Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

PENANGANAN HASIL PERIKANAN


PENGUJIAN KUALITAS BAHAN BAKU I:
UJI ORGANOLEPTIK IKAN SEGAR DAN PROSES RIGOR MORTIS

Disusun Oleh:
Diva Faza Falah Andri
19/445896/PN/16411

LABORATORIUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN IKAN


DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
I. PENDAHULUAN
1. TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang besa di sektor perikanan
dan kelautan. Menurut Food and Agricultural Organization (2000) ada sekitar 1 miliar
orang di seluruh dunia yang bergantung pada ikan sebagai sumber utama protein
hewani. Menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 4 menyebutkan
bahwa ikan adalah jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada pada lingkungan perairan. Hasil perikanan di Indonesia tidak hanya dikonsumsi
untuk pemenuhan kebutuan dalam negeri tetapi juga luar negeri. Pada September 2016,
diketahui bahwa jenis ekspor hsil perikanan antara lain molluska sebesar 10%, ikan
hidup sebesar 2%, ikan segar atau dingin sebesar 5%, ikan beku sebesar 13%, fillet
ikan sebesar 15%, ikan kering sebesar 2%, krustasea sebesar 52%, dan invertebrata
selain molluska dan krustasea sebesar 1% (Sirait, 2016). Keberagaman komoditi
ekspor tersebut harus diimbangi dengan penanganan hasil perikanan yang baik.
Peningkatan permintaan akan hasil perikanan tentu harus diimbangi dengan
penjagaan kualitas mutu ikan. Penting untuk diketahui tahapan atau proses penurunan
mutu ikan, parameter ksegaran ikan, dan cara pencegahannya agar didapatkan ikan
yang segar. Ikan berkualitas baik maksudnya hasil perikanan yang diterima konsumen
berada pada kondisi terbaiknya yaitu dengan kesegaran yang hampir sama dengan
sesaat setelah ditangkap atau dipanen. Jika dapat mengetahui tahapan penurunan mutu
maka segala macam penurunan mutu bisa bisa dicegah sehingga mutu ikan terjaga.
Sebab penurunan mutu ikan tidak hanya memberi dampak dari segi visual namun juga
akan aspek kimia. Secara visual atau organoleptik, ikan yang mengalami kemunduran
mutu tentu akan berubah penampakannya seperti berlendir, pucat, dan lembek. Secara
kimiawi, penurunan mutu ikan akan berhubungan erat dengan tumbuhnya bakteri serta
terbentuknya senyawa-senyawa kimia penyebab alergi bahkan beracun.
Pengawasan mutu hasil perikanan dilakukan dengan diterbitkannya standar yang
tertera dalam SNI 2729:2013. Pada standar tersebut, pengamatan kesegaran ikan
dilakukan dengan menilai parameternya. Parameter kesegaran ikan antara lain mata,
daging, insang, lendir permukaan badan, bau, dan tekstur. Badan Standardisasi
Nasional Indonesia memberikan jaminan mutu dan kemanan pangan komoditas ikan
segar sehingga dapat dipasarkan di dalam dan luar negeri.
2. TUJUAN
1. Melakukan pengamatan indikator kesegaran ikan secara organoleptik
2. Membandingkan ikan segar dengan ikan tidak segar
3. Melakukan pengamatan indikator kesegaran ikan (pH dan tekstur) selama proses
rigor mortis
4. Membandingkan tingkat kesegaran ikan selama proses rigor mortis
3. WAKTU DAN TEMPAT
Hari/tanggal : Selasa, 2 Maret 2021
Waktu : 13.30 - selesai
Tempat : Laboratorium Teknologi Pengolahan Ikan

II. METODE PRAKTIKUM


1. ALAT DAN BAHAN
 Pengamatan Organoleptik Ikan Segar
Alat : Pisau dapur, Talenan kayu/plastik, Timbangan digital,styrofoam, lakban,
lembar penilaian sensoris
Bahan : lkan

 Pengujian p H
Alat : pH meter, timbangan digital, pisau dapur, blender, beker glass
Bahan : aquades, buffer pH 4, buffer pH 7.

 Pengamatan Fase Rigor Mortis


Alat : Kain lap, Styrofoam papan, Score sheet SNI 01-2729-2013, jarum
Bahan : Sampel ikan lele dan nila
2. CARA KERJA
 Pengamatan Organoleptik Ikan Segar
 Pengujian pH
 Uji pH dengan pH meter

 Uji pH dengan Indikator Universal

 Prosedur Pengamatan Fase Rigor Mortis


III. HASIL PEMBAHASAN
1. PEMBAHASAN
Kemunduran mutu ikan adalah hal yang pasti terjadi. Sebelum mengetahui
pencegahan kemunduran mutu ikan, perlu diketahui fase-fase kemunduran mutu ikan.
Fase kemunduran mutu ikan dapat dibagi menjadi 3 yaitu pre-rigor, rigor mortis, dan
post-rigor. Fase pre-rigor adalah fase dimana terjadi perubahan pertama setelah ikan
mati yang ditandai dengan otot-otot ikan melemas sehingga ikan mudah dilenturkan
(Rozi, 2018). Secara biokimia, fase pre rigor ditandai dengan penurunan kadar ATP
dan kreatin fosfat karena penurunan kadar oksigen dalam darah sehingga kegiatan
metabolisme yaitu glikolisis yang pada mulanya aerob menjadi anaerob sehingga ATP
tidak terbentuk (Stroud, 2001). Fase rigor mortis adalah fase ketika tubuh ikan
mengalami perubahan menjadi kaku. Secara biokimia, Menghilangnya kelenturan ini
terjadi karena aktomiosin yang lambat terbentuk di awal menjadi cepat di tahap
selanjutnya (Rozi, 2018). Sebagai proses lanjutan dari pre-rigor, kadar ATP yang
menurun menyebabkan tidak ada energi untuk ikan bergerak lalu terbentuk aktomiosin
permanen yang menyebabkan ikan menjadi kaku (Stroud, 2001). Fase post-rigor
adalah fase permulaan pembusukan. Pada fase ini, tubuh ikan yang mulanya kaku
kembali melunak karena terjadi autolisis, pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan
(Rozi, 2018). Pada fase post-rigor, bakteri memegang peranan penting perusakan ikan.
Senyawa-senyawa hasil dari proses autolisis menjadi medium yang tepat untuk
pertumbuhan bakteri (Yunizal dan Wibowo, 1998).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengetahui ikan berada di fase apa, perlu
diketahui parameter-parameter kesegaran mutu ikan. Parameter kesegaran mutu ikan
dapat ditentukan secara fisika, kimia, biologi, dan organoleptik (Vatria, 2020). Ikan
segar memiliki ciri-ciri mata jernih, kornea bening, pupil hitam, mata cembung, dan
insang merah segar (Suprayitno, 2020). Ikan segar memiliki daging yang elastis dan
berwarna cerah, serta ketika ditekan tidak menimbulkan bekas permanen (Suprayitno,
2020). Ikan yang sudah tidak segar akan memiliki insang yang berwarna keabu-abuan,
berlendir, dan bau (Suprayitno, 2020). Sedangkan pada ikan segar, sisik melekat kuat,
mengkilap, tertutup lendir jernih, dan memiliki aroma khas ikan segar (Suprayitno,
2020). Menurut (Riyanto et al., 2009), ikan segar memiliki ciri-ciri bola mata
menonjol, warna bola mata merah cerah, kenampakan cemerlang mengkilat, daging
masih utuh, dan bagian perut masih utuh, mata bening, kornea jernih, pupil hitam dam
menonjol, insang berwarna kemerahan dan tidak berlendir, bau spesifik ikan segar, dan
tekstur daging pejal yang ditandai dengan tidak adanya bekas ketika ditekan dengan
jari.
Tingkat kesegaran ikan yang diharapkan diterima oleh konsumen berada di fase
pre-rigor. Upaya yang dapat dilakukan pertama kali yaitu pembersihan ikan.
Pembersihan ikan berpa penyiangan dan pencucian. Pada ikan-ikan berukuran besar
seperti tuna perlu dilakukan penyiangan dengan membuang insang, sirip, dan isi perut
(Dinas Kelautan dan Perikanan, 2016). Pada saat menyiangi ikan, penanganan harus
tepat agar tidak melukai daging ikan. Ikan dapat dicuci dengan air laut karena ikan
yang dicuci dengan air laut tidak cepat busuk dibandingkan dengan ikan yang dicuci
dengan air tawar (Lokollo dan Mailoa, 2020). Dalam praktiknya, air laut harus
ditampung terlebih dahulu sebelum digunakan (Lokollo dan Mailoa, 2020). Air yang
digunakan untuk mencuci harus memenuhi syarat mikrobiologis yaitu bebas bakteri
patogen (Kapisa et al., 2014). Air sebaiknya terlebih daluhu mengalami proses
klorinisasi untuk mencegah penurunan mutu (Kapisa et al., 2014). Bakteri patogen
yang ada di air antara lain Shigella, Vibrio Cholera, dan Escherichia coli (Laksmi,
1998). Upaya lainnya yaitu proses penyimpanan ikan. Menurut Litaay et al. (2017)
penanganan ikan dilakukan dengan memperhatikan sistem rantai dingin dengan
mengutamakan aspek saniasi dan higiene. Sistem rantai dingin dipertahankan dengan
menjaga suhu berada di temperatur dingin atau di sekitar 0 ℃ bahkan kurang serta
mempertahankan jumlah es dan memastikan ikan tidak terkena sinar matahari (Lokollo
dan Mailoa, 2020). Sistem rantai dingin meliputi chilling, icing, dan freezing. Icing
adalah proses peng-es-an dimana ikan ditutupi dengan es untuk mempertahankan suhu
ikan dalam keadaan dingin. Macam-macam jenis peng-es-an yaitu shelfing, bulking,
dan boxing. Shelfing dilakukan dengan memberi lapisan es setebal 50 mm di atas
papan pada rak lalu menempatkan ikan dengan posisi perut di bawah dan kepala serta
ekor di atas kemudian ditutupi dengan es lagi sehingga seluruh bagian tubuh ikan
tertutupi es (Waterman, 2001). Bulking dilakukan dengan memberi lapisan es yang
tebal dibagian bawah lalu menumpuk ikan berlapis-lapis hingga penuh dan jika ada
rongga diantara ikan diberi es (Waterman, 2001). Boxing dilakukan dengan memberi
lapisan es setebal 50-70 mm kemudian diisi dengan ikan dan diberi es lagi sedalam 50-
70 mm (Waterman, 2001). Perbedaan ketiga metode terletak pada pengaturan ikan dan
es. Ikan-ikan besar akan sangat baik jika disusun secara shelfing, sedangkan ikan
sarden lebih efektif disusun dengan bulking saat di atas kapal untuk menghemat waktu.
Jika disimpan dalam waktu yang cukup lama, boxing menjadi metode yang pas.
Pendinginan atau chilling adalah proses menjaga suhu ikan berada di sekitar initial
freezing point, yaitu -0,5℃ hingga -2,8℃ (Kaale et al., 2011). Deep chilling mampu
menghambat pertumbuhan mikrobia serta memperpanjang masa simpan (Ando et al.,
2005). Superchilling mampu menghambat reaksi autolisis dan aktivitas mikrobia (Huss,
1995). Pembekuan atau freezing mampu mengurangi atau menghambat aktivitas enzim
dan mikrobia serta menjaga rasa serta nutrisi ikan lebih baik daripada metode
pendinginan (Alizadeh et al., 2007). Metode pembekuan yang disarankan adalah rapid
freezing yang salah satunya yaitu cryogenic freezing (Alizadeh et al., 2007). Jika ikan
berada dalam kondisi beku, perlu dijaga agar flutuasi suhu tidak besar sehingga tidak
terbentuk kristal es yang besar karena mampu mengurangi kualitas ikan (Sampels,
2014). Metode lain untuk menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan modified
atmosphere dan vacuum packing. Metode ini mampu menyelesaikan masalah terkait
pertumbuhan bakteri aerobic seperti Pseudomonas dan Acinetobacter serta
pertumbuhan fungi (Sivertsvik et al., 2002). Gas yang digunakan pada metode ini tidak
hanya karbondioksida namun juga nitrogen (Sampels, 2014). Selain pencucian,
penyiangan, penggunaan sistem rantai dingin, dan modified atmosphere, kesegaran
ikan dapat dijaga dengan pengawetan. Pengawetan ada berbagai macam, antara lain
penggaraman, pengeringan, pengasapan, pengalengan, fermentasi (Dinas Ketahanan
Pangan dan Perikanan Kabupaten Buleleng, 2018) dan pemberian bahan kimia.
Penggaraman dilakukan untuk menarik air dari permukaan ikan sehingga daya awet
meningkat (Moeljanto, 2009). Garam akan mengikat air pada ikan sehingga terjadi
penurunan kadar air yang menyebabkan keseimbangan dalam bahan pangan terganggu
(Marantika et al., 2020). Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air pada ikan
sehingga bakteri tidak mudah untuk tumbuh (Imbir et al., 2015). Pengasapan bertujuan
untuk menurunkan kadar air dengan tetap mendapatkan tekstur serta mampu
menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Irawan, 1997). Ikan hasil pengasapan
memiliki tekstur daging yang lebih kompak (Ghazali et al., 2014). Pengalengan adalah
cara pengawetan bahan pangan yang dipak dalam kondisi hermetis, yaitu kedap udara,
air, mikroba, dan benda asing lainnya, dalam wadah yang kemudian disterilisasi secara
komersial untuk membunuh mikroba patogen dan pembusuk (Razak dan Muntikah,
2017). Fermentasi pada ikan akan meningkatkan daya simpan karena menggunakan
aktivitas mikroorganisme yang akan memproduksi asam atau alkohol (Marantika et al.,
2020). Produk ikan yang difermentasi akan memiliki bau dan rasa yang khas
(Marantika et al., 2020). Pemberian garam berkaitan erat dengan fermentasi karena
mempengaruhi jenis mikroba yang akan tumbuh (Ijong dan Ohta, 1995). Penambahan
bahan kimia akan mempeertahankan bahan dari serangan mikroba pembusuk dan
memberikan rasa sedap, manis, dan pewarna (Razak dan Muntikah, 2017). Bahan
kimia yang biasa ditambahkan antara lain cuka, asam asetat, antioksidan, ethylene
absorbent, dan lainnya (Razak dan Muntikah, 2017).
IV. PENUTUP
1. KESIMPULAN
1. Pengamatan kesegaran ikan secara organoleptik dilakukan dengan mengamati bagian
mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau dan tekstur pada sampel ikan yaitu
ikan lele yang mati menggelepar.
2. Pada umumnya ikan segar memiliki ciri-ciri mata jernih, kornea bening, pupil hitam
dan menonjol, mata cembung, bola mata menonjol dengan warna merah cerah, insang
merah segar, daging yang elastis dan berwarna cerah, serta ketika ditekan tidak
menimbulkan bekas permanen, sisik melekat kuat, mengkilap, tertutup lendir jernih,
kenampakan cemerlang mengkilat, daging masih utuh, bagian perut masih utuh, dan
memiliki aroma khas ikan segar. Ikan yang sudah tidak segar akan memiliki mata
keruh hingga keabu-abuan serta berbentuk cekung, insang yang berwarna keabu-abuan,
berlendir, dan bau, daging kehilangan daya ikatnya dan akan menimbulkan bekas jika
ditekan. Sisik pada ikan tidak segar akan mudah terkelupas, diselimuti lendir yang
banyak dan keruh, perut ikan akan lembek, dan memiliki bau busuk.
3. Pada fase rigor mortis, pH ikan cenderung menurun atau dalam kondisi asam karena
metabolisme ikan yaitu glikolisis menjadi anaerob sehingga dihasilkan asam laktat
yang membuat pH ikan menurun. Pada fase rigor mortis ikan juga memiliki bau asam.
Tekstur ikan pada fase rigor mortis akan kaku dan keras, terlihat dari tubuh ikan yang
menjadi kaku.
4. Pada fase rigor mortis, ikan mengalami penurunan kesegaran. Pada fase pre-rigor ikan
termasuk segar lalu secara bertahap mengalami penurunan mutu yang bisa dilihat dari
parameter-parameter serta kekakuan ikan.
2. SARAN
Sebaiknya pada praktikum ke depan, ikan yang digunakan lebih bermacam-
macam sehingga bisa dibandingkan perubahan kesegaran antar ikan kaitannya dengan
spesies ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Alizadeh, E., N. Chapleau, M. De Lamballerie, dan A. Le-Bail. 2007. Effect on different
freezing process on the microconstructure of atlantic salmon (Salmo salar) fillets.
Innovation of Food Science and Technology 8 : 493-499.
Ando, M., E. Takenaga, S. Hamse, dan A. Yamane. 2005. Effect of super-chilling storage on
maintenance of quality and freshness of Kuruma Prawn. Food. Sci. Technol. Res. 10: 25-
31.
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2016. Menjaga kualitas ikan sejak penanganan saat
pendaratan. <https://dkp.jatimprov.go.id/index.php/2016/05/27/menjaga-kualitas-ikan-
sejak-penanganan-saat-pendaratan/>. Diakses pada 6 Maret 2021 pukul 23.00 WIB.
Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Buleleng. 2018. Cara pengawetan ikan
dan pengolahan ikan yang baik. <https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/cara-
pengawetan-ikan-dan-pengolahan-ikan-yang-baik-14>. Diakses pada 7 Maret 2021
pukul 11.00 WIB.
Food and Agricultural Organization. 2000. The State of World Fisheries and Aquaculture
2000. FAO, Rome, Italy.
Ghazali, .R., F. Swastawati, dan Romadhon. 2014. Analisa tingkat keamanan ikan manyung
(Arius thalassinus) asap yang diolah dengan metode pengasapan berbeda. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan 3(4): 31-38.
Huss, H.H. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. FAO Fisheries Technical
Paper No. 348.
Ijong, F.G. dan Y. Ohta. 1995. Amino Acid Composition of Bekasam, A Traditional
Fermnted Fish Sauce From Indonsia. Laboratory of Microbial Biochemistry. Hiroshima
University.
Imbir, E., H. Onibala, dan J. 2015. Pongoh. Studi pengeringan ikan layang (Decapterus sp.)
asin dengan penggunaan alat pengering surya. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan
3(1): 13-18.
Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Penerbit CV. Aneka Solo.
Kaale, L.D., T.M. Eikevik, T. Rustad, dan K. Kolsaker. 2011. Superchilling of food: a review.
Journal of Food Engineering 107: 141-146.
Kapisa, N.E., S.M. Timbowo, dan H.W. Mewengkang. 2014. Bakteri Escherichia coli pada
air pncuci ikan di pasar bahu manado. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan 2(2): 68-
70.
Laksmi, B.J. 1988. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Penerbit Kanisius. IPB Bogor. Bogor.
Litaay, C., S.H. Wisudo, J. John Haluan, dan B. Harianto. 2017. Pengaruh perbedaan metode
pendinginan dan waktu penyimpanan terhadap mutu organoleptik ikan cakalang segar.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 9(2): 717-726.
Lokollo, E. dan M.N. Mailoa. 2020. Teknik penanganan dan cemaran mikroba pada ikan
layang segar di pasar tradisional kota ambon. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia 21(3): 103-111.
Marantika, N.A., S. Haryati, dan Sudjatinah. 2020. Konsentrasi garam terhadap sifat kimia,
fisik, dan organoleptik bekasam ikan kurisi (Nemipterus nemathophorus). Jurnal
Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian 15 (1): 40-46.
Moeljanto. 2009. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Razak, M. dan Muntikah, 2017. Bahan Ajar Gizi Ilmu Teknologi Pangan. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Riyanto, I., W. Abida, dan A. Fuad. 2009. Tingkat ketahanan kesegaran ikan mas (Ciprynus
carrpia) menggunakan asap cair. Jurnal Kelautan 2(1): 66-72.
Rozi, A. 2018. Laju kemunduran mutu ikan lele (Clarias sp.) pada penyimpanan suhu
chilling. Jurnal Perikanan Tropis 5(2): 169-182.
Sampels, S. 2014. The effects of storage and preservation technologies on the quality of fish
products: a review. Journal of Food Processing and Preservation 39(6): 1-10.
Sirait, Robby Alexander. 2016. Komoditas Penentu Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia.
Buletin APBN Edisi 23 Volume 1. Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI.
Sivertsvik, M., W.K. Jeksrud, dan J.T. Rosnes. 2002. A review of modified atmosphere
packaging of fish and fishery products-significance of microbial growth, activities, and
safety. International Journal of Food Science and Technology 37: 107-127.
Stroud, G.D. 2001. Rigor in Fish-The Effect on Quality. Torry Research Station.
Suprayitno, E. 2020. Kajian kesegaran ikan di pasar tradisional dan modern kota malang.
Journal of Fisheries and Marine 4(2): 289-295.
Vatria, B. 2020. Penanganan Hasil Perikanan: Penilaian Mutu Ikan Segar. Politeknik Negeri
Pontianak. Pontianak.
Waterman, J.J. 2001. Bulking, Shelfing, or Boxing?. Torry Advisory Note No.15. FAO in
partnership with Support unit for International Fisheries and Aquatic Research.
Yunizal dan Wibowo. 1998. Penanganan Ikan Segar. Instalasi Penelitian Perikanan Luat Slipi.
Jakarta.
LAMPIRAN SNI 2729:2013

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di www.bsn.go.id dan tidak untuk di komersialkan”
Lampiran A
(normatif)
Lembar penilaian organoleptik ikan segar

IKAN LELE MATI MENGGELEPAR

Tabel A.1 - Lembar penilaian organoleptik ikan segar

Kelompok 8
Nama Panelis : …………………………….. 2-4 Maret 2021
Tanggal: …………………….
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian.
Berilah tanda  pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.

Kode Contoh
Spesifikasi Nilai
1 2 3 4 5
dst
1. Kenampakan 15.00 11.30 16.1213.50 16.21
a. Mata
- Bola mata cembung, kornea dan pupil jernih,
9
mengkilap spesifik jenis ikan
- Bola mata rata, kornea dan pupil jernih, agak
8
mengkilap spesifik jenis ikan
- Bola mata rata, kornea agak keruh, pupil
agak keabu-abuan, agak mengkilap spesifik 7
jenis ikan
- Bola mata agak cekung, kornea agak keruh,
pupil agak keabu-abuan, agak mengkilap 6
spesifik jenis ikan
- Bola mata agak cekung, kornea keruh. pupil
5
agak keabu-abuan, tidak mengkilap
- Bola mata cekung, kornea keruh, pupil
3
keabu-abuan, tidak mengkilap
- Bola mata sangat cekung, kornea sangat
1
keruh, pupil abu-abu, tidak mengkilap
b. Insang
- Warna insang merah tua atau coklat
kemerahan, cemerlang dengan sedikit sekali 9
lendir transparan
- Warna insang merah tua atau coklat
kemerahan, kurang cemerlang dengan 8
sedikit lendir transparan
- Warna insang merah muda atau coklat muda
7
dengan sedikit lendir agak keruh
- Warna insang merah muda atau coklat muda
6
dengan lendir agak keruh
- Warna insang merah muda atau coklat muda
5
pucat dengan lendir keruh
- Warna insang abu-abu atau coklat keabu-
3
abuan dengan lendir putih susu bergumpal
- Warna insang abu-abu, atau coklat keabu-
1
abuan dengan lendir coklat bergumpal

© BSN 2013 8 dari 15


SNI 2729:2013

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di www.bsn.go.id dan tidak untuk di komersialkan”
Tabel A.1 - (lanjutan)

Kode Contoh
Spesifikasi Nilai
1 2 3 4 5
dst
c. Lendir Permukaan Badan 15.00 11.30 16.12 13.50 16.21
- Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilap
9
cerah
- Lapisan lendir jernih, transparan, cukup cerah 8
- Lapisan lendir mulai agak keruh 7
- Lapisan lendir mulai keruh 6
- Lendir agak tebal, mulai berubah warna 5
- Lendir tebal sedikit menggumpal, berubah
3
warna
- Lendir tebal menggumpal, berubah warna 1
2. Daging
- Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik
9
jenis, jaringan daging sangat kuat
- Sayatan daging cemerlang spesifik jenis,
8
jaringan daging kuat
- Sayatan daging sedikit kurang cemerlang,
7
jaringan daging kuat
- Sayatan daging kurang cemerlang, jaringan
6
daging sedikit kurang kuat
- Sayatan daging mulai pudar, jaringan daging
5
kurang kuat
- Sayatan daging kusam, jaringan daging kurang
3
kuat
- Sayatan daging sangat kusam, jaringan daging
1
rusak
3. Bau
- Sangat segar, spesifik jenis kuat 9
- Segar, spesifik jenis 8
- Segar, spesifik jenis kurang 7
- Netral 6
- Sedikit bau asam 5
- Bau asam kuat 3
- Bau busuk kuat 1
4. Tekstur
- Padat, kompak, sangat elastis 9
- Padat, kompak, elastis 8
- Agak lunak, agak elastis 7
- Agak lunak, sedikit kurang elastis 6
- Agak lunak, kurang elastis 5
- Lunak bekas jari terlihat dan sangat lambat
3
hilang
- Sangat lunak, bekas jari tidak hilang 1

© BSN 2013 9 dari 15

Anda mungkin juga menyukai