1 Pengertian Toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan
kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi
didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur
kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan
fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi.
Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis
dan cara pemberian. Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah
racun; tiada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun
1564 Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis
menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan
Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang
menyebabkan keracunan, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting.
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan
oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya mencapai
tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk
menghasilkan manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang
berhubungan dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur
masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.
1
Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam
empat kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya
terjadi karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja
terutama di lingkungan industri-industri kimia.
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau
lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu respons yang
mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik. Karakteristik pemaparan
membentuk spektrum efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal
dengan hubungan dosis-respons.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
“tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan
terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah
toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek
berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada
suatu organisme.
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi
yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya.
Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat
kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat
kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
BAB 2.
Toksikologi merupakan ilmu antar bidang, yang ruang lingkup pokok kajiannya
digolongkan menjadi toksikologi lingkungan, ekonomi, dan kehakiman ( forensik ). Untuk
memahami permasalahan toksikologi, diperlukan pengetahuan tentang pemahaman terhadap asas
umum toksikologi, aneka kondisi atau faktor- faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun,
mekanisme wujud sifat efek toksik racun, tolok ukur toksikologi, dan asa umum uji toksikologi.
Pada dasarnya keracunan suatu senyawa diawali oleh masuknya senyawa tersebut ke dalam
tubuh, yang kemudian terdistribusi sampai ke sel sasaran tertentu. Selanjutnya akibat interaksi
antara senyawa dengan sel sasaran,menyebabkan terjadinya gangguan fungsi, biokimia,
perubahan struktur sel akibat dari wujud efek toksik senyawa itu, misal teratogenik, mutagenik,
karsinogenik, penyimpangan metabolik, ketidaknormalan perilaku, dan lain sebagainya. Efek
toksik suatu racun terjadi akibat interaksi antar racun, dan tempat aksinya secara langsung atau
tidak langsung.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di tempat
aksi, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap
organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sedangkan toksisitas dapat didefinisikan sebagai
segala sesuatu dari zat kiia atau obat pada organisme target yang dapat menimbulkan atau
memiliki efek yang berbahaya. (Ameria,2008). Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi
seharusnya dapat dilihat dari berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan
penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia tersebut dan berbagai kondisi di mana efek
berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara
zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu kerja
farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh
organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail
dibahas pada sub bahasan kerja toksik. Alur utama bahan toksik dapat masuk ke dalam tubuh
manusia adalah melalui saluran pencernaan atau gastrointestinal (menelan/ingesti), paru-paru
(inhalasi), kulit (topical), dan jalur parental lainnya (selain usus/intestinal). Bahan toksik
umumnya menyebabkan efek yang paling besar dan menghasilkan respons yang palingcepat bila
diberikan melaluijalur intravena (Endrinaldi, 2009).
Racun adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada tubuh
baik secara kimiawi dan biologis yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu penyakit
dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan menakisme kerjanya dalam tubuh
manusia, racun dibagi menjadi yang bekerja lokal, sistemik, dan lokal sekaligus sistemik. Racun
yang bekerja lokal dapat bersifat korosif, irritant, atau anestetik. Racun yang bekerja sistemik
biasanya mempunyai afinitas terhadap salah satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis,
asam oksalat, dan karbon monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk
misalnya arsen, asam karbol, dan garam. Racun kimia adalah zat tertentu yang memiliki efek
merugikan pada jaringan manusia, organ, atau proses biologi. Sedangkan toksisitas merujuk
pada sifat- sifat zat kimia yang menggambarkan efek sampingyang mungkin dialami manusia
akibat kontak kulit atau mengkonsumsinya.
10
masalah derajat. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat keracunan toksik
terhadap tubuh yaitu Faktor Biotik dan Faktor Abiotik.
Pada umumnya racun pestisida atau racun lainnya lebih tahan kepada jenis kelamin wanita
daripada yang berjenis kelamin laki – laki. Hal ini dikarenakan yang berjenis kelamin wanita
biasanya memiliki lemak yang lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin laki – laki ,
sehingga bahan – bahan racun dapat terikat dalam lemak.
Umur :
Kaum lanjut usia dan anak – anak biasanya lebih peka terhadap racun daripada usia orang –
orang dewasa. Jadi biasanya pada saat sakit anak – anak diberi dosis obat yang lebih rendah ari
usia dewasa. Selain itu masalah yang paling bahaya yatu tentang Cd seperti menghirup debu
halus cadmium yang dapat menyebabkan peneumonitis, pembengkakakn paru – paru (pulmonary
edema) dan kematian (Hayes,2007).
Semakin tinggi dosis obat atau racun dan semakin besar atau berat hewan merupakan prinsip dari
farmakologi. Untuk ukuran kg per berat badan bisanya diukur menggunakan ukuran dosis seperti
LD50. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada serangga , menujukkan bahwa semakin besar
ukuran badan atau semakin berat badan dari serangga maka semakin tinggi dosis yang
digunakan, hal ini dimaksudkan bahwa dosis yang dibutuhkan akan semakin tinggi apabila tinggi
berat badan hewan semakin berat. Semakin beracun bahan kimia tersebut, makan semakin
rendah LD50 makan paparan terhadap manusia pun semakin parah. Pada seseorang yang
mengalami penyakit Alzheimer akan meningkat pada unsur tembaga bebas (Brewer,2010)
Makanan :
Cacing Trichinella spp. dan Tanea spp. yang menyebabkan penyakit – peyakit seperti
Trichinelosis dan Taeniasis. Cacing - cacing tersebut dapat hidup dalam daging babi, dikenal
dengan sebtan cacing babi, sedangkan cacing yang hidup dalam daging sapi adalah Taenia spp.
dikenal dengan sebutan cacing sapi. Seseorang akan menjadi kurus dan tidak sehat apabila
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi, sehingga dapat terkenan serangan
pathogen penyakit atau zat racun.
Kesehatan :
Potensialitas racun yang dimakan dapat ditentukan oleh kesehatan seseorang juga. Bisanya orang
yang sehat lebih tahan terhadap racun dibandingkan dengan orang yang tidak sehat (lemah).
Kekurangan vitamin A, dapat dihubungkan dengan kerancunan arensik, sehingga dapat
mengakibatkan buta malam (night blindes).
Kardiovaskuler merupakan suatu sistem yang kompleks melibatkan beberapa organ utama yaitu
jantung, pembuluh darah, ginjal, maupun sistem saraf pusat dan otonom.. Selain faktor keadaan
fisiologis diatas, terdapat beberapa uraian tentang keadaan fisiologis yang belum tercakup dalam
uraian tersebut meliputi :
Pada dasarnya untuk melakukan berbagai fungsi, aneka ragam organ tubuh memiliki kapasitas
cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya. Untuk mengukur fungsi organ tersebut
biasanya melibatkan satu atau lebih bentuk uji terhadap kerusakan pada organ hidup yang
disebabkan oleh zat kimia. Karena telah dinyatakan bahwa sebagian besar organ dapat dirusak
sebelum kapasitas cadangannya berkurang cukup banyak untuk mendorong terjadinya gangguan
fungsionalnya, maka mungkin sekali terjadi bahwa uji fungsi yang dilakukan tidak akan
memperlihatkan kerusakan karena zat kimia yang sedikit. Sepanjang organ tersebut masih
mempertahankan kapasitas (kelebihan) cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya, maka
organ melangsungkan fungsinya pada tingkat maksimal.
Pada berbagai daerah diseluruh organ itu, kadar akhir terkait zat kimia besarnya berbeda
– beda. Untuk tidak bermateri, untuk meningkat, atau menghambat perpindahan zat kimia yang
dimaksud melewati organ, hal ini tergantung atas kemampuan membrannya.
Jika pada satu kesempatan organ tersebut dicerca dengan kadar toksis minimal suatu zat
kimia asing, maka diharapkan untuk tidak akan memperlihatkan keseluruhan toksisitasnya,
selama jangka waktu yang panjang akan menimbulkan suatu akibat cercaan yang
berkesinambungan oleh kadar zat kimia yang sama.
Misalnya dengan cara pemedahan atau secara kimia 50 % hati anjing dapat dirusak.
Paling tidak dalam memenuhi persyaratan minimalnya, anjing dapat bertahan hidup karena sisa
hati yang
tidak terusak oleh zat kimia dapat melakukan fungsi normal. Karena organ memiliki kapasitas
fungsi cadangan yang hanya digunakan dalam kondisi mendesak maka keadaan tersebut dapat
terjadi. Keadaan ini dapat merugikan jika dipandang dari segi toksikologi. Menapa demikian?
Ketoksikan racun dapat ditutupi karena adanya fungsional cadangan. Sebagai contoh Seseorang
terpapar dengan Aflatoksin B1 yang mencemari makanan, maka kemungkinan wujud efek toksik
aflatoksik yaitu nekrosis sel hati, yang pada awalnya tidak nampak dan tidak terdeteksi. Hal ini
dikarenakan berfungsinya hati secara normal sebagai kapasitas fungsional cadangan
menyebabkan berbagai gejala klinis tidak Nampak. Efek toksik aflaktoksin tersebut akan nampak
apabila kerusakan sudah meluas dan menyebabkan kapasitas fungsional cadangan hati tidak
dapat menopang fungsi normal hati kembali. Sehingga jelas bahwa kapasitas cadangan akan
menutupi ketoksikan suatu racun.
Bila zat kimia masuk kedalam sistem sirkulasi, maka zat itu harus dieliminasi dari sistem
sirkulasi itu sebelum makhluk hidup bebas dari zat kimia. Apabila zat kimia tersebut ada sebagai
gas pada suhu tubuh dalam bentuk larutan, maka zat tersebut akan muncul didalam udara yang
dihembuskan pada pernafasan makhluk hidup, dan bila merupakan suatu senyawa yang tak
menguap, maka mungkin melalui sistem kencing, keringat, ataupun ludah yang melibatkan
ekskresi oleh ginjal.
Zat kimia yang di metabolisme dan dideposit didalam lemak mengalami rentang kehidupan
yang pendek dalam darah dan jaringan tak berlemak. Hal ini terjadi karena zat kimia yang berada
didalam darah dengan segera mengalami perubahan menjadi bentuk takanestesia dan sisanya
dideposit didalam lemak. Kemudian agar darah tetap secara esensial bebas dari kadar efektifnya
maka zat kimia segera diubah menjadi bentuk obat tak aktif pada saat obat menyebar dari lemak
kedalam darah
Pada umumnya pemejaan tunggal suatu organisme eksperimental dengan zat kimia tertentu
menghasilkan pengambilan zat kimia tersebut oleh organisme dan selanjutnya terjadi eliminasi
dari organisme itu. Mekanisme, pengikatan, dan penyimpanan yang tersedia bagi zat kimia
tersebut didalam organisme akan mempengaruhi laju eliminasi oleh zat kimia tersebut.
Di dalam tubuh terdapat gudang penyimpanan senyawa yang masuk kedalam tubuh misalnya
protein, lemak, dan tulang. Bagi racun yang bersifat sangatlipofil dan tidak atau sulit
termetabolisme, cenderung ditimbun dalam jaringan yang kaya akan lemak, sehingga racun akan
sulit dikeluarkan dari tubuh. Selain itu karena mobilisasi racun dari gudang penyimpanan ke
sirkulasi darah, memungkinkan terjadinya pelepasan racun dan meyebar ke tempat aksi tertentu.
Efek toksik yang tidak diharapkan akan terjadi apabila kadar racun di tempat aksi melebihi harga
KTMnya. Keadaan ini dapat terjadi bila gudang penyimpanan telah terpenuhi oleh racun,
mengingat makanan dikonsumsi setiap hari sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi racun
dalam gudang penyimpanan. Contoh klasiknya ialah penumpukan insektisida DDT dan senyawa
pelunak dietilftalat. Kecuali lemak, tempat pengikatan tak khas atau gudang penyimpanan lainya
adalah tulang, enzim, dan protein. Tempat deposisi, adsorpsi dan reaksi zat kimia ini, membatasi
kemampuan tubuh untuk mengekskresikan racun dari tubuh. Oleh karena itu penyimpanan racun
di dalam tubuh dapat mengurangi atau meningkatkan ketoksikan racun.
Faktor Genetika
Enzim, reseptor, atau protein dapat berupa tempat aksi racun. Tempat aksi racun dapat berupa
enzim, reseptor, atau protein. Menurut ciri khas model genetika masing-masing anggota populasi
makhluk hidup Enzim dan protein nirenzim ada di dalam tubuh, maka apabila kekurangan
jumlah atau ketidaksempurnaan molekul enzim dapat menyebabkan cacat genetika dalam
anggota suatu jenis makhluk hidup. Ketoksikan racun dapa berdampak negatif atau positif akibat
adanya cacat genetika ini. Misalnya racun di dalam tubuh oleh enzim dimetabolisme
menjadimetabolit yang kurang toksik daripada zat kimia induknya. Bila suatu makhluk hidup
mengalami cacat genetika, ketidak-sempurnaan molekul enzim yang terlibat dalam metabolisme
racun menyebabkan terbentuknya metabolit tak toksik jauh lebih sedikit daripada yang terbentuk
pada individu normal. Akibatnya makhluk hidup tersebut akan lebih rentan terhadap ketoksikan
racun. Dalam hal ini, cacat genetika memberikan dampat negatif. Sebaliknya apabila metabolit
racun yangterbentuk bersifat toksik, maka makhluk hidup tersebut justru akan terhindar
dariketoksikan racun. Karena jumlah metabolit toksik yang terbentuk jauh lebihsedikit daripada
individu normal. Dalam hal ini, cacat genetika berdampak positif. Cacat genetika pada sistem
pemetabolisme xenobiotika atau tempat aksitertentu, memungkinkan timbulnya dampak negatif
bagi individu terhadapketoksikan racun. Hal ini dapat terjadi karena penumpukan xenobiotika
ataupun perubahan kerentanan tempat aksi racun.
Jadi akibat dari cacat genetika dapat berdampak negative atau positif bagi individu
terhadap ketoksikan racun : Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan
individu resisten terhadap ketoksikan suatu racun. Sebaliknya dikatakan berdampak negatif bila
cacat genetika menyebabkan individu lebih rentan terhadap ketoksikan racun tertentu.
Faktor kimia merupakan interaksi bahan kimia didalam tubuh dan menimbulkan efek. Efek
yang terjadi dapat dibedakan dalam :
a. Efek aditif yakni pengaruh yang saling memperkuat akibat kombinasi dari dua zat
kimia atau lebih.
b. Efek sinergi yaitu suatu keadaan dimana pengaruh gabungan dari dua zat kimia jauh
lebih besar dari jumlah masing-masing efek bahan kimia.
c. Potensiasi yaitu apabila suatu zat yg seharusnya tidak memiliki efek toksik akan
tetapi apabila zat ini ditambahkan pada zat kimia lain maka akan mengakibatkan zat
kimia lain tersebut menjadi lebih toksik.
d. Efek antagonis yakni apabila dua zat kimia yg diberikan bersamaan, maka zat kimia
yg satu akan melawan efek zat kimia yg lain.
7. Kondisi Pemejanan
Kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan, jalur pemejanan (intravaskular atau
ekstravaskular), dan takaran atau dosis pemejanan (Eddy, 2008).
1) Jenis pemejanan menurut waktu dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Akut : pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24 jam. Contohnya, kecelakaan
kerja/keracunan mendadak
b. Sub akut : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 1
bulan atau kurang. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia kurang dari 1 bulan.
c. Subkronik : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 3
bulan. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia selama 1 tahun/lebih
d. Kronik : pemaparan berulang terhadap bahan kimia untuk jangka waktu lebih dari 3
bulan. Misalnya, bekerja untuk jangka waktu lama dengan bahan kimia.
2) Jalur pemejanan
Pada dasarnya zat beracun dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur intravaskular
(misal: intravena, intrakardial, intraarteri) atau ekstravaskular (misal: oral, inhalasi,
intramuskular, subkutan, intraperitoneal, rektal). Selanjutnya untuk dapat sampai ke
sirkulasi sistemik, zat beracun selanjutnya mengalami disposisi ke cairan atau jaringan
20
tubuh. Disposisi mencakup dua peristiwa, yakni distribusi dan eliminasi. Adanya
peristiwa distribusi, memungkinkan zat beracun ( dalam bentuk utuh) mencapai sesuatu
sel atau jaringan sasaran ( reseptor atau tempat aksi ). Di sel sasaran ini, secara langsung
atau tak langsung, zat beracun tadi melakukan interaksi, yang akibatnya berupa
timbulnya sesuatu efek toksik yang tak di inginkan. Pada sisi lain, zat beracun
mengalami eliminasi, yakni langsung diekskresikan ke luar tubuh atau mengalami
metabolisme terlebih dahulu sebelum di ekskresikan. Meskipun demikian, hasil
metabolisme sesuatu zat beracun, tidak selalu bersifat tak aktif (tidak toksik ).
Adakalanya, metabolit toksik ini, mungkin mengalami redistribusi, sehingga dapat
mencapai sel tertentu, dan menimbulkan efek toksik. Bila demikian, yang bertanggung
jawab terhadap timbulnya efek toksik zat beracun, adalah zat kimia utuhnya atau bentuk
metabolitnya. Dan peristiwa ini terjadi melalui serangkaian proses : absorpsi, distribusi,
dan eliminasi. Ketiga proses inilah yang menentukan keberadaan zat beracun di dalam
sel sasaran. Dengan demikian, ketiga proses ini pulalah yang menentukan toksisitas
sesuatu zat beracun (Eddy, 2008).
3) Dosis pemejanan
Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis atau pemberian yang salah.
Pengujian LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan
terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dengan takaran tertentu. Pada
pengujian toksisitas akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan yang dapat
menyebabkan kematian hewan percobaan. Mutschler dalam Supriyono 2007, kisaran
nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu zat. Semakin besar
kisaran LD50 semakin besar pula kisaran toksisitasnya. Suatu toksikan akan mengalami
proses librasi yaitu penghancuran sediaan di saluran pencernaan. Toksikan kemudian
akan diabsorbsi oleh darah dan limfe serta didistribusikan ke seluruh tubuh. Toksikan
akan mengalami proses toksikodinamik didalam sel. Toksikodinamik adalah proses
reaksi antara toksikan dan reseptor. Biotransformasi terjadi setelah terjadinya reaksi
toksikan dengan reseptor. Biotransformasi akan menghasilkan zat baru. Zat baru yang
dihasilkan dapat bersifat lebih toksik atau kurang toksik dari sebelumnya. Zat baru yang
kurang toksik dari sebelumnya mengakibatkan terjadinya detoksikasi sedangkan zat
baru yang lebih toksik dapat menimbulkan gangguan fungsi sel.
DAFTAR PUSTAKA
Wirasuta, I Made Agus Gelgel, Niruri, Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum. Universitas Udayana.
Bali.
Sulistyowati, Eddy. 2008. Diktat Toksikologi. Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA. Universitas
Negeri Yogjakarta
Supriyono. 2007. Pengujian Lethal Dosis (LD50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium
Domesticum Corr) Pada Mencit (Mus Musculus). Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor
DWI AMIRIA, Fita. Uji toksisitas akut bahan obat herbal" X" ditinjau dari nilai LD50 serta
fungsi hati dan ginjal pada mencit putih. 2008. Diakes melalui
https://www.scribd.com/doc/227484088/Makalah-Toksikologi (pada tanggal 15 februari
2017)
YAYAN, Sunarya; SETIABUDI, Agus. Mudah dan Aktif Belajar Kimia. 2007. Diakses melalui
https://books.google.co.id/books?id=ioPm74HPrWcC&pg=PA191&dq=toksisitasracun
+adalah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjSgrX12JPSAhVLkZQKHXRPAWoQ6AEIIjA
B#v=onepage&q=toksisitasracun%20adalah&f=false (pada tanggal 16 Februari 2017)
Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk menimbulkan
kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang peka. Logam berat
merupakan senyawa kimia yang dapat menimbulkan toksisitas dalam penggunaannya secara
berlebihan. Logam berat memiliki unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5
gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Logam
berat dapat dibagi dalam dua jenis, jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana
keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam
jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu,
Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau
beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan
dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain.
2.1.2. Permasalahan
Kadmium banyak digunakan sebagai zat warna dan juga digunakan dalam industri
bakteri nikel kadmium. Sumber pencemaran kadmium antara lain dari peningkatan
kadmium melalui penggunaan pupuk fosfat, buangan industri yang menggunakan
bahan bakar batu bara dan minyak. Dari kegiatan industri-industri inilah maka
menghasilkan limbah buangan yang banyak. Limbah buangan Kadmium (Cd) di
kawasan industri sebesar 0,5 mg/l dengan demikian konsentrasi ini telah melampaui
baku mutu limbah cair kadmium (Cd) 0,01 mg/l.
Cat Organik
Istrumen Logam
Apriliani, Laurence, D., dkk. (2014). Makalah Logam Kimia Berat Kromium. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Pekan Baru. Retrieved from
https://www.academia.edu/9187316/Makalah_Kimia_Logam_Berat_Kromium_DOSEN_P
EMBIMBING_GANIS_FIA_SARTIKA_UNIVERSITAS_RIAU_FAKULTAS_MATEM
ATIKA_DAN_ILMU_PENGETAHUAN_ALAM
Alfian, Zul. 2006. Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia dan
Lingkungan. Universitas Sumatra Utara. Retrieved from library.usu.ac.id/download/e-
book/zul%20alfian.pdf. diakses pada tanggal 21 Februari 2017.
Afrizal, M., Andy Firmansyah, M., dkk. (2012). Penyakit Tidak Menular Akibat Logam Berat
Arsen. Jurusan Kesehatan Lingkungan. Retrieved from
https://www.scribd.com/doc/112524807/Makalah-PAPLC-Logam-Berat-Arsen
Caroline, J., Arron Moa, G. (2015). Fitoremediasi Logam Timbal (Pb) Menggunakan
Tanaman Melati Air (Echinodorus Palaefolius) Pada Limbah Industri Peleburan Tembaga
Dan Kuningan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan III 2015, 733-744
Fauziah. (2011). Efektivitas Penyerapan Logam, Kromium (Cr VI) Dan Kadmium (Cd) Oleh
Scenedsmus Dimorphus. Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Retrieved from
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4125/1/FAUZIAH-FST.pdf
Gusnita, Dessy. (2012). Pencemaran Logam Berat Timbal (PB) di Udara dan Upaya
Penghapusan Bensin Bertimbal. Berita Dirgantara,13 (3). 95-101
Hadi, MC. (2013). Bahaya Merkuri Di Klingkungan Kita. Jurnal Skala Husada. 10 (2), 175-
183.
Istrani, F., S. Pandebesie, E. (2014). Studi Dampak Arsen (As) Dan Kadmium (Cd) Terhadap
Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1), 53-58
Ikbal, M. (2017). Makalah Pembahasan Kadmium. Retrieved from
http://www.academia.edu/8633982/MAKALAH_PEMBAHASAN_KADMIUM_Cd_
Istarani, F., Pandebesie, Ellina S. (2014). Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium (Cd)
terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1), 53-58
Lasut, Markus T. 2001. Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Aktifitas Tambang.Fakultas
Perikanan & Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi.
Sintawati,F.X. (2008). Pajanan Merkuri Pada Tenaga Kesehatan Gigi. Jurnal Ekologi
Kesehatan. 7(2),786-794
Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. (2006). Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya
Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2 (2). 129-142
Triadi Putranto, T. (2011). Pencemaran logam berat merkuri (Hg) pada air tanah. TEKNIK.
32(1), 0852-1697.
Zulkifli Herman, D., (2006). Tinjauan terhadap Tailling Mengandung Unsur Pencemar Arsen
(As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) Dari Sisa Pengolahan Bijih Logam.
Jurnal Geologi Indonesia. 1(1), 31-36
BAB 4.
TOKSIKOLOGI PESTISIDA
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia (Casarett dan
Doulls dalam Rachmawati, 2013). Selain itu toksikologi juga mempelajari kerusakan atau cedera
pada organisme yang diakibatkan oleh materi suatu substansi, mempelajari racun, tidak saja
efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja
kimia yang merugikan terhadap organisme. Toksikologi lingkungan adalah ilmu yang
mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan menimbulkan
pencemaran lingkungan (Cassaret dalam Rachmawati, 2013). Salah satu bahan toksik yang
berbahaya bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan baik adalah pestisida.
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh, jadi
pestisida berati pembunuh hama. Pestisida merupakan zat, senyawa kimia (zat pengatur tumbuh
dan perangsang tumbuh), organisme renik, virus dan zat lain-lain yang digunakan untuk
melakukan perlindungan tanaman atau bagian tanaman (Pedum Kajian Pestisida dalam Yuantari,
2013). Penggunaan pestisida yang bijaksana banyak menguntungkan manusia, seperti
meningkatnya produksi tanaman dan ternak karena menurunnya gangguan hama dan penyakit
pada tanaman (OPT), terjaminnya kesinambungan pasokan makanan dan pakan karena hasil
panen meningkat, serta meningkatnya kesehatan, kualitas dan harapan hidup manusia akibat
tersedianya bahan makanan bermutu (Cooper dan Dobson dalam Supriadi, 2013). Namun, harus
diakui bahwa dampak negatif penggunaan pestisida tidak dapat dihindarkan.
Penggunaan pestisida dapat mengontaminasi pengguna secara langsung sehingga
mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok,
yaitu keracunan akut ringan, keracunan akut berat, dan kronis. Keracunan akut ringan
menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare. Keracunan
akut berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernapas keluar air liur, pupil
mata mengecil dan denyut nadi meningkat. Selanjutnya, keracunan yang sangat berat dapat
mengakibatkan pingsan, kejangkejang, bahkan bisa mengakibatkan kematian. (Quijano dalam
Yuantari 2013). Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak
menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, Keracunan kronis dalam jangka waktu
yang lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida
diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati,
ginjal dan pernapasan. Berdasarkan studi litelatur bahwa dampak dari paparan pestisida dapat
menyebabkan Multiple myeloma, sarkoma, kanker prostat dan pankreas, kanker rahim, pankreas
serta Hodgkin. (Alavanja, et al dalam Yuantari 2013). Pemakaian pestisida mempunyai risiko
meningkatnya penyakit diabetis millitus gestasional pada istri pemakai pestisida ditrisemester
pertama (Saldana dalam Yuantari 2013).
Manusia dapat terpajan pestisida secara langsung dan tidak langsung. Pajanan pestisida
secara langsung dapat terjadi pada saat pengaturan di lahan pertanian, akibat pekerjaan dan pada
waktu di rumah. Pajanan pestisida tidak langsung terjadi melalui air minum, udara, debu dan
makanan. Pajanan pestisida secara tidak langsung lebih sering terjadi dibandingkan paparan
langsung. Diperkirakan bahwa sebanyak 25 juta pekerja pertanian mengalami keracunan
pestisida setiap tahun di seluruh dunia yang tidak disengaja (Alavanja et al dalam Yuantari
2013). Pestisida yang banyak digunakan biasanya merupakan bahan kimia toksikan yang unik,
karena dalam penggunaannya, pestisida ditambahkan atau dimasukkan secara sengaja ke dalam
lingkungan dengan tujuan untuk membunuh beberapa bentuk kehidupan. Idealnya pestisida
hanya bekerja secara spesifik pada organisme sasaran yang dikehendaki saja dan tidak pada
organisme lain yang bukan sasaran. Tetapi kenyataanya, kebanyakan bahan kimia yang
digunakan sebagai pestisida tidak selektif dan malah merupakan toksikan umum pada berbagai
organisme (Keman dalam Budianto, 2013).
Untuk itu, pemanfaatan pestisida harus dikelola dengan bijaksana dan penggunaan yang
tepat jenis, dosis, sasaran, cara, waktu aplikasi, dan harus menggunakan pestisida yang telah
terdaftar dan memperoleh izin Menteri Pertanian. Penggunaan pestisida ini tidak akan
menimbulkan masalah apabila sesuai dengan aturan yang diperbolehkan. Penggunaan pestisida
yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan
lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sehubungan dengan sifatnya
yang toksik, serta kemampuan dispersinya yang tinggi yaitu mencapai 100% (Mangkoedihardja
dalam Panjaitan, 2015)
Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana terhadap kesehatan dan lingkungan sudah
banyak dipublikasi sehingga berbagai upaya untuk memimalkan dampak negatifnya perlu
dilakukan. Penggunaan pestisida dengan bahan aktif yang sangat toksik dan sulit terdegradasi
juga menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan, seperti hilangnya keragaman
hayati, menurunnya populasi organisme yang berfungsi sebagai musuh alami hama, dan
pencemaran lingkungan (Isenring dalam Supriadi, 2013). Munculnya OPT yang resisten terhadap
pestisida sintetis sudah lama diketahui. Menurut Bellinger dalam Supriadi (2013), ada lebih dari
500 spesies serangga dan tungau, 270 spesies gulma, 150 patogen tanaman, dan beberapa spesies
tikus yang tahan terhadap pestisida.
Pestisida yang digunakan oleh petani sudah sangat intensif, bahkan melebihi batas aman.
Petani sayuran sudah biasa menggunakan dua atau lebih jenis pestisida yang tidak diketahui
kompatibilitasnya (Supriadi, 2013). Selain dosisnya berlebihan, hama sasarannya tetap tidak
terkendali, sehingga perlakuan pestisida akan merusak lingkungan dan menimbulkan resistensi
hama. Oleh karena itu kelompok kami tertarik untuk mengetahui jenis, manfaat, bahya
penggunaan, dan kandungan toksin yang terkandung dalam pestisida sebagai upaya penggunaan
pestisida secara bijak.
Pestisida adalah bahan atau zat kimia yang digunakan untuk membunuh hama, baik yang
berupa tumbuhan, serangga, maupun hewan lain di lingkungan kita. Berdasarkan jenis hama
yang akan diberantas, pestisida digolongkan menjadi insektisida, herbisida, nematisida,
fungisida, dan rodentisida.
1. Insektisida
Herbisida merupakan pestisida untuk mencegah dan mematikan gulma atau tumbuhan
pengganggu, seperti eceng gondok, rumput teki, dan alang-alang. Alang-alang dapat
dikatakan sebagai hama tanaman karena alang-alang menyerap semua zat makanan yang
ada dalam tanah.
Contoh herbisida antara lain gramoxone, totacol, pentakloro fenol, dan ammonium
sulfonat.
3. Nematisida
Nematisida adalah pestisida untuk memberantas hama cacing. Hama ini sering merusak
akar atau umbi tanaman. Contoh nematisida adalah oksamil dan natrium metam.
4. Fungisida
Fungisida adalah pestisida untuk memberantas jamur (fungi). Contoh fungisida adalah
timbel (I) oksida, carbendazim, tembaga oksiklorida, dan natrium dikromat.
5. Rodentisida
2.1.1 Pestisida Dapat Dibedakan Berdasarkan Kegunaan, Cara Kerja, Cara Masuknya
Ke Dalam Tubuh Serangga.
1) Berdasarkan Kegunaan dan Asal Katanya,
1. Akarisida
Akarisida atau yang sering kita kenal dengan mitisida berasal dari kata akari yang berarti
kutu atau tungau, mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh
kutu, tungau, atau laba-laba.
2. Algisida
Algisida berasal dari kata alga yang berarti ganggang, mengandung senyawa kimia yang
biasanya digunakan untuk membunuh ganggang.
3. Avisida
Avisida berasal dari kata avis yang berarti burung. Senyawa avisida biasanya digunakan
untuk membunuh atau mengenyahkan burung.
4. Bakterisida
Bakterisida berasal dari kata bacterium yang berarti jasat renik. Bakterisida mengandung
senyawa kimia beracun yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri.
5. Fungisida
Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur yang mengandung senyawa kimia
beracun dan bisa digunakan ntuk membunuh atau mencegah jamur.
6. Herbisida
Herbisida berasal dari kata herba yang memiliki arti tumbuhan semusim. Herbisida
mengandung senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan
pengganggu yang sering disebut dengan gulma.
7. Isektisida
Insektisida berasal dari kata insectum yang memiliki arti hewan berkuku. Insektisida
merupakan suatu bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang dapat
membunuh segala jenis serangga.
8. Larvisida
Larvasida berasal dari kata lar yang berarti topeng atau hantu. Larvasida merupakan
suatu senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh larva.
9. Moluskisida
Moluskisida berasal dari kata molluscus yang berarti tulang kerang lunak atau berkulit
tipis. Moluskisida merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan untuk membunuh
bekicot, kerang atau hewan bertulang lunak lainnya.
10. Nematisida
Nematisida berasal dari kata nematode yang memiliki arti benang. Nematisida
merupakan racun yang dapat digunakan untuk mengendalikan hewan dengan jenis
nematode seperti cacing.
11. Ovisida
Ovisida berasal dari kata ovum yang berarti telur. Ovisida merupakan racun yang dapat
digunakan untuk membunuh telur.
12. Piscisida
Piscisida berasal dari kata piscis yang memiliki arti ikan. Piscisida merupakan bahan
senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mengandalikan ikan mujair yang biasanya
menjadi hama di dalam tambak atau kolam.
13. Predisida
Predisida berasal dari kata praeda yang berarti predator. Predisida sendiri merupakan
senyawa kimia beracun yang biasanya digunakan untuk membuhun hewan predator atau
pemangsa seperti ular.
14. Rodentisida
Rodentisida berasal dari kata roden yang berarti hewan penggerat. Rodentisida
merupakan racun kimia yang dapat digunakan untuk membunuh hewan-hewan
pengegerat seperti tikus
15. Silvisida
Silvisida berasal dari kata silva yang berarti hutan. Silvisida adalah bahan racun kimia
yang biasanya digunakan untuk membunuh pohon liar yang terdapat di hutan.
16. Termitisida
Termitisida berasal dari kata termes yang memiliki arti acing perusak kayu. Termitisida
merupakan senyawa kimia berbahaya yang biasanya digunakan untuk membunuh rayap.
17. Atraktans
Antraktans merupakan suatu senyawa kimia yang dapat digunakan untuk memikat
serangga.
18. Khemosterilan
20. Desikan
Desikan adalah senyawa kimia yang dapt digunakan untuk mempercepat pengeringan
pada tumbuhan.
50
21. Feromon
51
Sama halnya seperti atraktans, feromon juga merupakan senyawa yang dapat digunakan
untuk memikat serangga atau hewan vertebrata.
22. Repelan
Repelan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengenyahkan serangga, kutu,
tungau, anjing dan lainnya.
2) Menurut Cara Kerja Atau Gerakannya Pada Tanaman Setelah Digunakan, Insektisida
Secara Kasar Dapat Dibedakan Menjadi: a. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui akar, batang ataupun
daun. Kemudian insektisida sistemik tersebut akan mengikuti gerakan cairan tanaman
dan ditransportasikan ke tanaman-tanaman lainnya baik ke atas ataupun ke bawah,
termasuk juga ke tunas yang baru tumbuh. Contoh insektisida sismetik adalah
Furatiokarb, Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos. b. Insektisida
Nonsistemik Insektisida nonsistemik setelah digunakan pada tanaman maka tidak akan
diserap oleh jaringan tanaman, namun hanya menempel pada bagian luar tanaman saja.
Sebagian besar insektisida yang dijual dipasaran Indonesia adalah insektisida
nonsistemik. Contohnya adalah Dioksikarb, Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan
Quinalfos. c. Insektisida
Sistemik Lokal
Insektisida sistemik lokal merupakan kelompok insektisida yan dapat diserap oleh
tanaman umumnya bagian daun, namun tidak dapat disalurkan ke bagian tanaman
lainnya. Insektisida yang berdaya kerja translaminar atau insektisida yang mempunyai
daya penetrasi ke dalam jaringan merupakan kategori dari insektisida sistemik lokal.
Contohnya adalah Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.
3) Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
a. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)
Racun lambung merupakan insektisida yang dapat membunuh serangga yang menjadi
sasaran apabila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan
diserap oleh dinding saluran pencernaan. Kemudian insektisida tersebut akan dibawa oleh
cairan tubuh serangga menuju susunan saraf serangga. Insektisida yang sering disebut
sebagai racun perut adalah Bacillus thuringiensis.
b. Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit.
Serangga hama dapat mati apabila bersinggungan langsung dengan insektisida tersebut.
Beberapa racun kontak juga dapat berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida
yang memiliki sifat yang kuat terhadap racun kontak antara lain Diklorfos dan Pirimifos
metil.
c. Racun Pernafasan
Racun pernafasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernafasan. Serangga
hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Sebagian besar
racun pernafasan berupa gas, atau apabila wujud asalnya padat atau cair yang dapat
berubah atau menghasilkan gas apabila diaplikasikan sebagai fumigansi (gas) seperti
Bromide dan Alumunium fosfida. Terdapat juga insektisida berupa racun kontak ataupun
racun perut yang memiliki efek sebagai fumigansi seperti Diafentiuron.
Ikan dan biota akuatik lainnya dapat mengalami efek buruk dari perairan yang
terkontaminasi pestisida. Aliran permukaan yang membawa pestisida ke sungai
membawa dampak yang mematikan bagi kehidupan di perairan, dan dapat membunuh
ikan dalam jumlah besar. Penerapan herbisida di perairan dapat membunuh ikan ketika
tanaman yang mati membusuk dan proses pembusukan tersebut mengambil banyak
oksigen didalam air, sehingga membuat ikan kesulitan bernafas. Beberapa herbisida
mengandung tembaga
sulfit yang beracun bagi ikan dan hewan air lainnya. Penerapan herbisida pada perairan
dapat mematikan tanaman air yang menjadi makanan dan penunjang habitat ikan
sehingga menyebabkan berkurangnya populasi ikan.
Pestisida dapat terakumulasi di perairan dalam jangka panjang dan mampu membunuh
zooplankton, sumber makanan utama ikan kecil. Beberapa ikan memakan serangga
akibat pestisida dapat menyebabkan ikan kesulitan mendapatkan makanan. Semakin
cepat pestisida terurai di lingkungan, dampak dan bahayanya semakin berkurang. Selain
itu, telah diketahui bahwa insektisida secara umum memiliki dampak yang lebih
berbahaya lagi biota akuatik dibandingkan herbisida dan fungisida.
c. Bahaya Pestisida Terhadap Burung
Pestisida DDT diketahui menyebabkan penipisan cangkang telur pada burung di amerika
utara dan eropa. Fungisida yang digunakan pada usaha budidaya kacang tanah diketahui
dapat membunuh cacing tanah,sehingga mengancam keberadaan burung dan mamalia
yang memangsa mereka. Beberapa pestisida tersedia dalam wujud butiran, sehingga
burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut karena disangka sebagai
bijibijian. Herbisida ketika mengalami kontak dengan telur burung, akan mengakibatkan
pertumbuhan embrio yang abnormal dan mengurangi jumlah telur yang akan menetas.
Herbisida juga dapat mengurangi populasi burung karena banyak tumbuhan penunjang
habitat mereka yang mati.
d. Bahaya Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia
Salah satu bahaya pestisida adalah menghambat perkembangan kognitif. Pada kehamilan
bisa beresiko terjadinya kelainan bawaan. Residu pestisida ini bisa terdapat dalam jenis
buah dan sayuran segar, sehingga kita memerlukan kehati-hatian dalam
mengkonsumsinya. Penggunaan pestisida bisa terjadi pada saat proses produksi di lahan
atau selama pasca panen.
Pestisida yang tidak sengaja termakan oleh Ibu hamil dapat menyebabkan bayi cacat
lahir. Cacat lahir seperti bibir sumbing, kaki pengkor, dan sindrom down bisa diakibatkan
paparan pestisida. Untuk memperkecil resiko, ibu hamil harus selektif dalam
mengkonsumsi makanan dan minuman. Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia
yang masuk dalam kategori persisten organic pollutans (POPs) yang berbahaya bagi
kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan
kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik sentral
ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan
kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada makhluk
hidup, termasuk janin.
e. Terjadinya keracunan dan kematian pada manusia, ternak dan hewan piaraan, satwa liar,
ikan dan biota air lainnya, biota tanah, tanaman, musuh alami, OPT bukan sasaran. f.
Terjadinya resistensi
g. Terjadinya pencemaran lingkungan hidup
n. Kerusakan tanaman
r. Meninggalkan residu
Toksisitas/ daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi
pestisida yang menggambarkan potensi untuk menimbulkan kematian langsung pada
hewan dan manusia.
Berdasarkan toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut :
Label pestisida memuat kata-kata symbol yang tertulis dengan huruf tebal dan
besar yang berfungsi sebagai infomasi
a. Kategori 1
a. Jangka waktu atau lamanya terpapar pestisida. Paparan yang berlangsung terus
menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang
sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko
pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan
berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik.
b. Jalan masuk pestisida dalam tubuh. Keracunan akut atau kronik akibat kontak
dengan pestisida dapat melalui mulut, penyerapan melalui kulit dan saluran
pernafasan. Pada petani pengguna pestisida keracunan yang terjadi lebih banyak
terpapar melalui kulit dibandingkan dengan paparan melalui saluran pencernaan
dan pernafasan.
Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Toksisitasnya
Klasifikasi LD50 untuk tikus (mg/kg)
Pada akhir tahun 1960-an, terdapat berbagai artikel yang terbit yang melaporkan
berbagai jenis efek teratogen dan efek reproduksi akibat karbaril pada anning.
Penelitian pada tikus yang diberi karbaril tidak membuktikan adanya efek pada
berbagai fungsi reproduksi dan tidak ada teratogen. Pestisida lain yang dilaporkan
mempunyai efek teratogen ialah fungisida ditiokarbamat.
6) Efek Buruk Lain
Efek khusus karbaril pada ginjal dilaporkan terjadi pada sekelompok sukarelawan
manusia yang diberi karbaril dengan dosis 0,12 mg/kg setiap hari selama 6
minggu. Parakuat menyebabkan edema paru-paru, perdarahan, dan fibrosis
setelah penghirupan atau termakan, tetapi herbisida yang berkaitan erat, yaitu
dikuat, tidak menunjukkan efek tersebut. reaksi hipersensitivitas terhadap
piretrum telah dilaporkan. Bentuk yang paling umum adalah dermatitis kontak
dan asma. Organoklorin bersifat hepatotoksik, menginduksi pembesaran hati dan
nekrosis sentrolobuler. Zat ini juga merupakan penginduksi monooksigenase
mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi toksisitas zat kimia lain. Beberapa
organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisid ditiokarbamat, fan herbisid
mengubah berbagai fungsi imun. Contohnya malation, metilparation, karbaril,
DDT, parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibody,
menganggu fagositosis leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa,
timus dan kelenjar limfa.
7) Bioakumulasi dan Biomagnifikasi
DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Tri Aji. (2013). Pelatihan Pembuatan Pestisida Nabati dari Biji Bunga Pachyrrhyzus
Erosus Urban di Kabupaten Brebes Solusi Pestisida Alami dan Unggul Bagi Petani
Bawang. Universitas Negeri Semarang. Diunduh uap.unnes.ac.id 25 Februari 2017
Supriadi. (2013). Optimasi Pemanfaatan Beragam Jenis Pestisida untuk Mngendalikan Hama dan
Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Diunduh
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=185328&val=6414&title=OPTIMA
60
SI%20PEMANFAATAN%20BERAGAM%20JENIS%20PESTISIDA%20UNTUK%20
MENGENDALIKAN%20HAMA%20DAN%20PENYAKIT%20TANAMAN 19
Februari 2017
Yuantari, Catur MG. 2011. “Dampak Pestisida Organiklorin Terhadap Kesehatan Manusia Dan
Lingkungan Serta Penanggulangannya”. Kertas Kerja pada Prosiding Seminar Nasional
Peran Kesehatan Masyarakat Dalam Pencapaian MDG’s Di Indonesia, Semarang 12
April 2011.
Yuantari, MG Catur, Budi Widiarnako dan Henna Rya Sunoko. (2013). Tingkat Pengetahuan
Petani dalam Menggunakan Pestisida (Studi Kasus di Desa Curut Kecamatan
Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Diunduh http://eprints.undip.ac.id/40659/1/022-
Makanan diperlukan oleh setiap makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Makanan
digunakan sebagai sumber energi, memperbaiki sel yang rusak, menjaga suhu tubuh, untuk
pertumbuhan dan pertahanan penyakit. Makanan yang sehat adalah makanan yang mengandung
gizi yang seimbang dan baik dikonsumsi oleh tubuh (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam
makanan dalam jumlah kecil sehingga dapat memperbaiki penampilan, cita rasa, tekstur, dan
memperpanjang daya simpan makanan. Oleh karena fungsinya hanya sebagai tambahan, maka
tentunya dalam penggunaannya ada batas ukurannya atau disebut batas ambang yang ditentukan
oleh Departemen Kesehatan yang harus ditaati oleh produsen makanan dan minuman dalam
kemasan, jika tidak maka akan membahayakan kesehatan kita.
Toksikologi bahan tambahan pangan merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh buruk
zat tambahan makanan bagi manusia. Pada pengolahan makanan-makanan sering ditambahkan
bahan additif guna pengawetannya maupun kesegarannya dan kelezatannya. Dalam hal ini
toksikologi berperan penting dalam menjamin keamanan dari bahan yang ditambahkan
(Mansyur, 2003). Oleh karena itu, penggunaan BTP diatur oleh pemerintah, baik melalui
peraturan menteri kesehatan maupun BPOM. Akan tetapi, banyak produsen nakal yang tidak
mengindahkan
peraturan tersebut dan menggunakannya melebihi batas maksimum yang telah diperbolehkan.
Bahkan ada sebagian dari mereka dengan sengaja menggunkan BTP yang dilarang pengunaanya
dalam bahan makanan. Misalnya pewarna tekstil yang digunakan sebagai pewarna makanan.
Efeknya tentu saja tidak baik bagi kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu,
laporan ini akan membahas jenis-jenis Bahan Tambahan Makanan (BTM), kegunaan dan
bahayanya.
70
campuran yang homogen dari dua atau lebih fase yang tidak tercampur seperti minyak dan
air. Fungsi pengemulsi pangan dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan utama yaitu:
a. Untuk mengurangi tegangan permukaan pada permukaan minyak dan air, yang
mendorong pembentukan emulsi dan pembentukan kesetimbangan fase antara
minyak, air dan pengemulsi pada permukaan yang memantapkan antara emulsi.
b. Untuk sedikit mengubah sifat-sifat tekstur, awetan dan sifat-sifat reologi produk
pangan, dengan pembentukan senyawa kompleks dengan komponen-komponen
pati dan protein.
c. Untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang bahan utamanya lemak dengan
mengendalikan keadaan polimorf lemak
Jenis-jenis pengemulsi yang mendapat izin dari BPOM RI cukup banyak, yaitu
terdapat 80 jenis pengemulsi, beberapa diantaranya yaitu:
7. Pengawet (Preservative)
Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat
fermentasi, pengasaman atau peruaian lain pada pangan yang disebabkan oleh
pertumbuhan mikroba. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan
yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat
prosesa fermentasi, pengasaman atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba (Saparinto
& Hidayati, 2006). Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat baik jenis maupun
dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu,
tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat
yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya jiga
berbeda. Zat pengawet terdiri dari zat pengawet organik dan anorganik dalam bentuk asam
dan garamnya. Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada anorganik karena
bahan ini lebih mudah dibuat. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah
asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida. Zat pengawet
anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat, dan nitrit.
*ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat Diterima adalah
jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan
yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan
terhadap kesehatan.
Penyalahgunaan boraks dan formalin menjadi salah satu masalah yang mengancam
kesehatan konsumen makanan. Boraks merupakan kristal lunak yang mengandung unsur
boron, berwarna putih dan mudah larut dalam air. Umumnya boraks digunakan di industri
kertas, kayu, keramik sebagai pengawet karena memiliki efek bakteristatik dan antifungi.
Namun, dalam penggunaannya kedalam bahan pangan dilarang oleh undang-undang
karena memiliki dampak kepada kesehatan konsumen. Boraks akan diserap melalui saluran
pencernaan kurang lebih 50% dari jumlah yang terabsorbsi tersebut akan dikeluarkan oleh
tubuh melalui urin selama 12 jam dan sisanya dikeluarkan dari tubuh diatas 5 – 7 hari.
Maka itu efek toksik boraks bersifat kumulatif selama penggunaan berulang-ulang.
Pengaruh boraks pada kesehatan konsumen boraks dapat mengakibatkan muntah, diare,
bercak kemerahan pada kulit dan selaput lendir, demam, gangguan pada fungsi hati,
gangguan pencernaan, radang kulit, anemia, kejang, kerusakan ginjal dan kanker karena
memiliki sifat karsinogenik.
Formalin atau formaldehida merupakan bahan pengawet yang biasa digunakan sebagai
desinfektan, cairan pembalsem, pengawet jaringan, pembasmi serangga dan pengawet
mayat. Formalin memiliki sifat mudah larut dalam air, mudah menguap, bersifat kumulatif,
dan karsinogenik. Dampak formalin pada kesehatan dibagi menjadi akut yaitu efek pada
kesehatan manusia langsung terlihat seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual,
muntah, rasa terbakar, sakit perut dan pusing. Kronik yaitu efek pada kesehatan manusia
terlihat setelah terkena dalam jangka waktu lama dan berulang seperti iritasi kemungkinan
parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat,
menstruasi, dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker sedangkan pada
manusia diduga bersifat karsinogen (menyebabkan kanker). Pengujian kualitatif
kandungan formalin dengan menggunakan larutan Fehling A dan Fehling B.
8. Pengeras (Firming Agent)
Pengeras (Firming agent) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkeras atau
mempertahankan jaringan buah dan sayuran, atau berinteraksi dengan bahan pembentuk
gel untuk memperkuat gel. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.722/Menkes/Per/IX/ 1988 tentang Bahan Tambahan makanan, BTP pengeras adalah
bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan.
BTP pengeras atau firming agent dapat diaplikasikan pada proses pembuatan acar ketimun,
sayuran, buah dalam kaleng, daging dan ikan dalam kaleng serta jem dan jeli sehingga
diharapkan tekstur makanan tersebut masih tetap terjaga lebih renyah (crispy) dan tidak
menjadi lunak selama proses. Jenis BTP Pengeras yang diizinkan digunakan dalam pangan
terdiri atas:
a. Kalsium laktat
Dosis maksimum pemakaian kalsium laktat adalah sebesar 200 mg/kg. Kalsium
laktat banyak digunakan sebagai bahan baku pada berbagai industri serta
pengadaannya didatangkan dari luar negeri (kalsium laktat) secara garis besarnya
adalah sebagai berikut :
1) Industri farmasi : sebagai obat – obatan.
2) Industri makanan : sebagai pembangkit (baking powder) pada roti atau
makanan dan untuk keperluan minuman.
3) Peternakan : sebagai campuran makanan ternak petelor.
Adapun batas penggunaan kalsium laktat antara lain : untuk irisan tomat kalengan
800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg dan apel dan sayuran kalengan 260 mg/kg.
(Riskajaya, 2003)
b. Kalium klorida
Sebagian besar kalium klorida dihasilkan digunakan untuk pembuatan pupuk,
karena pertumbuhan banyak tanaman dibatasi oleh asupan kalium mereka.
Sebagai bahan baku zat kimia ini digunakan untuk pembuatan kalium hidroksida,
dan logam kalium. Hal ini juga digunakan dalam pengobatan, aplikasi ilmiah,
pengolahan makanan, dan sebagai pengganti natrium-gratis untuk garam meja
(natrium klorida). Efek samping bisa termasuk ketidaknyamanan pencernaan
termasuk mual
dan muntah, diare dan pendarahan pada saluran pencernaan. Overdosis
menyebabkan hiperkalemia yang dapat menyebabkan paresthesia, blok konduksi
jantung, atrial, aritmia, dan sclerosis. Efek mematikan overdosis kalium klorida
telah mengakibatkan penggunaannya dalam suntik mati.
c. Kalsium klorida
Kalsium klorida telah terdaftar sebagai zat aditif dalam makanan. Rata-rata
konsumsi kalsium klorida sebagai bahan tambahan pangan adalah sekitar 160-345
mg/hari untuk individu. Kalsium klorida juga digunakan zat pengawet dalam
sayuran kalengan, dalam pemrosesan dadih kacang kedelai menjadi tahu dan
dalam memproduksi pengganti kaviar dari jus sayuran atau buah. Dalam
pembuatan minuman bir, kalsium klorida digunakan untuk memperbaiki
kekurangan mineral dalam air pembuatan bir. Ini mempengaruhi rasa dan reaksi
kimia selama proses pembuatan bir, dan juga dapat mempengaruhi fungsi ragi
selama fermentasi. Kalsium klorida kadang-kadang ditambahkan ke dalam susu
olahan untuk mengembalikan keseimbangan kalsium yang hilang selama
pemrosesan dan untuk menjaga keseimbangan protein dalam kasein pada
pembuatan keju. Kalsium klorida dapat disuntikkan sebagai terapi intravena untuk
pengobatan hipokalsemia, yaitu penyakit berkurangnya kadar kalsium dalam
tubuh. Penggunaannya sama seperti kalsium glukonat yaitu untuk apel dan
sayuran kalengan dosis penggunaannya 260 mg/kg.
d. Kalsium sulfat
Kalsium sulfat digunakan untuk irisan tomat kalengan dengan ukuran yang
diijinkan 800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg, dan apel dan sayuran kalengan
260 mg/kg.
e. Kalsium glukonat (Calcium gluconate)
Kalsium glukonat digunakan untuk mengeraskan buah-buahan dan sayuran dalam
kaleng dengan ukuran yang diijinkan 800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg, buah
kalengan 350 mg/kg, acar ketimun dalam botol (250 mg/kg), dan jam dan jelly
250 mg/kg.
Bahan Tambahan Pangan Pengeras yang berbahaya:
a. Calplus FG dengan Dosis 260mg/kg untuk adonan bakso.
b. Polis Alum Crystal yang digunakan untuk bahan pengeras bakso.
c. Aluminium sulfat
Aluminium sulfat, suatu senyawa kimia anorganik dengan rumus Al2(SO4)3.
Senyawa ini larut dalam air dan terutama digunakan sebagai bahan flokulasi
dalam pemurnian air minum dan kilang pengolahan air limbah, dan juga dalam
pembuatan kertas. Dalam pemurnian air, Aluminium sulfat menyebabkan kotoran
menggumpal yang dapat disingkirkan sebagai partikel yang mengendap di dasar
wadah/tangki atau lebih mudah disaring (koagulasi atau flokulasi).
d. Aluminium Kalium Sulfat
Aluminium kalium sulfat biasanya ditemukan dalam ragi, dimana terdapat
perselisihan pendapat atas penggunaannya karena kekhawatiran mengenai
keamanan menambahkan aluminium untuk makanan.
e. Aluminium Natrium Sulfat
f. Natrium sulfat banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, antara lain
di industri pulp dan kertas, deterjen, pembuatan flat glass, tekstil, keramik,
farmasi, zat pewarna dan sebagai reagent di laboratorium kimia.
g. Monokalsium Fosfat
Salah satu jenis kalsium fosfat, yang dikenal sebagai hidroksiapatit, adalah
mineral utama tubuh Anda yang digunakan untuk membangun dan menguatkan
tulang dan gigi. Bentuk lain dari kalsium fosfat digunakan dalam produk makanan
seperti garam meja, dipanggang dan bumbu, di mana mereka membantu
mencegah kondisi adonan lengket, dan bertindak sebagai agen ragi. Kalsium
fosfat juga ditambahkan ke makanan untuk meningkatkan kandungan kalsium
mereka dan digunakan untuk membuat suplemen kalsium.
9. Pewarna (Colour)
Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi
warna pada makanan. Berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat
pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu pewarna alami dan
pewarna sintetis. Tanaman dan hewan memiliki warna menarik yang dapat digunakan
sebagai pewarna alami pada makanan. Beberapa pewarna alami yang berasal dari kunyit,
paprika, dan bit digunakan sebagai pewarna pada bahan pangan yang aman dikonsumsi.
Pewarna dari hewan diperoleh dari warna merah yang ada pada daging.
Pemerintah sudah memberikan daftar pewarna yang boleh digunakan dalam makanan.
Tetapi kenyataannya masih ada saja pewarna bukan untuk makanan yang dicampur dalam
penganan, dua di antaranya yang sering ditemukan di Indonesia adalah rhodamin B dan
metanil yellow.
Rhodamin B merupakan pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau
ungu kemerahan, dan tidak berbau. Jika dicampur dalam penganan, rhodamin B akan
berubah warna menjadi merah terang. Rhodamin B biasanya digunakan untuk mewarnai
tekstil, kertas, kain, produk pembersih mulut, dan sabun. Makanan atau minuman yang
mengandung rhodamin B biasanya berwarna merah cerah mengilap dan lebih mencolok,
warna terkadang tidak rata, ada gumpalan warna, dan terasa lebih pahit bila dikonsumsi.
Rhodamin B sering dicampur dalam kerupuk, terasi, cabe merah giling, agar-agar,
kembang gula, sosis, sirop, dan lain-lain. Pewarna dengan nama lain D and C Red no 19.
Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine, dan Brilliant Pink ini termasuk
bahan karsinogen (penyebab kanker) yang kuat. Jika dikonsumsi dalam jangka panjang,
rhodamin B dapat terakumulasi di dalam tubuh, menyebabkan gejala pembesaran hati dan
ginjal, kerusakan hati, atau bahkan kanker hati.
81
Saparinto, C. & Hidayati, D.. 2006. Bahan Tambahan Makanan. s.l.:Kanisius.
Sayuti, Kesuma. Yenrina, Rina. (2015). Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas University Press;
Padang. Diakses
http://repository.unand.ac.id/23714/1/Kesuma%20Sayuti_Antioksidan%20Alami%20dan%2
0Sintetik%20OK.pdf [20:57]
BAB 6.
Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun
mempertahankan hidup. Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga
merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam
bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan
pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham
mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia
yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi.
Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang
disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dengan wilayah sangat luas berbentuk
kepuluan memiliki keterbatasan dalam pengawasan dan pengendalian suatu produk seperti
makanan dalam upaya melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen. Hal ini dibuktikan
dengan sering terjadinya kasus racunan makanan di tengah masyarakat, baik yang dilaporkan
maupun tidak dilaporkan.
Potensi risiko keamanan pangan dapat dijumpai setiap saat pada semua mata rantai
pangan, tidak terkecuali di Desa. Pada tahun 2013, data kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan yang dihimpun Badan POM RI menunjukkan ada 48 kejadian keracunan pangan di
masyarakat. Adapun urutan jenis pangan yang diduga menyebabkan keracunan pangan
adalah 48% masakan rumah tangga. 17% pangan jasa boga, 17% pangan jajanan, 15%
panganolahan dan 4% tidak diketahui penyebabnya (Laptah BPOM RI, 2013).
Badan kesehatan dunia (WHO, 1998) memperkirakan bahwa rasio antara kejadian
keracunan pangan yang dilaporkan dengan kejadian yang sesungguhnya di masyarakat
adalah 1:10 untuk negara maju dan 1:25 untuk negara berkembang. Jika merujuk pada
asumsi WHO di atas dan jika didukung sistem pelaporan yang tepat, maka kejadian
keracunan pangan di Indonesia per tahunnya mencapai ribuan kejadian. Kemungkinan yang
terjadi sesungguhnya di Indonesia pada tahun 2012 adalah sekitar lima puluh ribuan orang
mengalami keracunan
pangan dan orang yang meninggal dunia diantaranya mencapai kurang lebih 500 orang.
(BPOM RI.2013).
Berkenaan dengan hal tersebut, setiap restoran dan rumah makan seharusnya
melakukan pemeriksaan laboratorium secara berkala untuk memastikan bahwa makanan dan
minuan yang dijual aman untuk dikonsumsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Kepmenkes
No:1098/Menkes/SK/VII/2003 (Depkes RI, 2003) dan Peraturan Pemerintah RI 2 No. 28
Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. Pada pasal 9 PP No. 28 Tahun 2004
dijelaskan bahwa cara produksi pangan siap saji yang baik harus memperhatikan aspek
keamanan pangan dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis
yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan (Presiden RI, 2004). Namun
pada kenyataannya hanya sedikit dari mereka yang mematuhi aturan-aturan tersebut dan
biasanya hanya dilaksanakan oleh penjual makanan yang dikelola dengan baik (Sunarno,dkk,
2008).
Bukti di lapangan menunjukkan bahwa bakteri patogen sering ditemukan pada
makanan dan minuman yang dijual di pasar, diantaranya Salmonella group E,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas sp, E. coli, dan Bacillus. Tingkat kontaminasi
bervariasi hingga mencapai 24– 48 % (Pracoyo, 2006). Penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa bakteri patogen lebih sering ditemukan pada makanan atau minuman dengan bahan
yang tidak dimasak dan beberapa jenis bakteri berkaitan erat dengan jenis makanan atau
bahan makanan yang digunakan (Burnett, 2001; Nissen, 2002). Sementara itu untuk makanan
atau minuman yang telah dimasak, kontaminasi dapat berasal dari penjamah makanan,
peralatan makan, sumber air bersih yang digunakan, dan kondisi lingkungan. Kontaminasi
bakteri patogen pada makanan dan minuman dapat menyebabkan berbagai macam penyakit
diantaranya typhoid, diare, keracunan makanan dan lain sebagainya (Siagian, 2002; Coleman,
2004). Penyakit-penyakit ini akan lebih mudah menjangkiti orang yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh karena faktor dari dalam maupun dari luar.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganilisis keracunan akibat
mikroorganisme ditinjau dari jenis-jenis bakteri pathogen, gejala yang ditimbulkan serta cara
pencegahannya.
2.1 Jenis Bakteri Patogen dan Gejala Keracunan
Bakteri dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua mekanisme, yaitu intoksikasi dan
infeksi
2.1.1 Intoksikasi
Keracunan pangan yang disebebkan oleh produk toksik bakteri patogen. Bakteri
tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin.
a. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri yang berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-
positif, bersifat aerobik, dan dapat membentuk endospora. Keracunan akan timbul jika
seseorang menelan bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan
menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang telah
mengandung toksin tersebut. Ada dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus,
yaitu toksin yang menyebabkan diare dan toksin yang menyebabkan muntah (emesis).
Pangan yang dapat tercemar oleh Bacillus cereusini adalah serealia, makanan kering,
produk-produk susu,daging dan produk-produk daging,herbs, rempah-rempah, sayur-sayur
Gejala Keracunan:
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab diare,
maka gejala yang timbul berhubungan dengan saluran pencernaan bagian bawah
berupa mual, nyeri perut seperti kram, diare berair, yang terjadi 8-16 jam setelah
mengkonsumsi pangan.
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab muntah,
gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan akut serta berhubungan dengan
saluran pencernaan bagian atas, berupa mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar.
b. Clostridium botulinum
Gejala keracunan:
Gejala botulism berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda,
tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada
beberapa kasus dapat menimbulkan kematian. Gejala dapat timbul 12-36 jam setelah toksin
tertelan. Masa sakit dapat berlangsung selama 2 jam sampai 14 hari.
c. Staphilococcus aureus
Gejala keracunan:
Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam, berupa mual, muntah
(lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal,
demam ringan. Pada beberapa kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan
perubahan tekanan darah
2.1.2 Infeksi
a. Salmonella
Gejala keracunan:
Pada kebanyakan orang yang terinfeksi Salmonella, gejala yang terjadi adalah diare,
kram perut, dan demam yang timbul 8-72 jam setelah mengkonsumsi pangan yang
tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil, sakit kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat
berlangsung selama lebih dari 7 hari. Banyak orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi
infeksi Salmonella ini juga dapat membahayakan jiwa terutama pada anak-anak, orang
lanjut usia, serta orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh.
b. Clostridium perfringens
Gejala keracunan:
Gejala keracunan dapat terjadi sekitar 8-24 jam setelah mengkonsumsi pangan yang
tercemar bentuk vegetatif bakteri dalam jumlah besar. Didalam usus, sel-sel vegetatif
bakteri
akan menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan dapat menyebabkan sakit. Gejala
yang timbul berupa nyeri perut, diare, mual, dan jarang disertai muntah. Gejala dapat
berlanjut selama 12-48 jam, tetapi pada kasus yang lebih berat dapat berlangsung selama 1-
2 minggu (terutama pada anak anak dan orang lanjut usia)
c. Escherichia coli
Gejala keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh EHEC adalah kram perut, diare (pada beberapa
kasus dapat timbul diare berdarah), demam, mual, dan muntah. Masa inkubasi berkisar 3-8
hari, sedangkan pada kasus sedang berkisar antara 3-4 hari.
d.Vibrio parahaemolyticus
Vibrio merupakan bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, muara sungai,
kolam, dan laut. Salah satu jenis bakteri dari marga Vibrio yang hidup dilaut dan
merupakan pathogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia adalah Vibrio
parahaemolyticus. Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif,
halofilik, bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagellum kutub
tunggal dan tidak dapat membentuk spora. Vibrio parahaemolyticus ini adalah jenis bakteri
yang hidupnya di laut, memiliki daya tahan terhadap salinitas cukup tinggi. Oleh sebab itu
bakteri patogen ini dapat mencemari pangan hasillaut (Liston dalam Retno, 2008). Pangan
yang dapat tercemar oleh
bakteri Vibrio parahaemolyticus ini adalah ikan segar dan ikan olahan, udang, kerang dan
makanan laut lainnya.
Gejala keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus adalah Sakit
perut bagian bawah, diare berdarah dan berlendir, pusing, muntah-muntah, demam ringan,
menggigil, sakit kepala, recoveri dalam 2-5 hari.
e. Campylobacter jejuni
Gejala Keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter jejuni adalah sakit perut
bagian bawah, kram, diare, sakit kepala, demam, dan kadang-kadang diare berdarah. Masa
inkubasi berkisar2-3 hari dan bisa 7-10 hari.
f. Shigella sonnei
Shigella adalah binatang tidak bergerak, gram negatif, bersifat fakultatif anaerobik
yang dengan beberapa kekecualiaan tidak meragikan laktosa tetapi meragikan karbohidrat
yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas. Habitat alamiah Shigella
terbatas pada saluran pencernaan manusia dan primata lainnya dimana sejumlah spesies
menimbulkan disentri basiler. Shigella berbentuk batang ramping, tidak berkapsul, tidak
bergerak, tidak membentuk spora, gram negatif. Shigella adalah fakultatif anaerob tetapi
paling baik tumbuh secara anaerobik. Shigella dapat menyebakan penyakit shigellosis yang
merupakan penyakit saluran pencernaan. Pangan yang dapat tercemar oleh bakteri Shigella
sonnei adalah makanan campuran dan basah, susu, kacang-kacangan, kentang, tuna,
undang, kalkun, salad, makaroni, cider apel.
Gejala keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Shigella sonnei adalah kram usus,
panas dingin, diare berair sering kali berdarah dan berlendir, sakit kepala, pusing, dehidrasi.
Masa inkubasiberkisar 1-7 hari, biasanya kurang dari 4 hari.
g. Yersinia enterocolitica
Gejala Keracunan
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pseudotuberculosi adalah sakit
perut bagian bawah, demam, menggigil, sakit kepala, malaise, diare, muntah-muntah,
pusing, pharingitis, leukocytosis. Masa inkubasiberkisar 24-36 jam atau lebih.
h. Listeria monocytogenous
Listeria monocytogenous merupakan bakteri gram posituf yang dapat tumbuh baik di
tempat aerob (dengan adanya oksigen) maupun anaerob (tanpa adanya oksigen). Bakteri
ini tidak membentuk spora, dan sangat kuat terhadap panas, asam dan garam serta tahan
terhadap pembekuan sehingga masih dapat berduplikasi di suhu dingin seperti lemari
pendingin (suhu 40C – 100C). Sumber lain menyebutkan bahwa bakteri Listeria
monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran suhu -0,40C – 450C dengan suhu tumbuh
optimal 370C. Pengaruh beku terhadap Listeria monocytogenes bergantung pada kondisi
produk dan kemasan. Hal ini juga dibuktikan bahwa Listeria monocytogenes dapat
memiliki kemampuan bertahan pada suhu -200C. Pangan yang dapat tercemar oleh bakteri
Listeria monocytogenous adalah makanan siap santap yang didinginkan seperti sosis, susu
yang belum dipasteurisasi, serta produk susu lainnya seperti susu dan keju, daging mentah
atau yang dimasak setengah matang, unggas, dan ikan-ikanan. Bakteri ini masuk ke dalam
tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Listeria monocytogenes.
Bakteri Listeria monocytogenes menempel di permukaan makanan dan buah-buahan.
Bakteri ini dapat masuk kedalam daging buah / makanan jika buah / makanan tersebut
berpori sehingga air dapat memudahkan bakteri, terutama bila air tersebut sudah
terkontaminasi bakteri Listeria monocytogenes. Bakteri Listeria monocytogenes dapat
menyebakan penyakit Listeriosis yang merupakan penyakit yang sering diidap oleh
binatang ternak seperti sapi, domba, babi, namun terkadang ditemukan juga binatang
unggas seperti ayam dan bebek.
Gejala Keracunan
2.2.1 Fungi
Fungi hidup sebagai parasit. Fungi berperan untuk mendekomposisi zat komplek. Dari
90
sekitar 100.000 spesies jamur, 100 diantaranya bersifat patogen (beracun). Fungi
91
menghasilkan mycotoxin, yang tahan pada suhu tinggi dan tidak dapat dihilangkan dengan
proses pemasakan. Mycotoxicoses adalah keracunan yang disebabkan karena memakan
inetabolit beracun yang diproduksi oleh jamur yang tumbuh di pangan. Racun yang
dikeluarkan jamur antara lain adalah aflatoxin, fusariai, ochratoxin.
a. Aflatoxin
Aflatoxin dihasilkan oleh mold Aspergillus sp. Aflatoxin yang berbahaya bagi
manusia adalah tipe B1, B2, G1 dan G2 (B = blue, G = green). Pangan yang terkontaminasi
oleh Aspergillus sp adalah kacang, jagung dan biji-bijian lain, tepung, bumbu. Kondisi
optimum bagi pertumbuhan Aspergillus sp adalah suhu 25-300C dan kelembaban 88 - 94%.
Gejala Keracunan
Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Aflatoxin adalah keadaan Sirrosis
hati ini antara lain warna kulit berubah menjadi kuning atau bahkan menghitam, BAB
hitam kental seperti aspal.
b. Fumonisin
Fumonisin adalah myxotoxin yang dihasilkan oleh mold Fusarium sp. Batas ambang
maksimum untuk furmosin adalah 5-100 ppm. Pangan yang terkontaminasi oleh
Fumonisin adalah jagung dan serealia lainnya.
Gejala Keracunan:
c. Ochratoxin
Gejala Keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Ochratoxin adalah mual, demam,
pusing.
2.3 Gejala Keracunan Pangan dan Penatalaksanaannya
Gejala keracunan bergantung pada tipe pencemar dan jumlah yang tertelan. Gejala
keracunan pangan yang tercemar bakteri patogen biasanya dimulai 2-6 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar. Namun, waktunya bisa lebih panjang (setelah
beberapa hari) atau lebih pendek, tergantung pada cemaran pada pangan. Gejala yang
mungkin timbul antara lain mual dan muntah; kram perut; diare (dapat disertai darah);
demam dan menggigil; rasa lemah dan lelah; serta sakit kepala. Untuk keracunan pangan
yang umum, biasanya korban akan pulih setelah beberapa hari. Namun demikian ada
beberapa kasus keracunan pangan yang cukup berbahaya. Korban keracunan yang
mengalami muntah dan diare yang berlangsung kurang dari 24 jam biasanya dapat dirawat di
rumah saja. Hal penting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi
dengan minum pada korban untuk mengganti cairan tubuh yang hilang karena muntah dan
diare. Pada korban yang masih mengalami mual dan muntah sebaiknya tidak diberikan
makanan padat. Alkohol, minuman berkafein, dan minuman yang mengandung gula juga
sebaiknya dihindarkan. Untuk penanganan lebih lanjut, sebaiknya segera bawa korban ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat. Korban keracunan yang mengalami diare dan tidak
dapat minum (misalnya karena mual dan muntah) akan memerlukan cairan yang yang
diberikan melalui intravena. Pada penanganan keracunan pangan jarang diperlukan
antibiotika. Pada beberapa kasus, pemberian antibiotika dapat memperburuk keadaan. Jika
korban keracunan pangan adalah bayi, anak kecil, orang lanjut usia, wanita hamil, dan orang
yang mengalami gangguan sistem pertahanan tubuh (imun) maka perlu segera dibawa ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan pangan akibat bakteri
patogen adalah:
a. Mencuci tangan sebelum dan setelah menangani atau mengolah pangan dan saat
menggunakan toilet
b. Mencuci dan membersihkan peralatan masak serta perlengkapan makan sebelum dan
setelah digunakan.
c. Jangan menyiapkan atau menyajikan makanan jika ada luka atau infeksi kulit pada
tangan atau pergelangan.
d. Menjaga area dapur/tempat mengolah pangan dari serangga dan hewan lainnya.
e. Tidak meletakan pangan matang pada wadah yang sama dengan bahan pangan mentah
untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
f. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah kadaluarsa atau pangan dalam kaleng yang
kalengnya telah rusak atau menggembung.
g. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah berbau dan rasanya tidak enak.
h. Mengkonsumsi air yang telah dididihkan.
i. Memasak pangan sampai matang sempurna agar sebagian besar bakteri dapat terbunuh.
Proses pemanasan harus dilakukan sampai suhu di bagian pusat pangan mencapai suhu
aman (>700C) selama minimal 20 menit.
j. Menyimpan segera semua pangan yang cepat rusak dalam lemari pendingin (sebaiknya
suhu penyimpanan di bawah 50C) seperti susu pasteurisasi, keju, sosis, dan sari buah
dalam lemari pendingin.
k. Tidak membiarkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam, karena mikroba
dapat berkembang biak dengan cepat pada suhu ruang.
l. Menyimpan pangan yang tidak habis dimakan dalam lemari pendingin.
m. Membersihkan dan mencuci buah-buahan serta sayuran sebelum digunakan, terutama
yang dikonsumsi mentah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Riza Zainyddin. 2008. Cemaran Kapang pada Pakan dan Pengendaliannya. Balai
Besar Penelitian Veteriner:
http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/attachments/143_9.pdf, diakses pada 1 Maret
2017
Angeliya, Liza, Ruri Rumpaka Kurdiwa. 2013. Identifikasi Campylobacter jejuni dengan Metode
Polymerase Chain Reaction. Jurnal Sain Veteriner, Vol. 31, No. 2: pada 1 Maret 2017
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Sentra Informasi Keracunan
Nasional.
Dali, A Faiza. 2007. Kepadatan Yersinia Sp. yang Diisolasi dari Ikan Mas (Cyprinus Caprio, L).
Universitas Negeri Gorontalo:
Handoyo, Agus. 2014. Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa Jembungan
Kecamatan Banyudono Boyolali. Universitas Muhammadiyah : Surakarta.
Ningsih, Riyan. 2014. Penyuluhan Hygiene Sanitasi Makanan Dan Minuman, Sertakualitas
Makanan Yang Dijajakan Pedagang di Lingkungan Sdnkota Samarinda.Diakses di
Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=261792&Val=5652&Title=PENYU
LUHAN%20HYGIENE%20SANITASI%20MAKANAN%20DAN%20MINUMAN,%20S
ERTA%20KUALITAS%20MAKANAN%20YANG%20DIJAJAKAN%20PEDAGANG%
20DI%20LINGKUNGAN%20SDN%20KOTA%20samarindapadatanggal 1 Maret 2017.
Poloengan, Masniarai, etc. 2007. Patogenesis Campylibacter Terhadap Hewan dan Manusia.
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan:
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lkpngan05-19.pdf, diakses pada 1 Maret 2017
Presiden RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan.
Rien, Baiq H. Werdiningsih. 2010. Kondisi Sanitasi dan Keracunan Makanan Tradisional. 20(2),
131–138.
Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-albiner3.pdf, diakses pada 1 Maret 2017
Syamsir, Elvira, 18 April, 2008, Kasus Vibrio parahaemolyticus di dalam seafood, Bandung:
http:/kesehatan.bandungkab.go.id/index.php?option=com_mtree&task=viewlink&link_id=2
0&Itemid=109, diakses pada 1 Maret 2017
Yunus, Salma P, dkk. 2015. Hubungan Personal Higiene dan Fasilitas Sanitasi dengan
Kontaminasi Escherichia Coli Pada Makanan di RumahMakan Padang Kota Manado Dan
Kota Bitung. Diakses di file:///C:/Users/HP%2014%20AMD/Downloads/7438-14622-1 SM
%20(1).pdf padatanggal 1 Maret 2017.
Widowati, Retno. 2008. Keberadaan Bakteri Vibrio parahaemolyticus pada Udang yang Dijual
di Rumah Makan Kawasan Pantai Pangandaran. Vis Vitalis, vol. 01, No. 1:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=59771&val=4487, diakses pada 1 Maret 2017
Pada zaman sekarang, banyak sekali pilihan bahan makanan baik dari sumber hewani
maupun nabati yang dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk menambah energi. Akibat
dari banyaknya pilihan makanan, muncul beberapa masalah terlebih penyakit. Salah satu
penyakit yang dapat disebabkan oleh makanan adalah penyakit akibat makanan (foodborne
disease). Penyakit bawaan makanan (foodborne disease), pada umumnya dapat bersifat toksik
yaitu beracun maupun infeksius yang artinya menyebabkan infeksi, biasanya disebabkan oleh
agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi.
Terkadang penyakit ini disebut “keracunan makanan” (food poisoning) walaupun sebenarnya
istilah ini kurang tepat. Menurut WHO (2015), menyatakan bahwa setiap tahunnya, satu dari 10
orang merasakan sakit dan 33 juta manusia kehilangan tahun hidup sehat (Healthy Life Years).
Selain itu, penyakit bawaan makanan juga dapat mematikan khususnya pada anak usia dibawah
lima tahun. Penyakit bawaan makanan (foodborne disease) adalah masalah global kesehatan
masyarakat. Adapun perantara (agent) yang membawa terjadinya penyakit akibat makanan
(foodborne disease) adalah bakteri, virus, racun (toksin), kimia, dan parasit. Parasit yang sering
menyebabkan penyakit bawaan makanan (foodborne disease) menurut WHO (2015) adalah
Toxoplasma gondi, Taenia solium, Clonorchis sinensis, dan Echinococcus tapeworms. Selain
parasit yang telah disebutkan, terdapat parasit yang juga dapat menjadi perantara penyakit akibat
makanan seperti Trichinella. Penyakit akibat makanan (foodborne disease) juga sering terjadi
pada masyarakat menengah ke bawah dan terkadang dapat menyebar dengan cepat di sepanjang
rantai makanan dan lintas batas sehingga butuh perhatian khusus untuk mengurangi dampak agen
penyakit khususnya parasit dalam kejadian penyakit akibat makanan (foodborne disease).
2.1. Ascaris lumbricoides
2.1.1. Patogenesis
Patogenesis disebabkan oleh infeksi Ascaris sering dikaitkan oleh kekebalan host,
efek migrasi larva, efek mekanik dari cacing dewasa, dan kekurangan gizi karena
adanya cacing dewasa. Gejala awal adanya pneumonitis jika jumlah larva cukup besar.
Ketika larva keluar dari jaringan paru-paru dan ke dalam alveoli, kemungkinan ada
beberapa kerusakan bronkial epitel. Dengan reinfeksi dan migrasi larva berikutnya,
mungkin ada reaksi jaringan intens, bahkan dengan sejumlah kecil larva. Reaksi
jaringan di sekitar larva di hati dan paru-paru dengan infiltrasi eosinofil, makrofag,
dan sel-sel epitel. Hal ini disebut Ascaris pneumonitis dan disertai oleh reaksi alergi
yang terdiri dari dyspnea, batuk kering atau berdahak, demam (39,9-40,0 ° C),
eosinofilia sementara, dan terdapat seperti virus pneumonia. Kehadiran cacing dewasa
dalam usus biasanya tidak menimbulkan kesulitan kecuali massa cacing dewasa yang
sangat berat. Migrasi cacing dapat mengakibatkan rangsangan seperti demam
(biasanya lebih dari 38,9°C), penggunaan anestesi umum, atau kondisi abnormal
lainnya. Migrasi ini dapat mengakibatkan penyumbatan usus. Selain itu, migrasi dapat
masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas, atau ruang-ruang kecil lainnya atau
masuk ke hati atau rongga peritoneum. Mereka juga dapat bermigrasi keluar dari anus
atau keluar mulut atau hidung. Pada anak-anak, terutama mereka yang berusia di
bawah lima tahun, kemungkinan terdapat penurunan berat badan terkait beban cacing.
Efek langsung dapat terukur dengan cara peningkatan nitrogen tinja dan lemak tinja,
serta gangguan penyerapan karbohidrat yang akan kembali normal apabila cacing
dewasa dimusnahkan. Cacing bisa juga spontan menghilang meskipun tanpa terapi
apapun.
2.1.3. Pencegahan
Pencegahan penyakit Ascariasis membutuhkan pendidikan, kebiasaan, dan
kebudayaan hidup bersih dan sehat yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
melakukan sistem pengolahan tinja setahun sekali karena telur biasanya bersifat
patogen dan paling sulit untuk telur dan biasanya telur dapat bertahan 1-3 tahun.
Infeksi juga dapat terjadi ketika makanan yang hendak dikonsumsi ditangani tanpa
menghapus atau membunuh telur cacing di tangan, pakaian, rambut, sayuran
mentah/buah, atau makanan yang dimasak yang terinfeksi oleh penangan, kontainer,
dll. Telur Ascaris dapat dikurangi dengan pemakaian kompos, tetapi untuk benar-
benar membunuh, dapat melakukan beberapa
hal berikut, seperti menggosok makanan dengan menggunakan alkohol, pemasakan
dengan suhu tinggi, dan pengomposan dengan panas (lebih dari 120 Fehr).
2.2. Trichinella
1. Beberapa jam setelah hewan mencerna daging yang mengandung larva Trichinella
spp., cacing kemudian dibebaskan dari otot mereka dan menghasilkan kista di perut
hewan selama proses pencernaan. Larva kemudian bermigrasi ke usus kecil dan
menembus mukosa usus yang berada di dalam sel-sel epitel.
2. Larva mengalami empat langkah peranggasan dalam kurun waktu 30 jam untuk
menjadi cacing dewasa yang belum matang, baik cacing jantan atau betina.
3. Cacing dewasa berjalan melalui sel-sel epitel di usus kecil dan kawin di dalam
mukosa. Cacing dewasa dapat hidup dan berkembang biak selama kurang lebih 10
hari sampai beberapa minggu, tergantung pada host.
100
4. Telur berkembang dalam cacing betina, dan larva disimpan dalam dinding usus dalam
kurun waktu 4 sampai 7 hari setelah infeksi awal.
5. Larva dengan panjang 100 µm panjang dan diameter 6 µm,bermigrasi dari usus
melalui limfatik mukosa dan kelenjar getah bening regional menuju saluran toraks,
dan kemudian masuk ke sirkulasi vena. Cacing tersebut kemudian di distribusikan ke
seluruh tubuh oleh sirkulasi perifer.
6. Setelah mencapai otot rangka, yang biasanya paling sering terdapat pada diafragma,
lidah, dan masseter, larva menembus membran meliputi serat otot untuk memasuki
sel- sel otot, sedini 5 hari setelah infeksi. Mereka menginduksi perubahan dalam tuan
rumah sel untuk meningkatkan kelangsungan hidup mereka sendiri.
7. Dalam sel otot, larva coil dan, di sebagian besar spesies Trichinella, sel otot host
berubah menjadi seorang perawat sel untuk mengelilingi dan merangkum larva
dengan kolagen dan lapisan jaringan ikat. melingkar larva dan biasanya mengambil 3
minggu atau lebih.
8. Dikemas larva menyerap nutrisi dari sarcoplasm otot host dan tumbuh menjadi
infektif di sekitar 4 sampai 8 minggu. Mereka tetap tidak aktif sampai mereka
dimakan oleh host lain. Dalam beberapa kasus, tuan rumah mungkin dinding dari
larva, menyebabkan kematian.
2.2.2. Diagnosis
Secara umum, diagnosis klinis awal Trichinellosis dapat dikatakan agak sulit
karena tanda-tanda atau gejala patognomonik kurang terlihat dan juga kemudian penyakit
ini dapat dikatakan sebagai penyakit kronis kronis sehingga tidak mudah untuk
didiagnosa. Selanjutnya, dokter praktik di negara non-endemi penyakit ini biasanya tidak
terbiasa dengan penyakit dan dengan demikian mungkin mengalami masalah dalam
mendiagnosis trichinellosis. Masalah ini dapat menjadi jelas ketika adanya keterlambatan
diagnostik. Dalam penelitian kohort menunjukkan bahwa diagnosis biasanya dibuat pada
tahap akhir penyakit. Hal ini menjadi perhatian bagi pasien, karena keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan dapat mengakibatkan pembentukan larva di jaringan otot dan
pengembangan kapsul kolagen yang sangat lama dan mengakibatkan larva resisten
terhadap obat.
Diagnosis trichinellosis termasuk sulit untuk kasus terisolasi dan kursus klinis
atipikal. Karena itu, trichinellosis harus dibedakan dari berbagai penyakit lainnya yang
temuan klinis yang serupa mungkin terjadi. Diagnosis trichinellosis harus didasarkan
pada tiga Kriteria utama yaitu temuan klinis (pengakuan tanda-tanda dan gejala
trichinellosis), temuan laboratorium (nonspesifik parameter laboratorium (eosinofilia dan
otot enzim), deteksi antibodi, dan / atau deteksi larva dalam biopsi otot); dan
penyelidikan epidemiologi (identifikasi dari sumber dan asal studi infeksi dan wabah).
2.2.3. Pencegahan
Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari penyakit akibat cacing ini,
adalah dengan menggunakan tiga pendekatan utama, yaitu:
a. Pendidikan konsumen mengenai risiko konsumsi daging mentah atau semiraw, produk
daging dalam negeri seperti babi, kuda, dan anjing dan sylvatic (Misalnya, babi hutan,
beruang, singa laut, puma, luak, rubah, serigala, armadillo, buaya, dan biawak). Hewan
yang bisa menjadi pembawa parasit Trichinella apabila pada saat pemeriksaan daging
tidak benar-benar diuji keberadaan larva Trichinella.
b. Perternakan babi (sumber yang paling penting dari infeksi Trichinella untuk manusia).
Hal ini perlu adanya kontrol ketat dari dokter hewan di daerah peternakan babi dengan
melihat penggunaan bahan pakan bersertifikat, keadaan industri yang baik, dan
kandang babi yang sehat.
c. Kontrol dari semua hewan yang rentan (baik domestik dan sylvatic) dengan metode
pembuatan pencernaan buatan standar pada saat disembelih atau setelah diburu. Semua
daging dari hewan yang kemungkinan berisi larva Trichinella tetapi tidak dapat diuji
dengan metode laboratorium yang sesuai, harus melakukan prosedur yang telah
terbukti dapat mematikan cacing Trichinella sebelum didistribusikan untuk konsumsi
manusia. Hal ini berlaku baik sumber daging yang berasal dari komersial (yang sudah
terdapat sertifikat yang baik) maupun non-komersial sumber daging.
Tiga metode telah terbukti efektif dalam menonaktifkan larva Trichinella dalam daging,
yaitu:
a. Memasak dengan suhu tidak kurang dari 71°C (159,8°F) selama minimal 1 menit
(dengan catatan daging harus berubah warna dari merah muda menjadi abu-abu, dan
serat otot yang mudah terpisah satu sama lain)
b. Pembekuan
c. Iradiasi
Sedangkan metode yang dianggap kurang aman dalam persiapan daging dan produk olahan
daging, adalah pemasakan dengan menggunakan microwave oven dan curing atau
pengeringan.
Untuk persiapan yang tepat dari penggunaan bahan baku daging harus mengikuti pedoman
yang sama dikeluarkan oleh pemerintah untuk konsumen. Perhatian khusus harus diberikan
kepada kehadiran Trichinella beku-tahan spesies atau genotipe dalam daging. Pembekuan
dilakukan untuk menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Dengan ketiadaan suhu
yang tepat dan waktu kontrol dan pemantauan sistem, prosesor dan konsumen daging harus
memastikan bahwa luka atau potongan daging hingga 15 cm dengan ketebalan yang
membeku (Setidaknya 15 C (5°F)) selama tidak kurang dari 3 minggu, dan pemotongan
dan potongan daging hingga 50 cm dengan ketebalan harus membeku untuk tidak kurang
dari 4 minggu. Persyaratan untuk pembekuan dibatasi untuk babi yang terinfeksi T. spiralis
saja . Memang, T. larva britovi dalam daging babi telah selamat sampai 3 minggu pada 20
° C (4
° F) . Sejak larva T. spiralis di daging kuda beku di 18 ° C (0.4 ° F) dapat bertahan hingga
4 minggu , dan daging kuda sering dijadikan pelabuhan spesies Trichinella, pembekuan
merupakan risiko kesehatan masyarakat bahkan setelah berbulan-bulan atau tahun (sampai
5 tahun di daging beruang) pengobatan. Sementara beku-tahan spesies Trichinella memiliki
infektivitas rendah untuk babi, infeksi tersebut tidak dapat diabaikan dalam spesies host
lain di daerah di mana spesies parasit endemik (misalnya, utara lintang).
Iradiasi direkomendasikan hanya untuk makanan kemasan yang disegel. Pengasapan untuk
menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Proses pengasapan dan tidak dianjurkan
untuk menonaktifkan larva Trichinella dalam daging babi, kuda, atau daging olahan.
Meskipun Studi validasi individu telah menunjukkan bahwa berbagai kombinasi garam,
temperatur, dan waktu pengeringan akan menonaktifkan larva Trichinella, menyembuhkan
dan pengasapan adalah metode yang sulit untuk andal memantau dan kontrol. Curing harus
digunakan hanya setelah studi validasi ekstensif sukses pada penggunaan kontrol proses
yang ketat dan protokoler.
Taenia spp. panjang, tersegmentasi, cacing pita parasit (keluarga taeniidae, subclass
Cestoda). Parasit ini memiliki siklus hidup langsung, siklus antara definitif dan hospes
perantara. Spesies Taenia berikut zoonosis, dengan manusia yang sebagai host definitif,
host menengah, atau keduanya. spesies non-zoonosis dari Taenia juga ada.
Taeniasis
Cacing pita dewasa hidup di usus host definitif. Infeksi ini disebut taeniasis. Manusia
adalah host definitif untuk Taenia solium (daging babi cacing pita) dan T. saginata (daging
sapi cacing pita). Manusia juga host definitif untuk T. asiatica, cacing pita baru diakui
ditemukan di Asia. Saat ini tidak pasti apakah T. asiatica adalah subspesies T. saginata (T.
saginata asiatica) atau terpisah jenis. Hewan adalah host definitif untuk T. crassiceps, T.
Ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Taenia larva
ditemukan di otot, sistem saraf pusat (SSP), dan jaringan lain dari host intermediate. Larva
yang lebih mungkin menyebabkan penyakit dari pada cacing pita dewasa. Ada dua bentuk
infeksi larva, cysticercosis dan coenurosis.
Sistiserkosis
Infeksi dengan bentuk larva dari Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps T. Ovis, T.
taeniaeformis atau T. hydatigena disebut cysticercosis. Larva ini organisme disebut
cysticerci (tunggal: sistiserkus). Pada suatu waktu, larva dan cacing pita dewasa yang
dianggap spesies yang berbeda. Untuk alasan ini, larva kadang-kadang disebut dengan
nama yang berbeda: Tahap larva T. solium kadang-kadang disebut sistiserkus cellulosae.
Tahap larva T. saginata kadang-kadang disebut bovis sistiserkus. Tahap larva T. crassiceps
kadang- kadang disebut longicollis sistiserkus. Manusia dapat host intermediate untuk T.
solium, T. crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis dan T. hydatigena. T. solium sering
ditemukan di manusia; empat spesies lain yang sangat langka. T. solium adalah spesies
Taenia hanya untuk yang manusia baik definitif dan hospes perantara. Hewan dapat host
intermediate selama lima spesies ini serta untuk T. saginata dan T. asiatica.
Coenurosis
Infeksi dengan bentuk larva T. multiceps, T. serialis dan T. brauni disebut coenurosis.
Tahap larva disebut coenurus (jamak: coenuri). Tahap larva dari T. multiceps kadang-
kadang disebut Coenurus Cerebral. Tahap larva T. serialis kadang-kadang disebut
Coenurus serialis. Tahap larva T. brauni kadang-kadang disebut Coenurus brauni. Manusia
dapat menjadi tuan rumah perantara untuk T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Hewan
juga bisa host intermediate selama tiga spesies ini.
2.3. Taeniasis
Host definitif untuk Taenia spp. biasanya karnivora. Sebuah host definitif dapat
terinfeksi Taeniasis ketika mengonsumsi jaringan dari host perantara yang
mengandung larva. Larva melekat pada usus kecil dan berkembang menjadi cacing
pita dewasa. Waktu yang diperlukan T. saginata menjadi dewasa setelah 10 sampai 12
minggu sedangkan T. solium dapat menjadi dewasa setelah 5 sampai 12 minggu.
Cacing dewasa terdiri dari scolex, yang melekat pada usus, diikuti oleh proglottids
leher dan belum dewasa, matang dan gravid (Segmen). Proglottids gravid yang
mengandung telur,
melepaskan diri dari cacing dan menumpahkan ke dalam tinja. Proglottids dari
beberapa spesies juga bergerak melalui sfingter anal dengan bantuan lingkungan yang
mengakibatkan telur menjadi infektif. Pada manusia, taeniasis disebabkan oleh
makanan yang berasal dari daging babi (T. solium dan T. asiatica) atau daging sapi (T.
saginata) yang tidak dimasak dengan baik. T. solium dewasa memiliki panjang sekitar
2-7 m panjang dan dapat hidup sampai 25 tahun. Meski hingga 25 cacing pita telah
dicatat di satu orang, biasanya hanya ada satu. Telur yang umumnya menumpahkan
dalam proglottid, yang tetap di bolus tinja dan hancur di lingkungan. Telur-telur dapat
disebarkan oleh hujan dan angin dan dapat mencemari vegetasi dan air. T. telur solium
dapat bertahan di lingkungan selama beberapa minggu atau bulan. Dewasa T. saginata
bisa panjang 4-25 meter, meskipun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat
hidup selama 5 sampai 20 tahun atau lebih. The proglottids gravid dari T. saginata
biasanya lebih motil dibandingkan T. solium. Mereka pindah dari kotoran dan
mematuhi rumput. T. saginata telur bisa bertahan hidup selama beberapa minggu atau
bulan di air dan di rumput. Dalam dataran tinggi Kenya, T. saginata telur telah
dilaporkan ke bertahan sampai satu tahun. Pada hewan, taeniasis disebabkan oleh T.
crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. Serialis dan T.
brauni dan diperoleh dengan makan jaringan dari berbagai host intermediate termasuk
ruminansia, kelinci dan hewan pengerat.
Host intermediate biasanya herbivora, tetapi larva juga sesekali ada pada anjing dan
kucing. Sebuah hospes perantara menjadi terinfeksi ketika menelan telur (atau
proglottids yang mengandung telur), yang ditumpahkan di tinja host definitif. Telur
dapat dilakukan pada fomites, dan dapat disebarkan oleh serangga coprophagous dan
burung. Hewan Herbivora dapat memperoleh telur di padang rumput, vegetasi, atau air
yang terkontaminasi. Pada manusia, biasanya tertelan telur cacing pita pada buah-
buahan dan sayuran atau memperoleh mereka langsung dari tanah. Manusia juga dapat
terinfeksi oleh air yang terkontaminasi. Manusia yang membawa T. solium dewasa
pada usus dapat menginfeksi diri dan telur tertumpah dalam kotoran mereka sendiri
yang mengakibatkan cysticercosis. Autoinfeksi dengan reverse peristaltik dari telur
atau
proglottids mungkin terinfeksi dalam usus tetapi belum terbukti kebenarannya. Anak-
anak yang bermain di kotoran khususnya tanah dapat terkontaminasi dengan larva T.
multiceps, T. serialis atau T. Brauni dan langsung menyerang ke konjungtiva atau
kulit. Penetasan telur biasanya terjadi apabila telur telah terpapar oleh sekresi lambung
dan diikuti oleh sekresi usus. Telur menetas dalam usus, menembus dinding usus, dan
menyerap di dalam darah di seluruh jaringan. Dalam jaringan, larva (juga disebut
metacestodes) kemudian berkembang biak menjadi cysticerci atau coenuri.
Sistiserkosis
Cysticerci biasanya tidak merangsang inflamasi Tanggapan saat mereka masih hidup,
atau setelah mereka meninggal dan menjadi kalsifikasi. Namun, sementara mereka
merosot mereka bisa menjadi meradang. Pada sapi, T. saginata cysticerci mulai mati
dalam beberapa minggu, dan setelah 9 bulan cacing mati sedangkan spesies lain dapat
bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cysticerci dalam berbagai tahap kelayakan
dapat terjadi secara bersamaan dalam sebuah host. Cysticerci dapat ditemukan hampir
di mana saja, tetapi masing-masing spesies memiliki kecenderungan untuk jaringan
tertentu. Pada babi, T. solium cysticerci ditemukan terutama di tulang atau jantung
otot, hati, jantung dan otak. Pada manusia, spesies ini paling sering ditemukan dalam
jaringan
subkutan, skeletal otot, mata dan otak. Penyakit serius hampir selalu disebabkan oleh
cysticerci di CNS (neurocysticercosis) atau jantung.
T. saginata pada sapi dan T. Ovis pada domba ditemukan terutama di otot.
T. asiatica dan T. taeniaeformis cysticerci adalah biasanya ditemukan dalam
hati, sementara T. hydatigena adalah juga ditemukan di dalam rongga perut.
T. crassiceps larva biasanya ditemukan di jaringan subkutan, dan peritoneal
atau pleura rongga. replikasi aseksual T. Crassiceps larva terjadi pada tikus
host intermediate.
Coenurosis
Bentuk larva T. multiceps, T. serialis dan T. brauni disebut coenurus. Sebuah coenurus
adalah vesikel yang berisi beberapa protoscolices terbalik, melekat pada membran
internal kista. kista putri dapat dilihat dalam beberapa coenuri, baik mengambang bebas
atau melekat oleh tangkai. Kehadiran kista putri bervariasi dengan jaringan coenuri di
mata dan jaringan subkutan biasanya unilocular, tapi coenuri di CNS sering multilokular.
Setiap protoscolex dapat tumbuh menjadi cacing pita jika dicerna oleh tuan rumah
definitif.
Taeniasis
Tanda-tanda klinis, kecuali untuk bagian dari proglottids, yaitu jarang di host
definitif. Gejala, jika ada, yang biasanya terbatas pada unthriftiness, malaise, lekas marah,
penurunan nafsu makan dan diare ringan atau kolik. Intususepsi, kekurusan dan kejang
telah dilaporkan tetapi sangat jarang.
110
Pencegahan
Cysticercosis dan coenurosis pada ternak dapat menurun dengan mencegah atau
mengobati taeniasis di tuan rumah definitif. Anjing yang berhubungan dengan ternak,
khususnya domba, seharusnya tidak diperbolehkan untuk makan bangkai hewan dengan
coenurosis, dan harus dewormed teratur. Lain anjing seharusnya tidak diperbolehkan
dekat binatang. Untuk mencegah Infeksi dengan T. solium, T. saginata atau T. asiatica,
hewan seharusnya tidak terkena kotoran manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing bisa
berkurang dengan tidak memungkinkan anjing untuk hewan pengerat berburu atau host
intermediate lainnya, dan tidak makan bangkai mentah atau setengah matang. Tidak ada
vaksin yang tersedia saat ini. Vaksin A T. Ovis diproduksi di masa lalu tapi vaksin cacing
pita memiliki, di umum, tidak layak secara ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
BrusBruschi, F., Pathology, E., & Pisa, U. (n.d.). Review Article Trichinellosis in developing
countries : is it neglected ?chi, F., Pathology, E., & Pisa, U. (n.d.). Review Article
Trichinellosis in developing countries : is it neglected ?
Gottstein, B., Pozio, E., & No, K. (2009). Epidemiology , Diagnosis , Treatment , and Control of
Trichinellosis, 22(1), 127–145. https://doi.org/10.1128/CMR.00026-08
Mitreva, M., & Jasmer, D. P. (2006). Biology and genome of Trichinella Table of Contents, 1–
21. https://doi.org/10.1895/wormbook.1.124.1
The Center for Food Industry and Public Health. (2005). Taenia Infections, 1–8.
Widiastuti, D., & Astuti, N. T. (2009). Trichinella spiralis, Cacing yang Menginfeksi Otot, 5(1),
24–25.
World Health Organization. (n.d.). Penyakit bawaan makanan : suatu permasalahan kesehatan dan
ekonomi global, 1–53.
World Health Organization. (2015). Key foodborne diseases and hazards, 2015.
Pencemaran air yaitu masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke
dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berbuahnya tatanan (komposisi) air
atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas
lingkungan industry dan aktivitas lingkungan manusia, maka diperlukan pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu. Menurut Kristanto
(2002:71) pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal.
Saat ini banyak sekali kita temui sungai-sungai di sekitar kita sudah tercemar.
Pencemaran sungai terjadi karena pergeseran paradigma dan kebudayaan masyarakat.
Nilai-nilai perlindungan alam yang eksis dalam berbagai bentuk seperti pantangan dan
pamali tidak lagi dipandang oleh masyarakat. Air dapat menjadi sumber malapetaka
apabila tidak dijaga, baik dari segi manfaatnya maupun pengamanannya. Misalnya
dengan tercemarnya air oleh zat-zat kimia selain mematikan kehidupan yang ada
disekitarnya juga merusak lingkungan, dan apabila dari segi pengamanan. tidak
dilakukan pengawasan dapat mengakibatkan banjir, tanah longsor dan sebagainya.
2.1 Definisi Pencemaran Lingkungan
Lingkungan biasanya diartikan sebagai sesuatu yang ada di sekeliling kehidupan atau
organisme. Lingkungan adalah kumpulan dari segala sesuatu yang membentuk kondisi dan
akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung baik kepada kehidupan dalam
bentuk individual maupun kuminitas pada tempat tertentu.
Pencemaran adalah perubahan yang tak dikehendaki dari lingkungan yang sebagian besar
akibat dari kegiatan manusia (Darmono, 1995). Perubahan ekosistem atau habitat dapat
berupa perubahan fisik, kimia, atau perilaku biologis yang akan mengganggu kehidupan
manusia, spesies, biota bermanfaat, proses- proses industri, kondisi kehidupan, dan aset
kultural. Selain itu perubahan ekosistem akibat kegiatan manusia yang merusak atau
menghamburkan secara sia-sia sumberdaya yang ada di alam (Palar,1994).
Pencemaran lingkungan hidup menurut undang-undang No.23 tahun 1997, yaitu
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas lingkungan menurun sampai
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya (Anonim, 1997). Sumber pencemaran adalah setiap kegiatan yang membuang
bahan pencemar. Bahan pencemar tersebut dapat berbentuk padat, cair, gas atau partikel
tersuspensi dalam kadar tertentu ke dalam lingkungan, baik melalui udara, air maupun
daratan pada akhirnya akan sampai pada manusia. Daur pencemaran lingkungan akan
memudahkan di dalam melakukan penelitian dan pengambilan contoh lingkungan serta
analisis contoh lingkungan (Wardhana, 2001).
Faktor-faktor di atas saling mempengaruhi secara kompleks. Apabila salah satu faktor
terjadi, maka faktor lainnya dapat terjadi, dengan demikian terjadinya pencemaran
lingkungan tidak dapat dihindari.
Aktivitas manusia dan hasil samping yang ditimbulkan :
Rumah tangga : pembuangan kotoran limbah ke suangi, pencemaran udara, dll
Transportasi : pencemaran udara akibat polusi, asap kendaraan, suara kecelakaan,
Industry dan Pabrik : pencemaran udara akibat tanah sampah atau sisa-sisa
makanan serta pencemaran panas dari pabrik, dll
Pertambangan : sampah atau sisa-sisa hasil limbah pertambangan yang di buang
sehingga tanah, air dan udara dapat tercemar oleh sisa-sisa pembuangan limbah.
Pertanian : pencemaran air, pencemaran lingkungan akibat pembuangan kotoran,
kebutuhan air yang terbatas karena sudah tercemar limbah jamban.
3. Pencemaran Air
Didalam tata kehidupan manusia, air banyak memegang peranan penting
antara lain untuk minum, memasak, mencuci, dan mandi. Disamping itu juga air
sangat diperlukan untuk mengairi sawah, lading, industry, dan masih banyak lagi.
Beberapa jenis tumbuhan seperti alga, paku air, dan seceng gondok, akan tumbuh
subur menutupi perairan sehingga cahaya matahari tidak menembus dasar
perairan. Bahan-bahan kimia lainnya seperti pestisida, atau DDT yang sering
digunakan oleh petani utnuk membrantas hama tanaman.
Pencemaran air dapat merupakan masalah, regional maupun lingkungan
global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan
lahan tanah atau daratan. Walaupun air merupakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas
manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga dengan mudah dapat
tercemar. (Darmono, 1995).
Air yang tersebar di alam semesta ini tidak pernah terdapat dalam bentuk
murni, namun bukan berarti bahwa semua air sudah tercemar. Misalnya,
walaupun di daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara yang
bersih dan bebas dari pencemaran, air hujan yang turun di atasnya selalu
mengandung bahanbahan terlarut, seperti karbon dioksida (CO2), oksigen (O2),
dan nitrogen (N2), serta bahan-bahan tersuspensi misalnya debu dan partikel-
partikel lainnya yang terbawa air hujan dari atmosfir.
Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat
digunakan sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan
pencemaran air. Karena kebutuhan makhluk hidup akan air sangat bervariasi,
maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda. Sebagai
contoh, air kali di pegunungan yang belum tercemar tidak dapat digunakan
langsung sebagai air minum karena belum memenuhi persyaratan untuk
dikategorikan sebagai air minum. (Kristanto, 2002).
Menurut Darmano (1995), pencemaran air terdiri dari bermacam-macam
jenis, antara lain: Pencemaran mikroorganisme dalam air, Pencemaran Air oleh
Bahan Anorganik Nutrisi Tanaman, Pencemar Bahan Kimia Anorganik,
Pencemar Bahan Kimia Organik.
Pencemaran lingkungan terus menerus terjadi, bahkan cenderung meningkat dari waktu
ke waktu. Berbagai aktivitas manusia, seperti transport dan industri telah memberikan
dampak yang buruk bagi lingkungan. Lingkungan akan rusak dan pada akhirnya akan
berdampak buruk juga bagi kehidupan manusia.
Karena itulah manusia harus segera melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
agar dampak negative dari pencemaran lingkungan bagi manusia dan mahkluk hidup lainnya
dapat diminimalisir keberadaannya. Jika kita dapat meminimalisir dampak pencemaran
lingkungan, maka akan terciptanya lingkungan yang aman dan sehat serta fungsi
melestarakiannya agar dapat dinikmati kembali oleh generasi yang akan datang.
120
Berbagai kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan memanfatkan
berbagai jenis semberdaya alam, baik sumberdaya alam yang dapat diperbabarui
maupun yang tidak dapat diperbarui. Pengambilan yang dilakukan secara terus
menerus berdampak pada semakin kurangnya cadangan sumberdaya alam,
khususnya sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui. Pengambilan dan
pemanfaatan sumberdaya alam juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
yang mengencam keberadaan manusia itu sendiri.
Penangulangan Non-Teknis
Penanggulangan secara non teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi
dan menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan
peraturan perundang-undangan yang dapat merencanakan, mengatur, dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara memberikan gambaran secara jelas tentang
kegiatan industri dan teknologi yang akan dilaksanakan disuatu tempat
meliputi :
1. Remidiasi
2. Bioremediasi