Anda di halaman 1dari 17

Evaluasi kualitas Daging dan Produk Olahan Daging di Pasar Tradisional

Ni Made Suksma Dewi Wisnantari1, I Gusti Ngurah Gede Arbi Kencana2, Berliani Susi
Ester Natara3, Agostinho Moreira Belo4, Cesarina Pascalia dos Santos Alegria5, Ida Bagus
Ngurah Swacita6

Mahasiswa Program Profesi Dokter Hewan,


Laboratorium Kesehatan Masyarakat dan Epidemiologi Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Jl. P. B. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia, 80234
Telp/Fax: (0361) 255128
Email: suskmadewi22@gmail.com

ABSTRAK

Pemeriksaan kualitas daging menjadi salah satu upaya untuk menjamin dan menjaga rasa
aman dan nyaman dalam konsumsi bahan produk asal hewan agar mencakup standar keamanan
pangan (food safety). Pengujian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas daging dan produk
olahan yang diperiksa secara subjektif dan objektif. Sampel yang digunakan adalah daging sapi,
ayam, ikan, dan babi serta produk olahan berupa sosis dan bakso sapi, ayam, babi, dan ikan dari
pasar tradisional Padangsambian dan pasar tradisional Nyanggelan. Pemeriksaan sampel diuji
kualitasnya secara subjektif meliputi warna, bau, konsitensi dan tekstur, kepualaman daging, dan
secara objektif meliputi pH, daya ikat air, kadar air, dan Uji Angkat Lempeng Total Bakteri
(ALTB). Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap daging sapi, ayam, babi, ikan serta
bakso dan sosis sapi, ayam, babi, dan ikan memiliki kualitas yang baik. Dapat disimpulkan bahwa
kualitas daging dan produk olahan tersebut masih layak untuk dikonsumsi.
Kata Kunci: daging; produk olahan daging; uji kualitas

ABSTRACT

Inspection of meat quality is one of the efforts to ensure and maintain a sense of security
and comfort in the consumption of product materials of animal origin including food safety
standards. This test aims to evaluate the quality of meat and processed products that are examined
subjectively and objectively. The samples used were beef, chicken, fish, and pork as well as
processed products such as sausage and meatball beef, chicken, pork, and fish from the
Padangsambian traditional market and the Nyanggelan traditional market. The samples were tested
for quality subjectively including color, smell, consistency and texture, marbled meat, and
objectively covering pH, water holding capacity, water content, and Total Bacterial Plate Lift Test.
The results of the inspections that have been carried out on beef, chicken, pork, fish, meatballs,
and beef sausages, chicken, pork, and fish are of good quality. It can be concluded that the quality
of the meat and processed products is still suitable for consumption.

Keyword: meat; meat products; quality test

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan daging untuk konsumsi masyarakat dari tahun ke tahun selalu meningkat
seiring dengan semakin banyaknya jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat kepadatan penduduk berkorelasi positif dengan tingkat kebutuhan produk ternak (daging).
Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain
yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Dengan kandungan gizi yang tinggi terutama protein dengan
komposisi asam amino yang seimbang, menjadikan daging sebagai bahan pangan yang diandalkan
dalam pemenuhan gizi masyarakat. Daging mengandung gizi yang tinggi, namun daging
merupakan bahan yang mudah rusak serta mudah terkontaminasi bakteri patogen (Simanjuntak et
al., 2022). Pada dasarnya kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain
adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik, dan mineral) dan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi
kualitas daging antara lain meliputi pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, dan
daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, dan antibiotik, lemak
intramuskular, dan metode penyimpanan (Haq et al., 2015).

Evaluasi kualitas daging menjadi salah satu upaya untuk menjamin dan menjaga rasa aman
dan nyaman dalam konsumsi bahan produk asal hewan agar mencakup standar keamanan pangan
(food safety). Daging yang memiliki kualitas bagus tentunya akan memberikan produk olahan yang
bagus dan akan mempermudah selama proses pengolahan. Faktor kualitas daging meliputi warna,
konsistensi dan tekstur, aroma, dan cita rasa. Kadar air, daya ikat air, dan pH daging juga
menentukan kualitas daging (Anil et al., 2002; Fikri et al., 2017). Pasar tradisional memiliki
tingkat hygiene dan sanitasi yang rendah. Kebanyakan penjual tidak berjualan di tempat yang
sudah disediakan tetapi berjualan di jalan sekitar pasar yang sering dilalui kendaran bermotor.
Berdasarkan kepentingan dari pemenuhan kualitas daging bagi konsumen maka perlu dilakukan
pengujian secara laboratorium terhadap kualitas daging. Tujuan pengujian ini yaitu untuk
mengevaluasi kualitas daging yang diperiksa secara subjektif dan secara objektif terhadap daging
sapi, daging babi, daging ayam, dan ikan serta produk olahannya di Pasar Tradisional
Padangsambian dan Pasar Nyanggelan Kota Denpasar, Bali.

MATERI DAN METODE

Objek atau bahan pemeriksaan yang digunakan yaitu sampel daging ayam, daging sapi,
daging babi, dan daging ikan dari Pasar tradisional Padangsambian dan Pasar Nyanggelan, produk
olahan bakso dan sosis ayam, sapi, babi, dan ikan dari Pasar tradisional Padangsambian dan Pasar
Nyanggelan, media Nutrient Agar (NA), dan aquades. Peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan ini yaitu pisau, talenan, sendok, pH meter digital, oven, cawan petri, cawan
aluminium, gelas ukur, gelas beaker, tabung reaksi, kompor listrik, timer, desikator, inkubator,
lempengan kaca, beban 35 kg, kertas HVS, kertas label, mortir dan stamper, pipet pasteur,
mikropipet, yellow tip, tabung eppendorf, rak yellow tip, termometer dan neraca analitik.
Pemeriksaan dan penilaian kualitas daging dan produk olahannya yang berasal dari pasar
tradisional dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Udayana. Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 10-11 November 2022.

Metode evaluasi kualitas daging dilakukan dengan pemeriksaan secara subjektif dan
objektif. Pemeriksaan subjektif berupa pemeriksaan warna dengan prosedur daging diiris setebal
1 cm pada permukaan segar, lalu amati warna daging. Selanjutnya pemeriksaan bau, uji dilakukan
dengan cara penciuman terhadap sampel daging. Nyatakan bau daging seperti bau yang pernah
dikenal (bau darah segar, ammonia, H2S, dan lainnya). Pemeriksaan konsistensi dan tekstur, uji
dilakukan dengan cara melakukan perabaan terhadap sampel daging. Konsistensi dinyatakan
dengan: liat, lembek, kering atau berair. Tekstur dinyatakan dengan halus atau kasar.

Pemeriksaan terhadap keadaan tenunan pengikat, uji dilakukan dengan mengamati


penampang melintang daging, dan diamati ada tidaknya jaringan ikat. Pemeriksaan keadaan
tenunan pengikat berdasarkan acuan peraturan Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia,
dikategorikan menjadi Mutu I dan Mutu II. Mutu I apabila daging yang dilihat secara visual tidak
mengandung jaringan ikat, sedangkan kategori Mutu II apabila daging yang dilihat secara visual
mengandung jaringan ikat. Pemeriksaan kepualaman daging, uji dilakukan dengan mengamati
penampang melintang daging, dan perhatikan adanya bintik lemak di antara serat daging
(intramuskuler). Kepualaman daging diberikan skor sesuai dengan The Japanese Meat Society
(1974), yaitu 0 = bintik lemak absen (0% dari penampang melintang permukaan), 1 = bintik lemak
absen (10% dari penampang melintang permukaan), 2 = bintik lemak absen (20% dari penampang
melintang permukaan), 3 = bintik lemak absen (30% dari penampang melintang permukaan), 4 =
bintik lemak absen (40% dari penampang melintang permukaan), 5 = bintik lemak absen (50%
dari penampang melintang permukaan).

Pemeriksaan secara objektif yaitu penetapan pH, daging sebanyak 10 gram dilumatkan
dalam mortir, ditambahkan aquades 10 ml dan dipisahkan antara ekstrak daging dan ampasnya.
Dicelupkan pH meter digital ke dalam ekstrak daging, dan dibaca nilai pH yang tertera. Penetapan
daya ikat air (water holding capacity / WHC) dengan metode Hamm/penekanan, daging segar
ditimbang sebanyak 5 gram, ditempatkan potongan daging dalam kertas yang menyerap air,
kemudian di pres dalam dua lempengan kaca. Ditekan dengan beban seberat 35 kg selama 10
menit, kemudian daging dilepaskan dan ditimbang beratnya. Daya ikat air dihitung menggunakan
rumus:

Berat residu
Daya Ikat Air (%) = 𝑥 100%
Berat awal

Penetapan kadar air dilakukan dengan cara sebagai berikut: cawan pengering dan tutupnya
dimasukkan ke dalam forced draft oven suhu 105˚C selama 15 menit. Cawan yang masih panas
dimasukkan ke dalam desikator untuk didinginkan, kemudian ditimbang beratnya. Selanjutnya
dimasukkan daging sekitar 5 gram ke dalam cawan pengering dan ditimbang cawan beserta isinya.
Dikeringkan daging di dalam oven selama ± 4 jam. Selisih berat awal daging dengan daging yang
telah dioven dihitung menggunakan rumus:

Berat awal − Berat akhir


Kadar Air (%) = 𝑥 100%
Berat awal

Penetapan cemaran ALTB diawali dengan pembuatan media NA. Media NA ditimbang
sebanyak 5 gram dan ditambahkan aquades sebanyak 175 ml dimasak hingga mendidih, didiamkan
pada suhu ruang sampai siap digunakan. Pembuatan pengenceran ekstrak daging 1000x secara
berseri. Ekstrak daging yang telah dimasukkan ke tabung eppendorf sebelumnya, diambil
sebanyak 0,1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang berisi aquades 0,9 ml
sehingga diperoleh pengenceran 10-1 . Dari pengenceran 10-1 diambil sebanyak 0,1 ml kemudian
dimasukkan ke dalam pada tabung eppendorf yang berisi aquades 0,9 ml sehingga diperoleh
pengenceran 10-2 . Dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-3 sampai dengan pengenceran
10-4 Penanaman cemaran ALTB dilakukan dengan menuangkan inokulum yang telah diencerkan
10-4 sebanyak 1 ml ke dalam cawan petri dan ditambahkan media NA dengan suhu 45-50˚C
sebanyak ± 20 ml. Dihomogenkan dengan cara memutar-mutar cawan petri beberapa kali.
Didiamkan beberapa saat pada suhu ruang sampai media menjadi padat. Kemudian dimasukkan
ke dalam inkubator dengan suhu 37˚C dalam posisi terbalik selama 24 jam. Perhitungan jumlah
ALTB menggunakan rumus:

1
Jumlah bakteri = Jumlah koloni x
faktor pengenceran

Evaluasi kualitas produk olahan daging dilakukan pemeriksaan secara subjektif pada
produk olahan daging berupa bakso dan sosis babi, sapi, ayam, dan ikan yaitu pemeriksaan warna,
bau, konsistensi, tekstur, dan cita rasa. Pemeriksaan objektif dilakukan pemeriksaan pH dengan
cara masing-masing sampel produk olahan ditimbang sebanyak 10 gram lalu dilumatkan pada
mortir, ditambahkan aquades, setelah itu pH meter digital dicelupkan ke dalam ekstrak produk
daging dan dibaca nilai pH yang tertera.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Kualitas daging segar dilakukan dengan uji subjektif dan uji objektif. daging yang
digunakan dalam sampel uji berupa daging sapi, ayam, babi dan ikan. Sampel diambil dari dua
pasar tradisional yaitu pasar tradisional padangsambian dan pasar tradisional Nyanggelan. Jumlah
sampel yang diuji adalah 8 sampel.
Tabel 1. Hasil Uji Subjektif Sampel Daging Segar dari Pasar Tradisional Padangsambian dan
Pasar Tradisional Nyanggelan

Parameter Penilaian Kualitas Daging


Warna Bau Konsistensi Tekstur Kepualaman Keadaan
Sampel
Tenunan
Pengikat
S-P Cokelat Darah Liat Halus 2 II
Kemerahan segar berserat
A-P Cokelat Muda Darah Liat Halus 1 I
segar
B-P Cokelat Darah Liat Halus 3 II
segar
I-P Cokelat Muda Amis Lembek Halus 0 I
S-N Coklat Merah Darah Liat Kasar 3 II
Tua segar berserat
A-N Cokelat Darah Liat Halus 1 II
kekuningan Segar
B-N Cokelat Darah Liat Halus 4 II
kemerahan segar
I-N Coklat Merah Amis Lembek Halus 0 I
Cerah
Keterangan: Kode sampel Daging S (Sapi), A (Ayam), B (Babi), I (Ikan).
Kode Sampel Pasar P (Padangsambian) dan N (Nyanggelan).

Pemeriksaan daging segar secara subjektif dilakukan dengan menggunakan panca indera,
yakni melalui inspeksi (pengamatan), palpasi (perabaan), serta insisi (pengirisan) secukupnya pada
bagian tertentu daging. Penilaian secara subjektif meliputi pemeriksaan terhadap warna, bau atau
aroma, konsistensi dan tekstur, kepualaman dan keadaan tenunan pengikat.
Warna daging merupakan salah satu faktor yang menentukan suatu kualitas fisik daging. Warna
daging sapi yang baik adalah berwarna merah cerah (Gunawan, 2013). Hasil uji terhadap warna
daging yaitu dari coklat muda sampai coklat merah tua. Warna merah pada daging disebabkan oleh
myoglobin (Sembiring et al., 2015). Setelah daging mendapat kontak dengan udara yang
mengandung oksigen, maka daging akan berubah warna menjadi merah cerah yang disebabkan
karena terjadinya oksigenasi myoglobin menjadi Oksimyoglobin (Omb). Apabila daging secara
terus-menerus kontak dengan udara luar atau berada pada keadaan tekanan udara rendah, maka
pigmen oksimyoglobin akan mengalami oksidasi menjadi pigmen Metmyoglobin (MMb) dan
daging berubah warna menjadi cokelat. Menurut Zulfahmi et al. (2013) faktor penentu warna
daging dipengaruhi oleh kadar mioglobin bervariasi jumlahnya tergantung spesies, umur, jenis
kelamin, dan aktivitas fisik hewan. Perbedaan kadar mioglobin menyebabkan perbedaan intensitas
warna daging, penilaian warna daging dilakukan dengan cara mengamati warna daging sapi yang
disesuaikan dengan standar warna SNI yang disimpulkan oleh sepuluh orang panelis. Menurut
Gunawan (2013), warna daging yang baik untuk daging sapi adalah jika daging tersebut berasal
dari sapi dewasa, warna daging yang baik adalah merah terang. Sedangkan untuk daging sapi
muda, warna daging yang baik adalah kecokelatan merah muda. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi warna daging mentah yaitu spesies, usia, jenis kelamin hewan, cara memotong
daging, waterholding (air yang dikandung), kapasitas daging, pengeringan pada permukaan
daging, pembusukan pada permukaan daging, dan cahaya yang mengenai permukaan daging.
Aroma daging sapi yang ideal adalah berbau khas daging dan tidak berbau busuk atau tidak
anyir. Bau/aroma pada daging dipengaruhi oleh jenis pakan yang diberikan pada saat sapi semasa
hidupnya. Aroma yang tidak normal biasanya akan segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal
itu dapat disebabkan oleh adanya kelainan antara lain hewan sakit dan hewan dalam pengobatan.
Hewan yang sakit terutama yang menderita radang bersifat akut pada organ dalam akan
menghasilkan daging yang berbau seperti mentega tengik, sedangkan hewan dalam masa
pengobatan terutama dengan pemberian antibiotika akan menghasilkan daging yang berbau obat-
obatan (Gunawan, 2013). Hasil uji kualitas daging parameter bau pada pasar tradisional
Padangsambian dan Nyanggelan yaitu daging sapi, ayam dan babi aromanya seperti darah segar
sedangkan pada daging ikan aromanya amis. Menurut Sihombing et al (2020), daging dipengaruhi
oleh fraksi yang mudah menguap dan akan dikonversi menjadi inpsin-5-monofosfat setelah hewan
mati.
Konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang menyusun otot
suatu daging. Daging yang baik mempunyai konsistensi kenyal dan elastis bila ditekan, jika
dipegang terasa basah meskipun tidak sampai membasahi tangan si pemegang. Jaringan ikat dalam
daging terdiri atas jaringan ikat kolagen, jaringan ikat retikulin, dan jaringan ikat elastin dan
banyak sedikitnya jaringan ikat sangat mempengaruhi kualitas daging. Semakin sedikit kandungan
jaringan ikat pada daging, maka konsistensi daging akan semakin empuk dan kualitasnya semakin
baik, sebaliknya apabila jaringan ikat pada daging semakin banyak, maka kualitas daging semakin
jelek, konsistensinya sangat kenyal/liat, dan jaringan ikat yang banyak pada daging sering
ditemukan pada daging hewan yang sudah tua (Sihombing et al., 2020).
Tekstur daging dipengaruhi oleh konsistensi daging. Daging yang konsistensinya kenyal
karena banyak mengandung jaringan ikat akan memiliki tekstur kasar, sebaliknya jika konsistensi
daging empuk maka teksturnya terlihat halus (Suardana dan Swacita, 2009). Hasil pemeriksaan
tekstur daging yaitu halus, sementara daging sapi pada pasar tradisional Nyanggelan memiliki
tekstur yang kasar. Tekstur umumnya berbeda antara spesies ternak, ternak dalam spesies yang
sama, potongan karkas, dan otot yang sama. Daging yang segar dan sedikit mengandung jaringan
ikat memiliki tekstur yang halus, sedangkan daging yang mengandung banyak jaringan ikat,
teksturnya akan lebih kasar (Swacita et al., 2017). Faktor yang mempengaruhi tekstur daging
digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetic, breed, spesies dan fisiologi, faktor umur,
managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan,
refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama penyimpanan serta metode pengolahan termasuk
metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk.

Pemeriksaan kepualaman pada daging dilakukan bertujuan untuk mengetahui kualitas


mutu daging. Kepualaman daging dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan subjektif secara
visual terhadap adanya bintik-bintik berupa lemak yang terdapat di antara serat otot daging. Bintik
lemak yang terdapat di antara serat daging memiliki warna putih kekuningan yang memiliki sifat
lemak dan disebut juga sebagai marbling. Biasanya bintik lemak (marbling) ini dapat ditemukan
di bagian otot longissimus dorsi (ElMasry et al., 2012). Berdasarkan hasil pemeriksaan
kepualaman daging yang dibeli di pasar tradisional diketahui bahwa tingkat kepualamannya yaitu
mendapatkan skor beragam mulai dari 0 sampai 4 untuk semua jenis daging menurut standar yang
dibuat oleh The Japanese Meat Society (1974). Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan sampel daging sapi yang didapatkan dari pasar Padangsambian menunjukkan skor 2,
daging ayam menunjukkan skor 1, daging babi menunjukkan skor 3, dan daging ikan menunjukkan
skor 0, sedangkan yang didapatkan dari pasar Nyanggelan, daging sapi menunjukkan skor 3,
daging ayam menunjukkan skor 1, daging babi menunjukkan skor 4 dan daging ikan menunjukkan
skor 0. Semakin tinggi skor kepualamannya (skor 0-5) berarti keberadaan 30 bintik lemak yang
ditemukan pada penampang melintang antar serat daging semakin banyak juga. Marbling daging
dapat dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputi jenis ras, jenis kelamin, makanan yang diberi
terhadap hewan ternak, umur, dan juga berat saat hewan dipotong. Hewan yang memiliki banyak
lemak seperti babi biasanya mendapatkan skor kepualaman tinggi, hal ini sesuai dengan
pemeriksaan yang dilakukan pada daging babi dari kedua pasar. Jumlah bintik lemak yang
menentukan konsumsi daging sehingga beberapa negara menentukan kepualaman merupakan
salah satu pemeriksaan yang tidak boleh dilewatkan karena dapat berpengaruh terhadap harga jual
di pasaran (Cheng et al., 2015).

Pada pemeriksaan keadaan tenunan pengikat diperoleh hasil daging sapi dan daging babi
pada pasar Padangsambian dikategorikan de dalam mutu II, sedangkan daging ayam dan daging
ikan pada pasar padangsambian dikategorikan ke dalam mutu I. Daging sapi, daging ayam dan
daging babi pada pasar Nyanggelan dikategorikan ke dalam mutu II, sedangkan daging ikan
dikategorikan ke dalam mutu I. Sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal Peternakan RI, jika
secara visual tidak mengandung jaringan ikat atau negatif, maka daging tersebut termasuk dalam
klasifikasi mutu/Klas I. Jika jaringan ikat positif maka daging tersebut termasuk mutu/Klas II.
Tenunan pengikat menjadi faktor yang mempengaruhi keempukan karena saat proses pemasakan,
kolagen yang berada di tenunan pengikat akan berubah menjadi gelatin (Bahtiar dan Abustam,
2014).

Tabel 2. Hasil Uji Objektif Sampel Daging Segar Pasar Tradisional Padangsambian dan Pasar
Tradisional Nyanggelan

Sampel pH WHC/DIA Kadar Air Pertumbuhan


(%) (%) Bakteri
ALTB (CFU/g)
S-P 5.1 81.49 77.49 59 x 104
A-P 6.0 75.80 76.95 196 x 104
B-P 6.0 89.3 75.20 36 x 104
I-P 6.0 81.83 76.65 113 x 104
S-N 5.5 76.71 75.83 292 x 104
A-N 5.8 77.4 74.40 120 x 104
B-N 6.6 78.42 78.44 61 x 104
I-N 5.5 76.21 79.45 270 x 104
Keterangan: Kode sampel S (Sapi), A (Ayam), B (Babi), I (Ikan).
Kode Sampel P (Padangsambian) dan N (Nyanggelan).

Pemeriksaan secara objektif terhadap kualitas daging merupakan pemeriksaan yang


dilakukan dengan menggunakan bantuan berupa alat-alat laboratorium. Pemeriksaan secara
objektif meliputi pemeriksaan terhadap pH daging, Water Holding Capacity (WHC), penetapan
kadar air, serta penetapan jumlah kuman. Pada pemeriksaan terhadap penetapan jumlah kuman
daging dilakukan dengan metode tuang menggunakan media Nutrient Agar (NA).

Berdasarkan hasil pemeriksaan pH pada daging yang dibeli di pasar Tradisional


Padangsambian dan pasar Nyanggelan menunjukkan bahwa nilai pH semua daging yang diuji
sangat bervariasi. Menurut Buckle et al., (1987) bahwa pada beberapa ternak penurunan pH terjadi
satu jam setelah ternak dipotong sampai tercapainya rigormortis. Pada pemeriksaan ini nilai pH
daging ada yang tetap tinggi yaitu ± 6,6 namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat
cepat yaitu ± 5,1. Penurunan nilai pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat
berhenti berkisar antara 5,1-6,2 (Soeparno, 2005). Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah
laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila
glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong (Buckle et
al., 1987). Menurut Lukman (2010), nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai dibawah
5,3 disebabkan oleh enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif bekerja. Jika
pH daging mencapai 6,8 atau lebih tinggi maka akan terjadi dekomposisi protein yang disebabkan
oleh aktifitas mikroba selama penyimpanan. Dapat disimpulkan semakin lama penyimpanan
daging pada suhu ruang akan semakin meningkat pH dan semakin banyak basa yang dihasilkan
akibat tingginya aktivitas mikroorganisme yang pada akhirnya mengakibatkan pembusukan
(Kusmajadi, 2012).

Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) merupakan suatu kemampuan daging
untuk menahan atau mengikat airnya sendiri karena pengaruh tekanan atau kekuatan dari luar
seperti pemotongan, pemanasan dan penggilingan. Pemeriksaan Daya Ikat Air (DIA) atau Water
Holding Capacity (WHC) dengan metode Hamm pada penelitian ini mendapatkan hasil daya ikat
air pada semua daging berada diatas 75% menunjukkan bahwa daya ikat air pada masing-masing
sampel tergolong baik. Hasil ini sesuai dengan pernyataan dari Suardana dan Swacita (2009)
bahwa daya ikat air daging baik adalah di atas 75%. Struktur protein pada daging berfungsi
mengikat air yang terdapat pada daging. Untuk daging yang masih segar, struktur proteinnya masih
utuh sehingga memiliki kemampuan untuk mengikat air dengan baik. Sebaliknya untuk daging
yang sudah busuk, struktur proteinnnya sudah rusak sehingga tidak punya kemampuan mengikat
air lagi sehingga daya ikat airnya rendah (Suardana dan Swacita, 2009). Menurut Soeparno
(2009) selain faktor pH, daya ikat air juga dipengaruhi faktor lokasi otot, umur, pakan (contohnya
feed additif), transportasi, temperatur, kelembaban, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum
pemotongan, dan lemak intramuscular.

Kualitas daging salah satunya dapat dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung dalam
daging seperti tingkat kebasahan daging, keempukan, warna, dan cita rasa daging. Winarno dan
Fardiaz (1980) menyatakan bahwa kadar air pada daging berkisar antara 60-70% dengan rata-rata
normal 75%, sedangkan menurut Lawrie (2003) kadar air pada daging segar 75% dengan batas
normal 65-80%. Pada hasil pemeriksaan kadar air yang dilakukan terhadap keempat jenis daging
dari pasar tradisional yang dipanaskan di dalam microwave selama empat jam menunjukkan
bahwa daging memiliki kadar air berkisar antara 74-79%. Daging yang bagus ditandai dengan
memiliki kadar air yang cukup. Namun kadar air yang terlalu tinggi akan memudahkan bakteri
untuk tumbuh sehingga berkolerasi terhadap potensi terjadinya kebusukan daging menjadi lebih
cepat. Kadar air yang tinggi dapat disebabkan oleh umur ternak yang masih muda karena
pembentukan protein dan lemak daging belum sempurna, peningkatan umur dapat meningkatkan
proporsi bahan kering sehingga menurunkan kadar air (Hernando et al., 2015). Berdasarkan hasil
pemeriksaan tersebut maka kadar air daging yang diperiksa dalam kisaran normal.

Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (BSN)


persyaratan cemaran kuman untuk daging sapi yang beredar di Indonesia adalah angka lempeng
total bakteri (ALTB), 1 x 106 (CFU/g) (SNI 7388, 2009). Indikator kontaminasi awal pada daging
sapi segar salah satunya dapat dilihat dari jumlah ALTB, karena bakteri tersebut terdapat secara
alami pada daging sapi segar dan dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaannya berada di
atas ambang batas yang diperbolehkan (Kuntoro et al., 2012). Salah satu metode yang digunakan
untuk menghitung jumlah mikrob yaitu teknik ALTB, yang merupakan teknik menghitung jumlah
seluruh bakteri yang terdapat pada daging dengan menggunakan media (Plate Count Agar/PCA
(Samudra et al., 2016). Jumlah bakteri pada sampel yang diperoleh dengan metode ini merupakan
gambaran populasi. Pengujian ALTB adalah salah satu jenis uji awal dalam mengidentifikasi
jumlah mikrob secara umum pada daging dan dengan hasil uji awal akan memengaruhi jenis
mikrob pada uji berikutnya (Jacob et al., 2018).

Hasil pengujian daging yang diperoleh dari pasar tradisional Padangsambian dan pasar
Nyanggelan masih berada di bawah standar SNI. Nilai tertinggi jumlah ALTB adalah 292 x 10 4
(CFU/g) pada daging sapi yang diperoleh dari pasar tradisional Nyanggelan dan nilai terendah
ALTB adalah 36 x 104 (CFU/g) pada daging babi yang diperoleh dari pasar tradisional
padangsambian. Hal ini dapat disebabkan karena saat pengelolaan daging yang mungkin berbeda,
misalnya proses pengelolaan daging di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang belum
menerapkan sanitasi dan higiene yang benar atau adanya perbedaan kondisi selama pengemasan
daging sapi. Faktor– faktor seperti kontaminasi antara daging dan tangan pemotong (kontaminasi
silang), peralatan yang terkontaminasi, pengepakan dan pengiriman yang terkontaminasi serta
kualitas air selama proses produksi daging memiliki peranan penting dalam kontaminasi daging
(Kuntoro et al., 2013; Rananda, 2016). Pemotongan karkas menjadi bagian–bagian kecil yang
terpisah memungkinkan mikrob berada pada permukaan pemotongan dan lebih mudah untuk
berkembangbiak, karena dengan mudah terpapar dengan zat–zat yang diperlukan untuk
pertumbuhan bakteri (Sukmawati, 2018; Jacob et al., 2018).

Tabel 3. Pemeriksaan Terhadap Kualitas Produk Olahan Daging Pasar Tradisional


Padangsambian dan Pasar Nyanggelan

Sampel Pemeriksaan Secara Subjektif Pemeriksaan


Secara Objektif
Warna Bau Konsistensi Cita Rasa pH
/Tekstur
Sosis Cokelat Daging Sapi Liat/Halus Gurih 6.2
(S-P) Terbumbui
Sosis Cokelat Daging Ayam Liat/Halus Gurih asin 6.0
(A-P) Kekuningan Terbumbui
Sosis Cokelat Daging Babi Liat/Halus Gurih 6.2
(B-P) Terbumbui
Sosis Putih Daging Ikan Liat/Halus Asin 6.5
(I-P) Kekuningan Terbumbui
Sosis Cokelat Daging Sapi Liat/Halus Gurih 6.1
(S-N) Kemerahan Terbumbui penyedap
Sosis Cokelat Daging Ayam Liat/Halus Gurih asin 6.0
(A-N) Terbumbui
Sosis Cokelat Gelap Daging Babi Liat/Halus Gurih Pekat 6.2
(B-N) Terbumbui bumbu
Sosis Cokelat Cerah Daging Ikan Liat/Halus Gurih 6.3
(I-N) Terbumbui
Bakso Cokelat Daging Sapi Liat/Kasar Gurih alot 6.2
(S-P) Terbumbui
Bakso Putih Keabuan Daging Ayam Liat/Halus Dominan 6.6
(A-P) Terbumbui tepung
Bakso Cokelat Daging Babi Liat/Halus Gurih 6.4
(B-P) Kemerahan Terbumbui
Bakso Putih Daging Ikan Liat/Halus Gurih 6.2
(I-P) Terbumbui
Bakso Cokelat Cerah Daging Sapi Liat/Kasar Gurih 6.5
(S-N) Terbumbui penyedap
Bakso Putih Daging Ayam Liat/Halus Gurih 6.3
(A-N) Terbumbui
Bakso Cokelat Daging Babi Liat/Halus Gurih 6.6
(B-N) Kemerahan Terbumbui penyedap
Bakso Cokelat Daging Ikan Liat/Halus Gurih 6.5
(I-N) Terbumbui
Keterangan : Kode sampel S (Sapi), A (Ayam), B (Babi), I (Ikan). Kode sampel P
(Padangsambian), N (Nyanggelan).
Pada pemeriksaan subjektif terhadap produk olahan daging menunjukkan pada
pemeriksaan bau tidak ditemukan adanya kelainan seperti bau busuk ataupun bau amis. Semua
produk olahan daging tersebut menunjukkan bau khas dari bahan dasarnya yang berupa daging
sapi, ayam, babi dan ikan. Bau tambahan berupa bumbu merupakan bahan penyedap yang dapat
meningkatkan cita rasa dari produk olahan daging tersebut. Cita rasa dari setiap produk juga
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan bahan tambahan yang terkandung di
dalam produk tersebut seperti misalnya bumbu, perasa, atau bahkan tidak sama sekali. Melalui
pemeriksaan cita rasa ini, secara umum seluruh produk masih dalam keadaan baik dan layak untuk
dikonsumsi, namun pada beberapa produk perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut seperti
penggorengan dan lain sebagainya. Warna produk olahan daging terlihat berbeda diakibatkan
karena perbedaan warna dasar daging dan pemakaian bahan pewarna yang berbeda pula, baik
pewarna yang diakibatkan pewarna yang diakibatkan pewarna buatan melalui proses sintesis kimia
yang mempergunakan bahan-bahan kimia, atau pewarna alami melalui proses ekstraksi secara
kimiawi. Berdasarkan tekstur dan kekenyalan didapatkan hasil normal hal ini dikarenakan pada
proses pengolahan daging juga ditambahkan garam dapur yang berfungsi untuk meningkatkan
daya ikat air dari protein. Kekenyalan dari bakso dipengaruhi oleh daya mengikat air dari daging
yang tinggi.

Nilai pH pangan menurut Standarisasi Nasional Indonesia yaitu berkisar antara 6 sampai 7
hal ini berarti bahwa nilai pH dalam penelitian ini masih memenuhi batasan pH menurut
Standarisasi Nasional Indonesia. Perbedaan nilai pH daging olahan dipengaruhi oleh bahan dasar
yang digunakan yaitu daging dan tepung. Nilai pH bahan dasar ini mengakibatkan perubahan nilai
pH pada produk olahan. Hal ini terjadi akibat adanya perubahan keseimbangan hidrogen pada
bakso dan sosis sebagai pengaruh dari nilai pH bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan
bakso dan sosis. Pencampuran bahan-bahan membuat titik keseimbangan hidrogen yang baru pada
bakso dan sosis. Perubahan susunan struktur pada daging restrukturisasi dalam fungsinya sebagai
protein daging telah terbukti mempengaruhi pH produk yang dihasilkan (Montolalu et al., 2017).
pH adalah suatu indikator yang penting dalam prinsip pengawetan bahan pangan, dan pH berkaitan
dengan ketahanan hidup mikroba sehingga dengan semakin rendahnya pH, maka bahan pangan
dapat lebih awet karena mikroba pembusuk tidak dapat hidup. Nilai pH merupakan faktor penting
yang harus diketahui dalam semua jenis olahan makanan. Nilai pH dapat berpengaruh terhadap
produk seperti masa simpan, daya ikat air, tekstur, stabilitas emulsi, keempukan dan warna.
Tingkat keasaman atau pH daging segar yang belum diolah mempunyai ultimat pH normal antara
5,3 - 5,8 (Bulkaini et al., 2019).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap daging sapi, ayam, babi, sapi
serta produk olahan berupa sosis dan bakso sapi, ayam, babi, dan ikan dapat disimpulkan bahwa
daging dan produk olahan yang berasal dari pasar Padangsambian dan pasar Nyanggelan memiliki
kualitas yang baik dan layak untuk dikonsumsi.

SARAN

Disarankan kepada para pedagang daging agar selalu menjaga kebersihan dan sanitasi agar
menghasilkan kualitas daging yang baik dan layak untuk dikonsumsi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana, Kepala Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dosen pembimbing di
Laboratorium Kesehata Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar B, Abustam E. 2014. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Dan Lama Penyimpanan Terhadap
Daya Ikat Air Dan Daya Putus Daging. Jurnal Ilmu dan Industri Peternakan, 1(3): 191-
200.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Hari Purnomo
Adiono. UI Press. Jakarta

Bulkaini B, Kisworo D, dan Yasin M. 2019. Karakteristik Fisik dan Nilai Organoleptik Sosis
Daging Kuda Berdasarkan Level Subtitusi Tepung Tapioka. Jurnal Veteriner, 20(4), 548-
557.
Cheng W, Cheng JH, Sun DW, dan Pu H. 2015. Marbling Analysis for Evaluating Meat Quality:
Methods and Techniques. Comprehensive Reviews in Food Sccience and Food Safety 14:
523-535
ElMasry G, Barbin DF, Sun D-W, Allen P. 2012. Meat quality evaluation by hyperspectral
imaging technique: an overview. Crit Rev Food Sci Nutr 52(8): 689–711

Fikri F, Hamid IS, dan Purnama MTE. 2017. Uji Organoleptis, pH, Uji Eber dan Cemaran Bakteri
pada Karkas yang diisolasi dari Kios di Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner 1(1): 23-27.
Gunawan L. 2013. Analisa perbandingan kualitas fisik daging sapi impor dan daging sapi lokal.
Jurnal Hospitality dan Manajemen Jasa, 1(1), 146-166.

Haq AN, Septinova D, dan Santosa PE. 2015. Kualitas fisik daging dari pasar tradisional di Bandar
Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(3).

Hernando D, Septinova D, dan Adhianto K. 2015. Kadar Air dan Total Mikroba pada Daging Sapi
di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu, 3(1): 61-67.
Jacob JM, Hau EER, Rumlaklak YY. 2018. Gambaran Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB)
pada Daging Sapi yang Diambil di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Kupang. Partner
23(1): 483-487.
Kuntoro B, Maheswari RRA, Nuraini H. 2012. Hubungan Penerapan Standard Sanitation
Operasional Procedure (SSOP) Terhadap Mutu Daging Ditinjau dari Tingkat Cemaran
Mikrob. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 15(2): 70-80
Kuntoro B, Maheswari RRA, Nuraini H. 2013. Mutu Fisik dan Mikrobiologi Daging Sapi Asal
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan, 10(1): 1-8.
Kusmajadi S. 2012. Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Ruang Terhadap Perubahan Nilai
pH, TVB dan Total Bakteri Daging Kerbau (Effect of Storage Length in the Room
Temperature on pH, TVB, and Total Bacteria Changes of Buffalo Meat). Jurnal Ilmu
Ternak, 12(2), 9–12.
Lawrie, RA. 2003. Ilmu Daging. Parakkasi A: penerjemah. UI Press. Jakarta. Terjemahan dari:
Meat Science.
Lukman DW. 2010. Nilai pH Daging. Bagian Kesehatan Masyarakat Vateriner. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Montolalu S, Lontaan N, Sakul S, dan Mirah AD. 2017. Sifat fisiko-kimia dan mutu organoleptik
bakso broiler dengan menggunakan tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L). Zootec, 32(5).
Rananda RM, Djamal A, Julizar. 2016. Identifikasi Bakteri Escherichia coli O157:H7 dalam
Daging Sapi yang Berasal Dari Rumah Potong Hewan Lubuk Buaya. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(3): 614-617
Samudra IWGA, Ariana INT, Lindawati SA. 2016. Evaluasi Daya Simpan Daging dari Sapi Bali
yang Digembalakan di Area TPA Desa Pedungan, Denpasar Selatan. Peternakan Tropika
4(3): 685-700.

Sembiring, Uli R, Suada IK, and Agustina KK. 2015. Kualitas daging kambing yang disimpan
pada suhu ruang ditinjau dari uji subjektif dan objektif. Indonesia Medicus Veterinus.
Sihombing VE, Swacita IBN, Suada IK. 2020. Perbandingan Uji Subjektif Daging Sapi Bali
Produksi Rumah Pemotongan Hewan Gianyar, Klungkung dan Karangasem. Indonesia
Medicus veterinus. 9(1):99-106.

Simanjuntak TMS, Rembet GDG, Sondakh EHB, dan Maaruf, W. 2022. Kualitas fisik daging sapi
di pasar tradisional dan pasar modern Kota Manado. ZOOTEC, 42(1), 81-86.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Suardana IW, Swacita IBN. 2009. Higene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar, Denpasar:
Udayana University Press.
Sukmawati. 2018. Total Microbial Plates on Beef and Beef Offal. Bioscience 2(1): 22-28.
Swacita IBN, Suardana IW, Suada IK, Sukada IM, Agustina KK, Rudyanto MD. 2017. Penuntun
Praktikum Kesmavet II (Higiene Makanan). Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana.
Winarno FG, Fardiaz S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Zulfahmi M, Pranomo YB, Hintono A. 2013. Pengaruh marinasi ekstrak kulit nenas (Ananas
comocus L.mer) pada daging itik tegal betina afkir terhadap kualitas kempukan dan sifat
organoleptik. Jurnal Pangan dan Gizi, 4:19-26.

Anda mungkin juga menyukai