Anda di halaman 1dari 20

MENGIDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL

PEMERIKSAAN TOKSIKOLOGI KLINIK

a. Pendahuluan
Dalam beberapa kasus, individu dapat memiliki reaksi yang tidak terduga, atau
tanggapan istimewa, terhadap obat atau zat lain. Respon istimewa jarang terjadi, dan
kadang kadang tidak mungkin untuk memahami apakah itu hasil dari kecenderungan
genetik atau memiliki penyebab lain seperti status sistem kekebalan tubuh. Ini dapat
mengakibatkan respons kecil atau pendek yang tidak normal, atau respons besar atau
panjang yang tidak normal terhadap obat atau zat lain. Atau, tanggapannya bisa
berbeda secara kualitatif dari apa yang telah diamati pada sebagian besar individu
lainnya (Gupta, R. et al., 2022).
Toksisitas suatu zat biasanya tergantung pada faktor faktor berikut; Bentuk
dan aktivitas kimia bawaan, Dosis, terutama hubungan dosis-waktu, Rute eksposur,
Jenis, Tahap kehidupan, seperti bayi, dewasa muda, atau dewasa lanjut usia, Jenis
kelamin, Kemampuan untuk diserap, Metabolisme, Distribusi dalam tubuh,
Pengeluaran, Kesehatan individu, termasuk fungsi organ dan kehamilan, yang
melibatkan perubahan fisiologis yang dapat mempengaruhi toksisitas, Status gizi,
Kehadiran bahan kimia lainnya, Ritme sirkadian (waktu obat atau zat lain diberikan)
(Gupta et al., 2022).
b. Pengertian Toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan
berbagai bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah
kedokteran, toksikologi didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat
paparan bermacam obat dan unsur kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya
yang berkaitan dengan penggunaan obat dan bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri
berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan fundamental hanya terletak pada
penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi. Setiap zat kimia pada
dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara
pemberian. Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah
racun; tiada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”
(Gupta, R. et al., 2022).
Pada tahun 1564 Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis
dengan mengatakan, bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun
(dosis sola facit venenum). Pernyataan Paracelcus tersebut sampai saat ini masih
relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang menyebabkan keracunan, namun dosis
tetap merupakan faktor utama yang paling penting. Secara sederhana dan ringkas,
toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek
berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem
biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan
kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan
dihasilkan oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk
biotransformasinya mencapai tempat yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan
lama waktu yang cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik (Gupta, R. et al.,
2022).
Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi
pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam
tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan. Pemaparan bahan-bahan kimia
terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam empat kategori: akut, subakut,
subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya terjadi karena suatu
kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja terutama
di lingkungan industri-industri kimia. Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui
sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau lebih bahan kimia yang diberikan secara
bersamaan akan menghasilkan suatu respons yang mungkin bersifat aditif, sinergis,
potensiasi, dan antagonistic (Gupta, R. et al., 2022).
Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek secara bersamaan
membentuk hubungan korelasi yang dikenal dengan hubungan dosis-respons. Apabila
zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada
suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi
racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem
bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.
Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk
mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul. Sedangkan
toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya
menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu
organisme (Hayes, A.W. and Kobets, T., 2023).
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme
biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut
telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan
pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek
berbahaya itu terjadi (Hayes, A.W. and Kobets, T., 2023).
c. Karakteristik Toksikologi
 Efek merugikan/ toksik pada sistem biologis dapat disebabkan oleh bahan
kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya cocok
untuk menimbulkan keadaan toksik.
 Respon terhadap bahan toksik tersebut antara lain tergantung kepada sifat fisik
dan kimia, situasi paparan, kerentanan sistem biologis, sehingga bila ingin
mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus mengetahui macam efek yang
timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan mengenai paparan dan
sasarannya.
 Perbandingan dosis lethal suatu bahan polutan dan perbedaan jalan masuk dari
paparan sangat bermanfaat berkaitan dengan absorbsinya. Suatu bahan polutan
dapat diberikan dalam dosis yang sama tetapi cara masuknya berbeda.
Misalnya bahan polutan pertama melalui intravena, sedangkan bahan lainnya
melalui oral, maka dapat diperkirakan bahwa bahan polutan yang masuk
melalui intravena memberi reaksi cepat dan segera. Sebaliknya bila dosis yang
diberikan berbeda maka dapat diperkirakan absorbsinya berbeda pula,
misalnya suatu bahan masuk kulit dengan dosis lebih tinggi sedangkan lainnya
melalui mulut dengan dosis yang lebih rendah maka, dapat diperkirakan kulit
lebih tahan terhadap racun sehingga suatu bahan polutan untuk dapat diserap
melalui kulit diperlukan dosis tinggi.
d. Faktor-Faktor yang Memoengaruhi Toksisitas
 Jalur masuk ke dalam tubuh
Jalur masuk ke dalam tubuh suatu polutan yang toksik, umumnya
melalui saluran pencernaan makanan, saluran pernafasan, kulit, dan jalur
lainnya. Jalur lain tersebut diantaranya daalah intra muskuler, intra dermal,
dan sub kutan. Jalan masuk yang berbeda ini akan mempengaruhi toksisitas
bahan polutan. Bahan paparan yang berasal dari industri biasanya masuk ke
dalam tubuh melalui kulit dan terhirup, sedangkan kejadian “keracunan”
biasanya melalui proses tertelan. Pada beberapa bahan polutan, efek toksik
yang timbul dari paparan pertama sangat berbeda bila dibandingkan dengan
efek toksik yang dihasilkan oleh paparan ulangannya (Lash, L.H., 2019).
Bahan polutan benzena pada peran pertama akan merusak sistem
syaraf pusat sedangkan paparan ulangannya akan dapat menyebabkan
leukemia. Penurunan dosis akan mengurangi efek yang timbul. Suatu bahan
polutan apabila diberikan beberapa jam atau beberapa hari dengan dosis penuh
akan menghasilkan beberapa efek. Apabila dosis yang diberikan hanya
separohnya maka efek yang terjadi juga akan menurun setengahnya, terlebih
lagi apabila dosis yang diberikan hanya sepersepuluhnya maka tidak akan
menimbulkan efek (Lash, L.H., 2019).
Efek toksik yang timbul tidak hanya tergantung pada frekuensi
pemberian dengan dosis berbeda saja tetapi mungkun juga tergantung pada
durasi paparannya. Efek kronis dapat terjadi apabila bahan kimia terakumulasi
dalam sistem biologi. Efek toksik pada kondisi kronis bersifat irreversibel. Hal
tersebut terjadi karena sistem biologi tidak mempunyai cukup waktu untuk
pulih akibat paparan terus-menerus dari bahan toksi (Lash, L.H., 2019).
 Jalur Masuk Dan Tempat Pemaparan
Jalur utama bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh manusia
adalah melalui saluran pencernaan atau gastro intestinal (menelan/ingesti,
paru-paru (inhalasi), kulit (topikal), dan jalur perenteral lainnya (selain saluran
usus/intestinal). Bahan toksik umumnya menyebabkan respon yang paling
cepat bila diberikan melalui jalur intravena. Disamping itu, jalur masuk dapat
mempengaruhi toksisitas dari bahan kimia (Lash, L.H., 2019).
Sebagai contoh, suatu bahan kimia yang didetoksifikasi di hati
diharapkan akan menjadi kurang toksik bila diberikan melalui sirkulasi portal
(oral) dibandingkan bila diberikan melalui sirkulasi sistematik (inhalasi).
Pemaparan bahan – bahan toksik dilingkungan industry seringkali sebagai
hasil dari pemaparan melalui inhalasi dan topical, sedangkan keracunan akibat
kecelakaan atau bunuh diri seringkali terjadi melalui ingesti oral (Lash, L.H.,
2019).
 Jalur Waktu dan Frekuensi Pemaparan
Durasi dan frekuensi paparan bahan polutan dapat diterangkan dengan
percobaan binatang. Pada percobaan binatang ahli toksikologi membagi
paparan akibat bahan polutan menjadi 4 kategori, yaitu akut, sub akut, sub
kronis, dan kronis. Paparan akut apabila suatu paparan terjadi kurang dari 24
jam dan jalan masuknya dapat melalui intravena dan injeksi subkutan. Paparan
sub akut terjadi apabila paparan terulang untuk waktu satu bulan atau kurang,
paparan sub kronis bila paparan terulang antara 1 sampai 3 bulan, dan paparan
kronis apabila terulang lebih dari 3 bulan (Lash, L.H., 2019).
Pada beberapa bahan polutan, efek toksik yang timbul dari paparan
pertama sangat berbeda bila dibandingkan dengan efek toksik yang dihasilkan
oleh paparan ulangannya. Bahan polutan benzena pada pertama akan merusak
sistensim saraf pusat sedangkan paparan ulangannya akan dapat menyebabkan
leukemia. Penurunan dosis akan mengurangi efek yang timbul. Suatu bahan
polutan apabila diberikan beberapa jam atau beberapa hari dengan dosis penuh
akan menghasilkan beberapa efek. Apabila dosis yang diberikan hanya
separuhnya maka efek yang terjadi juga akan menurun setengahnya, terlebih
lagi apabila dosis yang diberikan hanya sepersepuluhnya maka tidak akan
menimbulkan efek (Lash, L.H., 2019).
Penggunaan bahan kimia oleh manusia terutama sebagai bahan baku
didalam industri semakin hari semakin meningkat.walaupun zat kimia yang
sangat toksik sudah dilarang dan dibatasi pemakaiannya, seperti pemakaian
tetra-etil timbal (TEL) pada bensin, tetapi pemaparan terhadap zat kimia yang
dapat membahayakan tidak dapat dielakkan. Pemaparan bahan-bahan kimia
terhadap manusia bisa bersifat kronik atau akut. Pemaparan akut biasanya
terjadi karena suatu kecelakaan atau disengaja (pada kasus bunuh diri atau
dibunuh), dan pemaparan kronik biasanya dialami para pekerja terutama di
lingkungan industri-industri kimia (Lash, L.H., 2019).
Efek toksik dari bahan-bahan kimia sangat bervariasi dalam sifat,
organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Beberapa bahan kimia dapat
menyebabkan cidera pada tempat yang kena bahan tersebut (efek lokal), bisa
juga efek sistematik setelah bahan kimia diserap dan tersebar ke bagian organ
lainnya. Efek toksik ini dapat bersifat reversibel artinya dapat hilang dengan
sendirinya atau irreversibel yaitu akan menetap atau bertambah parah setelah
pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversibel (efek Nirpulih) di antaranya
karsinjoma, mutasi, kerusakan syaraf, dan sirosis hati. Efek toksikan reversibel
(berpulih) bila tubuh terpajan dengan kadar yang rendah atau untuk waktu
yang singkat, sedangkan efek terpulih terjadi bila pajanan dengan kadar yang
lebih tinggi dan waktu yang lama (Lash, L.H., 2019).
Di dalam ekotoksikologi komponen yang penting adalah integrasi
antara laboratorium dengan peneltian lapangan. Pendekatan eksperimental
digunakan dalam analisis bahan berbahaya yang berpotensi menimbulkan efek
dapat dikembangkan pada beberapa tingkat yang berbeda kompleksitasnya,
tergantung pada target dari studi suatu organisasi misalnya satu spesies,
populasi, komuniats atau ekosistem. Hal ini tergantung pada tipenya seperti
panjang dan pendeknya waktu kematian, khronis atau respon pada sub-
khronis, kerusakan reproduktif. Sehingga diperlukan kesepakatan diantara
kenyataan ekologi dan kesederhanaan dalam prosedur serta interpretasi hasil.
Efek toksik yang timbul tidak hanya tergantung pada frekuensi
pemberian dengan dosis berbeda saja tetapi mungkin juga tergantung pada
durasi paparannya. Efek kronis dapat terjadi apabila bahan kimia terakumulasi
dalam sistem biologi. Efek toksik pada kondisi kronis bersifat ireversibel. Hal
tersebut terjadi karena sistem biologi tidak mempunyai cukup waktu untuk
mencapai kondisi menjadi pulih akibat paparan terus menerus dari bahan
toksik.
e. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam Tubuh
Toksikologi merupakan ilmu antar bidang, yang ruang lingkup pokok
kajiannya digolongkan menjadi toksikologi lingkungan, ekonomi, dan kehakiman
( forensik ). Untuk memahami permasalahan toksikologi, diperlukan pengetahuan
tentang pemahaman terhadap asas umum toksikologi, aneka kondisi atau faktor-
faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun, mekanisme wujud sifat efek toksik
racun, tolok ukur toksikologi, dan asa umum uji toksikologi. Pada dasarnya keracunan
suatu senyawa diawali oleh masuknya senyawa tersebut ke dalam tubuh, yang
kemudian terdistribusi sampai ke sel sasaran tertentu. Selanjutnya akibat interaksi
antara senyawa dengan sel sasaran,menyebabkan terjadinya gangguan fungsi,
biokimia, perubahan struktur sel akibat dari wujud efek toksik senyawa itu, misal
teratogenik, mutagenik, karsinogenik, penyimpangan metabolik, ketidaknormalan
perilaku, dan lain sebagainya.
Efek toksik suatu racun terjadi akibat interaksi antar racun, dan tempat aksinya
secara langsung atau tidak langsung. Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik),
maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya
terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu
senyawa ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di tempat aksi, sifat zat tersebut,
kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan
bentuk efek yang ditimbulkan. Sedangkan toksisitas dapat didefinisikan sebagai
segala sesuatu dari zat kiia atau obat pada organisme target yang dapat menimbulkan
atau memiliki efek yang berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi
seharusnya dapat dilihat dari berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi,
dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia tersebut dan berbagai
kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi
interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat
dua aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia
dengan organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek
farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub bahasan
kerja toksik. Alur utama bahan toksik dapat masuk ke dalam tubuh manusia adalah
melalui saluran pencernaan atau gastrointestinal (menelan/ingesti), paru-paru
(inhalasi), kulit (topical), dan jalur parental lainnya (selain usus/intestinal).
Bahan toksik umumnya menyebabkan efek yang paling besar dan
menghasilkan respons yang palingcepat bila diberikan melaluijalur intravena. Racun
adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada tubuh baik
secara kimiawi dan biologis yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu
penyakit dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan menakisme
kerjanya dalam tubuh manusia, racun dibagi menjadi yang bekerja lokal, sistemik, dan
lokal sekaligus sistemik. Racun yang bekerja lokal dapat bersifat korosif, irritant, atau
anestetik. Racun yang bekerja sistemik biasanya mempunyai afinitas terhadap salah
satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis, asam oksalat, dan karbon
monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk misalnya arsen, asam
karbol, dan garam.
Racun kimia adalah zat tertentu yang memiliki efek merugikan pada jaringan
manusia, organ, atau proses biologi. Sedangkan toksisitas merujuk pada sifat sifat zat
kimia yang menggambarkan efek sampingyang mungkin dialami manusia akibat
kontak kulit atau mengkonsumsinya. Efek dari toksik pada manusia
dapatdiklasifikasikan sebagai efek akut dan efek kronis. Jika ada respon yang cepat
dan serius dengan dosis tinggi tapi berumur pendek dari racun kiia maka disebut efek
akut. Racun akut akan mengganggu proses fisiologis yang menyebabkan berbagai
gejala gangguan, dan bahkan menyebabkan kematian jika gangguan tersebut cukup
parah. Efek kronis cenderung menghasilkan racun dengan dosis rendah selama
periode yang relatif lama (Lash, L.H., 2019).
Toksisitas akut relatif mudah untuk mengukur. Efek racun pada toksisitas akut
bersifat jelas dan cukup tinggi pada tingkat cukup konsisten fungsi tubuh, di individu
dan spesies. Untuk bahan kimia yang berbeda, tingkat ini sangat bervariasi. Di
beberapa tingkat hampir semuanya beracun, dan perbedaan antara beracun dan non
beracun adalah masalah derajat. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat
keracunan toksik terhadap tubuh yaitu Faktor Biotik dan Faktor Abiotik (Lash, L.H.,
2019).
1. Faktor Biotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam Tubuh
a. Jenis Kelamin
Pada umumnya racun pestisida atau racun lainnya lebih tahan kepada jenis
kelamin wanita daripada yang berjenis kelamin laki– laki. Hal ini
dikarenakan yang berjenis kelamin wanita biasanya memiliki lemak yang
lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin laki– laki, sehingga bahan–
bahan racun dapat terikat dalam lemak (Lourrinx, E. et al., 2023).
b. Umur
Kaum lanjut usia dan anak– anak biasanya lebih peka terhadap racun
daripada usia orang– orang dewasa. Jadi biasanya pada saat sakit anak– anak
diberi dosis obat yang lebih rendah ari usia dewasa. Selain itu masalah yang
paling bahaya yatu tentang Cd seperti menghirup debu halus cadmium yang
dapat menyebabkan peneumonitis, pembengkakakn paru– paru (pulmonary
edema) dan kematian (Lourrinx, E. et al., 2023).
c. Berat badan dan ukuran
Semakin tinggi dosis obat atau racun dan semakin besar atau berat hewan
merupakan prinsip dari farmakologi. Untuk ukuran kg per berat badan
bisanya diukur menggunakan ukuran dosis seperti LD50. Dari hasil penelitian
yang dilakukan pada serangga, menujukkan bahwa semakin besar ukuran
badan atau semakin berat badan dari serangga maka semakin tinggi dosis
yang digunakan, hal ini dimaksudkan bahwa dosis yang dibutuhkan akan
semakin tinggi apabila tinggi berat badan hewan semakin berat. Semakin
beracun bahan kimia tersebut, makan semakin rendah LD50 makan paparan
terhadap manusia pun semakin parah. Pada seseorang yang mengalami
penyakit Alzheimer akan meningkat pada unsur tembaga bebas (Lourrinx, E.
et al., 2023).
d. Makanan
Cacing Trichinella spp. dan Tanea spp. yang menyebabkan penyakit– peyakit
seperti Trichinelosis dan Taeniasis. Cacing- cacing tersebut dapat hidup
dalam daging babi, dikenal dengan sebtan cacing babi, sedangkan cacing
yang hidup dalam daging sapi adalah Taenia spp. dikenal dengan sebutan
cacing sapi. Seseorang akan menjadi kurus dan tidak sehat apabila
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi, sehingga dapat
terkenan serangan pathogen penyakit atau zat racun (Lourrinx, E. et al.,
2023).
e. Kesehatan
Potensialitas racun yang dimakan dapat ditentukan oleh kesehatan seseorang
juga. Bisanya orang yang sehat lebih tahan terhadap racun dibandingkan
dengan orang yang tidak sehat (lemah). Kekurangan vitamin A, dapat
dihubungkan dengan kerancunan arensik, sehingga dapat mengakibatkan buta
malam (night blindes) (Lourrinx, E. et al., 2023).
f. Faktor intrinsik makhluk hidup
Kardiovaskuler merupakan suatu sistem yang kompleks melibatkan beberapa
organ utama yaitu jantung, pembuluh darah, ginjal, maupun sistem saraf
pusat dan otonom.. Selain faktor keadaan fisiologis diatas, terdapat beberapa
uraian tentang keadaan fisiologis yang belum tercakup dalam uraian tersebut
meliputi:
 Kapasitas Fungsional Cadangan
Pada dasarnya untuk melakukan berbagai fungsi, aneka ragam
organ tubuh memiliki kapasitas cadangan untuk melakukan keseluruhan
fungsinya. Untuk mengukur fungsi organ tersebut biasanya melibatkan
satu atau lebih bentuk uji terhadap kerusakan pada organ hidup yang
disebabkan oleh zat kimia. Karena telah dinyatakan bahwa sebagian
besar organ dapat dirusak sebelum kapasitas cadangannya berkurang
cukup banyak untuk mendorong terjadinya gangguan fungsionalnya,
maka mungkin sekali terjadi bahwa uji fungsi yang dilakukan tidak akan
memperlihatkan kerusakan karena zat kimia yang sedikit.
Sepanjang organ tersebut masih mempertahankan kapasitas
(kelebihan) cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya, maka
organ melangsungkan fungsinya pada tingkat maksimal. Pada berbagai
daerah diseluruh organ itu, kadar akhir terkait zat kimia besarnya
berbeda beda. Untuk tidak bermateri, untuk meningkat, atau
menghambat perpindahan zat kimia yang dimaksud melewati organ, hal
ini tergantung atas kemampuan membrannya. Jika pada satu kesempatan
organ tersebut dicerca dengan kadar toksis minimal suatu zat kimia
asing, maka diharapkan untuk tidak akan memperlihatkan keseluruhan
toksisitasnya, selama jangka waktu yang panjang akan menimbulkan
suatu akibat cercaan yang berkesinambungan oleh kadar zat kimia yang
sama. Misalnya dengan cara pemedahan atau secara kimia 50 % hati
anjing dapat dirusak.
Paling tidak dalam memenuhi persyaratan minimalnya, anjing
dapat bertahan hidup karena sisa hati yang 14 tidak terusak oleh zat
kimia dapat melakukan fungsi normal. Karena organ memiliki kapasitas
fungsi cadangan yang hanya digunakan dalam kondisi mendesak maka
keadaan tersebut dapat terjadi. Keadaan ini dapat merugikan jika
dipandang dari segi toksikologi. Mengapa demikian? Ketoksikan racun
dapat ditutupi karena adanya fungsional cadangan. Sebagai contoh
Seseorang terpapar dengan Aflatoksin B1 yang mencemari makanan,
maka kemungkinan wujud efek toksik aflatoksik yaitu nekrosis sel hati,
yang pada awalnya tidak nampak dan tidak terdeteksi.
Hal ini dikarenakan berfungsinya hati secara normal sebagai
kapasitas fungsional cadangan menyebabkan berbagai gejala klinis tidak
nampak. Efek toksik aflaktoksin tersebut akan nampak apabila kerusakan
sudah meluas dan menyebabkan kapasitas fungsional cadangan hati tidak
dapat menopang fungsi normal hati kembali. Sehingga jelas bahwa
kapasitas cadangan akan menutupi ketoksikan suatu racun.
 Penyimpanan Racun Dalam Diri Makhluk Hidup
Bila zat kimia masuk kedalam sistem sirkulasi, maka zat itu harus
dieliminasi dari sistem sirkulasi itu sebelum makhluk hidup bebas dari
zat kimia. Apabila zat kimia tersebut ada sebagai gas pada suhu tubuh
dalam bentuk larutan, maka zat tersebut akan muncul didalam udara
yang dihembuskan pada pernafasan makhluk hidup, dan bila merupakan
suatu senyawa yang tak menguap, maka mungkin melalui sistem
kencing, keringat, ataupun ludah yang melibatkan ekskresi oleh ginjal.
Zat kimia yang di metabolisme dan dideposit didalam lemak mengalami
rentang kehidupan yang pendek dalam darah dan jaringan tak berlemak.
Hal ini terjadi karena zat kimia yang berada didalam darah dengan
segera mengalami perubahan menjadi bentuk takanestesia dan sisanya
dideposit didalam lemak. Kemudian agar darah tetap secara esensial
bebas dari kadar efektifnya maka zat kimia segera diubah menjadi
bentuk obat tak aktif pada saat obat menyebar dari lemak kedalam darah
Pada umumnya pemejaan tunggal suatu organisme eksperimental dengan
zat kimia tertentu menghasilkan pengambilan zat kimia tersebut oleh
organisme dan selanjutnya terjadi eliminasi dari organisme itu.
Mekanisme, pengikatan, dan penyimpanan yang tersedia bagi zat kimia
tersebut didalam organisme akan mempengaruhi laju eliminasi oleh zat
kimia tersebut.
Di dalam tubuh terdapat gudang penyimpanan senyawa yang
masuk kedalam tubuh misalnya protein, lemak, dan tulang. Bagi racun
yang bersifat sangatlipofil dan tidak atau sulit 15 termetabolisme,
cenderung ditimbun dalam jaringan yang kaya akan lemak, sehingga
racun akan sulit dikeluarkan dari tubuh. Selain itu karena mobilisasi
racun dari gudang penyimpanan ke sirkulasi darah, memungkinkan
terjadinya pelepasan racun dan meyebar ke tempat aksi tertentu.
Efek toksik yang tidak diharapkan akan terjadi apabila kadar
racun di tempat aksi melebihi harga KTMnya. Keadaan ini dapat terjadi
bila gudang penyimpanan telah terpenuhi oleh racun, mengingat
makanan dikonsumsi setiap hari sehingga memungkinkan terjadinya
akumulasi racun dalam gudang penyimpanan. Contoh klasiknya ialah
penumpukan insektisida DDT dan senyawa pelunak dietilftalat. Kecuali
lemak, tempat pengikatan tak khas atau gudang penyimpanan lainya
adalah tulang, enzim, dan protein. Tempat deposisi, adsorpsi dan reaksi
zat kimia ini, membatasi kemampuan tubuh untuk mengekskresikan
racun dari tubuh. Oleh karena itu penyimpanan racun di dalam tubuh
dapat mengurangi atau meningkatkan ketoksikan racun.
g. Faktor Genetika
Enzim, reseptor, atau protein dapat berupa tempat aksi racun. Tempat
aksi racun dapat berupa enzim, reseptor, atau protein. Menurut ciri khas
model genetika masing-masing anggota populasi makhluk hidup Enzim dan
protein nirenzim ada di dalam tubuh, maka apabila kekurangan jumlah atau
ketidaksempurnaan molekul enzim dapat menyebabkan cacat genetika dalam
anggota suatu jenis makhluk hidup. Ketoksikan racun dapa berdampak
negatif atau positif akibat adanya cacat genetika ini. Misalnya racun di dalam
tubuh oleh enzim dimetabolisme menjadimetabolit yang kurang toksik
daripada zat kimia induknya. Bila suatu makhluk hidup mengalami cacat
genetika, ketidak-sempurnaan molekul enzim yang terlibat dalam
metabolisme racun menyebabkan terbentuknya metabolit tak toksik jauh
lebih sedikit daripada yang terbentuk pada individu normal (Lourrinx, E. et
al., 2023).
Akibatnya makhluk hidup tersebut akan lebih rentan terhadap ketoksikan
racun. Dalam hal ini, cacat genetika memberikan dampat negatif. Sebaliknya
apabila metabolit racun yangterbentuk bersifat toksik, maka makhluk hidup
tersebut justru akan terhindar dariketoksikan racun. Karena jumlah metabolit
toksik yang terbentuk jauh lebihsedikit daripada individu normal. Dalam hal
ini, cacat genetika berdampak positif. Cacat genetika pada sistem
pemetabolisme xenobiotika atau tempat aksitertentu, memungkinkan
timbulnya dampak negatif bagi individu terhadap ketoksikan racun (Lourrinx,
E. et al., 2023).
Hal ini dapat terjadi karena penumpukan xenobiotika ataupun perubahan
kerentanan tempat aksi racun. Jadi akibat dari cacat genetika dapat
berdampak negative atau positif bagi individu terhadap ketoksikan racun.
Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan individu
resisten terhadap ketoksikan suatu racun. Sebaliknya dikatakan berdampak
negatif bila cacat genetika menyebabkan individu lebih rentan terhadap
ketoksikan racun tertentu (Lourrinx, E. et al., 2023).
2. Faktor Abiotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam Tubuh
Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi toksisitas racun dalam
tubuh adalah sebagai berikut:
a. Suhu
Secara umum, kecepatan reaksi kimia menjadi dua kali lipat dengan
meningkatnya suhu sebesar 100C meskipun dalam kenyataannya
peningkatan suhu tersebut tidak hanya dua kali lipat, tetapi ada yang tiga
bahkan empat kali lipat. Dilaporkan juga bahwa memasak buncis merah
dengan suhu 800C akan meningkatkan toksisitas racun lektin lima kali
lebih tinggi dari kacang segar. Bakteri dapat dikelompokkan dalam empat
kategori menurut suhu pertumbuhannya, yaitu bakteri psikrofil yang hidup
pada suhu rendah (0-200C), seperti Flavobacterium sp., psikrotrof pada
suhu 20-400C seperti Listeria sp., mesofil pada suhu 40-60 0C seperti
Escherichia sp. dan termofil yang hidup pada suhu 60-80 0C seperti
Thermus sp. Manakala suatu jenis bakteri hidup pada suhu yang berbeda
dengan suhu normal untuk pertumbuhannya, maka sifat racunnya akan
menjadi tawar ataupun hilang sama sekali (Dewata, I., & Danhas, Y. H.,
2023).
b. Kelembaban
Mikotoksin yang berasal dari makanan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia di negara negara sedang berkembang beriklim tropis
adalah fumonisins dan aflatoxins tetapi kurang di negara-negara yang tidak
beriklim tropis. Hal ini disebabkan oleh karena jamur-jamur Aspergillus sp
dan jamur-jamur lainnya berkembang dengan baik di daerah yang
memiliki kelembaban dan suhu tinggi. Pada umumnya jamur akan
berkembang dengan baik pada kelembaban yang tinggi tetapi sulit
berkembang bila kelembaban rendah atau kering (Dewata, I., & Danhas, Y.
H., 2023).
c. Curah Hujan
Curah hujan akan mempengaruhi toksisitas racun terutama pestisida
bila diaplikasikan untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman
pertanian. Bila sesudah penyemprotan terjadi hujan, maka deposit pestisida
akan diencerkan oleh adanya tambahan air sehingga konsentrasi racun
berkurang atau racun tersebut tercuci dan jatuh ke tanah. Air hujan dapat
engencerkan senyawa-senyawa racun dalam tanah (Dewata, I., & Danhas,
Y. H., 2023).
h. Cahaya
Kebanyakan hewan biasanya aktif pada waktu siang tetapi tidak aktif
pada waktu malam (nocturnal). Contohnya ular Malaya, Bungarus
candidus adalah yang paling mematikan dalam spesies ini. Ular ini bersifat
sangat agresif bila dalam gelap untuk menghasilkan racun yang sangat
mematikan bagi saraf.
i. Angin
Sama halnya dengan air hujan, maka angin akan mempengaruhi racun
pestisida bila diaplikasikan dalam cuaca berangin. Butiran-butiran atau
cairan pestisida yang disemprotkan ke tanaman akan diterbangkan oleh
angin dan secara langsung mengencerkan konsentrasi atau dosis pestisida
(Dewata, I., & Danhas, Y. H., 2023).
j. Faktor-faktor Kimia/Fisika
Di lingkungan kita terdapat berbagai macam bahan kimia yang tanpa
kita sadari secara langsung atau tidak langsung akan memberi pengaruh
terhadap tubuh kita. Dari banyaknya bahan kimia yang ada, kandungan
senyawa kimia yang satu dengan yang lain dapat dibedakan dengan
melihat sifat kimia-fisika dan struktur kimianya. Contohnya metanol dan
etanol. Kedua senyawa ini sama turunan dari alkohol dan memiliki sifat
fisika dan kimia hampir sama salah satunya yaitu cairan tidak berwarna
dah mudah menguap, tetapi efek toksik yang dihasilkan antara keduanya
lebih toksik metanol. Struktur kimia dari metanol CH3OH dan etanol
C2H5OH.
Adapun beberapa faktor kimia/fisika yang dapat mempengaruhi toksik
antara lain:
1. Oksigen
Semua hewan dan tumbuhan bertumbuh dan berkembang
dalam kondisi aerob dimana terdapat kadar oksigen yang cukup.
Tanpa oksigen mereka akan mati. Namun terdapat mikroorganisme
seperti bakteri Clostridium botulinum yang hanya dapat hidup dan
menghasilkan racun botulism dalam kondisi anaerob atau tanpa
oksigen. Meskipun bakteri inimungkin dapat hidup dalam kondisi
oksigen yang sangat minim, tetapi hanya dapat menghasilkan racun
dalam kondisi yang benar-benar tanpa oksigen (Dewata, I., & Danhas,
Y. H., 2023).
2. Ionisasi
Di dalam tubuh terdapat aneka ragam membran biologi yang
merupakan penghalang bagi translokasi zat beracun yang memiliki
sifat fisika-kimia yang khas. Senyawa yang tak polar (misalnya
etanol), ternyata mampu melintas semua membran biologi dengan
cepat. Ketidakpolaran suatu senyawa, salah satunya ditentukan oleh
tingkat ionisasinya di dalam larutan. Karena itu, tingkat ionisasi racun
dalam larutan merupakan salah satu penentu kemampuannya melintas
membran dan translokasinya dalam tubuh. Sebagian besar toksik
berupa asam atau basa organik lemah. Karena itu, hanya bentuk tak-
terionkan saja yang mudah larut di dalam lipid sehingga
translokasinya di dalam tubuh akan lebih mudah (Dewata, I., &
Danhas, Y. H., 2023).
3. pH
Kebanyakan racun berfungsi dalam kondisi pH normal yaitu 6-7,5.
Namun terdapat patogen mokroorganisme yang aktif dan
menghasilkan racun pada kondisi asam, yaitu pada pH dibawah 4,5
atau sebaliknya pH di atas 7,5 dalam kondisi basa. Namun bakteri
Salmonela sp. yang sangat beracun pada manusia biasanya tumbuh
pada suhu optimum 370C tetapi dapat juga tumbuh sampai pada suhu
540C serta dapat tumbuh dalam makanan pada suhu 2-40C dengan pH
optimum 6,5 sampai dengan 7,5 (Dewata, I., & Danhas, Y. H., 2023).
4. Formulasi racun
Faktor yang penting terutama untuk jenis pestisida yang digunakan
dalam pengendalian hama atau vektor penyakit adalah formulasi
racun tersebut. Pestisida biasanya diformulasi dalam bentuk debu,
granular atau pelet, tepung, tepung embus, pekatan emulsi, cairan
yang dapat mengalir, perekat, aerosol, fumigan, campuran pestisida
dengan pupuk, dan lain sebagainya. Bentuk debu dan gas sering jauh
lebih membahayakan bagi kesehatan manusia daripada bentuk-bentuk
lainnya. Debu dan gas kadmium contohnya. Akan sangat
membahayakan kesehatan manusia yaitu dapat mengakibatkan
peneumonia dan pembengkakan paru-paru (Dewata, I., & Danhas, Y.
H., 2023).
Demikian halnya dengan debu kromium yang dapat mengakibatkan
kanker bagi para pekerja dalam pabrik pabrik yang menggunakan
kromium. Lain halnya dengan pestisida bentuk cair yang harus lewat
mulut atau kulit untuk dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.
Tungau debu rumah, Dermatophagoides sp. dapat mengakibatkan
alergi atau dermatitis pada manusia. Rumah-rumah yang berdebu dan
yang kurang dibersihkan akan mengumpulkan debu dan menjadi
sarang bagi pertumbuhan dan perkembangan tungau debu rumah
(Dewata, I., & Danhas, Y. H., 2023).
3. Contoh Sampel Toksikologi pada Korban Penyalahgunaan Narkotika
Kasus penyalahgunaan narkotika semakin meningkat. Toksikologi forensik
mempelajari tentang ilmu dan aplikasi toksikologi untuk kepentingan hukum.
Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif
maupun kuantitatif dari racun. Untuk memperoleh hasil pemeriksaan yang dapat
dipertanggung jawabkan, maka syarat-syarat pengambilan, pemilihan,
penyimpanan, dan pengiriman sampel toksikologi ke laboratorium harus dipenuhi
dan benar-benar diperhatikan. Hal ini penting karena setiap obat memiliki
stabilitas yang berbeda-beda sehingga nantinya akan mempengaruhi hasil analisis
racun baik pada korban hidup maupun pada jenazah (post mortem) (Manela,
2015).
 Darah
Pada penyimpanan yang tidak begitu lama maka penyimpanan yang
direkomendasikan adalah pada kulkas suhu 40C, jika butuh waktu yang lama
(lebih dari 2 minggu) maka disimpan pada freezer suhu 20 0C. Kematian
bakteri akan terjadi sangat cepat pada suhu –20 0C dan terjadi lambat pada
suhu 40C. Pada suhu yang rendah enzim juga inaktif.
Pengawetan secara fisik adalah suhu yang rendah. Pada suhu yang
rendah mikroorganisme dan enzim akan inaktif. Hidrolisis morfin menjadi
morphine 3 glucoronide dan morphine 6 glucoronide meningkat dengan
peningkatan suhu dan lama penyimpanan. Penyimpanan sampel darah
postmortem pada suhu – 200C mencegah terjadinya hidrolisis glucoronide.
Pada penyimpanan di freezer (suhu – 200C) akan membunuh bakteri dengan
cepat. Sedangkan penyimpanan dikulkas (suhu 40C) akan membunuh bakteri
tetapi lebih lambat. Oleh sebab itu penyimpanan untuk waktu yang lebih
lama (lebih dari 2 minggu) penyimpanan di freezer direkomendasikan. Enzim
juga akan inaktif pada suhu 40C tetapi sifatnya reversibel. Sehingga jika
terjadi kenaikan suhu maka enzim akan aktif Kembali.
 Urin
Untuk kasus korban hidup, urine diambil yaitu urine pancar tengah, disimpan
di botol plastik steril dengan pengawet natrium florida. Sampel urine berisfat
lebih stabil dibanding darah. Penyimpanan disuhu ruangan masih
memungkinkan, tetapi lebih baik jika disimpan dikulkas suhu 40C.
 Rambut
Untuk sampel rambut cukup disimpan di suhu ruangan dalam keadaan bersih
dan kering.

Contoh pada jenis narkotikanya:

 Phencyclidine
PCP merupakan obat yang relatif stabil dari beberapa penelitian.
Penyimpanan PCP pada suhu ruangan akan stabil hingga 18 bulan.
Walaupun begitu penurunan signifikan konsentrasi PCP pernah
dilaporkan pada sampel darah yang telah diberikan pengawet yang
disimpan disuhu ruangan selama 5 tahun. PCP pada sampel darah
yang ditambahkan natrium florida akan stabil selama 3 tahun
sedangkan jika tidak ditambahkan natrium florida akan stabil selama
1 tahun.
 Ganja
THC (ganja) akan mengalami penguraian jika terkena udara, panas
dan cahaya. Ganja akan mengalami hidrolisis menjadi cannabidiol
atau dioksidasi menjadi cannabinol sebagai hasil kontak dengan udara
atau kondisi asam. THC dilaporkan stabil dikulkas selama 6 bulan dan
disuhu ruangan selama 2 minggu. Ikatan THC dengan zat yang larut
air seperti bahan kontainer dan tutup tabung dari karet harus
diperhatikan. Contohnya sampel darah yang mengandung THC
disimpan ditabung kaca stabil selama 4 hari disuhu ruangan dan 4
minggu di suhu – 200C. Sampel yang sama disimpan pada tabung
berbahan polystyrene menunjukkan penurunan konsentrasi 60-100%.
Urine diberi pengawet natrium florida 1%. Studi ini menggunakan
tabung kaca untuk penyimpanan sampel urine.
 Kokain
Kokakin mempunyai stabilitas yang sangat buruk karena transformasi
kimia dan enzimatik yang menghasilkan produk hidrolisis. Konversi
spontan kokain menjadi benzoylecgonine terjadi karena kenaikan pH.
Pada pH 5 tidak terjadi penurunan konsentrasi kokain setelah 21 hari
dibandingkan pada pH 8 terjadi penurunan konsentrasi 40-70%.
Kesimpulan

Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-
zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian
secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di
timbulkannya. Efek merugikan/ toksik pada sistem biologis dapat disebabkan oleh
bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya cocok untuk
menimbulkan keadaan toksik Respon terhadap bahan toksik tersebut antara lain
tergantung kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan, kerentanan sistem biologis,
sehingga bila ingin mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus mengetahui
macam efek yang timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan mengenai
paparan dan sasarannya. Di dalam ekotoksikologi komponen yang penting adalah
integrasi antara laboratorium dengan peneltian lapangan.
Daftar Pustaka

[1].Gupta, R. et al. (2022) ‘Factors influencing drug toxicity’, in


Pharmacokinetics and Toxicokinetic Considerations. Elsevier, pp. 27–50.
[2].Hayes, A.W. and Kobets, T. (2023) Hayes’ principles and methods of
toxicology. Crc Press. Honary, S. and Zahir, F. (2013) ‘Effect of zeta potential
on the properties of nano-drug delivery systems-a review (Part 2)’, Tropical
journal of pharmaceutical research, 12(2), pp. 265–273.
[3].Lash, L.H. (2019) ‘Environmental and genetic factors influencing kidney
toxicity’, in Seminars in Nephrology. Elsevier, pp. 132 140.
[4].Lourrinx, E. et al. (2023) Toksikologi Lingkungan. Global Eksekutif
Teknologi. Timbrell, J.A. (2008). Principles of biochemical toxicology. CRC
press
[5].Dewata, I., & Danhas, Y. H. (2023). Toksikologi Lingkungan. PT.
RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers.
[6].Manela, C., 2015. Pemilihan, penyimpanan dan stabilitas sampel toksikologi
pada korban penyalahgunaan narkotika. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1).

Anda mungkin juga menyukai