Anda di halaman 1dari 23

TUGAS OFF CLASS

SANITASI DAN KEAMANAN PANGAN


Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Pada Bakso Sapi

Putri Monica Wardahni 2017340019


Nisa Ul Haifa 2017340022

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SAHID JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bakso adalah jenis makanan yang berupa bola-bola yang terbuat dari daging
dan tepung. Makanan ini biasanya disajikan dengan kuah dan mie. Bahan-bahan
yang dibutuhkan dalam pembuatan bakso adalah daging, bahan perekat, bumbu
dan es batu/ air es (Singgih, 2009). Biasanya jenis bakso di masyarakat pada
umumnya diikuti dengan nama jenis bahan seperti bakso ayam, bakso ikan dan
bakso sapi atau bakso daging.
Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia
adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang
tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral
diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat
khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging
sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya
antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin
dan asam pantotenat. Kandungan protein bakso menurut SNI minimal 9,0% b/b
dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso ditentukan oleh kandungan
dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati)nya. Semakin tinggi kadar
dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso yang baik, kandungan patinya
tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging. Kandungan pati akan mempengaruhi
mutu dan harga bakso tersebut. (Diana. 2011). Daging merupakan bahan baku
pembuatan bakso yang sangat mudah rusak. Mulai dari proses pemotongan hingga
akan dibuat menjadi bakso banyak kemungkinan faktor yang menyebabkan
daging dapat mengalami kontaminasi. Begitupun pada saat diolah menjadi bakso,
banyak hal yang dapat menyebabkan bakso dapat mengalami masalah keamanan
pangan jika pengolahannya tidak baik.
Standarisasi bakso sangat diperlukan mengingat banyaknya konsumen
bakso sehingga perlu adanya jaminan keamanan bakso untuk dikonsumsi.
Dengan adanya standarisasi produk bakso yang baik, maka perlindungan
konsumen dan mutu produk akan meningat. Banyaknya kasus penambahan bahan-
bahan kimia seperti boraks dan formalin pada bakso juga menguatkan perlunya
jaminan mutu yang berlaku di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, bakso juga
mulai menjangkau luar negeri. Bakso ini ternyata juga diminati banyak kalangan
masyarakat di luar Indonesia. Standar yang berlaku di Indonesia sebagai negara
asal bakso masih kurang ketat untuk standar luar negeri, sehingga perlu adanya
standar yang berlaku di seluruh dunia untuk produk ini agar menjamin keamanan
dan kesehatan konsumennya. Selain itu standar manajemen dalam pembuatan
bakso juga diperlukan untuk menjamin kualitas bakso tetap higienis dan
mengantisipasi titik kritis kehalalannya.
Masalah keamanan pangan di Indonesia masih merupakan masalah penting
dalam bidang pangan di Indonesia, dan perlu mendapat perhatian khusus dalam
program pengawasan pangan. Penyakit dan kematian yang ditimbulkan melalui
makanan di Indonesia sampai saat ini masih tinggi. Pengawasan pangan yang
mengandalkan pada uji produk akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang
pesat dalam industry pangan, dan tidak menjamin keamanan makanan yang
beredar di pasaran. Industry pangan dunia memandang perlu menerapkan system
“Hazard Analysis Critical Control Point” atau yang biasa disingkat HACCP
(Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis). HACCP merupakan system
jaminan mutu atau keamanan pangan yang diakui secara internasional melalui
forum Codex Alimentarius Commission (CAC) yang mendasarkan pada
kesadaran masyarakat, terutama konsumen, bahwa bahaya akan timbul pada
berbagai titik atau tahapan produksi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penerapan HACCP pada produk bakso sapi?
2. Bagaimana cara mengidentifikasi bahaya pada proses pembuatan bakso
sapi?
3. Apa saja tahapan CCP pengolahan bakso daging sapi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penerapan HACCP pada produk bakso sapi.
2. Untuk menganalisa bahaya pada proses pembuatan baso sapi.
3. Untuk mengetahui tahapan-tahapan CCP pada pengolahan bakso daging
sapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging Sapi
Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1994).
Daging sapi merupakan produk ternak yang merupakan sumber protein hewani.
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang mengandung
nutrisi antara lain 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein, dan
2,5% mineral (Forrest et al., 1992). Kandungan tersebut dijadikan medium yang
baik untuk pertumbuhan bakteri dan menjadikan daging mudah mengalami
kerusakan (Nurwantoro et al., 2012). Bahan pangan asal ternak menjadi berbahaya
dan tidak berguna apabila tidak aman, oleh karena itu, perlu penjagaan yang
mutlak dalam keamanan pangan supaya menjadikan berguna bagi tubuh (Bahri,
2008). Daging mudah mengalami kerusakan oleh bakteri dengan ditandai
perubahan bau dan timbul lendir yang biasanya terjadi jika jumlah bakteri menjadi
jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1cm luas permukaan danging dan
kerusakan tersebut disebabkan oleh bakteri pembusuk (Sa’idah et al., 2011).
Cemaran bakteri pada pangan asal ternak yang dapat membahayakan kesehatan
manusia adalah Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus,
Clostridium sp., Salmonella sp., Champhylobacter sp. dan Listeria sp (Syukur,
2006).
Tabel 1. Syarat Mutu Mikrobiologis Daging Sapi (SNI, 2008)

Pencemaran bakteri terjadi dari rumah pemotongan hewan sampai ke pasar.


Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah :
1) Hewan (kulit, kuku, isi jeroan),
2) Pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut,
hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki,
3) Peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks),
4) Bangunan (lantai),
5) Lingkungan (udara, air, tanah), dan
6) Kemasan (Gustiani, 2009).
Awal pencemaran pada daging sapi terjadi pada saat penyembelihan dengan
alat-alat yang digunakan tidak steril dan pencemaran daging sapi semakin
memburuk pada saat distribusi karena daging sapi dari RPH sudah terkontaminasi
bakteri dan mengalami pertumbuhan bakteri (Arifin et al., 2008). Proses
pemotongan khususnya pengulitan dan pengeluaran jeroan merupakan titik paling
rentan terhadap terjadinya kontaminasi dari bagian luar kulit dan isi saluran 7
pencernaan (Bukle el al., 1987). Semua hal yang kontak langsung dengan daging
seperti halnya meja, peralatan, penjual, pembeli, dan lingkungan dapat menjadi
sumber kontaminasi (Kuntoro et al., 2013).
2.2 Pengertian Bakso
Bakso adalah makanan khas Indonesia yang digemari banyak orang. Bakso
daging menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3818 1995 merupakan produk
makanan basah berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari campuran
daging ternak yang dapat berupa sapi atau ayam (kadar daging tidak kurang dari
50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan (BTP)
yang diizinkan. Bakso sapi mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena
terbuat dari daging sapi yang kadar proteinnya tinggi yaitu sebesar 20-22%
dengan kadar lemak 4,8% (lean meat) (Aulawi dan Ninsix, 2009). Menurut
Wibowo (2005), cara paling mudah untuk menilai mutu bakso serta mengenali
bakso dengan kualitas yang baik adalah dengan menilai mutu sensoris atau mutu
organoleptiknya. Paling tidak, ada 5 parameter sensoris utama yang dapat dinilai,
yaitu kenampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Kriteria mutu sensori bakso
dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Kriteria Mutu Sensosi Bakso

Parameter Bakso Daging


Kenampakan Bentuk bulat halus atau kasar, berukuran seragam, berisi dan
tidak kusam,tidak berjamurdan tidak berlendir.
Warna Cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau
cokelat muda hingga cokelat muda agak keputihan atau abu-
abu. Warna tersebar merata.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tidak bau tengik,
asam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup
menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing
yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal,
tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo, 2005
Syarat mutu Bakso Daging mengacu pada SNI 3818:2014, dapat dilihat
pada Tabel 3 :
Tabel 3. SNI 3818:2014 (Syarat mutu bakso daging)

2.3 Proses Pembuatan Bakso


Proses pembuatan bakso terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penghancuran
daging, pembuatan dan pencampuran adonan, pencetakan bakso dan pemasakan
bakso. Penghancuran daging memiliki tujuan untuk memperluas permukaan
daging sehingga protein larut garam dapat ditarik keluar yang kemudian akan
menyebabkan perubahan jaringan lunak pada daging menjadi mikropartikel.
Adonan bakso dibuat dengan cara daging yang telah dihancurkan dicampur
dengan garam dan bumbu secukupnya kemudian ditambahkan dengan tepung,
pati, atau tapioka, sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dilumatkan hingga
homogeny (Yunarni, 2012). Proses pembuatan adonan bakso memerlukan air es
atau air dingin sebanyak ± 20-30% dari berat adonan dengan tujuan untuk
membentuk emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan. Selain
itu, es berfungsi untuk mempertahankan adonan agar tidak kering dan
rendemennya tinggi (Widayat, 2011).
Menurut Yunarni (2012), proses pencetakan bakso dapat dilakukan dengan
tangan dengan cara meremas-remas adonan di tangan kemudian menekannya ke
tengah-tengah jari antara ibu jari dan jari telunjuk kemudian adonan yang keluar
diambil dengan menggunakan sendok. Pemasakan bakso harus memperhatikan
suhu, hal ini berkaitan dengan proses denaturasi protein pada bakso sehingga
terbentuk gel. Proses pembentukan gel akan terjadi dalam keadaan garam 0,6 M,
pH 6, dan suhu 650oC. Proses pemasakan 12 dilakukan dengan menggunakan air
mendidih atau menggunakan uap panas pada suhu 85-900oC (Yunarni, 2012).
Bakso yang matang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan. Selain
itu, kematangan bakso juga dapat dilihat dengan mengiris bakso, apabila bagian
dalam tampak mengkilap agak transparan, tidak keruh seperti adonan lain, maka
bakso dikatakan telah matang. Proses pemasakan bakso biasanya dilakukan
selama 15 menit. Bakso yang telah matang dapat langsung dikonsumsi atau dapat
disimpan. Proses penyimpanan bakso dapat dilakukan pada suhu 50oC (Widayat,
2011).

Daging sapi

Penggilingan kasar

Pencampuran dan penggilingan


(Es, bahan pengisi, bumbu-
bumbu, garam, BTM)

Pembentukan bulatan bakso

Perebusan 70ºC selama 10 menit


(hingga naik ke permukaan)

Perebusan 100ºC, 10-15 menit


(hingga bakso matang)

Pendinginan dan penyimpanan

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso


2.4 HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
A. Pengertian HACCP
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem
kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas
identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi.
HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan
untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan
(preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan
makanan yang aman bagi konsumen. Kunci utama HACCP adalah antisipasi
dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan
pencegahan, dari pada mengandalkan kepada pengujian produk akhir. Sistem
HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang tanpa
resiko, tetapi dirancang untuk meminimalkan resiko bahaya keamanan
pangan. Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang
digunakan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi
terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik. HACCP
dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama
bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi,
pemasaran hingga sampai kepada pengguna akhir. HACCP berbicara
mengenai kualitas produk melalui pengendalian proses produksi. HACCP
pada awalnya dibuat untuk program luar angkasa NASA untuk meindungi
para astronot dari bahaya kimia, fisik, dan mikrobiologi yang ada pada
makanan .
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), General
Manufacturing Practices (GMP), Standar Nasional Indonesia(SNI) dan Food
Safety (keamanan pangan) diartikan sebagai kondisi pangan aman untuk
dikonsumsi. Food Safety secara garis besar digolongkan menjadi 2 yaitu
Aman secara rohani : berhubungan dengan kehalalan, dan aman secara
jasmani meliputi pangan itu bebas dari bahaya biologi atau mikroorganisme
yang membahayakan, baik cemaran fisik dan bebas cemaran kimia. Pangan
yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau
mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Bahaya biologis atau
mikrobiologis terdiri dari parasit (protozoa dan cacing), virus dan pathogen
yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan pangan, sehingga dapat
menyebabkan infeksi dan keracunan pada konsumen. Bahaya kimia pada
umumnya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat menimbulkan
terjadinya intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan diantaranya logam
berat Cu (tembaga), Zn (seng), As (arsen), Pb (timbal), Hg (merkuri), dan Sn
(timah). Bahaya fisik terdiri dari potongan kayu, batu, logam, rambut, dan
kuku yang kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan
yang telah aus, atau juga dari para pekerja pengolah makanan. (Ludiyana :
2013).

B. Tujuan HACCP
Tujuan umum: Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara
mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui makanan
(Food Born Disease).

Tujuan Khusus:
1. Mengevaluasi cara produksi makanan bahaya
2. Memperbaiki cara produksi makanan critical process
3. Memantau & mengevaluasi penanganan, pengolahan, sanitasi
4. Meningkatkan inspeksi mandiri.

C. Langkah-Langkah Penyusunan HACCP


Adapun langkah-langkah dalam penyusunan HACCP adalah sebagai
berikut :
 Pembentukan Tim HACCP
Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana
HACCP adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen
dalam industri yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman.
Tim HACCP sebaiknya terdiri dari individu- individu dengan latar belakang
pendidikan atau disiplin ilmu yang beragam, dan memiliki keahlian spesifik
dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli mikrobiologi, ahli mesin/
engineer , ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga dapat melakukan
brainstorming dalam mengambil keputusan. Jika keahlian tersebut tidak dapat
diperoleh dari dalam perusahaan, saran-saran dari para ahli dapat diperoleh
dari luar.
 Deskripsi Produk
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau
uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi
produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk,
termasuk jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan, daya
simpan, cara distribusi, serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk.
Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi
secara luas dan komprehensif.
 Identifikasi Pengguna yang Dituju
Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen
yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan
produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini
dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya
kelompok balita atau bayi, kelompok remaja, atau kelompok orang tua. Pada
kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat
beresiko tinggi.

 Penyusunan Diagram Alir Proses


Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan
dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan
dihasilkannya produk jadiuntuk disimpan. Pada beberapa jenis produk,
terkadang disusun diagram alir proses sampai dengan cara pendistribusian
produk tersebut. Hal tersebut tentu saja akan memperbesar pekerjaan
pelaksanaan HACCP, akan tetapi pada produk-produk yang mungkin
mengalami abuse (suhu dan sebagainya) selama distribusi, maka tindakan
pencegahan ini menjadi amat penting.
Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan
keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk
membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi
sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses
dan verifikasinya.
 Verifikasi Diagram Alir Proses
Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai
dengan pelaksanaan dilapangan, maka tim HACCP harus meninjau
operasinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan
diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak
tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir
proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
 Analisa Bahaya (Prinsip 1)
Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan
analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan
untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan
terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi,
penyimpanan produk, dan distribusi, hingga tahap penggunaan oleh
konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya
apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal
hingga ke tangan konsumen.
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya,
penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori
resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan
daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram
alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk
yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara
penyimpanan, dan lain sebagainya.
Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau
resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Bahaya-bahaya tersebut
dapat dikategorikan ke dalam enam kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F
. (Rusyada At all : 2013)
Tabel 4. Jenis-jenis Bahaya

(Hamdan At all : 2013)

Tabel 5. Karakteristik Bahaya


Bahaya Karakteristik Bahaya
Bahaya A Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat
untuk
konsumsi kelompok beresiko (lansia,
bayi, immunocompromised )
Bahaya B Produk mengandung ingridient sensitif terhadap
bahaya
biologi, kimia atau fisik
Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang
terkendali yang
secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau
menghilangkan bahaya kimia atau fisik
Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah
pengolahan sebelum pengemasan
Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan
selamadistribusi atau oleh konsumen yang
menyebabkan produk
berbahaya
Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah
pengemasan atau
di tangan kosumen atau tidak ada pemanasan akhir
atau
tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan
sebelum
memasuki pabrik (untuk bahan baku ) atau tidak
ada cara
apapun bagi konsumen untuk mendeteksi,
menghilangkan
atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
(Febriana At all : 2009)

Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang


dapat menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman.
Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui
penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GMP ( Good
Manufacturing Practices) , SSOP ( Sanitation Standard Operational
Procedure) , SOP ( Standard Operational Procedure ), dan sistem pendukung
lainnya. Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu
bahaya, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa
banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat
diterapkankategori resiko I sampai VI.
Tabel 6. Penetapan Kategori Resiko

Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka
mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau
beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya
yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perludipertimbangkan
dalam penetapan critical control point . (Febriana At all : 2009)

 Identifikasi dan Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) di dalam Proses


Produksi

Titik kendali kritis (CCP) didefinisikan sebagai suatu titik lokasi,


setiap langkah/tahap dalam proses, atau prosedur, apabila tidak terkendali
(terawasi) dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak amannya
makanan, kerusakan (spoilage), dan resiko kerugian ekonomi. CCP ini
ditentukan setelah diagram alir proses produksi yang sudah teridentifikasi
potensi bahaya pada setiap tahap produksi dengan menjawab pertanyaan
”Apakah pengawasan/pengendalian kritis dari bahaya (hazard) terjadi pada
tahap ini atau yang lain; apabila pengawasan/pengendalian pada tahap
tertentu gagal apakah langsung menghasilkan bahaya yang tak diinginkan,
kerusakan dan kerugian secara ekonomi”. Harus diperhatikan titik kendali
(CP) tidaklah sama dengan titik kendali kritis (CCP).
 Penetapan Batas Kritis (Critical Limits) Terhadap Setiap CCP yang
telah Teridentifikasi.

Setelah semua CCP dan parameter pengendali yang berkaitan dengan


setiap CCP teridentifikasi, Tim HACCP harus menetapkan batas kritis untuk
setiap CCP. Biasanya batas kritis untuk bahaya biologis/mikrobiologis, kimia
dan fisika untuk setiap jenis produk berbeda satu sama lainnya.
Batas kritis didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima
untuk mengamankan bahaya, sehingga titik kendali dapat mengendalikan
bahaya kesehatan secara cermat dan efektif. Batas kritis yang sudah
ditetapkan ini tidak boleh dilanggar atau dilampaui nilainya, karena bila suatu
nilai batas kritis yang dilanggar dan kemudian titik kendali kritisnya lepas
dari kendali, maka dapat menyebabkan terjadinya bahaya terhadap kesehatan
konsumen.
Beberapa contoh batas kritis yang perlu ditetapkan sebagai alat
pencegah timbulnya bahaya, misalnya adalah ; suhu dan waktu maksimal
untuk proses thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendinginan,
suhu dan waktu tertentu untuk proses sterilisasi komersial, jumlah residu
pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan., pH maksimal yang
diperkenankan, bobot pengisian maksimal, viskositas maksimal yang
diperkenankan dan sebagainya.
Selain batas kritis untuk residu pestisida yang berasal dari komoditas
pertanian, batas kritis bahan kimia lain yang berpotensi sebagai bahaya kimia
juga harus ditetapkan. Dalam hal ini tim HACCP harus menggunakan
peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan sebagai panduan dalam
menetapkan batas kritis untuk semua Bahan Tambahan Makanan (BTM),
termasuk bahan kimia yang digunakan dalam bahan pengemas yang
bersentuhan dengan produk pangan.
Batas kritis untuk setiap CCP perlu didokumentasikan. Dokumentasi
ini harus dapat menjelaskan bagaimana setiap batas kritis dapat diterima dan
harus disimpan sebagai bagian dari rencana formal HACCP.

 Penyusunan Prosedur Pemantauan dan Persyaratannya Untuk


Memonitor CCP-nya.

Monitoring merupakan rencana pengawasan dan pengukuran


berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dalam keadaan
terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan
dalam verifikasi nantinya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1)
Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat
dikendalikan dengan baik ; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap
efektifitas sustu proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya ; (3)
Pengamatan atau pengukuran batas kritis untuk memperoleh data yang teliti,
dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat
menjamin keamanan produk (CORLETT, 1991).
Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi
agar dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan produk
pangan masih dalam batas kritisnya dan dijamin tidak ada bahayanya. Dalam
hal ini, metode, prosedur dan frekuensi monitoring serta kemampuan
hitungnya harus dibuat daftarnya pada lembaran kerja HACCP.
Prosedur dan metode monitoring harus efektif dalam memberi
jaminan keamanan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Idealnya,
monitoring pada CCP dilakukan secara kontinyu hingga dicapai tingkat
kepercayaan 100 persen. Namun bila hal ini tidak memungkinkan, dapat
dilakukan monitoring secara tidak kontinyu dengan syarat terlebih dahulu
harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga keamanan pangan
benar-benar terjamin. Biasanya agar pengukurannya dapat dilakukan secara
cepat dan tepat, monitoring dilakukan dengan cara pengujian yang bersifat
otomatis dan tidak memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu, pengujian
dengan cara analisis mikrobiologis jarang digunakan sebagai prosedur
monitoring. Beberapa contoh pengukuran dalam pemantauan (monitoring)
adalah : observasi secara visual dan pengamatan langsung (misal : kebersihan
lingkungan pengolahan, penyimpanan bahan mentah), pengukuran suhu dan
waktu proses, pH, kadar air dsb.

 Melaksanakan Tindakan Koreksi yang Harus Dilakukan Bila Terjadi


Penyimpangan (deviasi) Pada Batas Kritis yang Telah Ditetapkan.

Meskipun sistem HACCP sudah dirancang untuk dapat mengenali


kemungkinan adanya bahaya yang berhubungan dengan kesehatan dan untuk
membangun strategi pencegahan preventif terhadap bahaya, tetapi kadang-
kadang terjadi pula penyimpangan yang tidak diharapkan. Oleh karena itu,
jika dari hasil pemantuan (monitoring) ternyata menunjukkan telah terjadi
penyimpangan terhadap CCP dan batas kritisnya, maka harus dilakukan
tindakan koreksi (corrective action) atau perbaikan dari penyimpangan
tersebut.
Tindakan koreksi adalah prosedur proses yang harus dilaksanakan
ketika kesalahan serius atau kritis diketemukan dan batas kritisnya
terlampaui. Dengan demikian, apabila terjadi kegagalan dalam pengawasan
pada CCP-nya, maka tindakan koreksi harus segera dilaksanakan.
 Membuat Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Data yang Efektif
dalam Sistem Dokumentasi HACCP.

Sistem doumentasi dalam sistem HACCP bertujuan untuk : (1)


Mengarsipkan rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan
yang teliti dan rapih mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP ; (2)
Memudahkan pemeriksaan oleh manager atau instansi berwenang jika produk
yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab kasus keracunan
makanan.
Berbagai keterangan yang harus dicatat untuk dokumentasi sistem dan
penerapan HACCP mencakup :
o Judul dan tanggal pencatatan
o Keterangan produk (kode, tanggal dan waktu produksi)
o Karakteristik produk (penggolongan resiko bahaya)
o Bahan serta peralatan yang digunakan, termasuk : bahan mentah, bahan
tambahan, bahan pengemas dan peralatan penting lainnya.
o Tahap/bagan alir proses, termasuk : penanganan dan penyimpanan bahan,
pengolahan, pengemasan, penyimpanan produk dan distribusinya.
o Jenis bahaya pada setiap tahap
o CCP dan batas kritis yang telah ditetapkan
o Penyimpangan dari batas kritis
o Tindakan koreksi/perbaikan yang harus dilakukan jika terjadi
penyimpangan, dan karyawan/petugas yang bertanggung jawab untuk
melakukan koreksi/ perbaikan.

 Membuat Prosedur untuk Memverifikasi bahwa


Sistem HACCP Bekerja dengan Benar.
Prosedur verifikasi dibuat dengan tujuan : (1) Untuk memeriksa
apakah program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan
HACCP yang ditetapkan dan (2) Untuk menjamin bahwa rancangan HACCP
yang ditetapkan masih efektif dan benar. Hasil verifikasi ini dapat pula
digunakan sebagai informasi tambahan dalam memberikan jaminan bahwa
program HACCP telah terlaksana dengan baik.
Verifikasi mencakup berbagai kegiatan evaluasi terhadap rancangan
dan penerapan HACCP, yaitu :
o Penetapan jadwal verifikasi yang tepat
o Pemeriksaan kembali (review) rancangan HACCP
o Pemeriksaan atau penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses
sebenarnya
o Pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan
yang harus dilakukan.
o Pengampilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau mikrobiologis)
secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis.
o Catatan tertulis mengenai : kesesuaian dengan rancangan HACCP,
penyimpangan terhadap rancangan HACCP, pemeriksaan kembali
diagram alir dan CCP.
o Pemeriksaan kembali modifikasi rancangan HACCP (CORLETT, 1991).
D. Pola Penerapan Dan Pengembangan Sistem HACCP Dalam Industri
Pangan
Pada dasarnya untuk merancang dan menerapkan sistem HACCP
dalam industri pangan perlu mempertimbangkan pengaruh berbagai hal
terhadap keamanan pangan, misal : bahan mentah, ingredien dan bahan
tambahan, praktek pengolahan makanan, peranan proses pengolahan dan
pengendalian bahaya, cara mengkonsumsi produk, resiko masyarakat
konsumen, dan keadaan epidemiologi yang menyangkut keamanan pangan.
Kemudian untuk memperoleh program yang efektif dan menyeluruh
dalam penerapan/implementasi HACCP perlu dilakukan kegiatan sebagai
berikut :
1. Komitmen Manajemen.
Keberhasilan penerapan / implementasi sistem HACCP sangatlah
tergantung pada manajemen sebagai penanggung jawab tertinggi. Mereka
harus menyatakan komitmen tidak hanya dalam kata-kata saja melainkan juga
dalam tindakan. Seluruh karyawan dan staf nantinya harus tahu bahwa
manajemen adalah yang paling bertanggung jawab memikul beban tugas
implementasi ini. Dengan demikian segala sumber daya yang diperlukan
untuk mendukung implementasi HACCP harus disediakan baik manusia
maupun peralatan, sarana, dokumentasi, informasi, metode, lingkungan,
bahan baku dan waktu.
2. Pembentukan Tim HACCP
Setelah Pimpinan Puncak mempunyai komitmen manajemen terhadap
program keamanan pangan, maka mereka membentuk tim HACCP yang
bertugas dan bertanggung jawab dalam hal perencanaan, penerapan dan
pengembangan sistem HACCP. 19 Anggota tim implementasi HACCP
sebaiknya terdiri dari berbagai bidang disiplin ilmu (multidisiplin) yang
mempunyai pengetahuan dan keahlian spesifik yang tepat untuk produk.
Dalam hal ini anggotanya tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari bagian :
produksi, pengendalian mutu atau QC, jaminan mutu (QA), manufakturing,
keteknikan (engineering), R & D serta sanitasi. Mereka merupakan individu-
individu yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan masukan (input)
dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem HACCP secara efektif
dan benar.
3. Pelatihan Tim HACCP
Individu personil yang terpilih dalam tim HACCP kemudian diberi
pelatihan (training) mengenai prinsip-prinsip HACCP dan cara
implementasinya (misalnya tentang hazard dan analisisnya, peran titik kendali
kritis dan batas kritis dalam menjaga keamanan pangan, prosedur monitoring
dan tindakan koreksi yang harus dilakukan seandainya ada penyimpangan
CCP, prosedur dokumentasi HACCP dan lain-lain). Pelatihan dan pendidikan
ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge) dan
mengembangkan keahlian (skill) personil yang bersangkutan guna
memperlancar pelaksanaan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Pelatihan dapat dilakukan oleh tenaga ahli berasal dari dalam perusahaan
sendiri atau tenaga ahli dari luar perusahaan atau konsultan manajemen
HACCP yang dapat memberi bantuan dalam implementasi HACCP tersebut.
4. Diskripsi Produk
Tim HACCP yang telah dibentuk dan disusun selanjutnya harus
mendiskripsikan/menggambarkan secara menyeluruh terhadap produk pangan
yang akan dibuat/diproduksi. Dalam hal ini keterangan atau karakteristik
yang lengkap mengenai produk harus dibuat, termasuk keterangan mengenai
komposisi (ingredien), formulasi, daya awet dan cara distribusinya. Semua 20
informasi tersebut diperlukan oleh tim HACCP untuk melakukan evaluasi
secara luas dan komprehensif.
5. Identifikasi Penggunaan/Konsumennya
Kemudian tim HACCP harus mengidentifikasi tujuan penggunaan
produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada konsumen atau
pengguna akhir dari produk tersebut. Pada kasus, harus dipertimbangkan
kelompok populasi/masyarakat beresiko tinggi.
6. Penyusunan Bagan/Diagram Alir Proses
Bagan/diagram alir proses harus disusun oleh tim HACCP. Setiap
tahap dalam proses tertentu harus dianalisis untuk menyusun bagan alirnya.
Dalam menerapkan HACCP untuk suatu proses, pertimbangan harus
diberikan terhadap tahap sebelum dan sesudah proses tersebut. Tujuan
dibuatnya alir proses adalah untuk menggambarkan tahapan proses produksi
secara dalam industri pangan yang bersangkutan serta untuk melihat tahapan
proses produksi tersebut menjadi mudah dikenali. Bagan/diagram alir proses
ini selain bermanfaat membantu tin HACCP dalam melaksanakan tugasnya,
dapat pula berfungsi sebagai ”Pedoman” berikutnya bagi orang (personil)
atau lembaga lainnya (pemerintah dan pelanggan) yang ingin mengetahui
tahap proses produksi pangan yang dibuatnya sehubungan dengan kegiatan
verifikasinya.
7. Menguji dan Memeriksa Kembali Diagram Alir Proses
Tim HACCP harus menguji dan memeriksa kembali diagram alir
proses yang sudah dibuat. Dalam hal ini, tim HACCP harus menyesuaikan
kegiatan proses pengolahan yang sebenarnya (di pabrik) dengan bagan alir
proses pada setiap tahap dan waktu proses, dan jika perlu mengubah diagram
alir proses bila ditemukan hal-hal yang tidak sesuai atau kurang sempurna.
Dengan demikian, bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat dan
kurang sempurna, dapat dilakukan modifikasi.
8. Menerapkan Tujuh Prinsip HACCP
Tujuh prinsip penting HACCP yang harus diterapkan adalah :
Penerapan prinsip 1. Membuat daftar bahaya yang mungkin timbul dan cara
pencegahan untuk mengendalikan bahaya.
Penerapan prinsip 2. Menetapkan titik kendali kritis (CCP = Critical Control
Point).
Penerapan prinsip 3. Menetapan batas/limit kritis untuk setiap titik kendali
kritis (CCP).
Penerapan prinsip 4. Menetapkan sistem/prosedur pemantauan untuk setiap
CCP. 
Penerapan prinsip 5. Menetapkan tindakan koreksi terhadap penyimpangan.
Penerapan prinsip 6.Menetapkan prosedur verifikasi untuk membuktikan
bahwa sistem HACCP berjalan dengan baik dan benar.
Penerapan prinsip 7. Membuat catatan dan dokumentasi. Catatan data yang
praktis dan teliti merupakan hal yang penting dalam
penerapan sistem HACCP.
Keberhasilan dalam penerapan HACCP membutuhkan tanggung
jawab penuh dan keterlibatan manajemen serta tenaga kerja. Keberhasilan
penerapan HACCP juga membutuhkan kerjasama tim yang baik.

BAB III
PENERAPAN HACCP PADA PRODUK BAKSO
4.1 Identifikasi Bahaya Pada Proses Pembuatan Bakso Sapi
Jenis bahaya:
1. Biologis (mikrobiologis)
2. Kimia
3. Fisik
 Pembelian dan penerimaan bahan baku
Bahan baku yang dibeli atau diterima harus dalam kondisi segar dan
bermutu bagus, biasanya pada bahan baku sering terjadi bahaya fisik, bahaya
kimia dan bahaya biologi.
 Pengggilingan
Bahan baku yaitu daging sapi harus digiling dahulu dengan
menggunakan mesin mixer, jika tidak digiling adonan yang dihasilkan menjadi
kurang sempurna. Kemungkinan bahaya yang terjadi yaitu bahaya fisik dan
bahaya biologis.
 Perebusan
Bakso yang sudah dicetak direbus dalam air panas dengan suhu 70 oC.
Api yang dipakai sebaiknya tidak terlalu besar. Perebusan hanya dilakukan
beberapa menit sesuai dengan ukuran bakso, bahaya yang mungkin terjadi
dalam proses perebusan ini adalah bahaya biologis. (Rusyada at all: 2013)

Tabel 7. Analisis Bahaya pada proses pembuatan bakso sapi :


Tahap Bahaya Sumber Pencegahan
Bahaya
Pembelian - Daging yang dibeli Udara - Pengetahuan
daging berasal dari daging (Mikroba) tentang ciri-ciri
sapi sakit atau sehat. danging yang
- Kontaminasi dari berasal dari sapi
udara (debu,bakteri sakit atau sapi
yang tidak sehat
diperlukan) - Daging sebaiknya
dibungkus dengan
plastik putih yang
bersih
Penggilingan Kontaminasi alat yang Alat yang Pengecekan dan
daging digunakan digunakan pembersihan/
sterilisasi alat yang
akan digunakan
Pencampuran - Bumbu yang dibeli Kebersihan - Penerapan
dengan dari pasar rawan pekerja hygiene pekerja
bumbu- terkena bahaya dan sterilisasi dan sanitasi
bumbu fisik, kimia dan alat-alat yang peralatan yang
pembuatan biologis digunakan digunakan
bakso - Pada proses kurang - Bumbu yang
pencampuran diperhatikan, dipakai
kontaminasi para begitu juga hendaknya
pekerja dan alatalat saat pembelian diracik sendiri.
yang dipakai bumbu yang
sudah jadi,
biasanya telah
dicampur
dengan
bahan-bahan
kimia
Proses Kontaminasi Pekerja Kebersihan Penerapan hygiene
pencetakan dan alat pekerja dan pekerja dan sanitasi
bakso sapi sterilisasi ala- peralatan yang
talat yang digunakan
digunakan
kurang
diperhatikan
Perebusan Kontaminasi alat Alat yang Sterilisasi alat yang
bakso digunakan akan digunakan
untukperebusan
bakso sapi
Penyimpanan Kontaminasi udara Udara dan Suhu tempat
dan tempat kebersihan penyimpanan bakso
penyimpanan tempat disesuaikan agar
penyimpanan tidak
berkembang
mikroorganisme

4.2 Penetapan Critical Control Point (CCP)


CCP adalah titik, prosedur atau tahap operasional yang dapat dikendalikan
untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya.
Pengelompokan dan cara penetapan CCP :
- CCP1 : menghilangkan atau mencegah bahaya
- CCP2 : mengurangi bahaya (tidak dapat menghilangkan)

Tabel 8. Tahapan-tahapan CCP pengolahan bakso daging sapi


Tahap No Jenis Batas Monitoring Tindakan
CCP Bahaya Kritis Koreksi
Metode Frekuens
i
Sterilisasi 1 Biologi Suhu: Pengukuran Setiap Lanjutkan
alat dan (Mikroor 121°C (air suhu dan proses proses bila
wadah ganisme) mendidih) waktu masih
yang akan ketika kurang
digunakan sterilisasi waktunya
Langsung
angkat dan
tiriskan
segera
dengan alat
dan wadah
yang akan
digunakan
(untuk
wadah
segera
dibalikan)
Pengolaha 2 Kebersih Ruang, Sterilisasi Setiap Pengawasan
n Produk an kerja alat dan alat dan proses rutin harus
pekerja mencuci dilakukan
tangan saat untuk
sebelum menjamin
mengolah status
bakso resiko tidak
berubah
menjadi
resiko
sedang atau
tinggi.

BAB IV
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dari Penjelasan tentang Penerapan HACCP pada pembuatan bakso daging
sapi, maka dapat disimpulkan bahwa bahaya setiap pembuatan bakso daging sapi
diidentifikasi tahap pertahap, dimulai dari proses pemilihan daging sapi,
diidentifikasi apakah berasal dari sapi sakit atau sapi sehat, hingga sampai proses
pembuatan daging sapi yang yang menggunakan alat-alat yang telah disterilisasi
atau tidak.
Penerapan HACCP pada proses pembuatan bakso daging sapi ini sangat
penting mengingat sebagian masyarakat Indonesia menyukai makanan yang
berbentuk bulat ini, sehingga proses pembuatannya juga harus dilindungi dari
bahaya, baik dari bahaya biologis, kimia maupun fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Ilmi, Jauharul, A. A., Harjanti., Wahyu, D., Sutaryo. 2016. Total Koloni Bakteri,
Nilai pH dan Kadar Air Daging Sapi di Berbagai Grade Pasar Tradisional di
Kabupaten Semarang. Undergraduate thesis, Fakultas Peternakan &
Pertanian Undip.

http://e-journal.uajy.ac.id/12584/3/BL013972.pdf (diakses pada 9 Januari 2020)

Hazard Analysis Critical Control Point (Haccp) Dan Implementasinya Dalam


Industri Pangan Oleh Daulay, S.S., Madya, W. Tersedia di
https://kemenperin.go.id/download/6761/HACCP-dan-Implementasinya-
Dalam-Industri-Pangan (diakses pada 9 Januari 2020)
Suciyanti Heni.2013. Paper Perundang-Undang HACCP Pengolahan Bakso Sapi.
Jurusan Peternakan – Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Mutu karkas dan daging sapi SNI 3932:2008

Syarat Mutu Bakso Daging SNI 3818:2014

Anda mungkin juga menyukai