Anda di halaman 1dari 9

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOKSISITAS RACUN

DALAM TUBUH

Toksikologi merupakan ilmu antar bidang, yang ruang lingkup pokok kajiannya
digolongkan menjadi toksikologi lingkungan, ekonomi, dan kehakiman ( forensik ). Untuk
memahami permasalahan toksikologi, diperlukan pengetahuan tentang pemahaman
terhadap asas umum toksikologi, aneka kondisi atau faktor- faktor yang mempengaruhi
ketoksikan racun, mekanisme wujud sifat efek toksik racun, tolok ukur toksikologi, dan
asa umum uji toksikologi. Pada dasarnya keracunan suatu senyawa diawali oleh masuknya
senyawa tersebut ke dalam tubuh, yang kemudian terdistribusi sampai ke sel sasaran
tertentu. Selanjutnya akibat interaksi antara senyawa dengan sel sasaran,menyebabkan
terjadinya gangguan fungsi, biokimia, perubahan struktur sel akibat dari wujud efek toksik
senyawa itu, misal teratogenik, mutagenik, karsinogenik, penyimpangan metabolik,
ketidaknormalan perilaku, dan lain sebagainya. Efek toksik suatu racun terjadi akibat
interaksi antar racun, dan tempat aksinya secara langsung atau tidak langsung.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai
zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu
pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh dosis, konsentrasi
racun di tempat aksi, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme,
paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sedangkan toksisitas dapat
didefinisikan sebagai segala sesuatu dari zat kiia atau obat pada organisme target yang
dapat menimbulkan atau memiliki efek yang berbahaya. (Ameria,2008). Oleh sebab itu,
pendekatan toksikologi seharusnya dapat dilihat dari berbagai efek zat kimia atas berbagai
sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia tersebut dan
berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi
antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang
harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup,
yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinamik) dan
pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini
akan lebih detail dibahas pada sub bahasan kerja toksik. Alur utama bahan toksik dapat
masuk ke dalam tubuh manusia adalah melalui saluran pencernaan atau gastrointestinal
(menelan/ingesti), paru-paru (inhalasi), kulit (topical), dan jalur parental lainnya (selain
usus/intestinal). Bahan toksik umumnya menyebabkan efek yang paling besar dan
menghasilkan respons yang palingcepat bila diberikan melaluijalur intravena (Endrinaldi,
2009).
Racun adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada
tubuh baik secara kimiawi dan biologis yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu
penyakit dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan menakisme
kerjanya dalam tubuh manusia, racun dibagi menjadi yang bekerja lokal, sistemik, dan
lokal sekaligus sistemik. Racun yang bekerja lokal dapat bersifat korosif, irritant, atau
anestetik. Racun yang bekerja sistemik biasanya mempunyai afinitas terhadap salah satu
sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis, asam oksalat, dan karbon monoksida.
Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk misalnya arsen, asam karbol, dan
garam. Racun kimia adalah zat tertentu yang memiliki efek merugikan pada jaringan
manusia, organ, atau proses biologi. Sedangkan toksisitas merujuk pada sifat- sifat zat
kimia yang menggambarkan efek sampingyang mungkin dialami manusia akibat kontak
kulit atau mengkonsumsinya.
Efek dari toksik pada manusia dapatdiklasifikasikan sebagai efek akut dan efek
kronis. Jika ada respon yang cepat dan serius dengan dosis tinggi tapi berumur pendek dari
racun kiia maka disebut efek akut. Racun akut akan mengganggu proses fisiologis yang
menyebabkan berbagai gejala gangguan, dan bahkan menyebabkan kematian jika
gangguan tersebut cukup parah. Efek kronis cenderung menghasilkan racun dengan
dosis rendah selama periode yang relatif lama Toksisitas akut relatif mudah untuk
mengukur. Efek racun pada toksisitas akut cukup tinggi pada tingkat fungsi tubuh,
bersifat jelas dan cukup konsisten di individu dan spesies. Untuk bahan kimia yang
berbeda, tingkat ini sangat bervariasi. Di beberapa tingkat hampir semuanya beracun, dan
perbedaan antara beracun dan non beracun adalah masalah derajat. Adapun faktor- faktor
yang mempengaruhi tingkat keracunan toksik terhadap tubuh yaitu Faktor Biotik dan
Faktor Abiotik.

2.1 Cara Kerja Dan Efek Toksik


Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika,
biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya
dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase toksodinamik.
Dalam menelaah interaksi xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek
yang perlu diperhatikan, yaitu: kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme
terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai
suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek
toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal
dengan fase toksokinetik (Wirasuta, 2007).
1. Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada
umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah
xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk
terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam
konstek pembahasan efek obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase
farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat,
kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di tempat kontaknya. Sehingga
zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik. Fase ini
sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan farmasi.
2. Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika
berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk
diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut
akan bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke
tempat kerja toksik (reseptor). Pada saat yang bersamaan sebagian molekul
xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal,
melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya.
3. Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja
toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang
bolak-balik (reversibel). Hal
ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika
tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor).

2.2 Faktor – Faktor Biotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam


Tubuh Jenis Kelamin :
Pada umumnya racun pestisida atau racun lainnya lebih tahan kepada jenis kelamin wanita
daripada yang berjenis kelamin laki – laki. Hal ini dikarenakan yang berjenis kelamin
wanita biasanya memiliki lemak yang lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin laki –
laki , sehingga bahan – bahan racun dapat terikat dalam lemak.

Umur :
Kaum lanjut usia dan anak – anak biasanya lebih peka terhadap racun daripada usia orang
– orang dewasa. Jadi biasanya pada saat sakit anak – anak diberi dosis obat yang lebih
rendah ari usia dewasa. Selain itu masalah yang paling bahaya yatu tentang Cd seperti
menghirup debu halus cadmium yang dapat menyebabkan peneumonitis, pembengkakakn
paru – paru (pulmonary edema) dan kematian (Hayes,2007).

Berat badan dan ukuran :


Semakin tinggi dosis obat atau racun dan semakin besar atau berat hewan merupakan
prinsip dari farmakologi. Untuk ukuran kg per berat badan bisanya diukur menggunakan
ukuran dosis seperti LD50. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada serangga ,
menujukkan bahwa semakin besar ukuran badan atau semakin berat badan dari serangga
maka semakin tinggi dosis yang digunakan, hal ini dimaksudkan bahwa dosis yang
dibutuhkan akan semakin tinggi apabila tinggi berat badan hewan semakin berat. Semakin
beracun bahan kimia tersebut, makan semakin rendah LD50 makan paparan terhadap
manusia pun semakin parah. Pada seseorang yang mengalami penyakit Alzheimer akan
meningkat pada unsur tembaga bebas (Brewer,2010)

Makanan :
Cacing Trichinella spp. dan Tanea spp. yang menyebabkan penyakit – peyakit seperti
Trichinelosis dan Taeniasis. Cacing - cacing tersebut dapat hidup dalam daging babi,
dikenal dengan sebtan cacing babi, sedangkan cacing yang hidup dalam daging sapi adalah
Taenia spp. dikenal dengan sebutan cacing sapi. Seseorang akan menjadi kurus dan tidak
sehat apabila mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi, sehingga dapat
terkenan serangan pathogen penyakit atau zat racun.
Kesehatan :
Potensialitas racun yang dimakan dapat ditentukan oleh kesehatan seseorang juga. Bisanya
orang yang sehat lebih tahan terhadap racun dibandingkan dengan orang yang tidak sehat
(lemah). Kekurangan vitamin A, dapat dihubungkan dengan kerancunan arensik, sehingga
dapat mengakibatkan buta malam (night blindes).
Faktor intrinsik makhluk hidup
Kardiovaskuler merupakan suatu sistem yang kompleks melibatkan beberapa organ utama
yaitu jantung, pembuluh darah, ginjal, maupun sistem saraf pusat dan otonom.. Selain
faktor keadaan fisiologis diatas, terdapat beberapa uraian tentang keadaan fisiologis yang
belum tercakup dalam uraian tersebut meliputi :
a. Kapasitas Fungsional Cadangan
Pada dasarnya untuk melakukan berbagai fungsi, aneka ragam organ tubuh memiliki
kapasitas cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya. Untuk mengukur fungsi
organ tersebut biasanya melibatkan satu atau lebih bentuk uji terhadap kerusakan pada
organ hidup yang disebabkan oleh zat kimia. Karena telah dinyatakan bahwa sebagian
besar organ dapat dirusak sebelum kapasitas cadangannya berkurang cukup banyak untuk
mendorong terjadinya gangguan fungsionalnya, maka mungkin sekali terjadi bahwa uji
fungsi yang dilakukan tidak akan memperlihatkan kerusakan karena zat kimia yang
sedikit. Sepanjang organ tersebut masih mempertahankan kapasitas (kelebihan) cadangan
untuk melakukan keseluruhan fungsinya, maka organ melangsungkan fungsinya pada
tingkat maksimal.
Pada berbagai daerah diseluruh organ itu, kadar akhir terkait zat kimia besarnya
berbeda – beda. Untuk tidak bermateri, untuk meningkat, atau menghambat perpindahan
zat kimia yang dimaksud melewati organ, hal ini tergantung atas kemampuan
membrannya. Jika pada satu kesempatan organ tersebut dicerca dengan kadar toksis
minimal suatu zat kimia asing, maka diharapkan untuk tidak akan memperlihatkan
keseluruhan toksisitasnya, selama jangka waktu yang panjang akan menimbulkan suatu
akibat cercaan yang berkesinambungan oleh kadar zat kimia yang sama. Misalnya dengan
cara pemedahan atau secara kimia 50 % hati anjing dapat dirusak. Paling tidak dalam
memenuhi persyaratan minimalnya, anjing dapat bertahan hidup karena sisa hati yang
tidak terusak oleh zat kimia dapat melakukan fungsi normal. Karena organ memiliki
kapasitas fungsi cadangan yang hanya digunakan dalam kondisi mendesak maka keadaan
tersebut dapat terjadi. Keadaan ini dapat merugikan jika dipandang dari segi toksikologi.
Menapa demikian? Ketoksikan racun dapat ditutupi karena adanya fungsional cadangan.
Sebagai contoh Seseorang terpapar dengan Aflatoksin B1 yang mencemari makanan, maka
kemungkinan wujud efek toksik aflatoksik yaitu nekrosis sel hati, yang pada awalnya tidak
nampak dan tidak terdeteksi. Hal ini dikarenakan berfungsinya hati secara normal sebagai
kapasitas fungsional cadangan menyebabkan berbagai gejala klinis tidak Nampak. Efek
toksik aflaktoksin tersebut akan nampak apabila kerusakan sudah meluas dan
menyebabkan kapasitas fungsional cadangan hati tidak dapat menopang fungsi normal hati
kembali. Sehingga jelas bahwa kapasitas cadangan akan menutupi ketoksikan suatu racun.
b. Penyimpanan Racun Dalam Diri Makhluk Hidup
Bila zat kimia masuk kedalam sistem sirkulasi, maka zat itu harus dieliminasi dari
sistem sirkulasi itu sebelum makhluk hidup bebas dari zat kimia. Apabila zat kimia
tersebut ada sebagai gas pada suhu tubuh dalam bentuk larutan, maka zat tersebut akan
muncul didalam udara yang dihembuskan pada pernafasan makhluk hidup, dan bila
merupakan suatu senyawa yang tak menguap, maka mungkin melalui sistem kencing,
keringat, ataupun ludah yang melibatkan ekskresi oleh ginjal.
Zat kimia yang di metabolisme dan dideposit didalam lemak mengalami rentang
kehidupan yang pendek dalam darah dan jaringan tak berlemak. Hal ini terjadi karena zat
kimia yang berada didalam darah dengan segera mengalami perubahan menjadi bentuk
takanestesia dan sisanya dideposit didalam lemak. Kemudian agar darah tetap secara
esensial bebas dari kadar efektifnya maka zat kimia segera diubah menjadi bentuk obat tak
aktif pada saat obat menyebar dari lemak kedalam darah
Pada umumnya pemejaan tunggal suatu organisme eksperimental dengan zat kimia
tertentu menghasilkan pengambilan zat kimia tersebut oleh organisme dan selanjutnya
terjadi eliminasi dari organisme itu. Mekanisme, pengikatan, dan penyimpanan yang
tersedia bagi zat kimia tersebut didalam organisme akan mempengaruhi laju eliminasi oleh
zat kimia tersebut.
Di dalam tubuh terdapat gudang penyimpanan senyawa yang masuk kedalam tubuh
misalnya protein, lemak, dan tulang. Bagi racun yang bersifat sangatlipofil dan tidak atau
sulit termetabolisme, cenderung ditimbun dalam jaringan yang kaya akan lemak, sehingga
racun akan sulit dikeluarkan dari tubuh. Selain itu karena mobilisasi racun dari gudang
penyimpanan ke sirkulasi darah, memungkinkan terjadinya pelepasan racun dan meyebar
ke tempat aksi tertentu. Efek toksik yang tidak diharapkan akan terjadi apabila kadar racun
di tempat aksi melebihi harga KTMnya. Keadaan ini dapat terjadi bila gudang
penyimpanan telah terpenuhi oleh racun, mengingat makanan dikonsumsi setiap hari
sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi racun dalam gudang penyimpanan. Contoh
klasiknya ialah penumpukan insektisida DDT dan senyawa pelunak dietilftalat. Kecuali
lemak, tempat pengikatan tak khas atau gudang penyimpanan lainya adalah tulang, enzim,
dan protein. Tempat deposisi, adsorpsi dan reaksi zat kimia ini, membatasi kemampuan
tubuh untuk mengekskresikan racun dari tubuh. Oleh karena itu penyimpanan racun di
dalam tubuh dapat mengurangi atau meningkatkan ketoksikan racun.
Faktor Genetika
Enzim, reseptor, atau protein dapat berupa tempat aksi racun. Tempat aksi racun dapat
berupa enzim, reseptor, atau protein. Menurut ciri khas model genetika masing-masing
anggota populasi makhluk hidup Enzim dan protein nirenzim ada di dalam tubuh, maka
apabila kekurangan jumlah atau ketidaksempurnaan molekul enzim dapat menyebabkan
cacat genetika dalam anggota suatu jenis makhluk hidup. Ketoksikan racun dapa
berdampak negatif atau positif akibat adanya cacat genetika ini. Misalnya racun di dalam
tubuh oleh enzim dimetabolisme menjadimetabolit yang kurang toksik daripada zat kimia
induknya. Bila suatu makhluk hidup mengalami cacat genetika, ketidak-sempurnaan
molekul enzim yang terlibat dalam metabolisme racun menyebabkan terbentuknya
metabolit tak toksik jauh lebih sedikit daripada yang terbentuk pada individu normal.
Akibatnya makhluk hidup tersebut akan lebih rentan terhadap ketoksikan racun. Dalam hal
ini, cacat genetika memberikan dampat negatif. Sebaliknya apabila metabolit racun
yangterbentuk bersifat toksik, maka makhluk hidup tersebut justru akan terhindar
dariketoksikan racun. Karena jumlah metabolit toksik yang terbentuk jauh lebihsedikit
daripada individu normal. Dalam hal ini, cacat genetika berdampak positif. Cacat genetika
pada sistem pemetabolisme xenobiotika atau tempat aksitertentu, memungkinkan
timbulnya dampak negatif bagi individu terhadapketoksikan racun. Hal ini dapat terjadi
karena penumpukan xenobiotika ataupun perubahan kerentanan tempat aksi racun.
Jadi akibat dari cacat genetika dapat berdampak negative atau positif bagi individu
terhadap ketoksikan racun : Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan
individu resisten terhadap ketoksikan suatu racun. Sebaliknya dikatakan berdampak
negatif bila cacat genetika menyebabkan individu lebih rentan terhadap ketoksikan racun
tertentu.

2.3 Faktor Abiotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam Tubuh


Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi toksisitas racun dalam tubuh adalah
sebagai berikut (Dantje, 2015).
1. Suhu
Secara umum, kecepatan reaksi kimia menjadi dua kali lipat dengan meningkatnya
suhu sebesar 100C meskipun dalam kenyataannya peningkatan suhu tersebut tidak
hanya dua kali lipat, tetapi ada yang tiga bahkan empat kali lipat. Dilaporkan juga
bahwa memasak buncis merah dengan suhu 800C akan meningkatkan toksisitas racun
lektin lima kali lebih tinggi dari kacang segar. Bakteri dapat dikelompokkan dalam
empat kategori menurut suhu pertumbuhannya, yaitu bakteri psikrofil yang hidup pada
suhu rendah (0-200C), seperti Flavobacterium sp., psikrotrof pada suhu 20-400C
seperti Listeria sp., mesofil pada suhu 40- 600C seperti Escherichia sp. dan termofil
yang hidup pada suhu 60-800C seperti Thermus sp. Manakala suatu jenis bakteri hidup
pada suhu yang berbeda dengan suhu normal untuk pertumbuhannya, maka sifat
racunnya akan menjadi tawar ataupun hilang sama sekali.
2. Kelembaban
Mikotoksin yang berasal dari makanan yang dapat mengganggu kesehatan manusia di
negara- negara sedang berkembang beriklim tropis adalah fumonisins dan aflatoxins
tetapi kurang di negara-negara yang tidak beriklim tropis. Hal ini disebabkan oleh
karena jamur-jamur Aspergillus sp dan jamur-jamur lainnya berkembang dengan baik
di daerah yang memiliki kelembaban dan suhu tinggi. Pada umumnya jamur akan
berkembang dengan baik pada kelembaban yang tinggi tetapi sulit berkembang bila
kelembaban rendah atau kering.
3. Curah Hujan
Curah hujan akan mempengaruhi toksisitas racun terutama pestisida bila diaplikasikan
untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman pertanian. Bila sesudah
penyemprotan terjadi hujan, maka deposit pestisida akan diencerkan oleh adanya
tambahan air sehingga konsentrasi
racun berkurang atau racun tersebut tercuci dan jatuh ke tanah. Air hujan dapat
engencerkan senyawa-senyawa racun dalam tanah.
4. Cahaya
Kebanyakan hewan biasanya aktif pada waktu siang tetapi tidak aktif pada waktu
malam (nocturnal). Contohnya ular Malaya, Bungarus candidus adalah yang paling
mematikan dalam spesies ini. Ular ini bersifat sangat agresif bila dalam gelap untuk
menghasilkan racun yang sangat mematikan bagi saraf.
5. Angin
Sama halnya dengan air hujan, maka angin akan mempengaruhi racun pestisida bila
diaplikasikan dalam cuaca berangin. Butiran-butiran atau cairan pestisida yang
disemprotkan ke tanaman akan diterbangkan oleh angin dan secara langsung
mengencerkan konsentrasi atau dosis pestisida.
6. Faktor-faktor Kimia/Fisika
Di lingkungan kita terdapat berbagai macam bahan kimia yang tanpa kita sadari secara
langsung atau tidak langsung akan memberi pengaruh terhadap tubuh kita. Dari
banyaknya bahan kimia yang ada, kandungan senyawa kimia yang satu dengan yang
lain dapat dibedakan dengan melihat sifat kimia-fisika dan struktur kimianya.
Contohnya metanol dan etanol. Kedua senyawa ini sama turunan dari alkohol dan
memiliki sifat fisika dan kimia hampir sama salah satunya yaitu cairan tidak berwarna
dah mudah menguap, tetapi efek toksik yang dihasilkan antara keduanya lebih toksik
metanol. Struktur kimia dari metanol CH3OH dan etanol C2H5OH. Adapun beberapa
faktor kimia/fisika yang dapat mempengaruhi toksik antara lain :
a. Oksigen
Semua hewan dan tumbuhan bertumbuh dan berkembang dalam kondisi aerob
dimana terdapat kadar oksigen yang cukup. Tanpa oksigen mereka akan mati.
Namun terdapat mikroorganisme seperti bakteri Clostridium botulinum yang
hanya dapat hidup dan menghasilkan racun botulism dalam kondisi anaerob
atau tanpa oksigen. Meskipun bakteri inimungkin dapat hidup dalam kondisi
oksigen yang sangat minim, tetapi hanya dapat menghasilkan racun dalam
kondisi yang benar-benar tanpa oksigen.
b. Ionisasi
Di dalam tubuh terdapat aneka ragam membran biologi yang merupakan
penghalang bagi translokasi zat beracun yang memiliki sifat fisika-kimia yang
khas. Senyawa yang tak polar (misalnya etanol), ternyata mampu melintas
semua membran biologi dengan cepat. Ketidakpolaran suatu senyawa, salah
satunya ditentukan oleh tingkat ionisasinya di dalam larutan. Karena itu,
tingkat ionisasi racun dalam larutan merupakan salah satu penentu
kemampuannya melintas membran dan translokasinya dalam tubuh. Sebagian
besar toksik berupa asam atau basa organik lemah. Karena itu, hanya bentuk
tak-terionkan saja yang mudah larut di dalam lipid sehingga translokasinya di
dalam tubuh akan lebih mudah (Eddy, 2008).
c. pH
Kebanyakan racun berfungsi dalam kondisi pH normal yaitu 6-7,5. Namun
terdapat patogen mokroorganisme yang aktif dan menghasilkan racun pada
kondisi asam, yaitu pada pH dibawah 4,5 atau sebaliknya pH di atas 7,5 dalam
kondisi basa. Namun bakteri Salmonela sp. yang sangat beracun pada manusia
biasanya tumbuh pada suhu optimum 370C tetapi dapat juga tumbuh sampai
pada suhu 540C serta dapat tumbuh dalam makanan pada suhu 2-4 0C dengan
pH optimum 6,5 sampai dengan 7,5.
d. Formulasi racun
Faktor yang penting terutama untuk jenis pestisida yang digunakan dalam
pengendalian hama atau vektor penyakit adalah formulasi racun tersebut.
Pestisida biasanya diformulasi dalam bentuk debu, granular atau pelet, tepung,
tepung embus, pekatan emulsi, cairan yang dapat mengalir, perekat, aerosol,
fumigan, campuran pestisida dengan pupuk, dan lain sebagainya. Bentuk debu
dan gas sering jauh lebih membahayakan bagi kesehatan manusia daripada
bentuk-bentuk lainnya. Debu dan gas kadmium contohnya. Akan sangat
membahayakan kesehatan manusia yaitu dapat mengakibatkan peneumonia
dan pembengkakan paru-paru. Demikian halnya dengan debu kromium yang
dapat mengakibatkan kanker bagi para pekerja dalam pabrik- pabrik yang
menggunakan kromium. Lain halnya dengan pestisida bentuk cair yang harus
lewat mulut atau kulit untuk dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.
Tungau debu rumah, Dermatophagoides sp. dapat mengakibatkan alergi atau
dermatitis pada manusia. Rumah-rumah yang berdebu dan yang kurang
dibersihkan akan mengumpulkan debu dan menjadi sarang bagi pertumbuhan
dan perkembangan tungau debu rumah.

Faktor kimia merupakan interaksi bahan kimia didalam tubuh dan menimbulkan efek.
Efek yang terjadi dapat dibedakan dalam :
a. Efek aditif yakni pengaruh yang saling memperkuat akibat kombinasi dari dua
zat kimia atau lebih.
b. Efek sinergi yaitu suatu keadaan dimana pengaruh gabungan dari dua zat kimia
jauh lebih besar dari jumlah masing-masing efek bahan kimia.
c. Potensiasi yaitu apabila suatu zat yg seharusnya tidak memiliki efek toksik
akan tetapi apabila zat ini ditambahkan pada zat kimia lain maka akan
mengakibatkan zat kimia lain tersebut menjadi lebih toksik.
d. Efek antagonis yakni apabila dua zat kimia yg diberikan bersamaan, maka zat
kimia yg satu akan melawan efek zat kimia yg lain.
7. Kondisi Pemejanan
Kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan, jalur pemejanan (intravaskular atau
ekstravaskular), dan takaran atau dosis pemejanan (Eddy, 2008).
1) Jenis pemejanan menurut waktu dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Akut : pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24 jam. Contohnya,
kecelakaan kerja/keracunan mendadak
b. Sub akut : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka
waktu 1 bulan atau kurang. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia
kurang dari 1 bulan.
c. Subkronik : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka
waktu 3 bulan. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia selama 1
tahun/lebih
d. Kronik : pemaparan berulang terhadap bahan kimia untuk jangka waktu lebih
dari 3 bulan. Misalnya, bekerja untuk jangka waktu lama dengan bahan
kimia.
2) Jalur pemejanan
Pada dasarnya zat beracun dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur
intravaskular (misal: intravena, intrakardial, intraarteri) atau ekstravaskular
(misal: oral, inhalasi, intramuskular, subkutan, intraperitoneal, rektal).
Selanjutnya untuk dapat sampai ke sirkulasi sistemik, zat beracun selanjutnya
mengalami disposisi ke cairan atau jaringan
tubuh. Disposisi mencakup dua peristiwa, yakni distribusi dan eliminasi. Adanya
peristiwa distribusi, memungkinkan zat beracun ( dalam bentuk utuh) mencapai
sesuatu sel atau jaringan sasaran ( reseptor atau tempat aksi ). Di sel sasaran ini,
secara langsung atau tak langsung, zat beracun tadi melakukan interaksi, yang
akibatnya berupa timbulnya sesuatu efek toksik yang tak di inginkan. Pada sisi
lain, zat beracun mengalami eliminasi, yakni langsung diekskresikan ke luar
tubuh atau mengalami metabolisme terlebih dahulu sebelum di ekskresikan.
Meskipun demikian, hasil metabolisme sesuatu zat beracun, tidak selalu bersifat
tak aktif (tidak toksik ). Adakalanya, metabolit toksik ini, mungkin mengalami
redistribusi, sehingga dapat mencapai sel tertentu, dan menimbulkan efek toksik.
Bila demikian, yang bertanggung jawab terhadap timbulnya efek toksik zat
beracun, adalah zat kimia utuhnya atau bentuk metabolitnya. Dan peristiwa ini
terjadi melalui serangkaian proses : absorpsi, distribusi, dan eliminasi. Ketiga
proses inilah yang menentukan keberadaan zat beracun di dalam sel sasaran.
Dengan demikian, ketiga proses ini pulalah yang menentukan toksisitas sesuatu
zat beracun (Eddy, 2008).
3) Dosis pemejanan
Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis atau pemberian yang salah.
Pengujian LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang
akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dengan takaran tertentu.
Pada pengujian toksisitas akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan yang
dapat menyebabkan kematian hewan percobaan. Mutschler dalam Supriyono
2007, kisaran nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu
zat. Semakin besar kisaran LD50 semakin besar pula kisaran toksisitasnya. Suatu
toksikan akan mengalami proses librasi yaitu penghancuran sediaan di saluran
pencernaan. Toksikan kemudian akan diabsorbsi oleh darah dan limfe serta
didistribusikan ke seluruh tubuh. Toksikan akan mengalami proses
toksikodinamik didalam sel. Toksikodinamik adalah proses reaksi antara toksikan
dan reseptor. Biotransformasi terjadi setelah terjadinya reaksi toksikan dengan
reseptor. Biotransformasi akan menghasilkan zat baru. Zat baru yang dihasilkan
dapat bersifat lebih toksik atau kurang toksik dari sebelumnya. Zat baru yang
kurang toksik dari sebelumnya mengakibatkan terjadinya detoksikasi sedangkan
zat baru yang lebih toksik dapat menimbulkan gangguan fungsi sel.

Anda mungkin juga menyukai