Anda di halaman 1dari 17

Paper Koasistensi Laboratorium Kesmavet

PEMERIKSAAN MUTU DAN KEAMANAN PADA SEAFOOD (IKAN)

OLEH :

ZIAN ULFATURRIZA (1902101020105)


RIZKA AYUNINDA NASUTION (1902101020106)

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seafood atau makanan laut merupakan komoditas dagang yang penting baik

dalam negeri maupun internasional. Salah satu hasil tangkapan seafood yang

banyak di perairan Indoneia adalah ikan. Ikan merupakan salah satu bahan pangan

hasil perikanan yang dibutuhkan oleh manusia karena pada daging ikan terdapat

senyawa-senyawa yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yang terdiri dari protein,

lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Tamuu et al., 2014).

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan membusuk jika tidak

ditangani dengan baik karena ikan mengandung protein dan kadar air cukup

tinggi. Proses pembusukan atau penurunan mutu pada ikan dapat terjadi karena

adanya aktivitas enzim, mikroorganisme ataupun oleh peristiwa biooksidasi

lemak. Kandungan tersebut sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme

(Putra et al., 2019). Mikroorganisme yang paling dominan dan berperan dalam

kerusakan (pembusukan) daging ikan adalah bakteri. Bakteri yang terkandung

dalam tubuh ikan dapat merombak bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan

perubahan bau, rupa, dan tekstur (Apriani et al., 2017). Selain itu suhu dan

kelembaban udara serta lingkungan yang kotor dapat mempercepat proses

pembusukan (Tamuu et al., 2014).

Menurut Rahayu dan Adhi (2016) diperlukan cara penanganan ikan dengan

baik dan benar untuk menghambat penurunan mutu. Hal penting yang harus

diperhatikan dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih, dan pada

suhu rendah. Sehingga kualitas ikan tidak mengalami penurunan mutu (Syafitri et
al., 2016). Penurunan mutu pada ikan juga dapat terjadi karena mengandung kadar

protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas untuk dimanfaatkan

bagi metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amine, asam

organik, ketone dan komponen sulfur. Kondisi tersebut tentu saja dapat

menurunkan kondisinya dan menyebabkan perubahan mutu kesegaran pada ikan

(Apriani et al., 2017).

Uji organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap

perubahan seperti penampakan warna, bau atau aroma, kekenyalan dan

kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut dan rasa pada

produk siap makan. Selain metode sensori dapat juga digunakan metode

mikrobiologi dan analisis kimia. Standar mutu ikan berdasarkan SNI tahun 2009

yaitu dari segi organoleptik minimal 7, dan dari segi mikrobiologi maksimal

koloni/gram TPC ikan yaitu 5x105 (SNI 01-2729. 1-2006).

1.2 Tujuan

- Untuk mengetahui pemeriksaan apa saja yang bisa dilakukan untuk

mengetahui penurunan mutu pada ikan berdasarkan penelitian-penelitian

yang sudah dilakukan sebelumnya.

- Untuk mengetahui bagaimana proses pencegahan atau tindakan-tindakan

yang dapat dilakukan agar hasil olahan asal ikan tidak mengalami

penurunan dari segi mutu.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Uji Organoleptik

Uji organoleptik adalah pengujian menggunakan indera manusia untuk

mengukur tekstur, penampakan, aroma dan rasa produk pangan. Batas maksimum

bakteri untuk ikan segar yaitu 5 x 105 CFU/g (SNI 01-2729. 1-2006). Cara yang

digunakan untuk menilai organoleptik ikan adalah dengan pengamatan visual

terhadap penampilan ikan. Caranya adalah dengan menggunakan metode 4M,

yaitu melihat, meraba, menekan, dan mencium. Pertama, dengan melihat dan

mengamati penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata,

insang, dan adanya lendir. Kedua, dengan meraba ikan untuk mengamati kondisi

ikan terutama adanya lendir, kelenturan ikan dan lainnya. Ketiga, dengan

menekan daging ikan untuk menilai teksturnya. Keempat, dengan mencium bau

ikan (Apriani et al., 2017).

Tabel 1. Paramater ikan segar dan tidak segar (Santhi, 2017)


Tabel 2. Penilaian Organoleptik Ikan Segar (SNI 01. 2346-2006)

Pengujian organoleptik ditujukan pada warna dan lendir permukaan tubuh,

dan tekstur daging. Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah metode

score sheet dengan skala nilai 1-9. Nilai organoleptik 9 menunjukkan ikan dalam

kondisi sangat segar. Kondisi ikan segar ditunjukkan dengan nilai 7-8. Nilai 5-6
merupakan ambang batas antara kondisi. ikan dan jelek. Ikan dinyatakan busuk

dan tidak layak dikonsumsi yaitu pada nilai organoleptik 1-4 (Santhi, 2017).

Berdasarkan SNI 2729-2013 ikan segar secara organoleptik mempunyai

karakteristik seperti mata cerah, bau yang segar spesifik, serta tekstur yang elastis

dan padat. Ikan yang telah mengalami kemunduran mutu secara autolisis pada

ikan dapat ditandai dengan bola mata ikan agak cekung dan korneanya agak

keruh, warna insang merah coklat dan sedikit berlendir, lapisan lendir permukaan

badan agak keruh, tekstur daging agak lunak dan belum tercium bau amoniak

(Suharna, 2006).

Berhimpon (1993) menyatakan bahwa ikan yang baru ditangkap

mengandung mikroorganisme yang secara alami, dimana mikroorganisme tersebut

terkonsentrasi pada tiga bagian utama yaitu: permukaan kulit, insang, dan isi

perut. Jumlah bakteri pada ikan bervariasi tergantung media dimana bakteri itu

hidup, yaitu diantara 102-105/gram pada kulit, 103-105/gram pada insang, dan

dapat mencapai 107/gram pada isi perut. Mata ikan yang terbenam dan pudar

sinarnya merupakan salah satu tanda dari mulai berkembangnya bakteri (Ilyas,

1983). Perubahan tekstur dimana daging menjadi lebih lunak terjadi apabila ikan

sudah mulai mengalami kemunduran mutu. Hal ini disebabkan oleh mulai

terjadinya perombakan pada jaringan otot daging oleh proses enzimatis

(Berhimpon, 1993). Pembusukkan pada ikan lebih bersifat ketengikan oksidatif.

Perubahan ini terjadi akibat oksidasi lemak sehingga menimbulkan bau tengik

yang tidak diinginkan (Ilyas, 1983).


Ikan akan mengalami perubahan mutu setelah ikan mati. Perubahan yang

dialami ikan berlangsung dalam tiga fase, yaitu fase pre-rigor mortis, rigor mortis,

dan post-rigor mortis. Perubahan fase ini dapat digunakan sebagai indikator

perubahan kualitas ikan. Pada fase pre-rigor dan rigor mortis ikan masih dapat

dikatagorikan sebagai produk segar. Perubahan yang dialami ikan disebabkan oleh

aktivitas enzimatis, oksidasi dan mikrobiologis. Sebelum fase post-rigor mortis,

perubahan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzimatis. Perubahan yang

disebabkan oleh oksidasi dan mikrobiologi berlangsung setelah memasuki fase

post-rigor mortis (Liviawaty dan Afrianto, 2014).

2. Uji Cemaran Mikroba

a. TPC (Total Plate Count)

Penentuan angka lempeng total (ALT) atau TPC (Total Plate Count)

digunakan untuk menentukan jumlah total mikroorganisme aerob dan anaerob

yang terdapat pada produk perikanan. Kesegaran ikan merupakan kriteria paling

penting untuk menentukan mutu dan daya awet dari ikan yang diinginkan.

Pengukuran ini menggunakan metode TPC yang dilakukan dengan menghitung

jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada agar (Apriyani et al., 2017).

Pengamatan jumlah total bakteri dilakukan dengan membuat pengenceran

sampel daging ikan yang digunakan. Pengenceran yang digunakan adalah 10-1 ,

10-2 , 10-3 , 10-4 , 10-5 , 10-6 dan 10-7 . Pemupukan bakteri dilakukan dengan

memasukkan media agar cair (pada suhu 45- 50°C) ke dalam cawan Petri

sebanyak 15-20 ml dan digoyang di atas permukaan yang rata untuk meratakan
isolat dan agar. Cawan Petri selanjutnya didiamkan hingga agar di dalamnya

mengeras. Inkubasi dilakukan dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37 oC

dengan posisi cawan terbalik (Nafisyah et al., 2015 ).

Nila angka lempeng total didapat dengan mengamati koloni secara visual

dan dihitung koloni bakteri pada plate secara manual dengan memberi tanda

menggunakan spidol. Keuntungan dari metode pertumbuhan agar atau metode uji

angka lempeng total adalah dapat mengetahui jumlah mikroba yang dominan.

Keuntungan lainnya dapat diketahui adanya mikroba jenis lain yang terdapat

dalam contoh. Pada pemeriksaan angka lempeng total juga ada didapat hasil yang

melebihi batas maksimal yang ditentukan pada SNI 01-2717-2009 dimana batas

maksimal yang diperbolehkan yaitu 5 x 105 CFU/gr (Putra et al., 2019).

b. MPN (Most Probably Number)

MPN adalah suatu metode perhitungan mikroorganisme dengan melihat

pertumbuhan mikroorganisme pada medium cair spesifik dalam seri tabung yang

ditanam dari sampel padat atau cair. Keberadaan bakteri koliform dapat dideteksi

dengan uji mikrobiologi menggunakan metode MPN. Perhitungan MPN

berdasarkan pada jumlah tabung reaksi yang positif dapat dilihat dengan

mengamati timbulnya kekeruhan atau terbentuknya gas di dalam tabung kecil

(tabung durham) yang diletakan pada posisi terbalik, yaitu untuk bakteri yang

membentuk gas (Sari dan Apridamayanti, 2014).

Pemeriksaan bakteri koliform dengan menggunakan metode MPN, yaitu

melalui uji penduga (presumptive test) dan uji konfirmasi atau penegasan
(confirmative test). Uji penduga dilakukan dengan menggunakan media LB

(Lactose Broth) dan diinkubasi selama 48 jam muda (Puspitasari et al., 2017). Uji

penduga yang positif ditandai dengan terbentuknya gas tetapi hal ini belum dapat

dipastikan adanya koliform didalam sampel, hal ini dikarenakan lactosa broth

dapat juga difermentasi oleh bakteri lain selain koliform. Namun, terbentuknya

gas tersebut dapat digunakan untuk dasar pengujian berikutnya, yaitu uji penegas

(Sari dan Apridamayanti, 2014)

Sampel yang dinyatakan positif mengandung koliform dilanjutkan pada uji

konfirmasi dengan media BGLB (Brilliant Green Lactose Broth) (Puspitasari et

al., 2017). BGLB berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan flora mikroba yang

tidak diharapkan. Media BGLB merupakan media yang akan berwarna hijau

metalik jika terdapat reaksi fermen dengan media. Warna ini berasal dari adanya

koloni koliform yang bereaksi dengan BGLB. E. coli merupakan bakteri

fermentasi, seringkali menghasilkan warna hijau metalik mengkilap. Bakteri yang

menfermentasi dengan lambat akan menghasilkan koloni berwarna merah muda

(Sari dan Apridamayanti, 2014)

Koliform merupakan bakteri heterogen dari famili Enterobacteriaceae.

Bakteri kelompok koliform meliputi semua bakteri berbentuk batang, gram

negatif, tidak membentuk spora dan dapat memfermentasi laktosa dengan

memproduksi gas dan asam pada suhu 370C dalam waktu kurang dari 48 jam

.Makin sedikit kandungan koliform artinya, kualitas produk semakin baik. Batas

maksimum cemaran Eschericia coli untuk ikan segar, udang segar (crustase) dan

sotong segar (molusca) berdasarkan tabel Standardisasi Nasional adalah <3


MPN/g sedangkan Batas maksimum cemaran Salmonella sp untuk ikan segar

negatif/25 g (SNI 7388:2009).

Penurunan mutu ikan dipengaruhi oleh aktifitas mikroorganisme.

Aktifitas mikroorganisme dapat mengakibatkan proses pembusukan pada ikan

Jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan dapat mempengaruhi

cepat lambatnya kerusakan suatu bahan pangan (Christianti dan Azhar, 2019).

Semakin tinggi cemaran mikroorganisme menyebabkan kualitas ikan semakin

menurun (Apriani et al., 2017). Salah satu faktor yang memengaruhi kemunduran

mutu pada ikan disebabkan oleh suhu. Ikan yang dibiarkan pada suhu kamar,

maka akan cepat mengalami proses pembusukan, serta kandungan air yang tinggi

pada tubuh ikan akan menjadi media untuk pertumbuhan bakteri pembusuk atau

mikroorganisme lain, sehingga ikan sangat cepat mengalami proses pembusukan

dan menjadi tidak segar lagi (Apriani et al., 2017). Batas maksimum cemaran

bakteri (SNI-01-2729-2006) pada ikan segar, yaitu 5x105 CFU/g.

Secara alamiah, tubuh ikan yang masih hidup memiliki barrier pertahanan

terhadap serangan bakteri, sehingga bakteri dari tidak mampu menyebar ke

seluruh bagian tubuh ikan. Setelah ikan mati dan mencapai fase post-rigor,

terjadilah kemunduran mutu pada ikan secara bakteriologis bersamaan dengan

terjadinya kemunduran mutu secara autolisis. Bakteri dapat mendobrak barrier

pertahanan tubuh ikan sehingga bakteri dapat menyerang ke seluruh bagian tubuh

ikan (Suharna, 2006).


3. Uji Cemaran Logam

Analisis logam berat (Pb, Hg, Cu, Cd) terdiri atas beberapa tahapan, antara

lain tahap destruksi basah, dan tahap pengukuran konsentrasi logam berat

menggunakan AAS. Pembacaan nilai kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu

mengacu pada metode Flame (Flame Atomic Absorption Spectrophotometry).

Pembacaan logam berat Hg mengacu pada metode Cold-Vapor (Cold-Vapor

Atomic Absorption Spectrophotometry). Panjang gelombang yang digunakan

sesuai dengan logam berat yang dianalisis, antara lain 217,0 nm (Pb), 253,7 nm

(Hg), 324,7 nm (Cu), dan 228,8 nm (Cd).

Logam berat misalnya kadmium (Cd), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan

tembaga (Cu) merupakan salah satu bahan pencemar berbahaya oleh karena sifat

toksik yang dimiliki dengan kecenderungan untuk masuk ke dalam sistem rantai

makanan (food chain) dan kemampuan untuk tetap berada (residence time) dalam

suatu lingkungan untuk waktu yang lama. Istilah logam berat terdapat beberapa

variasi, namun secara umum disepakati bahwa penggunaan istilah logam berat

(heavy metals) terkait erat dengan konotasi toksisitas yang dimilikinya. Tingkat

akumulasi logam berat pada jaringan tubuh ikan dari yang besar sampai kecil

ditemukan pada hati, ginjal, insang dan daging (Sulistiono et al., 2018). Logam

berat yang masuk perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan

dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan. Pengendapan

logam berat terjadi karena adanya anion karbonat, hidroksil dan klorida. Logam

berat yang dilimpahkan ke perairan, baik sungai ataupun laut, akan mengalami
paling tidak tiga proses, yaitu pengendapan, adsorpsi, dan absorpsi oleh

organisme-organisme perairan (Diana et al., 2017).

Menurut Tanjung et al. (2019) berdasarkan SNI 2729-2013 Pb memiliki

nilai ambang batas baku mutu yang disyaratkan yakni <0,3 mg/kg, Cd sebesar

<0,5 mg/kg, Hg sebesar <0,5 mg/kg dan As disyaratkan yakni <1,0 mg/kg di

dalam daging ikan. Logam berat seperti kadmium dan timbal pada umumnya

masuk ke lingkungan dengan dua cara, yakni secara natural (alami) dan

antropogenik. Kondisi alami terlepasnya logam berat di lingkungan ialah akibat

adanya pelapukan sedimen yang dipengaruhi oleh cuaca, erosi, serta aktivitas

vulkanik, sedangkan terlepasnya logam berat secara antropogenikadalah akibat

aktivitas manusia, seperti electroplating/pelapisan logam, pertambangan,

peleburan, penggunaan pestisida, pupuk penyubur tanah, dan lainnya.

Logam berat yang telah masuk ke dalam air dapat mengkontaminasi biota

laut, seperti ikan-ikan kecil dan makhluk air lainnya termasuk tanaman air.

Berikutnya ikan-ikan besar akan memangsa ikan berukuran kecil yang telah

terkontaminasi oleh logam berat, maka konsentrasi di daging ikan besar akan

lebih tinggi daripada konsentrasi di daging ikan kecil yang menjadi mangsanya.

Meskipun di dalam suatu perairan kadar logam berat relatif rendah, namun dapat

terabsorpsi dan terakumulasi secara biologis oleh hewan air dan akan terlibat

dalam sistem jaringan makanan. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya proses

bioakumulasi, yaitu logam berat akan terkumpul dan meningkat kadarnya dalam

jaringan tubuh organisme air yang hidup. Kemudian melalui proses

biotransformasi akan terjadi perpindahan dan peningkatan kadar logam berat pada
tingkat pemangsaan yang lebih tinggi. Secara tidak langsung proses

biomagnifikasi dapat terjadi dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi ikan-ikan

dan hasil perairan yang telah tercemar logam berat (Lubis et al., 2015). Logam

berat bersifat akumulatif, sifat racunnya baru muncul bila logam berat tersebut

terakumulasi dalam kadar yang relatif tinggi dalam tubuh biota, keadaan ini

tercapai dalam waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat menimbulkan

kematian secara mendadak (Lestari dan Edward, 2018).

4. Uji Kimia (Histamin)

Prosedur kerja analisis kadar histamin terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap

ekstraksi, tahap clean up atau tahap elusi, dan tahap pembentukkan. Histamin

merupakan komponen amin biogenik, yaitu bahan aktif yang diproduksi secara

biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas. Histamin terbentuk

dari histidin selama pembusukan oleh bakteri yang memiliki enzim histidin

dekarboksilase. Bakteri pembentuk histamin berkembang biak seiring dengan laju

kemunduran mutu ikan yang terjadi dan mengubah histidin bebas dan asam amino

lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin

(dari ornitin), kadaverin (dari lisin), serta spermidin dan spermin. Hal ini

disebabkan karena suhu merupakan faktor yang mempengaruhi dalam

pembentukan histamin. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20

°C). Ikan mengandung asam amino histidin yang merupakan substrat bagi enzim

histidine decarboxylase (hdc), kemudian diubah menjadi histamin (Affianto,

2019). Berdasarkan SNI01-2332.2-2006 kadar histamin berada dibawah batas


maksimal kadar histamin 100 ppm, sehingga masih aman dan layak untuk

dikonsumsi.

5. Uji Parasit

Berdasarkan SNI 2332.6-2015 uji parasit dilakukan dengan pengerokkan

lendir pada seluruh tubuh bagian luar dan rongga mulut, pemotongan operkulum

dan mata, serta pembedahan tubuh untuk melihat parasit, larva dan kista pada

ikan. Ikan segar tidak boleh mengandung parasit (SNI 2729:2013).

Tabel 3. Persyaratan Mutu dan Keamanan Ikan Segar


Kecepatan penurunan mutu ikan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain cara penanganan, panjangnya rantai distribusi dan tidak memadainya

fasilitas penanganan, wadah pengangkutan, sarana transportasi dan cara

pemberian es dalam menjaga mutu ikan hasil tangkapan. Penangkapan secara

langsung berhubungan dengan cara matinya ikan, dimana proses fisik dan

kimiawi ikan berpengaruh langsung terhadap mutu ikan pasca panen. Penurunan

mutu ikan dipercepat karena cara penanganan ikan yang dilakukan seadanya tanpa

memperhatikan syarat-syarat yang seharusnya, baik terkait fasilitas, cara

penanganan maupun penggunaan es sebagai bahan pendingin ikan (Lubis et al.,

2015)

Faktor-faktor yang memengaruhi penurunan mutu ikan selama

pendistribusian yaitu; (1) faktor suhu dikarenakan pemberian es yang tidak

sebanding dengan volume ikan; (2) faktor cara penanganan, dimana perlakuan

ketika aktivitas bongkar muat dilakukan secara kasar sehingga sebagian sisik ikan

terlepas bahkan tidak jarang perut ikan sobek; (3) Faktor sanitasi yang tidak

memenuhi persyaratan, seperti kondisi wadah yang digunakan tidak bersih dan

bersifat konvensional; dan (4) Sarana transportasi yang digunakan pada saat

pendistribusian masih menggunakan pick up terbuka dan tidak diberi alas

sehingga memungkinkan adanya kontaminasi bakteri, serta berkurangnya es

selama pengangkutan (Lubis et al., 2015).

Menurut Syafitri et al. (2016), untuk memperoleh ikan yang bermutu dan

berdaya awet panjang ada hal penting yang harus diperhatikan dalam menangani

ikan seperti bekerja cepat, cermat, bersih, dan pada suhu rendah. Hal-hal
yang berpengaruh buruk pada mutu ikan adalah kenaikan suhu, penanganan

yang kurang baik, dan penundaan waktu penanganan. Penerapan suhu rendah

dengan cara pendinginan menggunakan es dan didukung ketersedian fasilitas serta

cara penerapan yang baik dan benar adalah cara yang paling efektif untuk

menghambat penurunan mutu ikan. Suhu lingkungan yang rendah akan

memperpanjang tingkat kesegaran ikan sehingga proses pasca panen ikan harus

menerapkan prinsip rantai dingin. Penting dipahami bahwa rantai dingin harus

dipertahankan sejak ikan mati, selama distribusi hingga pemasaran.


Daftar Pustaka
Apriani, Ria. Ferasyi, T. Dan Razali. 2017. Jumlah cemaran mikroba dan nilai
organoleptik ikan tongkol (Euthynnus affinis). JIMVET. 1(3) : 598-603.
Afrianto E, dan E. Liviawaty. 2010. Penanganan Ikan Segar. Widya Padjadjaran.
Bandung.
Afrianto E, dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Berhimpon, S. 1993. Mikrobiologi perikanan ikan. Bagian 1. Ekologi dan
pertumbuhan mikroba serta pertumbuhan biokimia pangan.
Laboratorium pengolahan dan pembinaan mutu hasil perikanan. Fakultas
Ilyas, S. 2003. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Penerbit CV. Paripurna.

Anda mungkin juga menyukai