Anda di halaman 1dari 6

Pengawasan Mutu Pangan

Pengawasan mutu produk nugget ayam

Oleh :

Fitria Fauziah 133020129

Syifa Nur Afifah 133020132

Taufik Ramadhan 133020136

Rose Rosiyani 133020142

Silvyera Heryanti 133020143

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2016
Pengawasan mutu produk nugget dengan pengujian sifat berdasarkan fisik, kimia,
mikrobiologi, dan organoleptik.

1. Pengujian sifat fisik pada produk nugget

Meliputi derajat keasamaan (pH) (Bouton et al, 1971) daya ikat air (%) dan susut masak
dengan metode Hamm (Soeparno, 1998) dan keempukan (mm) yang diukur dengan alat
penetrometer (Kartika et al, 1988) dengan berat sempel pengujian keempukan sebesar 50 g. nilai
pH nugget diukur dengan pH meter yang telah di kalibrasi dengan buffer pH 7,0 (Bouton et al,
1971). Analisis kadar kolesterol menggunakan metode Liebermann-Burchards (Plummer, 1987)
dengan membandingkan absorbasi larutan kolesterol standar, serta warna dengan metode Hunter
menggunakan alat kromameter dengan ruang warna (color space) dan yang diukur adalah nilai L
yaitu nilai kecerahan.

Daya Ikat Air

Pengujian daya mengikat air merupakan pengujian untuk mengetahui seberapa besar
daging tersebut mampu mengikat air bebas. Daya Mengikat Air (DMA) diukur dengan
menggunakan metode penekanan Hamm (T. Suryati, 2006). Selain itu menurut Pearson dan
Young (1971) parameter yang dapat digunakan untuk melihat daya mengikat air pada daging
dapat dilakukan dengan melihat tingkat kelembaban daging, daging yang lembab
mengindikasikan bahwa daya mengikat daging tersebut terhadap air cukup tinggi, sedangkan
daging yang agak kering mengindikasikan daya mengikat daging tersebut telah berkurang, hal ini
biasanya ditandai dengan penampakan warna daging yang agak kehitaman (daging DFD).

Penurunan nilai daya ikat air oleh protein daging, dan pada saat penyegaran kembali
(thawing) daging beku, terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air yang
mengalami translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku (Bratzler et al., 1977 dan Lawrie,
1979). Proses pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein daging, sehingga daya ikat
air terhadap protein daging akan semakin lemah, yang akan menyebabkan nilai daya ikat air
(Bhattacharya et al., 1988). Hal ini juga akan terlihat pada banyaknya cairan yang keluar (drip)
pada saat daging beku tersebut di thawing. Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging
menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah (Soeparno,
1998). Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan nilai susut masak (Jamhari,
2000).

Susut Masak

Nilai susut masak merupakan nilai massa daging yang berkurang setelah proses
pemanasan atau pengolahan masak. Nilai susut masak ini erat kaitannya dengan daya mengikat
air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan cairan nutrisipun
akan sedikit yang keluar atau yang terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.
Menurut Yanti (2008) daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas
yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Daging
beku atau disimpan dalam suhu dingin cenderung akan mengalami perubahan protein otot, yang
menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan meningkatnya jumlah cairan yang
keluar (drip) dari daging (Anon dan Calvelo, 1980).

Keempukan

Keempukan daging merupakan faktor penting dalam pengolahan daging. Keempukan


dapat diukur dengan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB). Keempukan sangat berkaitan erat
dengan status panjang sarkomer otot. Daging dengan sarkomer yang lebih pendek setelah
fase rigormortismemiliki tingkat kealotan lebih tinggi dibanding yang sarkomernya tidak
mengalami pemendekan (Swatland, 1984; Locker, 1985; Dutson, 1985). Kualiatas daging akan
berpengaruh pada penyimpanan suhu dingin, dan penyimpanan pada suhu dingin dapat
mengakibatkan terjadinya pemendekan otot (T. Suryati, 2004).

2. Pengujian sifat kimia pada produk nugget


Kadar Air

Kadar air dianalisis menggunakan metode gravitimetri menurut Association of Official


Analytical Chemist/AOAC (1995). Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 105C
selama 15 menit, kemudian didinginkan lalu ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak lima
gram (B), setelah itu cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105C selama
enam jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

Kadar Protein (metode kjeldahl)

Kadar protein dianalisis menggunakan metode AOAC (1995). Sampel dihitung sebanyak
0,5 sampai 3,0 g lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan didestruksi dengan menggunakan
20 ml asam sulfat pekat dengan pemanasan sampai terjadi larutan berwarna jernih. Larutan hasil
destruksi diencerkan dan didestilasi dengan penambahan 10 ml NaOH 10%. Destilat ditampung
dalam 25 ml larutan H3BO3 3%. Larutan H3BO3 dititrasi dengan larutan HCl standar dengan
menggunakan metal merah sebagai indikator. Hasil titrasi ini total nitrogen dapat diketahui.
Kadar protein sampel dihitung dengan mengalikan total nitrogen dan faktor koreksi.

Kadar Abu

Kadar abu dianalisis menggunakan metode Association of Official Analytical Chemist


yang disingkat AOAC (1995). Sampel ditimbang sebanyak satu sampai lima gram, lalu
dimasukkan ke dalam cawan porselen yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel diarangkan
di atas Bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur
pada suhu 500 sampai 600C sampai menjadi abu yang berwarna putih. Cawan yang berisi abu
didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap.
Kadar Lemak

Kadar lemak dianalisis menggunakan metode AOAC (1995). Labu lemak yang
ukurannya sesuai dengan alat ektraksi Soxhlet dikeringkan dalam oven. Kemudian didinginkan
dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak lima gram sampel dibungkus
dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring
yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ektraksi soxhlet, kemudian dipasang alat
kondensor ditasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut lemak (kloroform : etanol, 1:2)
dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran yang digunakan. Selanjutnya
dilakukan refluks minimum lima jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna
jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak
yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105C. Selanjutnya didinginkan
dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap.

Kadar karbohidrat (metode luff-schoorl)


Kadar karbohidrat tidak tercerna

Kadar karbohidrat tidak tercerna dianalisis berdasarkan kandungan serat kasar


menggunakan metode AOAC (1995). Contoh yang telah digunakan pada penetapan lemak
ditimbang teliti 500 mg lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan 100 ml
asam sulfat 1,25% dan dipanaskan sampai mendidih. Setelah satu jam ditambahkan 100 ml
natrium hidroksida 3,25%, dipanaskan kembali sampai mendidih selama satu jam, kemudian
didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya.
Endapan dicuci dengan asam sulfat encer dan alkohol, lalu kertas saring dan endapan
dikeringkan dalam oven dan ditimbang.

Kadar karbohidrat tercerna

Kadar karbohidrat tercerna dianalisis menggunakan metode Winarno (1997). Kadar


karbohidrat dihitung secara by diference :

Persentase Kadar Karbohidrat = 100% - % (air + lemak + protein + abu + serat)

3. Pengujian sifat fisikokimia pada produk nugget

Perubahan yang diamati dalam penelitian ini adalah sifat fisikokimia nygget. Sifak fisik
yang diukur meliputi : daya ikat (%), susut masak (%), dan keempukkan (mm/g/10 detik),
sedangkan sifat kimia yang diukur adalah kadar air (%), protein (%), dan lemak (%). Pengukuran
daya ikat air menggunakan metode Hamm, pengukuran susut masak dilakukan dengan prosedur
kerja mengacu kepada Soeparno, 1998. Uji keempukan dilakukan secara objektif dengan
menggunakan aat pengukur penetrometer dengan prosedur kerja mengacu kepada Muctadi dan
Sugiyono, 1992. Pengukuran kadar air, protein dan lemak menggunakan analisis proksimat
berdasarkan metode AOAC, 1995.
4. Pengujian sifat mikrobiologi pada produk nugget
Uji indicator sanitasi

Pada uji ini mikroba yang dijadikan indicator sanitasi adalah Enterokoki dan
Bifidobacterium. Bifidobacterium merupakan bakteri anaerob yang biasa ditemukan pada produk
unggas. Sedangkan Enterokoki adalah kelompok bakteri yang jarang terdapat pada produk
unggas sehingga dapat dijadikan indicator sanitasi pada produk unggas. Enterokoki juga dapat
bertahan pada pembekuan dan pengeringan sehingga cocok digunakan untuk menguji produk
beku.

Uji toleransi mikroba terhadap factor-faktor pengolahan

Uji yang dilakukan adalah uji mikroba tahan panas (thermofilik) untuk mengetahui
apakah ada mikroba yang masih bertahan hidup setelah penggorengan dan pengovenan. Selain
itu, uji mikroba tahan suhu rendah (psikotrofik) juga perlu di uji untuk mengetahui keberadaan
mikroba yang masih hidup setelah pembekuan

Uji mikroba anaerobic

Produk nugget mengalami proses pengolahan dengan panas dan kemudian disimpan
dalam kemasan (beberapa produk dikemas secara vakum). Sehingga perlu diketahui keberadaan
bakteri anaerob yang hidup selama penyimpanan.Pengujian sifat organoleptik meliputi atribut
warna, rasa, tekstur, dan daya terima.

5. Pengujian organoleptik pada produk nugget

Uji organoleptik merupakan pengujian yang panelisnya cenderung melakukan penilaian


berdasarkan kesukaan (Hedonict test) (Kartika et al. 1988). Dalam pengujian ini panelis
menggunakan respon yang berupa suka atau tidak sukanya terhadap sifat produk hasil
eksperimen yang diuji. Pada pengujian organoleptik ini menggunakan lima kategori kesukaan
dan diberi skor sebagai berikut:

1 = Sangat suka, 2 = Suka, 3 = Cukup suka, 4 = Kurang suka, 5 = Tidak suka

Anda mungkin juga menyukai