Anda di halaman 1dari 16

Selasa, 28 Desember 2010

Laporan BASO DAGING SAPI


Laporan Praktikum Mandiri Pengawasan Mutu Hari, tanggal : Rabu, 08 Desember 2010 Golongan :P3 Dosen : Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Asisten : 1. Anisa Rahmi Utami (F34070043) 2. Anza Julia Wahyu Putri (F34070080)

BASO DAGING SAPI


Disusun oleh Kelompok 1 Priska Wisudawaty IK Marla Lusda Febrian Eko P Muhammad Rum S Dimas Surya Ida Nur Rakhmi

(F34080031) (F34080035) (F34080059) (F34080119) (F34080121) (F34080135)

2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Oleh karena itu pangan yang tersedia di masyarakat harus layak dikonsumsi (fit to consumption) dan aman untuk dikonsumsi (safe to consumption). Selain itu hendaknya pangan tersedia secara cukup, bermutu, bergizi, dan beragam. Pengolahan produk-produk hasil peternakan dalam kaitannya untuk menciptakan produk pangan yang aman pada proses pengolahannya selain harus bebas bahan pengawet, penggunaan bahan tambahan makanan (pewarna dan penambah cita rasa) harus menggunakan bahan-bahan yang diijinkan, serta higienis. Untuk mencapai hal tersebut, berbagai standar, pedoman, dan program manajemen telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah Standar Nasional Indonesia atau yang lebih dikenal dengan SNI. Hal ini bertujuan untuk menjamin keamanan pangan di bidang industri pangan yang ditujukan untuk konsumen maupun produsen. Dan diharapkan setiap produk yang beredar di pasaran telah memenuhi SNI serta mencantumkan tanda SNI pada kemasannya, sebagai cerminan bahwa produk tersebut terjamin mutunya.

Adanya label SNI pada produk menjadi patokan bagi konsumen dalam memilih produk yang terjamin mutunya, dalam hal ini produk hasil peternakan yang diamati secara khusus adalah bakso daging sapi. Bakso daging merupakan makanan populer dalam masyarakat sehingga produk ini dapat sangat mudah ditemukan dipasaran. Untuk memastikan produk bakso daging tersebut telah terjamin mutunya sesuai SNI yang dicantumkan perlu dilakukan pengujian sampel bakso daging di pasaran. Hal ini untuk memperkuat keyakinan konsumen dalam keamanan mengonsumsi bakso daging yang berlabel SNI. B. Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan konsumsi bakso daging sesuai Standar Nasional Indonesia melalui uji Salmonella, uji E. coli, uji kadar air, uji kadar abu, uji protein, dan uji organoleptik. II. METODOLOGI A. Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan untuk melakukan pengujian standar mutu bakso ini adalah oven pengeringan, cawan alumunium, neraca atau timbangan, tanur, dan cawan porselen. Bahan yang digunakan yaitu Bakso daging. B. Metode 1. Kadar Air Bahan ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan dalam cawan aluminium. Kemudian bahan dikeringkan dalam oven pada suhu 100 C- 105 C selama 3 sampai 5 jam. Selanjutnya bahan didinginkan pada desikator dan ditimbang. z

2. Kadar Abu Untuk uji kadar abu, sebanyak 2 gram bahan dimasukkan kedalam labu porselen yang kering dan telah diketahui beratnya. Kemudian pijarkan bahan dalam tanur sampai diperoleh abu berwarna keputih-putihan. Selanjutnya bahan didinginkan pada desikator dan ditimbang.

3. Kadar Protein Sebanyak 1 gram sampel bakso ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Setelah itu ditambahkan katalis CuSO4 sebanyak 1 sudip. Ke dalam tabung kjehdahl ditambahkan pula 2,5 ml H2SO4. Setelah itu dipanaskan sampai protein terdestruksi dan berwarna hijau bening, lalu didinginkan. Selanjutnya didestilasi dan dilakukan penambahan NaOH 50% sebanyak 15 ml. Hasil destilasi ditampung dengan HCl 0,02 N. Proses destilasi dihentikan jika volume destilat telah mencapai volume dua kali volume

sebelum destilasi. Hasil destilasi dititrasi dengan NaOH 0,02 N dan indikator mensel yang merupakan campuran dari metil red dan metil blue.

4. Cemaran Mikroba Pada percobaan ini akan dilakukan uji microbial untuk menentukan ada atau tidaknya kontaminan bakteri, khususnya E. coli dan Salmonella.Pertama-tama, bakso daging ditimbang sebanyak satu gram kemudian dihaluskan atau dilumatkan. Setelah dihaluskan, kemudian bakso tersebut diencerkan sebanyak 10-1 sebelum diinokulasi. Kemudian siapkan cawan petri yang telah diberi medium berupa EMB untuk bakteri E. coli dan medium SSA untuk bakteri Salmonella. Kemudian, bakso daging yang telah diencerkan diinokulasi ke medium yang telah disiapkan. Cawan yang telah di inokulasi kemudian diinkubasi pada inkubator dengan suhu yang berbeda, dimana medium EMB pada suhu 38 0C dan medium SSA pada suhu 47 0C. Inkubasikan selama 5-6 hari dan lihat hasil yang timbul pada medium tersebut. 5. Uji Organoleptik (Mutu Hedonik) Uji organoleptik (mutu hedonik) digunakan 4 kriteria yaitu aroma, rasa, warna dan tekstur. Pada saat aroma, contoh bakso diambil secukupnya dan diletakkan diatas arloji yang bersih dan kering. Kemudian contoh uji dicium untuk mengetahui aromanya. Pada uji rasa, contoh bakso diambil secukupnya dan dirasakan oleh indera pengecap. Pada uji warna, contoh bakso diambil secukupnya dan diletakkan diatas arloji yang bersih dan kering. Kemudian contoh uji dilihat untuk mengetahui warnanya. Sedangkan pada uji tekstur, contoh diletakan diatas arloji yang bersih dan kering, kemudian dipegang untuk mengetahui tingkat kekenyalannya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan {Terlampir} B. Pembahasan Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang banyak dikonsumsi dan sangat popular di kalangan masyarakat. Pengolahan daging menjadi bakso bertujuan untuk memperpanjang daya simpan, meningkatkan nilai estetika, dan meningkatkan nilai ekonomis. Bakso merupakan produk olahan daging/ ikan/ tahu/ bahan lain yang telah dihaliskan, dicampur dengan bumbu dan tepung kemudian dibentuk bulat bulat dengan diameter 2-4 cm atau sesuai dengan selera (Wibowo, 1999). Bakso daging biasanya dibuat dari daging sapi dan sebagai bahan pengikat biasanya menggunakan tepung tapioka atau pati ketela pohon. Sedangkan bahan tambahan dan bumbu yaitu garam, bawang putih, dan lada. Daging yang akan dibuat bakso digiling terlebih dahulu kemudian dicampur dengan tepung dan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan secara merata

hingga menjadi adonan yang homogen, kemudian adonan bakso tersebut dicetak dan direbus pada air mendidih hingga mengapung (Wibowo, 1999). Menurut Standar Nasional Indonesia (1995), bakso daging adalah produk makanan yang berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50% dan pati (serealia) dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain, serta bahan makanan yang diijinkan. Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas bahan mentahnya terutama jenis dan mutu daging, macam tepung yang digunakan serta perbandingannya di dalam adonan (Astawan, 1989). Wibowo (1999) juga mengatakan bahwa kualitas bakso ditentukan oleh banyak sedikitnya campuran tepung tapioka yang ditambahkan, semakin banyak tepung tepioka yang digunakan akan membuat kualitas bakso semakin rendah. Komposisi kimia bakso ditentukan oleh komposisi kimia bahan penyusunnya. Bahan penyusun bakso sendiri antara lain daging sapi, tepung, garam, putih telur, dan bumbu-bumbu penyedap lainnya. Faktor lain sepertiMenurut Soeparno (1994), daging merupakan semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging yang digunakan dalam proses pembuatan bakso sebaiknya berupa daging segar (0 12 jam sesudah pemotongan) karena penyimpanan daging di atas 12 jam akan menyebabkan fase logaritmik atau pertumbuhan eksponensial dimana jumlah mikroorganisme meningkat dan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan menjadi terbatas. Bintoro (2008) juga mengatakan bahwa daging yang digunakan untuk pembuatan bakso haruslah daging yang baik, yang mempunyai konsistensi padat (gempal) , tidak mengandung lemak dan jaringan ikat seperti daging bagian paha, dada dan punggung. Selain daging, dibutuhkan juga tepung tapioka. Tepung tapioka adalah karbohidrat granuler yang berwarna putih, hasil sintesa tanaman dari barbagai gugus glukosa yang berfungsi sebagai bahan makanan cadangan. Tepung ini terdiri dari amilosa dan amilopektin yang dapat memperkuat permukaan terhadap bahan yang ditambahkan tepung tersebut (Wargiono, 1979). Komponen amilosa berfungsi dalam daya serap air dan kesempurnaan proses gelatinisasi pada produk (Hidayat, 2007). Pemakaian tepung dalam pembuatan bakso berfungsi sebagai bahan pengental dan pengikat adonan, sehingga akan terbentuk tekstur bakso yang baik. Untuk membuat bakso yang lezat dan bermutu tinggi jumlah tepung yang dicampurkan sebaiknya tidak lebih dari 15 % berat dagingnya. Untuk mengetahui kualitas bakso yang ada, maka harus dilakukan pengujian analisis terhadap bakso tersebut. Terdapat banyak kriteria pengujian yang harus memenuhi persyaratan SNI, antara lain kadar air, kadar abu, kadar protein dan uji organoleptik (bau, rasa, warna, tekstur), serta adanya perkembangan bakteri Escherichia coli dan Salmonella a. Kadar Air Kandungan air bahan pangan akan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba. Bahan yang mengandung kadar air terlalu banyak akan lebih rentan terhadap serangan mikroba. Karena air dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Untuk memperpanjang daya simpan suatu bahan maka sebagian kadar air dihilangkan sehingga mencapai kadar air tertentu (Winarno 2002). Pengujian kadar air dilakukan untuk mengukur kadar air bebas pada bahan yang mengandung bahan-bahan yang mudah menguap. Pengujian kadar air ini menggunakan prinsip distilasi. Berdasarkan standar mutunya, kadar air pada bakso sapi tidak boleh lebih dari 70 % b/b. Dari

data hasil pengamatan dapat diketahui bahwa persentase kadar air bakso sapi yang diujikan adalah 11.44% artinya bakso yang diujikan telah memenuhi syarat mutu SNI. b. Kadar Abu Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam bakso daging sapi. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka bakso daging sapi tersebut kurang bersih dalam pengolahannya, yaitu pada saat pemisahan daging dari kulit ada sebagian kulit yang ikut menjadi bakso daging sapi. Pada prinsipnya, pengujian kadar abu dilakukan dengan suhu yang sangat tinggi sehingga bahan-bahan yang akan terbakar adalah bahan organikseperti mineral-mineral. Pengujian kadar abu digunakan untuk mengetahui seberapa banyak kandungan bahan anorganik yang ada dalam bakso yang diuji. Berdasarkan syarat mutu SNI, kadar abu pada bakso daging tidak boleh lebih dari 3%. Dari data pengamatan dapat diketahui bahwa kadar abu bakso daging yang diujikan adalah 90.60%. Artinya bakso daging yang diujikan tidak memenuhi syarat mutu SNI karena sangat banyak mengandung bahan anorganik yang terdapat dalam bumbu dan bahan penyedap serta pengenyal. Selain itu dimungkinkan kurang bersih dalam pengolahannya.Bahan penyedap yang digunakan mengandung bahan-bahan yang tidak menguap meskipun dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi.

c. Kadar Protein Uji kadar protein digunakan dengan menggunakan metode kjeldahl. Prinsip dari uji ini adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk membentuk karbondioksida dan air serta pelepasan nitrogen dalam bentuk amoniak. Amoniak yang terdapat dalam asam sulfat berbentuk amonium sulfat, sedangkan air dan karbondioksida akan terpisahkan dalam proses destilasi. Jumlah protein dalam bahan pangan dihitung dalam perkalian jumlah gram nitrogen dengan konstanta 6,25. Asumsi ini diperoleh dari asumsi bahwa protein mengandung 16%, namun hal ini tidak sepenuhnya benar karena tidak semua protein mengandung kadar nitrogen sebesar 16% sehingga uji ini dinamakan uji kadar protein kasar (Nissen,1992). Indikator yang digunakan adalah indikator mensel yang merupakan campuran dari metil red dan metil blue. Ketika didestilasi, protein akan terpisah dalam bentuk amonia. Kemudian bereaksi dengan asam borat yang mengakibatkan warna larutan berubah menjadi hijau bening. Pekat tidaknya warna larutan mengindikasikan banyak tidaknya kandungan protein dalam bahan tersebut. Semakin pekat warna larutan tersebut menandakan kandungan protein dalam bahan tersebut semakin tinggi. Untuk mengetahui secara pasti jumlah protein dalam bahan tersebut, langkah selanjutnya adalah titrasi. Titrasi dihentikan ketika warna larutan tepat berubah seperti warna semula. Nilai protein dalam bahan (%) dihitung dengan mengalikan % total N dengan faktor konversinya. Untuk baso daging, digunakan faktor konversi sebesar 6,25. Berdasarkan praktikum mandiri diperoleh bahwa hasil uji protein yang dilakukan terhadap sampel bakso daging sapi dengan metode uji protein kjehdahl menunjukkan bahwa bakso tersebut mengandung protein sebanyak 11,9 % b/b. Jika merujuk pada SNI Bakso Daging mempersyaratkan syarat mutu untuk kadar protein minimal sebesar 9,0 b/b. Dengan demikian bakso daging yang dianalisis telah memenuhi SNI bakso daging.

d. Cemaran Mikroba Mikroba merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ini. Sesteril apapun suatu proses, pasti tetap ada kontaminan dari bakteri. Walaupun suatu produk mengandung bakteri ataupun mikroba, dalam batasan tertentu suatu produk masih diperbolehkan untuk dikonsumsi. Sampel yang akan diuji kali ini adalah bakso daging. Daging merupakan salah satu bahan yang rentan akan kontaminan mikroba. Dalam daging terkandung bahan-bahan yang sangat cocok bagi pertumbuhan mikroba. Kalau tidak ditangani dan diolah dengan benar, maka umur simpan dari daging maupun olahannya tidak akan bertahan lama. Pada praktikum kali ini digunakan dua medium agar yang digunakan untuk membiakkan dua kikroorganisme yang berbeda. Medium pertama adalam medium EMB ( Eosyin Methylen Blue ) untuk mengidentifikasi adanyaE. coli. Medium ini merupakan medium selektif untuk isolasi dan differensiasi dari bakteri enterik, khususnya koliformnya. Medium ini dibuat dari campuranpancreas hidrolase dari gelatin 10 gram, laktosa 10 gram, fosfat dipotassium 2 gram, agar 15 gram, eosin y 0,4 gram, dan methylen blue65,0 gram. Setelah disimpan pada inkubator bersuhu 470C selama 5-6 hari, pada medium tidak menunjukkan perubahan apapun. Ini berarti dari sampel yang diuji dan telah mengalami pengenceran 10-1, tidak mengandung kontaminan Eschericia coli. Standar dari SNI sendiri, kadar E. coli yang masih diperbolehkan adalah < 3 APM/g. Medium kedua yang digunakan adalah medium SSA (Selective Strep Agar ). Medium ini digunakan untuk mengidentifikasi adanya bakteri Salmonella. Medium ini terbuat dari Pancreatic Digest of Casein 14.5 g,Papaic Digest of Soybean Meal 5.0 g, Sodium Chloride 5.0 g, Agar 14.0 g, Growth Factors 1.5 g Selective Agents 40.2 mg (Anonim, 2006). Dengan medium ini, bakteri Salmonella dapat dibedakan dan timbul tanda-tanda penampakan. Sebelum ditanam/ diinokulasi, terlebih dahulu daging bakso (sampel) ditimbang dan dihancurkan. Kemudian daging tersebut diencerkan 10-1, supaya diperoleh biakan murni dari bakterti Salmonella.Setelah disimpan pada inkubatur bersuhu 38 0C selama 5-6 hari, tidak ada pertumbuhan Salmonella pada medium tersebut. Sama seperti uji terhadap E. coli, berarti bakso yang diuji masih dalam keadaan bagus dan dengan penyimpanan yang sesuai dengan standar. Hal ini terbukti dengan tidak adanya kontaminan pada sampel yang di uji. Jika ditinjau menurut SNI (Standar Nasional Indonesia), memang tidak dianjurkan produk bakso sapi mengandung sedikitpun bakteri Salmonella.

e. Uji Organoleptik (Mutu Hedonik) Penilaian aroma, rasa, warna dan tekstur memiliki fungsi dan cara penilaian yang berbeda, antara lain : 1). Penilaian aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut, dalam hal aroma atau bau lebih banyak sangkut pautnya dengan alat indera pembau; 2). Penilaian rasa makanan dapat dikendalikan dan dibedakan oleh kuncup-kincup cecepan yang terletak pada papilla yaitu bagian noda merah jingga pada lidah; 3). Penilaian warna makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh indera penglihatan atau mata, sehingga tidak semua orang dapat melakukan penilaian warna; 4). Penilaian tekstur makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh indera lidah atau perasa dan indera kulit, penilaian tekstur biasa digunakan untuk menguji kerenyahan dan permukaan yang diteliti (Wibowo,1999). Ada beberapa kriteria mutu sensoris bakso daging antara lain : 1). Tampilan : bakso memiliki bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan mengkilap, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur dan tidak berlendir. 2). Warna : bakso memiliki warna cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau abu-abu, dan warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu. 3). Aroma : bakso memilki aroma khas daging segar

rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi atau busuk dan bau bumbu cukup tajam. 4). Rasa : bakso memiliki rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan dan tidak terdapat rasa asing yang mengganggu. 5). Tekstur : bakso memiliki tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat, lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh (Wibowo, 1999) Uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Kesan baik atau buruk ini disebut kesan mutu hedonik. Oleh karena itu, beberapa ahli memasukkan uji mutu hedonik ke dalam uji hedonik. Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari pada sekedar kesan suka atau tidak suka. Mutu hedonik dapat bersifat umum, yaitu baik atau buruk dan bersifat spesifik seperti empuk- keras untuk daging, pulenkeras untuk nasi, renyah untuk mentimun. Uji ini dapat diaplikasikan pada saat pengembangan produk atau pembandingan produk dengan produk pesaing (Setyaningsih, 2010). Skala mutu hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendakinya. Skala mutu hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini dapat dilakukan analisis secara statistik. Penggunaan skala hedonik pada prakteknya dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan. Sehingga uji hedonik sering digunakan untuk menilai secara organoleptik terhadap komoditas sejenis atau produk pengembangan. Uji hedonik banyak digunakan untuk menilai produk akhir (Setyaningsih,2010). Pada contoh uji mutu hedonik disajikan secara acak dan dalam memberikan penilaian panelis tidak boleh mengulang-ulang penilaian atau membanding-bandingkan contoh yang disajikan. Sehingga untuk satu panelis yang tidak terlatih, sebaiknya contoh disajikan satu per satu hingga panelis tidak akan membanding-bandingkan satu contoh dengan lainnya. Pada uji organoleptik ini tidak dilakukan perhitungan analisis secara statistik, dikarenakan bahan yang diuji hanya satu cantoh/ sampel sehingga hanya dibandingkan dengan SNI. Kriteria yang diuji pada saat praktikum mandiri yaitu: aroma, rasa, warna, dan tekstur. Untuk aroma diperoleh nilai rata-rata sebesar 2,3 maka bakso daging sapi tersebut memiliki aroma yang harum daging, hal ini sesuai dengan literatur SNI yang menyatakan aroma netral dan khas daging. Untuk rasa diperoleh nilai rata-rata sebesar 1,33 maka bakso daging sapi tersebut mempunyai rasa sangat gurih. Untuk warna bakso diperoleh rata-rata sebesar 2,167 artinya bakso tersebut memiliki warna yang cerah. Hal ini sesuai dengan literatur SNI yang di dapat bahwa syarat mutu bakso daging sapi adalah berwarna cerah. Sedangkan pada tekstur bakso diperoleh nilai rata-rata 1,83 artinya bakso memiliki tekstur yang cenderung ke kenyal. Dari hasil uji organoleptik dengan cara uji mutu hedonik dapat disimpulkan bahwa kriteria seperti aroma, warna, dan tekstur memenuhi syarat SNI. Yakni bakso memiliki aroma yang khas daging, warna cerah dan tekstur yang kenyal. Namun untuk rasa bakso tidak memenuhi SNI yakni sangat gurih, hal ini disebabkan karena bakso tersebut mengandung banyak penyedap rasa dan pengawet.

IV. KESIMPULAN Bakso daging adalah produk makanan yang berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50% dan pati (serealia) dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain, serta bahan makanan yang diijinkan. Dalam pengujian proksimat bakso daging ini dapat disimpulkan bahwa kadar air bakso yang dilakukan pada saat praktikum ini telah memenuhi standar mutu. Pada pengujian kadar abu data pada saat praktikum tidak memenuhi standar mutu hal ini disebabkan karena sangat banyak mengandung bahan anorganik yang terdapat dalam bumbu dan bahan penyedap serta pengenyal. Selain itu dimungkinkan kurang bersih dalam pengolahannya. Bahan penyedap yang digunakan mengandung bahan-bahan yang tidak menguap meskipun dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi. Pada uji kadar protein menggunakan metode kjehdahl menunjukan bahwa kandungan protein bakso daging yang dianalisis telah memenuhi SNI bakso daging. Pada pengujian cemaran mikroba untuk bakteri Eschericia coli digunakan media EMB ( Eosyin Methylen Blue ), lalu setelah disimpan pada inkubator bersuhu 470C selama 56 hari, pada medium tidak menunjukkan perubahan apapun. Ini berarti dari sampel yang diuji dan telah mengalami pengenceran 10-1, tidak mengandung kontaminan Eschericia coli. Sedangkan untuk bakteri Salmonellamenggunakan medium SSA (Selective Strep Agar ) Setelah disimpan pada inkubatur bersuhu 38 0C selama 5-6 hari, tidak ada pertumbuhan Salmonellapada medium tersebut. Hal ini terbukti dengan tidak adanya kontaminan pada sampel yang di uji. Kemudian pada uji organoleptik bakso daging ini tidak dilakukan perhitungan analisis secara statistik, dikarenakan bahan yang diuji hanya satu cantoh/ sampel sehingga hanya dibandingkan dengan SNI. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa bakso daging memiliki aroma, warna dan tekstur yang memenuhi standar mutu. Yaitu aroma yang khas daging, warna cerah dan tekstur yang kenyal. Namun untuk rasa bakso tidak memenuhi SNI yakni sangat gurih, hal ini disebabkan karena bakso tersebut mengandung banyak penyedap rasa dan pengawet.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006.Group A Selective Strep Agar.Maryland, Becton, Dickinson and Company Astawan, W. 1989. Teknologi Pengolahan Pangan Tepat Guna. Jakarta:CV Akademika Pressindo, Bintoro, V. P. 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hidayat, B., B. A. Adil., dan Sugiyono. 2007. Karakterisasi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Varietas Shiyorutaka serta Kajian Potensi Penggunaannya sebagai Sumber Pangan Karbohidrat Alternatif. J. Teknologi dan Industri Pangan. 18: 32-39. Nissen,Steven. 1992. Modern Methods in Protein Nutrition and Metabolism. London : Academic Press. Setyaningsih, Dwi. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: Penerbit IPB Press. SNI 01-3818-1995. Syarat Mutu Produk Bakso Daging. Jakata: Badan Standardisasi Mutu Nasional. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press. Sudarmadji, Slamet. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: UGM Press.

Wargiono, J. 1979. Ubikayu dan Cara Bercocok Tanamnya. Bogor: Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. Wibowo, S. 1999. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta:Penebar Swadaya Marietta.2008.EMB.www.marietta.edu [ 19 Desember 2010 ]. Winarno, F.G. 2002. Fisiologi Lepas Panen. Jakarta : PT Sastra Hudaya.

LAPORAN PRAKTIKUM Mata Kuliah : Teknik Pengolahan Daging Nama : Harfina Rais Praktikum ke : 4(Empat) NRP : D24090112 Tempat : Labotaorium THP Dosen : Dr. Irma Isnafa Arief , S.Pt Kelompok : 3 (tiga) Teknisi : Devi Murtini, S. Pt M. Sriduresta, S. Pt. M. Sc Asisten : Lega Krisda F Irma Indah K Winda Permata Sari Sindya Erti, J. S Sita Arum Prabawati Paingat P. Sipayung Rullyana Nurbianti MAKANAN OLAHAN DAGING (BAKSO ONCOM) DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan produk peteranakan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Konsumsi daging oleh masyarakat indonesia masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara tetangga. Hal ini dikarenakan harga daging yang cukup tinggi sehingga kurang terjangkau oleh masyarakat menengah kebawah. Untuk menyiasati hal ini diperlukan makanan olahan daging dengan harga terjangkau yang bisa dikonsumsi oleh semua kalangan. Sehingga dengan adanya makanan olahan daging ini diharapkan konsumsi masyarakat terhadap daging meningkat. Selain itu, cita rasa yang dihasilkanpun lebih baik. Tidak hanya menguntungkan bagi

konsumen, bagi produsenpun hal ini sangat menguntungkan. Bakso adalah salah satu makanan olahan daging yang digemari oleh masyarakat indonesia. Konsumsi daging terbesar oleh pedagang bakso. Untuk menigkatkan penjualan bakso diperlukan suatu inovasi baru untuk menambah cita rasa bakso. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara pembuatan makanan olahan bakso berupa bakso isi oncom. TINJAUAN PUSTAKA Daging Daging adalah salah satu dari produk pangan yang mudah rusak disebabkan daging kaya zat yang mengandung nitrogen, mineral, karbohidrat, dan kadar air yang tinggi serta pH yang dibutuhkan mikroorganisme perusak dan pembusuk untuk pertumbuhannya (komariah, 2004). Organ-organ misalnya hati, ginjal, otak, paru0paru, jantung, limpa, pancreas, dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini (Soeparno, 2005). Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik ketika pemeliharaan ataupun ketika pengolahan. Faktor yang dapat mempengaruhi penampilan daging selama proses sebelum pemotongan adalah perlakuan transportasi dan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak yang pada akhirnya akan menentukan kualitas daging yang dihasilkan (Sayuti, 2006). Faktor penanganan setelah pemotongan yang telah diteliti dapat mempengaruhi kualitas daging adalah perlakuan stimulasi listrik (Ho et al., 1996; Lee et al., 2000). Selain itu injeksi kalsium klorida (CaCl2) diketahui dapat pula mempengaruhi kualitas daging sapi (Wheeler et al., 1993; Diles et al., 1994). Ternak yang mengalami perjalanan jauh akan mengakibatkan ternak tersebut stress (kelelahan) sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002). Bakso Bakso adalah salah satu makanan olahan yang berasal dari daging. ada beberapa bumbu yanga biasa dimasukkan kedalam adonan bakso agar rasa bakso lebih enak diantaranya adalah bawang putih. Selain untuk menambah kelezatan bakso biasanya pembuat bakso juga menambahkan zat kimia untuk mengawetkan dan memperindah bakso. Menurut Tarwiyal (2001) bakso yang bermutu bagus dapat dibuat tanpa penambahan bahan kimia apapun. Tapi pada kenyataanya banyak pembuat bakso yang menambahkan zat kimia pada baksonya. Menurut Wibowo (2006) Beberapa pedagang baso sering menggunakanbahan tambahan pada

produknya, seperti bahan pemutih, bahan pengawet, boraks,fosfat (STPP), dan tawas. Pembuatan bakso terdiri dari tahap pemotongan daging, penggilingandaging, penghalusan daging giling sekaligus pencampuran dengan bahanpembantu dan bumbu, pencampuran dengan tepung tapioka dan sagu aren,pembentukan bola-bola dan perebusan.Perebusan baso dilakukan dalam dua tahapagar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah akibatperubahan suhu yang terlalu cepat. Tahap pertama, baso dipanaskan dalam panciberisi air hangat sekitar 60C sampai 80C, sampai baso mengeras dan terapung.Tahap kedua, baso direbus sampai matang dalam air mendidih (Wibowo, 2006) Tepung Tapioka Tepung tapioka adalah tepung yang berasal dari singkong. Tepung tapioka adalah karbohidrat granuler yang berwarna putih, hasil sintesa tanaman dari barbagai gugus glukosa yang berfungsi sebagai bahan makanan cadangan. Tepung ini terdiri dari amilosa dan amilopektin, sifat amilopektin dapat memperkuat permukaan terhadap bahan yang ditambahkan tepung tersebut (Wargiono, 1979). Komponen amilosa berfungsi dalam daya serap air dan kesempurnaan proses gelatinisasi produk (Hidayat, 2007). Menurut Cahyadi (2006) secara umum pati terdiri dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Karena daya serap air yang cukup tinggi pada tepung tapioka, tepung ini biasanyadigunakan untuk campuran bakso. Bakso agar lezat dan bermutu tinggi, jumlah tepung sebaiknya tidak lebih dari 15% dari berat daging (Wibowo, 2006). Bumbu dan Es Bumbu merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan bakso dan berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa serta daya simpan produk olahan daging (Cross dan Overby, 1988). Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso daging sapi adalah garam dapur halus dan bumbu penyedap yang terbuat dari campuran bawang putih dan merica (Wibowo, 1999). Bahan penyedap dan bumbu, misalnya bawang putih mempunyai pengaruh preservatif terhadap produk olahan daging karena mengandung lemak (minyak esensial, substansi yang bersifat bakteriostatik). Beberapa bumbu mempunyai sifat sebagai antioksidan, sehingga dapat menghambat perkembangan ransiditas. Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk meningkatkan flavour (Soeparno, 1994). Astawan dan Andreas (2008) menyatakan bahwa bawang putih merupakan salah satu komponen penting dalam bumbu berbagai masakan dan obat penyembuh berbagai penyakit. Konsumsi bawang putih setengah sampai satu siung sehari selama sebulan mampu menurunkan kadar kolesterol sebesar 9%.

Salah satu zat antikolesterol yang paling kuat di dalam bawang putih adalah ajone, suatu senyawa yang juga mencegah penggumpalan darah. Garam dapur (NaCl) yang biasanya dibutuhkan adalah 2,5% dari berat daging. Garam dapur mempunyai peranan penting dalam pembuatan bakso karena merupakan pelarut protein miofibril yang berperan dalam mempengaruhi tekstur produk daging (Morton, 1982). Bahan lain yang digunakan adalah es atau air es. Bahan ini berfungsi untuk membantu membentuk adonan atau membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air ke adonan sehingga adonan tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Penggunaan es sebanyak 10 15% dari berat daging atau bahkan 30% dari berat daging (Palupi, 1986). Warna Warna merupakan hal yang penting dan memberikan daya tarik tersendiri pada suatu produk. Hal ini juga berlaku pada daging. Cross, dkk (1986) menyatakan bahwa ketika mempertimbangkan gambaran spesifik dari penampilan fisik daging, penelitian menunjukkan bahwa warna daging merupakan faktor kualitas yang lebih berpengaruh bagi pemilihan konsumen. Kekenyalan Kekenyalan adalah kemampuan produk pangan untuk pecah akibat gaya tekan (Soekarto, 1990). Kekenyalan terbentuk sewaktu pemasakan, dimana protein akan mengalami denaturasi dan molekul-molekulnya mengembang. Kondisi tersebut mengakibatkan gugus reaktif pada rantai polipeptida terbuka dan selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau berdekatan (Winarno, 1988).

MATERI DAN METODE Materi Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging, garam, es batu, STPP, penyedap, bawang merah, bawang putih, seledri, daun bawang, tepung tapioka, oncom, cabai dan air. Sedangkan alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah food processor dan alat dapur. Metode Secara garis besar pembuatan bakso isi oncom dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pembuatan adonan bakso, pembuatan isi bakso yaitu oncom dan yang terakhir yaitu pembuatan bakso yang digabungkan dengan oncom. Pembuatan adonan bakso

dimulai dari persiapan alat dan bahan yang akan digunakan. Daging segar sebanyak 350 gr dicacah atau dipotong kecil. Tepung tapioka 20%, garam 3.2%, STPP 0.7%, es batu 35%, Merica 0.4%, bawang putih 0.7%, penyedap 0.6 % dan esbatu 35%serta daging yang sudah di potong kecil dimasukkan kedalam food prcessor untuk dicampurkan. Es batu yang dimasukan bagian diawal dan bagian di tengah pencampuran. Adonan dibiarkan dulu beberapa saat. Selanjutnya pembuatan oncom. Oncom yang sudah disediakan di hancurkan dengan menggunakan sendok sekaligus dimasukkan bumbunya. Bumbu yang dicampurkan untuk adonan oncom ini adalah garam, cabai yang telah digiling, dan penedap. Bawang merah, bawang putih, daun bawang dan seledri diiris dan ditumis. Selanjutnya adonan oncom juga ditumis bersama bawang campuran bawang. Oncom ini dimasukkan kedalam bulatan adonan bakso. Air direbus sampai mendidih. Adonan bakso dimasukkan kedalam adalam air tersebut dan ditunggu sampai setengah masak. Selanjutnya bakso yang sudah direbus setengah masak digoreng sampai kecoklatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil UJI HEDONIK Kelompok panelis: kelompok 3 Kelompok: 2 PANELIS PARAMETER I II III IV V VI rata-rata Warna 3 3 3 3 2 3 2,83 Aroma 3 3 3 4 4 3 3,33 Kekenyalan 3 4 3 3 4 4 3,50 Penampilan umum 4 4 5 5 4 4 4,33 UJI MUTU HEDONIK PANELIS PARAMETER I II III IV V VI rata-rata Kekenyalan 3 3 3 3 3 3 3,000 UJI HEDONIK Kelompok panelis: kelompok 4 Kelompok: 3

PANELIS PARAMETER I II III IV V VI rata-rata Warna 3 2 4 3 3 3 3,00 Aroma 2 3 3 2 2 2 2,33 Kekenyalan 3 3 3 2 4 3 3,00 Penampilan umum 3 3 4 3 4 4 3,50 UJI MUTU HEDONIK PANELIS PARAMETER I II III IV V VI rata-rata Kekenyalan 2 2 3 2 2 2 2,167

Pembahasan Hasil praktikum penilaian uji hedonik panelis lebih menyukai bakso kelompok 2. Hal ini dapat dilihat dari parameter yang diujikan. Hampir disemua parameter bakso kelompok 2 memiliki niali lebih besar dari pada kelompok 3. Hanya pada parameter warna saja bakso dari kelompok dua yang memiliki nilai lebih besar. Uji mutu hedonik juga mnunjukkan bahwa nilai kekenyalan pada kelompok 2 lebih baik deari pada bakso kelompok tiga. Kekenyalan adalah kemampuan produk pangan untuk pecah akibat gaya tekan (Soekarto, 1990). Kekenyalan terbentuk sewaktu pemasakan, dimana protein akan mengalami denaturasi dan molekul-molekulnya mengembang. Kondisi tersebut mengakibatkan gugus reaktif pada rantai polipeptida terbuka dan selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau berdekatan (Winarno, 1988). Bakso oncom yang dihasilkan memiliki tingkat kekenyalan 3,5. Hal ini menandakan tanggapan panelis terhadap kekenyalan bakso cukup bagus,sedikit diatas netral. Sementara hasil mutu uji hedonik kekenyalan bakso adalah 3. Selain faktor pemasakan yang mempengaruhi tingkat kekenyalan ini adalah STPP. Pada proses pembuatan bakso yang paling penting adalah proses pencampuran bahan. Untuk pencampuran bahan ini ditambahkan es. Penggunaan es sebanyak 10 15% dari berat daging atau bahkan 30% dari berat daging (Palupi, 1986). Es yang ditambahkan berfungsi untuk menjaja suhu food processor agar tidak naik. Suhu alat ini perlu dijaga agar proses emulsi dapat berjalan dengan baik dan lancar. Adonan bakso juga ditambahkan bumbu-bumbu. Bumbu merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan bakso dan berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa serta daya simpan produk olahan daging (Cross dan Overby, 1988). Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso daging sapi adalah

garam dapur halus dan bumbu penyedap yang terbuat dari campuran bawang putih dan merica (Wibowo, 1999). Bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan bakso adalah garam, bawang putih, penyedap, dan merica. Penambahan bumbu ini berfungsi untuk meningkatkan nilai cita rasa dan aroma pada bakso. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa bakso oncom memiliki nilai aroma 3,33. Hal ini menandakan bahwa panelis cukup menyukai aroma bakso oncom ini. Penambahan tepung tapioka juga sangat penting dalam pembuatan bakso. Komponen amilosa berfungsi dalam daya serap air dan kesempurnaan proses gelatinisasi produk (Hidayat, 2007). Menurut Cahyadi (2006) secara umum pati terdiri dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Karena daya serap air yang cukup tinggi pada tepung tapioka, tepung ini biasanyadigunakan untuk campuran bakso. Tepung tapioka ini berfungsi untuk membah daya ikaat atau menyatukan bahan.

KESIMPULAN Tahapan pembuatan bakso oncom terdiri dari pembuatan adonan bakso, pembuatan adonan oncom, penggabungan bakso dan oncom, perebusan, dan penggorengan bakso oncom. Semua tahapan ini harus diperhatikan dengan baik agar menghasilkan produk bakso oncom yang maksimal. DAFTAR PUSTAKA Astawan, W. 1989. Teknologi Pengolahan Pangan Tepat Guna. CV Akademika Pressindo, Jakarta. Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT. Bumi Aksara, Jakarta Cross, H. R. and A. J. Overby. 1988. Meat Science and Technology In Old Animal Science. Elsevier Publishing Company Inc., New York. Diles, J. J. B., M. F. Miller & B. L. Owen. 1994. Calcium chloride concentration, injection time, and aging period effects on tenderness, sensory, and retail color attributes of loin steaks from mature cows. J. Anim Sci. 72: 2017-2021. Komariah, I. I. Arief, & Y. Wiguna. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang Ditambah Jahe (Zingiber officinale Roscoe) pada Konsentrasi dan Lama Penyimpanan yang Berbeda. Media Peternakan. 27(2): 46-54

Ho, C. Y. , M. M. Stromer & R. M. Robson. 1996. Effects of electrical stimulation on postmortem titin, nebulin, desmin, and troponin-t degradation and ultrastructural changes in bovine longissimus muscle. J. Anim. Sci. 74:1563-1575. Morton, L. H. 1982. Food Flavor Part A. Elisevier Scientific Publishing Company Amsterdam Oxford, New York. lp Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. IPB Press, Bogor. Tarwiyal, Kemal. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil.http://www.ristek.go.id. Wargiono, J. 1979. Ubikayu dan Cara Bercocok Tanamnya. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, Bogor. Wheeler, T. L., M. Koohmaraie, J. L. Lansdell, G. R. Siragusa & M. F. Miller. 1993. Effects of postmortem injection time, injection level, and concentration of calcium chloride on beef quality traits. J. Anim. Sci. 71:2965-2974. Wibowo, Singgih. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging . PenebarSwadaya. Jakarta Winarno, F. G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta Wulf, D. M., R. S. Emnett, J. M. Leheska, & S.J. Moeller. 2002. Relationships amongglycolytic potential, dark cutting (dark, firm, and dry) beef, and cooked beef palatability. J. Animal Sci. 80:1895-1903.

http://sittiassambo.blogspot.com/2013/10/laporan-praktikum-pembuatan-bakso.html

Anda mungkin juga menyukai