Anda di halaman 1dari 7

TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

“Toksikokinetik dan Toksikodinamik”

Di Susun Oleh :
Merlin M. Pentury
Martini Y. Oroh
Maria Muaja

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PASCASARJANA UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
TOKSIKOKINETIK DAN TOKSIKODINAMIK
Pada umumnya efek berbahaya timbul apabila terjadi interaksi antara zat kimia (tokson
atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam
mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu kerja tokson pada suatu
organisme (aspek toksodinamik) dan pengaruh tokson terhadap organisme (aspek toksokinetik) .
Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, dan
biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase
yaitu: fase eksposisi, fase toksokinetik dan fase toksodinamik.

Gambar 1. Diagram proses kerja toksik (Mutschler, 1999)

1. Fase Toksikokinetik
Toksokinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada dalam
ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran
darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe
didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor). Pada saat yang bersamaan
sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal,
melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya. Pada umumnya tokson
melintasi membrane saluran pencernaan menuju sistem sistemik dengan difusi pasif, yaitu transpor
dengan perbedaan konsentrasi sebagai daya dorongnya (Wirasuta, 2006).
A. Absorbsi

Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak (paparan) menuju
sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah xenobiotika
yang mencapai sistem sirkululasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson dapat terabsorpsi
umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular. Absorpsi sistemik
tokson dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomic dan fisiologik tempat
absorpsi (sifat membrane biologis dan aliran kapiler darah tempat kontak), serta sifat-sifat fisiko-
kimia tokson dan bentuk farmseutik tokson (tablet, salep, sirop, aerosol, suspensi atau larutan).
Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit (Wirasuta, 2006).

B. Distribusi

Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama darah akan diedarkan/
didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik ia akan terdistribusi lebih jauh
melewati membran sel menuju sitem organ atau ke jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu
xenobiotika di dalam tubuh dapat pandang sebagai suatu proses transpor reversibel suatu
xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain di dalam tubuh. Guna mempermudah pengertian
tentang proses distribusi, para ahli farmakokinetik menggambarkan tubuh terdiri dari beberapa
ruang distribusi, yang didukung oleh model sederhana. Model yang paling sederhana untuk itu
adalah model kompartimen tunggal. Dimana pada model ini tubuh dipandang sebagai satu ruang
yang homogen (seperti satu ember besar), dalam hal ini distribusi xenobiotika hanya ditentukan
oleh daya konveksi di dalam ember. Namun pada kenyataannya, agar xenobitika dapat
ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel pada jaringan tubuh, haruslah
melewati membran biologis, yaitu membran yang menyeliputi sel-sel di dalam tubuh. Transpor
transmembran dapat berlangsung melalui proses difusi pasif, difusi terpasilitasi, difusi aktif, filtrasi
melalui poren, atau proses fagositisis. Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi
oleh: tercampurnya xenobiotika di dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor transmembran
(Wirasuta, 2006).
C. Eliminasi

Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang dimaksud proses
eliminasi adalah proses hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh organisme. Eliminasi suatu
xenobiotika dapat melalui reaksi biotransformasi (metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melalui
ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya (kelenjar keringan, kelenjar mamai,
kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang paling penting adalah eliminasi melalui hati
(reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal (Wirasuta, 2006).

D. Eksresi

Setelah diabsorpsi dan didistrubusikan di dalam tubuh, xenobiotika/tokson dapat


dikeluarkan dengan capat atau perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam bentuk asalnya
maupun sebagai metabolitnya. Jalus ekskresi utama adalah melalui ginjal bersama urin, tetapi hati
dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting bagi tokson tertentu. Disamping itu ada juga
jalur ekskresi lain yang kurang penting seperti, kelenjar keringan, kelenjar ludah, dan kelenjar
mamae (Wirasuta, 2006).

E. Konsentrasi Plasma

Sifat dan intensitas efek suatu tokson di dalam tubuh bergantung pada kadar tokson di tempat
kerjanya. Umumnya konsentrasi tokson di tempat organ sasaran merupakan fungsi kadar tokson
di dalam darah (plasma). Namun, sering dijumpai kadar tokson di organ sasaran tidak selalu sama
dengan kadarnya di darah. Apabila terjadi ikatan yang kuat antara jaringan dengan tokson, maka
konsentrasi tokson pada jaringan tersebut umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan di
darah(Wirasuta, 2006).
DDT adalah salah satu tokson yang bersifat sangat lipofil, dia akan terikat kuat ”terdeposisi”,
sehingga jaringan lemak merupakan depo. Ini berarti konsentrasi di jaringan akan lebih tinggi dari
pada di darah, selanjutnya dia akan terlepas secara perlahanlahan. Penetapan konsentrasi tokson
di darah umumnya lebih mudah diukur dibandingkan di jaringan, terutama pada jangka waktu
tertentu, oleh sebab itu konsentrasi di darah ”plasma” yang sering digunakan dalam penelitian
toksokinetik (Wirasuta, 2006).
2. Fase Toksodinamik

Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan
juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik. Interaksi tokson-
reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan
perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya
(reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel)
antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara
xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersifat irreversibel
atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari
xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini mengakibatkan luka
kimia pada substrat biologi. Efek irrevesibel diantaranya dapat mengakibatkan kerusakan sistem
biologi, seperti: kerusakan saraf, dan kerusakan sel hati (serosis hati), atau juga pertumbuhan sel
yang tidak normal, seperti karsinoma, mutasi gen (Wirasuta, 2006).

A. Interaksi tokson dengan reseptor

Interaksi obat-reseptor umumnya dapat disamakan dengan prisip kunci-anak kunci. Letak
reseptor neuro(hormon) umumnya di membrane sel dan terdiri dari suatu protein yang dapat
merupakan komplemen ”kunci” daripada struktur ruang dan muatan-ionnya dari hormone
bersangkutan ”anak-kunci”. Setelah hormonditangkap dan terikat oleh reseptor, terjadilah
interaksi yang mengubah rumus dan pembagian muatannya. Akibatnya adalah suatu reaksi dengan
perubahan aktivitas sel yang sudah ditentukan (prefixed) dan suatu efek fisiologik. Konsep interaksi
kunci-anak kunci telah lama digunakan untuk menjelaskan interaksi enzim dengan subtratnya.
Beberapa efek toksik suatu tokson muncul melalui mekanisme interaksi tokson dengan enzim, baik
dia menghambat atau memfasilitasi interaksi tersebut, yang pada akhirnya akan menimbulkan efek
yang merugikan bagi organisme (Wirasuta, 2006).

B. Mekanisme kerja efek toksik


Bila memperhatikan kerumiatan sistem biologi, baik kerumitan kimia maupun fisika, maka
jumlah mekanisme kerja yang mungkin, praktis tidak terbatas, terutama sejauh ditimbulkan efek
toksik. Pada kenyataanya kebayakan proses biokimiawi di dalam tubuh organisme berlangsung
melalui peranata enzim atau kebanyakan kerja biologi disebabkan oleh interaksi dengan enzim.
Seperti pada reaksi biotransformasi umumnya tidak akan berlangsung tanpa pertolongan sistem
enzim, disamping itu beberapa transpor sinyal divasillitasi oleh sistem enzim. Interaksi
xenobiotika terhadap enzim yang mungkin dapat mengakibatkan menghambat atau justru
mengaktifkan kerja enzim. Tidak jarang interaksi xenobiotika dengan sistem enzim dapat
menimbulkan efek toksik. Inhibisi (hambatan) inhibisi enzim dapat menimbulkan blokade fungsi
saraf (Wirasuta, 2006).

Kesimpulan
1. Toksokinetik merupakan suatu respon atau pengaruh tokson (zat toksik) terhadap organisme.
Sedangkan toksodinamik merupakan mekanisme atau cara kerja tokson pada suatu
organisme.
2. Fase toksokinetik meliputi proses Absorbsi, Distribusi, Eliminasi, Eksresi dan Konsentrasi
Plasma. Sedangkan fase toksodinamik meliputi proses Interaksi tokson dengan reseptor dan
Mekanisme kerja efek toksik

Saran
Diharapkan dapat dilakukan dan ditingkatkan penelitian tentang toksikologi khusunya
tentang efek dari berbagai macam tokson yang membahayakan organisme khususnya
kehidupan manusia.

REFERENSI :

Mutschler.1999. Arzneimittelwirkungen: Lehrbuch der Pharmakologie un Toxikologie; mit


einführenden Kapiteln in die Anatomie, Phyiologie und Pathophysiologie. Unter mitarb.
Von Schäfer-Korting. -7völlig neu bearb. und erw. Aufl., Wiss. Verl.-Ges., Stuttgart.
Sudrajat.2011.Toksikokinetika Racun. FMIPA UNMUL.
Wirasuta, Made A.G. Niruri, Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum. Buku Ajar. FMIPA Universitas
Udayana.

Anda mungkin juga menyukai