Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Toksikologi
Toksikologi dasar adalah ilmu yang mempelajari bahan beracun melalui
eksperimen atau percobaan, merupakan bagian dari cara penilaian secara luas terhadap
suatu zat meliputi penyelidikan toksikokinetik dan toksikodinamik. Zat adalah semua
zat kimia termasuk obat dan bahan langsung dari alam.
1.1.1 Toksikan
Toksikan atau zat toksik adalah bahan apapun yang dapat memberikan efek
yang merugikan terhadap tubuh. Racun merupakan istilah untuk toksikan dalam
jumlah sedikit (dosis rendah), dapat menyebabkan kematian atau penyakit (efek
merugikan) secara tiba-tiba. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik kimiawi,
maupun biologi. Racun dapat pula menyerupai bentuk cair, padat, dan gas.
Beberapa zat toksik mudah diidentifikasi dari gejala yang ditimbulaknnya, dan
banyak zat toksik cenderung sulit diindentifikasi. Obat yang masuk kedalam tubuh
dengan dosis yang lebih besar dari dosis maksimal dapat bersifat sebagai toksikan
karena akan menimbulkan efek toksik.
1.1.2 Tahap tahap yang dialami toksikan
a. Tahap Eksposisi
Pada fase eksposisi toksikan dapat diubah melalui reaksi kimia menjadi
senyawa yang lebih toksik atau kurang toksik dari senaaywa awal. Pada tahap
ini menghasilkan ketersediaan farmasetik yanitu bagian dari dosis aktif yang
tersedia untuk diabsorbsi. Fase eksposisi disebut juga fase farmasetika
b. Tahap Toksikokinetik
Toksikokinetik adalah studi kuantitatif dari gerakan sebuah zat dimulai dari
masuknya zat kedalam tubuh, pengdistribusiannya ke organ dan jaringan
melalui sirkulasi udara dan disposisi terakhir dengan biotransformasi serta
eksresi. Konsep dari toksikokinetik adalah absorbsi, distribusi, metabolism
dan eksresi (ADME).
a. Absorpsi
Sebelum zat kimia membuat dampak kesehatan kepada tubuh manusia,
zat kimia tersebut harus masuk ke dalam tubuh. Peristiwa masuknya zat
kimia ke dalam tubuh disebut dengan absorpsi. Secara umum, rute masuk
zat kimia dalam absorpsi terdiri dari 3 rute yaitu inhalasi, dermal dan
ingesti. Inhalasi merupakan jalur utama dari pajanan di tempat kerja
karena banyak zat kimia yang dapat masuk lapangan ke paru-paru
melalui jalur inhalasi seperti debu, asap, uap, kabut dan gas. Zat kimia
tersebut masuk ke dalam paru yang memiliki luas sekitar 140 m2
sehingga memudahkan untuk absorpsi. Kontak kulit adalah rute kedua
yang terpenting dalam absorpsi. Kulit memiliki total luas sekitar 2 m2
dengan kemampuan untuk mengabsorbsi zat kimia terutama yang
berbentuk cairan seperti KOH ataupun aerosol seperti pestisida.
Meskipun sedikit, jalur ingesti juga dapat menjadi jalur masuk zat kimia
yang berbahaya (Klaassen, 2008). Jalur ingesti merupakan jalur
pencernaan yang dimulai dari mulut, kerongkongan, dan lambung. Zat
kimia yang masuk dalam jalur ini biasanya terjadi karena
ketidaksengajaan seperti dalam kasus keracunan.
b. Distribusi
Ketika zat kimia diabsorpsi ke dalam aliran darah, maka zat kimia
tersebut dapat diangkut ke seluruh tubuh. Proses ini disebut “distribusi”
yang merupakan proses reversible yaitu zat kimia dapat masuk ke dalam
sel dari darah ataupun bias masuk ke darah dari sel. Pengiriman zat kimia
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu aliran darah, permeabilitas
kapiler, kekuatan dari pengikatan dari zat kimia ke darah ataupun
jaringan protein dan solubilitas relative dari molekul zat kimia.
c. Metabolisme
Untuk mempermudah eksresi, zat kimia harus melalui proses metabolism
terlebih dahulu. Proses ,etabolisme bias berlangsung di hati atau ginjal
baik dengan perubahan struktur zat kimia ataupun dengan perubahan
kimiawi dari zat kimia. Metabolism dari zat kimia dapat bervariasi antar
grup populasi. Genetic menjadi salah satu factor yang dapat
mempengaruhi enzim untuk memproses zat kimia. Umur menjadi factor
lain yang mempengaruhi karena semakin tua seseorang maka semakin
kecil toleransi terhadap zat kimia.
d. Ekskresi
Pengeluaran secara keseluruhan zat kimia dari dalam tubuh disebut
dengan ekskresi. Ginjal dan organ pencernaan menjadi bagian penting
dalam proses ekskresi ini. Selain itu, air susu ibu, keringat, rambut, kuku
dan air ludah juga dapat menjadi organ yang melakukan proses ekskresi.
c. Tahap Toksikodinamik
Meliputi interaksi kimia antara molekul zat toksikan dan tempat kerja spesifik
(reseptor). Konsemtrasi zat aktif pada tempat sasaran menentukan kekuatan
efek biologi yang dihasilkan. Interaksi antara zat aktif dan reseptor mendasari
respon tubuh selanjutnya, mulai tingkat sel, jaringan, organ dan system organ
yang kompleks. Zat aktif yang berasal dari suatu obat jarang memiliki satu
jenis efek. Hamper semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu
mempengaruhi fungsi berbagai macam alat dalam tubuh. Efek utama atau
yang menonjol merupakan pegangan untuk menentukan penggunaan obat,
sedangkan efek tambahan merupakan efek samping atau bahkan menjadi efek
toksik.
1.2 Penilaian Keamanan Obat dan Zat Kimia
Untuk menilai keamanan zat kimia baru yang akan digunakan diperlukan
pengamatan gejala-gejala yang timbul apabila diberikan dengan dosis tertentu pada
hewan coba. Gejala diamati melalui penelitian toksisitas akut dan subkronik untuk
memperoleh kesan pertama tentang kelainan yang timbul. Pada pemberian dosis
terbesar zat kimia atau obat dalam mg/kg BB/hari yang tidak menimbulkan efek
merugikan pada hewan coba disebut sebagai No Effect Level (NEL) atau No
(observed) Effect Level (NOEL). Selain itu ditetapkan juga factor keamanan yang
dikenal dengan Acceptable Daily Intake (ADI) dengan rumus perhitungan:
NEL
ADI = …………… mg/kgBB/hari
100
Selain itu perlu diperhatikan Maximal Permisible Concentration (MPC), yaitu
konsentrasi zat kimia yang boleh berada dalam makanan tertentu, dengan rumus:
ADI x Berat Badan (kg)
MPC = …………………………….. = ………………. p.p.m
Factor makanan (kg)
Factor makanan adalah konsumsi rata-rata makanan tertentu dalam kg/orang/hari.
1.3 Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada system
biologi dan untuk memperoleh data dosis respon yang khas dari sediaan uji. Data
yang diperoleh dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat
ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia.
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model, berguna untuk melihat
adanya reaksi biokimia, fisiologi dan patologik pada manusia terhadap suatu
sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan pada manusia, namun, dapat memberikan
petunjuk adanya toksisitas relative dan membantu identifikasi efek toksik bila
dipaparkan pada manusia.
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat dipercaya
adalah pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan serta penanganannya,
cara pemberian sediaan, pemilihan dosis, efek samping sediaan, tekhnik dan
prosedur pengujian.
1.3.1 Uji Toksisitas Akut/dalam Waktu Cepat
Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan dalam
dosis tunggal dalam waktu 24 jam.
Prinsip uji toksisitas adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan
pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis perkelompok. Kemudian
dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian. Hewan yang
mati dan hidup pada akhir masa percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya
gejala-gejala toksisitas.
Tujuan uji toksisitas akut adalah mendeteksi toksisitas intrinsic suatu zat,
menentukan organ sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya
setelah pemaparan suatu zat secara alut, memperoleh informasi awal yang dapat
digunakan untuk menetapkan tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya.
Batas dosis harus ditentukan sedemikian rupa sehingga didapat suatu kurva dosis
respon berupa respon terhadap atau respon kuantal.
Efek yang didapat pada toksisitas akut biasanya terdiri dari mortalitas dan
morbiditas. Berdasar sudut pandang kuantitatif efek ini diukur menggunakan
LD50, ED50, LC50 atau EC50. LD50 dan EC50 mewakili dosis dari zat yang
menyebabkan kematian (LD50) atau beberapa efek pasti lain (ED50) pada 50%
populasi yang terpapar. LC50 dan EC50 menunjukkan konsentrasi zat yang
memapar organisma sehingga menimbulkan kematian (LC50) atau beberapa efek
pasti lain
(EC50) pada 50% populasi yang terpapar, LD50 dan EC50 berdasar pada berat
badan dari hewan (misalnya mg bahan kimia/kg berat badan), sedangkan LC50
dan EC50 berdasarkan lingkungan terhadap organisma yang terpapar (misalnya mg
bahan kimia/L air).
1.3.2 Uji Toksisitas Jangka panjang
Uji toksisitas jenis ini mencakup pemberian zat secara berulang dalam waktu lebih
lama dari uji toksisitas akut. Uji toksisitas jangka panjang terdiri dari uji toksisitas
subkronis, kronis dan seumur hidup hewan (life long studies).
Uji toksisitas subkronis adalah pengujian untuk mndeteksi efek toksik yang
meuncul setelah pemberian sediaan uji atau zat dengan dosisi berulang yang
diberikan selama kurang dari setengah usia harapan hidup hewan (pada tikus 3
bulan, dengan usia tikus 24 bulan).
Uji toksisitas kronis adalah sama dengan subkronis dengan waktu lebih panjang
selama hidup hewan. Uji toksisitas kronis dengan waktu lebih panjang dari 6 bulan
tidak akan bermanfaat kecuali untuk melihat efek karsinogenisitas. Pada uji
toksisitas kronis diutamakan menguji keamanan obat atau bahan kimia lain.
Untuk menilai keamanan suatu bahan kimia atau obat dimulai dengan uji toksisitas
akut diikuti uji toksisitas subkronis dan kronis. Selain itu dilakukan uji
karsinogenisitas, teratogenisitas dan mutagenisitas untuk perencanaan penggunaan
obat yang lama, misalnya antihipertensi, antidiabetes, obat keluarga berencana dan
lain-lain. Apabila pada uji toksisitas akut ditemukan LD50 suatu zat sangat kecil
tidak perlu dilanjutkan dengan uji toksisitas kronis. Hal ini menunjukkan zat atau
bahan tersebut mempunyai potensi efek toksik yang besar sehingga berbahaya bagi
manusia. Berdasarkan uji toksisitas kronis dapat ditentukan NEL (no effect levels).
Pada akhir uji toksisitas subkronis dan kronis dilakukan pengamatan dan
pemeriksaan adanya perubahan pada organ-organ dan system organ apakah ada
kelainan khusus, akumulasi atau toleransi terhadap zat atau obat yang diperiksa.
Persiapan Uji Toksikologi
Sebelum dimulai uji toksikologi diperlukan persiapan yang teliti, terutama data
mengenai zat atau obat yang akan diuji meliputi identifikasi, sifat obat, rencana
akan digunakan untuk apa, misalnya antihipertensi, antidiabetes dan lain-lain.
Untuk perencanaan ini diperlukan tenaga yang berpengalaman dalam bidang ini.
Setelah persiapan bahan yang akan diuji, selanjutnya adalah pemilihan hewan
coba. Hewan coba yang sering digunakan adalah tikus putih, mencit, marmot dan
kelinci. Kadang-kadang digunakan spesies yang lebih besar, misal anjing, babi
dank era. Selain itu disiapkan tempat percobaan dan laboratorium untuk
pemeriksan sampel percobaan.
1.4 Bidang Ilmu Toksikologi
1.4.1 Toksikologi Klinik
Toksikologi klinik adalah ilmu yang mempelajari penyakit yang secara unik
berhubungan dengan substansi toksik sebagai penyebab. Seorang ahli toksikologi
klinik (clinical toxicolog) mengobati seseorang yang keracunan obat atu bahan
kimia lain dan mengembangkan tekhnik baru untuk menegakkan diagnose dan
terapi untuk jenis-jenis keracunan.
1.4.2 Toksikologi Forensik
Toksikologi forensic adalah ilmu toksikologi yang digunakan untuk peradilan
misalnya untuk mengidentifikasi racun pada khasus dugaan pembunuhan,
penetapan kadar alcohol dalam darah dan pernafasan, identifikasi obat doping pada
olahragawan.
1.4.3 Toksikologi di Tempat Kerja
Toksikologi di tempat kerja adalah pengembangan aplikasi dari prinsip-prinsip dan
metodologi toksikolohi dalam penanganan bahan kimia dan biologis berbahaya
yang ada di sekitar tempat kerja.
1.4.4 Toksikologi Lingkungan
Toksikologi lingkungan adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari sifat,
penyebaran dan perilaku zat racun (polutan) di dalam lingkungan, serta efeknya
terhadap flora, fauna dan manusia.
1.5 Toksikologi Klinik
Toksikologi klinik ditujukan untuk penyakit yang disebabkan secara unik dihubungkan
dengan substansi toksik. Ahli toksikologi klinik mengobatu pasien keracunan dengan
obat dan bahan kimia lain dan mengembangkan tekhnik baru untuk mendiagnosa dan
mengobati kasus-kasus keracunan. Prinsip paling dasar dan penting dari toksikologi
klinik adalah perawatan medis simtomatik sebagai satu-satunya strategi untuk
mendukung fungsi vital. Terapi suportif adalah terapi andalan pada keracunan obat.
Obati dulu pasiennya, tidak racunnya (treat the patient, not the poison).
Pengobatan intoksikasi sesuai dengan kejadian apakah keracunan akut atau kronis. Pada
keracunan akut, tujuannya adalah mempertahankan fungsi vital, menghambat absorbs
dan meningkatkan eliminasi dari racun. Selanjutnya, untuk melawan racun pada organ
target adalah dengan memberikan antidote untuk melawan efek toksik dari racun.
Pengobatan keracunan kronis sesuai dengan sifat toksik racun, tanda dan gejala dari
pasien.
1.5.1 klasifikasi keracunan
keracunan dapat terjadi karena beberapa kejadian. Misalnya karena minum obat
dengan dosis berlebihan secara tidak sengaja karena ketidaktahuan (self
poisoning). Keracunan dapat pula terjadi karena sengaja minum obat atau bahan
kimia, misalnya pestisida secara berlebihan untuk tujuan bunuh diri (attempted
suicide). Selain itu keracunan dapat terjadi karena ada seseorang yang memberikan
racun untuk membunuh orang lain (homicidal poisoning). Apabila keracunan
terjadi karena meledaknya tabung gas misalnya, terjadi tidak sengaja, maka dikenal
istilah accidental poisoning.
Sesuai dengan waktu terjadinya keracunan, dikenal istilah keracunan akut dan
keracunan kronis. Keracunan akut cepat dan mudah diketahui, karena terjadi
mendadak, misalnya setelah makan makanan tertentu, terjadi bersamaan karena
ada acara makan bersama. Gejala keracunan ini dapat menyerupai gejala penyakit
saluran pencernaan, sehingga kalau ditemukan mual, muntah, diare, kejang dan
lain-lain yang timbul mendadak harus dicari kemungkinan adanya keracunan.
Keracunan kronis dapat terjadi karena paparan bahan kimia atau obat dalam waktu
yang lama. Untuk mendiagnosa keracunan kronis lebih sulit dari keracunan akut,
karena gejalanya timbul perlahan-lahan dan lama setelah terpapar racun. Gejala
dapat mmuncul secara akut, sehingga tidak terpikirkan karena keracunan.
Manifestasi kronik pada organ oleh zat kimia atau obat dapat terjadi walaupun
waktu paruhnya pendek, tapi mengalami akumulasi pada organ. Apabila didapat
kelainan organic yang tidak jelas penyebab dan patogenesanya, harus dipikirkan
kemungkinan keracunan. Hal ini perlu didukung dengan anamneses secara detail
dan jelas.
Keracunan dapat pula digolongkan sesuai dengan organ yang terkena. Dimulai dari
organ vital, misalnya jantung, paru, hati, ginjal dan system saraf pusat. Selain itu
dapat pula terjadi penumpukan racun pada racun, kuku, tulang, mata, kulit dan
sebagainya.
Sesuai dengan bahan kimia yang memapar tubuh, dapat dicari sifat toksisitasnya.
Misalnya karena keracunan alcohol, logam berat, pestisida dan lain sebagainya.

Kemangi

A. Nama
1. Nama ilmiah : Ocimum basilicum Linn. Fa. Cilratum.
2. Nama daerah : kemangi (Jawa), kemanghi (Madura).
3. Nama asing : -
B. Kandungan kimia dan efek farmakologis
Tumbuhan kemangi memiliki rasa agak manis, bersifat dingin, berrbau harum, dan
menyegarkan. Beberapa bahan imia yang terkandung pada seluruh bagian tanaman
kemangi, diantaranya 1,8 sineol; anethol; apigenin; dan boron. Sementara pada
daunnya terkandung arginine dan asam aspartate.
Efek farmakologis yang dimiliki seluruh bagian tanaman kemangi,
diantaranya menghilangkan bau badan dan bau mulut, anastesi membantu mengatasi
ejakulasi premature, anti-kholinesterase, merangsang aktivitas saraf pusat, melebarkan
pembuluh kapiler (merangsan ereksi), menguatkan hepar, merangsang hormone
estrogen, merangsang factor kekebalan tubuh, merangsang ASI, melebarkan
pembuluh darah, mencegah pengentalan darah, melancarkan sirkulasi, merangsang
keluarnya hormone androgen dan hormone estrogen, serta mencegah pengeroposan
tulang. Selain itu, daunnya bermanfaat untuk memperkuat daya tahan hidup sperma,
mencegah kemandulan, menurunkan gula darah, antihepatitis, diretik, merangsang
saraf dan analeptic

Seledri

A. Nama
1. Nama :Apium graveolens L.
2. Nama daerah : seledri, saladra, saledri, daun sop, daun soh (jawa), saladra (sunda)
3. Nama asng :celery, smallage (inggris), hang-ch’in, qincai (cina)
B. Kandungan kimia dan efek farmakologis
Kandungan kimia tanaman ini, antara 1,5-3% minyak terang (yang berisi 60-
70% limonene, pthalides, dan β-selinene), flavor-glukoside (apiin) apigenin, kolin,
lipase, asparagine, zat pahit, vitamin A, vitamin B, VITAMIN C coumarins, furano
coumarins (bergapten), dan falvonoids.

Herba ini bersifat hipotensif (apigenin), pedas, dan sejuk . tumbuhan ini
berkhasiat antirematik, karminatif (peluruh kentut), penghenti pendarahan
(hemostatis), peluruh haid, antispasmodic, diuretic, penurun tekanan darah
(hipotensif) dan urinary antiseptic, pemacu enzim pencernanan,afrodisiak, serta
sedative. Selain itu, bijinya efektif untuk cystitis, membantu membersihkan infeksi
pada bladders dan urinanry tubules.

Hasil penelitian di jerman dan cina selama tahun 1970-1980 menunjukan


bahwa minyak terbang yang terdapat dalam seledri mempunyai efek yang lembut
pada sistem syaraf pusat dan berfungsi sebagai penurunan tekanan darah. Kandungan
isisnya bersifat antispasmodic, sedative, dan anticonvulsant actions.

Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu bagian dari tahap teknik isolasi senyawa dari bahan
alam. Ekstraksi maserasi, perkolasi, infundasi dan sokletasi adalah teknik-teknik ekstraksi
yang telah dikenal sejak lama. Umumnya teknik ekstraksi tersebut di atas dikaitkan isolasi
untuk senyawa non volatile, sehingga untuk dapat mengisolasi baik senyawa volatile dan non
volatile maka dikembangkan ekstraksi kombinasi dengan destilasi dengan sebutan ekstrasi-
destilasi secara simultan (simultaneous destilation-extraction) yang dikembangkan dalam
metode lickens-nickersen. Selanjutnya, teknik ekstraksi ini mengalami perkembangan pesat
hingga dirancang pada instrument yang cangih yang memiliki kecepatan yang tinggi dan
recovery yang optimal.

Teknik ekstraksi suatu senyawa-senyawa organic dari matrik sampel biasanya terdiri
dari memberishkan dan mengambil atau mengkonsentrasikan lapisan utama untuk senyawa
mudah menguap dan ekstraksi cairan-cairan, solid phase extraction (SPE) atau supercritical
fluid extraction (SFC) untuk semivolaatil dan tidak volatile. Teknik-teknik ini mempunyai
kekurangan, termasuk biaya mahal dan memakan waktu lama dalam mengekstraksikan
senyawa organic.

Hewan coba pada penelitian

Hewan coba atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan
untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk mempelajari dan mengembangkan
berbagai macam bidal ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Animal
model atau hewan model adalah objek hewan sebagai imitasi manusia (atau spesies lain),
yang digunakan untuk menyelidiki fenomena biologis atau patobiologis.

Hewan digunakan dalam penelitian ketika ada suatu kebutuhan untuk mengetahui apa yang
terjadi diseluruh tubuh yang hidup, yang jauh lebih kompleks. Ada 4 alasan utama
penggunaan hewan coba dalam penelitian:

1. Untuk meningkatkan pemahaman ilmiah


Banyak proses sel dasarpada hewan memiliki kesamaan dengan manusia, dan
tubuh hewan mirip dengan manusia dalam fungsi vital seperti pernafasan, pencernaan,
gerakan, penglihatan, dan reproduksi. Untuk melakukan terapi pada penyakit, dokter
dan ilmuan harus mengerti bagaimana tubuh yang sehat bekerja. Hal ini mengarahkan
pemahaman dari pada apa yang terjadi pada tubuh ketika kita jatuh sakit dan
bagaimana cara menyembuhkannya.
Banyak dari pengetahuan anatomi dan fungsi tubuh dapat ditelusuri dari
temuan ilmiah pada penelitian hewan. Membandingkan spesies yang berbeda dan
persamaan antara mereka adalah salah satu cara untuk memperoleh wawasan. Hewan
sederhana sekalipun dapat digunakan untuk mempelajari sistem biologis kompleks
seperti sistem syaraf atau kekebalan tubuh, yang mengikuti organisasi dasar yang
sama dan fungsi dalam semua hewan. Sebagai contoh, telah banyak dipelajari tentang
fungsi neuron dari akson cumi-cumi raksasa. Informasi ini kemudian dapat diterapkan
untuk hewan tingkat tinggi dan manusia.
2. Sebagai model untuk mempelajari penyakit
Manusia dan hewan memiliki beberapa persamaan penyakit, sehingga hewan
dapat bertindak sebagai model untuk studi penyakit manusia. Kelinci dapat menderita
aterosklerosis, penyakit seperti emfisema, dan cacat lahir seperti spina bifida. Anjing
dapat menderita kanker, diabetes, katarak, bisul dan gangguan pendarahan seperti
hemophilia. Kucing dapat menderita beberapa gangguan visual yang sama seperti
manusia, sehingga hewan-hewan ini dapat menjadi contoh alami untuk penelitian.
Dari hewan model tersebut kita belajar bagaimana sistem kekebalan tubuh merespon,
dan banyak lagi manfaat yang bias diperoleh dengan mempelajari hewan coba. Hewan
model juga memungkinkan para peneliti untuk mengeksplorasi terapi potensial
dengan cara yang tidak akan mungkin pada manusia. Mempelajari mekanisme
penyakit pada hewan model mengarah langsung pada pengembangan teknologi baru
dan obat-obatan yang bermanfaat bagi manusia dan hewan.
Hewan yang diubah untuk membuat suatu model penyakit dikenal sebagai
model induksi. Sebagai contoh, operasi yang merusak bagian tertentu dari medulla
spinalis pada tikus menimbulkan gejala seperti yang terlihat pada manusia dengan
kerusakan medulla spinalis yang sama. Mode hewan ini membantu para peneliti
memahami apa yang terjadi didalam tubuh berikut jenis kerusakan dan telah
digunakan dalam pengembangan terapi baru.
Kemajuan terbaru dalam teknologi genetika telah memungkinkan
pengembangan hewan transgenic, yang memiliki gen baru dimasukkan kedalam DNA
hewan, yang memungkinkan untuk mengembangkan penyakit manusia jenis tertentu.
Secara khusus hal ini telah memungkinkan tikus untuk dijadikan banyak mode untuk
penyakit manusia yang sebelumnya sulit untuk dipelajari.
3. Untuk mengembangkan dan menguji terapi potensial
Setelah peneliti mempelajari lebih lanjut tentang penyakit tertentu, hewan
digunakan untuk mengembangkan dan menguji terapi potensial sebagi bagian dari
proses penelitian. Misalnya, obat untuk penyakit Parkinson telah dikembangkan
dengan menggunakan hewan model dengan induksi gejala seperti parkinson. Model
seperti ini merupakan bagian penting dari penerapan penelitian biologi untuk masalah
medis yang memungkinkan target baru untuk tatalaksana suatu penyakit. Data dari
studi hewan sangat penting sebelum teknik terapi baru dan prosedur bedah dapat diuji
pada manusia.
Alat diagnostic seperti sanner dan implant seperti alah pacu jantung
(pacemaker) atau pinggul buatan, menjadi aman dan efektif pada manusia karena pada
awalnya mereka dikembangkan dan diuji pada hewan. Banyak teknik bedah, seperti
membuka rongga dada untuk operasi jantung dan transplantasi jantung, mengandalkan
pada metode dan peralatan yang dikembangkan awalnya menggunakan hewan.
4. Untuk melindungi keselamatan orang, hewan dan lingkungan
Obat baru membutuhkan pengujian karena peneliti harus mengukur efek yang
menguntungkan dan berbahaya dari senyawa. Sebuah obat awalnya diuji secara
invitro menggunakan jaringan dan organ terisolasi, namun secara hukum dan etika itu
juga harus diuji dalam model hewan yang sesuai sebelum uji klinis pada manusia
dapat terjadi. Tes pada hewan memberikan data tentang efikasi dan keamanan, tetapi
juga menentukan dosis yang akan diberikan pada relawan dan pasien selama
percobaan manusia pertama. Pengujian pada hewan juga berfungsi untuk melindungi
konsumen, pekerja dan lingkungan dari efek berbahaya bahan kimia. Semua bahan
kimia untuk penggunaan komersial atau pribadi harus diuji sehingga efeknya pada
manusia dapat dipahami. Bahan kimia yang kita gunakan sehari-hari dapat
terakumulasi dalam air, tanah atau udara sekitar kita dan dampak potensial terhadap
lingkungan harus diteliti secara menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai