Anda di halaman 1dari 18

TUGAS ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK

“Fatal Poisoning with Both Dichlorvos and Phenthoate”

OLEH :
Kelompok I

Kadek Dian Andyani 1508505023


Gusti Ayu Kristi Amarawati 1508505024
Putu Vera Phinastika Putri 1508505025
Ida Ayu Putu Surya Dewi 1508505040

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Organofosfat merupakan zat kimia sintesis yang terkandung pada pestisida
untuk membunuh hama (serangga, jamur, atau gulma). Organofosfat juga
digunakan dalam produk rumah tangga, seperti pembasmi nyamuk, kecoa, dan
hewan pengganggu lainnya. Dichlorvos dan phenthoat adalah pestisida golongan
organofosfat yang umum digunakan di seluruh dunia, namun senyawa tersebut
juga memiliki efek toksik pada manusia. Mekanisme organofosfat yaitu
menghambat asetilkolinesterase sehingga terjadi akumulasi asetilkolin pada
sinapsis kolinergik yang menyebabkan rangsangan berlebihan pada reseptor
muskarinik dan nikotinik. Pada manusia organofosfat menyebabkan sakit kepala,
pusing, malaise, mual, miosis, dan kelemahan otot . Organofosfat tersedia secara
komersial sebagai insektisida dalam bidang pertanian, sehingga sering terjadi
keracunan organofosfat pada manusia melalui paparan yang tidak disengaja lewat
kulit dan saluran napas selama proses agrikultur. Selain itu, keracunan akut
organofosfat dapat terjadi melalui self-ingestion. Dichlorvos digunakan sebagai
insektisida rumah tangga dan keracunan fatal karena senyawa ini jarang
dilaporkan. Phenthoat adalah pestisida organofosfat dengan toksisitas mamalia
yang rendah dan hanya terdapat satu kasus otopsi phenthoat yang dilaporkan lebih
dari 30 tahun lalu (Nara et al., 2018).
Pemeriksaan senyawa dichlorvos dan phenthoat di laboratorium pengujian
sangat memerlukan metode yang cukup teruji dengan hasil yang optimal. Pada
kasus keracunan fatal, sampel biologis yang digunakan bervariasi tergantung dari
kebutuhan pemeriksaan. Penelitian tentang distribusi organofosfat dalam kasus
keracunan fatal telah banyak dilakukan. Konsentrasi organofosfat (mg/L atau
mg/kg) dalam berbagai cairan tubuh dan jaringan dapat membantu menentukan
spesimen yang dipilih dalam analisis toksikologi postmortem. Sehingga dalam
analisis dichlorvos dan phenthoat pada kasus keracunan ini digunakan spesimen
darah, urin, dan cairan lambung korban (Moffat et al., 2005). Sampel yang

1
berupa spesimen biologis memerlukan perlakuan khusus untuk mendapatkan hasil
analisis yang optimal. Sebagai seorang toksikolog forensik, diperlukan suatu
kompetensi untuk dapat menangani kasus kematian akibat keracunan yang diduga
disebabkan oleh keracunan dichlorvos dan phenthoat tersebut. Maka dari itu,
dalam makalah ini akan disampaikan bagaimana langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk menangani kasus kematian akibat keracunan berdasarkan
deskripsi kasus yang dilaporkan.
Belum pernah dilaporkan sebelumnya kasus otopsi dari keracunan fatal
akut akibat konsumsi dichlorvos dan phenthoat yang dideteksi menggunakan
HPLC-MS/MS. Terdapat laporan suatu kasus postmortem keracunan dichlorvos
dan phenthoate sehingga dilakukan autopsi dan analisis konsentrasi kedua
senyawa tersebut pada darah, urin, dan cairan lambung. Pada penelitian ini
dilakukan pengembangan dan validasi metode analisis untuk pemeriksaan
kuantitatif dichlorvos dan phenthoate dalam sampel biologis menggunakan
metode HPLC-MS/MS. Diharapkan metode tersebut dapat dijadikan metodologi
baru yang optimal dan tervalidasi untuk pemeriksaan dichlorvos dan phenthoate
dalam sampel biologis pada kasus postmortem keracunan fatal.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menangani kasus
kematian akibat keracunan?
1.2.2 Bagaimana uji skrining, uji konfirmasi, dan determinasi yang harus
dilakukan untuk menangani kasus kematian akibat keracunan?
1.2.3 Bagaimana hasil pengujian analisis toksikologi forensik terhadap kasus
kematian akibat keracunan dichlorvos dan phenthoat?

1.3. Tujuan
1.1.1 Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
menangani kasus kematian akibat keracunan.
1.1.2 Untuk mengetahui uji skrining, uji konfirmasi, dan determinasi yang harus
dilakukan untuk menangani kasus kematian akibat keracunan.

2
1.1.3 Untuk mengetahui hasil pengujian analisis toksikologi forensik terhadap
kasus kematian akibat keracunan dichlorvos dan phenthoat.

1.4. Kasus
Seorang pria berusia sekitar 80 tahun tinggal di sebuah rumah bersama
keluarganya. Suatu hari pukul 5:30 sore, dia memberi tahu putra dan menantunya
bahwa dia akan tidur di kamar tidurnya. Pukul 9:20 putranya mencium bau yang
tidak biasa dari kamar tidur dan menemukan ayahnya terbaring tidak sadarkan diri
di kamar. Pria tersebut segera dibawa ke rumah sakit pada jam 9:30 malam,
namun sudah terjadi cardiopulmonary arrest. Tanpa kembalinya sirkulasi
spontan, pria tersebut dipastikan meninggal pada pukul 10:30 malam di hari yang
sama. Setelah kematian, polisi menemukan catatan bunuh diri yang ditulis
olehnya di kamar tidur. Selain itu, ditemukan pula botol berisi cairan kecoklatan
gelap yang terdiri dari dichlorvos dan phenthoat di dalam kamarnya.
Autopsi dilakukan 17 jam setelah kematian. Dilakukan pemeriksaan luar
yaitu tinggi badan 155 cm, berat 43,1 kg, dan indeks massa tubuh 17,9 kg/m 2.
Limpahan postmortem sangat terlihat di punggungnya. Diameter pupil kiri dan
kanan keduanya 0,5 cm dan tidak ada miosis. Konjungtiva palpebra, konjungtiva
bulbar, dan mukosa mulut pucat. Tercatat bau volatil dari mulut. Dilakukan pula
pemeriksaan dalam yaitu kongesti difus dari organ-organ internal seperti paru-
paru, hati, dan ginjal yang berbau seperti pelarut organik. Selanjutnya 290 mL
darah jantung berwarna merah kehitaman. Mukosa esofagus terdenaturasi menjadi
warna kecoklatan dan kehilangan elastisitas. Di dalam lambung, terdapat 70 mL
cairan coklat keruh dengan bau volatil. Organ-organ yang tersisa tidak
menunjukkan temuan patologis yang bisa langsung menyebabkan kematiannya.
Sampel serum dari otopsi dikirim ke laboratorium SRL. Aktivitas kolinesterase
serum adalah 9 IU/L (kisaran normal pada laki-laki: 242–495 IU/L). Konsentrasi
alkohol dalam darah jantung dan urin <0,1 mg/mL yang ditentukan dengan
kromatografi gas. Evaluasi toksikologi urin dilakukan menggunakan kit skrining
obat imunokimia Triage® DOA yang menunjukkan hasil negatif.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dichlorvos
Dichlorvos (C4H7Cl2O4P) memiliki nama IUPAC 2,2-Dichloroethenyl
dimethyl phosphate dengan BM 221 g/mol. Pemerian dichlorvos yaitu berupa
cairan berminyak tidak berwarna hingga kekuningan. Titik leleh <25oC dan titik
didih 140oC pada tekanan 20mmHg. Dichlorvos larut dalam air (8000 mg/L pada
20oC) dan gliserol (0,5 g/100 mL); sangat larut dalam diklorometana, propan-2-ol
dan toluena; larut dalam etanol, kloroform, aseton dan kerosin; larut dengan
banyak pelarut organik dan propelan aerosol; agak larut dalam minyak diesel,
kerosin, hidrokarbon isoparaffinik dan minyak mineral. Log P (oktanol/air) yaitu
1,47. Klasifikasi dichlorvos termasuk ke dalam pestisida kelas Ib yaitu berbahaya
(Moffat et al., 2005).

Gambar 1. Struktur Kimia Dichlorvos (Moffat et al., 2005)


Dichlorvos mudah diabsorpsi melalui kulit. Setelah konsumsi, dichlorvos
diabsorpsi dan dibawa dengan cepat ke hati. Pada hati, dichlorvos cepat
didetoksifikasi dengan menurunkan enzim yang ditemukan dalam jaringan dan
plasma darah. Dichlorvos didistribusikan dalam jaringan terutama ginjal, hati,
lambung, dan usus. Dichlorvos cepat dimetabolisme dan dieliminasi dari tubuh
melalui udara dan urin. Metabolit yang umum untuk beberapa senyawa
organofosfat adalah dimethylphosphate, sedangkan yang lainnya adalah
dichloroacetaldehyde. Metabolit tersebut tidak terakumulasi di jaringan.
Dichlorvos sangat beracun apabila terhirup, diabsorpsi kulit, dan tertelan.
Keracunan yang parah akan mempengaruhi sistem saraf pusat. Lethal dose oral
yang telah dilaporkan yaitu 400 mg/kgBB dan dosis toksik 300 mg/kg. Asupan

4
harian yang diizinkan adalah 0,04 mg/kg. Waktu paruh dichlorvos 25 menit dan
klirens oral pada orang sehat yaitu 1558 L/h (Moffat et al., 2005).
Stabilitas dichlorvos dalam sampel darah segar pada suhu 37 oC sudah
tidak terdeteksi setelah 1 jam. Stabilitas dichlorvos dalam sampel darah segar
pada suhu ruang sudah tidak terdeteksi setelah 2 jam. Sedangkan stabilitas
dichlorvos dalam sampel darah segar pada suhu 4 oC sudah tidak terdeteksi setelah
12 jam (Ageda et al., 2006).

2.2. Phenthoate
Phenthoate (C12H17O4PS2) memiliki nama IUPAC ethyl 2-
dimethoxyphosphinothioylsulfanyl-2-phenylacetate dengan BM 320,36 g/mol.
Pemerian phenthoate yaitu berupa kristal padat tidak berwarna. Kelarutan
phenthoate dalam air yaitu 11 mg/L pada 24°C; larut dalam aromatik hidrokarbon,
keton, alkohol, kloroform, dan karbon tetraklorida; hampir tidak larut dalam
petroleum eter. Phenthoate memiliki Kow 4900 (Karra et al., 2015). Klasifikasi
phenthoate termasuk ke dalam pestisida kelas Ia yaitu sangat berbahaya (Moffat
et al., 2005).

Gambar 2. Struktur Kimia Phenthoate (Karra et al., 2015)


Phenthoate cepat diabsorpsi melalui membran mukus sistem pencernaan,
sistem respirasi, dan kulit. Phenthoate mengalami degradasi hidrolisis di hati dan
jaringan lain. Produk degradasi memiliki toksisitas rendah dan diekskresikan
dalam urin dan feses. Rute utama eliminasi adalah melalui ginjal (Morgan, 1982;
International Labour Office, 1983). Lima metabolit terdeteksi dalam plasma dan
urine pasien setelah mengkonsumsi insektisida phenthoate. Phenthoate yang utuh
hanya terdeteksi pada cairan lambung. Setelah metilasi ekstrak asam sampel
plasma dan urin, teridentifikasi asam phenthoate, demethyl phenthoate, demethyl
phenthoate oxon acid, demethyl phenthoate S-isomer, dan demethyl phenthoate

5
acid S-isomer. Metabolit utama adalah asam phenthoate dan demethyl phenthoate
oxon acid (Kawabata et al., 1994). LD50 oral phenthoate pada tikus adalah 400
mg/kgBB (OSHA, 2016).
Stabilitas phenthoate dalam sampel darah segar pada suhu 37 oC yang
disimpan selama 24 jam mengalami penurunan konsentrasi sekitar 90%. Stabilitas
phenthoate dalam sampel darah segar pada suhu ruang sudah tidak terdeteksi
setelah 168 jam. Sedangkan stabilitas phenthoate dalam sampel darah segar pada
suhu 4oC yang disimpan selama 24 jam mengalami penurunan konsentrasi sekitar
10-40% (Ageda et al., 2006).

2.3. Analisis Toksikologi Forensik


Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan
analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu penyiapan sampel
“sample preparation”, analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau
dikenal juga dengan “general unknown test”, dan uji konfirmasi yang meliputi uji
identifikasi dan kuantifikasi, serta interpretasi temuan analisis dan penulisan
laporan analisis. Dalam analisis toksikologi forensik sering kali tidak
ditemukannya senyawa induk, melainkan metabolitnya.Sehingga dalam
melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa matabolit juga merupakan
target analisis (Wirasuta, 2008).
Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi
seperti cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ
tubuh.Preparasi sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan analisis
toksikologi forensik disamping kehadalan penguasaan metode analisis
instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan
kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi
forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan
apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan
sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian) (Wirasuta, 2008).

6
2.3.1. Penyiapan Sampel
Spesimen untuk analisis toksikologi forensik biasanya diterok oleh dokter,
misalnya pada kasus kematian tidak wajar spesimen dikumpulkan oleh dokter
forensik pada saat melakukan otopsi.Spesimen dapat berupa cairan biologis,
jaringan, organ tubuh. Dalam pengumpulan spesimen dokter forensik memberikan
label pada masing-masing bungkus/wadah dan menyegelnya. Label seharusnya
dilengkapi dengan informasi seperti nomor indentitas, nama korban,
tanggal/waktu otopsi, nama spesimen beserta jumlahnya (Wirasuta, 2008).
Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel
adalah: jenis dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan
analisis. Dengan demikian akan dapat merancang atau memilih metode
penanganan sampel, jumlah sampel yang akan digunakan, serta memilih metode
analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu mendapat perhatian khusus, karena
sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat mungkin
mencegah terjadinya penguraian dari analit (Wirasuta, 2008).
Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan
menggunakan teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan
perlakuan awal, seperti pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan
kekeruhan. Pemisahan sel darah dan serum sangat diperlukan pada persiapan
sebelum dilakukan uji penapisan pada darah. Serum pada umumnya dapat
langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay. Tidak
jarang sampel darah, yang diterima sudah mengalami hemolisis atau menggupal,
dalam hal ini darah dilarutkan dengan metanol, dan kemudian disentrifuga,
supernatannya dapat langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik
immunoassay (Wirasuta, 2008).
Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair, menggunakan dua pelarut
yang terpisah, atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan ekstraksi
cair-cair berdasarkan koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau
berdasarkan kelarutan analit pada kedua pelarut tersebut. Penyiapan sampel yang
baik sangat diperlukan pada uji pemastian “identifikasi dan kuantifikasi”,
terutama pada teknik kromatografi. Karena pada umumnya materi biologik

7
merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari berbagai campuran baik
senyawa endogen maupun senyawa eksogen “xenobiotika”. Penyiapan sampel
umumnya meliputi hidrolisis, ekstraksi, dan pemurnian analit.Prosedur ini
haruslah mempunyai efesiensi dan selektifitas yang tinggi. Perolehan kembali
yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting untuk menyari semua analit,
sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin pengotor atau
senyawa penggangu terpisahkan dari analit. Pada analisis menggunakan GC-MS,
penyiapan sampel termasuk derivatisasi analit secara kimia, seperi salilisasi,
metilisasi, dan sebagainya. Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk
meningkatkan volatilitas analit atau meningkatkan kepekaan analisis (Wirasuta,
2008).
2.3.2. Uji Penapisan atau Screening Test
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit)
dalam sampel.Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat
kimia maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan
psikotropika secara umum dalam uji penapisan dikelompokkan menjadi golongan
opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan
senyawa anti-depresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, turunan metadon.
Pengelompokan ini berdasarkan struktur inti molekulnya (Wirasuta, 2008).
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan
derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya
relatif cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu: a) kromatografi lapis tipis
(KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi warna, b) teknik immunoassay.
Teknik immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang
tinggi, serta dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat, namun
alat dan bahan dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini
menjadi relatif tidak murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif
lebih murah, namun dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih
lama (Wirasuta, 2008).

8
2.3.3. Uji Pemastian atau Confirmatory Test
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan
kadarnya. Konfirmatori test paling sedikit sesensitif dengan uji penapisan, namun
harus lebih spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi
yang dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti kromatografi gas-
spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair kenerja tinggi (HPLC)
dengan diode-array detektor, kromatografi cair-spektrofotometri massa (LC-MS),
KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat
spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit,
sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan yang ada. Hasil uji pemastian
(confirmatory test) dapat dijadikan dasar untuk memastikan atau menarik
kesimpulan apakah sesorang telah menggunakan obat terlarang yang dituduhkan
(Wirasuta, 2008).
2.3.4. Determinasi dan Interpretasi Temuan Analisis
Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak
dijelaskan makna dari temuan tersebut.Seorang toksikolog forensik berkewajiban
menerjemahkan temuan tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu
kalimat atau laporan, yang dapat menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan
yang muncul berkaitan dengan permasalahan/kasus yang dituduhkan.Data temuan
hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk menarik kesimpulan
bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat terlarang (Wirasuta,
2008).

9
BAB III
METODE DAN PEMBAHASAN

3.1. Uji Penapisan atau Screening Test


Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit)
dalam sampel. Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat
kimia maupun efek farmakologi yang ditimbulkan (Wirasuta, 2008). Uji
penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan derajat
reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya relatif
cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu: a) kromatografi lapis tipis (KLT) yang
dikombinasikan dengan reaksi warna, b) teknik immunoassay. Teknik
immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, serta
dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat, namun alat dan
bahan dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini menjadi relatif
tidak murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif lebih murah,
namun dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih lama
(Wirasuta, 2008).
Toksikologi postmortem biasanya diawali dengan uji skrining obat. Uji
skrining dapat dilakukan dengan “general unknown test” (pendekatan terbuka)
dan dengan pendekatan yang ditargetkan. Pendekatan terbuka dengan “general
unknown test” dilakukan apabila berdasarkan deskripsi kasus tidak didapatkan
senyawa spesifik yang menjadi target, sementara pendekatan yang ditargetkan
dilakukan apabila berdasarkan deskripsi kasus ditemukan senyawa spesifik yang
menjadi target. Pengujian yang ditargetkan kadangkala memang harus dilakukan
ketika latar belakang kasus sangatlah kuat menunjukkan adanya keterlibatan dari
senyawa tertentu, meskipun misalnya pada pengujian umum tidak ditemukan
adanya senyawa yang ditargetkan. Hal tersebut dapat terjadi pada beberapa kasus,
yang mana senyawa yang terdeteksi bukan merupakan senyawa yang ditargetkan,
namun senyawa lain dengan jumlah maksimum yang jelas fatal dan dapat
mengakibatkan kematian (Moffat et al.,2005).

10
Analisis evaluasi toksikologi pada penelitian ini juga menggunakan prinsip
immunochemical drug screening kit Triage DOA. Triage DOA (drug of abuse)
adalah salah satu immunoassay yang digunakan untuk penentuan kualitatif dari
metabolit utama obat-obatan terlarang seperti Benzodiazepin, Kokain,
Amphetamine/Methamphetamine, Metadon, Tetrahydrocannabinol, Opiat,
Barbiturat, dan Antidepresan Tricyclic dalam urin. Dalam penelitian ini uji
skrining menggunakan immunochemical drug screening kit Triage DOA
memberikan hasil negatif. Sehingga dapat diketahui bahwa kasus kematian
tersebut tidak disebabkan oleh obat-obatan terlarang.
Pada penelitian ini, dijelaskan pada deskripsi kasus bahwa polisi
menemukan barang barang bukti berupa botol yang berisi cairan kecoklatan gelap
yang terdiri dari dichlorvos dan phenthoate ditemukan di dalam ruangan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan pengujian skrining obat dengan
pendekatan yang ditargetkan. Untuk mengetahui secara pasti senyawa yang
menjadi tersangka pada kasus kematian ini, dilakukan pula pemeriksaan secara
internal terhadap korban. Hasil dari pemeriksaan secara internal pada kasus
kematian ini yaitu darah jantung berwarna merah kehitaman, mukosa esofagus
didenaturasi menjadi warna kecoklatan dan kehilangan elastisitas, serta di dalam
lambung ditemukan cairan berlumpur coklat dengan bau yang mudah menguap.
Adapun senyawa yang diduga menyebabkan kematian pada pria berusia 80 tahun
adalah dichlorvos dan phenthoate.

3.2. Uji Konfirmasi atau Confirmatory Test


Pada penelitian ini uji konfirmasi atau uji pemastian ini bertujuan untuk
memastikan identitas analit yang terlibat dalam kasus kematian yang telah
dipaparkan. Uji pemastian dari kasus tersebut menggunakan teknik HPLC-MS.
HPLC-MS adalah teknik kimia analitik yang menggabungkan kemampuan
pemisahan fisik dari kromatografi cair dengan kemampuan analisis massa
spektrometer massa. HPLC-MS adalah teknik yang banyak digunakan untuk
berbagai aplikasi yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas sangat tinggi. Pada
umumnya aplikasinya berorientasi pada deteksi dan identifikasi potensi spesifik

11
bahan kimia terhadap kehadiran bahan kimia lainnya (dalam campuran yang
kompleks) (Lee dan Kerns, 1999). Analit yang terpisah akan memasuki
spektrofotometri massa (MS) untuk diidentifikasi lebih lanjut. Analit akan
terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat kharakteristik
untuk setiap senyawa berdasarkan metode fragmentasi pada MS. Pola fragmentasi
(spetrum massa) ini merupakan sidik jari molekular dari suatu senyawa. Dengan
memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka identitas dari analit
dapat dikenali dan dipastikan (Wirasuta, 2008).
Pada kasus ini sampel yang akan dianalisis dari hasil autopsy adalah sampel
darah, urine, dan stomatch content. Pada analisis kasus ini, dilakukan validasi
metode terlebih dahulu, dimana dengan membandingkan ada tidaknya interferen /
peak penganggu yang dapat menganggu pemisahan. Selektifitas dari metode
HPLC ini dilakukan dengan membandingkan kromatogram dari 5 blank sampel
darah dari asal yang berbeda dengan spiked blood untuk melihat keterpisahan
antara 5 blank sampel darah dengan sampel yang mengandung dichlorvos,
phentoate,dan internal standar (dichlorvos-(dimethyl-d6) dan prothuofos. Validasi
lainnya seperti presisi dan akurasi dilakukan dengan sampel uji dengan masing-
masing konsentrasi analit dan dianalisis selama 3 hari, dimana setiap harinya
dilakukan 6 kali replikasi.
Hasil dari validasi didapatkan bahwa metode ini spesifik dengan tidak
ditemukannya interference, dengan waktu retensi masing-masing senyawa yakni
dichlorvos 5,553 menit , dichlorvos-(dimethyl-d6) 5,519 menit , phentoate 7,412
menit, dan prothuofos 8,753 menit. Untuk validasi parameter linieritas dichlorvos
dengan rentang seri 1-20 µg/mL didapatkan nilai r2 = 0,999 dengan y =0.2012x +
0.00110. Sedangkan untuk phentoate juga memenuhi linieritas dimana dengan
rentang seri 0,005- 6µg/mL didapatkan nilai r 2 = 0,999 dengan y =13.4080x +
0.00207. Presisi dan akurasi yang didapatkan juga memenuhi dimana RSD untuk
sampel biologis yang diperbolehkan yakni <15% , dengan akurasi 85-120%.

12
3.3. Uji Determinasi dan Interpretasi Data
Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak
dijelaskan makna dari temuan tersebut.Seorang toksikolog forensik berkewajiban
menerjemahkan temuan tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu
kalimat atau laporan, yang dapat menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan
yang muncul berkaitan dengan permasalahan/kasus yang dituduhkan.Data temuan
hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk menarik kesimpulan
bahwa seseorang telah terpapar atau menggunakan obat terlarang (Wirasuta,
2008).
Pada interpretasi temuan analisis pada kasus kematian, seorang toksikolog
forensik dituntut mampu menjawab pertanyaan spesifik seperti rute pemakaian
toksikan, apakah konsentrasi toksikan yang ditetapkan cukup sebagai
menyebabkan kematian, penetapan rute pemakaian biasanya diperoleh dari
analisis berbagai spesimen, dimana pada umumnya konsentrasi toksikan yang
lebih tinggi ditemukan di daerah rute pemakaian.
Berdasarkan deskripsi kasus yang dilaporkan, petunjuk barang bukti
menunjukkan adanya senyawa toksik yang ditargetkan karena ada di tempat
kejadian perkara yakni dichlorvos dan phenthoate. Berdasarkan hasil uji skrining
dan konfirmasi pada specimen sampel, didapatkan adanya kedua senyawa tersebut
pada sampel darah, urin, dan cairan pencernaan. Pada tahap determinasi dan
interpretasi hasil, maka data hasil kuantifikasi senyawa target dikaitkan dengan
deskripsi kasus untuk dapat menarik kesimpulan. Berikut adalah hasil kuantifikasi
kadar senyawa dichlorvos dan phenthoate pada sampel :

13
Hasil dari analisis kantitatif menggunakan metode HPLC-MS, secara
spesifik menunjukkan konsentrasi yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil tersebut,
dibandingkan dengan data kematian yang pernah dilaporkan sebelumnya tentang
kematian yang diakibatkan oleh diclorovos dan pentoate. Berdasarkan kasus
kematian akibat dichlorvos yang pernah dilaporkan, konsentrasi dichlorvos pada
darah korban setelah 24 jam yakni 29µg/mL. Laporan kasus lainnya menunjukkan
konsentrasi dichlorvos setelah 3 hari kematian yakni 4,4 µg/mL. Apabila
dibandingkan dengan hasil determinasi senyawa dichlorvos pada sampel organ
tubuh korban yakni didapatkan konsentrasi dichlorvos sebesar 11,6 µg/mL pada
kapasitas jantung kiri, 4,6 µg/mL pada kapasitas jantung kanan, 2,54 µg/mL pada
urne, dan 7,35 gram pada isi perut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa memang
benar korban telah terpapar dichlorvos, dilihat dari distribusi senyawa tersebut
disemua jalur metabolisme tubuh. Selain itu, konsentrasi dichlorvos yang didapat
cukup untuk menimbulkan efek kematian pada korban.
Hasil determinasi dichlorvos juga diperkuat dengan tanda-tanda lain
pada tubuh korban yang menguatkan dugaan bahwa kematian korban diakibatkan
karena keracunan dichlorvos. Presentasi klinis keracunan organofosfat termasuk
ulkus hemoragik pada saluran pencernaan bagian atas atau perforasi usus kecil
pada pasien. Pada keracunan dichlorvos fatal, ulkus berdarah dari saluran
pencernaan atau petechial hemorrhages hingga mukosa lambung. Keseluruan
gejala tersebut ditemukan pada korban saat otopsi.
Sementara untuk kasus kematian akibat keracunan phentoate yang pernah
dilaporkan, konsentrasi phenthoate dalam darah seesar 18,5 mg/mL, jumlah
tersebut jauh lebih tinggi dari yang terdeteksi dalam darah jantung dalam kasus

14
ini. Namun, tidak diketahui secara detail apaka sampel darah postmortem yang
diperiksa dalam kasus tersebut merupakan sampel darah perifer atau jantung
dalam otopsi. Menimbang bahwa hanya ada satu laporan kasus seperti itu dalam
kedokteran forensik, sehingga sulit untuk mengevaluasi konsentrasi racun
mematikan dari phenthoate dalam darah postmortem. Oleh karena pada kasus ini
ditemukan kadar phenthoate dalam perut korban sebesar 4,55 gram, maka dapat
disimpulkan bahwa phenthoate telah dicerna. Selain itu, phenthoate mengandung
bagian carboxyester di sisi rantai asam yang dihidrolisis oleh karboksilesterase
dalam tubuh untuk membentuk metabolit beracun yang tidak sesuai,yakni asam
fenthoat. tingkat sisa phenthoate dalam darah manusia yang mengandung
dichlorvos secara signifikan lebih tinggi daripada di dalam darah tanpa
dichlorvos, hal ini dikarenakan hidrolisis karboktor dalam fenthoat tertunda
karena penghambatan aktivitas karboksilesterase oleh diklorvos, yang
menyebabkan keracunan yang fatal.

15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kesimpulan
4.1.1. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menangani kasus kematian
akibat keracunan diantaranya yaitu penyiapan sampel, melakukan uji
penapisan, uji pemastian dan determinasi.
4.1.2. Uji skrining yang dilakukan untuk menangani kasus kematian akibat
keracuan dichlorvos dan phenthoate adalah dengan menggunakan metode
immunoassay, uji konfirmasi dilakukan dengan HPLC-MS/MS, sedangkan
determinasi dilakukan dengan menginterpretasikan temuan analisis hasil
dari pengujian analisis toksikologi forensik yang telah dilakukan.
4.1.3. Hasil pengujian analisis toksikologi forensik terhadap kasus kematian akibat
keracunan yaitu konsentrasi dichlorvos sebesar 11,6 µg/mL pada kapasitas
jantung kiri, 4,6 µg/mL pada kapasitas jantung kanan, 2,54 µg/mL pada
urne, dan 7,35 gram pada isi perut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
memang benar korban telah terpapar dichlorvos dan konsentrasi dichlorvos
yang didapat cukup untuk menimbulkan efek kematian pada korban.
Ditemukan kadar phenthoate dalam perut korban sebesar 4,55 gram, maka
dapat disimpulkan bahwa phenthoate telah dicerna.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ageda, S., C. Fuke, Y. Ihama, dan T. Miyazaki. 2006. The stability of


organophosphorus insecticides in fresh blood. Legal Medicine. 8: 144-149.
International Labour Office. 1983. Encyclopedia of Occupational Health and
Safety, Volume I dan II. Geneva: International Labour Office.
Kawabata, S., Hayasaka M., Hayashi H., Sakata M., Hatakeyama Y., dan Ogura
N. 1994. Phenthoate metabolites in human poisoning. Journal of toxicology.
Clinical toxicology. 32 (1): 49-60.
Karra, S., S. V.V. Pothula, B. J. Naladi, dan S. Kanikaram. 2015. Acute toxicity
of Phenthoate (50% EC) on survival and behavioral pattern of freshwater
fish Labeo rohita. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies.
2(6): 38-42.
Lee M. S., Kerns E. H.. 1999. LC/MS Applications In Drugs Development. Mass
Spectrometry Reviews. Vol.18 (3 ): 187-279.
Moffat, A. C., M. D. Osselton and B. Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drugs
and Poisons. Pharmaceutical Press.
Morgan, D.P. 1982. Recognition and Management of Pesticide Poisonings.
Washington: U.S. Government Printing Office.
Nara, A., C. Yamada, T. Kodama, K. Saka, dan T. Takagi. 2018. Fatal Poisoning
with Both Dichlorvos and Phenthoate. Journal of Forensic Sciences: 1-4.
Occupational Safety and Health Administration. 2016. Safety Data Sheet. USA:
Hazard Communication Standard.
Wirasuta, I M. A. G. 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi
Temuan Analisis. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, Vol.
1(1).

17

Anda mungkin juga menyukai