Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No.

ISSN 1858-4330

PENGARUH LEVEL DAN WAKTU PENAMBAHAN FOSFAT (SODIUM TRIPOLIFOSFAT/STPP) TERHADAP KUALITAS BAKSO
EFFECT OF LEVEL AND TIME ADDITION OF PHOSPHATE (SODIUM TRIPOLYPHOSPHATE/STPP) ON QUALITY OF BAKSO Muhammad Hatta Jurusan Produksi Ternak, Fak. Peternakan Unhas e-mail dira_hatta@yahoo.com ABSTRAK Karakteristik daging sangat menentukan kualitas bakso. Upaya mempertahankan kualitas daging prerigor yang tetap tinggi setelah penyimpanan perlu dilakukan. Penelitian bertujuan untuk menentukan level penggunaan waktu penambahan fosfat (STPP) yang terbaik dalam pengolahan bakso post rigor. Meningkatkan kualitas daging post rigor yang digunakan sebagai bahan baku pengolahan daging yakni dengan menambahkan STPP pada level dan waktu yang tepat. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pembuat bakso, seperti timbangan, mixer,food processor, alat pemanas, thermometer, peralatan untuk pengujian sensori; plastic PE untuk kemasan; dan pH meter. Bahan yang digunakan adalah daging sapi, garam (NaCl), dan fosfat (STPP). Bahan lainnya adalah tepung tapioca, es, batu, bumbu-bumbu, bakso, dan aquades. Penelitian dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 3. Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Penambahan fosfat post rigor dapat meningkatkan nilai pH adonan dan keputihan warna bakso, sedangkan penambahan fosfat pre rigor dapat meningkatkan kekenyalan dan tingkat kesukaan bakso. Penggunaan level fosfat 0,5% dapat meningkatkan nilai pH adonan, sedangkan level fosfat 0,4% menghasilkan keputihan warna dan tingkat kesukaan bakso yang lebih tinggi. Peningkatan level fosfat 0,5% pada penambahan pre rigor dapat menurunkan nilai pH adonan dan tingkat kesukaan bakso, sebaliknya pada penambahan post rigor. Kata kunci: Bakso, daging, level, waktu, prerigor dan postrigor, dan fosfat

ABSTRACT Characteristics largely determine the quality of the meat meatball. Prerigor maintaining meat quality remains high after storage needs to be done. The purpose of this study was to determine the level of use when adding phosphate (STPP) the best meatballs in the processing of post rigor. Improving the quality of post-rigor meat used as raw material for processing meat by adding STPP level and the right time. Improve the knowledge and skills of students regarding the handling and processing of meat right. This research was conducted in the Laboratory of Animal Products Technology Faculty of Animal Husbandry Hasanuddin University. The study lasted six months. The main tool used is a set of tools meatball makers, such as scales, mixer, food processor, heater, thermometer, tools for sensory testing; PE plastic for packaging, and pH meters. The materials used are beef, salt (NaCl), and phosphate (STPP). Other ingredients are tapioca flour, ice, rocks, spices, meatballs, and distilled water. The research was done experimentally by using 87

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

Completely Randomized Design (CRD) 2 x 3 factorial pattern. Based on the results and discussion can be concluded as follows: The addition of phosphate to increase the value of post rigor pH whitish color dough and meatballs, while the addition of phosphate pre rigor can enhance plasticity and favorite meatball. Use of phosphate level of 0.5% can increase the pH value of the dough, while 0.4% phosphate levels produces whitish color and favorite meatball higher. Increased phosphate levels increase 0.5% in pre rigor can lower the pH value and the level of preference meatball mixture, in contrast to the addition of post-rigor. Keywords: Bakso, meat, level, time, postrigor and prerigor, and phosphate

PENDAHULUAN Peningkatan ilmu pengetahuan dan tingkat perekonomian masyarakat semakin dibutuhkan produk hewani dalam menu sehari-hari. Untuk itu pemenuhan kebutuhan gizi dari protein tersebut terutama produk olahan daging seperti bakso. Karakteristik daging sangat menentukan oleh kualitas bakso. Sifat daging yang paling penting untuk produk emulsi adalah kemampuannya mengikat air dan lemak untuk menstabilkan emulsi. Hal ini ditentukan oleh kemampuan protein daging sebagai emulsifier untuk larut. Upaya mempertahankan kualitas daging prerigor yang tetap tinggi setelah penyimpanan perlu dilakukan. Bahan tambahan yang paling umum digunakan dalam pengolahan bakso adalah garam dan fosfat untuk menfasilitasi protein daging sebagai emulsifier, yakni dengan memutuskan ikatan silang aktomiosin. Semakin banyak protein yang diekstraksi, maka kualitas produk yang dihasilkan juga semakin tinggi. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan upaya untuk menggantikan sebagian garam sebagai pengekstrak protein pada pengolahan bakso. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan level penggunaan waktu penambahan fosfat (STPP) yang terbaik dalam pengolahan bakso post rigor

2. Meningkatkan kualitas daging post rigor yang digunakan sebagai bahan baku pengolahan daging yakni dengan menambahkan STPP pada level dan waktu yang tepat.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Penelitian ini berlangsung selama enam bulan. Alat utama yang digunakan adalah seperangkat alat pembuat bakso, seperti timbangan, mixer, food processor, alat pemanas, thermometer, peralatan untuk pengujian sensori, plastic PE untuk kemasan, dan pH meter. Bahan utama yang digunakan adalah daging sapi bagian fillet dari Ras Bali kelamin jantan, garam (NaCl), dan fosfat (STPP). Bahan-bahan lainnya adalah tepung tapioka, es batu dan bumbu-bumbu untuk bahan pembuatan bakso, dan aquades. Formulasi dasar bakso yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola factorial 2 x 3. Penelitian ini menggunakan RAL Pola Faktorial 2 X 3. Faktor I (A) adalah level STPP yang terdiri dari tiga taraf, yaitu 1) 0,3%; 2) 0,4%; dan 3) 0,5%. Faktor II (B) adalah waktu penambahan STPP yang terdiri dari dua taraf, yaitu: (1) prerigor dan (2) postrigor. Level penambahan

88

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

STPP (b/b) dihitung berdasarkan berat daging yang digunakan dalam formulasi bakso. Parameter yang diukur adalah nilai pH adonan, produksi (yield), kualitas sensori

yang meliputi kekenyalan, warna dan kekuatan bakso. Pada Gambar 1 dapat dilihat diagram alir pembuatan bakso pada penelitian ini.

Tabel 1. Formulasi bakso yang digunaakan No 1 2 3 4 5 6 Daging sapi Es batu Tepung tapioca STPP Garam Bumbu* Jenis bahan Jumlah (%) 70 20 10 Sesui perlakuan Sesuai perlakuan 1

*) Berdasarkan berat adonan

Gambar 1. Diagram alir pembuatan bakso

89

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

Pengukuran para meter Parameter yang diukur adalah: untuk tahap 1 dan 2 adalah pH adonan produksi (yield), kualitas sensori yang meliputi: Parameter yang diukur adalah nilai pH adonan, produksi (yield), kualitas sensori yang meliputi keke-nyalan, warna dan kekuatan bakso. Para-meter yang diukur untuk tahap 3 adalah pH adonan produksi (yield), kualitas sen-sori yang meliputi kekenyalan, warna, rasa dan kekuatan bakso. Pengukuran pa-rameter didasarkan pada metode: a. Nilai pH adonan bakso (Apriyantono et al., 1989) b. Produksi (yield) [selisih berat produk dengan berat adonan) X 100%] c. Kualitas sensori (Soekarto dan Hubeis, 1993) Penilaian kualitas sensori terhadap kualitas produk bakso dilakukan dengan uji skor. Skor menggunakan angka 1 sampai 5 dan format uji disajikan pada Gambar 6. Penilaian dilakukan oleh 10 orang panelis yang sebelumnya dilatih mengenal sifat organoleptik yang diujikan. Analisis Data Data diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan analisis ragam berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam ulangan. Perlakuan yang menunjukkan pengaruh yang nyata dan sangat nyata dilanjukkan pengujiannya dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai pH Adonan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan fosfat berpengaruh sanagt nyata (P<0,01) terhadap nilai pH adonan bakso yang dihasilkan. Pada Tabel 8 terlihat bahwa waktu penambahan post rigor memiliki nilai pH yang lebih tinggi dari prerigor. Hal ini berarti bahwa fosfat lebih efektif bekerja memisahkan aktin dan miosin ketika keduanya membentuk kompleks aktomiosin saat fase post rigor, dibanding pada saat aktin dan miosin masih dapat melakukan kontraksi dan relaksasi saat fase prerigor. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa level fosfat berpengaruh sangat nyata (P <0,01) terhadap nilai pH adonan. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada penggunaan fosfat 0,5% memberikan nilai pH adonan lebih tinggi dari level 0,3% dan 0,4%. Hal ini berarti bahwa fosfat memiliki kemampuan meningkatkan pH. Salah satu alasan penggunaan polifosfat dalam pengolahan daging adalah kemampuannya meningkatkan pH daging. Hal dimungkinkan karena karakter polianion yang dimilikinya sehingga dapat berperan sebagai buffer yang baik. Peningkatan pH merupakan pengaruh utama dari polifosfat dalam pengolahan daging karena akan membantu melarutkan protein dan meningkatkan pengikatan air.

Tabel 2. Nilai rata-rata nilai ph adonan bakso pada level dan waktu penambahan STPP yang Berbeda Level STPP (%) 03 0,4 0,5 Rata-rata Prerigor 6,15 6,21 6,08 6,15 Postrigor 6,23 6,32 6,55 6,36 Rata-rata 6,19a 6,27a 6,29b Keterangan: Angka yang diikuti huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Waktu Penambahan 90

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara waktu penambahan dan level fosfat berpengaruh sangat nyata (P <0,01) terhadap nilai pH adonan. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa peningkatan level fosfat pada waktu penambahan postrigor cenderung meningkatkan nilai

pH, sebaliknya pada penambahan pre rigor nilai pH justru mengalami penurunan jika level fosfat ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa fosfat lebih aktif bekerja memisahkan kompleks aktin miosin pada kekuatan ionik yang rendah dibanding pada kekuatan ionik tinggi.

Gambar 2.

Garafik intraksi pengaruh waktu penambahan dan level fosfat terhadap nilai pH adonan bakso

Produksi Hasil penelitian mengenai pengaruh penambahan berbagai level fosfat pada waktu pre- dan post rigor terhadap persentase produksi disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu penambahan fosfat tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase produksi bakso yang dihasilkan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa level fosfat juga

tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase produksi. Demikian pula halnya dengan pengaruh interaksi antara waktu penambahan dan level fosfat juga tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap produksi. Ini berarti bahwa pengaruh perlakuan fosfat terhadap persentase produksi sejalan dengan pengaruh perlakuan garam.

Tabel 3. Nilai Rata-rata produksi (%) bakso pada level dan waktu penambahan STPP yang berbeda Waktu Penambahan Prerigor Postrigor Rata-rata 03 102,04 101,79 101,92 Level STPP (%) 0,4 0,5 102,91 101,30 105,41 101,82 104,16 101,56 Rata-rata 102,08 103,01

Keterangan: Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) 91

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

Selain disebabkan jumlah air yang digunakan dalam formasi kemungkinan masih perlu ditambah, hal lain yang dapat menyebabkan persentase produksi yang dihasilkan relatif sama adalah daging yang digunakan dari jenis fillet yang memiliki kualitas daging paling tinggi sehingga memberikan daya mengikat yang juga optimal dalam produk olahan daging yang digiling, seperti bakso. Hal ini menyebabkan pengaruh perlakuan waktu penambahan dan level fosfat belum terlihat. Jika dibandingkan nilai rata-rata produksi yang dihasilkan dari penggunaan fosfat dan garam, terlihat bahwa persentase produksi lebih tinggi pada penggunaan fosfat, yakni 102,55% dibanding garam, yakni 98,59 %. Hal ini dapat dihubungkan dengan nilai pH adonan pada penggunaan fosfat lebih tinggi (6,26) yang berarti bahwa kemampuan mengikat airnya juga lebih tinggi dibanding penggunaan garam.

Kekenyalan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu penambahan fosfat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap skor kekenyalan bakso yang dihasilkan. Pada Tabel 4 terlihat bahwa waktu penambahan pre rigor memiliki skor kekenyalan yang lebih tinggi dari post rigor, meskipun nilai pH adonannya lebih rendah. Hal ini berarti bahwa kemampuan relaksasi aktin miosin ketika otot menggunakan energi dari hasil glikolisis lebih besar dibanding pemisahan aktin miosin yang terjadi dengan bantuan fosfat sehingga berpengaruh terhadap respon kekenyalan bakso yang dirasakan panelis. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa sifat kekenyalan lebih ditentukan oleh intensitas ikatan silang aktin miosin daging dibanding daya mengikat air adonan.

Tabel 4. Nilai rata-rata skor kekenyalan bakso pada level dan waktu penambahan STPP yang berbeda Waktu Penambahan Prerigor Postrigor Rata-rata 0,3 3,47 2,87 3,17 Level STPP (%) 0,4 0,5 3,90 3,92 3,17 2,99 3,53 3,45 Rata-rata 3,76a 3,01b

Keterangan: 1. Angka yang diikuti huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) 2. Skor 1: tidak kenyal ; 5: sangat kenyal

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa level fosfat tidak berpengaruh nyata (P >0,05) terhadap skor kekenyalan bakso. Hal Ini berarti bahwa untuk memperoleh sifat kekenyalan bakso tertinggi sudah optimum pada penggunaan fosfat 0,3%. Bahkan pada Tabel 4 terlihat bahwa skor kekenyalan bakso cenderung menurun pada penggunaan fosfat 0,5%. Hal ini disebabkan tingkat kelarutan protein yang tinggi akibat penambahan fosfat berlebih 92

justru menyebabkan pengendapan protein dalam larutan yang menurunkan kemampuan mengikat air adonan (efek saltingout). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa intraksi antara waktu penambahan dan level tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap skor kekenyalan bakso. Ini berarti bahwa kedua faktor tersebut tidak

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

saling mempengaruhi terhadap skor kekenyalan bakso. Warna Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu penambahan fosfat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap skor warna bakso yang dihasilkan. Pada Tabel 5 terlihat bahwa bakso pada penambahan fosfat postrigor memiliki skor warna yang lebih tinggi dari prerigor. Ini berarti bah-

wa warna bakso dari penambahan post rigor lebih putih dibanding prerigor. Fosfat memiliki kemampuan menjerat komponen kation polivalensi, seperti Ca2+ dan Mg2+ yang dilepaskan setelah ternak mengalami rigor. Selain itu, juga mampu mengikat Fe dari mioglobin yang keberadaannya kemungkinan menaikkan intensitas warna coklat daging sehingga dalam keadaan terikat dengan fosfat akan menghasilkan warna produk yang lebih putih.

Tabel 5. Nilai rata-rata skor warna bakso pada level dan waktu penambahan STPP yang berbeda Waktu Penambahan Prerigor Postrigor Rata-rata 0,3 3,68 2,50 3,09a Level STPP (%) 0,4 3,80 3,03 3,42b 0,5 3,70 2,57 3,13a Rata-rata 3,70a 3,72b

Keterangan: 1. Angka yang diikuti huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) dan pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nayata (P<0,05) 2. Skor 1: Coklat ; 5: putih

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa level fosfat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap skor warna bakso. Pada Tabel terlihat bahwa bakso yang menggunakan level fosfat 0,4% menghasilkan warna paling putih, sedangkan yang menggunakan level fosfat 0,3% maupun 0,5% relatif lebih coklat. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan fosfat menjerat Fe sudah optimal pada level 0,4% sehingga pigmen mioglobin relative tahan terhadap reaksi oksigen dan pemanasan, sedangkan level di bawah maupun di atasnya menyebabkan kestabilan pigmen mioglobin berkurang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara waktu penambahan dan level fosfat tidak berpengaruh nyata (P >0,05) terhadap skor warna bakso. Ini

berarti bahwa kedua faktor tersebut tidak saling mempengaruhi dalam menentukan nilai skor warna bakso. Kesukaan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa waktu penambahan fosfat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap skor kesukaan bakso yang dihasilkan. Demikian pula halnya dengan penambahan level fosfat juga menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap skor kesukaan bakso. Pada Tabel 6 terlihat bahwa bakso pada penambahan I fosfat pre rigor memiliki skor kesukaan yang lebih tinggi dari postrigor. Sedangkan pada perlakuan level fosfat, panelis menyukai bakso yang menggunakan fosfat 0,4% dan 0,5%. Skor kesukaan direspon panelis pa-

93

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

ling rendah pada penggunaan level 0,3%. Tidak seperti halnya dengan tingkat kesukaan panelis terhadap bakso pada penggunaan garam, jika dikaitkan dengan skor penilaian terhadap kekenyalan dan warna bakso, terlihat bahwa panelis dalam menentukan tingkat kesukaannya lebih mem-

pertimbangkan faktor kekenyalan dibanding warna putih bakso. Hal ini kemungkinan disebabkan skor kekenyalan pada penggunaan fosfat lebih tinggi, yakni 3,39 berarti mendekati kriteria kenyal sehingga menjadikannya lebih dominan dalam menentukan kesukaan.

Tabel 6. Nilai rata-rata skor kesukaan pada level dan waktu penambahan STPP yang berbeda Waktu Penambahan Prerigor Postrigor Rata-rata 0,3 4,07 2,40 3,23a Level STPP (%) 0,4 4,44 3,15 3,74b 0,5 4,25 3,40 3,83b Rata-rata 4,22a 2,98b

Keterangan: 1. Angka yang diikuti huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) 2. Skor 1: tidak sukat ; 5: sangat suka

Gambar 3. Grafik intraksi pengaruh waktu penambahan dan level fosfat terhadap skor kesukaan bakso

Hasil analisis ragam menunjukkan intraksi antara bahwa waktu penambahan dan level fosfat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap skor kesukaan bakso. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa peningkatan level fosfat pada waktu penambahan postrigor cenderung meningkatkan skor kesukaan, 94

sebaliknya pada penambahan prerigor skor kesukaan mengalami penurunan jika level fosfat ditingkatkan. Hasil ini lebih berkorelasi dengan nilai pH adonan yang dihasilkan dibandingkan tingkat kekenyalan dan warna bakso. Kualitas organoleptik produk olahan daging yang digiling sangat

Jurnal Agrisistem, Desember 2011, Vol. 7 No. 2

ISSN 1858-4330

ditentukan oleh kemampuan daging mengikat air dan lemak, sedangkan sifat ini terkait erat dengan nilai pH karena menentukan kemudahan protein miofibril daging untuk diekstraksi dan larut dalam adonan. KESIMPULAN 1. Penambahan fosfat post rigor dapat meningkatkan nilai pH adonan dan keputihan warna bakso, sedangkan penambahan fosfat prerigor dapat meningkatkan kekenyalan dan kesukaan bakso. 2. Penggunaan level fosfat 0,5% dapat meningkatkan nilai pH adonan, sedangkan level fosfat 0,4% menghasilkan keputihan warna dan kesukaan bakso yang lebih tinggi. 3. Peningkatan level fosfat 0,5% pada penambahan prerigor dapat menurunkan nilai pH adonan dan tingkat kesukaan bakso, sebaliknya pada penambahan postrigor.

beef muscle homogenate. Korean J. Anim. Sci. 31(1): 4752. Faustman, C., 1984. Post Mortem Changes in Muscle Foods. Meat, Poultry and Sea Food Technology. Chapman & Hall, New York. Kijowski, J., 2001. Muscle protein. In: Z.E. Sikorski (Ed.). Chemical and Functional Properties of Food Proteins. Technomic Publishing Company, Pennsylvania. Mattjik, A.A. and I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I Edisi Kedua. IPB Press, Bogor. Sentandreu, M.A., G. Coulis and A. Ouali. 2002. Role of muscle endopeptidases and their inhibitors in meat tenderness. Trends in Food Science & Technology 13: 400 421. Soekarto, S.T. dan M. Hubeis, 1993. Metodologi Penelitian Organoleptik. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Swatland, H.J., 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, New Jersey. Wong, D.W.S., 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Van Nostrand Reinhold, New York.

DAFTAR PUSTAKA Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto, 1989. Analisis Pangan. Petunjuk Laboratorium. IPB, Bogor. Choi, Y.I., 1989. Effects of salt and phosphate on proteins extraction of

95

Anda mungkin juga menyukai