Anda di halaman 1dari 23

1) TREMATODA

1. Schistosoma japonicum
a) Etiologi penyebab (klasifikasi, siklus hidup, morfologi)
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma japonicum

2. Morfologi

Cacing dewasa menyerupai Schistosoma mansoni dan S. haematobium akan


tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation. Cacing jantan, panjang 12-
20 mm, diameter 0,50-0,55 mm, integument ditutupi duri-duri sangat halus
dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis ginekoporik,
memiliki (6-8) buah testis. Cacing betina, panjang ± 26 mm dengan diameter ±
0,3 mm. Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria
terbatas di daerah lateral ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran
yang panjang dan urus berisi 50-100 butir telur.

Telur berhialin, subsperis atau oval dilihat dari lateral, dekat salah satu kutub
terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol);
berukuran (70-100) × (50-65) m. khas sekali, telur diletakkan dengan
memusatkannya pada vena kecil pada submukosa atau mukosa organ yang
berdekatan. Tempat telur s. japonicum biasa pada percabangan vena
mesenterika superior yang mengalirkan darah dari usus halus (Natadisastra,
2005).

Telur-telur cacing Schistosoma japonicum lebih besar dan lebih bulat


disbanding jenis lainnya, berukuran panjang 70 – 100 mm dan lebarnya 55 –
64 mm. Tulang belakang di telur S. japonicum lebih kecil dan kurang
mencolok dibandingkan spesies lainnya.
3. Siklus hidup

Schistosoma hidup terutama di dalam vena mesenterika superior, di tempat ini


betina menonjolkan tubuhnya dari yang jantan atau meninggalkan yang jantan
untuk bertelur di dalam venula-venula mesenterika kecil pada dinding usus.
Telur berbentuk oval hingga bulat, dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam kulit telur. Massa
telur menyebabkan tekanan pada dinding venula yang tipis, yang biasanya
dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidium yang masih berada
di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus lumen
usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing
ditemukan di dalam pembuluh darah (Muslim, 2009).

Selanjutnya jika kontak dengan siput sesuai, larva menembus jaringan lunak
dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua sporokista. Pada
perkembangan selanjtunya dibentuk cercaria yang bercabang. Cercaria ini
dikeluarkan jika siput berada pada atau di bawah permukaan air. Dalam waktu
24 jam, cercaria menembus kulit sebagai hasil kerja kelenjar penetrasi yang
menghasilkan enzim proteolitik, menuju jalinan kapiler, ke dalam sirkulasi
vena menuju jantung kanan dan paru-paru, terbawa sampau ke jantung kiri
menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute perjalanan ini diambil oleh
schistosomula (schistosoma muda) pada migrasi mereka dari paru-paru ke
hati. Mungkin seperti S. mattheei, schistosomula merayap melawan aliran
darah sepanjang dinding A. Pulmonalis, jantung kanan, dan vena cava menuju
ke hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang
tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun. (Natadisastra, 2005).

Penetasan berlangsung di dalam air. Walaupun Ph, kadar garam, suhu, dan
aspek lainnya penting, faktor-faktor di dalam telur berperan utama dalam
proses penetesan. Migrasi Schistosoma japonicum ke dalam tubuh dimulai dari
masuknya cacing tersebtu ke dalam pembuluh darah kecil, kemudian ke
jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang migrasi biasanya
tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang terjadi
reaksi hebat, misalnya pneumonia akibat masuknya cacing ke dalam paru.
Schistosoma japonicum merupakan penyakit yang ebih berat dan destruktif
daripada penyakit yang disebabkan oleh dua spesies lain yang biasa
menginfeksi manusia (Muslim, 2009).

b) Patologi dan gejala klinis


Setelah parasit memasuki tubuh inang dan memproduksi telur, parasit
menggunakan system kekebalan inang (granuloma) untuk transportasi telur ke
dalam usus. Telur merangsang pembentukan granuloma di sekitar mereka.
Granuloma yang terdiri dari sel motil membawa telur ke dalam lumen usus.
Ketika dalam lumen, sel granuloma membubarkan meninggalkan telur untuk
dibuang dalam feses. Sayangnya sekitar 2/3 dari telur tidak dikeluarkan,
sebaliknya mereka berkembang di usus. Hal ini dapat menyebabkan fibrosis. Pada
kasus kronis, Schinostoma japonicum adalah pathogen sebagian besar spesies
Schistosoma karena memproduksi hingga 3000 telur per hari, sepuluh kal lebih
besar dari Schistosoma mansoni. (Robert et al, 2005).
Sebagai penyakit kronis, parasit ini dapat menyebabkan demam Katayama,
fibrosis hati, sirosis hati, hipertensi hati portal, spinomegali dan ascites. Beberapa
telur mungkin lewat hati dan masuk paru-paru, system saraf dan organ lain di
mana mereka dapat memengaruhi kesehatan individu yang terinfeksi. (Robert et
al, 2005).
c) Diagnosis dan pemeriksaan laboratorium
Identifikasi mikroskopis telur dalam tinja atau urin adalah metode yang paling
praktis untuk diagnosis. Pemeriksaan feses harus dilakukan ketika infeksi
S. mansoni atau S. japonicum dicurigai, dan pemeriksaan urin harus
dilakukan jika diduga terinfeksi S. haematobium. Telur dapat berada
dalam tinja pada infeksi semua spesies Schistosoma.
Pemeriksaan dapat dilakukan pada Pap sederhana (pap untuk 1 sampai
2 mg feces). Sejak telur dapat ditularkan sebentar-sebentar atau dalam jumlah
kecil, deteksi mereka akan ditingkatkan dengan pemeriksaan ulang dan atau
melakukan prosedur konsentrasi (seperti formalin - teknik etil asetat). Selain itu,
untuk melakukan survei lapangan dan tujuan yang diteliti, keluaran telur dapat
diukur dengan menggunakan teknik Kato-Katz (20 sampai 50 mg feces)
atau teknik Ritchie. Telur dapat ditemukan dalam urin pada infeksi
dengan S. haematobium (waktu yang disarankan untuk koleksi antara siang dan 3
sore) dan dengan S.japonicum. Deteksi akan ditingkatkan dengan sentrifugasi dan
dengan melakukan pemeriksaan sedimen. Kuantifikasi ini bisa dilakukan
menggunakan filtrasi melalui membran Nucleopore dari volume
standar urin diikuti oleh jumlah telur pada membran. Biopsi jaringan (biopsi
rektal untuk semua jenis dan biopsi kandung kemih untuk parasit S. haematobium)
dapat menunjukkan adanya telur ketika pemeriksaan tinja atau urin negatif.
Telur S. japonicum kecil, sehingga diagnose teknik konsentrasi mungkin
diperlukan. Biopsi sebagian besar dilakukan
untuk menguji schistomiasis kronis tanpa telur.
Tes dengan metode ELISA dapat juga dilakukan untuk menguji antibodi yang
spesifik untuk schistosomes. Hasil positif menunjukkan infeksi saat ini
atau terakhir (dalam dua tahun terakhir). Pemeriksaan ultrasonografi dapat
dilakukan untuk menilai sejauh mana morbiditas hati dan limpa terkait (Tie-Wu
Jia et al, 2007). Masalah dengan metode immunodiagnostic adalah bahwa
hanya positif waktu tertentu setelah infeksi dan mereka bisa menyeberang
atau berinteraksi dengan infeksi cacingan lainnya (Robert et al, 2005).
d) Tatalaksana
Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan prazikuantel. Selain itu dapat
juga digunakan natrium antimony tartrat. Obat lainnya tidak memberikan hasil
yang memuaskan karena sebenarnya tidak ada obat khusus untuk parasit ini. Obat-
obatan yang akan menyebabkan terlepasnya pegangan cacing dewasa pada
pembuluh darah, sehingga akan tersapu ke dalam hati oleh sirkulasi portal.
(Onggowaluyo, 2001).

2. Schistosoma mansoni
a) Etiologi penyebab (klasifikasi, siklus hidup, morfologi)
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma mansoni
2. Morfologi

Bentuk cacing dewasa seperti S. haematobium, tetapi ukurannya lebih kecil.


Cacing betina panjangnya 1.7 – 7.2 mm. Kelenjar vitelaria meluas ke pinggir
pertengahan tubuh. Ovariumnya di anterior pertengahan tubuh, uterus pendek
berisi 1 – 4 butir telur. Cacing jantan panjangnya 6.4 – 12 mm, gemuk dengan
bagian ventral terdapat ginaekoforalis, testes 6 – 9 buah dan kulit terdiri dari
duri-duri kasar. Telur berbentuk lonjong, berwarna coklat kekuning-kuningan,
dinding hyalin, berukuran 114 - 175 x 45 – 64 mikron. Pada satu sisi dekat
ujung terdapat duri agak panjang, telur berisi mirasidium. (Onggowaluyo,
2001).

3. Siklus hidup
Manusia terinfeksi oleh serkaria di air tawar melalui penetrasi pada kulit.
Serkaria masuk tubuh melalui sirkulasi vena ke jantung, paru-paru dan
sirkulasi portal. Setelah tiga minggu serkaria matang dan mencapai vena
mesenterika superior usus halus lalu tinggal disana serta berkembang biak
(Abdul Ghaffar dan Gregory Brower, 2009). Telur yang dikeluarkan oleh
cacing betina di dalam usus menembus jaringan sub mukosa dan mukosa lalu
masuk kedalam lumen usus dan keluar bersama tinja.

Telur yang berada di air tawar menetas dan melepaskan mirasidium yang
kemudian berenang bebas mencari hospes perantaranya yaitu keong. Dalam
tubuh keong mirasidium berkembang menjadi sporokista 1 dan 2 kemudian
menjadi larva serkaria yang ekornya bercabang. Serkaria selanjutnya akan
mencari hospes definitif dalam waktu 24 jam. ( Onggowaluyo, 2001).

b) Patologi dan gejala klinis

Patologi yang berhubungan dengan infeksi dengan Schistosma mansoni dapat


dibagi menjadi dua bidang utama, yaitu schistosomiasis akut dan kronis.
Schistosomiasis akut bisa disebut juga demam Katayama. Hal ini terkait dengan
timbulnya parasit betina bertelur (sekitar 5 minggu setelah infeksi), dan
pembentukan granuloma sekitar telur terdapat di hati dan dinding usus,
menyerupai hepatosplenomegali dan leukositosis dengan eosinofilia, mual, sakit
kepala, batuk, dalam kasus yang ekstrim diare disertai dengan darah, lendir dan
bahan nekrotik. Gejala kronis akan tampak beberapa tahun setelah infeksi.
Gejalanya seperti peradangan pada hati dan jarang ditemukan di organ lain (paru-
paru). (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010).

c) Diagnosis dan pemeriksaan laboratorium

Diagnosis dapat ditentukan dengan menemukan telur di dalam tinja. Beberapa


cara untuk melakukan beberapa cara seperti sediaan hapus langsung dari tinja
(metode Kato) maupun dengan cara sedimentasi (0,5 % gliserin dalam air). Bila
dalam tinja tidak ditemukan telur diagnosis dapat dilakukan dengan tes serologi,
sedangkan untuk menemukan telur yang masih segar dalam hati dan usus dapat
dilakukan dengan teknik digesti jaringan. (Onggowaluyo, 2001).

d) Tatalaksana

Natrium antimonium tartrat cukup efektif untuk pengobatan penyakit yang


diakibatkan oleh parasit ini. Stiboven dapat diberikan secara intramuskuler.
Nitridiasol juga efektif tetapi bukan sebagai obat pilihan. Obat lain yang cukup
baik diberikan pr oral adalah oksamniquin dan nitrioquinolin. (Onggowaluyo,
2001).

3. Schistosoma haematobium
a) Etiologi penyebab (klasifikasi, siklus hidup, morfologi)

1. Klasifikasi

Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma japonicum
2. Morfologi

Cacing dewasa menyerupai Schistosoma mansoni dan S. haematobium akan


tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation. Cacing jantan, panjang 12-
20 mm, diameter 0,50-0,55 mm, integument ditutupi duri-duri sangat halus
dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis ginekoporik,
memiliki (6-8) buah testis. Cacing betina, panjang ± 26 mm dengan diameter ±
0,3 mm. Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria
terbatas di daerah lateral ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran
yang panjang dan urus berisi 50-100 butir telur.

Telur berhialin, subsperis atau oval dilihat dari lateral, dekat salah satu kutub
terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol);
berukuran (70-100) × (50-65) m. khas sekali, telur diletakkan dengan
memusatkannya pada vena kecil pada submukosa atau mukosa organ yang
berdekatan. Tempat telur s. japonicum biasa pada percabangan vena
mesenterika superior yang mengalirkan darah dari usus halus (Natadisastra,
2005).

Telur-telur cacing Schistosoma japonicum lebih besar dan lebih bulat


disbanding jenis lainnya, berukuran panjang 70 – 100 mm dan lebarnya 55 –
64 mm. Tulang belakang di telur S. japonicum lebih kecil dan kurang
mencolok dibandingkan spesies lainnya.

3. Siklus hidup
Schistosoma hidup terutama di dalam vena mesenterika superior, di tempat ini
betina menonjolkan tubuhnya dari yang jantan atau meninggalkan yang jantan
untuk bertelur di dalam venula-venula mesenterika kecil pada dinding usus.
Telur berbentuk oval hingga bulat, dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam kulit telur. Massa
telur menyebabkan tekanan pada dinding venula yang tipis, yang biasanya
dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidium yang masih berada
di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus lumen
usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing
ditemukan di dalam pembuluh darah (Muslim, 2009).

Selanjutnya jika kontak dengan siput sesuai, larva menembus jaringan lunak
dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua sporokista. Pada
perkembangan selanjtunya dibentuk cercaria yang bercabang. Cercaria ini
dikeluarkan jika siput berada pada atau di bawah permukaan air. Dalam waktu
24 jam, cercaria menembus kulit sebagai hasil kerja kelenjar penetrasi yang
menghasilkan enzim proteolitik, menuju jalinan kapiler, ke dalam sirkulasi
vena menuju jantung kanan dan paru-paru, terbawa sampau ke jantung kiri
menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute perjalanan ini diambil oleh
schistosomula (schistosoma muda) pada migrasi mereka dari paru-paru ke
hati. Mungkin seperti S. mattheei, schistosomula merayap melawan aliran
darah sepanjang dinding A. Pulmonalis, jantung kanan, dan vena cava menuju
ke hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang
tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun. (Natadisastra, 2005).

Penetasan berlangsung di dalam air. Walaupun Ph, kadar garam, suhu, dan
aspek lainnya penting, faktor-faktor di dalam telur berperan utama dalam
proses penetesan. Migrasi Schistosoma japonicum ke dalam tubuh dimulai dari
masuknya cacing tersebtu ke dalam pembuluh darah kecil, kemudian ke
jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang migrasi biasanya
tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang terjadi
reaksi hebat, misalnya pneumonia akibat masuknya cacing ke dalam paru.
Schistosoma japonicum merupakan penyakit yang ebih berat dan destruktif
daripada penyakit yang disebabkan oleh dua spesies lain yang biasa
menginfeksi manusia (Muslim, 2009).

b) Patologi dan gejala klinis

Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria masuk ke dalam pembuluh darah
kulit. Lebih kurang 5 hari setelah infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena
portae dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah infeksi pematangan cacing dimulai
sejak keluarnya dari vena portae. Setelah infeksi 10-12 minggu, cacing betina
mulai meletakan telur pada venule.

Efek pathogen terdiri atas:

a. Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang sedang tumbuh dan
matang
b. Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari venule.
c. Pembentukan pseudoabses dan pseudotuberkel mengelilingi telur terbatas
pada jaringan perivaskuler

Penyakit ini seringkali tidak memperlihatkan tanda-tanda awal. Di beberapa


tempat tanda-tanda umum yang sering terlihat adalah adanya darah di dalam air
kencing atau kotoran. Pada wanita tanda ini bisa juga disebabkan oleh adanya
luka pada alat kelaminnya. Di daerah di mana penyakit ini banyak terjadi, orang
yang memperlihatkan sekedar gejala-gejala yang tidak parah atau hanya sekedar
sakit perut saja, patut diperiksa. (Sutanto, 2008)

c) Diagnosis dan pemeriksaan laboratorium

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi
hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval
precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation
test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno
sorbent assay).

d) Pengobatan

Pengobatan terbaik penyakit ini adalah dengan obat-obatan. Menemui seorang


petugas kesehatan untuk mengetahui obat apa yang harus digunakan, atau
membaca buku kesehatan umum. Luka pada alat kelamin dan adanya darah di
dalam air kencing juga merupakan tanda penyakit infeksi kelamin menular (STI =
Sexually Transmitted Infections). Banyak wanita tidak mau berobat karena takut
mereka akan dituduh mengidap penyakit STI. Jika tidak diobati akan memicu
penyakit infeksi parah lainnya dan dapat membuat wanita jadi tidak subur (tidak
dapat hamil). Obat Metrifonate, organoposforus cholinesterase inhibitor. Dosisnya
5-15 mg/ kg berat badan diberikan dengan interval 2 minggu. (Natadisastra,
2005).

2) NEMATODA
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dari gejala gejala yang timbul seperti
peradangan pada saluran dan kelenjar limfe (limfadenitis, limfangitis, retrogad) dan
adanya demam dan malaise, yang dimana mengindikasikan fase akut.
Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan identifikasi microfilaria dalam darah
melalui apusan darah tepi, cairan hidrokel/cairan kiluna pada sediaan darah tebal dan
teknik konsentrasi knoft. Dapat juga dilakukan diferensiasi spesies dan stadium
filarial menggunakan pemeriksaan DNA. Pada pemeriksaan radiologi dapat dilakukan
USG pada skrotum dan juga menggunakan limfositografi. Pemeriksaan imunologi
yang dapat dilakukan adalah penggunaan metode ELISA dan ICT
(Immunochromatographic test).

1. Wuchereria bancrofti
a) Etiologi penyebab (klasifikasi, siklus hidup, morfologi)

1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Spirurida
Famili : Onchocercidae
Genus : Wuchereria
Spesies : Wuchereria bancrofti

2. Siklus hidup

Daur hidup parasit yang membutuhkan manusia (hospes definitif) dan nyamuk
(hospes perantara) memerlukan waktu sangat panjang. Masa pertumbuhan
parasit didalam nyamuk Culex quinquefasciatus, atau nyamuk Anopheles,
Aedes, dan Mansonia untuk pedesaan sebagai vektor kurang lebih dua minggu.
Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi
diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di
dalam Presbytis cristata (lutung). Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk,
melepaskan sarungnya didalam lambung, menembus dinding lambung dan
bersarang diantara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek,
bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang
lebih satu minggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan
panjan, disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva
bertukar kulit sekali lagi, dan tumbuh makin panjang dan kurus disebut larva
stadium III.
Gerak larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke
rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk
yang mengandung larva stadium III (bentuk infektif) mengigit manusia, maka
lava tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk kedalam tubuh hospes dan
bersarang disaluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami
dua pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, lalu stadium V atau
cacing dewasa.

3. Morfologi

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe,
bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing baetina
berukuran 65-100 mm x 0,25 mm dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. cacing
betina mengeluarkan filarial yang bersarung dengan ukuran 250-300 mikron x
7-8 mikron. Mikrofilaria hisup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi
pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas.Pada umumnya
W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat
dalam darah tepi pada malam hari saja.Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di
kapiler alat dalam (paru, jantung, ginjal, dan sebagainya. (Sutanto, 2008)
Sesuai dengan periodisitasnya, mikrofilaria sampai ke pembuluh darah
perifer.Darah dihisap nyamuk yang bertindak sebagai vector, mikrofilaria
terhisap sampai ke lambung nyamuk.Kemudian dengan ujung chepalicnya,
dinding lambung nyamuk ditembus dan menuju ke otot thoraks. Dengan
melalui tiga metamorphosis, pada hari ke 10-11 menjadi larva kecil, langsing,
infektif berukuran (1,4-2) mm x (18-23) m menuju kelenjar liur nyamuk. Larva
bergerak aktif menembus kulit hospes menuju kelenjar limfe perifer.Larva
tumbuh kemudian bermigrasi menuju pembuluh limfe untuk menjadi dewasa
yang dapat bertahan hidup selama 10-18 tahun. (Natadisastra, 2005)
Bila nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling sampai
adanya rangsangan hospes yang cocok diterima oleh alat penerima
rangsangannya. Rangsangan ini akan memberi petunjuk pada nyamuk untuk
mengetahui dimana adanya hospes baru menggigit (Jurnal kesehatan
lingkungan, 2005)
Pada manusia, masa pertumbuhan belum diketahui secara pasti, tetapi diduga
kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasite ini di dalam
Presbytis cristata (lutung). Mikro-filaria yang terhisap oleh nyamuk
melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan
bersarang di antara otot-otot toraks.Mula-mula parasite ini memendek,
bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Larva ini bertukar
kulit kurang lebih selama seminggu dan tumbuh menjadi lebih gemuk dan
panjang, disebut larva stadium II.Pada hari ke sepuluh selanjutnya, larva
bertukar kulit sekali lagi tumbuh menjadi makin panjang dan lebih kurus,
disebut larva stadium III. (Sutanto, 2008)
Gerak larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke
rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk.Bila nyamuk yang
mengandung larva stadium II (bentuk infektif) menggigit manusia, maka larva
mengalami dua pergantian kulit menjadi larva stadium IV dan stadium V atau
cacing dewasa. (Sutanto, 2008)

b) Patologi dan gejala klinis


Cacing dewasa menyebabkan limfadenitis, limfangitis retrograd, demam,
funikolitis, orkitis, hidrokel, elefantisiasis mammae dan alat kelamin.
Mikrofilaria menyebabkan Occult filariasis (Prianto, Juni. 2006).
Patogenesis filariasis bankrofti dibagi dalam tiga stadium, yaitu stadium
mikrofilaremia, stadium akut dan stadium kronis. Ketiga stadium ini tidak
menunjukan batas-batas yang tegas karena prosesnya menjadi tumpang tindih.
Pada stadium akut terjadi peradangan kelenjra, limfadenitis maupun limfangitis
retrogad. Dalam waktu satu tahun, peradangan ini hilang timbul berkali-kali.
Kasus peradangan yang umum dijumpai adalah peradangan sistem limfatik organ
genital pria, misalnya epididimis, funikutilis dan orkitis. Saluran sperma
mengalami peradangan hingga mebengkak dan keras menyerupai tali, bila diraba
terasa nyeri sekali. Pada stadium kronis (menahun) gejala yang sering terjadi
adalah terbentuknya hidrokel. Kadang-kadang terjadi limfedema dan elefantiasis
yang mengenai daerah tungkai dan lengan, payudara, testes dan vulva yang dapat
diperbaiki dengan tindakan operatif. Beberapa kasus pada penderita terjadi
kiluria (Samidjo, 2001).

c) Tatalaksana
Pemberian Dietilcarbamazin (DEC) dengan dosis 6 mg/kgBB selama 12 hari, 3
kali pemberian setelah makan.

2. Brugaria malayi dan Brugaria timori


a) Etiologi penyebab (klasifikasi, siklus hidup, morfologi)
1. Klasifikasi
Brugia timori
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secermentea
Ordo : Spirurida
Genus : Brugia
Species : Brugia timori

Brugia malayi

Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secermentea
Ordo : Spirurida
Genus : Brugia
Species : Brugia malayi

2. Siklus hidup
Daur hidup Brugia timori cukup panjang. Masa pertumbuhannya di dalam
nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di
dalam tubuh nyamuk, parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit,
berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III.

3. Morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe.
Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina
berukuran 21 – 39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13- 23 mm x 0,08 mm.
Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Ukuran mikrofilaria
Brugia timori adalah 280 – 310 mikron x 7 mikron.
Dewasa menyerupai cacing nematoda cacing gelang klasik. Panjang dan
benang, B. dan lain nematoda malayi hanya memiliki otot longitudinal dan
bergerak dalam S-bentuk gerakan sebuah. Orang dewasa biasanya lebih kecil
dari dewasa W. bancrofti, meskipun beberapa orang dewasa telah di isolasi.
cacing dewasa Wanita (50 mikro) lebih besar dari cacing jantan (25 mikro).
Mikrofilaria Mikrofilaria B. malayi mempunyai panjang 200-275 mikro dan
bulat mengakhiri anterior dan posterior ujung runcing. Microfilaria ini adalah
berselubung, yang banyak noda dengan Giemsa. Selubung ini sebenarnya kulit
telur, lapisan tipis yang mengelilingi kulit telur sebagai mikrofilaria yang
beredar dalam aliran darah. mikrofilaria yang mempertahankan sarungnya
sampai dicerna dalam midgut nyamuk.
Perioditas mikrofilaria Brugia malayi adalah periodik nokturna, subperiodik
nokturna atau non periodik, sedangkan mikrifilaria brugia timori mempunyai
sifat periodik nokturna. Brugia malayi yang hidup pada manusia ditularkan
oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan yang hidup pada manusia dan hewan
ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Brugia timori ditularkan oleh Anopheles
barbirostris.

b) Patologi dan gejala klinis


Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris. Di dalam tubuh nyamuk betina,
mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada
dinding lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva
filariform infektif, kemudian berpindah ke proboscis. Saat nyamuk menghisap
darah, larva filariform infektif akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas
tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif tersebut akan bergerak mengikuti saluran
limfa dimana kemudian akan mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali
sebelum menjadi cacing dewasa.
Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan
kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai
kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah
penderita bekerja berat di ladang atau di sawah. Limfadenitis biasanya
berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya. Kadang perandangan
limfe ini dapat menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan menimbulkan
limfangitis retrograd, yang bersifat khas pada filariasis. Peradangan pada saluran
limfe ini dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan
peradangan ini dapat pula menjalar ke jaringan sekitarnya, menimbulkan infiltrasi
pada seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya ikut
membengkak dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis biasanya
berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha ini bila
sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut. Dan tanda ini merupakan
salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan gejala
komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya.
Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena, lambat laun
pembengkakan tungkai tidak menghilang pada saat gejala peradangan sudah
sembuh, akhirnya timbullah elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe inguinal, kelenjar
limfe lain di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga
sering terkena. Pada filariasis brugia, elefantiasis hanaya mengenai tungkai
bawah, di bawah lutut, atau kadang-kadang lengan bawah di bawah siku. Alat
kelamin dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia
yang bersamaan dengan filariasis bankrofti. Kiluria bukan merupakan gejala klinis
filariasis brugia (Purnomo, 2005).

c) Tatalaksana
Pemberian Dietilcarbamazine dengan dosis 5 mg/kgBB selama 10 hari. Untuk
pengobatan masal diberikan dosis rendah jangka panjang(100 mg/minggu selama
40 minggu) atau garam DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan.

3. Loa loa
a) Etiologi penyebab (klasifikasi, siklus hidup, morfologi)
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelmynthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Spirurida
Family : Onchocercidae
Genus : Loa
Spesies : Loa loa

2. Siklus hidup
Mikrofilaria yang beredar dalam darah diisap oleh lalat dan setelah kurang lebih
10 hari di dalam badan serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva infektif dan
siap ditularkan kepada hospes lainnya. Cacing dewasa tumbuh dalam badan
manusia dalam waktu 1 sampai 4 tahun kemudian berkopulasi dan cacing
dewasa betina mengeluarkan microfilaria (Sutanto, 2008).

3. Morfologi
Cacing Loa loa memiliki tubuh yang sederhana termasuk kepala, badan dan
ekor. Cacing dewasa berbentuk seperti benang halus dan berwarna putih susu.
Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan, yang betina berukuran 50 – 70 x
0,5 mm dan yang jantan berukuran 30 – 34 x 0,35 – 0,43 mm.
Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang beredar dalam darah pada siang
hari (diurna). Pada malam hari mikrofilaria berada dalam pembuluh darah paru-
paru (Sutanto, 2008).
Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250 – 300 mikron x 6 – 8,5 mikron,
dapat ditemukan dalam urin, dahak dan kadang-kadang ditemukan dalam cairan
sumsum tulang belakang. Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops. Mikrofilaria
yang beredar dalam darah diisap oleh lalat dan setelah kurang lebih 10 hari di
dalam badan serangga, mikrofilaia tumbuh menjadi larva infektif dan siap
ditularkan kepada hospes lainnya. Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia
dalam waktu 1 sampai 4 tahun kemudian berkopulasi dan cacing dewasa betina
mengeluarkan mikrofilaria (Sutanto, 2008).

b) Patologi dan gejala klinis


Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilaria yang
beredar dalam darah seringkali tidak menimbulkan gejala. Cacing dewasa dapat
ditemukan di seluruh tubuh dan seringkali menimbulkan gangguan di konjungtiva
mata dan pangkal hidung dengan menimbulkan iritasi pada mata, mata sendat,
sakit, pelupuk mata menjadi bengkak sehingga menganggu penglihatan. Secara
psikis, pasien menderita.pada saat-saat tertentu penderita menjadi hipersensitif
terhadap zat sekresi yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dan menyebabkan reaksi
radang bersifat temporer. Kelainan yang khas ini dikenal dengan Calabar swelling
atau fugtive swelling. Pembengkakan jaringan yang tidak sakit dan nonpitting ini
dapat menjadi sebesar telur ayam. Lebih sering terdapat di tangan atau lengan dan
sekitarnya. Timbulnya secara spontan dan menghilang setelah beberapa hari atau
seminggu sebagai manifestasi supersensitif hospes terhadap parasit. Masalah utama
adalah bila cacing masuk ke otak dan menyebabkan ensefalitis. Cacing dewasa
dapat pula ditemukan dalam cairan serebrospinal pada orang yang menderita
meningoensefalitis (Sutanto, 2008).

c) Tatalaksana
Pemberian Dietilcarbamazine 2 mg/kgBB, 3 kali sehari sesudah makan selama 14
hari. Pada kasus cacing dewasa, dilakukan operasi pada mata untuk membuang
cacing.

4. Onchocerca volvulus
a) Etiologi penyebab (klasifikasi, siklus hidup, morfologi)
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Rabdithea
Ordo : Spirurida
Familiy : Onchocercidae
Genus : Onchocerca
Species : Onchocerca volvulus

2. Morfologi

Cacing betina berukuran 23-60 x 0,30-0,5 mm, vulva terbuka dan terletak di
sebelah posterior esophagus, dan uterus mengandung mikrofilaria. Cacing jantan
berukuran 16-42 x 0,124-0,2 mm, ujung posterornya melingkar ke ventral dan
dilengkapi papilla perianal maupun kaudal dengan jumlah dan ukuran yang
brevariasi.
Mikrofilia tidak bersarung, panjang mikrofilia mencapai 360 mikron, dan inti
tambahan tidak mencapai ujung ekor. Mikrofilaria jarang ditemukan dalam darah
perifer, tetapi lebih sering ditemukan dalam kelenjar limfe, stratum germinativum
kulit dan kongjungtiva corneal.

3. Siklus hidup

Cacing dewasa berlokasi dibawah kulit dan akan terbentuk kapsula karena
reaksi tubuh hospes. Bilamana berlokasi dekat tulang seperti persendian atau
diatas tulang kepala, nodule yang permanen akan terjadi.
Mikrofilaria berada dalam kulit kemudian terhisap oleh lalat penghisap
darah/lalat hitam/bleck fly (Simulium damnosum) sebagai hospes intermedier.
Bagian mulut lalat tidak menembus terlalu dalam, berisi cairan kental yang
penuh dengan mikrofilaria. Fase pertama dari larva cacing bergerak dari
saluran cerna lalat ke otot dada. Kemudian mengalami moulting yang
kemudian moulting lagi menjadi larva infektif menjadi bentuk filaria
(filariform), filaria muda bergerak kearah mulut lalat dan akan menginfeksi
hospes definitif baru. Filaria tumbuh menjadi dewassa tinggal dibawah kulit
selama kurang dari 1 tahun. Cacing biasanya berpasangan. Cacing yang berada
dibawah kulit atau dibawah kulit yang lebih dalam akan memproduksi
mikrofilaria. Mikrofilaria kemudian menginvasi kepermukaan kulit dan akan
terhisap oleh hospes intermedier.

b) Patologi dan gejala klinis


Ada dua hal yang menyebabkan efek patologi yaitu: cacing dewasa dan
mikrofilaria. Dari kedua bentuk cacing tersebut, bentuk cacing dewasa tidak begitu
patogenik dan bahkan kadang tidak menunjukkan gejala sakit. Tetapi pada kondisi
yang buruk cacing didalam subkutan membentuk nodule disebut “Onchocercomas”,
terutama yang menetap didekat tulang. Didaerah Amerika Tengah kebanyakan
penderita terdapat nodule diantara tulang rusuk dan paha dan juga didaerah leher
dan kepala. Nodule tersebut berbentuk benigna dan relatif tidak sakit. Jumlah
nodule berfariasi dari hanya satu sampai ratusan. Nodule tersebut terutama berisi
jaringan serabut kolagen yang mengelilingi beberapa cacing dewasa. Nodule akan
mengalami degenerasi dapat membentuk abses atau kalsifikasi.
Hadirnya mikrofilaria didaerah kulit menyebabkan dermatitis yang berat yang
menyebabkan reaksi alergik dan efek toksik disebabkan matinya cacing muda.
Gejala pertama adalah gatal-gatal yang menyebabkan luka dn terinfeksi oleh bakteri
(infeksi sekunder). Kemudian diikuti dispigmentasi kulit lokal atau lebih luas,
kemudian diikuti penebalan kulit dan kulit menjadi pecah-pecah. Gejala menyerupai
avitaminosis A, hal tersebut diduga parasit berkompetisi dengan metabolisme
vitamin A.
Gejala yang lebih lanjut kulit kehilangan elastisitasnya. Depigmentasi berkembang
menjadi daerah yang lebih luas terutama daerah kaki. Hal tersebut dapat dikelirukan
dengan penyakit lepra. Pada kondisi yang lebih buruk lagi bila terjadi komplikasi
dimana mikrofilaria mencapai kornea. Hal tersebut dalat menimbulkan inflamasi
pada sklera atau bagian putih dari bola mata. Kemudian diikuti penimbunan
jaringan ikat yang mengakibatkan vaskularisasi dari kornea yang dapat mengganggu
penglihatan. Terjadinya penimbunan jaringan ikat (fibrous tissue) mengakibatkan
pasien buta total.

c) Tatalaksana
Pemberian Ivermectin dan Suramin.

Anda mungkin juga menyukai