Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

Toksikokinetik

Dosen Pengampu : Ayu Nirmala Sari, M.Si

Disusun Oleh : Kelompok 1


1. Ridwan Sahputra (180703074)
2. Umi Mai Sarah (180703048)
3. Sanasti Maarwah (180703086)

PROGRAM STUDI BIOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR – RANIRY


BANDA ACEH
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah yang berjudul
“Toksikokinetik” dapat terselesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Toksikologi. Tak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepadaIbu Ayu
NirmalaSari selaku dosen pembimbing mata kuliah Toksikologi.Semua pihak yang
tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu sehingga kunjungan dan
laporan ini dapat terlaksana.
Makalah ini dibuat berdasarkan beberapa sumber yang bersangkutan dengan
toksikologi. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat sebagai pengetahuan, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah
ini dimasa yang akan datang.

Banda Aceh,10 September 2021

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
oksikologi adalah salah satu mata kuliah terapan yang membutuhkan dukungan
mata kuliah yang lain. Dalam bidang Toksikologi, kita menggunakan istilah-istilah
khusus yang akan sering dijumpai pada bab-bab kerikutnya. Oleh karena itu,
seorang teknisi laboratorium medik perlu mengenal beberapa istilah yang berkaitan
dengan toksikologi sehingga memudahkan dalam mempelajari materi. Peristilahan
bidang toksikologi ini akan dipaparkan dalam topik 1. Selain itu Saudara juga akan
mempelajari tentang perundangundangan yang berhubungan dengan NAPZA yaitu
Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, terutama kaitannya dengan
penggolongan kedua zat tersebut yang akan dipaparkan dalam topik 2. Selain itu,
Saudara juga perlu mengenal tentang precursor yang berkaitan dengan produksi
narkotika dan psikotropika.
Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-
obatan dan senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen
biologis dan yang terkait. Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang
sangat beragam: dapat berupa bahan kimia, pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan
obat-obatan (drugs abuse) dan racun alami.
Toksikologi analitik dapat membantu dalam diagnosis, manajemen dan dalam
beberapa kasus pencegahan keracunan. Selain itu, laboratorium toksikologi analitik
dapat dilibatkan dalam berbagai kegiatan lain seperti penilaian paparan setelah
kejadian kimia, pemantauan obat terapeutik, analisis forensik, dan pemantauan
penyalahgunaan obat-obatan. Mereka mungkin juga terlibat dalam penelitian

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Toksikokinetik
Toksikologi modern merupakan bidang yang didasari oleh multi disiplin ilmu,
ia dengan dapat dengan bebas meminjam bebarapa ilmu dasar, guna mempelajari
interaksi antara tokson dan mekanisme biologi yang ditimbulkan .Ilmu toksikologi
ditunjang oleh berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika.
Kimia analisis dibutuhkan untuk mengetahui jumlah tokson yang melakukan ikatan
dengan reseptor sehingga dapat memberikan efek toksik. Bidang ilmu biokimia
diperlukan guna mengetahui informasi penyimpangan reaksi kimia pada organisme
yang diakibatkan oleh xenobiotika. Perubahan biologis yang diakibatkan oleh
xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu patologi, immunologi, dan
fisiologi. Untuk mengetahui efek berbahaya dari suatu zat kimia pada suatu sel,
jaringan atau organisme memerlukan dukungan ilmu patologi, yaitu dalam
menunjukan perubahan wujud atau perubahan makroskopi, mikroskopi, atau
submikroskopi dari normalnya. Perubahan biologi akibat paparan toksin dapat
termanisfestasi dalam bentuk perubahan sistem kekebalan (immun) tubuh, untuk
itu diperlukan bidang ilmu immunologi guna lebih dalam mengungkap efek toksik
pada sistem kekebalan organisme.
Analisis toksikologi meliputi: (1) toksikologi darurat dan rumah sakit umum,
termasuk pemeriksaan “bisa” dan (2) kategori khusus: toksikologi forensik,
skrining untuk penyalahgunaan obat (drugs abuse), pemantauan obat terapeutik
(therapeutic drugs monitoring=TDM) dan toksikologi lingkungan serta yang terkait
dengan pekerjaan (occupational toxicology), meskipun ada banyak tumpang tindih
antara semua area ini.
Metode analisis yang digunakan dalam melakukan analisis toksikologi pada
sampel biologis terkait dari studi toksikologi itu sendiri, terutama toksikologi klinis
dan forensik. Laboratorium tidak dapat melakukan apapun untuk membantu proses
diagnostik kecuali seseorang, baik itu klinisi, ahli patologi, atau orang lain,
mencurigai penyebab keracunan dan memastikan spesimen dikumpulkan dan
dikirim untuk dianalisis. Namun, pengumpulan dan penanganan sampel yang tepat
tidak selalu mudah dan memang merupakan subjek tersendiri.

B.Pengertian Toksisitas
Dalam bidang toksikologi sudah dikenal adanya Postulat Paracelcus: “All
substances are poisons; there is none which is not a poison. The right dose
differentiates a poison from a remedy”, "Semua zat adalah racun, tidak ada yang
bukan racun. Dosis yang tepat yang membedakan racun dari obat."
Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan
sebagai zat yang berpotensi memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme
biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan
oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk
efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau
toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek
berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat
kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan
mekanisme biologi pada suatu organisme.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat
kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang
mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi
bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi
seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem
biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan
berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya atau efek farmakologik timbul apabila terjadi
interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat
dua aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia
dengan organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik atau toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif
(aspek farmakokinetik atau toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada
sub bahasan kerja toksik.
C.Absorbsi Xenobiotik Melalui Pernapasan,Kulit dan Pencernaan
Semua proses transfer xenobiotik dari lingkungan menuju sistem peredaran darah
dirangkum kedalam proses invasi, proses ini juga digambarkan sebagai resorpsi.
Xenobiotik dapat teresorpsi umumnya berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi
molekular. Laju resorpsi xenobiotik ditentukan oleh daerah paparan (topikal, oral,
inhalasi atau injeksi), bentuk farmasetik xenobiotik (tablet, salep, sirop, aerosol,
suspensi atau larutan), proses resorpsi, sifat fisikokimia xenobiotik dan
konsentrasinya. Proses invasi disebut juga dengan absorpsi, yang ditandai oleh
masuknya xenobiotika dari tempat kontak (paparan) menuju sirkulasi sistemik
tubuh. Laju absorpsi xenobiotika ditentukan oleh sifat membran biologis dan aliran
kapiler darah tempat kontak serta sifat fisiko kimia dari xenobiotika itu sendiri.
Pada pemakaian oral (misal sediaan dalam bentuk padat), maka terlebih dahulu
kapsul/tablet akan terdistegrasi, sehingga xenobiotika akan telarut di dalam cairan
saluran pencernaan. Xenobiotika yang terlarut ini akan terabsorpsi secara normal
dalam duodenal dari usus halus dan ditransport melalui pembuluh kapiler
mesenterika menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik.
Kelarutan xenobiotika akan sangat mempengaruhi laju absorpsinya, jika
xenobiotika terlalu non polar, maka dia akan terlarut cukup kuat dalam lapisan
lipofil dari membran sel. Demikian juga jika terlalu polar xenobiotika ini akan
mudah terlarut di dalam saluran cerna namun transport melalui membran biologis
akan terhambat (Wirasuta, 2006).
Paparan xenobiotika (rute administrasi) dapat melalui oral, inhalasi, topikal,
rektal, atau vaginal. Sedangkan pemasukan xenobiotika langsung ke sirkulasi
sistemik (injeksi), dapat dikatakan bahwa xenobiotika tidak mengalami proses
absorpsi. Rute pemaparan akan mempengaruhi onset dari aksi, durasi efek,
intensitas dan qualitas efek dari xenobiotik. Pada pemakaian intravenus obat dapat
langsung ditranspor ke reseptor, rute pemakaian ini tentunya akan memberikan efek
yang paling maksimum dan onset aksi yang singkat. Namun pemakaian intravena
pada penyalahgunaan obat terlarang lebih banyak menimbulkan resiko yang
berbahanya, oleh sebab itu pada kasus ini pemakaian melalui inhalasi dan merokok
merupakan alternatif yang lebih poluler dikalangan junkies. Jika drug dihisap
melalui hidung atau bersamaan dengan rokok, maka drug akan sangat cepat
terabsorpsi di alveoli paru- paru, dan selanjutnya melalui pembuluh darah arteri
dibawa ke otak. Oleh sebab itu efek akan lebih cepat timbul. Pemakaian ”crack”
(bentuk kokain yang digunakan secara merokok) dengan menghisap akan
menimbulkan onset aksi yang sangat singkat, sehingga intesitas eforia akan cepat
tercapai. Demikian juga pada pemakain heroin secara inhalasi, efek euforia akan
relatif sama tercapainya dibandingkan dengan pemakaian secara intravena.
Heroin biasanya digunakan dengan cara menguapkan dan kemudian uap dihirup,
dengan merokok, atau injeksi secara intravena. Setelah heroin sampai di sirkulasi
sistemik, maka heroin sangat cepat menuju otak. Karena sangat cepatnya timbulnya
efek pada pemakaian intravenus, maka rute pemakaian ini sangat digemari oleh
para junkis. Namun pemakain ini sangat berisiko ketimbang pemakaian secara
inhalasi atau merokok, karena sering ditemui muncul penyakit bawaan lain pada
pemakaian injeksi, seperti infeksi HIV, hepatitis (Wirasuta, 2006).
Pada paparan melalui oral bentuk farmasetik (tablet, kapsul, dll) akan terdispersi
dan melarut di dalam cairan saluran pencernaan. Bentuk terlarut melalui pembuluh
kapiler pada saluran pencernaan akan terabsorpsi. Absorpsi ini sebagaian besar
berlangsung di pembuluh kapiler usus halus, kemudian melalui pembuluh kapiler
mesenterika menuju vena porta hepatika.
D.Distribusi Xenobiotik Di Dalam Tubuh
Setelah xenobiotik mencapai sistem peredahan darah, bersama darah akan
terdistribusi ke seluruh tubuh. Weiss (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi
(transpor xenobiotik bersama peredaran darah) dan difusi (difusi xenobiotik di
dalam sel atau jaringan). Transprot xenobiotik intra dan inter organ di dalam tubuh
diprasaranai oleh sistem peredaran darah. Difusi berperan penting dalam transport
suatu xenobiotik diantara ekstra dan intra selular. Difusi xenobiotik melalui
membran biologi dapat berlangsung melalui berbagai proses difusi, seperti: difusi
pasif, difusi aktif (melalui sistem transport tertentu,”carrier”, melalui pinocitosis,
atau fagositosis) atau melalui poren. Laju difusi suatu xenobiotik sangat ditentukan
oleh sifat fisikokimianya (lipofilik, ukuran melekul, derajat ionisasi, ikatan dengan
protein plasma).
Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting dalam transport
xenobiotika antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sehingga laju peredaran darah
di dalam organ atau jaringan juga akan menentukan kecepatan distribusi
xenobiotika di dalam tubuh.
Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru-paru, jantung, lambung dan usus,
adalah organ-organ yang memiliki laju aliran darah (perfusi) yang baik. Karena laju
aliran darah dalam organ-organ ini sangat baik, maka xenobiotika akan sangat cepat
terdistribusi homogen di dalam organ tersebut, jika dibandingkan pada organ-organ
yang memiliki laju aliran darah relatif lambat.
Pada pemodelan farmakokinetik, tubuh dibagi menjadi berbagai ruang difusi
(kompartemen). Pembagian ruang ini hanya didasarkan pada laju distribusi
xenobiotika. Perlu ditegaskan di sini bahwa, pembagaian kompartimen ini hanya
merupakan langkah abstraksi guna mempermudah pemahaman ruang distribusi
(difusi) xenobiotika di dalam tubuh. Model yang paling sederhana untuk memahami
jalu difusi xenobiotika di dalam tubuh adalah model kompartimen tunggal. Pada
model ini tubuh dipandang seperti satu ember besar, dimana difusi xenobiotika
hanya ditentukan oleh daya konveksi di dalam ember. Namun pada kenyataannya,
agar xenobitika dapat ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah menuju
sel-sel pada jaringan tubuh, haruslah melewati membran biologis, yLaju penetrasi
xenobiotika melewati membran biologis akan ditentukan oleh struktur membran
basal dan juga sifat lipofilitasnya. Senyawa-senyawa lipofil akan dapat menembus
membran biologis dengan baik, sedangkan senyawa yang polar (larut air) haruslah
melewati lubang- lubang di membran biologis, yang dikenal dengan “poren“.
Jumlah poren dalam membran biologis adalah terbatas, oleh sebab itu dapatlah
dimengerti, bahwa senyawa lipofil akan terdistribusi lebih cepat dibandingkan
senyawa hidrofil. Difusi xenobiotika melalui membran biologis dapat berlangsung
melalui berbagai proses, seperti: difusi pasif, difusi aktif, melalui poren dan juga
melalui jembatan intraseluler. aitu membran yang menyeliputi sel-sel di dalam
tubuh.
Ketika xenobiotika mencapai pembuluh darah, maka bersama darah melalui
sirkulasi sistemik siap untuk didistribusikan ke reseptor dan ke seluruh tubuh.
Untuk memudahkan memahami sejauh mana suatu xenobiotika terdistribusi di
dalam tubuh, para ilmuan farmakokinetik mengumpamakan bahwa xenobitika di
dalam tubuh akan terdistribusi di dalam suatu ruang, yang memiliki sejumlah
volume tertentu. Jadi kemampuan suatu xenobiotika untuk terdistribusi di dalam
tubuh dinyatakan sebagian parameter yang disebut dengan volume distribusi.
E.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Distribusi
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses distribusi dari suatu
xenobiotika, dimana faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
(Wirasuta, 2006):
1) faktor biologis, meliputi laju aliran darah dari organ dan jaringan, sifat membran
biologis dan perbedaan pH antara plasma dan jaringan
2) faktor sifat molekul xenobiotika, meliputi ukuran molekul, ikatan antara protein
plasma dan protein jaringan, kelarutan dan sifat kimia
*Laju aliran darah di organ dan jaringan
Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting dalam transpor xenobiotika
antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sebelum mencapai kesetimbangan
distribusi, distribusi sebagian besar ditentukan oleh pasokan darah dari organ dan
jaringan. Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru- paru, jantung, lambung dan
usus, adalah organ-organ yang memiliki laju aliran darah (perfusi) yang baik.
Akibat aliran darah yang cepat dan dengan demikian jangka waktu kontaknya yang
sangat singkat dalam kapiler (sekitar 2 detik) maka mula-mula xenobiotika akan
terdistribusi dengan cepat pada organ atau jaringan dengan perfusi yang baik. Ini
berarti organ atau jaringan yang mempunyai banyak kapiler darah pada awal
*Sifat membran biologis
Difusi berperan penting dalam transpor suatu xenobiotika diantara ekstra dan intra
selular. Xenobiotika agar dapat ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah
menuju sel-sel pada jaringan tubuh, haruslah melewati membran biologis, yaitu
membran yang menyeliputi sel-sel di dalam tubuh. Secara keseluruhan luas
permukaan kapiler tubuh (orang dewasa) diperkirakan berkisar antara 6000-8000
m2, dengan panjang keseluruhan diduga sekitar 95000 km. Di bagian luar kapiler-
endotel ini diselimuti oleh membran basal yang sangat halus dan elastis
*Ikatan Protein
Faktor lain yang yang berpengaruh pada distribusi ialah ikatan pada protein
terutama protein plasma, protein jaringan dan sel darah merah. Ikatan xenobiotika
pada protein umumnya relatif tidak khas. Sesuai dengan struktur kimia protein,
ikatan xenobiotika pada protein terlibat ikatan ion, ikatan jembatan hidrogen dan
ikatan dipoldipol serta interaksi hidrofob. Beragamnya kemungkinan ikatan yang
terlibat memungkinkan berbagai xenobiotika yang dapat terikat pada protein, oleh
sebab itu ikatan xenobiotika pada protein dikatakan tidak khas. Ikatan protein
adalah bolak-balik “reversibel”. Ikatan tak bolak-balik ”irreversibel” (misal ikatan
kovalen), misal ikatan reaksi sitostatika yang mengalkilasi protein, tidak termasuk
ke dalam ikatan protein.
F.Biotransformasi Ke Dalam Tubuh
Xenobiotika yang masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem enzim
tubuh, sehingga senyawa tersebut akan mengalami perubahan struktur kimia dan
pada akhirnya dapat dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialami oleh
xenobiotika dikenal dengan reaksi biotransformasi yang juga dikenal dengan reaksi
metabolisme. Biotransformasi atau metabolisme pada umumnya berlangsung di
hati dan sebagian kecil di organ-organ lain seperti: ginjal, paru-paru, saluran
pencernaan, kelenjar mamae, otot, kulit atau di dalam darah.
Secara umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
I (reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Dalam fase pertama ini
xenobiotik akan mengalami pemasukan gugus fungsi baru, pengubahan gugus
fungsi yang ada atau reaksi penguraian melalui reaksi oksidasi (dehalogenasi,
dealkilasi, deaminasi, desulfurisasi, pembentukan oksida, hidroksilasi, oksidasi
alkohol dan oksidasi aldehida); reaksi reduksi (reduksi azo, reduksi nitro reduksi
aldehid atau keton) dan hidrolisis (hidrolisis dari ester amida). Pada fase II ini
xenobiotik yang telah siap atau termetabolisme melalui fase I akan terkopel
(membentuk konjugat) atau melalui proses sintesis dengan senyawa endogen tubuh,
seperti: Konjugasi dengan asam glukuronida asam amino, asam sulfat, metilasi,
alkilasi, dan pembentukan asam merkaptofurat. Enzim-enzim yang terlibat dalam
biotransformasi pada umumnya tidak spesifik terhadap substrat. Enzim ini (seperti
monooksigenase, glukuronidase)
umumnya terikat pada membran dari retikulum endoplasmik dan sebagian
terlokalisasi juga pada mitokondria, disamping itu ada bentuk terikat sebagai enzim
terlarut (seperti esterase, amidase, sulfoterase). Sistem enzim yang terlibat pada
reaksi fase I umumnya terdapat di dalam retikulum endoplasmik halus, sedangkan
sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase II sebagian besar ditemukan di sitosol.
Disamping memetabolisme xenobiotika, sistem enzim ini juga terlibat dalam reaksi
biotransformasi senyawa endogen (seperti: hormon steroid, biliribun, asam urat,
dll). Selain organ-organ tubuh, bakteri flora usus juga dapat melakukan reaksi
metabolisme, khususnya reaksi reduksi dan hidrolisis (Wirasuta, 2006). Tidak bisa
dihindari, bahwa setiap harinya manusia akan terpapar oleh berbagai xenobiotika,
baik secara sengaja maupun tidak disengaja untuk tujuan tertentu. Beberapa
xenobiotika tidak menimbulkan bahaya tetapi sebagian besar lagi dapat
menimbulkan respon- respon biologis, baik yang menguntungkan atau merugikan
bagi organisme tersebut. Respon biologis tersebut seringkali bergantung pada
perubahan kimia yang dialami oleh xenobiotika di dalam tubuh organisme.
Perubahan biokimia yang terjadi dapat mengakhiri respon biologis atau mungkin
terjadi pengaktifan.
*Reaksi Fase I
Reaksi fase I ini juga disebut dengan reaksi fungsionalisasi, sebab melalui reaksi
fase ini (oksidasi, reduksi atau hidrolisis) menghasilkan suatu gugus fungsi, yang
selanjutnya pada fase ke II akan terkonjugasi
*Reaksi Fase II
Reaksi fase II melibatkan beberapa jenis metabolit endogen yang mungkin
membentuk konjugat dengan xenobiotika atau metabolitnya. Pembentukan
konjugat memerlukan adanya pusat-pusat reaktif dari substrat, biasanya gugus -OH,
-NH2 dan -COOH. Reaksi-reaksi penting pada fase II adalah kunjugasi dengan: a)
asam glukuronat, b) sulfat, c) asam amino (khususnya glisin), d) oligopeptida dan
ikatan dengan turunan asam merkapturat, e) asam asetat f) metilas
G.Proses Ekresi Zat Kimia Dalam Tubuh
Setelah diabsorpsi dan didistribusikan di dalam tubuh, xenobiotika/xenobiotik
dapat dikeluarkan dengan capat atau perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam
bentuk asalnya maupun sebagai metabolitnya. Jalur ekskresi utama adalah melalui
ginjal bersama urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting
bagi xenobiotik tertentu. Disamping itu ada juga jalur ekskresi lain yang kurang
penting seperti, kelenjar keringat, kelenjar ludah, dan kelenjar mamae.
*Ekresi Urin
Ginjal sangat memegang peranan penting dalam mengekskresi baik senyawa
eksogen (xenobiotika) maupun seyawa endogen, yang pada umumnya tidak
diperlukan lagi oleh tubuh. Proses utama ekskresi renal dari xenobiotika adalah:
filtrasi glumerulus, sekresi aktif tubular, dan resorpsi pasif tubular. Pada filtrasi
glumerular, ukuran melekul memegang peranan penting. Molekul-molekul dengan
diameter yang lebih besar dari 70 Å atau dengan berat lebih besar dari 50 kilo
Dalton (k Da) tidak dapat melewati filtrasi glumerular. Oleh sebab itu hanya
senyawa dengan ukuran dan berat lebih kecil akan dapat terekskresi. Xenobiotika
yang terikat dengan protein plasma tentunya tidak dapat terekskresi melalui ginjal.
Resorpsi pasif tubular ditentukan oleh gradien konsentrasi xenobitika antara urin
dan plasma di dalam pembuluh tubuli. Berbeda dengan resorpsi tubular, sekresi
tubular melibatkan proses transpor aktif. Suatu xenobiotik dapat juga dikeluarkan
lewat tubulus ke dalam urin dengan difusi pasif.
*Ekresi Empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi xenobiotika, terutama
untuk senyawa-senyawa dengan polaritas yang tinggi (anion dan kation), konjugat
yang terikat pada protein plasma, dan senyawa dengan berat molekul lebih besar
dari 300. Umumnya, begitu senyawa tersebut terdapat dalam empedu, mereka tidak
akan diserap kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Namun terdapat
pengecualian konjugat glukuronida, dimana konjugat ini oleh mikroflora usus dapat
dipecah menjadi bentuk bebasnya dan selanjutnya akan diserap kembali menuju
sistem sirkulasi sistemik. Peran pentingnya ekskresi empedu telah ditunjukkan oleh
beberapa percobaan, dimana toksisitas dietilstibestrol meningkat 130 kali pada
tikus percobaan yang saluran empedunya diikat.
*Ekresi Paru-paru
Zat yang pada suhu badan berbentuk gas terutama diekskresikan lewat paru-paru.
Cairan yang mudah menguap juga mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang
sangat mudah larut lemak seperti kloroform dan halotan mungkin diekskresikan
sangat lambat, karena mereka tertimbun dalam jaringan lemak dan karena
keterbatasan volume ventilasi. Ekskresi xenobiotika melalui paru-paru terjadi
secara difusi sederhana lewat membran sel.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan hasil pencarian yang telah dilakukan maka dapat ditarik
kesimpulannya yakni adalah :
1. Toksikokinetik / farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari kinetika zat
toksik atau pengaruh tubuh terhadap zat toksik. Proses yang sering disingkat
dengan Adme, yaitu : distribusi, metabolisme, dan eksresi.
2. Toksokokinetik melibatkan proses invasi (masuknya xenobiotika ke tubuh),
trasportasi dan distribusi (pergerakan xenobiotika di dalam tubuh), serta
proses eliminasi (proses hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh.
xenobiotika mengasilkan efek), efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi
xenobiotika pada reseptor, dan durasi dari efek farmakodinamiknya
3. Faktor yang mempengaruhi Distribusi Xenobiotik di dalam tubuh adalah :
faktor biologis dan faktor sifat molekul dari xenobiotik itu sendiri
4. Biotransformasi merupakan suatu proses yang umumnya mengubah
senyawa asal menjadi metabolit. Di dalam kasus tertentu metabolit dapat
bersifat lebih toksik daripada senyawa asalnya. Reaksi semacam ini dikenal
sebagai “bioaktivasi”
5. Sistem ekskresi pada manusia adalah sistem yang bertugas untuk mengolah
dan membuang zat sisa metabolisme dan racun dari dalam tubuh. Jika tidak
dikeluarkan dari tubuh, zat-zat tersebut dapat menimbulkan sejumlah
masalah kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, W., (2012). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan,
Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Chipley, J.R. (2005). Sodium Benzoate and Benzoic Acid in Antimicrobials in
Foods, ed. P. M. Davidson, et. al, CRC Press, New York.
Davidson, P. M. dan A. L. Branen. (2005). Antimicrobials in Food 3rd edition. CRC
Press Taylor&Francis Group, Boca Raton
Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.
Flanagan, R.J., Brathwaite,R.A., Brown, S.S., Widdop,B., de Wolff,F.A., (1995).
Basic Analytical Toxicology, World Health Organization, Geneva.
Ford, M.D., Delaney, K.A., Ling, L.J., Erickson,T., (2001). Ford: Clinical
Toxicology, 1 st ed., 2001 W. B. Saunders Company.

Anda mungkin juga menyukai