Anda di halaman 1dari 142

2.

1 Pengertian Toksikologi

Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan
kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi
didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur
kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan
fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi.
Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis
dan cara pemberian. Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah
racun; tiada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun
1564 Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis
menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan
Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang
menyebabkan keracunan, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting.
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.

Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan
oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya mencapai
tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk
menghasilkan manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang
berhubungan dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur
masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.

1
Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam
empat kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya
terjadi karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja
terutama di lingkungan industri-industri kimia.

Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau
lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu respons yang
mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik. Karakteristik pemaparan
membentuk spektrum efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal
dengan hubungan dosis-respons.

Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
“tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan
terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah
toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek
berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada
suatu organisme.

Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam

memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi
yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya.
Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat
kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat
kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
BAB 2.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOKSISITAS RACUN DALAM


TUBUH

Toksikologi merupakan ilmu antar bidang, yang ruang lingkup pokok kajiannya
digolongkan menjadi toksikologi lingkungan, ekonomi, dan kehakiman ( forensik ). Untuk
memahami permasalahan toksikologi, diperlukan pengetahuan tentang pemahaman terhadap asas
umum toksikologi, aneka kondisi atau faktor- faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun,
mekanisme wujud sifat efek toksik racun, tolok ukur toksikologi, dan asa umum uji toksikologi.
Pada dasarnya keracunan suatu senyawa diawali oleh masuknya senyawa tersebut ke dalam
tubuh, yang kemudian terdistribusi sampai ke sel sasaran tertentu. Selanjutnya akibat interaksi
antara senyawa dengan sel sasaran,menyebabkan terjadinya gangguan fungsi, biokimia,
perubahan struktur sel akibat dari wujud efek toksik senyawa itu, misal teratogenik, mutagenik,
karsinogenik, penyimpangan metabolik, ketidaknormalan perilaku, dan lain sebagainya. Efek
toksik suatu racun terjadi akibat interaksi antar racun, dan tempat aksinya secara langsung atau
tidak langsung.

Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di tempat
aksi, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sedangkan toksisitas dapat didefinisikan sebagai
segala sesuatu dari zat kiia atau obat pada organisme target yang dapat menimbulkan atau
memiliki efek yang berbahaya. (Ameria,2008). Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi
seharusnya dapat dilihat dari berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan
penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia tersebut dan berbagai kondisi di mana efek
berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara
zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu kerja
farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh
organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail
dibahas pada sub bahasan kerja toksik. Alur utama bahan toksik dapat masuk ke dalam tubuh
manusia adalah melalui saluran pencernaan atau gastrointestinal (menelan/ingesti), paru-paru
(inhalasi), kulit (topical), dan jalur parental lainnya (selain usus/intestinal). Bahan toksik
umumnya menyebabkan efek yang paling besar dan menghasilkan respons yang palingcepat bila
diberikan melaluijalur intravena (Endrinaldi, 2009).

Racun adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada tubuh
baik secara kimiawi dan biologis yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu penyakit
dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan menakisme kerjanya dalam tubuh
manusia, racun dibagi menjadi yang bekerja lokal, sistemik, dan lokal sekaligus sistemik. Racun
yang bekerja lokal dapat bersifat korosif, irritant, atau anestetik. Racun yang bekerja sistemik
biasanya mempunyai afinitas terhadap salah satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis,
asam oksalat, dan karbon monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk
misalnya arsen, asam karbol, dan garam. Racun kimia adalah zat tertentu yang memiliki efek
merugikan pada jaringan manusia, organ, atau proses biologi. Sedangkan toksisitas merujuk
pada sifat- sifat zat kimia yang menggambarkan efek sampingyang mungkin dialami manusia
akibat kontak kulit atau mengkonsumsinya.

Efek dari toksik pada manusia dapatdiklasifikasikan sebagai efek


akut dan efek kronis. Jika ada respon yang cepat dan serius dengan dosis tinggi tapi berumur
pendek dari racun kiia maka disebut efek akut. Racun akut akan mengganggu proses fisiologis
yang menyebabkan berbagai gejala gangguan, dan bahkan menyebabkan kematian jika
gangguan tersebut cukup parah. Efek kronis cenderung menghasilkan racun dengan
dosis rendah selama periode yang relatif lama Toksisitas akut relatif mudah untuk
mengukur. Efek racun pada toksisitas akut cukup tinggi pada tingkat fungsi tubuh,
bersifat jelas dan cukup konsisten di
individu dan spesies. Untuk bahan kimia yang berbeda, tingkat ini sangat bervariasi. Di beberapa
tingkat hampir semuanya beracun, dan perbedaan antara beracun dan non beracun adalah

10
masalah derajat. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat keracunan toksik
terhadap tubuh yaitu Faktor Biotik dan Faktor Abiotik.

2.1 Cara Kerja Dan Efek Toksik


Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia,
dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga
fase yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi
xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud
dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara
biologik pada organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap
xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan fase toksokinetik (Wirasuta, 2007).
1. Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada umumnya,
kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi
molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek
obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi
hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di
tempat kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju
sistem sistemik. Fase ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan
farmasi.
2. Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada
dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi
menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran
darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor).
Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau
tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem
eksresi lainnya.
3. Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik)
dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang
bolak-balik (reversibel). Hal
ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi
dari tempat kerjanya (reseptor).
2.2 Faktor – Faktor Biotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam

Tubuh Jenis Kelamin :

Pada umumnya racun pestisida atau racun lainnya lebih tahan kepada jenis kelamin wanita
daripada yang berjenis kelamin laki – laki. Hal ini dikarenakan yang berjenis kelamin wanita
biasanya memiliki lemak yang lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin laki – laki ,
sehingga bahan – bahan racun dapat terikat dalam lemak.

Umur :

Kaum lanjut usia dan anak – anak biasanya lebih peka terhadap racun daripada usia orang –
orang dewasa. Jadi biasanya pada saat sakit anak – anak diberi dosis obat yang lebih rendah ari
usia dewasa. Selain itu masalah yang paling bahaya yatu tentang Cd seperti menghirup debu
halus cadmium yang dapat menyebabkan peneumonitis, pembengkakakn paru – paru (pulmonary
edema) dan kematian (Hayes,2007).

Berat badan dan ukuran :

Semakin tinggi dosis obat atau racun dan semakin besar atau berat hewan merupakan prinsip dari
farmakologi. Untuk ukuran kg per berat badan bisanya diukur menggunakan ukuran dosis seperti
LD50. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada serangga , menujukkan bahwa semakin besar
ukuran badan atau semakin berat badan dari serangga maka semakin tinggi dosis yang
digunakan, hal ini dimaksudkan bahwa dosis yang dibutuhkan akan semakin tinggi apabila tinggi
berat badan hewan semakin berat. Semakin beracun bahan kimia tersebut, makan semakin
rendah LD50 makan paparan terhadap manusia pun semakin parah. Pada seseorang yang
mengalami penyakit Alzheimer akan meningkat pada unsur tembaga bebas (Brewer,2010)

Makanan :

Cacing Trichinella spp. dan Tanea spp. yang menyebabkan penyakit – peyakit seperti
Trichinelosis dan Taeniasis. Cacing - cacing tersebut dapat hidup dalam daging babi, dikenal
dengan sebtan cacing babi, sedangkan cacing yang hidup dalam daging sapi adalah Taenia spp.
dikenal dengan sebutan cacing sapi. Seseorang akan menjadi kurus dan tidak sehat apabila
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi, sehingga dapat terkenan serangan
pathogen penyakit atau zat racun.
Kesehatan :

Potensialitas racun yang dimakan dapat ditentukan oleh kesehatan seseorang juga. Bisanya orang
yang sehat lebih tahan terhadap racun dibandingkan dengan orang yang tidak sehat (lemah).
Kekurangan vitamin A, dapat dihubungkan dengan kerancunan arensik, sehingga dapat
mengakibatkan buta malam (night blindes).

Faktor intrinsik makhluk hidup

Kardiovaskuler merupakan suatu sistem yang kompleks melibatkan beberapa organ utama yaitu
jantung, pembuluh darah, ginjal, maupun sistem saraf pusat dan otonom.. Selain faktor keadaan
fisiologis diatas, terdapat beberapa uraian tentang keadaan fisiologis yang belum tercakup dalam
uraian tersebut meliputi :

a. Kapasitas Fungsional Cadangan

Pada dasarnya untuk melakukan berbagai fungsi, aneka ragam organ tubuh memiliki kapasitas
cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya. Untuk mengukur fungsi organ tersebut
biasanya melibatkan satu atau lebih bentuk uji terhadap kerusakan pada organ hidup yang
disebabkan oleh zat kimia. Karena telah dinyatakan bahwa sebagian besar organ dapat dirusak
sebelum kapasitas cadangannya berkurang cukup banyak untuk mendorong terjadinya gangguan
fungsionalnya, maka mungkin sekali terjadi bahwa uji fungsi yang dilakukan tidak akan
memperlihatkan kerusakan karena zat kimia yang sedikit. Sepanjang organ tersebut masih
mempertahankan kapasitas (kelebihan) cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya, maka
organ melangsungkan fungsinya pada tingkat maksimal.

Pada berbagai daerah diseluruh organ itu, kadar akhir terkait zat kimia besarnya berbeda
– beda. Untuk tidak bermateri, untuk meningkat, atau menghambat perpindahan zat kimia yang
dimaksud melewati organ, hal ini tergantung atas kemampuan membrannya.
Jika pada satu kesempatan organ tersebut dicerca dengan kadar toksis minimal suatu zat
kimia asing, maka diharapkan untuk tidak akan memperlihatkan keseluruhan toksisitasnya,
selama jangka waktu yang panjang akan menimbulkan suatu akibat cercaan yang
berkesinambungan oleh kadar zat kimia yang sama.
Misalnya dengan cara pemedahan atau secara kimia 50 % hati anjing dapat dirusak.
Paling tidak dalam memenuhi persyaratan minimalnya, anjing dapat bertahan hidup karena sisa
hati yang
tidak terusak oleh zat kimia dapat melakukan fungsi normal. Karena organ memiliki kapasitas
fungsi cadangan yang hanya digunakan dalam kondisi mendesak maka keadaan tersebut dapat
terjadi. Keadaan ini dapat merugikan jika dipandang dari segi toksikologi. Menapa demikian?
Ketoksikan racun dapat ditutupi karena adanya fungsional cadangan. Sebagai contoh Seseorang
terpapar dengan Aflatoksin B1 yang mencemari makanan, maka kemungkinan wujud efek toksik
aflatoksik yaitu nekrosis sel hati, yang pada awalnya tidak nampak dan tidak terdeteksi. Hal ini
dikarenakan berfungsinya hati secara normal sebagai kapasitas fungsional cadangan
menyebabkan berbagai gejala klinis tidak Nampak. Efek toksik aflaktoksin tersebut akan nampak
apabila kerusakan sudah meluas dan menyebabkan kapasitas fungsional cadangan hati tidak
dapat menopang fungsi normal hati kembali. Sehingga jelas bahwa kapasitas cadangan akan
menutupi ketoksikan suatu racun.

b. Penyimpanan Racun Dalam Diri Makhluk Hidup

Bila zat kimia masuk kedalam sistem sirkulasi, maka zat itu harus dieliminasi dari sistem
sirkulasi itu sebelum makhluk hidup bebas dari zat kimia. Apabila zat kimia tersebut ada sebagai
gas pada suhu tubuh dalam bentuk larutan, maka zat tersebut akan muncul didalam udara yang
dihembuskan pada pernafasan makhluk hidup, dan bila merupakan suatu senyawa yang tak
menguap, maka mungkin melalui sistem kencing, keringat, ataupun ludah yang melibatkan
ekskresi oleh ginjal.
Zat kimia yang di metabolisme dan dideposit didalam lemak mengalami rentang kehidupan
yang pendek dalam darah dan jaringan tak berlemak. Hal ini terjadi karena zat kimia yang berada
didalam darah dengan segera mengalami perubahan menjadi bentuk takanestesia dan sisanya
dideposit didalam lemak. Kemudian agar darah tetap secara esensial bebas dari kadar efektifnya
maka zat kimia segera diubah menjadi bentuk obat tak aktif pada saat obat menyebar dari lemak
kedalam darah
Pada umumnya pemejaan tunggal suatu organisme eksperimental dengan zat kimia tertentu
menghasilkan pengambilan zat kimia tersebut oleh organisme dan selanjutnya terjadi eliminasi
dari organisme itu. Mekanisme, pengikatan, dan penyimpanan yang tersedia bagi zat kimia
tersebut didalam organisme akan mempengaruhi laju eliminasi oleh zat kimia tersebut.
Di dalam tubuh terdapat gudang penyimpanan senyawa yang masuk kedalam tubuh misalnya
protein, lemak, dan tulang. Bagi racun yang bersifat sangatlipofil dan tidak atau sulit
termetabolisme, cenderung ditimbun dalam jaringan yang kaya akan lemak, sehingga racun akan
sulit dikeluarkan dari tubuh. Selain itu karena mobilisasi racun dari gudang penyimpanan ke
sirkulasi darah, memungkinkan terjadinya pelepasan racun dan meyebar ke tempat aksi tertentu.
Efek toksik yang tidak diharapkan akan terjadi apabila kadar racun di tempat aksi melebihi harga
KTMnya. Keadaan ini dapat terjadi bila gudang penyimpanan telah terpenuhi oleh racun,
mengingat makanan dikonsumsi setiap hari sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi racun
dalam gudang penyimpanan. Contoh klasiknya ialah penumpukan insektisida DDT dan senyawa
pelunak dietilftalat. Kecuali lemak, tempat pengikatan tak khas atau gudang penyimpanan lainya
adalah tulang, enzim, dan protein. Tempat deposisi, adsorpsi dan reaksi zat kimia ini, membatasi
kemampuan tubuh untuk mengekskresikan racun dari tubuh. Oleh karena itu penyimpanan racun
di dalam tubuh dapat mengurangi atau meningkatkan ketoksikan racun.

Faktor Genetika

Enzim, reseptor, atau protein dapat berupa tempat aksi racun. Tempat aksi racun dapat berupa
enzim, reseptor, atau protein. Menurut ciri khas model genetika masing-masing anggota populasi
makhluk hidup Enzim dan protein nirenzim ada di dalam tubuh, maka apabila kekurangan
jumlah atau ketidaksempurnaan molekul enzim dapat menyebabkan cacat genetika dalam
anggota suatu jenis makhluk hidup. Ketoksikan racun dapa berdampak negatif atau positif akibat
adanya cacat genetika ini. Misalnya racun di dalam tubuh oleh enzim dimetabolisme
menjadimetabolit yang kurang toksik daripada zat kimia induknya. Bila suatu makhluk hidup
mengalami cacat genetika, ketidak-sempurnaan molekul enzim yang terlibat dalam metabolisme
racun menyebabkan terbentuknya metabolit tak toksik jauh lebih sedikit daripada yang terbentuk
pada individu normal. Akibatnya makhluk hidup tersebut akan lebih rentan terhadap ketoksikan
racun. Dalam hal ini, cacat genetika memberikan dampat negatif. Sebaliknya apabila metabolit
racun yangterbentuk bersifat toksik, maka makhluk hidup tersebut justru akan terhindar
dariketoksikan racun. Karena jumlah metabolit toksik yang terbentuk jauh lebihsedikit daripada
individu normal. Dalam hal ini, cacat genetika berdampak positif. Cacat genetika pada sistem
pemetabolisme xenobiotika atau tempat aksitertentu, memungkinkan timbulnya dampak negatif
bagi individu terhadapketoksikan racun. Hal ini dapat terjadi karena penumpukan xenobiotika
ataupun perubahan kerentanan tempat aksi racun.
Jadi akibat dari cacat genetika dapat berdampak negative atau positif bagi individu
terhadap ketoksikan racun : Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan
individu resisten terhadap ketoksikan suatu racun. Sebaliknya dikatakan berdampak negatif bila
cacat genetika menyebabkan individu lebih rentan terhadap ketoksikan racun tertentu.

2.3 Faktor Abiotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam Tubuh


Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi toksisitas racun dalam tubuh adalah sebagai
berikut (Dantje, 2015).
1. Suhu
Secara umum, kecepatan reaksi kimia menjadi dua kali lipat dengan meningkatnya suhu
sebesar 100C meskipun dalam kenyataannya peningkatan suhu tersebut tidak hanya dua kali
lipat, tetapi ada yang tiga bahkan empat kali lipat. Dilaporkan juga bahwa memasak buncis
merah dengan suhu 800C akan meningkatkan toksisitas racun lektin lima kali lebih tinggi
dari kacang segar. Bakteri dapat dikelompokkan dalam empat kategori menurut suhu
pertumbuhannya, yaitu bakteri psikrofil yang hidup pada suhu rendah (0-200C), seperti
Flavobacterium sp., psikrotrof pada suhu 20-400C seperti Listeria sp., mesofil pada suhu 40-
600C seperti Escherichia sp. dan termofil yang hidup pada suhu 60-800C seperti Thermus sp.
Manakala suatu jenis bakteri hidup pada suhu yang berbeda dengan suhu normal untuk
pertumbuhannya, maka sifat racunnya akan menjadi tawar ataupun hilang sama sekali.
2. Kelembaban
Mikotoksin yang berasal dari makanan yang dapat mengganggu kesehatan manusia di
negara- negara sedang berkembang beriklim tropis adalah fumonisins dan aflatoxins tetapi
kurang di negara-negara yang tidak beriklim tropis. Hal ini disebabkan oleh karena jamur-
jamur Aspergillus sp dan jamur-jamur lainnya berkembang dengan baik di daerah yang
memiliki kelembaban dan suhu tinggi. Pada umumnya jamur akan berkembang dengan baik
pada kelembaban yang tinggi tetapi sulit berkembang bila kelembaban rendah atau kering.
3. Curah Hujan
Curah hujan akan mempengaruhi toksisitas racun terutama pestisida bila diaplikasikan untuk
pengendalian hama dan penyakit pada tanaman pertanian. Bila sesudah penyemprotan
terjadi hujan, maka deposit pestisida akan diencerkan oleh adanya tambahan air sehingga
konsentrasi
racun berkurang atau racun tersebut tercuci dan jatuh ke tanah. Air hujan dapat engencerkan
senyawa-senyawa racun dalam tanah.
4. Cahaya
Kebanyakan hewan biasanya aktif pada waktu siang tetapi tidak aktif pada waktu malam
(nocturnal). Contohnya ular Malaya, Bungarus candidus adalah yang paling mematikan
dalam spesies ini. Ular ini bersifat sangat agresif bila dalam gelap untuk menghasilkan racun
yang sangat mematikan bagi saraf.
5. Angin
Sama halnya dengan air hujan, maka angin akan mempengaruhi racun pestisida bila
diaplikasikan dalam cuaca berangin. Butiran-butiran atau cairan pestisida yang disemprotkan
ke tanaman akan diterbangkan oleh angin dan secara langsung mengencerkan konsentrasi
atau dosis pestisida.
6. Faktor-faktor Kimia/Fisika
Di lingkungan kita terdapat berbagai macam bahan kimia yang tanpa kita sadari secara
langsung atau tidak langsung akan memberi pengaruh terhadap tubuh kita. Dari banyaknya
bahan kimia yang ada, kandungan senyawa kimia yang satu dengan yang lain dapat
dibedakan dengan melihat sifat kimia-fisika dan struktur kimianya. Contohnya metanol dan
etanol. Kedua senyawa ini sama turunan dari alkohol dan memiliki sifat fisika dan kimia
hampir sama salah satunya yaitu cairan tidak berwarna dah mudah menguap, tetapi efek
toksik yang dihasilkan antara keduanya lebih toksik metanol. Struktur kimia dari metanol
CH3OH dan etanol C2H5OH. Adapun beberapa faktor kimia/fisika yang dapat
mempengaruhi toksik antara lain :
a. Oksigen
Semua hewan dan tumbuhan bertumbuh dan berkembang dalam kondisi aerob
dimana terdapat kadar oksigen yang cukup. Tanpa oksigen mereka akan mati.
Namun terdapat mikroorganisme seperti bakteri Clostridium botulinum yang hanya
dapat hidup dan menghasilkan racun botulism dalam kondisi anaerob atau tanpa
oksigen. Meskipun bakteri inimungkin dapat hidup dalam kondisi oksigen yang
sangat minim, tetapi hanya dapat menghasilkan racun dalam kondisi yang benar-
benar tanpa oksigen.
b. Ionisasi
Di dalam tubuh terdapat aneka ragam membran biologi yang merupakan penghalang
bagi translokasi zat beracun yang memiliki sifat fisika-kimia yang khas. Senyawa
yang tak polar (misalnya etanol), ternyata mampu melintas semua membran biologi
dengan cepat. Ketidakpolaran suatu senyawa, salah satunya ditentukan oleh tingkat
ionisasinya di dalam larutan. Karena itu, tingkat ionisasi racun dalam larutan
merupakan salah satu penentu kemampuannya melintas membran dan translokasinya
dalam tubuh. Sebagian besar toksik berupa asam atau basa organik lemah. Karena
itu, hanya bentuk tak-terionkan saja yang mudah larut di dalam lipid sehingga
translokasinya di dalam tubuh akan lebih mudah (Eddy, 2008).
c. pH
Kebanyakan racun berfungsi dalam kondisi pH normal yaitu 6-7,5. Namun terdapat
patogen mokroorganisme yang aktif dan menghasilkan racun pada kondisi asam,
yaitu pada pH dibawah 4,5 atau sebaliknya pH di atas 7,5 dalam kondisi basa.
Namun bakteri Salmonela sp. yang sangat beracun pada manusia biasanya tumbuh
pada suhu optimum 370C tetapi dapat juga tumbuh sampai pada suhu 54 0C serta
dapat tumbuh dalam makanan pada suhu 2-40C dengan pH optimum 6,5 sampai
dengan 7,5.
d. Formulasi racun
Faktor yang penting terutama untuk jenis pestisida yang digunakan dalam
pengendalian hama atau vektor penyakit adalah formulasi racun tersebut. Pestisida
biasanya diformulasi dalam bentuk debu, granular atau pelet, tepung, tepung embus,
pekatan emulsi, cairan yang dapat mengalir, perekat, aerosol, fumigan, campuran
pestisida dengan pupuk, dan lain sebagainya. Bentuk debu dan gas sering jauh lebih
membahayakan bagi kesehatan manusia daripada bentuk-bentuk lainnya. Debu dan
gas kadmium contohnya. Akan sangat membahayakan kesehatan manusia yaitu dapat
mengakibatkan peneumonia dan pembengkakan paru-paru. Demikian halnya dengan
debu kromium yang dapat mengakibatkan kanker bagi para pekerja dalam pabrik-
pabrik yang menggunakan kromium. Lain halnya dengan pestisida bentuk cair yang
harus lewat mulut atau kulit untuk dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.
Tungau debu rumah, Dermatophagoides sp. dapat mengakibatkan alergi atau
dermatitis pada manusia. Rumah-rumah yang berdebu dan yang kurang
dibersihkan akan
mengumpulkan debu dan menjadi sarang bagi pertumbuhan dan perkembangan
tungau debu rumah.

Faktor kimia merupakan interaksi bahan kimia didalam tubuh dan menimbulkan efek. Efek
yang terjadi dapat dibedakan dalam :
a. Efek aditif yakni pengaruh yang saling memperkuat akibat kombinasi dari dua zat
kimia atau lebih.
b. Efek sinergi yaitu suatu keadaan dimana pengaruh gabungan dari dua zat kimia jauh
lebih besar dari jumlah masing-masing efek bahan kimia.
c. Potensiasi yaitu apabila suatu zat yg seharusnya tidak memiliki efek toksik akan
tetapi apabila zat ini ditambahkan pada zat kimia lain maka akan mengakibatkan zat
kimia lain tersebut menjadi lebih toksik.
d. Efek antagonis yakni apabila dua zat kimia yg diberikan bersamaan, maka zat kimia
yg satu akan melawan efek zat kimia yg lain.
7. Kondisi Pemejanan
Kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan, jalur pemejanan (intravaskular atau
ekstravaskular), dan takaran atau dosis pemejanan (Eddy, 2008).
1) Jenis pemejanan menurut waktu dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Akut : pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24 jam. Contohnya, kecelakaan
kerja/keracunan mendadak
b. Sub akut : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 1
bulan atau kurang. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia kurang dari 1 bulan.
c. Subkronik : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 3
bulan. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia selama 1 tahun/lebih
d. Kronik : pemaparan berulang terhadap bahan kimia untuk jangka waktu lebih dari 3
bulan. Misalnya, bekerja untuk jangka waktu lama dengan bahan kimia.
2) Jalur pemejanan
Pada dasarnya zat beracun dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur intravaskular
(misal: intravena, intrakardial, intraarteri) atau ekstravaskular (misal: oral, inhalasi,
intramuskular, subkutan, intraperitoneal, rektal). Selanjutnya untuk dapat sampai ke
sirkulasi sistemik, zat beracun selanjutnya mengalami disposisi ke cairan atau jaringan

20
tubuh. Disposisi mencakup dua peristiwa, yakni distribusi dan eliminasi. Adanya
peristiwa distribusi, memungkinkan zat beracun ( dalam bentuk utuh) mencapai sesuatu
sel atau jaringan sasaran ( reseptor atau tempat aksi ). Di sel sasaran ini, secara langsung
atau tak langsung, zat beracun tadi melakukan interaksi, yang akibatnya berupa
timbulnya sesuatu efek toksik yang tak di inginkan. Pada sisi lain, zat beracun
mengalami eliminasi, yakni langsung diekskresikan ke luar tubuh atau mengalami
metabolisme terlebih dahulu sebelum di ekskresikan. Meskipun demikian, hasil
metabolisme sesuatu zat beracun, tidak selalu bersifat tak aktif (tidak toksik ).
Adakalanya, metabolit toksik ini, mungkin mengalami redistribusi, sehingga dapat
mencapai sel tertentu, dan menimbulkan efek toksik. Bila demikian, yang bertanggung
jawab terhadap timbulnya efek toksik zat beracun, adalah zat kimia utuhnya atau bentuk
metabolitnya. Dan peristiwa ini terjadi melalui serangkaian proses : absorpsi, distribusi,
dan eliminasi. Ketiga proses inilah yang menentukan keberadaan zat beracun di dalam
sel sasaran. Dengan demikian, ketiga proses ini pulalah yang menentukan toksisitas
sesuatu zat beracun (Eddy, 2008).
3) Dosis pemejanan
Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis atau pemberian yang salah.
Pengujian LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan
terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dengan takaran tertentu. Pada
pengujian toksisitas akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan yang dapat
menyebabkan kematian hewan percobaan. Mutschler dalam Supriyono 2007, kisaran
nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu zat. Semakin besar
kisaran LD50 semakin besar pula kisaran toksisitasnya. Suatu toksikan akan mengalami
proses librasi yaitu penghancuran sediaan di saluran pencernaan. Toksikan kemudian
akan diabsorbsi oleh darah dan limfe serta didistribusikan ke seluruh tubuh. Toksikan
akan mengalami proses toksikodinamik didalam sel. Toksikodinamik adalah proses
reaksi antara toksikan dan reseptor. Biotransformasi terjadi setelah terjadinya reaksi
toksikan dengan reseptor. Biotransformasi akan menghasilkan zat baru. Zat baru yang
dihasilkan dapat bersifat lebih toksik atau kurang toksik dari sebelumnya. Zat baru yang
kurang toksik dari sebelumnya mengakibatkan terjadinya detoksikasi sedangkan zat
baru yang lebih toksik dapat menimbulkan gangguan fungsi sel.
DAFTAR PUSTAKA

Wirasuta, I Made Agus Gelgel, Niruri, Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum. Universitas Udayana.
Bali.

T. Sembel, Dantje. 2015. Toksikologi Lingkungan. CV. Andi Offset. Yogjakarta

Sulistyowati, Eddy. 2008. Diktat Toksikologi. Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA. Universitas
Negeri Yogjakarta

Supriyono. 2007. Pengujian Lethal Dosis (LD50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium
Domesticum Corr) Pada Mencit (Mus Musculus). Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor

DWI AMIRIA, Fita. Uji toksisitas akut bahan obat herbal" X" ditinjau dari nilai LD50 serta
fungsi hati dan ginjal pada mencit putih. 2008. Diakes melalui
https://www.scribd.com/doc/227484088/Makalah-Toksikologi (pada tanggal 15 februari
2017)

YAYAN, Sunarya; SETIABUDI, Agus. Mudah dan Aktif Belajar Kimia. 2007. Diakses melalui
https://books.google.co.id/books?id=ioPm74HPrWcC&pg=PA191&dq=toksisitasracun
+adalah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjSgrX12JPSAhVLkZQKHXRPAWoQ6AEIIjA
B#v=onepage&q=toksisitasracun%20adalah&f=false (pada tanggal 16 Februari 2017)

SITUMORANG, Manihar. 2012. Kimia Lingkungan. Universitas Negeri Medan.


ANGGRAENI, Nur Ika Setyowati. Pengaruh Lama Paparan Asap Knalpot Dengan Kadar CO
1800 Ppm Terhadap Gambaran Histopatologi Jantung Pada Tikus Wistar. 2009. PhD
Thesis. Medical Faculty.
Endrinaldi. 2009. Logam-Logam Berat Pencemar Lingkungan Dan Efek Terhadap Manusia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2009 - Maret 2010, Vol. 4, No. 1
BAB 3.

“TOKSIKOLOGI LOGAM BERAT CADMIUM (Cd), MERKURI (Hg),


TIMBAL (Pb), KROMIUM (Cr), DAN ARSEN (As)”

Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk menimbulkan
kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang peka. Logam berat
merupakan senyawa kimia yang dapat menimbulkan toksisitas dalam penggunaannya secara
berlebihan. Logam berat memiliki unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5
gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Logam
berat dapat dibagi dalam dua jenis, jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana
keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam
jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu,
Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau
beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan
dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain.

Penggunaan logam berat beracun banyak ditemukan diberbagai bidang, misalnya


dibidang industri, kesehatan, pertanian, pertambangan, dan lainnya. Namun dalam
penggunaannya masih banyak yang tidak mengikuti peraturan nilai ambang batas yang telah
ditentukan. Contohnya dalam penggunaan pestisida yang mengandung cadmium dan arsen yang
dapat merusak unsur tanah sehingga terjadinya pencemaran tanah dan merusak rantai makanan.
Selain itu penggunaan logam merkuri juga menimbulkan permasalahan dalam kandungan
kosmetik, yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan bagi pengguna kosmetik
tersebut.

Menghadapi permasalahan diatas, maka timbulah kekhawatiran mengenai dampak dari


logam berat terhadap kesehatan maupun lingkungan. Maka dari itu pada laporan ini akan kami
paparkan mengenai permasalahan dan dampak yang ditimbulkan dari logam berat tersebut,
khususnya pada logam timbal(Pb), Merkuri (Hg), Arsen(As), Cadmium (Cd), dan Kromium(Cr).
2.1 Cadmium (Cd)
2.1.1. Pengertian Cadmium
Logam Kadmium (Cd) merupakan logam yang bernomor atom 48 dan massa
atom 112,41. Logam ini termasuk dalam logam transisi pada periode V dalam tabel
periodik. Logam Cd dikenal sebagai unsur chalcophile, jadi cenderung ditemukan
dalam deposit sulfide.
Kadmium merupakan logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut
dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila dipanaskan.
Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd Klorida) atau
belerang (Cd Sulfit). Kadmium membentuk Cd2+ yang bersifat tidak stabil.
Tabel 1.Kandungan Cd Dalam beberapa Jenis Air Buangan

2.1.2. Permasalahan
Kadmium banyak digunakan sebagai zat warna dan juga digunakan dalam industri
bakteri nikel kadmium. Sumber pencemaran kadmium antara lain dari peningkatan
kadmium melalui penggunaan pupuk fosfat, buangan industri yang menggunakan
bahan bakar batu bara dan minyak. Dari kegiatan industri-industri inilah maka
menghasilkan limbah buangan yang banyak. Limbah buangan Kadmium (Cd) di
kawasan industri sebesar 0,5 mg/l dengan demikian konsentrasi ini telah melampaui
baku mutu limbah cair kadmium (Cd) 0,01 mg/l.

2.1.3. Bentuk yang ada di Lingkungan


Dalam strata lingkungan, logam kadmium (Cd) dan senyawanya ditemukan dalam
banyak lapisan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa kandungan logam Cd akan
dapat dijumpai di daerah penimbunan sampah dan aliran air hujan, selain dalam air
buangan.
Berdasarkan sifat-sifat fisiknya, kadmium (Cd) merupakan logam yang lunak
dapat dibentuk, berwarna putih seperti putih perak. Logam ini akan kehilangan
kilapnya bila berada dalam udara yang basah atau lembab serta cepat akan
mengalami kerusakan bila dikenai uap amoniak (NH3) dan sulfur hidroksida (SO2).
Pada kegiatan pertambangan biasanya kadmium ditemukan dalam bijih mineral
diantaranya adalah sulfida green ockite (xanthochroite), karbonat otative, dan oksida
kadmium. Mineral- mineral ini terbentuk berasosiasi dengan bijih sfalerit dan
oksidanya, atau diperoleh dari debu sisa pengolahan lumpur elektrolit. Sumber-
sumber pencemar industri:
 Industri Pengolahan Bijih Logam
 Industri Pestisida
 Industri Pertambangan
 Industri Pelapisan Logam
 Proses Penghilangan Cat (Paint Stripping)
2.1.4. Manfaat Logam
Kadmium merupakan komponen campuran logam yang memiliki titik lebur
terendah.Unsur ini dugunakan dalam campuran logam poros dengan kofisen gesek yang
rendah dan tahan lama. Logam ini juga banyak digunakan dalam aplikasi sepuhan listrik
(electroplating). Kadmium digunakan juga dalam pembuatan solder, batere Ni-Cd, dan
sebagai penjaga reaksi nuklir fisi. Senyawa kadmium digunakan dalam fosfor tabung
TV hitam-putih dan fosfor hijau dalam TV berwarna. Sulfat merupakan garamnya yang
paling banyak ditemukan dan sulfidanya memiliki pigmen kuning. Kadmium dan solusi
senyawa-senyawanya sangat beracun. Manfaat lainnya seperti:
1. Cadmium (Cd) digunakan sebagai bahan stabilitasi sebagai bahan pewarna
dalam industri plastik dan pada elektroplating.
2. Allay Cd digunakan sebagai pemandu peluru-peluru kendali. Substansi dari alloy
Cd digunakan sebagai bahan solder.
3. Logam Cd dan senyawa Kadmium Nitrat sangat berguna dalam pengembangan
reaktor nuklir, berfungsi sebagai bahan untuk mengontrol kecepatan pemecahan
inti atom dalam rantai reaksi (reaksi berantai).
4. Senyawa CdS dan CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna.
5. Senyawa Cd-sulfat (CdSO4) digunakan dalam industri baterai yang berfungsi
untuk pembuatan sel Weston karena mempunyai potensial stabil yaitu sebesar
1,0186 volt.
6. Senyawa Kadmium Bromida (CdBr2) dan kadmium ionida (CdI2) secara tebatas
digunakan dalam dunia fotografi.
7. Senyawa dietil Kadmium digunakan dalam proses pembuatan tetraetil-Pb.
8. Senyawa Cd-strearat banyak digunakan dalam perindustrian manufaktur
polyvinil clorida (PVC) sebagai bahan yang berfungsi untuk stabilizer.
9. Selain itu, kadmium banyak digunakan dalam industri-industri ringan seperti
pada proses pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan ikan, industri tekstil
dan lain-lain.
10. Kadmium telah digunakan secara meluas pada berbagai industri antara lain
pelapisan logam, peleburan logam, pewarnaan, baterai, minyak pelumas, bahan
bakar. Bahan bakar dan minyak pelumas mengandung Cd sampai 0,5 ppm,
batubara mengandung Cd sampai 2 ppm, pupuk superpospat juga mengandung
Cd bahkan ada yang sampai 170 ppm.
2.1.5. Dampak yang Ditimbulkan
 Keracunan kadmium pada manusia
Kadmium (Cd) menjadi populer sebagai logam berat yang berbahaya setelah
timbulnya pencemaran sungai di wilayah Kumamoto Jepang yang menyebabkan
keracunan pada manusia. Pencemaran kadmium pada air minum di Jepang
menyebabkan penyakit “itai-itai”. Gejalanya ditandai dengan ketidak-normalan
tulang dan beberapa organ tubuh menjadi mati. Keracunan kronis yang disebabkan
oleh Cd adalah kerusakan sistem fisiologis tubuh seperti pada pernapasan, sirkulasi
darah, penciuman, serta merusak kelenjar reproduksi, ginjal, jantung dan kerapuhan
tulang.
Jika berakumulasi dalam jangka waktu yang lama, cadmium dapat
menghambat kerja paru-paru, bahkan mengakibatkan kanker paru-paru, mual,
muntah, diare, kram, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat, kerusakan ginjal dan
hati, dan gangguan kardiovaskuler.Kadmium dapat pula merusak tulang
(osteomalacia, osteoporosis) dan meningkatkan tekanan darah.Gejala umum
keracunan cadmium adalah sakit di dada, nafas sesak (pendek), batuk-batuk, dan
lemah.
Keracunan kronis terjadi bila memakan Cadmium (Cd) dalam waktu yang lama.
Gejala akan terjadi setelah selang waktu beberapa lama dan kronis seperti:
1. Keracunan pada nefron ginjal yang dikenal dengan nefrotoksisitas, yaitu gejala
proteinuria atau protein yang terdapat dalam urin, juga suatu keadaan sakit
dimana terdapat kandungan glukosa dalam air seni yang dapat berakibat kencing
manis atau diabetes yang dikenal dengan glikosuria, dan aminoasidiuria atau
kandungan asam amino dalam urine disertai dengan penurunan laju filtrasi
(penyaringan) glumerolus ginjal.
2. Cadmium (Cd) kronis juga menyebabkan gangguan kardiovaskuler yaitu
kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah maupun
tekanan darah yang meningkat (hipertensi). Hal tersebut terjadi karena tingginya
aktifitas jaringan ginjal terhadap cadmium. Gejala hipertensi ini tidak selalu
dijumpai pada kasus keracunan Cadmium (Cd) krosik.
3. Cadmium dapat menyebabkan keadaan melunaknya tulang yang umumnya
diakibatkan kurangnya vitamin B yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan
daya keseimbangan kandungan kalsium dan fosfat dalam ginjal yang dikenal
dengan namaosteomalasea atau penyakitItai-iatai. Kekurangan kalsium dapat
menyebabkan osteoporosis sehingga orang tidak dapat berdiri dengan tegak
tetapi membungkuk.
 Dampak Bagi Lingkungan
Logam cadmium juga membawa sifat racun yang dapat sangat merugikan
semua organisme hidup termasuk manusia. Dalam badan perairan, kelarutan cd dalam
konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Biota-biota yang tergolong
crustacean akan mengalami kematian dalam waktu 24-504 jam bila dalam badan air
dimana rentang konsentrasi Cd dalam perairan adalah 0,005-0,15ppm. Untuk biota
yang
tergolong insect akan mengalami kematian 24-672 jam dimana rentang konsentrasi Cd
adalah 0,0028-4,6 ppm. Sedangkan untuk perairan tawar, seperti ikan emas akan
mengalami kematian dalam waktu 96 jam dengan rentang konsentrasi Cd dalam
perairan yaitu 1,092-1,104 ppm.

2.2 Logam Berat Merkuri (Hg)


2.2.1 Pengertian Merkuri
Merkuri (air raksa, Hg) adalah salah satu jenis logam yang banyak ditemukan di
alam dan tersebar dalam batu - batuan, biji tambang, tanah, air dan udara sebagai
senyawa anorganik dan organik. Logam merkuri (Hg) adalah salah satu trace
element yang mempunyai sifat cair pada temperatur ruang dengan spesifik gravity
dan daya hantar listrik yang tinggi. Karena sifat-sifat tersebut, merkuri banyak
digunakan baik dalam kegiatan perindustrian maupun laboratorium.
2.2.2 Permasalahan pada Logam Merkuri
Logam merkuri yang mempunyai berbagai bentuk dapat dimanfaatkan di berbagai
bidang. Namun, bila dalam pemanfaatnnya tidak terkontrol akan menimbulkan
beberapa masalah seperti berikut;
1. Pemanfaatan merkuri terjadi pada tenaga kesehatan gigi yakni kegiatan
tumpatan gigi yang menggunakan amalgam. Pemanfaatan ini merupakan salah
satu keterpajanan manusia oleh logam merkuri. Untuk bahan tumpatan gigi
biasanya mengandung amalgam Hg Metal 50%. Amalgam dental adalah
campuran suatu bubuk aloi dengan Hg yang jika telah mengeras membentuk
masa solid dengan kekuatan yang tinggi (Sintawati, F.X. 2008).
2. Buangan industri dan penggunaan senyawaa merkuri di bidang pertanian
mengakibatkan kadar merkuri yang tinggi pada perairan (Industrial wastes).
Terdapatnya merkuri di perairan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu
 Kegiatan perindustrian seperti pabrik cat, kertas, peralatan listrik,
chlorine dan coustic soda
 Alam itu sendiri melalui proses pelapukan batuan dan peletusan
gunung berapi (Budiono, 2003 dalam Trianti Putranto,2011).
Penggunaan merkuri sebagai bahan campuran pada komestik krim pemutih wajah.
Untuk tampil putih dan cantik menjadi keinginan dari setiap kaum wanita. Hal ini
dimanfaatkan oleh para produsen untuk memproduksi produk yang menjanjikan
dengan menambahkan bahan merkuri. Hal ini akan banyak menyebabkan
kekahwatiran pada kaum wanita terhadap kandungan merkuri yang tentunya beresiko
bagi mereka.
2.2.3 Bentuk Logam Merkuri
Merkuri (Hg) dapat ditemukan dalam berbagai senyawa kimia dan termasuk
senyawa organik seperti metil dan etil merkuri. Senyawa merkuri dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk senyawa diantaranya:
1. Senyawa Merkuri Anorganik
Merkuri anorganik adalah logam murni yang berbentuk cair pada suhu kamar
25ᵒC, sehingga mudah menguap. Merkuri anorganik berbentuk Hg++
(Mercuric) dan Hg+(Mercurous). Terdapat beberapa bentuk merkuri
anorganik, diantaranya:
 Merkuri klorida (HgCl2) termasuk bentuk Hg inorganik yang sangat
toksik, kaustik dan digunakan sebagai desinfektan
 Mercurous chloride (HgCl) yang digunakan untuk teething powder
dan laksansia (calomel)
 Mercurous fulminate yang bersifat mudah terbakar.
2. Senyawa Merkuri (Hg) Organik
Contoh senyawa merkuri organik adalah senyawa alkil-merkuri, sekitar
80% dari peristiwa keracunann merkuri bersumber dari senyawa-senyawa
alkil- merkuri. Senyawa alkil merkuri yang sering digunakan di negara
berkembang seperti metil merkuri khlorida (CH3HgCL) dan etil
khlorida(C2H5HgCL). Selain itu terdapat juga bentuk merkuri anorganik
lainnya, seperti:
 Metil merkuri dan etil merkuri yang keduanya termasuk bentuk alkil
rantai pendek dijumpai sebagai kontaminan logam di lingkungan.
Metil-merkuri adalah bentuk merkuri organik yang umum terdapat di
lingkungan perairan. Misalnya memakan ikan yang tercemar zat tsb.
dapat menyebabkan gangguan neurologis dan kongenital.
 Merkuri dalam bentuk alkil dan aryl rantai panjang dijumpai sebagai
antiseptik dan fungisida.
3. Merkuri Elemental (Hg):
Bentuk merkuri metal banyak terdapat dalam peralatan tenaga medis
seperti, gelas termometer, tensimeter air raksa, amalgam gigi, alat elektrik,
batu batere dan cat. Juga digunakan sebagai katalisator dalam produksi soda
kaustik dan desinfektan serta untuk produksi klorin dari sodium klorida. Air
raksa ditemukan dalam bentuk elemen merkuri (Hg0), merkuri monovalent
(HgI), dan bivalen (HgII). Menurut Waldock (1994) di dalam Lasut (2001),
senyawa
- senyawa ini sangat beracun dan diperkirakan 4-31 kali lebih beracun dari
bentuk merkuri anorganik.
Tabel 2. Kegunaan dan Bentuk Merkuri dalam Pabrik
Penggunaan Bentuk

Alat listrik Logam

Klor Alkali Logam

Cat Organik

Istrumen Logam

Peralatan Kedokteran Gigi Logam, Organik

Pertanian Logam, Organik, Anorganik

Penggunaan di Labotarium Logam

Katalis Organik, Anorganik

Farmasi Logam, Organik, Anorganik

2.2.4 Manfaat Logam Merkuri


 Manfaat Di Bidang Kedokteran
30
Pemanfaatan logam merkuri pada saat ini sudah hampir mencakup aspek
kehidupan manusia dan lingkungan. Selama kurun waktu beberapa tahun, merkuri
telah banyak digunakan dalam bidang kedokteran. Bidang kedokteran telah
menggunakan merkuri sejak abad ke-15 di mana merkuri (Hg) digunakan untuk
pengobatan penyakit kelamin(sifilis). Kalomel (HgCl) digunakan sebagai
pembersih luka sampai diketahui bahwa tersebut beracun sehingga tidak
digunakan lagi. Komponen merkuri organik digunakan untuk obat diuretika
sampai bertahun- tahun dan juga digunakan sebagai bahan untuk komestik.
 Manfaat di Bidang Pertanian
Bidang pertanian menggunakan merkuri untuk membunuh jamur sehingga
baik digunakan untuk pengawet produk hasil pertanian. Merkuri organik juga
digunakan untuk pembasmi hama pada tanaman seperti buah, apel, kentang, dan
juga digunakan sebagai pembasmi hama padi.
 Manfaat Di Bidang Industri
Penggunaan merkuri di bidang industri banyak terdapat pada pabrik alat-alat
listrik yang menggunakan lampu-lampu merkuri untuk penerangan jalan raya. Ini
disebabkan biaya pemasangan dan operasi yang murah dan arus listriknya dapat
dialiri dengan voltase yang tinggi. Merkuri juga digunakan pada pembuatan
baterai, karena baterai dengan bahan yang mangandung merkuri dapat tahan lama
dan tahan terhadap kelembapan yang tinggi.
Perusahaan air minum memanfaatkan klorin (Cl2) untuk penjernihan air dan
pembasmi kuman (proses klorinasi). Juga di dalam pembuatan kaustik soda yang
diproduksi dengan jalan elektrolosis dari larutan garam NaCl, menggunakan
merkuri dalam bentuk amalgam dicampur dengan logam natrium dan digunakan
sebagai katoda yang banyak digunakan dalam pembuatan baterai basah maupun
kering. Penggunaan merkuri berbentuk larutan konduksi dan kemampuannya
mengikat logam natrium sebagai amalgam dan membebaskan klor. Merkuri juga
digunakan dalam campuran cat yang digunakan untuk mengecat pada daerah yang
mempunyai kelembapan tinggi sehingga dapat mencegah tumbuhnya jamur.
 Manfaat Mekuri di Pertambangan
Merkuri (Hg) digunakan secara luas untuk mengekstrak emas dari bijihnya,
baik sebelum maupun sesudah proses sianidasi digunakan. Ketika merkuri
dicampur dengan bijih tersebut, merkuri akan membentuk amalgam emas atau
perak. Untuk mendapakna emas atau perak, amalgam tersbut harus dibakar untuk
menguapkan merkurinya. Para penambang mas tradisional menggunakan merkuri
untuk menangkap dan memisahkan butir-butir emas dan butir-butir batuan.
 Manfaat Merkuri pada komestik
Untuk upaya mempercantik diri banyak kaum wanita yang menggunakan krim
pemutih wajah. Produk kosmetik bermerkuri umumnya menjanjikan wajah putih
dalam tempo singkat, sehingga banyak kaum wanita yang tertarik untuk
menggunakan komsteik yang mmengandung merkuri. Khusunya wanita di
Indonesia, masih banyak beranggapan bahwa putih dan mulus merupakan simbol
kecantikan. Hal ini dimanfaatkan oleh produsen kosmetik untuk menjual krim
pemutih wajah dengan kandungan bahan berbahaya, seperti merkuri.
2.2.5 Dampak yang ditimbulkan Logam Merkuri
Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan merkuri diantaranya:
 Di Bidang Kesehatan
Bahaya racun merkuri pada alat kesehatan terjadi pada saat peralatan tersebut
pecah atau tercecer dan cairan atau uap dari merkuri menyebar ke lingkungan.
Uap merkuri yang murni merupakan permasalahan toksikologi yang unik, karena
elemen merkuri ini mempunyai dua sifat toksisitas yag sangat berbahaya pada
manusia dianataranya:
1. Elemen Merkuri dapat menembus membran sel karena ia mempunyai sifat
mudah sekali larut dalam lipida, sehingga mudah sekali menembus barrier
darah otak yang akhirnya terakumulasi di dalam otak.
2. Elemen merkuri sangat mudah sekali teroksidadi untuk membentuk merkuri
oksida (HgO)/ ion merkuri(Hg2+).
Toksisitas kronik dari kedua bentuk merkuri ini akan berpengaruh pada jenis
organ yang berbeda yaitu saraf, otak, dan ginjal. Toksisitasnya akibat masuknya
uap merkuri melalui saraf saluran pernapasan(inhalasi), bisa menyerang sistem
saraf pusat, sedangkan toksisitas kronik yang ditimbulkannya dapat menyerang
ginjal. Elemen merkuri dan komponen alkil merkuri yang masuk ke dalam otak
akan menyenbabkan terjadinya perubahan protein dan sistem enzim, sehingga
sinoptik dan transmisi neuromuskuler diblok. Ginjal merupakan organ target dari
toksisitas merkuri anorganik, namunsemua bentuk senyawa merkuri ternyata
terkonsentrasi dalam ginjal pada derajat tertentu. Selain itu komponen anorganik
merkuri dapat menyebabkan pengaruh toksik yang dominan. Obat diuretika yang
mengandung merkuri dapat menghambat terjadinya respon sodium dalam tubulus
proksimal ginjal dalam dosis nontoksis, sehingga menyebabkan banyak urin yang
dikeluarkan.
 Dampak Merkuri (Hg) di Pertambangan
Dampak penggunaan merkuri di bidang pertambangan dirasakan oleh negara
Jepang pada tahun 1950’an yang terkenal dengaan Minamata Desease. Kasus ini
terjadi karena penduduk memakan ikan yang berasal dari laut sekitar teluk
Minamata yang mengandung merkuri yang berasal dari industri plastik. Gejala
yang dirasakan adalah terjadinya kelainan mental dan cacat.
 Dampak Penggunaan Merkuri di Bidang Pertanian
Di bidang pertanian, merkuri digunakan sebagai pestisida untuk membunuh
jamur, agar produk hasil pertanian bisa lebih awet. Namun penggunaan merkuri
sebagai pestisida berdampak pada kejadian pada periode 1960-an dan 1970-an,
beberapa kasus dilaporkan wabah toksisitas metil mmerkuri banyak dilaporkan,
kasus terbesar terjadi di Irak dengan lebih 6.500 orang keracunan metil merkuri,
wabah ini terjadi karena masyarakat mengonsumsi roti produksi rumah tangga
dengan bahan baku gandung yang diawetkan dengan fungisida yang mengandung
metil merkuri.
 Dampak Penggunaan Merkuri pada komestik
Pemakain komestik yang mengandung merkuri bisa mengakibatkan:
1. Dapat memperlambat pertumbuhan janin mengakibatkan keguguran, kematian
janin dan mandul.
2. Flek hitam pada kulit akan memucat seakan pudar dan bila pemakainnya
dihentikan, flek itu akan timbul dan melebar.
3. Efek rebound, yaitu kulit akan menjadi gelap/kusam saat pemakaianya
kosmetik dihentikan
4. Bagi wajah yang tadinya bersih lambat laun akan timbul flek yang sangat
parah, berubah keabu-abuan selanjutnya kehitaman
5. Dapat mengakibatkan kanker kulit
6. Pada pemakaian awal dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan kemerahan
iritasi pada kulit dan kemerahan bila terkena sinar matahari
7. Tidak timbul jerawat sama sekali, hal ini disebabkan lapisan kulit epidermis
telah rusak, kulit sudah tidak mengandung protein dan melanin. Hal ini
bersifat sementara, jika kondisi kulit sudah rusak bisa timbul benjolan-
benjolan bernanah
8. Pori-pori tampak mengecil dan halus, hal ini sebenarnya disebkan karena
lapisan kulit terluar wajah telah tipis dan tergerus oleh logam dan merkuri.
9. Merkuri yang terkandung dalam komestik akan diserap melalui kulit dan akan
dialirkan melalui darah keseluruh tubuh dan merkuri akan mengendap di
dalam ginjal yang berakibat terjadinya gagal ginjal yang sangat parah.
Akan terjadi gangguan sistem saraf, seperti tremor (gemetar), insomnia (tidak
bisa tidur), pikun, gangguan penglihatan, ataxia (gerakaan tangan tak normal),
gangguan emosi, depresi dll.
2.3 Logam Berat Timbal (Pb)
2.3.1. Pengertian Logam Timbal
Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga disebut
dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah, mudah
dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif sehingga biasa digunakan untuk melapisi
logam agar tidak timbul perkaratan.Timbal adalah logam yang lunak berwarna abu-
abu kebiruan mengkilat dan memiliki bilangan oksidasi +2 (Sunarya, 2007).
2.3.2. Permasalahan pada Logam Timbal
Pencemaran limbah logam berat mengandung timbal (Pb) merupakan masalah
terhadap kondisi lingkungan saat ini. Logam berat banyak ditemukan hampir pada
semua jenis limbah industri. Semakin banyaknya industri akan menyebabkan
peningkatan pencemaran terhadap sumber air yang berasal dari limbah industri yang
dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Air limbah yang mengandung
senyawa Pb yang mencemari badan air dengan konsentrasi tinggi dapat
mengakibatkan kematian pada biota air. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l
dapat membunuh ikan di perairan, bila biota air hidup di badan air yang mengandung
senyawa Pb pada konsentrasi 2,75-49 mg/l dan terpapar selama 245 jam akan
menyebabkan kematian pada Crustacea sedangkan pada konsentrasi Pb yang terlarut
sebesar 3,5-64 mg/l yang terpapar selama 168-336 jam akan menyebabkan kematian
Insekta.
2.3.3. Bentuk pada Lingkungan
Emisi Pb ke udara dapat berupa gas atau partikel sebagai hasil samping
pembakaran yang kurang sempurna dalam mesin kendaraan bermotor. Semakin
kurang sempurna proses pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor, maka
semakin banyak jumlah Pb yang akan di emisikan ke udara.menyerap timbal melalui
udara, debu, air dan makanan. Tetraethyl lead (TEL), yang merupakan bahan logam
timah hitam (timbal) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah
untuk menurunkan nilai oktan.

2.3.4. Manfaat Logam Timbal


Logam Pb banyak digunakan sebagai bahan pengemas, saluran air, alat-alat rumah
tangga dan hiasan. Dalam bentuk oksida timbal digunakan sebagai pigmen/zat warna
dalam industri kosmetik dan glace serta indusri keramik yang sebagian diantaranya
digunakan dalam peralatan rumah tangga
2.3.5. Dampak yang Ditimbulkan
Logam Pb banyak digunakan sebagai bahan pengemas, saluran air, alat-alat rumah
tangga dan hiasan. Dalam bentuk oksida timbal digunakan sebagai pigmen/zat warna
dalam industri kosmetik dan glace serta indusri keramik yang sebagian diantaranya
digunakan dalam peralatan rumah tangga.
a. Dampak yang ditimbulkan
 Gangguan neurologi.
Gangguan neurologi (susunan syaraf) akibat tercemar oleh Pb dapat
berupa encephalopathy, ataxia, stupor dan coma. Pada anak-anak dapat
menimbulkan kejang tubuh dan neuropathy perifer.
 Gangguan terhadap fungsi ginjal
Logam berat Pb dapat menyebabkan tidak berfungsinya tubulus renal,
nephropati irreversible, sclerosis va skuler, sel tubulusatropi, fibrosis dan
sclerosis glumerolus. Akibatnya dapat menimbulkan aminoaciduria dan
glukosuria, dan jika paparannya terus berlanjut dapat terjadi nefritis kronis.
 Gangguan terhadap sistem reproduksi
Logam berat Pb dapat menyebabk an gangguan pada sistem reproduksi
berupa keguguran, kesakitan dan kematian janin. Logam berat Pb mempunyai
efek racun terhadap gamet dan dapat menyebabkan cacat kromosom. Anak -
anak sangat peka terhadap paparan Pb di udara. Paparan Pb dengan kadar
yang ren dah yang berlangsung cukup lama dapat menurunkan IQ .
 Gangguan terhadap sistem hemopoitik
Keracunan Pb dapat dapat menyebabkan terjadinya anemia akibat
penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat
besi dalam serum. Anemia ringan yang terjadidisertai dengan sedikit
peningkatan kadar ALA ( Amino Levulinic Acid) urine.

 Gangguan terhadap sistem syaraf .


Efek pencemaran Pb terhadap kerja otak lebih sensitif pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa. Paparan menahun dengan Pb dapat
menyebabkan lead encephalopathy. Gambaran klinis yang timbul adalah rasa
malas, gampang tersinggung, sakit kepala, tremor, halusinasi, gampang lupa,
sukar konsentrasi dan menurunnya kecerdasan.
2.4 Logam Berat Kromium (Cr)
2.4.1. Pengertian Logam Kromium
Kromium (Cr) dalam table periodik merupakan unsur dengan nomor atom 24 dan
nomor massa 51,996. Atom tersebut terletak pada periode 4, golongan IVB. Logam
kromium berwarna putih, kristal keras dan sangat tahan korosi, melebur pada suhu
10930 sehingga sering digunakan sebagai lapisan, pelindung atau logam paduan.
2.4.2. Permasalahan Pada Logam Kromium
Kromium bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia
(Slamet, 2005), pada limbah industri pelapisan logam, khususnya pelapisan krom,
menghasilkan limbah dengan konsentrsi rata-rata 75.900mg/L dalam bentuk CrO 42-.
Dengan demikian konsentrasinya telah melampaui baku mutu limbah cair.
2.4.3. Bentuk Logam pada Lingkungan
Dalam badan perairan, kromium dapat masuk melalui dua cara, yaitu secara
alamiah dan non alamiah. Masuknya kromium secara alamiah dapat disebabkan oleh
beberapa faktor fisika, seperti erosi yang terjadi pada batuan mineral. Masuknya
kromium yang terjadi secara non alamiah lebih merupakan dampak atau efek dari
aktivitas yang dilakukan manusia. Sumber-sumber kromium yang berkaitan dengan
aktifitas manusia dapat berupa limbah atau buangan industri sampai buangan rumah
tangga. Umumnya sumber Cr (VI) dihasilkan dari proses industri, industri yang
memproduksi kromat, produksi stainlees-steel, chrome plating, serta industri leather
tanning dan yang lain bisa berasal dari emisi peralatan yang menggunakan katalisator
atau bahan Cr, pecahan puing asbes, debu semen, tembakau rokok yang mengandung
Cr sebesar 0,24-14,6 mg/kg, serta berbagai bahan pangan yang tercemar Cr.
Kromium adalah elemen yang secara alamiah ditemukan dalam konsentrasi yang
rendah di batuan, hewan, tanaman, tanah, debu vulkanik dan juga gas. Kromium
terdapat di alam dalam beberapa bentuk senyawa yang berbeda. Bentuk yang paling
umum adalah kromium (0), kromium (III) dan kromium (VI). Kromium (VI) dan
kromium (0) umumnya dihasilkan dari proses industri.
Kromium (III) terdapat di alam secara alamiah dan merupakan salah satu unsur
nutrisi yang penting bagi manusia. Kromium (VI) dan kromium (0) umumnya
dihasilkan dari proses industri. Kromium adalah logam baja berwarna abu-abu,
ditambang dalam bentuk biji kromit, tidak berbau dan mengkilat. Kromium stabil
pada tekanan dan temperature normal. Kromium dalam konsentrasi tertentu bersifat
racun bagi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Kromium juda dapat di hasilkan dari proses isolasi dilabolatorium, karena
kromium begitu mudah tersedia secara komersial. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa sumber yang paling berguna dari komersial kromium adalah
bijih kromit, FeCr2O4. Oksidasi bijih ini melalui udara dalam cairan alkali
memberikan natrium kromat, Na2CrO4 di mana kromium dalam oksidasi 6 negara. Ini
dikonversi menjadi Cr (III) oksida, Cr 2O3 dengan ekstraksi ke dalam air, curah hujan,
dan reduksi dengan karbon. Oksida kemudian dikurangi lagi dengan aluminium atau
silikon untuk membentuk logam kromium.
2.4.4. Manfaat Logam Kromium
Berikut merupakan beberapa manfaat logam Kromium:
a. Digunakan untuk mengeraskan baja, untuk pembuatan stainless steel, dan untuk
membentuk paduan
b. Digunakan dalam plating untuk menghasilkan permukaan yang indah dan keras,
serta untuk mencegah korosi.
c. Digunakan untuk memberi warna hijau pada kaca zamrud
d. Digunakan sebagai katalis. seperti K2Cr2O7 merupakan agen oksidasi dan
digunakan dalam analisis kuantitatif dan juga dalam penyamakan kulit
e. Merupakan suatu pigmen, khususnya krom kuning
f. Digunakan dalam industri tekstil sebagai mordants
g. Industri yang tahan panas menggunakan kromit untuk membentuk batu bata dan
bentuk, karena memiliki titik lebur yang tinggi, sedang ekspansi termal, dan stabil
struktur kristal
h. Dibidang biologi kromium memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa
i. Digunakan untuk aplikasi medis, seperti Cr-51 yang digunakan untuk mengukur
volume darah dan kelangsungan hidup sel darah merah.
j. Digunakan sebagai pigmen merah untuk cat minyak, khususnya senyawa PrCrO4
k. Digunakan dalam pembuatan batu permata yang berwarna. Warna yang kerap
digunakan adalah warna merah, yang diperoleh dari kristal aluminium oksida
yang kedalamnya dimasukkan kromium.
l. Bahan baku dalam pembuatan kembang api. Hal ini diperoleh dari Hasil
pembakaran amonium dikromat, (NH4)2Cr2O7, yang berisi pellet dari raksa
tiosianat (HgCNS).
m. Penggunaan utama kromium adalah sebagai paduan logam seperti pada stainless
steel, chrome plating, dan keramik logam.
n. Chrome plating pernah digunakan untuk memberikan lapisan keperakan seperti
cermin pada baja.
o. Kromium digunakan dalam metalurgi sebagai anti korosi dan pemberi kesan
mengkilap.
p. Selain itu, logam ini juga digunakan pada pewarna dan cat, untuk memproduksi
batu rubi sintetis, dan sebagai katalis dalam pencelupan dan penyamakan kulit.
2.4.5. Dampak yang Ditimbulkan
Krom valensi 3 merupakan mikronutrien bagi makhluk hidup, tetapi bersifat
toksik dalam dosis tinggi. Cr (III) dibutuhkan untuk metabolisme hormon insulin dan
pengaturan kadar glukosa darah. Defisiensi Cr (III) bisa menyebabkan hiperglisemia,
glukosoria, meningkatnya cadangan lemak tubuh, menurunnya berat badan tubuh,
munculnya penyakit kardiovaskuler, menurunnya umlah sperma dan menyebabkan
infertilitas. The National Academy of Sciences menetapkan kebutuhan intake Cr (III)
untuk orang dewasa sebesar 50-200 µg/hari (Widowati, 2008). Toksisitas Cr
ditentukan oleh bilangan oksida Cr, paparan Cr (VI) bersifat karsinogenik, dan bisa
menyebabkan kanker paru. Cr (III) memilki potensi yang sama dengan Cr (VI) dalam
menimbulkan kanker dikarenakan oleh intake Cr (III) yang secara aktif akan
dimetabolisme dan berkaitan dengan asam nukleat inti sel. Ikatan Cr (III) akan
memengaruhi genetis sehingga menyebabkan mutagenesis (Widowati, 2008). Krom
valensi 6 (Cr+6) juga mempunyai beberapa efek toksik terhadap manusia, antara lain:
a. Efek toksik terhadap alat pencernaan
b. Efek toksik terhadap alat pernapasan
c. Efek toksik terhadap kulit dan mata
d. Efek toksik melalui plasenta
Ada beberapa jenis kromium yang berbeda dalam efek pada organisme. Kromium
memasuki udara, air dan tanah di krom (III) dan kromium (VI) bentuk melalui
proses-
proses alam dan aktivitas manusia.Kegiatan utama manusia yang meningkatkan
konsentrasi kromium (III) yang meracuni kulit dan manufaktur tekstil. Kegiatan
utama manusia yang meningkatkan kromium (VI) konsentrasi kimia, kulit dan
manufaktur tekstil, elektro lukisan dan kromium (VI) aplikasi dalam industri.
Aplikasi ini terutama akan meningkatkan konsentrasi kromium dalam air. Melalui
kromium pembakaran batubara juga akan berakhir di udara dan melalui pembuangan
limbah kromium akan berakhir di tanah. Sebagian besar kromium di udara pada
akhirnya akan menetap dan berakhir di perairanatau tanah.
Kromium dalam tanah sangat melekat pada partikel tanah dan sebagai hasilnya
tidakakan bergerak menuju tanah. Kromium dalam air akan menyerap pada endapan
dan menjadi takbergerak.Hanya sebagian kecil dari kromium yang berakhir di air
pada akhirnya akan larut.Kromium (III) merupakan unsur penting untuk organisme
yang dapat mengganggu metabolisme gula dan menyebabkan kondisi hati, ketika
dosis harian terlalu rendah.Kromium (VI) adalah terutama racun bagi
organisme.Dapat mengubah bahan genetik danmenyebabkan kanker. Tanaman
mengandung sistem yang mengatur kromium-uptake harus cukup rendah tidak
menimbulkan bahaya. Tetapi ketika jumlah kromium dalam tanah meningkat, hal ini
masih dapatmengarah pada konsentrasi yang lebih tinggi dalam tanaman.
Peningkatan keasaman tanah juga dapat mempengaruhi pengambilan kromium oleh
tanaman. Tanaman biasanya hanya menyerap kromium (III). Ini mungkin merupakan
jenis penting kromium, tetapi ketika konsentrasi melebihinilai tertentu, efek negatif
masih dapat terjadi. Kromium tidak diketahui terakumulasi dalam tubuh ikan, tetapi
konsentrasi tinggikromium, karena pembuangan produk-produk logam di permukaan
air, dapat merusak insangikan yang berenang didekat titik pembuangan. Pada hewan,
kromium dapat menyebabkan masalah pernapasan, kemampuan yang lebih rendah
untuk melawan penyakit, cacat lahir, infertilitas dan pembentukan tumor.
2.5 Logam Berat Arsen (As)
2.5.1 Pengertian Arsen
Arsen (As) adalah salah satu logam toksik yang seringdiklasifikasikan sebagai
logam, Tetapi lebih bersifat nonlogam. Tidak seperti logam lain yang membentuk
kation, Arsen (As) dialam berbentuk anion, seperti H2AsO4 (Ismunandar, 2004).
Arsen
40
(As) tidak rusak oleh lingkungan, hanya berpindah menuju air atau tanah yang
dibawa olehdebu, hujan, atau awan. Beberapa senyawa Arsen (As) tidak bisa larut
diperairan dan akhirnya akan mengendap di sedimen. Senyawa arsen padaawalnya
digunakan sebagai pestisida dan hibrisida, sebelum senyawa organic ditemukan, dan
sebagai pengawet kayu (Copper ChromatedArsenic (CCA).
2.5.2 Permasalahan yang Ditimbulkan
Akibat merugikan dari arsen bagi kesehatan manusia adalah apabila terkandung
>100 ppb dalam air minum; dengan gejala keracunan kronis berupa iritasi usus,
kerusakan syaraf dan sel, kelainan kulit atau mela-noma serta kanker usus. Ini terjadi
di negara-negara yang memproduksi emas dan logam dasar di antaranya Afrika
selatan, Zimbabwe, India, Thailand, Cina, Filipina, dan Meksiko.
2.5.3 Bentuk logam Arsen
Bentuk senyawa arsen yang paling beracun ialah gas arsin (AsH 3) yang terbentuk
bila asam berekasi dengan arsenat yang mengandung logam lain. Logam terdapat di
batuan (tanah) dan sedimen, air, dan udara Selain dapat ditemukan di udara, air
maupun makanan, arsen juga dapat ditemukan di industry seperti industri pestisida,
proses pengecoran logam maupun pusat tenaga geothermal. Elemen yang
mengandung arsen dalam jumlah sedikit atau komponen arsen organik (biasanya
ditemukan pada produk laut seperti ikan laut) biasanya tidak beracun (tidak toksik).
2.5.4 Manfaat Logam Arsen
Arsen juga pernah digunakan sebagai obat untuk berbagai infeksi parasit, seperti
protozoa, cacing, amoeba,spirocheta dan tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi
digunakan karenaditemukannya obat lain yang lebih aman. Arsen digunakan dalam
pembuatan perunggu dan kembang api. Senyawanya yang paling penting adalah
arsen putih, sulfide, paris hijau, dan arsen timbal; tiga yang terakhir telah digunakan
sebagai insektisida dan racun di bidang pertanian. Arsen juga mulai banyak
digunakan sebagai bahan laser untuk mengkonvensi listrik ke cahaya koheren secara
langsung. Arsen putih(As2O3) biasanya digunakan untuk membasmi rumput liar;
sementara senyawa arsenik tertentudimanfaatkan dalam peleburan gelas, pengawet
kayu dan kulit, bahan pencelup, pigmen, obat-obatan, petasan/ kembang api, dan
bahan kimia.
2.5.5 Dampak yang Ditimbulkan
Arsenik memang dikenal karsinogen atau dapat menyebabkan kanker. Orang yang
terlalu banyak terkena zat arsen dari konsumsi air minum disebut arsenikosis. Korban
dari arsenikosis ini tidak akan berdampak dalam waktu dekat, namun dampaknya
baru terlihat setelah dalam jangka waktu yang lama (long-term). Berbagai dampak
diantaranya pigmentasi kulit, gangren, dan keratosis, itu pun baru terlihat minimal 5
tahun terkena arsenik yang terakumulasi. Karena keracunan arsen ini tidak langsung
dapat dilihat, maka tindakan yang paling mungkin adalah tindakan pencegahan (Paul,
2004). Contohnya kasus pencemaran arsen di Bangladesh. Warga di Bangladesh
menggunakan air sumur yang tercemar arsenik sebagai sumber air minum utama.
Diperkirakan 35 sampai 57 juta penduduk di negara ini menjadi korban dalam kasus
pencemaran. Penduduk negara ini menderita penyakit yang sangat merugikan, mulai
dari melanosis hingga kanker kulit dan gangren. Dalam beberapa laporan
mengungkapkan bahwa air sumur yang tercemar sudah membunuh 3000 jiwa serta
membuat 125000 korban terkena kanker kulit. Persebaran paparan arsenik berawal di
dataran tengah yang merupakan pusat negara bangladesh menyebar ke utara dan
selatan yang datarannya lebih rendah melalui lapisan bawah tanah (Paul, 2004).
DAFTAR PUSTAKA

Apriliani, Laurence, D., dkk. (2014). Makalah Logam Kimia Berat Kromium. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Pekan Baru. Retrieved from
https://www.academia.edu/9187316/Makalah_Kimia_Logam_Berat_Kromium_DOSEN_P
EMBIMBING_GANIS_FIA_SARTIKA_UNIVERSITAS_RIAU_FAKULTAS_MATEM
ATIKA_DAN_ILMU_PENGETAHUAN_ALAM

Alfian, Zul. 2006. Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia dan
Lingkungan. Universitas Sumatra Utara. Retrieved from library.usu.ac.id/download/e-
book/zul%20alfian.pdf. diakses pada tanggal 21 Februari 2017.

Afrizal, M., Andy Firmansyah, M., dkk. (2012). Penyakit Tidak Menular Akibat Logam Berat
Arsen. Jurusan Kesehatan Lingkungan. Retrieved from
https://www.scribd.com/doc/112524807/Makalah-PAPLC-Logam-Berat-Arsen
Caroline, J., Arron Moa, G. (2015). Fitoremediasi Logam Timbal (Pb) Menggunakan
Tanaman Melati Air (Echinodorus Palaefolius) Pada Limbah Industri Peleburan Tembaga
Dan Kuningan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan III 2015, 733-744

Fauziah. (2011). Efektivitas Penyerapan Logam, Kromium (Cr VI) Dan Kadmium (Cd) Oleh
Scenedsmus Dimorphus. Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Retrieved from
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4125/1/FAUZIAH-FST.pdf

Gusnita, Dessy. (2012). Pencemaran Logam Berat Timbal (PB) di Udara dan Upaya
Penghapusan Bensin Bertimbal. Berita Dirgantara,13 (3). 95-101
Hadi, MC. (2013). Bahaya Merkuri Di Klingkungan Kita. Jurnal Skala Husada. 10 (2), 175-
183.

Istrani, F., S. Pandebesie, E. (2014). Studi Dampak Arsen (As) Dan Kadmium (Cd) Terhadap
Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1), 53-58
Ikbal, M. (2017). Makalah Pembahasan Kadmium. Retrieved from
http://www.academia.edu/8633982/MAKALAH_PEMBAHASAN_KADMIUM_Cd_

Istarani, F., Pandebesie, Ellina S. (2014). Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium (Cd)
terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1), 53-58
Lasut, Markus T. 2001. Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Aktifitas Tambang.Fakultas
Perikanan & Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi.

Sintawati,F.X. (2008). Pajanan Merkuri Pada Tenaga Kesehatan Gigi. Jurnal Ekologi
Kesehatan. 7(2),786-794

Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. (2006). Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya
Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2 (2). 129-142
Triadi Putranto, T. (2011). Pencemaran logam berat merkuri (Hg) pada air tanah. TEKNIK.
32(1), 0852-1697.

Zulkifli Herman, D., (2006). Tinjauan terhadap Tailling Mengandung Unsur Pencemar Arsen
(As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) Dari Sisa Pengolahan Bijih Logam.
Jurnal Geologi Indonesia. 1(1), 31-36
BAB 4.

TOKSIKOLOGI PESTISIDA

Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia (Casarett dan
Doulls dalam Rachmawati, 2013). Selain itu toksikologi juga mempelajari kerusakan atau cedera
pada organisme yang diakibatkan oleh materi suatu substansi, mempelajari racun, tidak saja
efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja
kimia yang merugikan terhadap organisme. Toksikologi lingkungan adalah ilmu yang
mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan menimbulkan
pencemaran lingkungan (Cassaret dalam Rachmawati, 2013). Salah satu bahan toksik yang
berbahaya bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan baik adalah pestisida.
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh, jadi
pestisida berati pembunuh hama. Pestisida merupakan zat, senyawa kimia (zat pengatur tumbuh
dan perangsang tumbuh), organisme renik, virus dan zat lain-lain yang digunakan untuk
melakukan perlindungan tanaman atau bagian tanaman (Pedum Kajian Pestisida dalam Yuantari,
2013). Penggunaan pestisida yang bijaksana banyak menguntungkan manusia, seperti
meningkatnya produksi tanaman dan ternak karena menurunnya gangguan hama dan penyakit
pada tanaman (OPT), terjaminnya kesinambungan pasokan makanan dan pakan karena hasil
panen meningkat, serta meningkatnya kesehatan, kualitas dan harapan hidup manusia akibat
tersedianya bahan makanan bermutu (Cooper dan Dobson dalam Supriadi, 2013). Namun, harus
diakui bahwa dampak negatif penggunaan pestisida tidak dapat dihindarkan.
Penggunaan pestisida dapat mengontaminasi pengguna secara langsung sehingga
mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok,
yaitu keracunan akut ringan, keracunan akut berat, dan kronis. Keracunan akut ringan
menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare. Keracunan
akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernapas keluar air liur, pupil
mata mengecil dan denyut nadi meningkat. Selanjutnya, keracunan yang sangat berat dapat
mengakibatkan pingsan, kejangkejang, bahkan bisa mengakibatkan kematian. (Quijano dalam
Yuantari 2013). Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak
menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, Keracunan kronis dalam jangka waktu
yang lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida
diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati,
ginjal dan pernapasan. Berdasarkan studi litelatur bahwa dampak dari paparan pestisida dapat
menyebabkan Multiple myeloma, sarkoma, kanker prostat dan pankreas, kanker rahim, pankreas
serta Hodgkin. (Alavanja, et al dalam Yuantari 2013). Pemakaian pestisida mempunyai risiko
meningkatnya penyakit diabetis millitus gestasional pada istri pemakai pestisida ditrisemester
pertama (Saldana dalam Yuantari 2013).
Manusia dapat terpajan pestisida secara langsung dan tidak langsung. Pajanan pestisida
secara langsung dapat terjadi pada saat pengaturan di lahan pertanian, akibat pekerjaan dan pada
waktu di rumah. Pajanan pestisida tidak langsung terjadi melalui air minum, udara, debu dan
makanan. Pajanan pestisida secara tidak langsung lebih sering terjadi dibandingkan paparan
langsung. Diperkirakan bahwa sebanyak 25 juta pekerja pertanian mengalami keracunan
pestisida setiap tahun di seluruh dunia yang tidak disengaja (Alavanja et al dalam Yuantari
2013). Pestisida yang banyak digunakan biasanya merupakan bahan kimia toksikan yang unik,
karena dalam penggunaannya, pestisida ditambahkan atau dimasukkan secara sengaja ke dalam
lingkungan dengan tujuan untuk membunuh beberapa bentuk kehidupan. Idealnya pestisida
hanya bekerja secara spesifik pada organisme sasaran yang dikehendaki saja dan tidak pada
organisme lain yang bukan sasaran. Tetapi kenyataanya, kebanyakan bahan kimia yang
digunakan sebagai pestisida tidak selektif dan malah merupakan toksikan umum pada berbagai
organisme (Keman dalam Budianto, 2013).
Untuk itu, pemanfaatan pestisida harus dikelola dengan bijaksana dan penggunaan yang
tepat jenis, dosis, sasaran, cara, waktu aplikasi, dan harus menggunakan pestisida yang telah
terdaftar dan memperoleh izin Menteri Pertanian. Penggunaan pestisida ini tidak akan
menimbulkan masalah apabila sesuai dengan aturan yang diperbolehkan. Penggunaan pestisida
yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan
lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sehubungan dengan sifatnya
yang toksik, serta kemampuan dispersinya yang tinggi yaitu mencapai 100% (Mangkoedihardja
dalam Panjaitan, 2015)
Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana terhadap kesehatan dan lingkungan sudah
banyak dipublikasi sehingga berbagai upaya untuk memimalkan dampak negatifnya perlu
dilakukan. Penggunaan pestisida dengan bahan aktif yang sangat toksik dan sulit terdegradasi
juga menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan, seperti hilangnya keragaman
hayati, menurunnya populasi organisme yang berfungsi sebagai musuh alami hama, dan
pencemaran lingkungan (Isenring dalam Supriadi, 2013). Munculnya OPT yang resisten terhadap
pestisida sintetis sudah lama diketahui. Menurut Bellinger dalam Supriadi (2013), ada lebih dari
500 spesies serangga dan tungau, 270 spesies gulma, 150 patogen tanaman, dan beberapa spesies
tikus yang tahan terhadap pestisida.
Pestisida yang digunakan oleh petani sudah sangat intensif, bahkan melebihi batas aman.
Petani sayuran sudah biasa menggunakan dua atau lebih jenis pestisida yang tidak diketahui
kompatibilitasnya (Supriadi, 2013). Selain dosisnya berlebihan, hama sasarannya tetap tidak
terkendali, sehingga perlakuan pestisida akan merusak lingkungan dan menimbulkan resistensi
hama. Oleh karena itu kelompok kami tertarik untuk mengetahui jenis, manfaat, bahya
penggunaan, dan kandungan toksin yang terkandung dalam pestisida sebagai upaya penggunaan
pestisida secara bijak.

2.1 JENIS PESTISIDA DAN MANFAATNYA

Pestisida adalah bahan atau zat kimia yang digunakan untuk membunuh hama, baik yang
berupa tumbuhan, serangga, maupun hewan lain di lingkungan kita. Berdasarkan jenis hama
yang akan diberantas, pestisida digolongkan menjadi insektisida, herbisida, nematisida,
fungisida, dan rodentisida.
1. Insektisida

Insektisida merupakan pestisida untuk memberantas serangga, seperti nyamuk, kecoak,


kutu busuk, rayap, semut, belalang, wereng, ulat, dan sebagainya. Contoh insektisida
antara lain diazinon, tiodan, basmion, basudin, propoksur, diklorovinil dimetil fosfat,
timbel arsenat, dan magnesium fluorosilikat.
2. Herbisida

Herbisida merupakan pestisida untuk mencegah dan mematikan gulma atau tumbuhan
pengganggu, seperti eceng gondok, rumput teki, dan alang-alang. Alang-alang dapat
dikatakan sebagai hama tanaman karena alang-alang menyerap semua zat makanan yang
ada dalam tanah.
Contoh herbisida antara lain gramoxone, totacol, pentakloro fenol, dan ammonium
sulfonat.

3. Nematisida

Nematisida adalah pestisida untuk memberantas hama cacing. Hama ini sering merusak
akar atau umbi tanaman. Contoh nematisida adalah oksamil dan natrium metam.
4. Fungisida

Fungisida adalah pestisida untuk memberantas jamur (fungi). Contoh fungisida adalah
timbel (I) oksida, carbendazim, tembaga oksiklorida, dan natrium dikromat.
5. Rodentisida

Rodentisida adalah pestisida untuk memberantas binatang pengerat, misalnya tikus.


Contoh rodentisida adalah warangan (senyawa arsen) dan thalium sulfat.

2.1.1 Pestisida Dapat Dibedakan Berdasarkan Kegunaan, Cara Kerja, Cara Masuknya
Ke Dalam Tubuh Serangga.
1) Berdasarkan Kegunaan dan Asal Katanya,

1. Akarisida

Akarisida atau yang sering kita kenal dengan mitisida berasal dari kata akari yang berarti
kutu atau tungau, mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh
kutu, tungau, atau laba-laba.
2. Algisida

Algisida berasal dari kata alga yang berarti ganggang, mengandung senyawa kimia yang
biasanya digunakan untuk membunuh ganggang.
3. Avisida

Avisida berasal dari kata avis yang berarti burung. Senyawa avisida biasanya digunakan
untuk membunuh atau mengenyahkan burung.
4. Bakterisida
Bakterisida berasal dari kata bacterium yang berarti jasat renik. Bakterisida mengandung
senyawa kimia beracun yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri.
5. Fungisida

Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur yang mengandung senyawa kimia
beracun dan bisa digunakan ntuk membunuh atau mencegah jamur.
6. Herbisida

Herbisida berasal dari kata herba yang memiliki arti tumbuhan semusim. Herbisida
mengandung senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan
pengganggu yang sering disebut dengan gulma.
7. Isektisida

Insektisida berasal dari kata insectum yang memiliki arti hewan berkuku. Insektisida
merupakan suatu bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang dapat
membunuh segala jenis serangga.
8. Larvisida

Larvasida berasal dari kata lar yang berarti topeng atau hantu. Larvasida merupakan
suatu senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh larva.
9. Moluskisida

Moluskisida berasal dari kata molluscus yang berarti tulang kerang lunak atau berkulit
tipis. Moluskisida merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan untuk membunuh
bekicot, kerang atau hewan bertulang lunak lainnya.

10. Nematisida

Nematisida berasal dari kata nematode yang memiliki arti benang. Nematisida
merupakan racun yang dapat digunakan untuk mengendalikan hewan dengan jenis
nematode seperti cacing.
11. Ovisida

Ovisida berasal dari kata ovum yang berarti telur. Ovisida merupakan racun yang dapat
digunakan untuk membunuh telur.
12. Piscisida
Piscisida berasal dari kata piscis yang memiliki arti ikan. Piscisida merupakan bahan
senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mengandalikan ikan mujair yang biasanya
menjadi hama di dalam tambak atau kolam.
13. Predisida

Predisida berasal dari kata praeda yang berarti predator. Predisida sendiri merupakan
senyawa kimia beracun yang biasanya digunakan untuk membuhun hewan predator atau
pemangsa seperti ular.
14. Rodentisida

Rodentisida berasal dari kata roden yang berarti hewan penggerat. Rodentisida
merupakan racun kimia yang dapat digunakan untuk membunuh hewan-hewan
pengegerat seperti tikus
15. Silvisida

Silvisida berasal dari kata silva yang berarti hutan. Silvisida adalah bahan racun kimia
yang biasanya digunakan untuk membunuh pohon liar yang terdapat di hutan.
16. Termitisida

Termitisida berasal dari kata termes yang memiliki arti acing perusak kayu. Termitisida
merupakan senyawa kimia berbahaya yang biasanya digunakan untuk membunuh rayap.
17. Atraktans

Antraktans merupakan suatu senyawa kimia yang dapat digunakan untuk memikat
serangga.

18. Khemosterilan

Khemosterilan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk membuat serangga,


burung atau hewan pengerat lainnya menjadi mandul.
19. Defolian

Defolian adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai peluruh daun.

20. Desikan

Desikan adalah senyawa kimia yang dapt digunakan untuk mempercepat pengeringan
pada tumbuhan.

50
21. Feromon

51
Sama halnya seperti atraktans, feromon juga merupakan senyawa yang dapat digunakan
untuk memikat serangga atau hewan vertebrata.
22. Repelan

Repelan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengenyahkan serangga, kutu,
tungau, anjing dan lainnya.

2) Menurut Cara Kerja Atau Gerakannya Pada Tanaman Setelah Digunakan, Insektisida
Secara Kasar Dapat Dibedakan Menjadi: a. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui akar, batang ataupun
daun. Kemudian insektisida sistemik tersebut akan mengikuti gerakan cairan tanaman
dan ditransportasikan ke tanaman-tanaman lainnya baik ke atas ataupun ke bawah,
termasuk juga ke tunas yang baru tumbuh. Contoh insektisida sismetik adalah
Furatiokarb, Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos. b. Insektisida
Nonsistemik Insektisida nonsistemik setelah digunakan pada tanaman maka tidak akan
diserap oleh jaringan tanaman, namun hanya menempel pada bagian luar tanaman saja.
Sebagian besar insektisida yang dijual dipasaran Indonesia adalah insektisida
nonsistemik. Contohnya adalah Dioksikarb, Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan
Quinalfos. c. Insektisida
Sistemik Lokal
Insektisida sistemik lokal merupakan kelompok insektisida yan dapat diserap oleh
tanaman umumnya bagian daun, namun tidak dapat disalurkan ke bagian tanaman
lainnya. Insektisida yang berdaya kerja translaminar atau insektisida yang mempunyai
daya penetrasi ke dalam jaringan merupakan kategori dari insektisida sistemik lokal.
Contohnya adalah Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.

3) Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
a. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)

Racun lambung merupakan insektisida yang dapat membunuh serangga yang menjadi
sasaran apabila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan
diserap oleh dinding saluran pencernaan. Kemudian insektisida tersebut akan dibawa oleh
cairan tubuh serangga menuju susunan saraf serangga. Insektisida yang sering disebut
sebagai racun perut adalah Bacillus thuringiensis.
b. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit.
Serangga hama dapat mati apabila bersinggungan langsung dengan insektisida tersebut.
Beberapa racun kontak juga dapat berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida
yang memiliki sifat yang kuat terhadap racun kontak antara lain Diklorfos dan Pirimifos
metil.
c. Racun Pernafasan
Racun pernafasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernafasan. Serangga
hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Sebagian besar
racun pernafasan berupa gas, atau apabila wujud asalnya padat atau cair yang dapat
berubah atau menghasilkan gas apabila diaplikasikan sebagai fumigansi (gas) seperti
Bromide dan Alumunium fosfida. Terdapat juga insektisida berupa racun kontak ataupun
racun perut yang memiliki efek sebagai fumigansi seperti Diafentiuron.

2.2 BAHAYA PESTISIDA

a. Bahaya Pestisida Terhadap Tumbuhan

Pestisida mengahalangi proses pengikatan nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan


tanaman. Insektisida golongan organoklorin seperti DDT, golongan organoklorin seperti
DDT, golongan organofosfat seperti metal parathion dan pentaklorofenol diketahui
mengganggu simbiosis antara tanaman legume dengan bakteri rhizobium. Dengan
berkurangnya hubungan simbiotik antara keduanya menyebabkan pengikatan nitrogen
menjadi terganggu sehingga mengurangi hasil tanaman pertanian. Pestisida dapat
membunuh lebah dan berakibat buruk terhadap proses penyerbukan tumbuhan,hilangnya
spesies tumbuhan yang bergantung pada lebah dalam penyerbukannya, dan keruntuhan
koloni lebah.
b. Bahaya Pestisida Terhadap Kehidupan Biota Akuatik

Ikan dan biota akuatik lainnya dapat mengalami efek buruk dari perairan yang
terkontaminasi pestisida. Aliran permukaan yang membawa pestisida ke sungai
membawa dampak yang mematikan bagi kehidupan di perairan, dan dapat membunuh
ikan dalam jumlah besar. Penerapan herbisida di perairan dapat membunuh ikan ketika
tanaman yang mati membusuk dan proses pembusukan tersebut mengambil banyak
oksigen didalam air, sehingga membuat ikan kesulitan bernafas. Beberapa herbisida
mengandung tembaga
sulfit yang beracun bagi ikan dan hewan air lainnya. Penerapan herbisida pada perairan
dapat mematikan tanaman air yang menjadi makanan dan penunjang habitat ikan
sehingga menyebabkan berkurangnya populasi ikan.
Pestisida dapat terakumulasi di perairan dalam jangka panjang dan mampu membunuh
zooplankton, sumber makanan utama ikan kecil. Beberapa ikan memakan serangga
akibat pestisida dapat menyebabkan ikan kesulitan mendapatkan makanan. Semakin
cepat pestisida terurai di lingkungan, dampak dan bahayanya semakin berkurang. Selain
itu, telah diketahui bahwa insektisida secara umum memiliki dampak yang lebih
berbahaya lagi biota akuatik dibandingkan herbisida dan fungisida.
c. Bahaya Pestisida Terhadap Burung

Pestisida DDT diketahui menyebabkan penipisan cangkang telur pada burung di amerika
utara dan eropa. Fungisida yang digunakan pada usaha budidaya kacang tanah diketahui
dapat membunuh cacing tanah,sehingga mengancam keberadaan burung dan mamalia
yang memangsa mereka. Beberapa pestisida tersedia dalam wujud butiran, sehingga
burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut karena disangka sebagai
bijibijian. Herbisida ketika mengalami kontak dengan telur burung, akan mengakibatkan
pertumbuhan embrio yang abnormal dan mengurangi jumlah telur yang akan menetas.
Herbisida juga dapat mengurangi populasi burung karena banyak tumbuhan penunjang
habitat mereka yang mati.
d. Bahaya Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia

Salah satu bahaya pestisida adalah menghambat perkembangan kognitif. Pada kehamilan
bisa beresiko terjadinya kelainan bawaan. Residu pestisida ini bisa terdapat dalam jenis
buah dan sayuran segar, sehingga kita memerlukan kehati-hatian dalam
mengkonsumsinya. Penggunaan pestisida bisa terjadi pada saat proses produksi di lahan
atau selama pasca panen.
Pestisida yang tidak sengaja termakan oleh Ibu hamil dapat menyebabkan bayi cacat
lahir. Cacat lahir seperti bibir sumbing, kaki pengkor, dan sindrom down bisa diakibatkan
paparan pestisida. Untuk memperkecil resiko, ibu hamil harus selektif dalam
mengkonsumsi makanan dan minuman. Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia
yang masuk dalam kategori persisten organic pollutans (POPs) yang berbahaya bagi
kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan
kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik sentral
ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan
kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada makhluk
hidup, termasuk janin.
e. Terjadinya keracunan dan kematian pada manusia, ternak dan hewan piaraan, satwa liar,
ikan dan biota air lainnya, biota tanah, tanaman, musuh alami, OPT bukan sasaran. f.
Terjadinya resistensi
g. Terjadinya pencemaran lingkungan hidup

h. Residu pestisida yang berdampak negative terhadap konsumen

i. Terhambatnya perdagangan hasil pertanian

j. Terjadinya keracunan pada pemakai/pekerja: petani, penjual pestisida, pekerja gudang


pestisida
k. Keracunan ternak dan hewan piaraan secara langsung atau tak langsung

l. Terjadinya keracunan pada ikan

m. Terjadinya keracunan satwa liar secara langsung atau tidak langsung.

n. Kerusakan tanaman

o. Kematian musuh alami hama

p. Kenaikan populasi jasad pengganggu

q. Resistensi jasad penganggu

r. Meninggalkan residu

2.3 TOKSIKOLOGI PESTISIDA

Toksisitas/ daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi
pestisida yang menggambarkan potensi untuk menimbulkan kematian langsung pada
hewan dan manusia.
Berdasarkan toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Sangat toksik, contoh : aldrin, endosulfan, dieldrin.

2. Toksik sederhana, contoh : Clordane, DDT, lindane, heptaklor.


3. Kurang toksik benzene hexacloride (BHC).

Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis PCBs Polikhorobophenil (PCB) adalah


suatu senyawa organoklorin yang mempunyai sistem racun yang sama dengan peptisida
dan mempunyai sifat yang persisten atau sukar di pecah dialam. Seperti halnya peptisida
dan PCB, poliaromatik hidrokarbon merupakan polusi yang dapat memberikan efek yang
negative terhadap suatu perairan dengan kata lain akan mempengaruhi kualitas air suatu
perairan .
1) Kategori Toksisitas

Label pestisida memuat kata-kata symbol yang tertulis dengan huruf tebal dan
besar yang berfungsi sebagai infomasi
a. Kategori 1

Kata-kata kuncinya ialah “Berbahaya Racun” dengan gambar tulang


bersilang dimuat pada label bagi semua jenis pestisida yang sangat
beracun. Semua jenis pestisida yang tergolong dalam jenis ini mempunyai
LD 50 yang aktif dengan kisaran antara 0-50 mg per kg berat badan.
b. Kategori II

Kata-kata kuncinya adalah “Awas Beracun” digunakan untuk senyawa


pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan,dengan daya racun
LD 50 oral yang akut mempunyai kisaran antara 50-500 mg per kg berat
badan.
c. Kategori III

Kata-kata kuncinya adalah “Hati-Hati” yang termasuk dalam kategori ini


ialah semua pestisida yang daya racunnya rendah dengan LD 50 akut
melalui mulut berkisar antara 500-5000 mg per kg berat badan.
Keracunan DDT tidak saja disebabkan oleh daya toksisDDT itu sendiri
tetapi larutan yang dipakai seperti minyak tanah dapat menyebabkan lebih
beratnya tngkat keracunan. Tanda-tanda keracunan organoklorin :
keracunan pada dosis rendah, si penderita merasa pusing-pusing, mual,
sakit kepala, tidak dapat berkonsentrasi secara sempurna. Pada keracunan
dosis yang tinggi dapat kejang-kejang, muntah dan dapat terjadi hambatan
pernafasan.
2) Toksisitas Senyawa Pestisida.

Kesanggupan pestisida untuk membunuh sasarannya. Pestisida yang mempunyai daya


bunuh tinggi dalam penggunaan dengan kadar yang rendah menimbulkan gangguan lebih
sedikit bila dibandingkan dengan pestisida dengan daya bunuh rendah tetapi dengan
kadar tinggi. Toksisitas pestisida dapat diketahui dari LD 50 oral yaitu dosis yang
diberikan dalam makanan hewan-hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari
hewanhewan tersebut mati. Toksisitas pestisida secara inhalasi juga dapat diketahui dari
LC 50 yaitu konsentrasi pestisida di udara yang mengakibatkan 50% hewan percobaan
mati.
Makin rendah nilai LD 50/LC50 Maka makin toksis pestisida tersebut

a. Jangka waktu atau lamanya terpapar pestisida. Paparan yang berlangsung terus
menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang
sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko
pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan
berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik.
b. Jalan masuk pestisida dalam tubuh. Keracunan akut atau kronik akibat kontak
dengan pestisida dapat melalui mulut, penyerapan melalui kulit dan saluran
pernafasan. Pada petani pengguna pestisida keracunan yang terjadi lebih banyak
terpapar melalui kulit dibandingkan dengan paparan melalui saluran pencernaan
dan pernafasan.
Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Toksisitasnya
Klasifikasi LD50 untuk tikus (mg/kg)

No. Oral Dermal

Padat Cair Padat Cair


a. Sangat
<5 5- <20
Berbahaya
angat 5
1. Sekali 0
Berbahaya
20-200 <10 <40
10-100 40-400

2. berbahaya 50-500 200-2000 100-1000 400-4000


3. Cukup berbahaya >500 >2000 >1000 >4000

3) Toksisitas Terhadap Susunan Saraf

Organoklorin merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka


terhadap rangsangan , iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor dan
kejang-kejang. Beberapa zat kimia ini menginduksi fasilitasi dan hipereksitasi
pada taut sinaps dan taut neuromuskuler yang mengakibatkan pelucutan berulang
pada neuron pusat, neuron sensorik, dan neuron motoric. Organofosfat dan
karbamat menghambat AChE. Biasanya neutransmitter ACh dilepaskan pada
sinaps itu. sekali impuls saraf disalurkan, ACh yang dilepas dihidrolisis oleh
AChE menjadi asam asetat dan kolin di tempat itu. Sewaktu terpajan OP dan
karbamat, AChE dihambat sehingga terjadi akumulasi ACh. ACh yang ditimbun
dalam SSP akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang, dll. Dalam
sistem saraf autonomy akumulasi ini akan menyebabkan diare,urinasi tanpa sadar,
bronkokontriksi,miosis,dll. Akumulasinya pada taut neuromuskuler akan
mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex,
dan paralisis. Penghambatan AChE yang diinduksi oleh karbamat dapat pulih
dengan mudah, sedangkan pajanan berikutnya terhadap senyawa OP biasanya
lebih sulit pulih.
4) Karsinogenisitas

Organofosfat umumnya tidak bersifat karsinogenik, kecuali senyawa yang


mengandung halogen, misalnya tetraklorinvos. Karbamat sendiri juga tidak
bersifat karsinogenik. Tetapi bila ada asam nitrit, karbaril terbukti dapat
membentuk
nitrosokarbaril yang bersifat karsionogenik. Organoklorin yang diuji semuanya
telah terbukti menginduksi hepatoma pada mencit.
5) Teratogenisitas Dan Efek Pada Fungsi Reproduksi

Pada akhir tahun 1960-an, terdapat berbagai artikel yang terbit yang melaporkan
berbagai jenis efek teratogen dan efek reproduksi akibat karbaril pada anning.
Penelitian pada tikus yang diberi karbaril tidak membuktikan adanya efek pada
berbagai fungsi reproduksi dan tidak ada teratogen. Pestisida lain yang dilaporkan
mempunyai efek teratogen ialah fungisida ditiokarbamat.
6) Efek Buruk Lain

Efek khusus karbaril pada ginjal dilaporkan terjadi pada sekelompok sukarelawan
manusia yang diberi karbaril dengan dosis 0,12 mg/kg setiap hari selama 6
minggu. Parakuat menyebabkan edema paru-paru, perdarahan, dan fibrosis
setelah penghirupan atau termakan, tetapi herbisida yang berkaitan erat, yaitu
dikuat, tidak menunjukkan efek tersebut. reaksi hipersensitivitas terhadap
piretrum telah dilaporkan. Bentuk yang paling umum adalah dermatitis kontak
dan asma. Organoklorin bersifat hepatotoksik, menginduksi pembesaran hati dan
nekrosis sentrolobuler. Zat ini juga merupakan penginduksi monooksigenase
mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi toksisitas zat kimia lain. Beberapa
organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisid ditiokarbamat, fan herbisid
mengubah berbagai fungsi imun. Contohnya malation, metilparation, karbaril,
DDT, parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibody,
menganggu fagositosis leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa,
timus dan kelenjar limfa.
7) Bioakumulasi dan Biomagnifikasi

Pestisida organoklorin umumnya lebih mampu bertahan di lingkungan dan


cenderung disimpan dalam timbunan lemak. Tetapi bioakumulasi lebih nyata
pada beberapa zat kimia disbanding dengan zat lainnya. Contohnya DDT jauh
lebih lama tersimpan dalam lemak tubuh disbanding metoksiklor.
Kemampuannya bertahan dalam lingkungan dapat menimbulkan masalah
ekologis. DDT dan zat kimia yang berkaitan dengan lingkungan meningkatkan
metabolisme estrogen pada burung. Dalam siklus bertelur dan bersarang pada
burung tertentu, gangguan hormon ini
berpengaruh buruk pada reproduksi dan kelangsungan hidup anak burung itu.
Biomagnifikasi dapat terjadi akibat bioakumulasi dalam organisme itu saja atau
kemampuannya bertahan di lingkungan. Contohnya DDT bersifat lipofilik dan
karenanya terdapat pada cairan tubuh yang berlemak termasuk susu. Meskipun
asupan DDT per hari pada ibu 0.5 mg/kg, bayi yang disusuinya mungkin
mendapat asupan sebesar 11.2 mg/kg. pembesaran ini berasal dari fakta bahwa
DDT tersimpan dalam tubuh manusia pada tingkat asupan harian kronik 10-20
kali lipat dan bayi itu pada dasarnya hanya mengkonsumsi susu saja.
Biomagnifikasi bahkan lebih jelas pada hewan karnivora. DDT dan metil merkuri
dapat terakumulasi melalui rangkaian plankton, ikan kecil, ikan besar dan burung
yang mengakibatkan pembesaran konsentrasi beberapa ratus kali.
8) Aspek Keselamatan Dalam Penggunaan Pestisida Pertanian

Penggunaan pestisida pertanian berpotensi menimbulkan dampak negative bagi


pengguna, konsumen, lingkungan serta dampak sosial ekonomi untuk itu harus
digunakan secara hati-hati dengan ditekankan pada penurunan populasi hama,
menghentikan serangan penyakit dan mengendalikan gulma. Penggunaan
pestisida pertanian sebaiknya memperhatikan tiga prinsip yaitu
a) Digunakan secara legal

Penggunaan pestisida tidak boleh bertentangan dengan peraturan atau


perundangan yang berlaku di Indonesia.
b) Digunakan secara benar

Penggunaan pestisida harus memperhatikan syarat-syarat teknis sesuai


dengan metode aplikasi yang digunakan. Pestisida yang digunakan mampu
menampilkan efikasi biologisnya (kemampuan pestisida untuk
mengendalikan OPT sasaran ) yang optimal.
c) Penggunaan secara bijak

Pengendalian pestisida harus sesuai dengan tujuan utamanya


mengendalikan OPT, maka penggunaannya harus optimal.
Disamping itu petani harus mengetahui pengetahuan dasar dalam
menggunakan pestisida
1. Pekerja memahami bahaya kesehatan akibat paparan pestisida

2. Melakukan praktek yang tepat

3. Penggunaan alat pelindungg diri dengan benar

4. Praktik tindakan kebersihan diri

5. Mengetahui gejala awal keracunan

6. Mampu melakukan pertolongan pertama bila keracunan 7.


Mempromosikan manajemen hama terpadu.

DAFTAR PUSTAKA

Budianto, Tri Aji. (2013). Pelatihan Pembuatan Pestisida Nabati dari Biji Bunga Pachyrrhyzus
Erosus Urban di Kabupaten Brebes Solusi Pestisida Alami dan Unggul Bagi Petani
Bawang. Universitas Negeri Semarang. Diunduh uap.unnes.ac.id 25 Februari 2017

Buku IPA FISIKA SMP (TAG)/KLS.VIII/Kurikulum 2013

Hernayanti. Bahaya Pestisida Terhadap Lingkungan. Fakultas Biologi Unsoed. Unsoed :


Purwokerto.
Panjaitan, Ernitha, Didik Indradewa dan Edhi Martono. (2015). Sebuah Dilema Pertanian
Organik Terkait Emisi Metan (A Dilemma on Organic Farming in Relation to Methane
Emission). Yogyakarta: Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada.
Diunduh http://jpe-ces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/view/442/377 25 Februari
2017
Rachmawati, Aisyah. (2013). Toksikologi. Makalah Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas

Negeri Malang. Diunduh

https://www.academia.edu/6509942/MAKALAH_TOKSIKOLOGI 25 Februari 2017

Supriadi. (2013). Optimasi Pemanfaatan Beragam Jenis Pestisida untuk Mngendalikan Hama dan
Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Diunduh
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=185328&val=6414&title=OPTIMA
60
SI%20PEMANFAATAN%20BERAGAM%20JENIS%20PESTISIDA%20UNTUK%20

MENGENDALIKAN%20HAMA%20DAN%20PENYAKIT%20TANAMAN 19

Februari 2017

Yuantari, Catur MG. 2011. “Dampak Pestisida Organiklorin Terhadap Kesehatan Manusia Dan
Lingkungan Serta Penanggulangannya”. Kertas Kerja pada Prosiding Seminar Nasional
Peran Kesehatan Masyarakat Dalam Pencapaian MDG’s Di Indonesia, Semarang 12
April 2011.
Yuantari, MG Catur, Budi Widiarnako dan Henna Rya Sunoko. (2013). Tingkat Pengetahuan
Petani dalam Menggunakan Pestisida (Studi Kasus di Desa Curut Kecamatan
Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Diunduh http://eprints.undip.ac.id/40659/1/022-

_MG_Catur_Yuantari.pdf 19 Februari 2017


BAB 5

TOKSIKOLOGI BAHAN TAMBAHAN MAKANAN

Makanan diperlukan oleh setiap makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Makanan
digunakan sebagai sumber energi, memperbaiki sel yang rusak, menjaga suhu tubuh, untuk
pertumbuhan dan pertahanan penyakit. Makanan yang sehat adalah makanan yang mengandung
gizi yang seimbang dan baik dikonsumsi oleh tubuh (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Kenyataannya, konsumen memilih makanan bukan berdasarkan kebutuhan tubuh, tetapi


berdasarkan warna, kelezatan, aroma, atau bentuknya. Supaya orang tertarik terhadap suatu
makanan, maka perlu ditambahkan bahan tambahan pangan kedalam makanan yang diolah.
Bahan tambahan makanan (BTM) atau bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes RI,
2012). Sementara itu menurut definisi lain Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau
campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi
ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan
pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental (Praja, 2015)

Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam
makanan dalam jumlah kecil sehingga dapat memperbaiki penampilan, cita rasa, tekstur, dan
memperpanjang daya simpan makanan. Oleh karena fungsinya hanya sebagai tambahan, maka
tentunya dalam penggunaannya ada batas ukurannya atau disebut batas ambang yang ditentukan
oleh Departemen Kesehatan yang harus ditaati oleh produsen makanan dan minuman dalam
kemasan, jika tidak maka akan membahayakan kesehatan kita.

Toksikologi bahan tambahan pangan merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh buruk
zat tambahan makanan bagi manusia. Pada pengolahan makanan-makanan sering ditambahkan
bahan additif guna pengawetannya maupun kesegarannya dan kelezatannya. Dalam hal ini
toksikologi berperan penting dalam menjamin keamanan dari bahan yang ditambahkan
(Mansyur, 2003). Oleh karena itu, penggunaan BTP diatur oleh pemerintah, baik melalui
peraturan menteri kesehatan maupun BPOM. Akan tetapi, banyak produsen nakal yang tidak
mengindahkan
peraturan tersebut dan menggunakannya melebihi batas maksimum yang telah diperbolehkan.
Bahkan ada sebagian dari mereka dengan sengaja menggunkan BTP yang dilarang pengunaanya
dalam bahan makanan. Misalnya pewarna tekstil yang digunakan sebagai pewarna makanan.
Efeknya tentu saja tidak baik bagi kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu,
laporan ini akan membahas jenis-jenis Bahan Tambahan Makanan (BTM), kegunaan dan
bahayanya.

1.1 Pengertian Bahan Tambahan Makanan (BTM)


Jenis-jenis makanan yang ada saat ini tidak hanya memperhatikan faktor gizi, tetapi juga
menyiasati supaya makanan tersebut dapat dikemas dengan mudah, praktis, dan diolah secara
modern. Untuk itulah, berbagai produsen makanan menambahkan bahan tambahan makanan
untuk mengawetkan atau menambah cita rasa makanan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :


722/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Bahan Tambahan makanan
adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
ingredien khas makanan, mempuyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada
pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak
langsung) suatu komponan yang mempengaruhi sifat khas makanan. Dalam Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet, disebutkan pula pengertian Bahan
Tambahan Pangan (BTP) yaitu bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi
sifat atau bentuk pangan. Pengertian lain Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau
campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi
ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan
pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental (Praja, 2015).

2.2 Jenis-Jenis dan bahaya Bahan Tambahan Makanan (BTM)


Jenis-jenis Bahan Tambahan Makanan yang diizinkan digunakan dalam makanan menurut
Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 diantaranya sebagai berikut:
1. Antioksidan (Antioxidant)
Pengertian antioksidan secara kimia yaitu senyawa pemberi elektron atau elektron
dono, sedangkan pengertian menurut biologi antioksidan adalah senyawa yang dapat
menangkal atau meredam dampak negatif dari oksidan. Antioksidan adalah suatu senyawa
atau komponen kimia yang dalam kadar atau jumlah tertentu mampu menghambat atau
memperlambat kerusakan akibat proses oksidasi (Seyuti dan Yenrina, 2015). Lemak
menjadi komponen yang mudah untuk mengalami oksidasi sehingga bahan tambahan
makan antioksidan merupakan senyawa yang ditambahkan ke dalam lemak atau makanan
berlemak untuk mencegah terjadinya proses oksidasi dapat memperpanjang kesegaran dan
palabilitas dari makanan tersebut (Seyuti dan Yenrina, 2015). Untuk dapat masuk ke dalam
tubuh antioksidan yang menjadi bahan tambahan makanan harus memenuhi beberapa
syarat yaitu:
a. Tidak mempunyai efek fisiologis yang berbahaya
b. Tidak menyebabkan terbentuknya flavor, odor atau warna yang tidak disukai pada
lemak atau makanan.
c. Efektif pada konsentrasi rendah
d. Larut dalam lemak
e. Tahan terhadap proses pengolahan
f. Mudah diperoleh; dan
g. Ekonomis (Muchtadi, Palupi dan Astawan 1993 dalam Seyuti dan Yenrina, 2015).
Antioksidan menurut sumbernya dibagi menjadi dua yaitu antioksidan alami dan
antioksidan sintetik. Antioksidan alami antaralain; fenolik/flavonoid, vitamin E, vitamin C
dan beta-karoten. Antioksidan sintetik antaralain; BHA (Butylated Hydroxyanisole), BHT
(Butylated Hydroxytoluene), PG (Propil Galat), dan TBHQ (di-t-Butyl Hydroquinone),
pada antioksidan sintetik utama yang digunakan mempunyai batas penggunaan yaitu 0,02
% dari kandungan lemak atau minyak. Terdapat daftar jenis-jenis antioksidan yang
diizinkan untuk digunakan dalam pangan yang terdaftar dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 033 Tahun 2012:
a. Ascorbic Acid (Asam askorbat dan garamnya (natrium askorbat, kalsium
askorbat, dan kalium askorbat))
b. Ascorbil palmitate (Askorbil palmiat)
c. Ascorbil stearate (Askorbil stearat)
d. Erythrobic Acid ((Asam eritrobat dan garamnya (natrium eritrobat))
e. Tertiary butyl hydroquinone (TBHQ) (Butil Hidrokinon Tersier)
f. Butylated hydroxyanisole (BHA) (Butil Hidroksianisol)
g. Butylated hydroxy Toluene (BHT) (Butil Hidroksitoluen)
h. Propyl gallate (Propil galat)
i. Tocopherol (tokoferolcampuran pekat, alfa tokoferol dan gama tokoferol), yang
telah diyakini keamanannya.
j. Dilauryl Thiodipropionate (Dilauril Tiodipropionat) k. Stannous Chloride (Timah
II Klorida)
Seperti bahan tambahan makanan lainnya, penggunaan bahan tambahan makan
antioksidan sintetik yaitu BHA (Butylated Hydroxyanisole) menganlami pro dan kontra.
BHA mulai digunakan sejak tahun 1947 sebagai bahan tambahan dalam produk makanan
yang mengandung minyak untuk mencegah makanan menjadi basi. National Institute of
Health Amerika Serikat melaporkan bahwa penggunaan BHA dalam makanan dapat
menjadi senyawa karsinogen berdasarkan efek karsinogeniknya pada hewan coba, selain
itu terdapat juga beberapa penelitian yang menunjukan BHA dapat menyebabkan reaksi
alergi dan pada dosis besar dapat berefek pada fungsi ginjal dan hati (Fitri, 2013). Dalam
Fitri tahun 2013 penelitian oleh Williams mengindikasikan bahwa BHA mempunyai efek
pada sistem membran, memblokir pertukaran antara hepatosit dengan sel epiteli. Untuk itu
FAO telah menetapkan bahwa Asupan Harian yang Diijinkan (Acceptable Daily Intake/
ADI) untuk BHA adalah 0,05-0,2 mg/kg bb.

2. Antikempal (Anticaking Agent)


Pengertian anti kempal adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah
mengempalnya makanan yang berupa serbuk, pengertian ini menurut peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang bahan
tambahan makanan. Anti Kempal adalah senyawa anhidrat yang dapat mengikat air tanpa
menjadi basah dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan pangan yang bersifat bubuk atau
partikulat seperti garam meja, campuran kering (dry mixes), dan lain-lain.
Penambahan senyawa anti kempal bertujuan untuk mencegah terjadinya
penggumpalan dan menjaga agar bahan tersebut tetap dapat dituang. Anti kempal dapat
digunakan secara tunggal atau campuran,yang dimaksud dengan menggunakan secara
campuran yaitu perhitungan hasil bagi masing-masing bahan tambahan pangan dengan
Batas Maksimum penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari 1 (satu). Adapun
jenis-jenis anti kempal yang dapat digunakan dan sudah mendapatkan izin dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan antara lain:
a. Kalsium karbonat (Calcium carbonate)
b. Trikalsium fosfat (Tricalcium orthophosphate)
c. Selulosa mikrokristalin (Microcrystalline cellulose)
d. Selulosa bubuk (Powdered cellulose)
e. Asam miristat, palmitat dan stearat dan garamnya (Myristic, palmitic & stearic
acids and their salts)
f. Garam-garam dari asam oleat dengan kalsium, kalium dan natrium (Ca, K, Na)
(Salts of oleic acid with calcium, potassium, and sodium (Ca, K, Na))
g. Natrium karbonat (Sodium carbonate)
h. Magnesium karbonat (Magnesium carbonate)
i. Magnesium oksida (Magnesium oxide)
j. Natrium besi (II) sianida (Sodium ferrocyanide)
k. Kalium besi (II) sianida (Potassium ferrocyanide)
l. Kalsium besi (II) sianida (Calcium ferrocyanide)
m. Silikon dioksida halus (Silicon dioxide, amorphous)
n. Kalsium silikat (Calcium silicate)
o. Natrium aluminosilikat (Sodium aluminosilicate)
p. Magnesium silikat (Magnesium silicate)
Dampak anti kempal bagi kesehatan pada tubuh kita bergantung dengan tingkat
penggunaannya, selain itu terdapat jenis zat pada golongan anti kempal berpotensi
membahayakan apabila dikonsumsi yaiu kandungan ferrrosianida. Ferrosianida seperti
halnya nitrat dan nitrit, adalah metahaemoglobonat yang berarti bahwa ferrosianida mampu
mengubah haemoglobin dalam sel darah merah dari ferro menjadi ferri, yang mana saat
darah dalam keadaan ferri, haemoglobib tidak manpu mentraspor oksigen.
3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan, pengatur keasaman adalah bahan tambahan makan yang dapat
mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman, seperti komposisi
yang ada pada minuman bersoda. Fungsi pengatur keasaman yang paling penting adalah
sebagai senyawa pendapar, asam dan garamnya sering pula ditambahkan sebagai campuran
pembentuk adonan (leavening system), sebagai antimikroba dan senyawa pengkelat.
Adapun jenis jenis pengatur keasaman yang dapat digunakan menurut Badan Pengawasan
Obat dan Makanan cukup banyak mencapai 35 jenis, kami menampilkan 15 diantaranya
yaitu:

a. Kalsium karbonat (Calcium carbonate)


b. Asam asetat (Acetic acid)
c. Natrium asetat (Sodium acetate)
d. Kalsium asetat (Calcium acetate)
e. Asam laktat (Lactic acid)
f. Asam malat (Malic acid)
g. Asam fumarat (Fumaric acid)
h. Natrium laktat (Sodium lactate);
i. Kalium laktat (Potassium lactate)
j. Kalsium laktat (Calcium lactate)
k. L-amonium laktat (L-ammonium lactate)
l. Asam sitrat dan garamnya (Citric acid and its salts)
m. Asam tartrat dan kalium hidrogen tartrat (Tartaric acid and potassium hydrogen
tartrate)
n. Asam fosfat (Orthophosphoric acid)
o. Natrium hidrogen malat (Sodium hydrogen malate)
Terdapat jenis bahan pengatur keasaman yang bahan asamnya bersifat cukup korosif,
sehingga jika masuk ke mulut dapat menimbulkan rasa panas terbakar dan sakit yang
terhingga. Selain itu pengatur keasaman dapat bersifat racung dengan gejala:
a. Korosif pada selaput lender mulut, kerongkongan, disertai dengan sakit, dan sukar
menelan.
b. Sakit didaerah lambung.
c. Luka yang bergelembung. Gelembung yang terjadi pada kulit tersebut dapat pecah
dan terjadi peradangan
Asam tartrat mampu menimbulkan lesi / luka pada mulut, ulkus lambung, pencernaan
terlalu asam, dan gejala mirip dengan kondisi demam karena keracunan logam yaitu
demam, menggigil, berkeringat, mual, muntah, nyeri otot, dan kelemahan.

4. Pemanis Buatan (Artificial Sweeterner)


Pemanis Buatan adalah bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis pada
produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori. Pemanis Buatan
hanya boleh ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu. Pemanis buatan
pada awalnya diproduksi komersial untuk memenuhi ketersediaan produk makanan dan
minuman bagi penderita Diabetes mellitus yang harus mengontrol kalori makanannya.
Pemanis buatan memiliki ADI (acceptable daily intake) yang ditentukan. Acceptable Daily
Intake artinya jumlah maksimum senyawa kimia yang bisa dikonsumsi setiap hari secara
terus menerus tanpa menimbulkan resiko dalam kesehatan. Acceptable Daily Intake pada
beberapa jenis pemanis buatan menurut FDA tahun 2006 yaitu:
a. sakarin 5 mg/kgBB/hari
b. siklamat 1 mg/kgBB/hari
c. aspartam 50 mg/kgBB/hari
d. acesulfamK 15 mg/kgBB/hari
e. neotam 2 mg/kgBB/hari
f. sucralose 5 mg/kgBB/hari (FDA, 2006)
Selain itu berdasarlan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 4
tahun 2014, Acceptable Daily Intake pada beberapa jenis pemanis buatan yaitu:

a. sakarin 0-5 mg/kgBB


b. siklamat 0- 11 mg/kgBB
c. aspartam 0-40 mg/kgBB
d. acesulfam-K 0-15 mg/kgBB
e. neotam 0-2 mg/kgBB
f. sucralose 0-15 mg/kgBB (BPOM, 2014).
Terdapat penelitian yang telah dilakukan melalui hewan percobaan, misalnya di
Institut Kanker Nasional di Amerika bahwa efek langsung bahan pemanis buatan adalah
menjadi penyebab kanker, untu iti dalam penggunaannya harus hati-hati, tidak berlebihan
artinya dalam dosis yang tinggi akan tetap menyebabkan timbulnya gejala-gejala tertentu.
Selain itu pemans buatan dapat mengakibatkan kanker, pemanis buatan juga dapat
menyebabkan radang saluran nafas, migrain, dan gigi keropos jika penggunaannya
melebihi batas yang ditentukan.

5. Pemutih dan Pematang Telur (Flour Treatment Agent)


Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Pangan, pengertian dari pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan
makanan yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga
dapat memperbaiki mutu pemanggangan. Bahan pemutih ini bersifat oksidator. Ikatan
rangkap dalam karotenoid yaitu xantofil, akan dioksidasi, kemudian degradasi pigmen
karotenoid akan menghasilkan senyawa yang tak berwarna. Selain itu bahan pemucat ini
mengoksidasi gugus sulfhidril dalam gluten menjadi ikatan disulfida, dengan adanya ikatan
S-S ini terbentuk polimer protein yang panjang, lurus, dan membentuk lapisan-lapisan tipis
yang saling melekat. Lapisan-lapisan tersebut dapat menahan gelembung udara, karena
itulah roti akan mengembang. Untuk jenis-jenis pemutih dan pematang tepung yang dapat
digunakan menurut BPOM diantaranya:
a. L-Amonium laktat (L-Ammonium lactate)
b. Natrium stearoil-2-laktilat (Sodium stearoyl-2-lactylate)
c. Amonium klorida (Ammonium chloride)
d. Kalsium sulfat (Calcium sulphate)
e. Kalsium oksida (Calcium oxide)
f. α-Amilase (karbohidrase) dari Bacillus licheniformis (alpha-Amylase from
Bacillus licheniformis (carbohydrase))
g. α-Amilase dari Aspergillus oryzae, var (alpha-Amylase from Aspergillus oryzae,
var.)
h. α-Amilase dari Bacillus stearothermophilus (alpha-Amylase from Bacillus
stearothermophilus)
i. α-Amilase dari Bacillus stearothermophilus yang dinyatakan dalam Bacillus
subtilis (alpha-Amylase from Bacillus stearothermophilus expressed in Bacillus
subtilis)
j. α-Amilase dari Bacillus subtilis (alpha-Amylase from Bacillus subtilis)
k. α-Amilase dari Bacillus megaterium yang dinyatakan dalam Bacillus subtilis
(alpha-Amylase from Bacillus megaterium expressed in Bacillus subtilis)
l. Protease dari Aspergillus oryzae, var. (Protease from Aspergillus oryzae, var.,);
m. Papain (Papain)
m. Bromelain (Bromelain).
Penggunaan karboksimetil selulosa dapat menyebabkan gangguan pada usus, dan
bersifat karsinogenik. Saponin mengakibatkan efek pada masa kehamilan, dan gangguan
darah. Karagen bisa memicu luka pada hati, efek pada sistem imun, karsinogenik, dan
menyebabkan bisul pada perut. Penggunaan Epikklorohidrin secara berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan ginjal, karsinogenik, dan bahkan efek perubahan pada kromosom.
Polieksietilen stearat dapat menyebabkan efek pada usus lambung dan urin, seperti batu
pada tumor, dan kandung kemih. Sedangkan penggunaan natrium alginat dapat
menyebabkan reaksi alergi dan penyerapan pada mineral esensial.

6. Pengemulsi, Pemantap, dan Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener)


Emulsi adalah suatu sistem, terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarut, di
mana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya.
Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan
cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi
Pengemulsi, pemantap dan pengental dalam pangan berfungsi untuk memantapkan emulsi
dari lemak dan air sehingga produk tetap stabil, tidak meleleh, tidak terpisah antara bagian
lemak dan air serta mempunyai tekstur yang kompak. Berdasarkan BPOM RI tahun 2013
pengemulsi (Emulsifier) adalah bahan tambahan pangan untuk membantu terbentuknya

70
campuran yang homogen dari dua atau lebih fase yang tidak tercampur seperti minyak dan
air. Fungsi pengemulsi pangan dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan utama yaitu:
a. Untuk mengurangi tegangan permukaan pada permukaan minyak dan air, yang
mendorong pembentukan emulsi dan pembentukan kesetimbangan fase antara
minyak, air dan pengemulsi pada permukaan yang memantapkan antara emulsi.
b. Untuk sedikit mengubah sifat-sifat tekstur, awetan dan sifat-sifat reologi produk
pangan, dengan pembentukan senyawa kompleks dengan komponen-komponen
pati dan protein.
c. Untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang bahan utamanya lemak dengan
mengendalikan keadaan polimorf lemak
Jenis-jenis pengemulsi yang mendapat izin dari BPOM RI cukup banyak, yaitu
terdapat 80 jenis pengemulsi, beberapa diantaranya yaitu:

a. Kalsium karbonat (Calcium carbonate)


b. Lesitin (Lecithins)
c. Natrium laktat (Sodium lactate)
d. Kalsium laktat (Calcium lactate)
e. Natrium dihidrogen sitrat (Sodium dihydrogen citrate)
f. monohidrogen sitrat (Disodium monohydrogen citrate)
g. Trinatrium sitrat (Trisodium citrate)
h. Kalium dihidrogen sitrat (Potassium dihydrogen citrate)
i. Trikalium sitrat (Tripotassium citrate)
j. Mononatrium fosfat (Monosodium orthophosphate)
k. Dinatrium fosfat (Disodium orthophosphate)
l. Trinatrium fosfat (Trisodium orthophosphate)
m. Monokalium fosfat (Monopotassium orthophosphate)
n. Dikalium fosfat (Dipotassium orthophosphate)
o. Trikalium fosfat (Tripotassium orthophosphate)
p. Asam alginat (Alginic acid)
q. Natrium alginat (Sodium alginate)
r. Kalium alginat (Potassium alginate)
s. Kalsium alginat (Calcium alginate)
t. Propilen glikol alginat (Propylene glycol alginate)
Efek kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan emulsi yaitu berdampal keracunan
tertentu pada anak-anak, khususnya anak-anak yang tidak tahan terhadap laktosa, akan
tetapi pada orang dewasa tidak ditemukan sifat racun apabila dikonsumsi.

7. Pengawet (Preservative)
Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat
fermentasi, pengasaman atau peruaian lain pada pangan yang disebabkan oleh
pertumbuhan mikroba. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan
yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat
prosesa fermentasi, pengasaman atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba (Saparinto
& Hidayati, 2006). Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat baik jenis maupun
dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu,
tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat
yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya jiga
berbeda. Zat pengawet terdiri dari zat pengawet organik dan anorganik dalam bentuk asam
dan garamnya. Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada anorganik karena
bahan ini lebih mudah dibuat. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah
asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida. Zat pengawet
anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat, dan nitrit.

Berikut nama-nama pengawet yang diperbolehkan untuk ditambahkan kedalam


pangan menurut Peraturan Kepala BPOM No. 36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet.
Sulfit :
Belerang dioksida 220
Natrium sulfit 221
Natrium bisulfit 222
30 - 300 mg/kg
5 Natrium metabisulfit 0 – 0,7 mg/kg 223
(tergantung jenis makanan)
Kalium metabisulfit 224
Kalium sulfit 225
Kalsium bisulfit 227
Kalium bisulfit 228
11250 setara dengan 12.5
6 Nisin 0 - 33000 unit/kg 234
mg/kg

Nitrit : Batasan ADI per kg Batas2a0n –


N7 KNalAiuMmAniPtrEitN 0 – 0,06 mg/kg 2I4N
Bobot Badan Ma PE30RmMgE/kNgKES RI per
O GAWET 9S
kg
ka(ntearngantung jenis
makanan)
Natrium nitrit 250
Asam sorbat dan
Nitrat :
garamnya:
8 Natrium nitrat 0 – 3,7 mg/kg 0 – 50 mg/kg 22501
Asam sorbat
1 Kalium nitrat 0 – 25 mg/kg 200-1000 mg/kg 0
Natrium sorbat
22502
1
Asam propionat dan (tergantung jenis makanan) 202
Kalium sorbat
garamnya : 203
Kalsium sorbat 280
Asam propionat Tidak dinyatakan (not 1000 - 2500 mg/kg
9 Asam benzoat dan 281
Natrium propionate limited) (tergantung jenis makanan)
garamnya: 282
Kalsium propionate 210
Asam benzoat 200-1000 mg/kg 283
2 Kalium propionate 0 – 5 mg/kg 211
Natrium benzoat (tergantung jenis makanan)
Tidak dinyatakan (not 212
10 LKisaolziiummhbie 0 – 500 mg/kg 1 1 0
specified) 2 1
dnrozoklaot rida 3
5
Kalsium benzoat
Etil para-
3 0 - 10 mg/kg 0-1000 mg/kg (jelly, selai) 214
hidroksibenzoat
Metil para- 250-1000mg/kg
4 0 - 10 mg/kg 218
hidroksibenzoat (tergangung jenis makanan)

*ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat Diterima adalah
jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan
yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan
terhadap kesehatan.

Penggunaan pengawet diatas diizinkan ditambahkan dengan jumlah tidak melebihi


batas maksimum dan sesuai dengan kategori pangan. Pada peraturan Permenkes tersebut
juga disebutkan 9 jenis bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan
diantaranya Asam Borat (Boric Acid) dan Formalin yang sering disalahgunakan.

Penyalahgunaan boraks dan formalin menjadi salah satu masalah yang mengancam
kesehatan konsumen makanan. Boraks merupakan kristal lunak yang mengandung unsur
boron, berwarna putih dan mudah larut dalam air. Umumnya boraks digunakan di industri
kertas, kayu, keramik sebagai pengawet karena memiliki efek bakteristatik dan antifungi.
Namun, dalam penggunaannya kedalam bahan pangan dilarang oleh undang-undang
karena memiliki dampak kepada kesehatan konsumen. Boraks akan diserap melalui saluran
pencernaan kurang lebih 50% dari jumlah yang terabsorbsi tersebut akan dikeluarkan oleh
tubuh melalui urin selama 12 jam dan sisanya dikeluarkan dari tubuh diatas 5 – 7 hari.
Maka itu efek toksik boraks bersifat kumulatif selama penggunaan berulang-ulang.
Pengaruh boraks pada kesehatan konsumen boraks dapat mengakibatkan muntah, diare,
bercak kemerahan pada kulit dan selaput lendir, demam, gangguan pada fungsi hati,
gangguan pencernaan, radang kulit, anemia, kejang, kerusakan ginjal dan kanker karena
memiliki sifat karsinogenik.

Formalin atau formaldehida merupakan bahan pengawet yang biasa digunakan sebagai
desinfektan, cairan pembalsem, pengawet jaringan, pembasmi serangga dan pengawet
mayat. Formalin memiliki sifat mudah larut dalam air, mudah menguap, bersifat kumulatif,
dan karsinogenik. Dampak formalin pada kesehatan dibagi menjadi akut yaitu efek pada
kesehatan manusia langsung terlihat seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual,
muntah, rasa terbakar, sakit perut dan pusing. Kronik yaitu efek pada kesehatan manusia
terlihat setelah terkena dalam jangka waktu lama dan berulang seperti iritasi kemungkinan
parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat,
menstruasi, dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker sedangkan pada
manusia diduga bersifat karsinogen (menyebabkan kanker). Pengujian kualitatif
kandungan formalin dengan menggunakan larutan Fehling A dan Fehling B.
8. Pengeras (Firming Agent)
Pengeras (Firming agent) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkeras atau
mempertahankan jaringan buah dan sayuran, atau berinteraksi dengan bahan pembentuk
gel untuk memperkuat gel. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.722/Menkes/Per/IX/ 1988 tentang Bahan Tambahan makanan, BTP pengeras adalah
bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan.
BTP pengeras atau firming agent dapat diaplikasikan pada proses pembuatan acar ketimun,
sayuran, buah dalam kaleng, daging dan ikan dalam kaleng serta jem dan jeli sehingga
diharapkan tekstur makanan tersebut masih tetap terjaga lebih renyah (crispy) dan tidak
menjadi lunak selama proses. Jenis BTP Pengeras yang diizinkan digunakan dalam pangan
terdiri atas:
a. Kalsium laktat
Dosis maksimum pemakaian kalsium laktat adalah sebesar 200 mg/kg. Kalsium
laktat banyak digunakan sebagai bahan baku pada berbagai industri serta
pengadaannya didatangkan dari luar negeri (kalsium laktat) secara garis besarnya
adalah sebagai berikut :
1) Industri farmasi : sebagai obat – obatan.
2) Industri makanan : sebagai pembangkit (baking powder) pada roti atau
makanan dan untuk keperluan minuman.
3) Peternakan : sebagai campuran makanan ternak petelor.
Adapun batas penggunaan kalsium laktat antara lain : untuk irisan tomat kalengan
800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg dan apel dan sayuran kalengan 260 mg/kg.
(Riskajaya, 2003)

b. Kalium klorida
Sebagian besar kalium klorida dihasilkan digunakan untuk pembuatan pupuk,
karena pertumbuhan banyak tanaman dibatasi oleh asupan kalium mereka.
Sebagai bahan baku zat kimia ini digunakan untuk pembuatan kalium hidroksida,
dan logam kalium. Hal ini juga digunakan dalam pengobatan, aplikasi ilmiah,
pengolahan makanan, dan sebagai pengganti natrium-gratis untuk garam meja
(natrium klorida). Efek samping bisa termasuk ketidaknyamanan pencernaan
termasuk mual
dan muntah, diare dan pendarahan pada saluran pencernaan. Overdosis
menyebabkan hiperkalemia yang dapat menyebabkan paresthesia, blok konduksi
jantung, atrial, aritmia, dan sclerosis. Efek mematikan overdosis kalium klorida
telah mengakibatkan penggunaannya dalam suntik mati.
c. Kalsium klorida
Kalsium klorida telah terdaftar sebagai zat aditif dalam makanan. Rata-rata
konsumsi kalsium klorida sebagai bahan tambahan pangan adalah sekitar 160-345
mg/hari untuk individu. Kalsium klorida juga digunakan zat pengawet dalam
sayuran kalengan, dalam pemrosesan dadih kacang kedelai menjadi tahu dan
dalam memproduksi pengganti kaviar dari jus sayuran atau buah. Dalam
pembuatan minuman bir, kalsium klorida digunakan untuk memperbaiki
kekurangan mineral dalam air pembuatan bir. Ini mempengaruhi rasa dan reaksi
kimia selama proses pembuatan bir, dan juga dapat mempengaruhi fungsi ragi
selama fermentasi. Kalsium klorida kadang-kadang ditambahkan ke dalam susu
olahan untuk mengembalikan keseimbangan kalsium yang hilang selama
pemrosesan dan untuk menjaga keseimbangan protein dalam kasein pada
pembuatan keju. Kalsium klorida dapat disuntikkan sebagai terapi intravena untuk
pengobatan hipokalsemia, yaitu penyakit berkurangnya kadar kalsium dalam
tubuh. Penggunaannya sama seperti kalsium glukonat yaitu untuk apel dan
sayuran kalengan dosis penggunaannya 260 mg/kg.
d. Kalsium sulfat
Kalsium sulfat digunakan untuk irisan tomat kalengan dengan ukuran yang
diijinkan 800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg, dan apel dan sayuran kalengan
260 mg/kg.
e. Kalsium glukonat (Calcium gluconate)
Kalsium glukonat digunakan untuk mengeraskan buah-buahan dan sayuran dalam
kaleng dengan ukuran yang diijinkan 800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg, buah
kalengan 350 mg/kg, acar ketimun dalam botol (250 mg/kg), dan jam dan jelly
250 mg/kg.
Bahan Tambahan Pangan Pengeras yang berbahaya:
a. Calplus FG dengan Dosis 260mg/kg untuk adonan bakso.
b. Polis Alum Crystal yang digunakan untuk bahan pengeras bakso.
c. Aluminium sulfat
Aluminium sulfat, suatu senyawa kimia anorganik dengan rumus Al2(SO4)3.
Senyawa ini larut dalam air dan terutama digunakan sebagai bahan flokulasi
dalam pemurnian air minum dan kilang pengolahan air limbah, dan juga dalam
pembuatan kertas. Dalam pemurnian air, Aluminium sulfat menyebabkan kotoran
menggumpal yang dapat disingkirkan sebagai partikel yang mengendap di dasar
wadah/tangki atau lebih mudah disaring (koagulasi atau flokulasi).
d. Aluminium Kalium Sulfat
Aluminium kalium sulfat biasanya ditemukan dalam ragi, dimana terdapat
perselisihan pendapat atas penggunaannya karena kekhawatiran mengenai
keamanan menambahkan aluminium untuk makanan.
e. Aluminium Natrium Sulfat
f. Natrium sulfat banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, antara lain
di industri pulp dan kertas, deterjen, pembuatan flat glass, tekstil, keramik,
farmasi, zat pewarna dan sebagai reagent di laboratorium kimia.
g. Monokalsium Fosfat
Salah satu jenis kalsium fosfat, yang dikenal sebagai hidroksiapatit, adalah
mineral utama tubuh Anda yang digunakan untuk membangun dan menguatkan
tulang dan gigi. Bentuk lain dari kalsium fosfat digunakan dalam produk makanan
seperti garam meja, dipanggang dan bumbu, di mana mereka membantu
mencegah kondisi adonan lengket, dan bertindak sebagai agen ragi. Kalsium
fosfat juga ditambahkan ke makanan untuk meningkatkan kandungan kalsium
mereka dan digunakan untuk membuat suplemen kalsium.

9. Pewarna (Colour)
Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi
warna pada makanan. Berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat

pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu pewarna alami dan
pewarna sintetis. Tanaman dan hewan memiliki warna menarik yang dapat digunakan
sebagai pewarna alami pada makanan. Beberapa pewarna alami yang berasal dari kunyit,
paprika, dan bit digunakan sebagai pewarna pada bahan pangan yang aman dikonsumsi.
Pewarna dari hewan diperoleh dari warna merah yang ada pada daging.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.033 Tahun 2012


tentang Bahan Tambahan Pangan, daftar pewarna alami yang diperbolehkan adalah
kurkumin, riboflavin, karmin dan ekstrak cochineal, klorofil, karamel, karbon tanaman,
beta-karoten, ekstrak anato, karotenoid, merah bit, antosianin, dan titanium dioksida.

Pewarna sintesis yang diperbolehkan, namun dibatasi penggunaannya, antara lain


tartrazin, kuning kuinolin, kuning FCF, karmoisin, ponceau, eritrosin, merah allura,
indigotin, biru berlian FCF, hijau FCF, dan cokelat HT. Pewarna makanan sintesis tersebut
diperoleh secara kimia dengan mencampur dua atau lebih zat menjadi satu zat baru.

Pemerintah sudah memberikan daftar pewarna yang boleh digunakan dalam makanan.
Tetapi kenyataannya masih ada saja pewarna bukan untuk makanan yang dicampur dalam
penganan, dua di antaranya yang sering ditemukan di Indonesia adalah rhodamin B dan
metanil yellow.

Rhodamin B merupakan pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau
ungu kemerahan, dan tidak berbau. Jika dicampur dalam penganan, rhodamin B akan
berubah warna menjadi merah terang. Rhodamin B biasanya digunakan untuk mewarnai
tekstil, kertas, kain, produk pembersih mulut, dan sabun. Makanan atau minuman yang
mengandung rhodamin B biasanya berwarna merah cerah mengilap dan lebih mencolok,
warna terkadang tidak rata, ada gumpalan warna, dan terasa lebih pahit bila dikonsumsi.
Rhodamin B sering dicampur dalam kerupuk, terasi, cabe merah giling, agar-agar,
kembang gula, sosis, sirop, dan lain-lain. Pewarna dengan nama lain D and C Red no 19.
Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine, dan Brilliant Pink ini termasuk
bahan karsinogen (penyebab kanker) yang kuat. Jika dikonsumsi dalam jangka panjang,
rhodamin B dapat terakumulasi di dalam tubuh, menyebabkan gejala pembesaran hati dan
ginjal, kerusakan hati, atau bahkan kanker hati.

Metanil yellow adalah pewarna sintetik berbentuk serbuk, berwarna kuning


kecokelatan, larut dalam air dan alkohol. Umumnya digunakan untuk pewarna tekstil,
kertas, tinta, plastik, kulit, cat, dan sebagainya. Penganan yang menggunakan metanil
yellow
biasanya berwarna kuning mencolok dan berpendar serta terdapat titik warna (warna tidak
rata). Pewarna ini bisa dijumpai pada kerupuk, mie, tahu, gorengan, dan penganan
berwarna kuning lainnya. Bila dikonsumsi, metanil yellow dapat menyebabkan iritasi
saluran cerna, mual, muntah, sakit.
Daftar Pustaka
Anonim. Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan Serta Dampak Yang Ditimbulkan.
http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=141535
Anonim. Bahan Tambahan Pangan.
http://www.pipimm.or.id/admin/file/bukuputih/buku%20putih%20bab%20IV.pdf
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Perlakuan
Tepung.
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengatur
Keasaman.
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Antikempal.
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengemulsi
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=TETmW0fJzJopXyIlM2%2B3AcPza%2B%2Bhxyhe3
CoR%2BOv2IGw%3D
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet
BPOM RI. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 4 tahun 2014
Fitri, Nyoman. 2013. Butylated hydroxyanisole sebagai Bahan Aditif Antioksidan pada Makanan
dilihat dari Perspektif Kesehatan. Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol.4.1.2014:41-50.
Diakses http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=324019&val=4889&title=Butylated%20 hydroxyanisole%20sebagai%20Bahan
%20Aditif%20Antioksidan%20pada%20Makanan%20 dilihat%20dari%20Perspektif
%20Kesehatan [20:45]
Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 722/MENKES/PER/IX/88
Tentang Bahan Tambahan Makanan

Kemenkes RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 033 Tahun 2012


Kemenkes RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang
Mansyur. 2003. TOKSIKOLOGI SEJARAH DAN JANGKAUANNYA, s.l.: USU digital
library. Praja, D. I.. 2015. Zat Adiktif Makanan, Manfaat dan Bahayanya. Yogyakarta:
Garudhawaca. Riskajaya, S. E. 2003. Prarencana Pabrik Pabrik Kalsium Laktat Dari Corn
80
Sugar Dengan
Proses Fermentasi, s.l.: Widya Mandala Catholic University Surabaya.

81
Saparinto, C. & Hidayati, D.. 2006. Bahan Tambahan Makanan. s.l.:Kanisius.
Sayuti, Kesuma. Yenrina, Rina. (2015). Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas University Press;
Padang. Diakses
http://repository.unand.ac.id/23714/1/Kesuma%20Sayuti_Antioksidan%20Alami%20dan%2
0Sintetik%20OK.pdf [20:57]
BAB 6.

KERACUNAN AKIBAT MIKROORGANISME PANGAN

Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun
mempertahankan hidup. Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga
merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam
bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan
pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham
mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia
yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi.
Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang
disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dengan wilayah sangat luas berbentuk
kepuluan memiliki keterbatasan dalam pengawasan dan pengendalian suatu produk seperti
makanan dalam upaya melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen. Hal ini dibuktikan
dengan sering terjadinya kasus racunan makanan di tengah masyarakat, baik yang dilaporkan
maupun tidak dilaporkan.
Potensi risiko keamanan pangan dapat dijumpai setiap saat pada semua mata rantai
pangan, tidak terkecuali di Desa. Pada tahun 2013, data kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan yang dihimpun Badan POM RI menunjukkan ada 48 kejadian keracunan pangan di
masyarakat. Adapun urutan jenis pangan yang diduga menyebabkan keracunan pangan
adalah 48% masakan rumah tangga. 17% pangan jasa boga, 17% pangan jajanan, 15%
panganolahan dan 4% tidak diketahui penyebabnya (Laptah BPOM RI, 2013).
Badan kesehatan dunia (WHO, 1998) memperkirakan bahwa rasio antara kejadian
keracunan pangan yang dilaporkan dengan kejadian yang sesungguhnya di masyarakat
adalah 1:10 untuk negara maju dan 1:25 untuk negara berkembang. Jika merujuk pada
asumsi WHO di atas dan jika didukung sistem pelaporan yang tepat, maka kejadian
keracunan pangan di Indonesia per tahunnya mencapai ribuan kejadian. Kemungkinan yang
terjadi sesungguhnya di Indonesia pada tahun 2012 adalah sekitar lima puluh ribuan orang
mengalami keracunan
pangan dan orang yang meninggal dunia diantaranya mencapai kurang lebih 500 orang.
(BPOM RI.2013).
Berkenaan dengan hal tersebut, setiap restoran dan rumah makan seharusnya
melakukan pemeriksaan laboratorium secara berkala untuk memastikan bahwa makanan dan
minuan yang dijual aman untuk dikonsumsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Kepmenkes
No:1098/Menkes/SK/VII/2003 (Depkes RI, 2003) dan Peraturan Pemerintah RI 2 No. 28
Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. Pada pasal 9 PP No. 28 Tahun 2004
dijelaskan bahwa cara produksi pangan siap saji yang baik harus memperhatikan aspek
keamanan pangan dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis
yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan (Presiden RI, 2004). Namun
pada kenyataannya hanya sedikit dari mereka yang mematuhi aturan-aturan tersebut dan
biasanya hanya dilaksanakan oleh penjual makanan yang dikelola dengan baik (Sunarno,dkk,
2008).
Bukti di lapangan menunjukkan bahwa bakteri patogen sering ditemukan pada
makanan dan minuman yang dijual di pasar, diantaranya Salmonella group E,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas sp, E. coli, dan Bacillus. Tingkat kontaminasi
bervariasi hingga mencapai 24– 48 % (Pracoyo, 2006). Penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa bakteri patogen lebih sering ditemukan pada makanan atau minuman dengan bahan
yang tidak dimasak dan beberapa jenis bakteri berkaitan erat dengan jenis makanan atau
bahan makanan yang digunakan (Burnett, 2001; Nissen, 2002). Sementara itu untuk makanan
atau minuman yang telah dimasak, kontaminasi dapat berasal dari penjamah makanan,
peralatan makan, sumber air bersih yang digunakan, dan kondisi lingkungan. Kontaminasi
bakteri patogen pada makanan dan minuman dapat menyebabkan berbagai macam penyakit
diantaranya typhoid, diare, keracunan makanan dan lain sebagainya (Siagian, 2002; Coleman,
2004). Penyakit-penyakit ini akan lebih mudah menjangkiti orang yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh karena faktor dari dalam maupun dari luar.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganilisis keracunan akibat
mikroorganisme ditinjau dari jenis-jenis bakteri pathogen, gejala yang ditimbulkan serta cara
pencegahannya.
2.1 Jenis Bakteri Patogen dan Gejala Keracunan

Bakteri dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua mekanisme, yaitu intoksikasi dan
infeksi

2.1.1 Intoksikasi

Keracunan pangan yang disebebkan oleh produk toksik bakteri patogen. Bakteri
tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin.

a. Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri yang berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-
positif, bersifat aerobik, dan dapat membentuk endospora. Keracunan akan timbul jika
seseorang menelan bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan
menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang telah
mengandung toksin tersebut. Ada dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus,
yaitu toksin yang menyebabkan diare dan toksin yang menyebabkan muntah (emesis).
Pangan yang dapat tercemar oleh Bacillus cereusini adalah serealia, makanan kering,
produk-produk susu,daging dan produk-produk daging,herbs, rempah-rempah, sayur-sayur

Gejala Keracunan:

 Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab diare,
maka gejala yang timbul berhubungan dengan saluran pencernaan bagian bawah
berupa mual, nyeri perut seperti kram, diare berair, yang terjadi 8-16 jam setelah
mengkonsumsi pangan.
 Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab muntah,
gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan akut serta berhubungan dengan
saluran pencernaan bagian atas, berupa mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar.

b. Clostridium botulinum

Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat membentuk spora


tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan asam tinggi. Toksin yang dihasilkan
dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan
paralisis. Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 800 C
selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap
suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan.
Pangan yang dapat tercemar oleh Clostridium botulinum ini adalahcustard, puding dan
makanan-makanan yang mengandung telur.

Gejala keracunan:

Gejala botulism berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda,
tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada
beberapa kasus dapat menimbulkan kematian. Gejala dapat timbul 12-36 jam setelah toksin
tertelan. Masa sakit dapat berlangsung selama 2 jam sampai 14 hari.

c. Staphilococcus aureus

Staphilococcus aureus merupakan bakteri berbentuk kokus/bulat, tergolong dalam


bakteri Gram-positif, bersifat aerobik fakultatif, dan tidak membentuk spora. Toksin yang
dihasilkan bakteri ini bersifat tahan panas sehingga tidak mudah rusak pada suhu memasak
normal. Bakteri dapat mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal. Toksin dapat rusak secara
bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit. Pangan yang dapat tercemar bakteri ini
adalah produk pangan yang kaya protein, misalnya daging, ikan, susu, dan daging unggas;
produk pangan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam keadaan dingin, seperti salad,
puding, dan sandwich; produk pangan yang terpapar pada suhu hangat selama beberapa
jam; pangan yang disimpan pada lemari pendingin yang terlalu penuh atau yang suhunya
kurang rendah; serta pangan yang tidak habis dikonsumsi dan disimpan pada suhu ruang.
Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Staphilococcus aureus dinamakan Staphylococcal food
poisoning.

Gejala keracunan:

Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam, berupa mual, muntah
(lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal,
demam ringan. Pada beberapa kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan
perubahan tekanan darah

2.1.2 Infeksi
a. Salmonella

Salmonella merupakan bakteri Gram-negatif, bersifat anaerob fakultatif, motil, dan


tidak menghasilkan spora. Salmonella bisa terdapat pada bahan pangan mentah, seperti
telur dan daging ayam mentah serta akan bereproduksi bila proses pamasakan tidak
sempurna. Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella dinamakan salmonellosis. Cara
penularan yang utama adalah dengan menelan bakteri dalam pangan yang berasal dari
pangan hewani yang terinfeksi. Pangan juga dapat terkontaminasi oleh penjamah yang
terinfeksi, binatang peliharaan dan hama, atau melalui kontaminasi silang akibat higiene
yang buruk. Penularan dari satu orang ke orang lain juga dapat terjadi selama infeksi.

Gejala keracunan:

Pada kebanyakan orang yang terinfeksi Salmonella, gejala yang terjadi adalah diare,
kram perut, dan demam yang timbul 8-72 jam setelah mengkonsumsi pangan yang
tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil, sakit kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat
berlangsung selama lebih dari 7 hari. Banyak orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi
infeksi Salmonella ini juga dapat membahayakan jiwa terutama pada anak-anak, orang
lanjut usia, serta orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh.

b. Clostridium perfringens

Clostridium perfringens merupakan bekteri Gram-positif yang dapat membentuk


endospora serta bersifat anaerobik. Bakteri ini terdapat di tanah, usus manusia dan hewan,
daging mentah, unggas, dan bahan pangan kering. Clostridium perfringens dapat
menghasilkan 5 enterotoksin yang tidak dihasilkan pada makanan sebelum dikonsumsi,
tetapi dihasilkan oleh bakteri di dalam usus. Pangan yang dapat tercemar oleh Clostridium
perfringens ini adalah daging ternak dan daging unggas, makanan kering, herbs, rempah-
rempah,sayur-sayur. Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Clostridium perfringens
dinamakan keracunan makanan clostridial dan sindrom pigbel.

Gejala keracunan:

Gejala keracunan dapat terjadi sekitar 8-24 jam setelah mengkonsumsi pangan yang
tercemar bentuk vegetatif bakteri dalam jumlah besar. Didalam usus, sel-sel vegetatif
bakteri
akan menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan dapat menyebabkan sakit. Gejala
yang timbul berupa nyeri perut, diare, mual, dan jarang disertai muntah. Gejala dapat
berlanjut selama 12-48 jam, tetapi pada kasus yang lebih berat dapat berlangsung selama 1-
2 minggu (terutama pada anak anak dan orang lanjut usia)

c. Escherichia coli

Escherichia coli merupakan mikroflora normal pada usus kebanyakan hewan


berdarah panas. Bakteri ini tergolong bakteri Gram-negatif, berbentuk batang, tidak
membentuk spora, kebanyakan bersifat motil (dapat bergerak) menggunakan flagela, ada
yang mempunyai kapsul, dapat menghasilkan gas dari glukosa, dan dapat memfermentasi
laktosa. Kebanyakan strain tidak bersifat membahayakan, tetapi ada pula yang bersifat
patogen terhadap manusia, seperti Enterohaemorragic Escherichia coli (EHEC).
Escherichia coli O157:H7 merupakan tipe EHEC yang terpenting dan berbahaya terkait
dengan kesehatan masyarakat. E. coli dapat masuk ke dalam tubuh manusia terutama
melalui konsumsi pangan yang tercemar, misalnya daging mentah, daging yang dimasak
setengah matang, susu mentah, dan cemaran fekal pada air dan pangan.

Gejala keracunan:

Gejala penyakit yang disebabkan oleh EHEC adalah kram perut, diare (pada beberapa
kasus dapat timbul diare berdarah), demam, mual, dan muntah. Masa inkubasi berkisar 3-8
hari, sedangkan pada kasus sedang berkisar antara 3-4 hari.

d.Vibrio parahaemolyticus

Vibrio merupakan bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, muara sungai,
kolam, dan laut. Salah satu jenis bakteri dari marga Vibrio yang hidup dilaut dan
merupakan pathogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia adalah Vibrio
parahaemolyticus. Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif,
halofilik, bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagellum kutub
tunggal dan tidak dapat membentuk spora. Vibrio parahaemolyticus ini adalah jenis bakteri
yang hidupnya di laut, memiliki daya tahan terhadap salinitas cukup tinggi. Oleh sebab itu
bakteri patogen ini dapat mencemari pangan hasillaut (Liston dalam Retno, 2008). Pangan
yang dapat tercemar oleh
bakteri Vibrio parahaemolyticus ini adalah ikan segar dan ikan olahan, udang, kerang dan
makanan laut lainnya.

Gejala keracunan:

Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus adalah Sakit
perut bagian bawah, diare berdarah dan berlendir, pusing, muntah-muntah, demam ringan,
menggigil, sakit kepala, recoveri dalam 2-5 hari.

e. Campylobacter jejuni

Campylobacter jejuni adalah spesies bakteria berbentuk lengkung, batang, non-spora,


Gram-negatif dan bersifat motil. Bakteri ini bersifat zoonosis dan menyebabkan penyakit
yang disebut dengan campylobacteriosis. Gastroenteritis pada manusia di dunia salah
satunya juga disebabkan oleh bakteri Campylobacter jejuni. Keracunan makanan yang
disebabkan oleh spesies Campylobacter dapat menimbulkan penyakit, tetapi sangat jarang
mengakibatkan kematian. Campylobacteriosis pada peternakan unggas dapat disebut avian
vibrionic hepatitis atau avian infectious hepatitis. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia.
Meskipun organ yang terserang adalah alat pencernaan, tetapi pada masing-masing spesies
hewan penderita rupanya bakteri ini memiliki kesukaan lokasi sendiri-sendiri. Pangan yang
dapat tercemar oleh bakteri Campylobacter jejuni ini adalah daging ternak dan daging
unggas mentah, susu segar atau susu yang diolah tetapi pemanasannya kurang, air yang
tidak diolah. Campylobacter jejuni secara alami ada dalam saluran pencernaan ayam.
Gejala klinis tidak terlihat meskipun invasi bakteri ini terjadi pada organ internal ayam
maka bakeri ini diperlukan jumlah yang besar untuk menimbulkan penyakit pada ayam.
Campylobacter jejuni pada ayam tidak menyebabkan penyakit tetapi kejadian kontaminasi
karkas ayam oleh bakteri ini cukup tinggi yang mengakibatkan campylobacteriosis pada
manusia.

Gejala Keracunan:

Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter jejuni adalah sakit perut
bagian bawah, kram, diare, sakit kepala, demam, dan kadang-kadang diare berdarah. Masa
inkubasi berkisar2-3 hari dan bisa 7-10 hari.

f. Shigella sonnei
Shigella adalah binatang tidak bergerak, gram negatif, bersifat fakultatif anaerobik
yang dengan beberapa kekecualiaan tidak meragikan laktosa tetapi meragikan karbohidrat
yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas. Habitat alamiah Shigella
terbatas pada saluran pencernaan manusia dan primata lainnya dimana sejumlah spesies
menimbulkan disentri basiler. Shigella berbentuk batang ramping, tidak berkapsul, tidak
bergerak, tidak membentuk spora, gram negatif. Shigella adalah fakultatif anaerob tetapi
paling baik tumbuh secara anaerobik. Shigella dapat menyebakan penyakit shigellosis yang
merupakan penyakit saluran pencernaan. Pangan yang dapat tercemar oleh bakteri Shigella
sonnei adalah makanan campuran dan basah, susu, kacang-kacangan, kentang, tuna,
undang, kalkun, salad, makaroni, cider apel.

Gejala keracunan:

Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Shigella sonnei adalah kram usus,
panas dingin, diare berair sering kali berdarah dan berlendir, sakit kepala, pusing, dehidrasi.
Masa inkubasiberkisar 1-7 hari, biasanya kurang dari 4 hari.

g. Yersinia enterocolitica

Yersinia enterocolitica merupakan bakteri golongan gram negatif, bentuknya bacillus


(batang yang sifatnya tidak memfermentasi laktosa, dengan urease positif dan oksidase
positif). Yersinia enterocolitica masuk ke dalam famili enterobacteriaceae. Bakteri ini
tumbuh baik secara motil di suhu 25ºC,dan non motil di suhu 37ºC. Yersinia enterocolitica
banyak ditemukan di saluran usus berbagai hewan di mana hewan tersebut dapat
menyebabkan penyakit dan ditularkan kepada manusia. Pangan yang dapat tercemar oleh
bakteri Yersinia enterocolitica adalah daging ternak dan unggas mentah,produk olahan
daging, susu dan produk susu dan sayur-sayuran. Penularan bakteri Yersinia enterocolitica
melalui rute orofekol karena mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh manusia atau binatang terinfeksi bakteri ini.

Gejala Keracunan

Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pseudotuberculosi adalah sakit
perut bagian bawah, demam, menggigil, sakit kepala, malaise, diare, muntah-muntah,
pusing, pharingitis, leukocytosis. Masa inkubasiberkisar 24-36 jam atau lebih.
h. Listeria monocytogenous

Listeria monocytogenous merupakan bakteri gram posituf yang dapat tumbuh baik di
tempat aerob (dengan adanya oksigen) maupun anaerob (tanpa adanya oksigen). Bakteri
ini tidak membentuk spora, dan sangat kuat terhadap panas, asam dan garam serta tahan
terhadap pembekuan sehingga masih dapat berduplikasi di suhu dingin seperti lemari
pendingin (suhu 40C – 100C). Sumber lain menyebutkan bahwa bakteri Listeria
monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran suhu -0,40C – 450C dengan suhu tumbuh
optimal 370C. Pengaruh beku terhadap Listeria monocytogenes bergantung pada kondisi
produk dan kemasan. Hal ini juga dibuktikan bahwa Listeria monocytogenes dapat
memiliki kemampuan bertahan pada suhu -200C. Pangan yang dapat tercemar oleh bakteri
Listeria monocytogenous adalah makanan siap santap yang didinginkan seperti sosis, susu
yang belum dipasteurisasi, serta produk susu lainnya seperti susu dan keju, daging mentah
atau yang dimasak setengah matang, unggas, dan ikan-ikanan. Bakteri ini masuk ke dalam
tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Listeria monocytogenes.
Bakteri Listeria monocytogenes menempel di permukaan makanan dan buah-buahan.
Bakteri ini dapat masuk kedalam daging buah / makanan jika buah / makanan tersebut
berpori sehingga air dapat memudahkan bakteri, terutama bila air tersebut sudah
terkontaminasi bakteri Listeria monocytogenes. Bakteri Listeria monocytogenes dapat
menyebakan penyakit Listeriosis yang merupakan penyakit yang sering diidap oleh
binatang ternak seperti sapi, domba, babi, namun terkadang ditemukan juga binatang
unggas seperti ayam dan bebek.

Gejala Keracunan

Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Listeria monocytogenous adalah


demam, nyeri otot, terkadang gejala gastrointestinal seperti mual atau diare; gejala seperti
sakit kepala, leher kaku, linglung, hilang keseimbangan, hingga gemetar. Masa Inkubasi
berkisar 3-21 hari (bahkan hingga 70 hari, pada kasus tertentu yang jarang terjadi).

2.2 Jenis Non Bakteri dan Gejalanya

2.2.1 Fungi

Fungi hidup sebagai parasit. Fungi berperan untuk mendekomposisi zat komplek. Dari

90
sekitar 100.000 spesies jamur, 100 diantaranya bersifat patogen (beracun). Fungi

91
menghasilkan mycotoxin, yang tahan pada suhu tinggi dan tidak dapat dihilangkan dengan
proses pemasakan. Mycotoxicoses adalah keracunan yang disebabkan karena memakan
inetabolit beracun yang diproduksi oleh jamur yang tumbuh di pangan. Racun yang
dikeluarkan jamur antara lain adalah aflatoxin, fusariai, ochratoxin.

a. Aflatoxin

Aflatoxin dihasilkan oleh mold Aspergillus sp. Aflatoxin yang berbahaya bagi
manusia adalah tipe B1, B2, G1 dan G2 (B = blue, G = green). Pangan yang terkontaminasi
oleh Aspergillus sp adalah kacang, jagung dan biji-bijian lain, tepung, bumbu. Kondisi
optimum bagi pertumbuhan Aspergillus sp adalah suhu 25-300C dan kelembaban 88 - 94%.

Gejala Keracunan

Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Aflatoxin adalah keadaan Sirrosis
hati ini antara lain warna kulit berubah menjadi kuning atau bahkan menghitam, BAB
hitam kental seperti aspal.

b. Fumonisin

Fumonisin adalah myxotoxin yang dihasilkan oleh mold Fusarium sp. Batas ambang
maksimum untuk furmosin adalah 5-100 ppm. Pangan yang terkontaminasi oleh
Fumonisin adalah jagung dan serealia lainnya.

Gejala Keracunan:

Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Fumonisin adalah penurunan


asupan makanan, gangguan pernapasan, serta kelainan pada organ hati dan ginjal.

c. Ochratoxin

Ochratoxin dihasilkan oleh Aspergillus ochraceus dan Penicilium verrucosum.


Pangan yang terkontaminasi oleh Aspergillus ochraceus dan Penicilium verrucosum
daging babi, daging unggas, tepung, kopi, dan anggur.

Gejala Keracunan:

Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Ochratoxin adalah mual, demam,
pusing.
2.3 Gejala Keracunan Pangan dan Penatalaksanaannya

Gejala keracunan bergantung pada tipe pencemar dan jumlah yang tertelan. Gejala
keracunan pangan yang tercemar bakteri patogen biasanya dimulai 2-6 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar. Namun, waktunya bisa lebih panjang (setelah
beberapa hari) atau lebih pendek, tergantung pada cemaran pada pangan. Gejala yang
mungkin timbul antara lain mual dan muntah; kram perut; diare (dapat disertai darah);
demam dan menggigil; rasa lemah dan lelah; serta sakit kepala. Untuk keracunan pangan
yang umum, biasanya korban akan pulih setelah beberapa hari. Namun demikian ada
beberapa kasus keracunan pangan yang cukup berbahaya. Korban keracunan yang
mengalami muntah dan diare yang berlangsung kurang dari 24 jam biasanya dapat dirawat di
rumah saja. Hal penting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi
dengan minum pada korban untuk mengganti cairan tubuh yang hilang karena muntah dan
diare. Pada korban yang masih mengalami mual dan muntah sebaiknya tidak diberikan
makanan padat. Alkohol, minuman berkafein, dan minuman yang mengandung gula juga
sebaiknya dihindarkan. Untuk penanganan lebih lanjut, sebaiknya segera bawa korban ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat. Korban keracunan yang mengalami diare dan tidak
dapat minum (misalnya karena mual dan muntah) akan memerlukan cairan yang yang
diberikan melalui intravena. Pada penanganan keracunan pangan jarang diperlukan
antibiotika. Pada beberapa kasus, pemberian antibiotika dapat memperburuk keadaan. Jika
korban keracunan pangan adalah bayi, anak kecil, orang lanjut usia, wanita hamil, dan orang
yang mengalami gangguan sistem pertahanan tubuh (imun) maka perlu segera dibawa ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.

2.4 Pencegahan Keracunan Pangan

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan pangan akibat bakteri
patogen adalah:

a. Mencuci tangan sebelum dan setelah menangani atau mengolah pangan dan saat
menggunakan toilet
b. Mencuci dan membersihkan peralatan masak serta perlengkapan makan sebelum dan
setelah digunakan.
c. Jangan menyiapkan atau menyajikan makanan jika ada luka atau infeksi kulit pada
tangan atau pergelangan.
d. Menjaga area dapur/tempat mengolah pangan dari serangga dan hewan lainnya.
e. Tidak meletakan pangan matang pada wadah yang sama dengan bahan pangan mentah
untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
f. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah kadaluarsa atau pangan dalam kaleng yang
kalengnya telah rusak atau menggembung.
g. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah berbau dan rasanya tidak enak.
h. Mengkonsumsi air yang telah dididihkan.
i. Memasak pangan sampai matang sempurna agar sebagian besar bakteri dapat terbunuh.
Proses pemanasan harus dilakukan sampai suhu di bagian pusat pangan mencapai suhu
aman (>700C) selama minimal 20 menit.
j. Menyimpan segera semua pangan yang cepat rusak dalam lemari pendingin (sebaiknya
suhu penyimpanan di bawah 50C) seperti susu pasteurisasi, keju, sosis, dan sari buah
dalam lemari pendingin.
k. Tidak membiarkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam, karena mikroba
dapat berkembang biak dengan cepat pada suhu ruang.
l. Menyimpan pangan yang tidak habis dimakan dalam lemari pendingin.
m. Membersihkan dan mencuci buah-buahan serta sayuran sebelum digunakan, terutama
yang dikonsumsi mentah.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Riza Zainyddin. 2008. Cemaran Kapang pada Pakan dan Pengendaliannya. Balai
Besar Penelitian Veteriner:
http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/attachments/143_9.pdf, diakses pada 1 Maret
2017

Angeliya, Liza, Ruri Rumpaka Kurdiwa. 2013. Identifikasi Campylobacter jejuni dengan Metode
Polymerase Chain Reaction. Jurnal Sain Veteriner, Vol. 31, No. 2: pada 1 Maret 2017

Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Sentra Informasi Keracunan

Nasional.

Dali, A Faiza. 2007. Kepadatan Yersinia Sp. yang Diisolasi dari Ikan Mas (Cyprinus Caprio, L).
Universitas Negeri Gorontalo:

Handoyo, Agus. 2014. Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa Jembungan
Kecamatan Banyudono Boyolali. Universitas Muhammadiyah : Surakarta.

Ningsih, Riyan. 2014. Penyuluhan Hygiene Sanitasi Makanan Dan Minuman, Sertakualitas
Makanan Yang Dijajakan Pedagang di Lingkungan Sdnkota Samarinda.Diakses di
Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=261792&Val=5652&Title=PENYU
LUHAN%20HYGIENE%20SANITASI%20MAKANAN%20DAN%20MINUMAN,%20S
ERTA%20KUALITAS%20MAKANAN%20YANG%20DIJAJAKAN%20PEDAGANG%
20DI%20LINGKUNGAN%20SDN%20KOTA%20samarindapadatanggal 1 Maret 2017.
Poloengan, Masniarai, etc. 2007. Patogenesis Campylibacter Terhadap Hewan dan Manusia.
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan:
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lkpngan05-19.pdf, diakses pada 1 Maret 2017

Presiden RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan.

Rien, Baiq H. Werdiningsih. 2010. Kondisi Sanitasi dan Keracunan Makanan Tradisional. 20(2),
131–138.
Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-albiner3.pdf, diakses pada 1 Maret 2017

Syamsir, Elvira, 18 April, 2008, Kasus Vibrio parahaemolyticus di dalam seafood, Bandung:
http:/kesehatan.bandungkab.go.id/index.php?option=com_mtree&task=viewlink&link_id=2
0&Itemid=109, diakses pada 1 Maret 2017

Yunus, Salma P, dkk. 2015. Hubungan Personal Higiene dan Fasilitas Sanitasi dengan
Kontaminasi Escherichia Coli Pada Makanan di RumahMakan Padang Kota Manado Dan
Kota Bitung. Diakses di file:///C:/Users/HP%2014%20AMD/Downloads/7438-14622-1 SM
%20(1).pdf padatanggal 1 Maret 2017.
Widowati, Retno. 2008. Keberadaan Bakteri Vibrio parahaemolyticus pada Udang yang Dijual
di Rumah Makan Kawasan Pantai Pangandaran. Vis Vitalis, vol. 01, No. 1:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=59771&val=4487, diakses pada 1 Maret 2017

World Health Organization. 1998.


BAB 7

PARASIT PADA MAKANAN

Pada zaman sekarang, banyak sekali pilihan bahan makanan baik dari sumber hewani
maupun nabati yang dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk menambah energi. Akibat
dari banyaknya pilihan makanan, muncul beberapa masalah terlebih penyakit. Salah satu
penyakit yang dapat disebabkan oleh makanan adalah penyakit akibat makanan (foodborne
disease). Penyakit bawaan makanan (foodborne disease), pada umumnya dapat bersifat toksik
yaitu beracun maupun infeksius yang artinya menyebabkan infeksi, biasanya disebabkan oleh
agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi.
Terkadang penyakit ini disebut “keracunan makanan” (food poisoning) walaupun sebenarnya
istilah ini kurang tepat. Menurut WHO (2015), menyatakan bahwa setiap tahunnya, satu dari 10
orang merasakan sakit dan 33 juta manusia kehilangan tahun hidup sehat (Healthy Life Years).
Selain itu, penyakit bawaan makanan juga dapat mematikan khususnya pada anak usia dibawah
lima tahun. Penyakit bawaan makanan (foodborne disease) adalah masalah global kesehatan
masyarakat. Adapun perantara (agent) yang membawa terjadinya penyakit akibat makanan
(foodborne disease) adalah bakteri, virus, racun (toksin), kimia, dan parasit. Parasit yang sering
menyebabkan penyakit bawaan makanan (foodborne disease) menurut WHO (2015) adalah
Toxoplasma gondi, Taenia solium, Clonorchis sinensis, dan Echinococcus tapeworms. Selain
parasit yang telah disebutkan, terdapat parasit yang juga dapat menjadi perantara penyakit akibat
makanan seperti Trichinella. Penyakit akibat makanan (foodborne disease) juga sering terjadi
pada masyarakat menengah ke bawah dan terkadang dapat menyebar dengan cepat di sepanjang
rantai makanan dan lintas batas sehingga butuh perhatian khusus untuk mengurangi dampak agen
penyakit khususnya parasit dalam kejadian penyakit akibat makanan (foodborne disease).
2.1. Ascaris lumbricoides

2.1.1. Siklus Hidup

Gambar 2.1. Siklus Hidup dan Morfologi Ascaris lumbricoides

Cacing dewasa berbentuk silinder, dengan anterior (ujung depan) meruncing.


Ascaris lumbricoides merupakan cacing parasit terbesar dari parasit nematoda umum
manusia dengan betina berukuran panjang 20-35 cm dan jantan berukuran panjang 15-
31 cm, dengan posterior akhir (bagian belakang) melengkung. Juga, tiga bibir well
developed merupakan ciri khas dari kelompok cacing ini. Infeksi pada manusia
diperoleh melalui konsumsi telur berembrio dari tanah yang terkontaminasi. Jika
tertelan, telur menetas di dalam lambung dan duodenum, di mana larva aktif
menembus dinding usus. Setelah menembus dinding usus, mereka kemudian dibawa
ke jantung kanan melalui portal hepatik sirkulasi. Kemudian pembentukan larva
dilakukan di dalam sirkulasi paru-paru, di mana mereka disaring oleh kapiler. Setelah
sekitar 10 hari di paru-paru, larva kemudian masuk ke alveoli, bermigrasi melalui
bronkus sampai mereka mencapai trakea dan faring, dan kemudian ditelan. Cacing
kemudian menjadi
dewasa dan kawin di usus, dengan produksi akhirnya telur masuk ke dalam tinja.
Seluruhnya proses perkembangan dari konsumsi telur ke bagian telur dari betina
dewasa membutuhkan waktu 8 sampai 12 minggu. Selama rentang hidupnya, deposisi
telur dapat mencapai total 27.000.000 telur. Kedua telur, baik yang dibuah maupun
tidak dibuahi dikeluarkan begitu saja. Terkadang hanya cacing betina yang dapat pulih
dari usus. Telur yang dibuahi akan menjadi infektif dalam waktu 2 minggu jika mereka
berada di tempat yang lembab. Tanah hangat merupakan tempat terbaik telur cacing
dapat bertahan hidup, di mana mereka dapat tetap bertahan hidup selama berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Telur yang telah dibuahi biasanya berbentuk oval,
tebal, dilapisi oleh mantel, dan biasanya diwarnai empedu berwarna cokelat keemasan.
Telur ini memiliki ukuran panjang sampai dengan 75 µM dan lebar 50 µm. Apabila
telur tidak dibuahi, bentuk telur biasanya lebih oval, memiliki ukuran panjang 90 µm
dan mungkin memiliki lapisan mantel yang sangat minim. Seringkali kedua jenis telur
ditemukan dalam spesimen tinja yang sama dan biasanya hanya cacing betina yang
terdapat dalam usus.

Gambar 2.2. Morfologi Cacing Dewasa dan Telur Cacing

2.1.1. Patogenesis
Patogenesis disebabkan oleh infeksi Ascaris sering dikaitkan oleh kekebalan host,
efek migrasi larva, efek mekanik dari cacing dewasa, dan kekurangan gizi karena
adanya cacing dewasa. Gejala awal adanya pneumonitis jika jumlah larva cukup besar.
Ketika larva keluar dari jaringan paru-paru dan ke dalam alveoli, kemungkinan ada
beberapa kerusakan bronkial epitel. Dengan reinfeksi dan migrasi larva berikutnya,
mungkin ada reaksi jaringan intens, bahkan dengan sejumlah kecil larva. Reaksi
jaringan di sekitar larva di hati dan paru-paru dengan infiltrasi eosinofil, makrofag,
dan sel-sel epitel. Hal ini disebut Ascaris pneumonitis dan disertai oleh reaksi alergi
yang terdiri dari dyspnea, batuk kering atau berdahak, demam (39,9-40,0 ° C),
eosinofilia sementara, dan terdapat seperti virus pneumonia. Kehadiran cacing dewasa
dalam usus biasanya tidak menimbulkan kesulitan kecuali massa cacing dewasa yang
sangat berat. Migrasi cacing dapat mengakibatkan rangsangan seperti demam
(biasanya lebih dari 38,9°C), penggunaan anestesi umum, atau kondisi abnormal
lainnya. Migrasi ini dapat mengakibatkan penyumbatan usus. Selain itu, migrasi dapat
masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas, atau ruang-ruang kecil lainnya atau
masuk ke hati atau rongga peritoneum. Mereka juga dapat bermigrasi keluar dari anus
atau keluar mulut atau hidung. Pada anak-anak, terutama mereka yang berusia di
bawah lima tahun, kemungkinan terdapat penurunan berat badan terkait beban cacing.
Efek langsung dapat terukur dengan cara peningkatan nitrogen tinja dan lemak tinja,
serta gangguan penyerapan karbohidrat yang akan kembali normal apabila cacing
dewasa dimusnahkan. Cacing bisa juga spontan menghilang meskipun tanpa terapi
apapun.

2.1.3. Pencegahan
Pencegahan penyakit Ascariasis membutuhkan pendidikan, kebiasaan, dan
kebudayaan hidup bersih dan sehat yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
melakukan sistem pengolahan tinja setahun sekali karena telur biasanya bersifat
patogen dan paling sulit untuk telur dan biasanya telur dapat bertahan 1-3 tahun.
Infeksi juga dapat terjadi ketika makanan yang hendak dikonsumsi ditangani tanpa
menghapus atau membunuh telur cacing di tangan, pakaian, rambut, sayuran
mentah/buah, atau makanan yang dimasak yang terinfeksi oleh penangan, kontainer,
dll. Telur Ascaris dapat dikurangi dengan pemakaian kompos, tetapi untuk benar-
benar membunuh, dapat melakukan beberapa
hal berikut, seperti menggosok makanan dengan menggunakan alkohol, pemasakan
dengan suhu tinggi, dan pengomposan dengan panas (lebih dari 120 Fehr).

2.2. Trichinella

2.2.1. Siklus Hidup

Berikut merupakan siklus hidup dari Trichinella sp.

1. Beberapa jam setelah hewan mencerna daging yang mengandung larva Trichinella
spp., cacing kemudian dibebaskan dari otot mereka dan menghasilkan kista di perut
hewan selama proses pencernaan. Larva kemudian bermigrasi ke usus kecil dan
menembus mukosa usus yang berada di dalam sel-sel epitel.

2. Larva mengalami empat langkah peranggasan dalam kurun waktu 30 jam untuk
menjadi cacing dewasa yang belum matang, baik cacing jantan atau betina.

3. Cacing dewasa berjalan melalui sel-sel epitel di usus kecil dan kawin di dalam
mukosa. Cacing dewasa dapat hidup dan berkembang biak selama kurang lebih 10
hari sampai beberapa minggu, tergantung pada host.

100
4. Telur berkembang dalam cacing betina, dan larva disimpan dalam dinding usus dalam
kurun waktu 4 sampai 7 hari setelah infeksi awal.

5. Larva dengan panjang 100 µm panjang dan diameter 6 µm,bermigrasi dari usus
melalui limfatik mukosa dan kelenjar getah bening regional menuju saluran toraks,
dan kemudian masuk ke sirkulasi vena. Cacing tersebut kemudian di distribusikan ke
seluruh tubuh oleh sirkulasi perifer.

6. Setelah mencapai otot rangka, yang biasanya paling sering terdapat pada diafragma,
lidah, dan masseter, larva menembus membran meliputi serat otot untuk memasuki
sel- sel otot, sedini 5 hari setelah infeksi. Mereka menginduksi perubahan dalam tuan
rumah sel untuk meningkatkan kelangsungan hidup mereka sendiri.
7. Dalam sel otot, larva coil dan, di sebagian besar spesies Trichinella, sel otot host
berubah menjadi seorang perawat sel untuk mengelilingi dan merangkum larva
dengan kolagen dan lapisan jaringan ikat. melingkar larva dan biasanya mengambil 3
minggu atau lebih.

8. Dikemas larva menyerap nutrisi dari sarcoplasm otot host dan tumbuh menjadi
infektif di sekitar 4 sampai 8 minggu. Mereka tetap tidak aktif sampai mereka
dimakan oleh host lain. Dalam beberapa kasus, tuan rumah mungkin dinding dari
larva, menyebabkan kematian.

2.2.2. Diagnosis

Secara umum, diagnosis klinis awal Trichinellosis dapat dikatakan agak sulit
karena tanda-tanda atau gejala patognomonik kurang terlihat dan juga kemudian penyakit
ini dapat dikatakan sebagai penyakit kronis kronis sehingga tidak mudah untuk
didiagnosa. Selanjutnya, dokter praktik di negara non-endemi penyakit ini biasanya tidak
terbiasa dengan penyakit dan dengan demikian mungkin mengalami masalah dalam
mendiagnosis trichinellosis. Masalah ini dapat menjadi jelas ketika adanya keterlambatan
diagnostik. Dalam penelitian kohort menunjukkan bahwa diagnosis biasanya dibuat pada
tahap akhir penyakit. Hal ini menjadi perhatian bagi pasien, karena keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan dapat mengakibatkan pembentukan larva di jaringan otot dan
pengembangan kapsul kolagen yang sangat lama dan mengakibatkan larva resisten
terhadap obat.

Diagnosis trichinellosis termasuk sulit untuk kasus terisolasi dan kursus klinis
atipikal. Karena itu, trichinellosis harus dibedakan dari berbagai penyakit lainnya yang
temuan klinis yang serupa mungkin terjadi. Diagnosis trichinellosis harus didasarkan
pada tiga Kriteria utama yaitu temuan klinis (pengakuan tanda-tanda dan gejala
trichinellosis), temuan laboratorium (nonspesifik parameter laboratorium (eosinofilia dan
otot enzim), deteksi antibodi, dan / atau deteksi larva dalam biopsi otot); dan
penyelidikan epidemiologi (identifikasi dari sumber dan asal studi infeksi dan wabah).

2.2.3. Pencegahan

Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari penyakit akibat cacing ini,
adalah dengan menggunakan tiga pendekatan utama, yaitu:

a. Pendidikan konsumen mengenai risiko konsumsi daging mentah atau semiraw, produk
daging dalam negeri seperti babi, kuda, dan anjing dan sylvatic (Misalnya, babi hutan,
beruang, singa laut, puma, luak, rubah, serigala, armadillo, buaya, dan biawak). Hewan
yang bisa menjadi pembawa parasit Trichinella apabila pada saat pemeriksaan daging
tidak benar-benar diuji keberadaan larva Trichinella.
b. Perternakan babi (sumber yang paling penting dari infeksi Trichinella untuk manusia).
Hal ini perlu adanya kontrol ketat dari dokter hewan di daerah peternakan babi dengan
melihat penggunaan bahan pakan bersertifikat, keadaan industri yang baik, dan
kandang babi yang sehat.
c. Kontrol dari semua hewan yang rentan (baik domestik dan sylvatic) dengan metode
pembuatan pencernaan buatan standar pada saat disembelih atau setelah diburu. Semua
daging dari hewan yang kemungkinan berisi larva Trichinella tetapi tidak dapat diuji
dengan metode laboratorium yang sesuai, harus melakukan prosedur yang telah
terbukti dapat mematikan cacing Trichinella sebelum didistribusikan untuk konsumsi
manusia. Hal ini berlaku baik sumber daging yang berasal dari komersial (yang sudah
terdapat sertifikat yang baik) maupun non-komersial sumber daging.

Tiga metode telah terbukti efektif dalam menonaktifkan larva Trichinella dalam daging,
yaitu:

a. Memasak dengan suhu tidak kurang dari 71°C (159,8°F) selama minimal 1 menit
(dengan catatan daging harus berubah warna dari merah muda menjadi abu-abu, dan
serat otot yang mudah terpisah satu sama lain)
b. Pembekuan
c. Iradiasi

Sedangkan metode yang dianggap kurang aman dalam persiapan daging dan produk olahan
daging, adalah pemasakan dengan menggunakan microwave oven dan curing atau
pengeringan.

Pencegahan Trichinella Infeksi pada Manusia

Untuk persiapan yang tepat dari penggunaan bahan baku daging harus mengikuti pedoman
yang sama dikeluarkan oleh pemerintah untuk konsumen. Perhatian khusus harus diberikan
kepada kehadiran Trichinella beku-tahan spesies atau genotipe dalam daging. Pembekuan
dilakukan untuk menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Dengan ketiadaan suhu
yang tepat dan waktu kontrol dan pemantauan sistem, prosesor dan konsumen daging harus
memastikan bahwa luka atau potongan daging hingga 15 cm dengan ketebalan yang
membeku (Setidaknya 15 C (5°F)) selama tidak kurang dari 3 minggu, dan pemotongan
dan potongan daging hingga 50 cm dengan ketebalan harus membeku untuk tidak kurang
dari 4 minggu. Persyaratan untuk pembekuan dibatasi untuk babi yang terinfeksi T. spiralis
saja . Memang, T. larva britovi dalam daging babi telah selamat sampai 3 minggu pada 20
° C (4
° F) . Sejak larva T. spiralis di daging kuda beku di 18 ° C (0.4 ° F) dapat bertahan hingga
4 minggu , dan daging kuda sering dijadikan pelabuhan spesies Trichinella, pembekuan
merupakan risiko kesehatan masyarakat bahkan setelah berbulan-bulan atau tahun (sampai
5 tahun di daging beruang) pengobatan. Sementara beku-tahan spesies Trichinella memiliki
infektivitas rendah untuk babi, infeksi tersebut tidak dapat diabaikan dalam spesies host
lain di daerah di mana spesies parasit endemik (misalnya, utara lintang).

Iradiasi untuk menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Penyinaran terbukti


meningkatkan menonaktifkan Trichinella (0,3 kGy) ini adalah metode yang dapat diterima
untuk rendering daging yang aman untuk di konsumsi manusia di negara-negara di mana
iradiasi makanan diperbolehkan.

Iradiasi direkomendasikan hanya untuk makanan kemasan yang disegel. Pengasapan untuk
menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Proses pengasapan dan tidak dianjurkan
untuk menonaktifkan larva Trichinella dalam daging babi, kuda, atau daging olahan.
Meskipun Studi validasi individu telah menunjukkan bahwa berbagai kombinasi garam,
temperatur, dan waktu pengeringan akan menonaktifkan larva Trichinella, menyembuhkan
dan pengasapan adalah metode yang sulit untuk andal memantau dan kontrol. Curing harus
digunakan hanya setelah studi validasi ekstensif sukses pada penggunaan kontrol proses
yang ketat dan protokoler.

Taenia spp. panjang, tersegmentasi, cacing pita parasit (keluarga taeniidae, subclass
Cestoda). Parasit ini memiliki siklus hidup langsung, siklus antara definitif dan hospes
perantara. Spesies Taenia berikut zoonosis, dengan manusia yang sebagai host definitif,
host menengah, atau keduanya. spesies non-zoonosis dari Taenia juga ada.

Taeniasis

Cacing pita dewasa hidup di usus host definitif. Infeksi ini disebut taeniasis. Manusia
adalah host definitif untuk Taenia solium (daging babi cacing pita) dan T. saginata (daging
sapi cacing pita). Manusia juga host definitif untuk T. asiatica, cacing pita baru diakui
ditemukan di Asia. Saat ini tidak pasti apakah T. asiatica adalah subspesies T. saginata (T.
saginata asiatica) atau terpisah jenis. Hewan adalah host definitif untuk T. crassiceps, T.
Ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Taenia larva
ditemukan di otot, sistem saraf pusat (SSP), dan jaringan lain dari host intermediate. Larva
yang lebih mungkin menyebabkan penyakit dari pada cacing pita dewasa. Ada dua bentuk
infeksi larva, cysticercosis dan coenurosis.
Sistiserkosis

Infeksi dengan bentuk larva dari Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps T. Ovis, T.
taeniaeformis atau T. hydatigena disebut cysticercosis. Larva ini organisme disebut
cysticerci (tunggal: sistiserkus). Pada suatu waktu, larva dan cacing pita dewasa yang
dianggap spesies yang berbeda. Untuk alasan ini, larva kadang-kadang disebut dengan
nama yang berbeda: Tahap larva T. solium kadang-kadang disebut sistiserkus cellulosae.
Tahap larva T. saginata kadang-kadang disebut bovis sistiserkus. Tahap larva T. crassiceps
kadang- kadang disebut longicollis sistiserkus. Manusia dapat host intermediate untuk T.
solium, T. crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis dan T. hydatigena. T. solium sering
ditemukan di manusia; empat spesies lain yang sangat langka. T. solium adalah spesies
Taenia hanya untuk yang manusia baik definitif dan hospes perantara. Hewan dapat host
intermediate selama lima spesies ini serta untuk T. saginata dan T. asiatica.

Coenurosis

Infeksi dengan bentuk larva T. multiceps, T. serialis dan T. brauni disebut coenurosis.
Tahap larva disebut coenurus (jamak: coenuri). Tahap larva dari T. multiceps kadang-
kadang disebut Coenurus Cerebral. Tahap larva T. serialis kadang-kadang disebut
Coenurus serialis. Tahap larva T. brauni kadang-kadang disebut Coenurus brauni. Manusia
dapat menjadi tuan rumah perantara untuk T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Hewan
juga bisa host intermediate selama tiga spesies ini.

2.3. Taeniasis

2.3.1. Siklus Hidup Taeniasis

Host definitif untuk Taenia spp. biasanya karnivora. Sebuah host definitif dapat
terinfeksi Taeniasis ketika mengonsumsi jaringan dari host perantara yang
mengandung larva. Larva melekat pada usus kecil dan berkembang menjadi cacing
pita dewasa. Waktu yang diperlukan T. saginata menjadi dewasa setelah 10 sampai 12
minggu sedangkan T. solium dapat menjadi dewasa setelah 5 sampai 12 minggu.
Cacing dewasa terdiri dari scolex, yang melekat pada usus, diikuti oleh proglottids
leher dan belum dewasa, matang dan gravid (Segmen). Proglottids gravid yang
mengandung telur,
melepaskan diri dari cacing dan menumpahkan ke dalam tinja. Proglottids dari
beberapa spesies juga bergerak melalui sfingter anal dengan bantuan lingkungan yang
mengakibatkan telur menjadi infektif. Pada manusia, taeniasis disebabkan oleh
makanan yang berasal dari daging babi (T. solium dan T. asiatica) atau daging sapi (T.
saginata) yang tidak dimasak dengan baik. T. solium dewasa memiliki panjang sekitar
2-7 m panjang dan dapat hidup sampai 25 tahun. Meski hingga 25 cacing pita telah
dicatat di satu orang, biasanya hanya ada satu. Telur yang umumnya menumpahkan
dalam proglottid, yang tetap di bolus tinja dan hancur di lingkungan. Telur-telur dapat
disebarkan oleh hujan dan angin dan dapat mencemari vegetasi dan air. T. telur solium
dapat bertahan di lingkungan selama beberapa minggu atau bulan. Dewasa T. saginata
bisa panjang 4-25 meter, meskipun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat
hidup selama 5 sampai 20 tahun atau lebih. The proglottids gravid dari T. saginata
biasanya lebih motil dibandingkan T. solium. Mereka pindah dari kotoran dan
mematuhi rumput. T. saginata telur bisa bertahan hidup selama beberapa minggu atau
bulan di air dan di rumput. Dalam dataran tinggi Kenya, T. saginata telur telah
dilaporkan ke bertahan sampai satu tahun. Pada hewan, taeniasis disebabkan oleh T.
crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. Serialis dan T.
brauni dan diperoleh dengan makan jaringan dari berbagai host intermediate termasuk
ruminansia, kelinci dan hewan pengerat.

Host intermediate - Sistiserkosis dan Coenurosis

Host intermediate biasanya herbivora, tetapi larva juga sesekali ada pada anjing dan
kucing. Sebuah hospes perantara menjadi terinfeksi ketika menelan telur (atau
proglottids yang mengandung telur), yang ditumpahkan di tinja host definitif. Telur
dapat dilakukan pada fomites, dan dapat disebarkan oleh serangga coprophagous dan
burung. Hewan Herbivora dapat memperoleh telur di padang rumput, vegetasi, atau air
yang terkontaminasi. Pada manusia, biasanya tertelan telur cacing pita pada buah-
buahan dan sayuran atau memperoleh mereka langsung dari tanah. Manusia juga dapat
terinfeksi oleh air yang terkontaminasi. Manusia yang membawa T. solium dewasa
pada usus dapat menginfeksi diri dan telur tertumpah dalam kotoran mereka sendiri
yang mengakibatkan cysticercosis. Autoinfeksi dengan reverse peristaltik dari telur
atau
proglottids mungkin terinfeksi dalam usus tetapi belum terbukti kebenarannya. Anak-
anak yang bermain di kotoran khususnya tanah dapat terkontaminasi dengan larva T.
multiceps, T. serialis atau T. Brauni dan langsung menyerang ke konjungtiva atau
kulit. Penetasan telur biasanya terjadi apabila telur telah terpapar oleh sekresi lambung
dan diikuti oleh sekresi usus. Telur menetas dalam usus, menembus dinding usus, dan
menyerap di dalam darah di seluruh jaringan. Dalam jaringan, larva (juga disebut
metacestodes) kemudian berkembang biak menjadi cysticerci atau coenuri.

Sistiserkosis

Bentuk larva dari Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis


atau T. hydatigena adalah sistiserkus. Cysticerci adalah vesikel berisi cairan yang
mengandung protoscolex tunggal terbalik. Dalam jaringan selain mata, ventrikel
verebral atau ruang subarachnoid dari otak, kista ini dikelilingi oleh kapsul fibrosa
jaringan cysticerci yang biasanya lonjong dan berdiameter kurang lebih sekitar 1 cm,
tetapi T. solium cysticerci dapat tumbuh sekitar 10-15 cm di berbagai bidang seperti
ruang subarachnoid dari otak. Sebuah host dapat memiliki satu untuk ratusan kista.
Bentuk ini dapat berkembang biak, yang disebut racemose cysticercosis, adalah
sesekali terlihat. larva ini, yang terjadi terutama di dasar otak, terdiri dari massa seperti
anggur mengandung beberapa kandung kemih terhubung dari berbagai ukuran. Itu
protoscolex, jika ada, biasanya mati. Tidak pasti apakah cysticercosis racemose adalah
T. solium sistiserkus menyimpang, yang sistiserkus dari spesies lain, atau coenurus
steril.

Cysticerci biasanya tidak merangsang inflamasi Tanggapan saat mereka masih hidup,
atau setelah mereka meninggal dan menjadi kalsifikasi. Namun, sementara mereka
merosot mereka bisa menjadi meradang. Pada sapi, T. saginata cysticerci mulai mati
dalam beberapa minggu, dan setelah 9 bulan cacing mati sedangkan spesies lain dapat
bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cysticerci dalam berbagai tahap kelayakan
dapat terjadi secara bersamaan dalam sebuah host. Cysticerci dapat ditemukan hampir
di mana saja, tetapi masing-masing spesies memiliki kecenderungan untuk jaringan
tertentu. Pada babi, T. solium cysticerci ditemukan terutama di tulang atau jantung
otot, hati, jantung dan otak. Pada manusia, spesies ini paling sering ditemukan dalam
jaringan
subkutan, skeletal otot, mata dan otak. Penyakit serius hampir selalu disebabkan oleh
cysticerci di CNS (neurocysticercosis) atau jantung.

 T. saginata pada sapi dan T. Ovis pada domba ditemukan terutama di otot.
 T. asiatica dan T. taeniaeformis cysticerci adalah biasanya ditemukan dalam
hati, sementara T. hydatigena adalah juga ditemukan di dalam rongga perut.
 T. crassiceps larva biasanya ditemukan di jaringan subkutan, dan peritoneal
atau pleura rongga. replikasi aseksual T. Crassiceps larva terjadi pada tikus
host intermediate.

Coenurosis

Bentuk larva T. multiceps, T. serialis dan T. brauni disebut coenurus. Sebuah coenurus
adalah vesikel yang berisi beberapa protoscolices terbalik, melekat pada membran
internal kista. kista putri dapat dilihat dalam beberapa coenuri, baik mengambang bebas
atau melekat oleh tangkai. Kehadiran kista putri bervariasi dengan jaringan coenuri di
mata dan jaringan subkutan biasanya unilocular, tapi coenuri di CNS sering multilokular.
Setiap protoscolex dapat tumbuh menjadi cacing pita jika dicerna oleh tuan rumah
definitif.

 T. multiceps coenuri biasanya 2-6 cm di diameter dan mengandung beberapa untuk


lebih dari seratus protoscolices. Pada manusia, larva ini biasanya ditemukan dalam
otak (neurocoenurosis), mata atau jaringan subkutan. infeksi SSP lebih umum di
daerah beriklim, dan okular atau infeksi subkutan lebih umum di tropis. Pada hewan,
T. multiceps coenuri adalah biasanya ditemukan di CNS.
 T. serialis coenuri biasanya ditemukan di jaringan subkutan, otot dan
retroperitoneally. Pada manusia, beberapa larva memiliki juga telah ditemukan di
otak.
 Larva T. brauni cenderung ditemukan di jaringan subkutan dan mata.

2.3.3 Tanda klinis

Taeniasis
Tanda-tanda klinis, kecuali untuk bagian dari proglottids, yaitu jarang di host
definitif. Gejala, jika ada, yang biasanya terbatas pada unthriftiness, malaise, lekas marah,
penurunan nafsu makan dan diare ringan atau kolik. Intususepsi, kekurusan dan kejang
telah dilaporkan tetapi sangat jarang.

Sistiserkosis dan coenurosis

Gejala-gejala cysticercosis dan coenurosis yang disebabkan terutama oleh


peradangan yang terkait dengan merosot larva, atau dengan efek mekanik parasit. Jenis
dan tingkat keparahan dari tanda-tanda klinis tergantung pada jumlah dan lokasi dari
larva. T. multiceps coenurosis dapat menyebabkan neurologis tanda-tanda di ruminansia.
coenurosis akut paling sering dilihat di domba muda. Tanda-tanda klinis biasanya
terbatas demam sementara, kelesuan dan neurologis ringan tanda-tanda seperti sebagai
kepala miring sedikit. penyakit yang lebih berat, termasuk akut meningoencephalitis,
kejang dan kematian dapat terjadi dengan sejumlah besar parasit. Gejala dari T.multiceps
coenuri muncul lebih lambat, yang paling umum di 16-18 bulan domba tua, dan berbeda
dengan lokasi parasit di otak atau sumsum tulang belakang. Mereka mungkin termasuk
kelainan perilaku, berputar-putar, ataksia, hypermetria, kebutaan, penyimpangan kepala,
kelumpuhan, kejang, hipereksitabilitas atau tanda-tanda neurologis lainnya, serta sujud
dan kekurusan. Tanda-tanda pada hewan yang terinfeksi oleh spesies Taenia lainnya. T.
solium cysticercosis adalah jarang menyebabkan encephalomyelitis parasit pada anjing.,
Coenuri terutama T. serialis, dilaporkan sesekali di CNS kucing. Gejala sangat
bervariasi, dan tergantung pada lokasi dan jumlah larva. Multifokal tanda-tanda termasuk
ataksia, jatuh dengan episode ekstensor kekakuan, lesu, agresi mendadak, gangguan
penglihatan, dan depresi dapat dilihat jika herniates otak. Tanda-tanda klinis jarang
terjadi pada babi yang terinfeksi T.solium dan sapi yang terinfeksi dengan T. saginata. T.
solium dapat kadang- kadang menyebabkan hipersensitivitas dari moncong, kelumpuhan
lidah, kejang, demam dan kekakuan otot pada babi. Sejumlah besar T.Saginata dapat
mengakibatkan demam, kelemahan, anoreksia, dan kekakuan otot pada sapi. Kematian
telah dilaporkan sebagai hasil dari myocarditis selama infeksi eksperimental. spesies
Taenia lain kadang-kadang dapat menyebabkan perut distensi, lesu, penurunan berat
badan atau tanda-tanda lain yang berhubungan dengan infeksi perut atau hati, terutama di
host seperti sebagai kelinci.

110
Pencegahan

Cysticercosis dan coenurosis pada ternak dapat menurun dengan mencegah atau
mengobati taeniasis di tuan rumah definitif. Anjing yang berhubungan dengan ternak,
khususnya domba, seharusnya tidak diperbolehkan untuk makan bangkai hewan dengan
coenurosis, dan harus dewormed teratur. Lain anjing seharusnya tidak diperbolehkan
dekat binatang. Untuk mencegah Infeksi dengan T. solium, T. saginata atau T. asiatica,
hewan seharusnya tidak terkena kotoran manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing bisa
berkurang dengan tidak memungkinkan anjing untuk hewan pengerat berburu atau host
intermediate lainnya, dan tidak makan bangkai mentah atau setengah matang. Tidak ada
vaksin yang tersedia saat ini. Vaksin A T. Ovis diproduksi di masa lalu tapi vaksin cacing
pita memiliki, di umum, tidak layak secara ekonomis.

DAFTAR PUSTAKA

BrusBruschi, F., Pathology, E., & Pisa, U. (n.d.). Review Article Trichinellosis in developing
countries : is it neglected ?chi, F., Pathology, E., & Pisa, U. (n.d.). Review Article
Trichinellosis in developing countries : is it neglected ?

Gottstein, B., Pozio, E., & No, K. (2009). Epidemiology , Diagnosis , Treatment , and Control of
Trichinellosis, 22(1), 127–145. https://doi.org/10.1128/CMR.00026-08

Hossain, A. (2014). Ascaris lumbricoides, (March 2009), 1–19.

Mitreva, M., & Jasmer, D. P. (2006). Biology and genome of Trichinella Table of Contents, 1–
21. https://doi.org/10.1895/wormbook.1.124.1

National Wildlife Health Center. (n.d.). Trichinosis Circular 1388.


Pozio, E. (2007). World distribution of Trichinella spp . infections in animals and humans, 149,
3–21. https://doi.org/10.1016/j.vetpar.2007.07.002

The Center for Food Industry and Public Health. (2005). Taenia Infections, 1–8.

WHO Estimate of Burden Disease. (2015). Infographics of Waterborne Disease.

Widiastuti, D., & Astuti, N. T. (2009). Trichinella spiralis, Cacing yang Menginfeksi Otot, 5(1),
24–25.

World Health Organization. (n.d.). Penyakit bawaan makanan : suatu permasalahan kesehatan dan
ekonomi global, 1–53.

World Health Organization. (2015). Key foodborne diseases and hazards, 2015.

Ascaris lumbricoides. (n.d.). 2012, 1–7.


BAB 8

PENCEGAHAN BAHAYA PENCEMARAN LINGKUNGAN

Pencemaran lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas


hidup makhluk hidup disekitarnya sehingga masalah pencemaran lingkungan ini menjadi
salah satu hal yang krusial. Pencemaran lingkungan sering kali dikaitkan dengan
keberadaan industri. Hal ini tidak lepas dari kegiatan industri yang mengunakan bahan-
bahan kimia yang berbahaya terutama limbah industri jika dibuang langsung ke
lingkungan sekitar tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut sehingga bahan-bahan
tersebut dapat diurai oleh mikroorganisme di lingkungan pembuangannya.

Pencemaran air yaitu masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke
dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berbuahnya tatanan (komposisi) air
atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas
lingkungan industry dan aktivitas lingkungan manusia, maka diperlukan pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu. Menurut Kristanto
(2002:71) pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal.
Saat ini banyak sekali kita temui sungai-sungai di sekitar kita sudah tercemar.
Pencemaran sungai terjadi karena pergeseran paradigma dan kebudayaan masyarakat.
Nilai-nilai perlindungan alam yang eksis dalam berbagai bentuk seperti pantangan dan
pamali tidak lagi dipandang oleh masyarakat. Air dapat menjadi sumber malapetaka
apabila tidak dijaga, baik dari segi manfaatnya maupun pengamanannya. Misalnya
dengan tercemarnya air oleh zat-zat kimia selain mematikan kehidupan yang ada
disekitarnya juga merusak lingkungan, dan apabila dari segi pengamanan. tidak
dilakukan pengawasan dapat mengakibatkan banjir, tanah longsor dan sebagainya.
2.1 Definisi Pencemaran Lingkungan
Lingkungan biasanya diartikan sebagai sesuatu yang ada di sekeliling kehidupan atau
organisme. Lingkungan adalah kumpulan dari segala sesuatu yang membentuk kondisi dan
akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung baik kepada kehidupan dalam
bentuk individual maupun kuminitas pada tempat tertentu.

Pencemaran adalah perubahan yang tak dikehendaki dari lingkungan yang sebagian besar
akibat dari kegiatan manusia (Darmono, 1995). Perubahan ekosistem atau habitat dapat
berupa perubahan fisik, kimia, atau perilaku biologis yang akan mengganggu kehidupan
manusia, spesies, biota bermanfaat, proses- proses industri, kondisi kehidupan, dan aset
kultural. Selain itu perubahan ekosistem akibat kegiatan manusia yang merusak atau
menghamburkan secara sia-sia sumberdaya yang ada di alam (Palar,1994).
Pencemaran lingkungan hidup menurut undang-undang No.23 tahun 1997, yaitu
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas lingkungan menurun sampai
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya (Anonim, 1997). Sumber pencemaran adalah setiap kegiatan yang membuang
bahan pencemar. Bahan pencemar tersebut dapat berbentuk padat, cair, gas atau partikel
tersuspensi dalam kadar tertentu ke dalam lingkungan, baik melalui udara, air maupun
daratan pada akhirnya akan sampai pada manusia. Daur pencemaran lingkungan akan
memudahkan di dalam melakukan penelitian dan pengambilan contoh lingkungan serta
analisis contoh lingkungan (Wardhana, 2001).

2.2 Sumber Terjadinya Pencemaran Lingkungan


Uraian sebelumnya kita ketahui bahwa bahan kimia yang tersebar dalam lingkungan fisik
ini ada yang bermanfaat dan sangat diperlukan kehadirannya dalam jumlah sebanyak
mungkin,
ada yang berguna dalam kadar tertentu ada pula yang betul-betul bersifat sebagai racun dan
berbahaya bagi kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Bahan-bahan kimia
yang kehadirannya dalam lingkungan hidup dapat menyebabkan terganggunya kesejahteraan
hidup manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan disebut bahan pencemar. Sebagai sumber
utama terjadinya pencemar adalah :
 Proses-proses alam, antara lain pembusukan secara biologis, aktivitas gunung
berapi, terbakarnya semak-semak, dan halilintar.
 Pembuatan/aktivitas manusia, seperti:
a) Hasil pembakaran bahan bakar yang terjadi pada industri dan kendaraan
bermotor.
b) Pengolahan dan penyulingan bijih tambang mineral dan batubara.
c) Proses-proses dalam pabrik
d) Sisa-sisa buangan dari aktivitas-aktivitas tersebut di atas
Pencemaran lingkungan ini sudah terjadi sejak jaman dahulu kala, sejak adanya manusia,
tetapi baru abad 20 pencemaran yang diakibatkan karena manusia ini menjadi pokok bahasan
pada semua kalangan masyarakat dan perlu mendapat penanganan dan pengawasan secara
serius. Faktor-faktor penyebab terjadinya pencemaran lingkungan sebagai hasil sampingan
perbuatan manusia meliputi;
 Faktor Industrialisasi.
 Faktor Urbanisasi.
 Faktor Kepadatan Penduduk.
 Faktor Cara Hidup.
 Faktor Perkembangan Ekonomi.

Faktor-faktor di atas saling mempengaruhi secara kompleks. Apabila salah satu faktor
terjadi, maka faktor lainnya dapat terjadi, dengan demikian terjadinya pencemaran
lingkungan tidak dapat dihindari.
Aktivitas manusia dan hasil samping yang ditimbulkan :
 Rumah tangga : pembuangan kotoran limbah ke suangi, pencemaran udara, dll
 Transportasi : pencemaran udara akibat polusi, asap kendaraan, suara kecelakaan,
 Industry dan Pabrik : pencemaran udara akibat tanah sampah atau sisa-sisa
makanan serta pencemaran panas dari pabrik, dll
 Pertambangan : sampah atau sisa-sisa hasil limbah pertambangan yang di buang
sehingga tanah, air dan udara dapat tercemar oleh sisa-sisa pembuangan limbah.
 Pertanian : pencemaran air, pencemaran lingkungan akibat pembuangan kotoran,
kebutuhan air yang terbatas karena sudah tercemar limbah jamban.

2.3 Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan


Berdasarkan medium fisik lingkungan tempat tersebarnya bahan kimia ini, maka
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh bahan kimia dapat dibagi menjadi tiga jenis
pencemaran, yaitu:
1. Pencemaran Tanah
Tanah merupakan 5empat hidup berbagai jenis tumbuhan dan makhluk
hidup lainnya termasuk manusia. Kualitas tanah dapat berkurang karena proses
erosi oleh air yang mengalir sehingga kesuburannya akan berkurang. Selain itu
menurunnya kualitas tanah juga dapat disebabkan oleh limbah padat yang
mencemari tanah.
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia
masuk dan merubah lingkungan tanah alami (Veegha, 2008). Darmono (2001)
menyatakan bahwa ada dua sumber utama kontaminasi tanah yaitu kebocoran
bahan kimia organik dan penyimpanan bahan kimia dalam bunker yang disimpan
dalam tanah, dan penampungan limbah industri yang ditampung dalam suatu
kolam besar yang terletak di atas atau di dekat sumber air tanah.
Pencemaran tanah biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau
bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air
permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan
kendaraaan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat
penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara
tidak memenuhi syarat (illegal dumping). Ketika suatu zat berbahaya/beracun
telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan
atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian
terendap
sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat
berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari
air tanah dan udara di atasnya (Veegha, 2008).
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah),
yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi,
limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi
dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap
lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan
penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh
limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah (Wikipedia, 2009).
Limbah industri yang bisa menyebabkan pencemaran tanah berasal dari:
pabrik, manufaktur, industri kecil, industri perumahan, bisa berupa limbah padat
dan cair. Limbah yang telah mencemari lingkungan akan membawa dampak yang
merugikan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara
langsung, apabila pecemaran tersebut secara langsung dan cepat dapat dirasakan
akibatnya oleh manusia. Kerugian secara tidak langsung, apabila pencemaran
tersebut mengakibatkan lingkungan menjadi rusak sehingga daya dukung
lingkungan terhadap kelangsungan hidup manusia menjadi menurun.
2. Pencemaran Udara
Udara dikatakan tercemar jika udara tersebut mengandung unsur-unsur
yang mengotori udara. Bentuk pencemar udara bermcam-macam ada yang
berbentuk gas, ada yang berbentuk partikel cair atau padat.
Pencemaran udara berbentuk gas dengan jumlah yang melebihi batas
toleransi lingkungan dan masuk ke lingkungan udara dapat mengganggu
kehidupan makhluk hidup. Pencemar udara berbentuk gas adalah karbon
monoksida, senaywa belerang, senyawa nitrogen, dan chloroflouocarbon.
Pencemar udara berbentuk partikel cair atau padat. Partikel berbentuk cair
berupa titik-titik air atau kabut. Kabut dapat menyebabkan sesak nafas saat
terhirup kedalam paru-paru. Partikel dalam bentuk padat dapat berupa debu atau
abu
vulkanik. Selain itu juga dapat berasal dari makhluk hidup msalnya bakteri, spora,
virus, serbuk sari, atau serangga-serangga yang telah mati.
Pencemaran udara merupakan kondisi terjadinya perubahan (pengurangan
atau penambahan komposisi udara) dibandingkan keadaan normal dalam waktu,
tempat dan konsentrasi tertentu sedemikian rupa sehingga membahayakan
kehidupan dan kesehatan masyarakat.
Pengertian pencemaran udara berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
tahun 1997 pasal 1 ayat 12 mengenai Pencemaran Lingkungan yaitu pencemaran
yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran yang berasal dari
pabrik, kendaraan bermotor, pembakaran sampah, sisa pertanian, dan peristiwa
alam seperti kebakaran hutan, letusan gunung api yang mengeluarkan debu, gas,
dan awan panas.
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 41 tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407
tahun 2002 tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara,
pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan
manusia.
Selain itu, pencemaran udara dapat pula diartikan adanya bahan-bahan
atau zat asing di dalam udara yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi
udara dari susunan atau keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing
tersebut di dalam udara dalam jumlah dan jangka waktu tertentu akan dapat
menimbulkan gangguan pada kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan
(Wardhana, 2004). Menurut Harssema dalam Mulia (2005), pencemaran udara
diawali oleh adanya emisi. Emisi merupakan jumlah polutan atau pencemar yang
dikeluarkan ke udara dalam satuan waktu. Emisi dapat disebabkan oleh proses
alam maupun
kegiatan manusia. Emisi akibat proses alam disebut biogenic emissions,
contohnya yaitu dekomposisi bahan organic oleh bakteri pengurai yang
menghasilkan gas metan (CH4). Emisi yang disebabkan kegiatan manusia disebut
anthropogenic emissions. Contoh anthropogenic emissions yaitu hasil
pembakaran bahan bakar fosil, pemakaian zat kimia yang disemprotkan ke udara,
dan sebagainya.
Nugroho (2005) menyebutkan sumber pencemaran udara dengan istilah
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terjadi secara alamiah.
Sedangkan faktor eksternal merupakan pencemaran udara yang diakibatkan ulah
manusia.

3. Pencemaran Air
Didalam tata kehidupan manusia, air banyak memegang peranan penting
antara lain untuk minum, memasak, mencuci, dan mandi. Disamping itu juga air
sangat diperlukan untuk mengairi sawah, lading, industry, dan masih banyak lagi.
Beberapa jenis tumbuhan seperti alga, paku air, dan seceng gondok, akan tumbuh
subur menutupi perairan sehingga cahaya matahari tidak menembus dasar
perairan. Bahan-bahan kimia lainnya seperti pestisida, atau DDT yang sering
digunakan oleh petani utnuk membrantas hama tanaman.
Pencemaran air dapat merupakan masalah, regional maupun lingkungan
global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan
lahan tanah atau daratan. Walaupun air merupakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas
manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga dengan mudah dapat
tercemar. (Darmono, 1995).
Air yang tersebar di alam semesta ini tidak pernah terdapat dalam bentuk
murni, namun bukan berarti bahwa semua air sudah tercemar. Misalnya,
walaupun di daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara yang
bersih dan bebas dari pencemaran, air hujan yang turun di atasnya selalu
mengandung bahanbahan terlarut, seperti karbon dioksida (CO2), oksigen (O2),
dan nitrogen (N2), serta bahan-bahan tersuspensi misalnya debu dan partikel-
partikel lainnya yang terbawa air hujan dari atmosfir.
Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat
digunakan sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan
pencemaran air. Karena kebutuhan makhluk hidup akan air sangat bervariasi,
maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda. Sebagai
contoh, air kali di pegunungan yang belum tercemar tidak dapat digunakan
langsung sebagai air minum karena belum memenuhi persyaratan untuk
dikategorikan sebagai air minum. (Kristanto, 2002).
Menurut Darmano (1995), pencemaran air terdiri dari bermacam-macam
jenis, antara lain: Pencemaran mikroorganisme dalam air, Pencemaran Air oleh
Bahan Anorganik Nutrisi Tanaman, Pencemar Bahan Kimia Anorganik,
Pencemar Bahan Kimia Organik.

2.4 Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan

Pencemaran lingkungan terus menerus terjadi, bahkan cenderung meningkat dari waktu
ke waktu. Berbagai aktivitas manusia, seperti transport dan industri telah memberikan
dampak yang buruk bagi lingkungan. Lingkungan akan rusak dan pada akhirnya akan
berdampak buruk juga bagi kehidupan manusia.

Karena itulah manusia harus segera melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
agar dampak negative dari pencemaran lingkungan bagi manusia dan mahkluk hidup lainnya
dapat diminimalisir keberadaannya. Jika kita dapat meminimalisir dampak pencemaran
lingkungan, maka akan terciptanya lingkungan yang aman dan sehat serta fungsi
melestarakiannya agar dapat dinikmati kembali oleh generasi yang akan datang.

Adapun cara pecegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yaitu :

a) Prinsip pencegahan penaggulangan pencemaran lingkungan (Reduce, Reuse,


Recycle).

Jumlah manusia terus bertambah dan kebutuhannya pun terus meningkat.


Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan primer maupun sekunder. Kebutuhan
primer yaitu kebutuhan pokok beruapa makanan, pakaian,perumahan dan
sedangkan kebutuhan sekuder yaitu berupa kebutuhan rekreasi, transport dan lain-
lain .

120
Berbagai kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan memanfatkan
berbagai jenis semberdaya alam, baik sumberdaya alam yang dapat diperbabarui
maupun yang tidak dapat diperbarui. Pengambilan yang dilakukan secara terus
menerus berdampak pada semakin kurangnya cadangan sumberdaya alam,
khususnya sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui. Pengambilan dan
pemanfaatan sumberdaya alam juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
yang mengencam keberadaan manusia itu sendiri.

Apa yang harus dilakukan manusia untuk mengurangi dampak buruk


pemanfaatan sumberdaya alam terhadap lingkungan kita. Adapun beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran
lingkungan adalah dengan mengurangi penggunaan bahan-bahan pencemar
(reduce), menggunakan kembali barang-barang untuk kegunaan yang sama
(reuse), serta melakukan daur ulang barang-barang yang sudah tidak terpakai
kembali (recycle).

Mengurangi pemakaian bahan-bahan atau barang-barang pencemar


lingkungan (Reduce).

- Menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan.

- Mengurangi pemakaian kendaraan bermotor.

- Mengurangi pemakaian bahan-bahan kimia yang sulit terurai dengan


baik.

- Menghindari pengunaan deterjen yang berlebihan.

- Menggindari penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan.

Menggunakan kembali barang-barang untuk kegunaan yang sama (Reuse)

Sesuai dengan istilahnya, reuse berarti memanfaatkan sampah atau


limbah atau barang yang tidak dipakai lagi untuk kepentingan yang
sama dengan peruntuksn semula. Sebagai contoh, botol minuman dari
gelas yang telah diminum isisnya, kemudian diserahkan lagi ke
pengecer. Dari pengecer, botol tersebut dikembalikan pabrik dan
digunakan lagi sebagai botol minuman yang sama berkali-kali. Cara
ini sangat bermanfaat dalam menghemat sumber daya alam karena
tidak perlu lagi membuat botol baru secara terus-menerus.
Penambangan bahan galian untuk membuat botol dan mengurangi
kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan.

Melakukan daur ulang barang-barang yang sudah tidak terpakai kembali


(recycle)

b) Menanggulani pencemaran air.

- Sadar akan kelangsungan ketersediaan air dengan tidak merusak atau


mengeksploitasi sumber mata air agar tidak tercemar.

- Tidak membuang sampah ke sungai.

- Mengurangi intensitas limbah rumah tangga.

- Melakukan penyaringan limbah pabrik sehingga limbah yang nantinya


bersatu dengan air sungai bukanlah limbah jahat perusak ekosistem.

- Pembuatan sanitasi yang benar dan bersih agar sumber-sumber air


bersih lainnya tidak tercemar

Cara penanggulangan pencemaran air lainnya adalah melakukan


penanaman pohon. Pohon selain bisa mencegah longsor, diakui
mampu menyerap air dalam jumlah banyak. Itu sebabnya banyak
bencana banjir akibat penebangan pohon secara massal. Padahal,
pohon merupakan penyerap air paling efektif dan handal. Bahkan,
daerah resapan air pun dijadikan pemukiman dan pusat wisata. Pohon
sesungguhnya bisa menjadi sumber air sebab dengan banyaknya
pohon, semakin banyak pula sumber-sumber air potensial di
bawahnya.

c) Menanggulangi pencemaran udara

Penangulangan Non-Teknis
Penanggulangan secara non teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi
dan menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan
peraturan perundang-undangan yang dapat merencanakan, mengatur, dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara memberikan gambaran secara jelas tentang
kegiatan industri dan teknologi yang akan dilaksanakan disuatu tempat
meliputi :

- Penyajian Informasi Lingkungan (PIL)

- Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)

- Perencanaan kawasan kegiatan industri dan Teknologi

- Menanamkan perilaku Disiplin

d) Menanggulangi pencemaran tanah

Pencegahan terhadap pencemaran sangat penting dilakukan supaya tidak


terjadi pencemara tanah yang sangat membahayakan kehidupan makhluk hidup di
dunia ini. tindakan pencegahan pencemaran tanah ini dilakukan sesuai dengan
jenis dari polutan dan seberapa besar kadarnya di dalam tanah. untuk melakukan
tindakan pencegahan pencemaran tanah ini bisa dilakukan dengan beberapa
langkah berikut ini:

- Membedakan sampah organic dan anorganik, ini sangat penting


dilakukan dengan cara memilah sampah mana yang termasuk dalam
sampah organic dan anorganik. Untuk sampah yang organic maka bisa
dibuang ke dalam tanah saja karena secara alami akan ada
mikoorganisme pengurai yang mampu menguraikan jenis sampah ini
serta beberapa jenis sampah organic juga bisa dijadikan sebagai pupuk
alami. Untuk jenis sampah anorganik bisa dibakar sampai benar-benar
habis karena sangat susah untuk diuraikan di dalam tanah. untuk jenis
sampah yang besar bisa juga dipotong-potong menjadi ukuran yang
kecil kemudian di kubur di dalam tanah. namun sebaiknya lakukan hal
ini jauh dari wilayah pemukiman tanah karena bisa membuat paparan
pencemaran ini kepada warga sekitar.
- Pada jenis limbah kimia cair maupun padat dapat dilakukan
pengolahan terlebih dahulu supaya kadar kimia di dalamnya sudah
aman bagi tanah. biasanya ini sudah diatur dalam undang-undang
dalam tiap negara mengenai masalah pembuangan limbah kimia ini.
para pabrik industri juga biasanya telah memiliki mekanisme
pemurnian limbah kimia sendiri supaya aman dibuang di dalam tanah
maupun air.
- Untuk para petani yang menggunakan pupuk dan juga pestisida untuk
membasmi hama sebaiknya menggunakannya dalam kadar yang
semestinya dan tidak berlebihan. Hal ini sangat penting dilakukan
karena bisa menyebabkan pencemaran tanah yang buruk. Untuk
mengantisipasi hal ini pemerintah bisa melakukan penyuluhan kepada
petani supaya menggunakan kadar pestisida yang sesuai dan aman.
- Untuk para ibu rumah tangga juga sebaiknya tidak membuang deterjen
sembarangan.

- Memberikan pendidikan kepada anak sejak dini mengenai bahaya


membuang sampah sembarangan dan akibat dari adanya pencemaran
tanah supaya mereka sejak dini bisa memiliki rasa cinta pada
lingkungan.
- Biasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan karena
dengan ini akan membuat tanah menjadi lebih aman dan tidak mudah
tercemar.
- Untuk mengendalikan para pelaku industri yang sangat beresiko
membuang limbah kimia langsung ke dalam tanah sebaiknya untuk
pemerintah membuat peraturan yang ketat dengan hukuman yang berat
dan denda yang sesuai supaya para pelaku bisnis industri ini tidak
semena-mena pada lingkungannya dan membuat efek jera kepada
mereka ini.
- Pelajarilah bagaimana cara mengelola limbah kimia yang baik dan
benar supaya anda benar-benar tidak membuang limbah pada tanah
secara langsung dimana limbah tersebut masih sangat berbahaya bagi
tanah.

Ada dua pengendalian dan penanganan pencemaran tanah :

1. Remidiasi

Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan


permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah,
yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan
on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah
dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan
bioremediasi.

Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang


tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu
di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar.
Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap,
kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut.
Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang
kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah.
Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.

2. Bioremediasi

Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah


dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri).
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun
(karbon dioksida dan air)

Anda mungkin juga menyukai