Anda di halaman 1dari 13

TAKEHOME UAS

TEKNOLOGI PENYIMPANAN PANGAN LANJUT

Dosen : Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc

OLEH :

TRINOVIYANI

F251180111

PROGRAM STUDI ILMU PANGAN


DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
A. Pendahuluan
Keema adalah sebutan utnuk produk daging asli orang indian yang memiliki rasa lezat
dan dibuat dengan cara memasak daging yang dipotong dari potongan kelas rendah dan lebih
murah dengan ditambahkan bumbu. Keema dikonsumsi segar karena sifatnya yang sangat
perishable, terutama disebabkan oleh kerusakan mikroba. Stabilitas mikroba dan keamanan
pangan tradisional dan modern didasarkan pada kombinasi beberapa faktor (hurdle) yang tidak
dapat diatasi oleh mikroorganisme yang ada dalam makanan (Leistner & Gorris, 1995). Efek
teknologi hurdle sangat penting untuk pengawetan makanan karena dapat mengendalikan
pembusukan produk karena mikroorganisme dan menghindari konsumen dari keracunan
makanan (Leistner & Gorris, 1995). Beberapa teknologi hurdle yang digunakan dalam kombinasi
optimal yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sensorik, stabilitas mikroba dan
penambahan pengawet (Leistner, 1994).
jurnal ini bertujuan untuk mengembangkan produk daging keema baik dari karakteristik
fisiko-kimianya, stabilitas mikrobiologi, dan kualitas sensorik sehingga dapat ditentukan umur
simpannya pada suhu ruang.

B. Bahan dan Metode


Daging kambing yang masih hangat dikumpulkan dari pasar lokal. Daging-daging ini berumur 24
jam yang disimpan pada suhu 4± 1 oC. Daging kemudian dicuci satu kali dengan air kapur 100
ppm, dan dua kali dengan air minum biasa. selanjutnya daging tanpa lemak dengan 10% lemak
kambing dicincang menggunakan penggiling daging.

Preparasi keema

1. 10% Minyak bunga matahari dipanaskan hingga mencapai suhu 120 °C


2. Daging dan lemak kambing dicincang dengan bahan lain, kecuali campuran bumbu (Tabel
1), dipisahkan ke dalam masing masing perlakuan hurdle (keema diolah, keema tidak
diolah) dan sebagiannya lagi dogoreng selama 4 menit.

3. Minyak yang berlebih dituang dari panci dan dicampur dengan campuran rempah-rempah.
4. Produk yang digoreng tadi dikemas dalam kantong nilon-CPP agar terhindar dari
kontaminasi setelah pemrosesan
5. Produkyang dikemas vakum dimasak pressure selama 7 menit dan disajikan hangat untuk
panelis berpengalaman pada hari nol.
6. Produk yang dimasak pressure yang menjadi objek dari pada penelitian ini.

Penambahan Humektan
1. Tingkat humektan yang diujikan berbeda-beda yaitu garam (2 ± 4%), gula (1 dan 2%),
protein kedelai terisolasi (ISP) (1 ± 6%), susu bubuk skim (1 dan 2%) dan susu fermentasi (5
dan 10%).
2. Uji awal membuktikan bahwa penambahan 2,5% adalah proporsi yang optimal dalam
pembuatan keema
3. Penambahan gula 1% menciptakan rasa manis pada daging dan ini tidak diinginkan
4. Penambahan ISP 6% menghasilkan rasa kedelai yang mendukung rasa daging. Akan tetapi
optimal pada 5%
5. Penambahan susu fermentasi pada taraf 5 dan 10% mengakibatkan produk menjadi rusak
dan hal ini tidak diharapkan, sehingga susu fermentasi ini dihilangkan. (formulasi bahan
dapat dilihat pada tabel 1)

Penambahan Asam

1. Untuk keasaman digunakan asam sitrat (0,2 ± 2% b/b), asam cuka (0,5 ± 0,75%, v/w), asam
asetat (0,5 ± 2% v/w), natrium laktat (1 ± 2%, v/w), asam laktat (0,5 sampai 2% v/w) dan
glucono-d-lactone (gd-1) (0,3% b/b) digunakan.
2. Dari percobaan diperoleh bahwa asam sitrat, asam cuka dan asam asetat pada
masing-masing takaran tidak disukai karena menurunkan kualitas sensorik pada daging.
3. Penurunan pH yang diinginkan dicapai dengan peningkatan konsentrasi asam laktat saja

Efek pH terhadap kualitas sensorik


pH keema yang dengan perlakuan diolah diatur ke dalam 3 level yaitu ; 5.5, 5.6 dan 5.8. persentase
asam laktat yang ditambahkan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Penambahan protein kedelai meningkatkan kebutuhan asam. adonan yang telah
digoreng yang ditambahkan humektan kemudian diambil untuk perhitungan (m. Eq). Setelah
penggorengan, bumbu kemudian dicampurkan dan produk daging keema dikemas vakum dan
dimasak pressure. Keema yang ditambahkan humektan tanpa penambahan asam disajikan sebagai
kontrol.

Efek aktivitas air (Aw) terhadap kualitas sensorik


Daging keema dengan pH 5.8 lebih disukai dalam percobaan pertama kemudian produk
dengan nilai pH ini digunakan dalam percobaan kedua. Keema dengan aw 0.9 dicapai dengan
penambahan humektan dan kondisi pemrosesan. Pengurangan lebih lanjut dari aw ke 0,88
dilakukan dengan meningkatkan waktu penggorengan dari 4 hingga 7 menit.

Pengukuran Aw
Aw dari sampel daging ditentukan dengan prosedur yang direkomendasikan oleh Lerici
(1983) yaitu sebagai berikut :
1. Sekitar 50 g sampel dikemas dan dimasukkan ke dalam tabung gelas 60 ml yang tertutup
rapat.
2. Kemudian direndam dalam ruang pendingin yang telah didinginkan dengan etanol pada
suhu 30 hingga 35 oC di dalam 1 liter gelas beaker dan disimpan dalam freezer.
3. Termometer diletakkan didalam untuk memantau suhu
4. Tingkat penurunan suhu diamati yang konstan hingga titik tertentu
5. tingkat perubahan ditunjukkan dengan dimulainya pembentukan kristal es, diambil sebagai
titik beku sampel.
6. Titik beku diubah menjadi nilai aktivitas air menggunakan rumus yang dikembangkan oleh
Lerici et al. (1983).

dimana :
ln = logaritma natural
T = suhu titik beku (Kelvin)

Study Penyimpanan
Produk disimpan pada suhu kamar (35,25 ± 1,26 oC; RH 82,09 ± 0,83) dan dianalisis untuk
atribut kualitas pH dan tirosin, bilangan TBA, kelembaban, aktivitas air dan total mikroba aerob
maupun anaerob.

C. Hasil
Penelitian awal dengan penambahan humektan 1% menunjukkan bahwa penambahan
ISP, gula, SMP dan susu fermentasi mengurangi aw yaitu 0,0045, 0,0020, 0,0004 dan 0,0003
masing-masing. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuatan ion SMP ISP, susu fermentasi dan gula
memiliki komposisi dasar dan gugus aktif untuk mengikat molekul air. Akan tetapi untuk
penambahan susu fermentasi Aw produk sedikit meningkat karena susu memiliki kadar air yang
tinggi, sehingga ini dianggaptiak cocok sebagai humektan untuk produk daging.
Penelitian tentang penambahan acidulant mengungkapkan bahwa asam sitrat di atas
0,3% (wlv) memberikan rasa asam yang tidak diinginkan pada produk dan pengurangan pH yang
dicapai pada tingkat ini tidak di bawah 0,4 unit. Pengurangan pH dengan penambahan 1% cuka
sintetis sangat lemah yang dibuktikan dengan penurunan pH menjadi 6,22 dari 6,34. Efek dari g-
d-1 adalah moderat dan penurunan pH sekitar 0,1 unit per satuan desimal persen (w / w) dalam
daging kambing. Meskipun natrium laktat meningkatkan kualitas produk, penurunan pH tidak
signifikan bahkan pada tingkat 2%. Sedngkan Asam laktat (90% murni) kurang dari 0,75% dapat
diterima oleh panelis dan pada tingkat ini, pengurangan pH yang diamati adalah 1 unit dalam
sistem daging. Oleh karena itu disimpulkan bahwa asam laktat dapat digunakan sendiri untuk
modifikasi pH keema. Selain itu, aksi asam laktat dalam sediaan ini paling konsisten daripada asam
organik lainnya.
Percobaan 1
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil perolehan warna dan tampilan semua sampel chevon keema
tidak berbeda secara signifikan.
Ini membuktikan bahwa perubahan warna tidak terjadi dengan penambahan konsentrasi
rendah asam laktat (Smulders et al. 1986). Asam askorbat, penstabil warna, mungkin menetralkan
perubahan warna dari sejumlah kecil LA (Mulder & Krol, 1975). Skor rasa asam pada daging Keema
yang diolah adalah signifikan (P <0:01) dan menurun secara linear dengan penurunan pH dari 5,8
menjadi 5,5. Meskipun perbedaannya tidak signifikan antara yang tidak diolah dan yang diolah
dengan penambahan asam pada pH 5,8. skor yang terbaik untuk flavour adalah dengan
penambahan sejumlah kecil asam laktat yaitu di bawah tingkat 0,4%, karena memang sangat
sedikit asam yang diinginkan pada produk ini.
Penurunan juiciness yang tajam ditunjukkan pada pH pH 5,65 dan 5,5. Penurunan pH
produk mendekati titik isoelektrik protein daging (pH 5,4) sehingga mengurangi kapasitas
pengikatan air. Untuk pH 5,8 yang dianggap tidak significant, Ini menunjukkan bahwa pH 5.8
mungkin memiliki WHC yang lebih baik. Sama halnya dengan tekstur yang menurun karena pH
juga menurun. Hal ini sesuai dengan Bouton 1971) bahwa pH 5,7 menyebabkan , rendah juiciness
dan tekstur yang relatif kering dalam produk.
Percobaan 2
Berdasarkan Tabel 3, Teknologi Hurdle yang diberikan terhadap daging keema memiliki
penampilan dan warna yang lebih baik daripada produk kontrol.
Skor warna yang lebih tinggi untuk keema yang ditambhakan humektan pada Aw 0,9
dihubungkan dengan nitrosopigmen yang menutupi pemudaran warna daging dengan
penambahan ISP (Ambrosiadis, 1994) dan dengan adanya jumlah air yang cukup. Skor mulai
berkurang pada keema yang Aw nya 0.88 hal ini disebabkan karena tingkat kelembaban relatif
rendah yang menggelapkan warna produk. Skor sensorik untuk rasa menurun nyata dengan
penurunan aw. Penurunan skor yang disukai untuk produk daging keema Aw 0,88 terjadi karena
adanya penguapan senyawa volatil selama penggorengan dan pengurangan tingkat kelembaban
yang relatif.
Skor juiciness pada produk Keema tidak berbeda secara signifikan di antara sampel.
Namun, teknologi Hurdle keema pada Aw 0,9 memiliki skor yang agak lebih tinggi, hal ini
disebabkan oleh tingkat kadar air yang dimiliki dan kapasitas penyimpanan air yang baik dari
protein kedelai. Secara keseluruhan palatabilitas teknologi hurdle daging keema yang diolah pada
Aw 0,9 aw tidak berbeda signifikan dari keema yang tidak diberikan perlakuan (P <0:01) skor dari
produk ini lebih tinggi daripada Aw 0,88. Ini mungkin karena penambahan susu bubuk skim dan
kedelai. serta efek aditif dari semua atribut sensorik di atas. Dengan demikian, percobaan
menegaskan kembali bahwa produk di sekitar aw 0,92 lebih disukai.

Parameter fisiko-kimia
Semua parameter fisiko-kimia Keema kecuali pH berbeda signifikan antara yang tidak
diberikan perlakuan dan yang diberikan perlakukan (Tabel 4).
Pada penyimpanan terjadi peningkatan secara bertahap terhadap pH, aktivitas air,
kelembaban, TBARS dan nilai tyrosine dari keema yang diberikan perlakuan sedangkan keema
yang tidak diberi perlakuan pH nya menurun. Pengurangan dan peningkatan pH keema
dikarenakan elaborasi dari metabolit asam oleh mikroba serta oleh pemecahan protein kedelai
(Bell & Shelef, 1978). Perubahan Aw lebih rendah disebabkan karena adanya oksidasi lipis, serta
peningkatan nilai TBARS dusebabkan oleh oksidasi terinduksi cahaya sehingga nila TBARS Keema
keema di luar batas ambang 2 mg/kg (Watts, 1962) pada hari ke-5 pada keema yang tidak diberi
perlakuan dan hari ke-7 untuk keema yang diberi perlakuan. Nilai tirosin yang lebih tinggi
disebabkan oleh denaturasi dan proteolisis berikutnya dari ISP dan SMP selama pemanasan yang
ditekankan oleh penambahan asam laktat (Syed, Rao & Amla, 1995). Meskipun demikian tapi ini
tidak menyebabkan pembusukan.

Kualitas Mikrobiologi
Mikroba aerobik dan anaerobik serta Staphylococcus aureus menunjukkan petumbuhan
yang lebih rendah pada keema yang diberikan perlakuan teknologi Hurdle (Tabel 5). Hal ini
disebabkan metabolic injury terhadap mikroorganisme di lingkungan subinhibitory. Sedangkan
peningkatan logaritmik pada keema yang tidak diberikan perlakuan Hurdle selama penyimpanan
disebabkan karena Aw dan pH yang kondusif (Leistner et al. 1981). Meskipun protein kedelai
cenderung meningkatkan total mikroba (Chowdhury et al. 1994), tetapi karena depresi Aw,
sehingga pertumbuhan mikroba berkurang dalam keema diberi perlakuan. Akan tetapi saat Aw
mencapai 0,91 pada hari ke 5, pertumbuhan mikroba menjadi nampak lebih banyak.
Atribut Sensory
Chevon keema yang diberi perlakuan Hurdle dinilai lebih tinggi untuk semua atribut
sensorik kecuali untuk juiciness (Tabel 6). Pada keema yang diberi perlakuan hurdle memiliki skor
yang lebih tinggi untuk warna dan kenampakan dikarenakan penambahan aditif seperti natrium
nitrit dan natrium askorbat. Pengurangan nilai warna selama penyimpanan mungkin karena
oksidasi lipid dan senyawa teroksidasi berikutnya bereaksi dengan asam amino menyebabkan
pencoklatan non-enzimatik dalam produk (Che Man et al.1995). Penurunan rasa pada Keema yang
tidak diberi perlakuan terjadi pada hari ke-3 diikuti dengan pembusukan pada hari ke-5 hal ini
disebabkan peningkatan pembebasan asam lemak (Branen 1979) dan oksidasi lemak (Santamaria
et al. 1992) serta peningkatan jumlah mikroba.
Pelepasan cepat kelembaban pada keema yang tidak diberi perlakuan dalam kemasan
vakum diduga menyebabkan penurunan mendadak dalam skor juiciness, sementara pelepasan
kelembaban yang lambat pada sampel yang diberi perlakuan disebabkan oleh penambahan
humektan yang bisa mengurangi penurunan cepat dalam juiciness. Penurunan yang signifikan
pada tekstur keema yang tidak diberi perlakuan pada hari ke-3 sementara penurunan linear pada
keema yang diberi perlakuan selama penyimpanan disebabkan oleh perubahan ikatan disulfida
dan kandungan asam amino (Santamaria et al., 1992). Dapat disimpulkan bahwa keema yang
diberi perlakuan lebih baik daripada yang tidak diberi perlakuan.

D. Kesimpulan

1. Asam laktat lebih disukai untuk pengaturan pH dari chevon keema dan produk dengan pH
5,8 menjamin skor sensoris yang tinggi.
2. Dari humektan yang digunakan, protein kedelai yang terisolasi (Supro 500-E1) paling efektif
dan produk yang memiliki aktivitas air 0,9 lebih disukai daripada produk pada aktivitas air
0,88.
3. Karakteristik fisikokimia dan mikrobiologi serta atribut sensorik menunjukkan bahwa
teknologi Hurdle yang digunakan membuat Keema aman dan diterima dengan baik sampai
hari ke-3 dan cukup dapat diterima hingga hari ke-5 selama penyimpanan berbeda dengan
keema yang tidak diberi perlakuan hanya dapat diterima pada hari pertama.
DAFTAR PUSTAKA

Ambrosiadis, I. (1994). Frankfurter-type sausages. The effect of textured soya protein on their
technological and sensory properties. Fleischwiftschaft, 74(4), 401±403.
American Public Health Association (1976). Compendium of methods of microbial examination of
foods (1st Ed.). Washington, DC: American Public Health Association. Inc.
Association of Official Analytical Chemists (1995). Official methods of analysis (16th Ed.). Virginia,
USA: Association of Official Analytical Chemist.
Bell, W. N., & Shelef, L. A. (1978). Availability of fat level and cooking methods on sensory and
textural properties of ground beef patties. Journal of Food Science, 43(2), 315±318.
Bùgh Sùrensen, L. (1994). Heat processed cured meat products. In: L. Leistner, & L. G. H. Gorries,
Food preservation by combined process (pp. 91±94). Final Report of FLAIR Concerted Action
No.7, Subgroup B, EUR 15776 EN, European Commission. DG XII, Brussels.
Bouton, P. E., Harris, P. V., & Shorthose, W. R. (1971). Effect of ultimate pH upon water holding
capacity and tenderness of mutton. Journal of Food Science, 36(3), 435±439.
Branen, A.L. (1979). Interaction of fat oxidation and microbial spoilage in muscle foods. In
Proceedings of the 31st Annual Reciprocal Meat Conference (pp. 156±161).
Che Man, Y. B., Bakar, J., & Mokri, A. A. K. (1995). Effect of packaging flms on storage stability of
intermediate deep-fried mackerel. International Journal of Food Science and Technology, 30,
175±179.
Chowdhury, J., Sushil Kumar, & Keshri, R. C. (1994). Physico-chemical and organoleptic properties
of chicken patties incorporating texturised soy proteins. Ind. J. Poul. Sci., 29(2), 204±210.
Dexter, D. R., Sofos, J. N., & Schmidt, G. R. (1993). Quality characteristics of turkey bologna
formulated with carrageenan, starch, milk and soy protein. Journal of Muscle Foods, 4(3),
207±223.
Gailani, M. B., & Fung, D. Y. C. (1989). Microbiology and water activity relationship in the processing
and storage of Sudanese dry meat (Sharmoot). J. Food Prot., 52(1), 13±20.
Krahl, L. M., Rhee, K. S., Lin, K. W., Keeton, J. T., & Ziprin, Y. A. (1995). Sodium lactate and sodium
tripolyphosphate effects on oxidative stability and sensory properties of precooked reduced
fat pork sausage with carrageenan. Journal of Muscle Foods, 6(3), 243± 256.
Labuza, T. P., McNally, L., Gallagher, D., Hawkes, J., & Hurtado, F. (1972). Stability of intermediate
moisture foods. 1. Lipid oxidation. Journal of Food Science, 37, 154±159.
Labuza, T. P., Cassil, S., & Sinskey, A. J. (1972). Stability of intermediate moisture foods. 2.
Microbiology. Journal of Food Science, 37, 160±162.
Leistner, L. (1987). Shelf stable products and intermediate moisture foods based on meat. In L. B.
Rockland, & L. R. Beuchert, Water activity: Theory and applications to food (pp. 245±327).
New York: Marcel Dekker Inc.
Leistner, L. (1994). Introduction to hurdle technology. In L. Leistner, & L. G. M. Gorris, Food
preservation by combined processes. (pp. 1± 6). Final Report of FLAIR Concerted Action No.7,
Subgroup B, EUR 15776 EN, European Commission. DG XII, Brussels.
Leistner, L., & Gorris, L. G. M. (1995). Food preservation by hurdle technology. Trends in Food
Science and Technology, 6, 41±46.
Leistner, L., RoÈ del, W., & Krispien, K. (1981). Microbiology of meat and meat products in high- and
intermediate-moisture ranges. In L. B. Rockland, & G. F. Stewart, Water activity: Influences on
food quality (pp. 855±916). New York: Academic Press.
Lerici, C. R., Piva, M., & Rosa, M. D. (1983). Water activity and freezing point depression of aqueous
solutions and liquid foods. Journal of Food Science, 48, 1667±1669.
Manish Kumar, & Berwal, J.S. (1996). Hurdle technology for a shelf stable Tandoori chicken. World's
Poultry Congress, New Delhi, India. 2±5 Sept. 1996; Vol. III, pp. 149±155.
Mc Carthy, M. J., Heil, J. R., Kruegermann, C., & Desvignes, D. (1991). Acid requirement for pH
modi®cation of processed foods. Journal of Food Science, 56(4), 973±976.
Mulder, S. J., & Krol, B. (1975). The effect of lactic acid on the bacterial ¯ora and colour of fresh
meat. Fleischwirtschaft, 55, 1255± 1258.
Santamaria, L., Lizarraga, T., Astiasaran, I., & Bello, J. (1992). Characterization of pamplona chorizo
sausages, physico-chemical and sensory studies. Revists-Espanole-de-Ciencis-y-
Technologis-deAlimentos, 32(4), 431±445.
Smolka, L. R., Nelson, F. E., & Kelley, L. M. (1974). Interaction of pH and NaCl on enumeration of
heat-stressed Staphylococcus aureus. Applied Microbiology, 27(3), 443±447.
Smulders, F. J. M., Barendsen, P., van Logtestyn, J. G., Mossel, D. A. A., & van der Marel, G. M. (1986).
Lactic acid: considerations in favour of its acceptance as meat decontaminant. Journal of
Food Technology, 21, 419±436.
Snedecor, G. W., & Cochran, W. G. (1989). Statistical methods (8th ed.). New Delhi: Oxford and IBH
Publ. Co.
Sofos, J. N., Busta, F.F., Bhothipaksa, K., Alien, C. E., Robach, M. C., & Paquette, M. W. (1980). Effect
of various concentrations of sodium nitrite and potassium sorbate on Clostridium botulinum
toxin production in commerically prepared bacon. Journal of Food Science, 45, 1285±1292.
Strange, E. D., Benedict, R. C., Smith, J. L., & Swift, C. E. (1977). Evaluation of rapid tests for
monitoring alterations in meat quality during storage. 1. Intact meat. J. Food Prot., 40,
843±847.
Syed, Z. K., Rao, D. N., & Amla, B. L. (1995). Effect of lactic acid, ginger extract and sodium chloride
on electrophoretic pattern of buffalo muscle proteins. Journal of Food Science and
Technology India, 32(2), 224±228.
Tarladgis, B. G., Watts, B. M., Younathan, M. T., & Dugan, L. R. (1976). A distillation method for the
quantitative determination of melanaldehyde in rancid foods. J Am. Oil. Chem. Soc., 37,
403±406.
Wang, W., & Leistner, L. (1993). Shafu: a novel dried meat product of China based on hurdle-
technology. Fleischwirtschaft, 73(8), 854±856.
Wang, W., & Leistner, L. (1994). Traditional Chinese meat products and their optimization by hurdle
technology. Fleischwirtschaft, 74(11), 1135±1145.
Watts, B. M. (1962). Meat products. In H. W. Shultz, E. A. Day, & R. O. Sinnbubber, Symposium on
food lipids and their oxidation (pp. 202±220). Westport, CT: AVII Publ. Co. Inc.

Anda mungkin juga menyukai