalam bentuk gasnya, seperti pada kasus keracunan alkohol, sianida. Analisis tahap
pendahuluan dalam analisis toksikologi forensik dikelompokkan ke dalam uji penapisan.
Sedangkan analisis tahap lanjut disebut dengan uji determinasi. Analisis tahap lanjut meliputi:
1. Pemastian dugaan/hasil pada analisis kualitatif (indentifikasi dan kharakterisasi), disini
diperlukan metode instrumentasi yang lebih canggih seperti Kromatografi Gas-
Spektrofotometri Massa ”GC-MS” , Kromatografi Cair-Spektrofotometri Massa ”LC-MS”,
Kromatografi cair dengan Diode Array Detektor
2. Penetapan kadar toksikan serta metabolitnya (Wirasuta, 2007).

2.7 Evaluasi dan Pengkajian Hasil Analisis Toksikologi Klinik


Agar hasil analisis toksikologi dapat dijadikan acuan dalam membuat diagnose akhir
dari instoksikasi dan mempunyai makna dalam penegakan terapi instoksikasi yang terarah,
maka hasil analisis haruslah valid dan sahih. Untuk itu haruslah dikenali sumber-sumber yang
mungkin memberikan kesalahan analisis. Ada tiga tingkat yang dapat dikatakan sebagai
sumber kesalahan dalam analisis toksikologi, yaitu tataran teknis, tataran biologis dan tataran
nosologi (pengelompokan penyakit) (Wirasuta, 2007).
Dalam tataran teknis kesalahan analisis dapat muncul akibat masalah teknis, seperti
prosedur analisis, metode analisis, akurasi dan presisi dari intrumentasi analisis. Sedangkan
kesalahan yang mungkin ditimbulkan dari tataran biologis adalah akibat besarnya variasi
materi biologis dari sampel toksikologi, waktu pengambilan sampel. Faktor toksokinetik dan
waktu pengambilan akan banyak menentukan hasil analisis toksikologi, misal jika penerokan
dilakukan tepat pada saat pasien terpapar, kemungkinan besar akan dapat menemukan toksikan
dalam jumlah besar, baik di dalam saluran pencernaan, maupun di darah. Namun jika
penerokan dilakukan pada fase terminal, dan jika toksikan mempunyai waktu paruh yang
singkat, maka kemungkinan kecil menemukan toksikan di darah (Wirasuta, 2007).
Untuk memahami kesalahan-kesalahan yang berpengaruh dari tataran biologis, maka
sangat dituntut pemahaman terhadap sifat formakokinetik, metabolisme toksikan. Sudah
dikenal ada jenis penyakit tertentu dapat mempengaruhi sifat farmakodinamik toksikan.
Seperti, senyawa opiat sebagian besar dieliminasi melalui clearance hepatis, insufisien hati
akan menghambat jalu metabolisme opiat di dalam tubuh, sehingga morfin akan berada dalam
waktu yang lebih lama di dalam tubuh. Demikian juga pada pasien gagal ginjal terjadi
akumulasi dari morfin glukuronida, sehingga akan terjadi perpanjangan waktu paruh dari
morfinglikuronida (Wirasuta, 2007).

2.8 Kompetensi Yang Dibutuhkan dalam Penyelenggaraan Analisis Toksikologi Klinik


Kemampuan dasar yang diperlukan agar dapat menyelenggarakan analisis toksikologi
klinik sampai interpretasi temuan analisis adalah:
1. Penguasaan Kimia Analisis, Yaitu Penguasaan Pengopreasian Instrumentasi Analisis, Dari
Preparasi Sampel, Penyiapan Prosedur Analisis, Sampai Validasi Hasil Analisis
2. Penguasaan Farmakologi Dan Toksikologi Klinik
3. Penguasaan Farmakokinetik Klinik Dan Metabolisme Obat
4. Kemampuan Kimia Klinik (Wirasuta, 2007).
peradaban manusia dalam mencari makanan, tentu telah mencoba beragam bahan baik botani,
nabati, maupun dari mineral. Melalui pengalamannya ini ia mengenal makanan, yang aman
dan berbaya. Dalam kontek ini kata makanan dikonotasikan ke dalam bahan yang aman bagi
tubuhnya jika disantap, bermanfaat serta diperlukan oleh tubuh agar dapat hidup atau
menjalankan fungsinya. Sedangkan kata racun merupakan istilah yang digunakan untuk
menjelaskan dan mengambarkan berbagai bahan ”zat kimia” yang dengan jelas berbahaya bagi
badan (Wirasuta, 2007).
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya
(efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat
juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan
dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
2. Ilmu toksikologi ditunjang oleh berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika.
Perubahan biologis yang diakibatkan oleh xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu
patologi, immunologi, dan fisiologi. Adapun bidang yang paling berkaitan dengan toksikologi
adalah farmakologi.
3. Cakupan dan subdisiplin dari toksikologi adalah toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi,
toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikologi kerja, toksikologi hukum, dan toksikologi
mekanistik.
4. Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-obatan dan
senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen biologis dan yang terkait.
Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang sangat beragam: dapat berupa bahan kimia,
pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan obat-obatan (drugs abuse) dan racun alami
5. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa manfaat analisis toksikologi klinik adalah:
1) Identifikasi awal yang cepat, sebagai pendahuluan sebelum melakukan terapi yang
spesifik dan terarah
2) Untuk mengontrol keberhasilan dan efek dari penegakan terapi instoksikasi
3) Untuk memastikan atau menjamin diagnose klinis (Wirasuta, 2006).
4) Sebagai studi metabolisme dan toksokinetik dari senyawa toksikan tertentu
5) Sebagai studi penyimpangan farmakokinetik dari toksikan pada kasus instoksikasi
(waktu paruh, volume distribusi, clearance),
6) Sebagai evaluasi data-data toksisitas yang diperoleh dari hewan uji terhadap
kenyataannya pada manusia.
6. Langkah dalam analisis toksikologi klinik dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap analisis
pendahuluan dan analisis lanjutan. Tahap analisis pendahuluan adalah analisis yang cepat dan
tepat, merupakan analisis kualitatif, yang merupakan orientasi mencari dugaan penyebab
instoksikasi. Analisis pendahuluan ini dapat berupa tes / rekasi warna, terhadap toksikan yang
terdapat dalam materi biologi (darah, urin, cucian lambung), sisa tablet atau makanan. Sedangkan
analisis tahap lanjut disebut dengan uji determinasi. Analisis tahap lanjut meliputi: pemastian
dugaan/hasil pada analisis kualitatif (indentifikasi dan kharakterisasi) dan penetapan kadar
toksikan serta metabolitnya
7. Ada tiga tingkat yang dapat dikatakan sebagai sumber kesalahan dalam analisis toksikologi yang
perlu diperhatikan, yaitu tataran teknis, tataran biologis dan tataran nosologi (pengelompokan
penyakit). Kesalahan-kesalahan ini masih dapat diminimalisir dengan persiapan yang baik yang
disertai dengan ketelitian dan kecermatan dalam bekerja.
8. Kemampuan dasar yang diperlukan agar dapat melakukan analisis toksikologi klinik sampai
interpretasi temuan analisis adalah: (1) Penguasaan Kimia Analisis, (2) Penguasaan Farmakologi
Dan Toksikologi Klinik, (3) Penguasaan Farmakokinetik Klinik Dan Metabolisme Obat, dan (4)
Kemampuan Kimia Klinik.
DAFTAR PUSTAKA

Wirasuta, I Made Agus Gelgel dan Rasmaya Niruri. 2007. Toksikologi Umum. Tersedia pada:
https://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Buku-Ajar-Toksikologi-Umum.pdf. Diakses
pada tanggal 07 Februari 2019
Rahayu, Muji dan Moch. Firman Solihat. 2018. Bahan Ajak Teknologi Laboratorium Klinik (TLM)
Toksikologi Klinik. Tersedia pada: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Toksikologi-Klinik_SC.pdf. Diakses pada tanggal 08 Februari 2019
TUGAS RESUME JURNAL TOKSIKOLOGI KLINIK
RESUME JURNAL

OLEH

OLEH:
NUR ASTRI ADI NINGSI
NIM. P07134017031

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2019
JURNAL 1
1. Judul : Analisa Narkoba Jenis Morfin, Amfetamin dan THC (Tetrahidrokannabinol)
Menggunakan Strip Test
2. Latar Belakang
Narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Narke yang berarti beku, lumpuh dan dungu.
Menurut Farmakologi medis, yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama)
rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih
sadar namun harus digertak) serta adiksi (Darman, 2006). Semua istilah ini sebenarnya mengacu
pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko yang oleh masyarakat disebut berbahaya
yaitu kecanduan (adiksi).
Morfin danfentanil merupakan narkotik yang paling sering digunakan. Karena obat ini secara
tunggal dapat menyebabkan depresi pernapasan yang nyata, maka obat obat ini digunakan dalam
dosis rendah dan dikombinasikan dengan barbiturat untuk mencapai stadium operasi (Munaf,
1994). Untuk menentukan pemakaian narkoba pada seorang individu, pemeriksaan narkoba
seringkali dilakukan menggunakan berbagai spesimen biologis seperti darah, urine, cairan oral,
keringat ataupun rambut. Urinalisa adalah metode analisa untuk mendapatkan bahanbahan atau
zat-zat yang dimungkinkan terkandung di dalam urine dan juga untuk melihat adanya kelainan
pada urine. Tes urine adalah jenis tes yang paling umum dan dianggap sebagai gold standard
pengujian obat. Alat tes urine sudah tersedia seperti pada tempat-tempat tes narkoba, analisis
laboratorium, atau toko alat kesehatan.
Indonesia sendiri sudah banyak membuat kemajuan dalam bebarapa tahun terakhir dalam hal
menyita narkotika dan obat bius illegal dalam jumlah besar yang masuk dari luar negeri, terutama
bahan-bahan methamphetamine yang di Indonesia dikenal dengan sebutan sabu-sabu. Untuk
membuktikan hasil tangkapan atau penyitaan tersebut, perlu dicari metode-metode yang cukup
teruji untuk dapat menganalisa narkotika dan obat bius dengan hasil yang cepat, akurat, efesien
dan dapat memberikan informasi tambahan seperti sifat fisika dan sifat kimia suatu sampel.
Selama ini identifikasi narkoba dilapangan menggunakan narcotictest dan untuk penelitian-
penelitian tentang identifikasi narkoba baru menggunakan HPLC dan MS.
3. Metode
Metode yang digunakan adalah Strip Test. Strip test adalah suatu metode immunoassay dengan
prinsip pemeriksaan yaitu reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam
spesimen urine dan bersaing melawan konjugat obat untuk mengikat situs pada antibodi. Selama
pengujian, spesimen urine bermigrasi keatas dengan aksi kapiler dengan prinsip pemeriksaan
adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi
4. Alat dan Bahan
Alat:
1. Strip test Bahan:
2. Penetes 1. Urine pasien 0326
3. Tissue 2. Urine pasien 026
4. Tube 3. Urine Rozi
5. Timer
5. Prosedur Kerja
1) Diambil sampel urine yang akan di periksa dan dimasukkan kedalam tube secukupnya.
2) Dibuka alat strip test yang telah disediakan dan diletakkan diatas meja datar.
3) Ditulis label sampel.
4) Dicelupkan secara vertikal strip pada spesimen urine selama 10 – 15 detik.
5) Ditunggu hingga terbentuk garis C dan T pada alat strip test.
6) Dibaca alat striptest, apabila hanya terbentuk pita pink pada Control (C) maka hasil positif,
terbentuk dua pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) dinyatakan hasil negatif, dan alat
invalid apabila tidak terbentuk pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) atau terbentuk
pita pink pada Test (T) sedangkan pada Control (C) tidak terbentuk pita.
6. Hasil dan Pembahasan
Data hasil tes narkoba dalam sampel urine pada tanggal 06 Maret 2017 di Laboratorium
Kesehatan Daerah Medan dapat dilihat pada tabel 4.1 yakni sebagai berikut:
Tabel 4.1. Hasil Tes Narkoba Dalam Urine

Sampel MOP THC AMP

Urine pasien 0326 - - +


Urine pasien 026 - - -

Urine Rozi - + +
Keterangan :
MOP = Morfin
THC = Ganja
AMP = Amfetamin
Sampel urine yang digunakan adalah urine pasien nomor 326, nomor 026 dan Rozi yang
diduga positif mengandung narkoba. Strip test pada sampel urine nomor 326 positif (+)
amfetamin, pada sampel urine nomor 026 negatif (-) narkoba dan pada sampel rozi positif (+)
THC dan amfetamin.
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan narkoba adalah Immunochromatografi
Kompetitif, strip dicelupkan secara vertikal pada spesimen urine lalu ditunggu beberapa menit
dan dilihat hasilnya, jika tertera garis pada control dan test menunjukkan negatif, jika tertera
garis pada control menunjukkan positif sedangkan jika tidak tertera garis menunjukkan invalid.
Sehingga diperoleh hasil bahwa sampel urine yang diuji menunjukkan hasil positif berarti
pasien merupakan pengguna narkoba.
JURNAL 2
1. Judul : RIWAYAT PAPARAN PESTISIDA DAN KADAR INSULIN LIKE GROWTH
FACTOR I (IGF-1) PADA SISWA SD NEGERI DUKUHLO 01 KECAMATAN
BULAKAMBA KABUPATEN BREBES
2. Latar Belakang
Salah satu upaya yang dilakukan para petani yaitu membasmi serangan hama dengan
menggunakan pestisida kimiawi.Penggunaan pestisida dapat meningkatkan produk pertanian secara
cepat, efektif dan terhindar dari hama, tetapi jika penggunaan pestisida secara berlebihan akan
berdampak bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Di Indonesia salah satu daerah pemakai pestisida pertanian yang masih tinggi adalah
Kabupaten Brebes, terdapat ± 700 merk pestisida yang beredar. Salah satu daerah Kabupaten Brebes
yang tingkat penggunaan pestisida tinggi adalah Kecamatan Bulakamba. Kecamatan Bulakamba
menduduki peringkat ke 3 (543.774 kuital/tahun) sebagai penghasil bawang merah di Kabupaten
Brebes, dan sekitar 84,65% penduduknya bekerja sebagai buruh tani (BPS Brebes, 2011). Hasil
observasi di daerah tersebut menunjukan bahwa beberapa petani menggunakan pestisida sangat
tinggi dan intensif, dengan dosis melebihi ketentuan yang tertulis di kemasan. Intensitas
penyemprotan sebanyak 2-3 hari sekali dalam 1 minggu dengan menggunakan campuran 3-5 jenis
pestisida.
Adanya indikasi dalam penggunaan pestisida yang berlebihan di Kecamatan Bulakamba
sehingga berdampak pada kesehatan masyarakat yaitu pada hasil penelitian Suhartono (2013) yang
dilakukan pada anak sekolah dasar di Desa Dukuhlo Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes
menunjukan 16 dari 28 anak (57,1%) positif terdeteksi metabolit pestisida dalam urin (Suhartono,
2013).
Salah satu kelompok populasi yang rentan terpapar pestisida yaitu anak-anak yang tinggal di
daerah pertanian. Hal ini terkait dalam keterlibatan mereka dalam kegiatan pertanian. Kegiatan
tersebut meliputi membantu orang tua yang bekerja sebagai petani dan membantu saat musim
panen. Ketika anak-anak bermain daerah pertanian yang terpapar pestisida secara tidak langsung
akan ada pajanan dari tangan ke mulut, hal ini yang mungkin dipicu oleh paparan awal (Garry,
2004).
Paparan pestisida dalam jangka panjang akan menimbulkan dampak pada gangguan hormonal.
Salah satu gangguan hormonal yaitu hormon pertumbuhan. Berdasarkan laporan penelitian
mengenai efek dari pestisida pada hormon pertumbuhan dan IGF-1 sebagai akibat dari
estrogenik/anti androgenik, ada kemungkinan bahwa pestisida juga dapat mempengaruhi langsung
sistem hormon pertumbuhan-IGF (Gore et al., 2014). IGF-1 memberikan pengaruh selama masa
anak-anak dan remaja, dimana IGF-1 menstimulasi hormon pertumbuhan. Kekurangan maupun
kelebihan IGF-1 akan berpengaruh pada kinerja hormon pertumbuhan. Sehingga jika kerja IGF-1
dimasa anak-anak terganggu dengan adanya hambatan oleh pestisida akan menyebabkan
pertumbuhan tidak dapat maksimal
Berdasarkan informasi mengenai penelitian pengaruh pestisida terhadap kadar IGF-1 manusia
di Indonesia belum ada. Maka diperlukan informasi tambahan dan penelitian mengenai studi
riwayat paparan pestisida dengan kadar Insulin Like Growth Factor I (IGF-1) khususnya pada anak
sekolah dasar yang tinggal di daerah pertanian, sehingga tujuan penelitian ini adalah mengetahui
hubungan riwayat paparan pestisida dengan kadar Insulin Like Growth Factor I (IGF-1) pada siswa
sekolah dasar.
3. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Dukuhlo 01 Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 sebanyak 48 siswa. Besar sampel ini ditentukan
dengan purposive sampling dengan pertimbangan mereka yang mau berpartisipasi pada
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan pemeriksaan kadar IGF-1. Pada penelitian ini,
menggunakan data sekunder dari penelitian tim dosen FKM Undip tahun 2014, yang terdiri dari
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan kadar IGF-1.
Riwayat paparan pestisida dilakukan dengan pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin.
Pemeriksaan metabolit pestisida dilakukan pada jenis pestisida organopospat, menggunakan
metode dialkylphosphate pada urin menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) dengan Triple Quadrupoles Tandem Mass Spectrometer sebagai detektor atau yang umum
disebut LC-MS/MS. Electrospray Ionisation (ESI) positive dengan Multiple Reaction Monitoring
(MRM) digunakan untuk analisa tersebut (Barr & Sampson, 2004). Pemeriksaan kadar IGF-1
menggunakan teknik immunoassay enzim Sanwich kuantitatif (Quantikine). Pengukuran status gizi,
diambil dari nilai yang tertera dalam microtoise (penilaian tinggi badan) dan timbangan digital
(penilaian berat badan). Data mengenai faktor-faktor yang berperan dalam paparan pestisida,
seperti: keterlibatan anak dalam pertanian, kebiasaan bermain anak di pertanian, lama terlibat dalam
pertanian, keberadaan pestisida dalam rumah, riwayat paparan ibu saat hamil terlibat di pertanian,
dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
Analisis data penelitian dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan
untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang berperan dalam paparan pestisida, sedangkan analisis
bivariat dilakukan untuk menguji keterlibatan dalam pertanian, kebiasaan bermain di pertanian,
lama terlibat anak di pertanian, keberadaan pestisida dalam rumah, riwayat paparan ibu saat hamil
terlibat di pertanian dengan kadar metabolit pestisida dalam urin, serta menguji antara kadar
metabolit pestisida dengan kadar IGF-1 pada siswa SD Negeri Dukuhlo 01 Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes.
4. Alat dan Bahan
1) High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
2) Triple Quadrupoles Tandem Mass Spectrometer (LC-MS/MS)
3) Electrospray Ionisation (ESI) positive
4) Multiple Reaction Monitoring (MRM)
5) ELISA
6) Microtoise (penilaian tinggi badan)
7) Timbangan digital (penilaian berat badan)
8) Kertas
9) Pulpen
5. Prosedur Kerja
1) Sampel urine siswa kelas 4 sebanyak 48 siswa diambil
2) Pemeriksaan metabolit pestisida dilakukan menggunakan metode dialkylphosphate pada urin
menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan Triple
Quadrupoles Tandem Mass Spectrometer sebagai detektor atau yang umum disebut LC-
MS/MS
3) Kadar IGF-1 diperiksa menggunakan teknik immunoassay enzim Sanwich kuantitatif
(Quantikine)
4) Pengukuran status gizi, diambil dari nilai yang tertera dalam microtoise (penilaian tinggi badan)
dan timbangan digital (penilaian berat badan)
5) Wawancara kuisoner dilakukan untuk mendapatkan data mengenai faktor-faktor yang berperan
dalam paparan pestisida,
6) Analisis data penelitian dilakukan secara univariat dan bivariat.
6. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (tabel 2) dapat diketahui bahwa responden dalam
penelitian ini telah terdeteksi kadar metabolit pestisida dalam urinnya. Kadar metabolit pestisida
responden yang terdeteksi yaitu senyawa diethylthiophosphate (DETP) dan dimethylditiophosphate
(DMDTP). Rerata kadar DETP responden adalah 0,00515 ppm, kadar terendah 0,000 ppm, kadar
tertinggi 0,104 ppm. Sedangkan rerata kadar DMDTP responden adalah 0,064 ppm kadar terendah
0,000 ppm, kadar tertinggi 0,064 ppm. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk DETP adalah 0,1 ppm,
sedangkan untuk DMDTP adalah 0,05 ppm.
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan kadar IGF-1 responden paling
tinggi 290 ng/ml dan paling rendah 41,90 ng/ml dengan rerata 104,35 ng/ml dan standar deviasi
48,88 ng/ml. Adapun pengkategorian kadar IGF-1 rendah berdasarkan nilai rujukan sesuai dengan
umur respoden yang termasuk dalam pra pubertas adalah 83-255 ng/ml (Granada et al., 2000)
Tabel 1. Karakteristik Responden dan Perilaku Subjek
Variabel Keterangan Frekuensi % Rerata
Umur (tahun) Min-Maks : 8- 9,25
10
Jenis kelamin Laki-laki 28 58,3
Perempuan 20 41,7
Tinggi badan (cm) Min-Maks: 127
116-140
Berat Badan Min-Maks: 26,17
18,5-44,8
IMT Kurus 2 4,2
Normal 43 89,6
Gemuk 3 6,2
Keterlibatan dalam Ya 40 83,3
anak
pertanian
Kebiasaan bermain Ya 41 85,4
di
pertanian
Riwayat keterlibatan ibu Ya 21 43,8
responden saat hamil di
pertanian
Lama terlibat di pertanian Lama (≥ 3tahun) 25 52,1
Baru (< 3 tahun) 15 31,3
Keberadaan pestisida dalam Ya 19 39,6
rumah

Tabel 2. Kadar Metabolit Pestisida dalam Urin dan Kadar IGF-1


Variabel Keterangan frek % Rerata SD Max Min

Kadar diethylthiophosphate 8 16,5 0,00515 0,016756 0,104 0,000


Matabolit (DETP)
pestisida dimethylditiophosphate 9 18,8 0,064 0,018203 0,064 0,000
(ppm) (DMDTP)
Positif 15 31,3
Negatif 33 68,8
Kadar IGF-1 Tidak normal 18 37,5
(ng/ml) 104,35 48,88 41,90 290
Normal 30 62,5

Tabel 3. Analisis Bivariat Perilaku Subyek dengan Keberadaan Metabolit Pestisida dalam Urin
No. Variabel p
1. Keterlibatan anak dalam pertanian 0,095a
2. Kebiasaan bermain anak di pertanian 0,544a
3. Lama terlibat anak di pertanian 0,448a
4. Riwayat paparan ibu saat hamil terlibat dalam pertanian 0,556a
5. Metabolit pestisida dalam urin 1,000a
Analisis bivariate menunjukkan bahwa hasil uji statistik Chi-Square tidak ada nilai signifikan
antara variabel penelitian (perilaku subyek) dengan keberadaan metabolit pestisida dalam urin.
Berdasarkan hasil uji statistik Mann Whitney menunjukan bahwa tidak ada perberdaan rerata kadar
IGF-1 pada responden yang positif metabolit pestisida dalam urin dengan rerata kadar IGF-1 pada
responden yang negatif metabolit pestisida dalam urin. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukan
bahwa tidak ada nilai signifikan antara keberadaan metabolit dalam urin dengan kadar IGF-1 pada
responden.
Pada penelitian ini, kadar metabolit pestisida dalam urin sebagai petanda biologis untuk
menunjukan adanya paparan pestisida. Hasil uji Mann Whitney menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan rerata kadar IGF-1 pada responden yang positif metabolit pestisida dalam urin dengan rerata
kadar IGF-1 pada responden yang negatif pestisida dalam urin, hal ini tentu merupakan salah satu
temuan menarik. Sehingga peneliti mencoba melihat dari rerata kadar metabolit pestisida dengan lama
paparan dalam aktivitas pertanian dapat berpengaruh pada banyaknya pestisida yang terabsorbsi dan
terakumulasi dalam tubuh. Rerata kadar metabolit pestisida lebih tinggi pada responden yang terlibat
dalam pertanian lebih dari 3 tahun (0,0180 ppm), dibandingkan dengan rerata kadar metabolit pestisida
pada responden yang terlibat pertanian kurang dari 3 tahun (0,0129 ppm). Lama terlibat di pertanian
dalam periode waktu yang lama memungkinkan anak mengalami lebih lama paparan pestisida,
sehingga berpotensi untuk terjadi bioakumulasi residu pestisida di dalam tubuhnya. Jika dalam waktu
lama terpapar dapat menyebabkan gangguan hormonal.
Pada penelitian ini, pada paparan pestisida dengan biomarker urin kadar reratanya masih
kurang dari NAB sehingga anak belum mengalami efek yang berarti untuk mengalami penurunan
kadar IGF-1. IGF-1 merupakan somatomedin yang kerjanya sebagai mediator hormon pertumbuahn
dan kerjanya mirip insulin. Fungsinya berperan dalam mendorong pertumbuhan.
Hasil wawancara dengan responden, bahwa mereka tidak terlibat secara langsung dengan
kegiatan pertanian seperti menyemprot, tetapi mereka hanya terlibat dalam kegiatan pertanian seperti
melepaskan bawang dari tangkainya, membantu panen, mencari sisa hasil panen. Tidak adanya kontak
langsung antara anak-anak dengan pestisida secara langsung mengurangi risiko pajanan pestisida yang
berlebihan. Intensitas serta frekuensi keterlibatan anak dalam pertanian juga menjadi salah satu faktor
tidak adanya hubungan dengan keberadaan metabolit pestisida dalam urin. Anak-anak terlibat di
pertanian tidak setiap hari, dan lama waktu terlibat 1-2 jam perhari. Keterlibatan anak dalam pertanian
bukan sebagai pekerja/buruh tani tetapi hanya membantu orang tua yang sebagian besar bekerja
sebagai buruh tani sehingga terkadang keterlibatan mereka secara terus-menerus. Pestisida yang masuk
kedalam tubuh akan mengalami degradasi hydrolysis di dalam hati dan jaringan-jaringan lain.

JURNAL 3
1. Judul : DETERMINATION OF TOXIC SUBSTANCES INSWEAT SECRET OF SEVERE
FORMS OFPOISONING - TOXIC COMA. CLINICAL MEANING
2. Latar Belakang
Penentuan zat beracun dalam sekresi keringat bukan metode yang umum digunakan. Ini adalah
alternatif dari metode analitik menggunakan darah, urin, rambut, kuku, lambung perut untuk
membuktikan xenobiotik. Pengetahuan tentang informasi yang diberikan metode ini sangat kecil.
Sangat sedikit laboratorium di dunia yang menggunakannya karena konsumsi tenaga kerjanya dan
kurangnya informasi. Dalam praktik klinis, metode ini digunakan dengan analisis ekskresi keringat
penyalahguna obat untuk membuktikan keberadaan obat, lama setelah melepas kokain. Kelenjar
keringat mengeluarkan banyak obat dan zat toksik: terbukti mengandung barbiterat, broom dan
Jodi, selen, talium, arsen, kokain, alkohol, aseton, fenol, karbohidrat kalogenik. Ekskresi keringat
memang memiliki makna patogen kecil untuk membentuk ekskresi dermatosis - bromoderma dan
jododerma. Menurut Al. Monov, proses eliminasi keringat (obat dan ekskresi toksik) telah
membentuk kerusakan topikal kulit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan zat beracun
dalam ekskresi keringat pasien dengan bentuk koma toksik-toksik yang parah. Dimana, hal ini
menunjukkan makna klinis.
3. Metode
Analisis ini mencakup 4 pasien (P) dalam keracunan koma setelah keracunan dengan amitriptylin
(P¹1), amitriptylin dan klomipramin (P¹2), diazepam (P¹3), carbamazepin (P¹4). Sampel keringat
diambil pada 12 jam, 16jam, 18 jam, dan 24 jam setelah menelan narkotika yang menyebabkan
keracunan. Analisis spektrometri massa-hromato dan kromatografi cairan-fluida telah digunakan
untuk mendeteksi zat beracun dalam sampel keringat ini.
4. Alat dan Bahan
Tampon, pilocarpin 0,2%, 0,6% NaH2CO3, elektroda, stopwatch, kertas saring, timbangan, kertas
film, gunting, inkubator, dan etil asetat.
5. Prosedur Kerja
1) Sampel keringat diambil pada 12 jam, 16 jam, 18jam, dan 24 ja, setelah menelan obat yang
menyebabkan keracunan.
2) Sampel keringat diambil dari kulit yang tidak terpengaruh pada forearmarea.
3) Secara bersamaan, sampel urine dan darah diambil
4) Setelah mencuci dan mengeringkan bagian dalam dan luar area lengan bawah, tampon diletakkan
dengan pilocarpin 0,2% (di dalam) dan 0,6% NaH2CO3 (di luar).
5) Anoda terhubung dengan tampon pilocarpin dan katoda terhubung dengan tampon natrium
bikarbonat.
6) Keringat dirangsang dengan listrik 5 mA selama 15 menit
7) Setelah stimulasi, elektroda harus dilepas, bagian dalam dan luar lengan - dicuci dan dikeringkan.
8) Kertas saring awal ditimbang dan ditempatkan di area keringat dan ditutupi dengan film syaraf.
9) Setelah 30 menit, kertas saring dihilangkan dan disiram dengan keringat dan sekali lagi
ditimbang untuk mengukur kuantitas air. Kemudian kertas saring dipotong dalam garis-garis 2
mm, yang dibiarkan diinkubasi selama 24 jam di suhu kamar dengan penambahan 2 ml etil asetat.
6. Hasil dan Pembahasan
Untuk pasien ¹1, kehadiran Amitriptylin terbukti di dalam keringat, darah dan urin. Untuk
pasien ¹2 kehadiran Aripriptylin dan Clomipramine (Anafranyl) terbukti dalam keringat, darah dan
urin. Untuk pasien ¹ 3 kehadiran Diazepam dalam darah dan urin terbukti secara kuantitatif,
sementara dalam keringat terbukti - secara kualitatif. Untuk pasien ¹4, kehadiran Carbamazepin
terbukti dalam keringat, darah dan urin.
Drug Blood Urine Sweat
( mg/ml ) ( mg/ml ) ( mg/ml )

Amitriptylin (P¹ 1) 0.42mg/ml 1.050mg/ml 0.200mg/ml


Amitriptylin(P¹ 2) 1.5mg/ml 6.250mg/ml 0.078mg/ml
Clomipramine (P¹ 2) 0.43mg/ml 0.970mg/ml 0.280mg/ml
Diazepam (P¹ 3) 2.94mg/ml 0.174mg/ml (+)
Carbamazepin (P¹ 4) 12.35mg/ml 4.200mg/ml 3.267mg/ml
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah kulit yang tidak terpengaruh kelenjar air
berfungsi dengan baik. Mereka mengeluarkan zat toksik (amitriptylin, clomipramin, diazepam,
carbamazepin) di bagian keringat pertama. Obat-obatan masuk ke kelenjar kelenjar dari pembuluh
darah di sekitarnya atau dari proses difusi sederhana interstitiumby. Lesi kulit mempersulit
keracunan obat akut dengan sekitar 5-6%. Manifestasi klinisnya adalah bercak eritema dalam
bentuk tidak teratur, vesikel dan bula, infiltrasi jaringan lunak, dan nekrosis. Mereka muncul 12
jam setelah menelan obat dan melokalisasi pada bagian tubuh yang berbeda, sering, tetapi tidak
mutlak untuk bercak dengan trauma dan tekanan. Temuan histologis eritema dan bula menunjukkan
bula intra-andsubepidermal, nekrosis lampiran kulit (kelenjar keringat, folikel rambut, kelenjar
lemak) . Patogenesis intoksikasi lesi kulit pada obat masih belum jelas. Regulasi sweatsecretion
dilakukan oleh Autonomous Nerves System melalui tali tulang belakang, hipotalamus dan korteks
serebral. Adalah fakta yang telah terbukti, bahwa melalui pengembangan melalui akson - refleks
tanpa partisipasi dari mekanisme pengaturan pusat, kelenjar keringat telah dirangsang lebih banyak.
Peneliti menetapkan fakta ini, karena kelenjar keringat pasien dengan koma (ketika Sistem Saraf
Pusat dikecualikan) jumlah ekskretan yang spesifik berkeringat, secara bertahap menurun setelah
stimulasi. Temuan peneliti tentang obat pada jam-jam awal setelah keracunan menunjukkan kepada
kita perilaku toksik kinetik obat dalam keracunan akut. Mereka telah didistribusikan di jaringan
perifer termasuk kulit. Peneliti membuat analog dengan bromoderma, jododerma, dan penyakit kulit
lainnya, terbentuk setelah ekskresi keringat (talium, arsenicum, selenium). Mekanisme pengeluaran
mengeluarkan semua obat ini, tetapi bukan tentang Amitriptylin dan Diasepam. Peneliti belum
menemukan data tentang efek directcytototoxic dari obat ini. Menurut data oksidase dengan fungsi
campuran (OMF) hadir dalam sel kulit epidermis, kelenjar keringat dan folikel rambut. OMF
berpartisipasi dalam metabolisme obat. P.Noonan dan D. Paul menunjukkan bahwa pengoksidasi
kulit 80-240 lebih aktif daripada pengoksidasi hepar dengan fungsi campuran. Peneliti mengusulkan
hipotesis tentang kemungkinan efek kulit toksik lokal yang disebabkan oleh mekanisme sitotoksik
umum melalui pembentukan radikal bebas dalam proses metaboliknya. Menurut Beveridge, late
Mandy dan Ackerman, teori mekanisme toksik tidak dapat diterima karena di daerah kulit yang
tidak terkena, kelenjar keringat normal. Pemeriksaan peneliti menunjukkan fungsi kelenjar keringat
yang baik di area kulit normal. Pengamatan klinis kami dan penulis lain menunjukkan bahwa
banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan, lokalisasi dan kemajuan skindamage.
Patogenesis belum dibersihkan. Peneliti percaya bahwa pemeriksaan peneliti akan berkontribusi
pada pemahaman yang sepenuhnya dan benar tentang mekanisme pembentukan lesi kulit dalam
intoksikasi akut.
DAFTAR PUSTAKA

Rambe, ESD. 2017. Analisa Narkoba Jenis Morfin, Amfetamin dan THC (Tetrahidrokannabinol)
Menggunakan Strip Test. Tersedia pada:
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/4727/142401100.pdf?sequence=1&
isAllowed=y. Diakses pada tanggal 08 Februari 2019
Hidayah, Nurul, dkk. 2016. RIWAYAT PAPARAN PESTISIDA DAN KADAR INSULIN
LIKE GROWTH FACTOR I (IGF-1) PADA SISWA SD NEGERI DUKUHLO 01
KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES. Tersedia pada:
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/article/view/9812. Diakses
pada tanggal 09 Februari 2019
Zlateva, Snezha, et al. 2007. DETERMINATION OF TOXIC SUBSTANCES IN SWEAT
SECRET OF SEVERE FORMS OF POISONING - TOXIC COMA. CLINICAL
MEANING. Tersedia pada: https://www.journal-imab-bg.org/statii-07/vol07_1_81-
83str.pdf. Diakses pada tanggal 09 Februari 2019
Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id

Departemen Kimia Kertas Karya Diploma

2017

Analisa Narkoba Jenis Morfin,


Amfetamin dan THC
( Tetrahidrokannabinol) Menggunakan
Strip Test

Rambe, Etri Shinta Devi


Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/4727
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
ANALISA NARKOBA JENIS MORFIN, AMFETAMIN DAN THC
(Tetrahidrokannabinol) MENGGUNAKAN STRIP TEST

TUGAS AKHIR

ETRI SHINTA DEVI RAMBE


142401100

PROGRAM STUDI D3 KIMIA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ANALISA NARKOBA JENIS MORFIN, AMFETAMIN DAN THC
(Tetrahidrokannabinol) MENGGUNAKAN STRIP TEST

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh gelar


Ahli Madya

ETRI SHINTA DEVI RAMBE 142401100

PROGRAM STUDI D3 KIMIA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERSETUJUAN

Judul : Analisa Narkoba Jenis Morfin, Amfetamin dan THC


(Tetrahidrokannabinol) Menggunakan Strip Test
Kategori : Tugas Akhir
Nama : Etri Shinta Devi Rambe
Nomor Induk Mahasiswa : 142401100
Program Studi : Diploma (D3) Kimia
Departemen : Kimia
Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara

Disetujui di

Medan, Juli 2017

Disetujui Oleh
Program Studi D3 Kimia FMIPA USU
Ketua, Pembimbing,

Dr. Minto Supeno, MS Dr. Darwin Yunus Nst, MS


NIP. 196105091987031002 NIP. 195508101981031006

Departemen Kimia FMIPA USU


Ketua,

Dr. Cut Fatimah Zuhra, M. Si


NIP. 197404051999032001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

ANALISA NARKOBA JENIS MORFIN, AMFETAMIN DAN


THC(Tetrahidrokannabinol) MENGGUNAKAN STRIP TEST

TUGAS AKHIR

Saya mengakui bahwa tugas akhir ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan
ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2017

ETRI SHINTA DEVI RAMBE


142401100
PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan
karunia-Nya berupa kesehatan dan keterbukaan pikiran bagi penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Analisa Narkoba Jenis Morfin, Amfetamin dan
THC (Tetrahidrokannabinol) Menggunakan Strip Test”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
keluarga terutama kedua orangtua terkasih dari penulis yang telah membesarkan dan mendidik
serta memberikan dorongan moral dan material kepada penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi
D3 Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Selesainya tugas akhir ini juga tak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka
dengan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Darwin Yunus Nst, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis
dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, S. Si M. Si selaku Ketua Departemen Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Minto Supeno, MS selaku Ketua Program Studi D3 Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh keluarga dan saudara yang telah memberi doa serta semangat kepada penulis.
5. Kepada Chrystel Thadea (Kak Cita, Anita Sitanggang, Anita Rohadame, Mawar
Siboro).
6. Teman-temanyang selalu mendoakan dan memberi semangat Eben, Naldi, Mula, Fery,
Alex, Andre, Deon, Meylia, Rika dan Olan.
7. Teman sepermainan Yulia, Mawar, Putri, Debby, Elsa, Yuni, Fitri, Anita dan teman
seperjuangan Kimia Kelas C. Terimakasih untuk kekompakan, kebersamaan, semangat,
bantuan, keceriaan,kegilaan, persaudaraan dan doa yang diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya atas kekurangan dan kesalahan dalam tugas akhir ini karena
keterbatasan kemampuan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap
semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Juli 2017

Penulis

ANALISA NARKOBAJENIS MORFIN, AMFETAMIN DAN


THC(Tetrahidrokannabinol) MENGGUNAKAN STRIP TEST
ABSTRAK

Telah dilakukan analisa narkoba jenis morfin, amfetamin dan THC (Tetrahidrokannabinol)
menggunakan strip test. Analisa dilakukan pada 3 sampel urine yang berasal dari pasien yang
berbeda. Metode dilakukan dengan mencelupkan strip test secara vertikal kedalam spesimen
urine selama 10 – 15 detik kemudian ditunggu sampai terbentuk garis pada alat strip test.Dari
hasil analisa tersebut diperoleh hasil negatif pada satu sampel urine dan hasil positif pada dua
sampel urine yang mengandung amfetamin dan tetrahidrokannabinol. Dilakukan dengan
pemeriksaan skrining metode immunoassay denganhasil yang cepat, sensitif, tidak mahal
dengan tingkat presisi dan akurasi yang masih dapat diterima walaupun kurang spesifik.
Kata kunci : Narkoba, Morfin, Amfetamin, Tetrahidrokannabinol, Strip test.

DRUG ANALYSIS OF MORPHINE, AMPHETAMINE AND THC


(Tetrahidrokannabinol) USING STRIP TEST
ABSTRACT

The research have done of drug analysis morphine, amphetamine and THC
(Tetrahidrokannabinol) using strip test. Analysis did on three urine samples from different
patients. This method is done by dipping the strip test vertically into the urine specimen for ten
until fifteen seconds and then waiting until the line is formed on the test strip tool. From the
analysis results obtained negative results on one sample of urine and positif results in two urine
samples containing amphetamine and tetrahidrokannabinol. Done with immunoassay screening
tests with fast, sensitive, inexpensive results with an acceptable level of precision and accuracy
although less spesific.
Keyword : Drug, Morphine, Amphetamine, Tetrahidrokannabinol, Strip test.

DAFTAR ISI

Halaman
PERSETUJUAN i
PERNYATAAN ii
PENGHARGAAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 2
1.3. Tujuan 2
1.4. Manfaat 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Narkoba 3
2.2. Jenis-jenis Narkoba 4
2.2.1. Narkotika 4
2.2.1.1. Opioid 8
2.2.1.1.1. Morfin 10
2.2.1.1.2. Heroin 11
2.2.1.2. Amphetamin 12
2.2.1.3. THC 13
2.2.2. Psikotropika 15
2.2.3. Zat Adikitif Lainnya 17
2.3. Cara Penggunaan Narkoba 17
2.4. Tanda dan Gejala Narkoba 19
2.5. Urine 20
2.6. Pemeriksaan Narkoba 20
2.6.1. Biochip Array Technology 21
2.6.2. FTIR (fourier transform infrared) 22
2.6.3. XRD (X-Ray Diffrection) 22
2.6.4. Strip Test 23
BAB 3 METODE PERCOBAAN
3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan 25
3.2. Alat dan Bahan 25
3.2.1. Alat 25
3.2.2. Bahan 25
3.3. Prosedur Kerja 26
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Data dan Hasil Percobaan 27
4.2. Pembahasan 28
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 31
5.2. Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Halaman

4.1. Hasil Tes Narkoba Dalam Urine 27

4.2. Rentang Waktu Deteksi Narkotika dan Psikotropika 29


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


Gambar
2.1. Tanaman Papaver somniferum 9

2.2. Struktur Opium 10


2.3. Struktur Morfin 11
2.4. Struktur Heroin 12
2.5. Struktur Amfetamin 13
2.6. Daun Cannabis sativa 14

2.7. Struktur Utama Cannabissativa 14


2.8. Hasil Positif dan Negatif Pada Strip Test 23
4.1. Hasil Strip Test Nomor 026 dan Rozi 29

4.2. Hasil Strip Test Nomor 326 29


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Narke yang berarti beku, lumpuh dan dungu.
Menurut Farmakologi medis, yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama)
rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih
sadar namun harus digertak) serta adiksi (Darman, 2006).
Semua istilah ini sebenarnya mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko
yang oleh masyarakat disebut berbahaya yaitu kecanduan (adiksi). Narkotik dan kombinasi
narkotik dengan depresan lain kadang-kadang digunakan untuk mencapai stadium operasi pada
pasien yang tidak dapat menerima obat anestetik umum secara utuh/lengkap. Morfin danfentanil
merupakan narkotik yang paling sering digunakan. Karena obat ini secara tunggal dapat
menyebabkan depresi pernapasan yang nyata, maka obat obat ini digunakan dalam dosis rendah
dan dikombinasikan dengan barbiturat untuk mencapai stadium operasi (Munaf, 1994).
Untuk menentukan pemakaian narkoba pada seorang individu, pemeriksaan narkoba seringkali
dilakukan menggunakan berbagai spesimen biologis seperti darah, urine, cairan oral, keringat
ataupun rambut. Urinalisa adalah metode analisa untuk mendapatkan bahanbahan atau zat-zat
yang dimungkinkan terkandung di dalam urine dan juga untuk melihat adanya kelainan pada urine.
Tes urine adalah jenis tes yang paling umum dan dianggap sebagai gold standard pengujian obat.
Alat tes urine sudah tersedia seperti pada tempattempat tes narkoba, analisis laboratorium, atau
toko alat kesehatan.
Indonesia sendiri sudah banyak membuat kemajuan dalam bebarapa tahun terakhir dalam hal
menyita narkotika dan obat bius illegal dalam jumlah besar yang masuk dari luar negeri, terutama
bahan-bahan methamphetamine yang di Indonesia dikenal dengan sebutan sabusabu. Untuk
membuktikan hasil tangkapan atau penyitaan tersebut, perlu dicari metodemetode yang cukup
teruji untuk dapat menganalisa narkotika dan obat bius dengan hasil yang cepat, akurat, efesien
dan dapat memberikan informasi tambahan seperti sifat fisika dan sifat kimia suatu sampel. Selama
ini identifikasi narkoba dilapangan menggunakan narcotictest dan untuk penelitian-penelitian
tentang identifikasi narkoba baru menggunakan HPLC dan MS.
1.2. Permasalahan
Pemeriksaan narkoba secara kualitatif dengan metode sederhana menggunakan alat strip test
untuk mengetahui jenis narkoba amfetamin, morfin dan THC.
1.3. Tujuan
1.Untuk mengetahui cara pemeriksaan narkoba menggunakan alat strip test dari sampel urine.
2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya narkoba yang terkandung dalam sampel urine.
1.4. Manfaat
1.Dapat mengetahui cara pemeriksaan narkoba menggunakan alat strip test dari sampel urine.
2. Dapat mengetahui ada atau tidaknya narkoba yang terkandung dalam sampel urine.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Narkoba
Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran,
suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan,
diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya (Kurniawan, 2008).
Menurut Hawari (2009) selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA atau NAZA yang merupakan singkatan
dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkoba merupakan bahan/zat yang bila masuk ke
dalam tubuh akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial. Semua zat yang
termasuk NAZA menimbulkan adiksi (ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada dependensi
(ketergantungan). Zat yang termasuk NAZA memiliki sifat sebagai berikut:
a. Keinginan yang tak tertahankan (an over-powering desire) terhadap zat yang dimaksud
dan akan melakukan segala cara untuk memperolehnya.
b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis) sesuai dengan toleransi tubuh.
c. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan
gejala-gejala kejiwaan seperti kegelisahan, kecemasan, depresi dan sejenisnya.
d. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala
fisik yang dinamakan gejala putus zat (with drawal symptoms).
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Lama kelamaan disadari
bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru sebab istilah obat berbahaya dalam ilmu kedokteran
adalah obat-obatan yang tidak boleh dijual bebas, karena pemberiannya dapat membahayakan bila
tidak melalui pertimbangan medis. Banyak jenis narkotika dan psikotropika memberi manfaat
yang besar bila digunakan dengan baik dan benar dalam bidang kedokteran. Tindakan operasi
(pembedahan) yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan pembiusan. Orang mengalami
stres dan gangguan jiwa diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter agar dapat
sembuh. Banyak jenis narkoba yang sangat bermanfaat dalam bidang kedokteran. Karena sikap
antinarkoba sangat keliru, yang benar adalah anti penyalahgunaan narkoba (Partodiharjo, 2003).
Beberapa obat bertindak sebagai stimulan yang memberi rasa nyaman, hilaritas, ekspansifitas
yang pada akhirnya mengurangi pengguna menjadi makhluk non produktif yang hanya bergantung
pada obat-obatan dan merasa “bahagia”. Kelompok obat lain adalah depresan yang menenangkan
seorang yang merasa terbebani secara mental (Nandy, 1995).
2.2. Jenis-jenis Narkoba
Narkoba dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya.
Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok (Partodiharjo, 2003).
2.2.1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, serta
hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat.
Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat
tinggi (Partodiharjo, 2003).
Narkotika termasuk obat tertua dalam praktik kedokteran. Pada tahun 1680 Sydenham menulis,
“Dari obat-obatan yang telah disiapkan para dokter kepada pasien untuk meringankan
penyakitnya, tidak ada yang begitu baik dan sangat manjur seperti opium”. Seperti banyak obat
atau bahan yang memiliki manfaat namun ada yang harus dipertimbangkan dalam hal kerugian
tertentu dan narkotika memiliki kekurangan tersebut. Begitu banyak perhatian publik pada
penyebaran dan penyalahgunaan gelap narkotika sehingga nilai medis yang besar sering diabaikan
(Coggeshall, 1964).
Menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1997 yang dimaksud dengan narkotika
meliputi :
1. Golongan Opiat : heroin, morfin, madat dan lain-lain.
2. Golongan Kanabis : ganja, hashish.
3. Golongan Koka : kokain, crack.
a. Alkohol adalah minuman yang mengandung etanol.
b. Psikotropika menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1997 meliputi : ecxtasy, shabu-
shabu, Isd, obat penenang/obat tidur, obat anti depresi dan anti psikosis.
c. Zat adiktif lain termasuk inhalansia (aseton, thinner cat, lem atau glue), nikotin
(tembakau), kafein (kopi).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 pasal 6, jenis
narkotika di bagi atas 3 golongan :
1. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi
menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali
untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw.
2. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tapi bermanfaat
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidindan turunannya, benzetidin,betametadol.
3. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Makarao,
2003).
Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintesis, yang
digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri. Untuk kepentingan pengobatan
dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan
III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Partodiharjo, 2003).
Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan kedalam 3 golongan juga, yaitu narkotika
alami, narkotika semisintesis dan narkotika sintesis (Partodiharjo, 2003).
1. Narkotika alami
Narkotika alami adalah narkotika yang zat adiktifnya diambil dari tumbuh-tumbuhan
(alam). Contohnya :
a. Ganja
Tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong dan berbulu halus, jumlah jarinya selalu
ganjil, yaitu 5,7,9. Tumbuhan ini banyak tumbuh di beberapa daerah di
Indonesia seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Pulau Jawa dan lain-lain. Daun ganja
sering digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Bila digunakan sebagai bumbu masak, daya
adiktifnya rendah. Namun, tidak demikian bila dibakar dan asapnya dihirup.Cara
penyalahgunaannya adalah dengan mengeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau
langsung dijadikan rokok lalu dibakar dan dihisap.
b. Hasis
Hasis adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, hasis
dan mariyuana juga dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair, harganya sangat mahal.
Gunanya adalah untuk disalahgunakan oleh pemadat-pemadat
“kelas tinggi”.
c. Koka
Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya yang matang berwarna merah seperti biji
kopi. Dalam komunitas masyarakat Indian kuno, biji koka sering digunakan untuk menambah
kekuatan orang yang berperang atau berburu binatang. Koka kemudian diolah menjadi kokain.
d. Opium
Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah bunga opium dihasilkan
candu (opiat). Di Mesir dan daratan Cina, opium dulu digunakan untuk mengobati beberapa
penyakit, memberi kekuatan, atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu
berperang atau berburu.
2. Narkotika semisintesis
Narkotika semisintesis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil zat aktifnya (inti sarinya)
agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran.
Contohnya :
a. Morfin : dipakai dalam dunia kedokteran untuk menghilangkan rasa sakit atau
pembiusan pada operasi (pembedahan).
b.Kodein : dipakai untuk obat penghilang batuk. Ikatan dengan protein rendah. Potensi
untuk di salahgunakan sedang. Efektif dan paling banyak digunakan sebagai penekan
batuk (Munaf, 1994).
c. Heroin : tidak dipakai dalam pengobatan karena daya adiktifnya sangat besar dan
manfaatnya secara medis belum ditemukan. Dalam perdagangan gelap, heroin diberi
nama putaw atau pete. Bentuknya seperti tepung terigu halus, putih dan agak kotor.
d.Kokain : hasil olahan dari biji koka.
3. Narkotika sintesis
Narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari bahan kimia. Narkotika ini digunakan
untuk pembiusan dan pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan narkoba (substitusi).
Contohnya :
a. Petidin : untuk obat bius lokal, operasi kecil, sunat, dsb.
b.Methadon : untuk pengobatan pecandu narkoba.
c. Naltrexon : untuk pengobatan pecandu narkoba.
Selain untuk pembiusan narkotika sintesis biasanya diberikan oleh dokter kepada penyalahguna
narkoba untuk menghentikan kebiasannya yang tidak kuat melawan suggesti
(relaps) atau sakaw. Narkotika sintesis berfungsi sebagai “pengganti sementara”. Bila sudah benar-
benar bebas, asupan narkoba sintesis dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya berhenti total
(Partodiharjo, 2003).
2.2.1.1. Opioid
Anelgesik opioid adalah golongan obat penghilang nyeri alamiah, semisintetik dan sintetik yang
sebagian sifat-sifatnya sama atau hampir sama dengan opium atau morfin. Penggunaan utama ialah
untuk mengatasi rasa nyeri yang tidak hilang dengan anelgesik biasa. Bahaya penggunaan obat
golongan opioid ini ialah terjadinya adiksi dan ketergantungan obat, yang dapat menimbulkan
penyalahgunaan berat dengan dampak negatifnya pada masalah sosial dalam masyarakat. Karena
itu distribusi dan pengedarannya diawasi dengan ketat dan diatur oleh undang-undang. Golongan
opioid ini disebut juga sebagai opiat atau narkotik. Opiat adalah istilah yang pertama kali
digunakan untuk semua obat yang diturunkan dari opium, seperti morfin, kodein dan derivat-
derivat semisintetik dan sintetik lain. Karena obat ini menurunkan kesadaran, maka muncul istilah
narkotik (Munaf, 1994).
Berdasarkan bukti arkeologis dan historis menunjukkan bahwa opium telah digunakan
sebagai analgesik sejak abad ketiga SM (Rodger, 1980).
Opium adalah obat yang menginduksi kantuk. Berasal dari buah mentah yaitu tanaman Papaver
somniferum (tanaman poppy). Getah kental berwarna putih dari sayatan pada buah ini dikeringkan
untuk mendapatkan jenis opium coklat tua. Opium memiliki rasa pahit dan bau khas. Hal itu
menyebabkan depresi C.N.S, analgesia dan hipnosis. Kombinasi analgesia dan hipnosis adalah
pembiusan. Opium adalah narkotika sejati (Nandy, 1995).
Gambar 2.1. Tanaman Papaver somniferum

Sumber: (Nandy, 1995)


Dosis fatal pada opium 2,0 mg, morfin melalui mulut 200 – 250 mg, morfin parenteral 80 – 100
mg dan kodein 500 mg. Toleransi untuk opium dan morfin terjadi dengan mudah dan cepat yaitu
toleransi sejati karena laju metabolisme meningkat secara bertahap (Nandy, 1995).
Gambar 2.2. Struktur Opium

Sumber: (Hill, 2002)


2.2.1.1.1.Morfin
MenurutAgoes (2001) morfin adalah alkaloida terpenting yang terdapat dalam candu, yaitu getah
yang dikeringkan dari tumbuhan Papaver somniferum. Sebagai zat psikotrop, morfin memiliki tiga
kelompok khasiat penting, yaitu :
1. Menekan SSP : analgetis, hipnotis, supresi pernapasan dan kadang kala menimbulkan
euforia.
2. Menstimulasi SSP : miosis, mual, muntah, eksitasi dan konvulsi.
3. Efek perifer : obstipasi dan retensi urine.
Morfin merupakan ikatan protein rendah. Pemberian umumunya secara parenteral dan pada
pemberian oral sebagian besar mengalami metabolisme lintas pertama di hepar. Potensi tinggi
untuk disalahgunakan. Penggunaan untuk penghilang rasa nyeri hebat, edema paru dan angina
pektoris (Munaf, 1994).
Morfin sangat lipofilik dan tidak dapat langsung diekskresi karena dengan cepat ia diserap
kedalam jaringan padat lemak termasuk otak. Namun, morfin mengalami konjugasi fase kedua
dengan asam glukoronida dalam hati, membentuk metabolit morfin-3-glukuronida. Metabolit ini
larut dalam air dan tidak langsung masuk ke otak; konjugasinya lalu siap diekskresi (Gibson,
1991).
Eksresi morfin dari darah terjadi cepat, sekitar 80% dari dosis yang diberikan diekresikan dalam
urine dalam waktu 8 jam meskipun tandanya masih dapat dideteksi 72 –
100 jam setelah pemberian, terutama pada pecandu. Morfin utamanya dimetabolisme di hati
(Glare, 1991).
Gambar 2.3.Struktur Morfin

Sumber: (Hill, 2002)


2.2.1.1.2. Heroin
Heroin (diamorphine) adalah candu yang berasal dari opium poppy (papaver
somniferum). Heroin dapat berbentuk serbuk putih, sekalipun biasanya ditemukan juga warna
kecokelatan (Rozak, 2006).
Menurut Fessenden dan Fessenden (1989) heroin tidak terdapat dalam alam, melainkan disintesis
dari morfina di laboratorium. Heroin seperti kodeina dan morfin merupakan penghilang nyeri yang
ampuh. Dipelbagai belahan dunia heroin digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien
kanker stadium akut karena lebih membuat ketagihan daripada morfina, penggunaanya sebagai
obat dilarang di Amerika Serikat.
Heroin pertama kali di sintesiskan dari morfin pada tahun 1874, heroin belum digunakan secara
meluas dalam dunia pengobatan hingga awal abad ini. Produksi komersial penghilang rasa sakit
yang baru ini pertama kali dimulai pada tahun 1898. Tidak hanya diterima secara luas oleh mereka
yang berprofesi di dunia medis, selama bertahun-tahun para dokter tetap tidak tahu potensi heroin
ini sebagai zat adiktif. Tidak digunakan di klinik.
Mempunyai efek efori yang lebih kuat dan lebih menyenangkan dibanding dengan morfin.
Paling banyak disalahgunakan secara tidak legal. Mempunyai potensi untuk disalahgunakan yang
tinggi, dan berpenetrasi lebih cepat dari morfin (Munaf, 1994).
Heroin (diasetilmorfin, diamorfin) adalah derivat semi-sintesis dengan khasiat sentral 2 kali lebih
kuat. Resorpsinya dari usus dan selaput lendir baik. Dalam darah heroin dideasetilasi menjadi 6-
monoasetilmorfin (yang juga farmakologis aktif) dan lalu menjadi morfin. Kedua metabolit ini
melintasi barrier darah-liquor dengan cepat. Adiksi dapat timbul pesat sekali, sehingga tidak
digunakan lagi dalam terapi (Tjay, 2002).
Gambar 2.4. Struktur Heroin

Sumber: (Hill, 2002)


2.2.1.2. Amfetamin
Amfetamin merupakan salah satu obat bius yang dapat ditemukan dalam bentuk pil, kapsul
ataupun bubuk. Obat bius ini sebenarnya berguna untuk menstimulasikan moodpengguna menjadi
tinggi (Rozak, 2006).
Amfetamin terdiri dari MDMA (methylen dioxy methamphetamin) dan methamfetamin. MDMA
atau ekstasi, contohnya adalah ineks berbentuk tablet atau pil yang diminum. Meth-amfetamin,
contohnya shabu-shabu berbentuk kristal yang penggunaannya dengan cara dibakar, asapnya
dihisap (Nurhaeni, 2009).
Amfetamindiindikasikan untuk penyakit kurang perhatian pada anak-anak (disfungsi otak yang
minimal, hiperaktivitas) sebagai narkolepsi, penekan nafsu makan, hanya digunakan untuk jangka
pendek (beberapa minggu) karena efek adiksinya. Adanya rebound weight again menghilangkan
manfaat ini. Efek samping dapat berupa kelemahan, pusing, insomnia, disforia, tremor, sakit
kepala, reaksi psikotik (jarang), palpitasi, takikardi, hipertensi, diare atau kontipasi dan impoten.
Penyalahgunaan dapat menimbulkan ketergantungan obat (Munaf, 1994).
Amfetamin pertama dibuat di Jerman pada akhir abad ke-19 tetapi baru dipatenkan pada 1930-an.
Pada 1940-an amfetamin mulai dipakai sebagai terapeutik untuk berbagai macam kondisi medis
seperti ayan, depresi dan untuk anak yang hiperkinetik. Merupakan zat perangsang sintetik yang
dapat berbentuk tablet, kapsul serta bentuk lainnya yang digunakan untuk kepentingan medis. Efek
amfetaminbiasanya hilang setelah 3-6 jam dan pemakai dapat secara tiba-tiba menjadi lelah, suka
marah, murung dan tidak bisa konsentrasi, peningkatan kewaspadaan, peningkatan tenaga dan
kegiatan, mengurangi nafsu makan dan kepercayaan diri. Penggunaan jangka panjang dapat
mengakibatkan malnutrisi, kelelahan, depresi dan psikosis (Nurhaeni, 2009).
Gambar 2.5. Struktur Amfetamin

Sumber: (Hill, 2002)


2.2.1.3 THC
Ganja sering pula disebut dengan cannabis, yakni sejenis tanaman yang dikeringkan yang
mengandung zat delta-9, yakni tetrahydrocannabinol (THC). Istilah yang sering digunakan untuk
menyebutkan istilah ganja ini antara lain adalah rumput, grass, gele, daun layus, gum, cimeng,
marijuana dan lain-lain (Rozak, 2006).

Gambar 2.6. Daun Cannabis sativa

Sumber: (Nurhaeni, 2009)


Tiga cannabinoid utama telah ditemukan pada cannabis; cannabidiol (CBD),
Δ9tetrahydrocannabinol (THC), dan cannabinol(CBN). Alur biosintesis dimulai dengan CBD,
diolah menjadi THC dan diakhiri dengan CBD.THC mempunyai efek-efek farmakologis yang
bervariasi yang menyerupai amphetamine, LSD, alkohol, sedative, atropinedan morphine.
Sehingga obat tersebut tidak sesuai dengan klasifikasi farmakologis tradisional dan harus
dipertimbangkan sebagai kelompok terpisah (Katzung, 2002).
Gambar 2.7. Struktur Utama Cannabis

Sumber: (Katzung, 2002)


Cara penggunaan yang paling disukai di negara-negara Barat adalah dengan merokok. Tingginya
daya larut lipid (solubilitas lipid) dari THC menyebabkannya lebih mudah terjebak pada lapisan
surfaktan paru. Perokok marijuana yang ahli sering kali sadar akan efek obat setelah dua atau kali
hirup. Karena merokok secara kontinyu, efeknya meningkat, mencapai maksimum sekitar 20
menit setelah rokok dihabiskan (Katzung, 2002).
Alkoloid utama yang terdapat dalam terdapat dalam mariyuana adalah dronabinol yang juga
disebut Δ9-tetrahydrocannabinol (THC). Dronabinol menyebabkan euforia yang diikuti
mengantuk dan relaksasi, tergantung pada situasi sosial. THC menghambat memori jangka pendek
dan aktivitas mental. Mengurangi kekuatan otot dan menganggu aktivitas motor yang terlatih
tinggi, seperti yang diperlukan untuk mengendarai mobil. Menurunkan nafsu makan,
menyebabkan mulut kering, halusinasi visual, delusi dan meningkatkan aktivitas sensoris (Agoes,
2001).
Efek THC terlihat segera setelah mengisapnya tetapi efek maksimal sekitar 20 menit kemudian.
Setelah 3 jam, sebagian besar efek tersebut hilang. Efek samping termasuk peningkatan denyut
jantung, penurunan tekanan darah dan konjungtiva merah. Pada dosis tinggi, terjadi psikosis
toksik. Penggunaan berulang dapat menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik. THC
kadang-kadang diberikan untuk muntah hebat yang disebabkan pengobatan obat pada kemoterapi
kanker (Agoes, 2001).
2.2.2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktifitas mental dan perilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 tahun 1997).
Menurut Partodiharjo (2003) jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :
a. Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk
menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang
diteliti khasiatnya seperti esktasi (metamphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu-
sabu (berbentuk kristal berisi zat metamphetamin). Contohnya adalah MDMA, ekstasi,
LSD dan STP.
b. Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan
sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh :
amphetamin dan metamphetamin.
c. Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh: lumibal, fleenitrazepam.
d. Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contoh: nitrazepam, diazepam.
Efek pemakaian psikotropika yaitu dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan
saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi
(mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan dalam perasaan dan dapat menyebabkan
ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian
Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik bahkan menimbulkan kematian
(Darman, 2006).
Zat psikotropika yang sering disalahgunakan menurut WHO 1992 adalah :
1. Alkohol (semua minuman beralkohol).
2. Opioida (heroin, morfin, pethidin, candu).
3. Kanabinoida/hipnotika ganja = mariyuana, hashish).
4. Sedative/hipnotika (obat penenang/tidur).
5. Kokain : daun koka, serbuk kokain, creck.
6. Stimulansia lain, termasuk kafein, ecstasy dan shabu-shabu.
7. Halusinogenika : Isd, mushroom, mescalin.
8. Tembakau (mengandung nikotin).
9. Pelarut yang mudah menguap seperti aseton, glue atau lem.
10. Multipel (kombinasi) dan lain-lain, misalnya kombinasi heroin dan shabu-shabu,
alkohol dan obat tidur.
2.2.3. Zat Adikitif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan
ketergantungan pada pemakainya, diantaranya adalah :
a) Rokok.
b) Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan
ketagihan.
c) Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton, cat, bensin
yang bila dihirup akan dapat memabukkan (Joewana, 2001).
2.3. Cara Penggunaan Narkoba
Menurut Darman (2006) dari cara penggunaanya, narkoba dapat digolongkan ke
dalam empat bagian besar yaitu :
1. Ditelan atau diminum
Pada umumnya yang termasuk dalam penggolongan ini merupakan jenis narkoba yang diracik
dalam bentuk pil atau biji-bijian atau juga minuman keras. Yang termasuk di dalam penggolongan
ini adalah ekstasi, lexotan, biji ganja dan minuman keras.
2. Dihisap
Yang termasuk dalam golongan ini adalah daun ganja dan tembakau.
3. Dihirup
Yang termasuk golongan ini adalah kokain, hashis dan shabu-shabu.
4. Disuntik
Penggunaan narkoba jenis ini melalui alat suntik yakni dengan memasukkan cairan (zat adiktif).
Yang termasuk golongan ini adalah heroin, morfin dan amfetamin.
Menurut efek yang ditimbulkan terbagi dalam 3 golongan (Darman, 2006) :
1. Depresan
Adalah obat yang berfungsi mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Obat ini dapat membuat
sipemakai menjadi tenang dan bahkan membuatnya tertidur atau tak
sadarkan diri. Jenis obat ini antara lain : opioida, opium, morfin, heroin, opiat sintetik dan sedative.
2. Stimulan
Stimulan adalah berbagai jenis zat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja serta kesadaran, jenis zat ini antara lain : kafein, kokain, amfetamin dan ekstasi.
3. Halusinogen
Merupakan zat atau obat yang dapat merangsang efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan
dan pikiran yang seringkali menciptakan daya pandang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat
terganggu. Zat jenis ini antara lain : ganja/kanabis, mescalin.

2.4. Tanda dan Gejala Narkoba


Menurut Nurhaeni (2009) pengaruh narkoba pada tubuh disebut intoksikasi. Selain itu, ada juga
sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi
atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.
Tanda dan gejala intoksikasi adalah sebagai berikut :
1. Opiat : eforia, mengantuk, bicara cadel, konstipasi, penurunan kesadaran.
2. Ganja : eforia, mata merah, mulut kering, banyak bicara dan tertawa, nafsu makan
meningkat, gangguan persepsi.
3. Sedatif-hipnotik : pengendalian diri berkurang, jalan sempoyongan, mengantuk,
memperpanjang tidur, hilang kesadaran.
4. Alkohol : mata merah, bicara cadel, jalan sempoyongan, perubahan persepsi, penurunan
kemampuan menilai.
5. Amfetamin : selalu terdorong untuk bergerak, berkeringat, gemetar, cemas, depresi,
paranoid.
Tanda dan gejala putus zat yaitu (Nurhaeni, 2009) :
1. Opiat : nyeri, mata dan hidung berair, perasaan panas dingin, diare, gelisah, tidak bisa tidur.
2. Ganja : jarang ditemukan.
3. Sedatif-hipnotik : cemas, tangan gemetar, perubahan persepsi, gangguan daya ingat, tidak
bisa tidur.
4. Alkohol : cemas, depresi, muka merah, mudah marah, tangan gemetar, mual muntah,
tidak bisa tidur.
5. Amfetamin : cemas, depresi, kelelahan, energi berkurang, kebutuhan tidur meningkat.

2.5. Urine
Urine atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang
kemudian oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisasi.
Ekskresi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh
ginjaldan untuk menjaga homeostatis cairan tubuh. Dalam mempertahankan homeostatis tubuh
peranan urine sangat penting, karena sebagian pembuangan cairan oleh tubuh adalah melalui
sekresi urine (Indrati, 2015).
Urine merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan narkoba rutin karena
ketersediaannya dalam jumlah besar dan memiliki kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih
mudah mendeteksi obat dibandingkan pada spesimen lain. Teknologi yang digunakan pada
pemeriksaan narkoba pada urine sudah berkembang baik. Kelebihan lain spesimen urine adalah
pengambilannya yang tidak invasif dan dapat dilakukan oleh petugas yang bukan medis. Urine
merupakan matriks yang stabil dan dapat disimpan beku tanpa merusak integritasnya. Obat-obatan
dalam urine biasanya dapat dideteksi sesudah 1 – 3 hari. Kelamaan pemeriksaan urine adalah
mudah dilakukan pemalsuan dengan cara substitusi dengan bahan lain maupun diencerkan
sehingga mengacaukan hasil pemeriksaan (Indrati, 2015).
Tingkat akurasi uji narkoba melalui rambut lebih tinggi dibanding via urine. Jika pemakai narkoba
berhenti mengkonsumsi selama satu bulan, saat diuji urine tidak akan terdeteksi. Namun dengan
uji rambut masih dapat terdeteksi . Itu karena komponen drugs akan terbawa kerambut dan bisa
bertahan dalam jangka waktu 60 – 90 hari. Jadi meskipun pengguna berhenti selama satu tahun
masih bisa terdeteksi (Indrati, 2015).
2.6. Pemeriksaan Narkoba
Pemeriksaan narkoba seringkali dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan konfirmatori.
Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat pada golongan yang besar atau
metabolitnya dengan hasil presumptif positif dan negatif. Secara umum pemeriksaan skrining
merupakan pemeriksaan yang cepat, sensitif, tidak mahal dengan tingkat presisi dan akurasi yang
masih dapat diterima, walaupun kurang spesifik dan dapat menyebabkan hasil positif palsu karena
terjadinya reaksi silang dengan substansi lain dengan struktur kimia yang mirip. Pada pemeriksaan
skrining, metode yang sering digunakan adalah immunoassay dengan prinsip pemeriksaan adalah
reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan diluar
laboratorium dengan metode ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) (Indrati, 2015).
Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif pada
pemeriksaan skrining. Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif
palsu. Metode konfirmasi yang sering digunakan adalah gas chromatography/mass spectrometry
(GC/MS) atau liquid chromatography yang dapat mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan
tidak dapat bereaksi silang dengan substansi lain. Kekurangan metode konfirmasi adalah waktu
pengerjaannya yang lama, membutuhkan keterampilan tinggi serta biaya pemeriksaan yang tinggi
(Lum, 2004).
2.6.1.Biochip Array Technology
Biochip Array Technology merupakan metode pemeriksaan dengan teknologi nano yang prinsip
kerjanya berdasarkan metode ELISA. Metode yang digunakan untuk pemeriksaan toksikologi
memiliki prinsip kerjanya berdasarkan ELISA kompetitif. Pada biochip tersebut sudah tertanam
antibodi spesifik yang dapat beriteraksi dengan antigen yang diinginkan maupun antigen spesifik
yang tertaut enzim sinyal atau antigen yang tidak berinteraksi dengan antigen spesifik (Fitzgerald,
et al. 2005).
Kelemahan dari pemeriksaan skrining menggunakan metode ELISA adalah adanya
reaksi silang terhadap zat yang diperiksa yang memiliki kemiripan struktur kimia Berdasakan
penelitian yang sudah dilakukan , pemeriksaan dengan metode Biochip Array Technology
meminimalisir terjadinya reaksi silang tersebut (Fitzgerald, et al. 2005).
2.6.2. FTIR (fourier transform infrared)
Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) merupakan salah satu teknik analitik yang sangat
baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu senyawa. Informasi struktur molekul dapat
diperoleh secara tepat dan akurat (memiliki resolusi yang tinggi). Keuntungan yang lain dari
metode ini adalah dapat digunakan untuk mengidentifikasi sampel dalam berbagai fase (Harmita,
2006).
2.6.3.XRD (X-Ray Diffrection)
Metode XRD sangat potensial untuk mengidentifikasi material diberbagai bidang hal ini karena
pola XRD yang dihasilkan tergantung pada jarak antar-atom dan antar-molekul dari material yang
diperiksa dan ini akan menghasilkan pola difraksi yang khas untuk masing-masing material.
Secara khusus, telah menunjukkan bahwa energi dipersif dari XRD memungkinkan untuk
identifikasi narkoba (Pani, et al. 2009).
2.6.4. Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC/MS)
GC/MS merupakan salah satu metode analisis yang mengkombinasi teknik Gas-
LiquidChromatography dan Mass Spectrometry untuk mengidentifikasi zat tertentu dalam suatu
uji laboratorium. Kombinasi teknik pemeriksaan gas Chromatography dan Mass Spectrometry
(GC/MS) mulai dikenal sejak tahun 1960 sebagai alat yang paling sensitif dan serbaguna untuk
mengidentifikasi senyawa organik yang mudah menguap. Saat ini penggunan GC/MS untuk
penghitungan kuantitatif senyawa-senyawa organik yang spesifik menjadi aplikasi utamanya. Hal
tersebut dikarenakan alat GC/MS memiliki sensitivitas, akurasi dan fleksibilitas yang tidak
tertandingi dengan teknik lainnya, termasuk jenis pemeriksaan teknik immunoassay (Rodger, et
al. 1980).
2.6.5. Strip Test
Strip Test adalah metode immunoassay dengan prinsip pemeriksaan yaitu reaksi antigen dan
antibodi secara kompetisi yang mungkin ada dalam spesimen urine dan bersaing melawan
konjugat obat untuk mengikat situs pada antibodi. Selama pengujian, spesimen urine bermigrasi
keatas dengan aksi kapiler dengan prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara
kompetisi (Baselt, 1982).
Spesimen urine dengan hasil positif tidak akan membentuk garis berwarna pada daerah garis uji
karena persaingan obat, sementara spesimen urine dengan hasil negatif akan menghasilkan garis
di daerah uji karena adanya kompetisi obat. Berfungsi sebagai kontrol prosedural, garis berwarna
akan selalu muncul di garis kontrol, menunjukkan bahwa jumlah spesimen yang tepat telah
ditambahkan (Baselt, 1982).
Gambar 2.8. Hasil Positif dan Negatif Pada Strip Test

Kontrol prosedural disertakan dalam tes. Sebuah garis merah muncul di kontrol wilayah (C)
dianggap sebagai pengendalian prosedural positif internal.
1. Negatif : Dua baris muncul. Satu garis merah harus berada di wilayah kontrol (C) dan garis
merah atau pink yang lain yang jelas harus berada di daerah uji (T).
2. Positif : Satu garis merah muncul diwilayah kontrol (C). Tidak ada garis yang masuk pada
daerah uji (T).
3. Invalid: Garis kontrol gagal muncul. Volume spesimen tidak mencukupi atau teknik
prosedural yang salah adalah alasan yang paling mungkin untuk kegagalan kontrol.
Tinjau kembali prosedur dan ulangi dengan strip test baru.
BAB 3
METODE PERCOBAAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Pelaksanaan Analisa dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Daerah di Medan yang dilakukan
06 Februari 2017.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
1. Strip test
2. Penetes
3. Tissue
4. Tube
5. Timer
3.2.2. Bahan
1. Urine pasien 0326
2. Urine pasien 026
3. Urine Rozi

3.3. Prosedur Kerja


1. Diambil sampel urine yang akan di periksa.
2. Dimasukkan kedalam tube secukupnya.
3. Dibuka alat strip test yang telah disediakan.
4. Diletakkan diatas meja datar.
5. Ditulis label sampel.
6. Dicelupkan secara vertikal strip pada spesimen urine selama 10 – 15 detik.
7. Ditunggu hingga terbentuk garis C dan T pada alat strip test.
8. Dibaca alat striptest, apabila hanya terbentuk pita pink pada Control (C) maka hasil positif,
terbentuk dua pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) dinyatakan hasil negatif, dan alat
invalid apabila tidak terbentuk pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) atau terbentuk pita
pink pada Test (T) sedangkan pada Control (C) tidak terbentuk pita.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Data dan Hasil Percobaan


Data hasil tes narkoba dalam sampel urine pada tanggal 06 Maret 2017 di Laboratorium Kesehatan
Daerah Medan dapat dilihat pada tabel 4.1 yakni sebagai berikut: Tabel 4.1. Hasil Tes Narkoba
Dalam Urine
Sampel MOP THC AMP

Urine pasien 0326 +

Urine pasien 026

Urine Rozi + +

Keterangan :
MOP = Morfin
THC = Ganja
AMP = Amfetamin

4.2. Pembahasan
Narkotik berasal dari bahasa Yunani untuk menyatakan penurunan kesadaran (stupor)
(Nandy, A. 1995).
Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika adalah zat yang bisa
menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh.
Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan
halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan
dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia dibidang
pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain lain (Pieter, 2010).
Urine merupakan matriks yang stabil dan dapat disimpan beku tanpa merusak integritasnya
(Dasgupta, 2007).
Metabolit yang di ketemukan pada urine untuk psikotropika sebagian besar dalam bentuk bebas
sedangkan untuk narkotika sebagian besar dalam bentuk konjugasi atau diperlukan pengasaman
atau hidrolisis untuk memutuskan ikatan konjugasi tersebut sehingga dapat dideteksi.
Pendeteksian narkotika dan psikotropika di dalam urine berbeda dengan bentuk aslinya yaitu
termetabolisme oleh tubuh sehingga menghasilkan dua atau tiga zat (dalam keadaan bebas maupun
terkonjugasi) (Moffat, et al. 2004).
Menurut Stimmel (1993) bahwa masing-masing obat (narkotika atau psikotropika) memiliki
waktu pendeteksian yang berbeda-beda. Golongan amphetamine masih dapat dideteksi pada
rentang waktu satu hingga maksimal tiga hari. Golongan barbiturate masih dapat dideteksi pada
rentang waktu tiga hingga maksimal empat hari. Golongan cocaine masih dapat dideteksi pada
rentang waktu dua hingga tiga hari. Golongan opiat seperti codeine dan heroin(dideteksi sebagai
morphine) masih dapat dideteksi pada rentang waktu dua hingga maksimal empat hari. Golongan
mariyuana masih dapat dideteksi pada rentang waktu satu hingga maksimal sepuluh hari.
Tabel 4.2. Rentang Waktu Deteksi Narkotika dan Psikotropika

Jenis Narkotika/Psikotropika Rentang Waktu Deteksi

Amphetamine 1 - 3 hari

Barbiturat 3 - 4 hari

Cocaine 2 - 3 hari

Codein & Morphine 2 - 4 hari


Mariyuana 1 - 10 hari

Sumber : Stimmel (1993)


Sampel urine yang digunakan adalah urine pasien nomor 326, nomor 026 dan
Roziyang diduga positif mengandung narkoba. Strip test pada sampel urine nomor 326 positif
(+) amfetamin, pada sampel urine nomor 026 negatif (-) narkoba dan pada sampel rozi positif
(+) THC dan amfetamin.
Gambar 4.1. Hasil Strip Test 026 dan Rozi

Gambar 4.2. Hasil Strip Test 326

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan narkoba adalah Immunochromatografi Kompetitif,


strip dicelupkan secara vertikal pada spesimen urine lalu ditunggu beberapa menit dan dilihat
hasilnya, jika tertera garis pada control dan test menunjukkan negatif, jika tertera garis pada control
menunjukkan positif sedangkan jika tidak tertera garis menunjukkan invalid. Sehingga diperoleh
hasil bahwa sampel urine yang diuji menunjukkan hasil positif berarti pasien merupakan pengguna
narkoba.

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Pemeriksaan narkoba dengan sampel urine menggunakan Strip Test. Di peroleh hasil positif pada
sampel urine nomor 326 yang mengandung amfetamin yang ditandai dengan terbentuk garis pada
area control amfetamin, pada sampel urine nomor 026 di peroleh hasil negatif ditandai dengan
terbentuknya 2 garis pada area control dan test, dan pada sampel rozi hasil positif THC dan
amfetamin yaitu terbentuk garis pada area control THC dan amfetamin.
5.2. Saran
Dari pihak Laboratorium Kesehatan sendiri hendaknya melakukan pengujian yang lebih spesifik
dan meyakinkan untuk analisa narkoba serta kandungan yang ada didalamnya agar diperoleh hasil
yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A. 2001. Farmakologi: Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika.


Baselt, R. 1982. Disposition of Toxic Drugs and Chemicals in Man. 2nd Edition. Davis CA:
Biomedical Publish.
Coggeshall, L. 1964. Report of The Commission on Drug Safety. Canada: American
Societies for Experimental Biology.
Darman, F. 2006. Mengenal Jenis dan Efek Buruk Narkoba. Tangerang: Visimedia.
Dasgupta, A. 2010. Beating Drug Tests and Defending Positive Results. Yogyakarta: LLC.
Fitzgerasld, S., Lamont, J., Connel, R. and Benchikh, O. 2005. Development of a High-
Throughput Automated Analyzer Using Biochip Array Technology. New York: Clinical
Chemistry.
Gibson, G. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta: UI Press.
Glare, P. and Walsh, T. 1991. Clinical Pharmacokinetics of Morphine. Ther Drug Monit.
Hakim, A. 2004. Bahaya Narkoba Alkohol. Bandung: Nuansa.
Hill, J. 2002. General Chemistry An Integrated Approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Indrati, A. 2005. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik Narkoba. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Joewana, S. 2001. Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk Mencegah Penyalahgunaan
Narkoba. Jakarta: Media Pressindo.
Julinawati., Ginting, B., Delfiendra. dan Sholih, R. 2016. Karakterisasi Jenis Narkoba
Menggunakan Metoda Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan X-Ray Diffraction (XRD). Balai
Pengujian dan Identifikasi Barang (BPIB) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jakarta. [Skripsi].
Aceh: UNSYAH.
Katzung, B. 2002. Farkamalogi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Lum, G. and Mushlin, B. 2004. Urine Drug Testing: Approachesto Screening and Confirmation
Testing. Volume 35. USA: Laboratory Medicine.
Makarao, T., Suhasril. dan Zakky, M. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Michael, S., Eric, S. and Jacquelyn, S. 2011. Urinary Excretion Profiles for Total Morphine,
Free Morphine, and 6-acetylmorphine Following Smoked and Intravenous Heroin. Journal of
Analytical Toxicology.
Munaf, S. 1994. Catatan Kuliah Farmakologi. Bagian II. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Nandy, A. 1995. Principles of Forensic Medicine. India: New Central Book Agency (P) LTD.
Page: 517 – 518.
Nurhaeni, H., Sumiati., Dinarti. dan Aryani. R. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling.
Jakarta: Trans Info Media. Halaman: 98 – 100.
Pani, S., Cooke, E,. Horrocks, J., George, L., Hardwick, S. and Speller, R. 2009. Modeling an
Energy-Dispersive X-ray Diffraction System for Drug Detection
Partodiharjo, S. 2003. Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya. Jakarta: ESENSI.
Rodger, F., Allison, F. and Ruth, F. 1980. GC/MS Assay for Abused Drugs in Body Fluids.
Maryland: NIDA Research Monograph.
Rozak, A. 2006. Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta: Prenada Media Group.
Stimmel, M. 1993. The Facts About Drug Use Coping With Drugs in Your Family, at Work, in
Your Community. New York: The Haworth Medical Press.
Stuart, B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Application Analytical Techniques in
the Sciences. Chichester: John Wiley & Sons.
Syarif, K. 2013. Hasil Test Urine Dalam Pembuktian Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan
Oleh Oknum Anggota Kepolisian. Kantor Kepolisian Kota Besar Makassar. [Skripsi]. Makassar:
Universitas Hasanuddin Makassar.
Tanaka. 2006. Manual for Use by National Drug Testing Laboratories. New York: United Nations
Publication.
Tjay, T. dan Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting. Edisi Keenam. Jakarta: Gramedia.
Wulansari, Y. 2006. Kamus Narkoba: Istilah-istilah Narkoba dan Bahaya Penyalahgunaannya.
Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia.
JHE 1 (1) (2016)

Journal of Health Education


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/

RIWAYAT PAPARAN PESTISIDA DAN KADAR INSULIN LIKE GROWTH


FACTOR I (IGF-1) PADA SISWA SD NEGERI DUKUHLO 01 KECAMATAN
BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

Nurul Hidayah1, Suhartono1, Nur Endahwahyuningsih1, Apoina2, Budiono2

1
Magister Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro
2
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel: Latar Belakang: Salah satu wilayah di Kabupaten Brebes dengan penggunaan pestisida terbesar
Diterima Maret 2016 adalah Desa Dukuhlo Kecamatan Bulakamba. Anak-anak yang tinggal di wilayah pertanian dapat
Disetujui April 2016 menjadi populasi berisiko untuk terpapar pestisida dengan efek yang jangka panjang. Tujuan
Publikasi April 2016 penelitian ini adalah mengetahui riwayat paparan pestisida berhubungan dengan kadar insulin

Like Growth Factor (IGF-1) pada siswa sekolah dasar.


Keywords: Metode: Penelitian ini menggunakan studi cross sectional, dengan 48 anak sebagai sampel. Data
Pesticides exposure, children, diperoleh dari hasil pemeriksaan kadar IGF-1 dalam urin.
insulin like growth factor I Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 (3,3%) dari 48 anak positif metabolit pestisida dan
(IGF-1) kadar IGF-1 pada 18 dari 48 anak rendah (37,5%). Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan

antara rerata kadar IGF-1 pada anak yang positif metabolit pestisida dengan rerata kadar IGF-1
pada anak yang negatif metabolit pestisida.
Simpulan: Simpulan penelitian ini adalah proporsi anak yang positif dengan kadar IGF-1 rendah
lebih tinggi (40%) daripada proporsi anak yang negatif dengan kadar IGF-1 normal.

Abstract

Background: One of villages in Brebes which the largest usage of pesticides is the Dukuhlo Village. Children
living in agricultural regions are one of the populations at risk for experiencing pesticides exposure with long term
adverse impact. The objective was to know history pesticide exposure with levels of serum Insulin Like Growth
Factor I (IGF-1).
Methods: This research was a cross sectional design, with 48 children. Data were obtained from the results of
the examination of IGF-1 levels in urine.
Results: It showed that 15 (3.3%) of 48 children with positive metabolit and IGF-1 levels from 18 of 48
children were low (37.5%). The results showed there was no difference between IGF-1 mean among children
with positive metabolite pesticide than IGF-1 mean among children with negative metabolite pesticide
Conclusion: The conclusion was proportion on children with positive metabolite and had a less IGF-1 were
higher (40%) than proportion on children with negative metabolite and had a normal IGF-1.

© 2016 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2527-4252
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
tinggal di daerah pertanian. Hal ini terkait dalam
PENDAHULUAN
keterlibatan mereka dalam kegiatan pertanian.
Kegiatan tersebut meliputi membantu orang tua
Salah satu upaya yang dilakukan para
yang bekerja sebagai petani dan membantu saat
petani yaitu membasmi serangan hama dengan
musim panen. Pekerjaan orang tua diasumsikan
menggunakan pestisida kimiawi. Di tahun 2009
akan berdampak terhadap keterlibatan anak
ada 1.832 jenis pestisida yang beredar di
dalam kegiatan pertanian baik secara langsung di
Indonesia. Kebutuhan pestisida juga
area pertanian maupun di rumah. Keterlibatan
memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun, rata-
ini dimungkinkan berdampak terhadap anak
rata peningkatan total konsumsi pestisida per
dapat kontak dengan pestisida. Ketika anak-anak
tahun mencapai 6,33%, namun pada
bermain daerah pertanian yang terpapar pestisida
kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat
secara tidak langsung akan ada pajanan dari
mencapai lebih dari 10-20% (Djunaedy, 2009).
tangan ke mulut, hal ini yang mungkin dipicu
Penggunaan pestisida dapat meningkatkan
oleh paparan awal (Garry, 2004).
produk pertanian secara cepat, efektif dan
Paparan pestisida dalam jangka panjang
terhindar dari hama, tetapi jika penggunaan
akan menimbulkan dampak pada gangguan
pestisida secara berlebihan akan berdampak bagi
hormonal. Salah satu gangguan hormonal yaitu
lingkungan dan kesehatan masyarakat.
hormon pertumbuhan. Berdasarkan laporan
Di Indonesia salah satu daerah pemakai
penelitian mengenai efek dari pestisida pada
pestisida pertanian yang masih tinggi adalah
hormon pertumbuhan dan IGF-1 sebagai akibat
Kabupaten Brebes, terdapat ± 700 merk pestisida
dari estrogenik/anti androgenik, ada
yang beredar. Hal ini terjadi karena komoditas
kemungkinan bahwa pestisida juga dapat
utama Kabupaten Brebes adalah pertanian. Salah
mempengaruhi langsung sistem hormon
satu daerah Kabupaten Brebes yang tingkat
pertumbuhan-IGF (Gore et al., 2014) Studi pada
penggunaan pestisida tinggi adalah Kecamatan
hewan dan pada manusia telah menunjukkan
Bulakamba. Kecamatan Bulakamba menduduki
bahwa polusi lingkungan, seperti benzopyrene,
peringkat ke 3 (543.774 kuital/tahun) sebagai
dioxin, Dibenzofurans, dan hexachlorobenzene
penghasil bawang merah di Kabupaten Brebes,
bisa mengubah sintesis normal atau sekresi IGF-
dan sekitar 84,65% penduduknya bekerja sebagai
I (Holloway, 2007).
buruh tani (BPS Brebes, 2011). Hasil observasi di
IGF-1 mempunyai peran dalam mengatur
daerah tersebut menunjukan bahwa beberapa
pertumbuhan, metabolisme dan kelangsungan
petani menggunakan pestisida sangat tinggi dan
hidup sel. IGF-1 memberikan pengaruh selama
intensif, dengan dosis melebihi ketentuan yang
masa anak-anak dan remaja, dimana IGF-1
tertulis di kemasan. Intensitas penyemprotan
menstimulasi hormon pertumbuhan.
sebanyak 2-3 hari sekali dalam 1 minggu dengan
Kekurangan maupun kelebihan IGF-1 akan
menggunakan campuran 3-5 jenis pestisida.
berpengaruh pada kinerja hormon pertumbuhan.
Adanya indikasi dalam penggunaan
Sehingga jika kerja IGF-1 dimasa anak-anak
pestisida yang berlebihan di Kecamatan
terganggu dengan adanya hambatan oleh
Bulakamba sehingga berdampak pada kesehatan
pestisida akan menyebabkan pertumbuhan tidak
masyarakat yaitu pada hasil penelitian
dapat maksimal
Suhartono (2013) yang dilakukan pada anak
Berdasarkan informasi mengenai
sekolah dasar di Desa Dukuhlo Kecamatan
penelitian pengaruh pestisida terhadap kadar
Bulakamba Kabupaten Brebes menunjukan 16
IGF-1 manusia di Indonesia belum ada. Maka
dari 28 anak (57,1%) positif terdeteksi metabolit
diperlukan informasi tambahan dan penelitian
pestisida dalam urin (Suhartono, 2013).
mengenai studi riwayat paparan pestisida dengan
Salah satu kelompok populasi yang rentan
kadar Insulin Like Growth Factor I (IGF-
terpapar pestisida yaitu anak-anak yang
1) khususnya pada anak sekolah dasar yang
Analisis data penelitian dilakukan secara
tinggal di daerah pertanian, sehingga tujuan
univariat dan bivariat. Analisis univariat
penelitian ini adalah mengetahui hubungan
dilakukan untuk mendeskripsikan faktor-faktor
riwayat paparan pestisida dengan kadar Insulin
yang berperan dalam paparan pestisida,
Like Growth Factor I (IGF-1) pada siswa sekolah
sedangkan analisis bivariat dilakukan untuk
dasar.
menguji keterlibatan dalam pertanian, kebiasaan
bermain di pertanian, lama terlibat anak di
METODE
pertanian, keberadaan pestisida dalam rumah,
riwayat paparan ibu saat hamil terlibat di
Penelitian ini merupakan penelitian
pertanian dengan kadar metabolit pestisida
observasional dengan pendekatan cross sectional.
dalam urin, serta menguji antara kadar metabolit
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Dukuhlo
pestisida dengan kadar IGF-1 pada siswa SD
01 Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.
Negeri Dukuhlo 01 Kecamatan Bulakamba
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas
Kabupaten Brebes.
4 sebanyak 48 siswa. Besar sampel ini ditentukan
dengan purposive sampling dengan pertimbangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
mereka yang mau berpartisipasi pada
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan
SD Negeri Dukuhlo 01 terletak di Desa
pemeriksaan kadar IGF-1. Pada penelitian ini,
Dukuhlo Kecamatan Bulakamba secara
menggunakan data sekunder dari penelitian tim
geografis terletak di bagian utara Kabupaten
dosen FKM Undip tahun 2014, yang terdiri dari
Brebes dengan batas wilayah utara Desa
pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dan
Tegongan Kecamatan Tanjung, selatan Desa
kadar IGF-1.
Padakaton kecamatan Ketanggungan, timur
Riwayat paparan pestisida dilakukan
Desa Kluwut kecamatan Bulakamba, dan
dengan pemeriksaan metabolit pestisida dalam
sebelah barat Desa Sutamaja Kecamatan
urin. Pemeriksaan metabolit pestisida dilakukan
Kresana.
pada jenis pestisida organopospat, menggunakan
Berdasarkan hasil pemeriksaan
metode dialkylphosphate pada urin menggunakan
laboratorium (tabel 2) dapat diketahui bahwa
alat High Performance Liquid Chromatography
responden dalam penelitian ini telah terdeteksi
(HPLC) dengan Triple Quadrupoles Tandem Mass
kadar metabolit pestisida dalam urinnya. Kadar
Spectrometer sebagai detektor atau yang umum
metabolit pestisida responden yang terdeteksi
disebut LC-MS/MS. Electrospray Ionisation (ESI)
yaitu senyawa diethylthiophosphate (DETP) dan
positive dengan Multiple Reaction Monitoring
dimethylditiophosphate (DMDTP). Rerata kadar
(MRM) digunakan untuk analisa tersebut (Barr
DETP responden adalah 0,00515 ppm, kadar
& Sampson, 2004). Pemeriksaan kadar IGF-1
terendah 0,000 ppm, kadar tertinggi 0,104 ppm.
menggunakan teknik immunoassay enzim Sanwich
Sedangkan rerata kadar DMDTP responden
kuantitatif (Quantikine). Pengukuran status gizi,
adalah 0,064 ppm kadar terendah 0,000 ppm,
diambil dari nilai yang tertera dalam microtoise
kadar tertinggi 0,064 ppm. Nilai Ambang Batas
(penilaian tinggi badan) dan timbangan digital
(NAB) untuk DETP adalah 0,1 ppm, sedangkan
(penilaian berat badan). Data mengenai faktor-
untuk DMDTP adalah 0,05 ppm.
faktor yang berperan dalam paparan pestisida,
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui
seperti: keterlibatan anak dalam pertanian,
bahwa hasil pemeriksaan kadar IGF-1 responden
kebiasaan bermain anak di pertanian, lama
paling tinggi 290 ng/ml dan paling rendah 41,90
terlibat dalam pertanian, keberadaan pestisida
ng/ml dengan rerata 104,35 ng/ml dan standar
dalam rumah, riwayat paparan ibu saat hamil
deviasi 48,88 ng/ml. Adapun pengkategorian
terlibat di pertanian, dilakukan dengan
kadar IGF-1 rendah berdasarkan nilai rujukan
wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
sesuai dengan umur
respoden yang termasuk dalam pra pubertas
adalah 83-255 ng/ml (Granada et al., 2000)

Tabel 1. Karakteristik Responden dan Perilaku Subjek


Variabel Keterangan Frekuensi % Rerata

Umur (tahun) Min-Maks : 9,25


8-10
Jenis kelamin Laki-laki 28 58,3
Perempuan 20 41,7
Tinggi badan (cm) Min-Maks: 127
116-140
Berat Badan Min-Maks: 26,17
18,5-44,8
IMT Kurus 2 4,2
Normal 43 89,6
Gemuk 3 6,2
Keterlibatan anak dalam Ya 40 83,3
pertanian
Kebiasaan bermain di Ya 41 85,4
pertanian
Riwayat keterlibatan ibu Ya 21 43,8
responden saat hamil di
pertanian
Lama terlibat di pertanian Lama (≥ 3tahun) 25 52,1
Baru (< 3 tahun) 15 31,3
Keberadaan pestisida dalam Ya 19 39,6
rumah

Tabel 2. Kadar Metabolit Pestisida dalam Urin dan Kadar IGF-1


Variabel Keterangan frek % Rerata SD Max Min

Kadar diethylthiophosphate 8 16,5 0,00515 0,016756 0,104 0,000


Matabolit (DETP)
pestisida dimethylditiophosphate 9 18,8 0,064 0,018203 0,064 0,000
(ppm) (DMDTP)
Positif 15 31,3
Negatif 33 68,8
Kadar IGF-1 Tidak normal 18 37,5
(ng/ml) 104,35 48,88 41,90 290
Normal 30 62,5

Tabel 3. Analisis Bivariat Perilaku Subyek dengan Keberadaan Metabolit Pestisida dalam Urin
No. Variabel p
1. Keterlibatan anak dalam pertanian 0,095a
2. Kebiasaan bermain anak di pertanian 0,544a
3. Lama terlibat anak di pertanian 0,448a
4. Riwayat paparan ibu saat hamil terlibat dalam pertanian 0,556a
5. Metabolit pestisida dalam urin 1,000a
a : Uji Chi- Square
penurunan kadar IGF-1. IGF-1 merupakan
Analisis bivariat
somatomedin yang kerjanya sebagai mediator
Analisis bivariate menunjukkan bahwa
hormon pertumbuahn dan kerjanya mirip
hasil uji statistik Chi-Square menunjukan bahwa
insulin. Fungsinya berperan dalam mendorong
tidak ada nilai signifikan antara variabel
pertumbuhan.
penelitian (perilaku subyek) dengan keberadaan
Penelitian pada petani di Thailand yang
metabolit pestisida dalam urin. Berdasarkan hasil
terlibat secara langsung di pertanian seperti
uji statistik Mann Whitney menunjukan bahwa
menyemprot memiliki rerata kadar metabolit
tidak ada perberdaan rerata kadar IGF-1 pada
pestisida 0,0984 ppm (Miskiyah & Munarso,
responden yang positif metabolit pestisida dalam
2009). Kadar metabolit tersebut lebih tinggi
urin dengan rerata kadar IGF-1 pada responden
dibandingkan dengan hasil penelitian ini, di sini
yang negatif metabolit pestisida dalam urin.
adanya perbedaan kegiatan pertanian yang
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukan bahwa
dilakukan sehingga menunjukan adanya
tidak ada nilai signifikan antara keberadaan
perbedaan paparan pestisida yang masuk
metabolit dalam urin dengan kadar IGF-1 pada
kedalam tubuh.
responden.
Hasil wawancara dengan responden,
bahwa mereka tidak terlibat secara langsung
Hubungan Metabolit Pestisida dalam Urin dengan
dengan kegiatan pertanian seperti menyemprot,
Kadar IGF-1
tetapi mereka hanya terlibat dalam kegiatan
Pada penelitian ini, kadar metabolit
pertanian seperti melepaskan bawang dari
pestisida dalam urin sebagai petanda biologis
tangkainya, membantu panen, mencari sisa hasil
untuk menunjukan adanya paparan pestisida.
panen. Tidak adanya kontak langsung antara
Hasil uji Mann Whitney menunjukan bahwa tidak
anak-anak dengan pestisida secara langsung
ada perbedaan rerata kadar IGF-1 pada
mengurangi risiko pajanan pestisida yang
responden yang positif metabolit pestisida dalam
berlebihan. Intensitas serta frekuensi keterlibatan
urin dengan rerata kadar IGF-1 pada responden
anak dalam pertanian juga menjadi salah satu
yang negatif pestisida dalam urin, hal ini tentu
faktor tidak adanya hubungan dengan
merupakan salah satu temuan menarik. Sehingga
keberadaan metabolit pestisida dalam urin.
peneliti mencoba melihat dari rerata kadar
Anak-anak terlibat di pertanian tidak setiap hari,
metabolit pestisida dengan lama paparan dalam
dan lama waktu terlibat 1-2 jam perhari.
aktivitas pertanian dapat berpengaruh pada
Keterlibatan anak dalam pertanian bukan
banyaknya pestisida yang terabsorbsi dan
sebagai pekerja/buruh tani tetapi hanya
terakumulasi dalam tubuh. Rerata kadar
membantu orang tua yang sebagian besar bekerja
metabolit pestisida lebih tinggi pada responden
sebagai buruh tani sehingga terkadang
yang terlibat dalam pertanian lebih dari 3 tahun
keterlibatan mereka secara terus-menerus.
(0,0180 ppm), dibandingkan dengan rerata kadar
Pestisida yang masuk kedalam tubuh akan
metabolit pestisida pada responden yang terlibat
mengalami degradasi hydrolysis di dalam hati
pertanian kurang dari 3 tahun (0,0129 ppm).
dan jaringan-jaringan lain.
Lama terlibat di pertanian dalam periode waktu
Waktu paruh organofosfat berkisar antara
yang lama memungkinkan anak mengalami lebih
1-2 hari setelah absorbsi (Hanchenlaksh et al.,
lama paparan pestisida, sehingga berpotensi
2012). Pestisida masuk kedalam tubuh akan
untuk terjadi bioakumulasi residu pestisida di
menempel pada enzim kolinesterase, sehingga
dalam tubuhnya. Jika dalam waktu lama
terjadi akumulasi substrat (asetilkolin) pada sel
terpapar dapat menyebabkan gangguan
efektor. Keadaan tersebut akan menyebabkan
hormonal.
gangguan pada syaraf berupa aktifitas kolinergik
Pada penelitian ini, pada paparan pestisida
secara terus menerus akibat asetilkolin yang tidak
dengan biomarker urin kadar reratanya masih
dihidrolisis. Asetilkolin berperan sebagai
kurang dari NAB sehingga anak belum
jembatan penyeberangan bagi mengalirnya
mengalami efek yang berarti untuk mengalami
1. Kekurangan hormon tiroid secara tidak
getaran-getaran syaraf. Melalui sistem syaraf
langsung juga akan mempengaruhi hormon
inilah organ-organ didalam tubuh menerima
pertumbuhan dimana hormon pertumbuhan
informasi untuk mempergiat atau mengurangi
akan terganggu dalam menghidrolisasi IGF-1
aktifitas sel pada organ. Sistem syaraf pusat
(Pricre, 1994).
dihubungkan dengan hipofisis melalui
hipotalamus, ini adalah hubungan yang paling
SIMPULAN
nyata antara sistem syaraf pusat dan sistem
endokrin (Hindmarch & Dennison, 1999).
Simpulan penelitian ini adalah tidak ada
Kedua sistem ini saling berhubungan baik
perbedaan rerata kadar IGF-1 pada anak yang
melalui syaraf maupun vascular. Proses tersebut
positif metabolit pestisida dalam urin dengan
yang menyebabkan terjadinya gangguan
rerata kadar IGF-1 pada anak yang negatif
terhadap sistem hipotalamus-pituitari-tiroid.
metabolit pestisida dalam urin, namun rerata
Pestisida memiliki beberapa mekanisme yang
kadar IGF-1 lebih tinggi pada anak yang positif
mengganggu sistem endokrin. Bahan kimia dapat
metabolit pestisida dalam urin dibandingkan
mengganggu pada fungsi kelenjar tiroid melalui
dengan rerata kadar IGF-1 pada anak yang
mekanisme yang berbeda, misalnya pada tingkat
negatif pestisida dalam urin.
reseptor dalam mengikat protein, mekanisme
transport seluler, atau mengganggu metabolisme
DAFTAR PUSTAKA
hormon tiroid.
Metabolisme hormon tiroid yang
Barr, D., & Sampson, E. J. (2004). Laboratory Procedure
terganggu akibat adanya pestisida akan
Manual Dialkyl phosphate Metabolites of
mempengaruhi kinerja sistem endokrin. Hormon Organophosphorus Pesticides. Toxicology Branch
pertumbuhan merupakan salah satu sistem Division of Laboratory Sciences National
endrokrin yang merupakan untuk mengatur Center for Enviromental Health NHANES .
pertumbuhan seseorang. Pelepasan hormon BPS Brebes. (2011). Kabupaten Brebes dalam Angka
pertumbuhan distimulasi oleh Growth Hormone Tahun 2008. Brebes: Badan Pusat Statistik
RrlaH dan diinhibasi oleh somatomedin C atau Kabupaten Brebes.
IGF-1 Hormon pertumbuhan tidak bekerja Djunaedy, A. (2009). Biopeptisida sebagai Pengendali
Organisme Pengganggu Tanaman Obat yang
secara sendiri, tetapi ada hormon tiroid yang
Ramah Lingkungan. Fakultas Pertanian Unjiyo.
berkaitan dengan kinerja hormon pertumbuhan.
Garry, F. (2004). Pesticides and Children. Elsevier.
Hormon tiroid yang terdiri dari hormon tiroksin Gore, A. C., Crews, D., Doan, L. L., Merrill, M.,
(T4) dan triiodotironin (T3). Kelenjar tiroid Patisaul, H., & Zota, A. (2014). Introduction to
bekerjasama dengan hipotalamus dan kelenjar Endocrine Disrupting Chemicals (EDCs) a
hipofise yang terletak di otak supaya hormon Guide for Public Interest Organization and
yang dihasilkan tidak berlebih atau berkurang. Policy-makers. Endocrine Society.
Pestisida jenis organofosfat dapat mengganggu Granada, M. L., Murillo, J., & Lucas, A. (2000).
mekanisme deyondinasi terhadap enzim yang Diagnostic Efficiency of Serum IGF-1, IGF-
binding Protein-3 (IGFBP-3), IGF/IGFB-3
berfungsi mengubah T4 yang tidak aktif menjadi
Molar Ratio and Urinary GH Measurements in
T3 (Raini, 2009).
the Diagnosis of Adult GH Deficiency:
Gangguan pada sistem ini dapat Importance of an Appropriate Reference
menyebabkan terjadinya kekurangan hormon Population. Eur J Endocrinol(142), 243-253.
tiroid. Kekurangan hormon tiroid akan Hanchenlaksh, C., Povey , A., & Vocht, F. D. (2012).
menyebabkan terhentinya pertumbuhan linear. Pesticide Exposure and Urinary DAP Metabolites
Hal ini menunjukan kinerja hormon among Thai Farmers and Their Families. Centre
pertumbuhan yang melibatkan hormon tiorid. for Occupational and Enviromental Health,
Hormon tiroid meningkatkan respons sekresi University of Manchester.
hormon pertumbuhan dan meningkatkan IGF-
Hindmarch , P. C., & Dennison, E. (1999). A Sexually Dimorphic Pattern of Growth Hormone Secretion in the Elderly. J Clin
Endocrinal Metab(84), 2679-85.
Holloway. (2007). Influence of Dichlorodiphenylchoroethylene on Vascular Endothelial. Growth Factor and
Insulin-Like Growth Hormone & IGF Research, 17(6), 506- 511.
Miskiyah, & Munarso, S. J. (2009). Kontaminasi Residu Pestisida pada Cabai Merah, Selada, dan Bawang Merah (Studi Kasus di
Bandungan dan Brebes Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat). J Hort, 19(1), 101-111.

Pricre, S. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Buku Keodkteran EGC.
Quantikine. (n.d.). Human IGF-1 Immunoassay. United Kingdom: R&B Systems Inc.
Raini, M. (2009). Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 19(2).
Suhartono. (2013). Laporan Penelitian Paparan Pestisida dan Fungsi Tiroid pada Siswa SD Kabupaten Brebes.
Journal of IMAB - Annual Proceeding (Scientific Papers) 2007, vol. 13, book 1

DETERMINATION OF TOXIC SUBSTANCES IN


SWEAT SECRET OF SEVERE FORMS OF
POISONING - TOXIC COMA. CLINICAL MEANING.
Snezha Zlateva, Petko Marinov, Yulichka Sabeva*
Military Academy- Sofia, Hospital Base for Active Treatment- Varna,
*Department of Toxicology, Laboratory for Chemical Toxicology Investigations

SUMMARY: of study is to determination of toxic substances in sweat secret


The aim is to investigation of toxic substances in of patients with severe form of poisoning- toxic coma.
sweat secret, blood and urine of patients with toxic coma. Clinical meaning.
Study includes 4 patients in toxic coma, caused by:
amitriptyline, diazepam, carbamazepine, amitriptyline and MATHERIALAND METHODS:
clomipramine. The concentration of the drugs substances is The analysis includes 4 patients (P) in toxic coma
determined in sweat samples, collected after stimulation of after poisoning with amitriptylin (P¹ 1), amitriptylin and
ecrine sweat glands, using the pilocarpin ionophoresis - a clomipramin (P¹ 2), diazepam (P¹ 3), carbamazepin (P¹ 4).
modificated method by Gibson and Cooc (1959), and in Samples of sweat are taken at the 12-th,16-th,18-th,24-th
blood and urine, taken at the same time with the first sweat hour after swallowing the drug, caused the poisoning.
sample. The analytical procedure includes a separation of Samples of sweat are taken from non-affected skin in forearm
the drugs from the sample with organic solvent, area. Simultaneously with the first sweat sample is taken
concentrating the extract, followed by analysis of the extract blood serum and urine. Pilocarpin jonophoresis for sweat
with GC 5890-series II, equipped with MSD-5971 and LC stimulation: This is Gibson and Cooc (1959) modified method
1090-series II, Hewlett Packard. We have proved that in all (5). After washing and drying the inside and outside area at
sweat samples drugs exist (amitriptyline, diazepam, the right forearm, a tampon is put with 0.2% pilocarpin
carbamazepine, amitriptyline and clomipramine). The drug (inside) and 0.6% NaH 2 CO 3 (outside). The anode is
concentration in sweat, compared to blood and urine, is less in connected with the pilocarpin’s tampon and the cathode is
all samples.. connected with sodium bicarbonate tampon. Sweat secret is
Key words: amitriptyline, diazepam, carbamazepine, stimulated with 5 mA electricity for 15 minutes. After the
amitriptyline and clomipramine; sweat glands; toxic coma stimulation the electrodes must be removed, the inside and
outside area of forearm - washed and dried. Preliminary the
INTODUCTION: filter paper (5891, Schleicher&Schnell, Germany) is weighted.
The determination of toxic substances in sweat secret The filter paper is placed in sweat’s area and covered with
is not a commonly used method. It is an alternative of the parafilm. After 30 minutes the filter paper is removed. It is
analytical methods using blood, urine, hair, nails, stomach soaked up with sweat and again is weighted for measuring
secret to prove xenobiotics. Our knowledge about the sweat quantity. Then the filter paper is cut in 2 mm stripes,
information that this method may give us is exceptionally which are left incubating for 24 hours in room temperature
small. Very few laboratories in the world have been using it with 2 ml. Ethyl acetate. Hromato-masspectrometric analysis
because of its labor-consumption and lack of information. In and fluid-fluid hromatographia have been used for detection
the clinical practice this method was used by sweat extract of toxic substances.
analysis of drug abusers for proving drug presence, long
time after taking off cocaine (1). The sweat glands excrete RESULTS AND DISCUSSION:
many drugs and toxic substances: it is proved for barbiturates For patient ¹ 1 presence of Amitriptylin is proved in
(9), broom and Jodi (6, 10), selen, talium, arsen sweat, blood and urine. For patient ¹ 2 presence of
(7) cocaine (1), alcohol, acetone, phenol, chalogenic Amitriptylin and Clomipramine (Anafranyl) is proved in
carbohydrates (7). It is accepted that drug sweat excretion sweat, blood and urine. For patient ¹ 3 presence of Diazepam
has small pathogenic meaning for forming excreting in blood and urine is proved quantitatively, while in sweat -
dermatoses - bromoderma and jododerma (6). According to qualitatively. For patient ¹ 4 presence of Carbamazepin is
Al. Monov (10) the process of sweat elimination (drug and proved in sweat, blood and urine (tabl.1) .
toxic excretion) has formed skin topical damages. The aim
Tabl. 1. Comparison of drug concentration in blood, secretion is accomplished by Autonomic Nerves System
urine and sweat secret. through spinal cords, hypotalamus and cerebral cortex. It is a
proven fact, that by denervision through axon - reflex way
Drug Blood Urine Sweat without participation of the central regulating mechanism,
( mg/ml ) ( mg/ml ) ( mg/ml ) sweat glands have being stimulated much more. We
established this fact, because the sweat glands of patients with
Amitriptylin (P¹ 1) 0.42mg/ml 1.050mg/ml 0.200mg/ml
coma (when Central Nerves System is excluded) excrete
Amitriptylin(P¹ 2) 1.5mg/ml 6.250mg/ml 0.078mg/ml significant quantities sweat, gradually decreasing after
Clomipramine (P¹ 2) 0.43mg/ml 0.970mg/ml 0.280mg/ml stimulating. Our findings of drugs in the early hours after the
Diazepam (P¹ 3) 2.94mg/ml 0.174mg/ml (+) intoxication show us toxicokinetic behavior of drugs in acute
intoxication. They have been distributed in peripheral tissue
Carbamazepin (P¹ 4) 12.35mg/ml 4.200mg/ml 3.267mg/ml including skin. Is local affection of sweat glands possible
through localized there drugs or other toxic substances
Our results demonstrate that in non-affected skin area (excreting mechanism)? Are skin lesions in drug induced coma
sweat glands are functioning well. They excrete toxic an excreting dermatoses? We made analog with bromoderma,
substances (amitriptylin, clomipramin, diazepam, jododerma and other dermatoses, formed after sweat excretion
carbamazepin) in first sweat portion. Drugs get into gland’s (talium, arsenicum, selenium). Excreting mechanism is
cells from surrounding blood vessels or from the interstitium suggested about all this drugs, but not about Amitriptylin and
by process of simple diffusion. Skin lesion complicates severe Diasepam. We haven’t found data about direct
acute drug poisoning with approximately 5-6%. Their clinical cytototoxic effects of these drugs. According to data oxidases
manifestation are erythema spots in irregular form, vesicles with mixed function (OMF) present in skin cells epidermis,
and bullae, soft tissue infiltration and necrosis. They appear sweat glands and hair folicules (11,12,15 ). OMF participate
12 hours after the drug swallowing and localize on different in drug metabolism. P.Noonan and D. Paul show that skin
body parts, often, but not obligated to spots with trauma and oxidizes are 80-240 more active than hepatic oxidizes with
pressure. U.W Laevell (8) proposes the hypothesis about mixed function(12,13). We propose a hypothesis about the
possibility drugs to be excreted by the sweat glands following possibility the local toxic skin effect to be caused by common
their necrosis (by toxic mechanism) and forming skin lesion cytotoxic mechanism trough forming free radicals in the
and developing patient’s hypertermia. G.W Beveridge (2), S. metabolic process (3,4,11,15). According to Beveridge, late
Mandy and A.B.Ackerman (9) decline this hypothesis, Mandy and Ackerman, the toxic mechanism theory is not
because they establish normal sweat glands in spots of non- acceptable because in non-affected skin area sweat glands are
affected skin and normal temperature by patient with skin normal (2, 9). Our examination establishes good
lesions. Except from barbiturate intoxications, skin lesions can functioning of the sweat glands in normal skin area. Our
be developed from CO; glutethimid; benzodiazepines: tranxen, clinical observation and other authors show that many factors
lorazepam, flunitrazepam; meprobamat; chlorprotixen; heroin, may influence forming, localization and progress of skin
methadon; alcohols and organophosphate compaunds. The damage. The pathogenesis is not cleared yet. We believe that
histological findings of erythema and bullae show intra- and our examinations will contribute to most fully and rightly
subepidermal bullae, necrosis of skin appendix (sweat glands, understanding of skin lesion’s forming mechanism in acute
hair follicles, fat glands). The pathogenesis of skin lesion in intoxication.
drug intoxication is still unclear. The regulation of sweat

REFERENCES:
1. Balabanova S., E. Schneider*, R. 195 (3), 2004: 278-87. 5. Gibson L., R. Cooke. A test for
Wepler, G. Buler, B. Hermann*, H. 4. Gasiewiez T., G. Rucci, E. Henry, concentrations of electrolytes in sweat
Boscek, H. Schneider, H. Jentzmik. R. Baggs. Changes in hamster hepatic in cystic fibrosis of the pancreas
Capacity of the eccrine sweat glands to cytochrome P450, ethoxycoumarin O- utilizing pilocarpine ionophoresis.
store cocaine. Dermatollogishe deethylase and reduced NAD (P): Pediatrics, 23, 1959: 545-549.
Monatsschrift, 178, 1992: 89-92. menadione oxidoreductase following 6. Krushkov I., I. Lambrev.
2. Beveridge G. Sweat gland treatment with 1,2,7,8- Pharmakotheraupevtic reference book,
necrosis in Barbiturate poisoning. tetrachlorodibenzo-p-dioxin. Partial MF, Sofia 1998: 104
Arch. Derm., 1970: 101:369. dissociation with temp and dose- 7. Lujnikov E., L. Kostomarova
3. Du L, S. Hoffman, D. Keeney. response relationship from elicited Acute poisonings. Moskow1989: 258.
Epidermal CYP2 family cytochromes toxicity. Biochem.Pharmacol., 35, 1986: 8. Laevell U., K. Lexington. Sweat
P450. Toxicol Appl Pharmacol., Mar 15, 2737-2772. gland necrosis in barbiturate
poisoning. Arch. Dermatol., 1969;100: sequence – specific DNA adducts to characterization of morfine-6b-
218-21. sustained cytochrome P450 1A1 glucoronide, a very potent morphine
9. Mandy S, A. Ackerman. Characte- induction by 3-methylcholanthrene. metabolite. J. Pharmacol. Exp. Ther.,
ristic traumatic skin lesions in drug Redox Report. Communication free 1989, 25:477.
indused coma. JAMA, 1970; 213:253-6. Radical Research, 2002; 7:1; 9. 14. Penev Zl. N. Zlatkov, A.
10. Monov Al.,Clinic toxicology, 12. Noonan P., R. Wester. Durmishev. Reference book of
volume I, ethiology, pathogenesis,cell- Cutaneous Biotransformations and dermatology and venerology, 1987: 27
organo pathology, diagnosis and some Pharmacological and 15. Singer M., L. Shapiro, N. Shear.
threatment of poisonings. Clinical Toxicological Implications in Cytohrome P-450 3A: Interaction with
human states and their threatment. Dermatotoxicology, III ed., Marzuli F. N. dermatologic therapies. Clinical review.
Vanel-OOD, Sofia, 1995 (editor), USA, 1987: 84-88. Journal of American Academy of
11. Moorthy B. 3-Methylcholan- 13. Paul D., K. Standifer, C. Inturrisi, Dermatology N 37, N5, Part 1, 1998:
threne–inducible hepatic DNA-adducts G. Paternack. Pharmacological 765-711
a mechanistic hypothesis linking

Anda mungkin juga menyukai