Anda di halaman 1dari 13

ACARA 1

UJI EBER

1. Uji eber adalah uji kualitas daging yang bertujuan untuk mengetahui
pembusukan daging yang dilakukan dengan menggunakan Reagen Eber
yang dibuat dari campuran HCl, alcohol dan ether. Penentuan awal
pembusukan dilihat dari timbulnya bentukan gas atau asap yang keluar dari
daging. Gas NH3 yang keluar dari potongan daging akan berikatan dengan
HCl dari reagens Eber dan akan membentuk embun NH4Cl. Hasil positif (
+ ) dinyatakan dengan terbentuknya kabut NH4Cl, yang berarti terjadi awal
pembusukan. Sedangkan hasil negatif (-) dinyatakan dengan tidak
terbentuknya kabut NH4Cl (Prawesthrini dalam : Antika, 2013)

2. Prinsipnya dari uji eber adalah gas NH3 yang keluar dari potongan daging
akan berikatan dengan HCl dari reagens Eber dan akan membentuk embun
NH4Cl. Hasil positif ( + ) pembusukan dinyatakan dengan terbentuknya
kabut NH4Cl, yang berarti terjadi awal pembusukan. Sedangkan hasil
negatif (-) dinyatakan dengan tidak terbentuknya kabut NH4Cl
(Prawesthrini dalam : Antika, 2013)

3. Berdasarkan Tabel 1.1 Hasil Pengujian Eber Pada Daging Sapi, diperoleh
hasil pada sampel daging segar kelompok 7 dan 8 pada hari ke-0 tidak
mengandung gas, hari ke-2 mengandung sedikit gas, hari ke-7 mengandung
sedang gas. Sampel daging refrigerator kelompok 9 dan 10 diperoleh hasil
pada hari ke-0, ke-2, ke-7 tidak mengandung gas. Sampel daging beku
kelompok 11 dan 12 diperoleh hasil pada hari ke-0, ke-2, ke-7 tidak
mengandung gas. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa daging beku dan
daging yang disimpan dalam refrigerator tidak mengandung gas sama sekali
pada hari ke 0, 2, dan 7, sedangkan daging segar mengandung gas pada hari
ke 2 dan 7. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa daging segar mengalami
pembusukan awal dengan munculnya gas pada hari ke 2 dan telah sesuai
dengan teori Ramli dalam : Antika (2013) yang menyebutkan bahwa faktor
penyebab pembusukan daging yaitu temperatur yang dapat mengatur
pertumbuhan bakteri sebab semakin tinggi temperatur semakin besar pula
tingkat pertumbuhannya. Modi dalam : Antika (2013) menyebutkan,
penyimpanan daging pada suhu hangat dapat mempercepat peningkatan
jumlah organisme, penyimpanan suhu chill dapat meningkatkan jumlah
organisme khususnya psychotrops, sedangkan penyimpanan suhu beku
tidak menimbulkan peningkatan jumlah organisme selama proses
penyimpanan. Peningkatan jumlah organisme pada proses pembusukan
diikuti dengan kerusakan fisik daging.

Tabel 1.1 Hasil Pengujian Eber Pada Daging Sapi

Kelompok Sampel Hasil Uji Eber Hari ke


0 2 7
7 dan 8 Daging Segar - + ++
9 dan 10 Daging Refrigerator - - -
11 dan 12 Daging Beku - - -
Sumber : Laporan Sementara

Keterangan : - : Tidak Mengandung Gas

+ : Mengandung Sedikit Gas

++ : Mengandung Sedang Gas

+++ : Mengandung Banyak Gas

Dapus acara 1

Antika, Dona Dwi., Rudy Sukamto S., T.Soelih Estoepangestie. 2013. Pengaruh
Cara Pengemasan dan Suhu Penyimpanan terhadap Awal Pembusukan
Daging Sapi. Jurnal Veterinaria Medika Vol 6, No. 1
Acara 2

ES KRIM

1. Es krim merupakan sejenis makanan semi padat yang dibuat dari campuran
susu, lemak hewani atau nabati, gula dan dengan atau tanpa bahan makanan
lain. Es krim merupakan salah satu makanan yang bernilai gizi tinggi. Nilai
gizi es krim sangat tergantung pada nilai gizi bahan bakunya. Untuk
membuat es krim yang bermutu tinggi, nilai gizi bahan bakunya perlu
diketahui dengan pasti. Es krim merupakan produk pangan yang cocok
dikonsumsi untuk iklim tropis, sehingga salah satu pilihan untuk
menghilangkan dahaga. Es krim banyak digemari masyarakat diberbagai
tingkatan usia, karena rasanya yang manis dan lumer dimulut. Salah satu
faktor ang mempengaruhi kualitas es krim yaitu susu krim sebagai salah
satu bahan dasarnya (Haryanti, 2015)

2. Lemak bisa dikatakan sebagai bahan baku es krim, lemak yang terdapat
pada es krim berasal dari susu segar yang disebut krim. Lemak susu
berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi es krim, menambah cita rasa,
mencegah pembentukan kristal es, menghasilkan karakteristik tekstur yang
lembut, membantu memberikan bentuk dan kepadatan serta memberikan
sifat meleleh yang baik (Haryanti, 2015)

Bahan emulsifier dipakai untuk memperbaiki tekstur es krim yang


merupakan campuran air dan lemak. Sedangkan bahan penstabil berfungsi
menjaga air di dalam es krim agar tidak membeku besar dan mengurangi
kristalisasi es. Bahan penstabil yang umum digunakan dalam pembuatan es
krim dan frozen dessert yang lain adalah CMC, gelatin, Naalginat,
karagenan, gum arab, dan pectin (Hartati, 2011)
3. Proses pembuatan es krim meliputi persiapan bahan, pencampuran ,
pasteurisasi, homogenisasi, pendinginan, dan pengemasan.. Pasteurisasi
bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pathogen. Homogenisasi
berfungsi untuk meningkatkan kekentalan adonan. Pendinginan berfungsi
menghentikan pemanasan berlanjut . Selanjutnya adonan es krim dialirkan
ke bagian pengisian dan dikemas (Hartati, 2011)

4. Berdasarkan praktikum acara Acara II Pembuatan Produk Dan Uji Kualitas


Produk Susu (Eskrim Susu) yang telah dilakukan, diperoleh Tabel 2.7 Hasil
SPSS Uji Kesukaan Terhadap Eskrim Susu. Pada praktikum yang
dilakukan, terdapat 3 formulasi per kelas (a dan b), jadi terdapat 6 formulasi
yang berbeda. Formulasi yang pertama adalah Kode 493 dengan
Penambahan 1 gram agar (kelompok 1 dan 4). Formulasi kedua adalah Kode
648 dengan Penambahan 0,4 gram CMC + 0,6 gram agar (kelompok 2 dan
5). Formulasi ketiga adalah Kode 591 dengan tanpa penambahan (kelompok
3 dan 6). Formulasi keempat adalah Kode 751 dengan penambahan 1 gram
CMC (kelompok 7 dan 10). Formulasi kelima adalah kode 185 dengan
penambahan 0,4 gram CMC + 0,6 gram agar (kelompok 8 dan 11).
Formulasi keenam adalah Kode 351 dengan penambahan 0,5 gram CMC +
0,5 gram agar (kelompok 9 dan 12).
Dari pengujian organoleptik kelas A pada parameter warna
diperoleh yang paling disukai oleh panelis secara urut adalah kode 648
dengan nilai 3,85, kemudian kode 591 dengan nilai 3,45, kemudian kode
493 dengan 2,80 yang berbeda nyata. Untuk pengujian organoleptic kelas B
pada parameter warna diperoleh yang paling disukai oleh panelis secara urut
adalah kode 751 dengan nilai 3,10, kemudian kode 185 dengan nilai 2,90,
dan kode 351 dengan nilai 2,75 yang berbeda nyata. Dari praktikum kelas
A dan B diperoleh bahwa warna es krim yang paling disukai adalah kode
648 dengan nilai 3,85 formulasi penambahan 0,4 gram CMC + 0,6 gram
agar.
Dari pengujian organoleptik kelas A pada parameter aroma
diperoleh yang paling disukai oleh panelis secara urut adalah kode 648
dengan nilai 3,65 kemudian kode 591 dengan nilai 3,50, kemudian kode
493 dengan nilai 3,30. Untuk pengujian organoleptic kelas B pada
parameter aroma diperoleh yang paling disukai oleh panelis secara urut
adalah kode 751 dengan nilai 3,50, kemudian kode 351 dengan nilai 3,10,
dan kode 185 dengan nilai 3,00. Dari praktikum kelas A dan B diperoleh
bahwa aroma es krim yang paling disukai adalah kode 648 dengan nilai
3,65 formulasi Penambahan 0,4 gram CMC + 0,6 gram agar.
Dari pengujian organoleptik kelas A pada parameter rasa diperoleh
yang paling disukai oleh panelis secara urut adalah kode 493 dan 648
dengan nilai 3,15, dan kode 591 dengan nilai 2,95. Dari pengujian
organoleptik kelas B pada parameter rasa diperoleh yang paling disukai oleh
panelis secara urut adalah kode 751 dengan nilai 2,95, kemudian kode 351
dengan nilai 2,70, dan kode 185 dengan nilai 2,60. Dari praktikum kelas A
dan B diperoleh bahwa rasa es krim yang paling disukai adalah kode 493
formulasi penambahan 1 gram agar dan kode 648 formulasi penambahan
0,4 gram CMC + 0,6 gram agar dengan nilai 3,15.
Dari pengujian organoleptik kelas A pada parameter tekstur
diperoleh yang paling disukai oleh panelis secara urut adalah kode sampel
493 dengan nilai 2,80, kemudian kode sampel 648 dengan nilai 2,75, dan
kode sampel 591 dengan nilai 2,30 yang berbeda nyata. Dari pengujian
organoleptik kelas B pada parameter tekstur diperoleh yang paling disukai
oleh panelis secara urut adalah kode sampel 751 dengan nilai 2,50 yang
berbeda nyata dengan kode sampel 185 dengan nilai 2,20 dan kode sampel
351 dengan nilai 2,00. Dari praktikum kelas A dan B diperoleh bahwa
tekstur es krim yang paling disukai adalah kode sampel 493 formulasi
Penambahan 1 gram agar.
Dari pengujian organoleptik kelas A pada parameter overall
diperoleh yang paling disukai oleh panelis secara urut adalah kode sampel
493 dengan nilai 3,05, kemudian kode sampel 591 dengan nilai 3,00 dan
kode sampel 648 dengan nilai 2,25. Dari pengujian organoleptik kelas B
pada parameter overall diperoleh yang paling disukai oleh panelis secara
urut adalah kode sampel 185 dengan nilai 2,80, kemudian kode sampel 351
dengan nilai 2,75 dan kode sampel 751 dengan nilai 2,10. Dari praktikum
kelas A dan B diperoleh bahwa parameter overall es krim yang paling
disukai adalah kode sampel 493 formulasi penambahan 1 gram agar
(kelompok 1 dan 4) dengan nilai 3,05.

5. Faktor yang mempengaruhi kualitas es krim antara lain adalah pengocokan


atau pengadukan. Pengocokan merupakan kunci dalam pembuatan es krim
karena itu selama proses pembekuan, adonan harus diguncang-guncang.
Selain itu juga ada bahan baku. Komponen terpenting dari es krim adalah
lemak susu dan susu skim (Hartatie, 2011).
Overrun juga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi struktur es
krim yang berhubungan dengan volume pengembangan es krim. Nilai
overrun es krim dipengaruhi oleh factor-faktor proses pembuatan dan
komposisi es krim seperti kadar lemak (Hubeis, 1995).

6. Es krim dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu standar, premium


dan super premium. Perbedaan ketiga jenis tersebut berdasarkan kandungan
lemak dan komponen solid non lemak atau susu skim. Es krim yang
termasuk kategori super premium memiliki kadar lemak paling tinggi yaitu
sekitar 17 persen dan memilki solid non lemak paling rendah yaitu 9,25
persen. Es krim premium mengandung 15 persen lemak dan 10 persen solid
non lemak. Sedangkan es krim standar memiliki kadar lemak 10 persen
lemak dan kadar solid non lemak 11 persen (Hartatie, 2011)
Tabel 2.7 Hasil SPSS Uji Kesukaan Terhadap Es krim Susu

Parameter
Kode Sample
Warna Aroma Rasa Tekstur Overall
ab
493 2,80 3,30a 3,15 a
2,80b 3,05a
648 3,85c 3,65a 3,15a 2,75b 2,25a
591 3,45bc 3,50a 2,95a 2,30ab 3,00a
751 3,10ab 3,50a 2,95a 2,50ab 2,10a
185 2,90ab 3,00a 2,60a 2,20a 2,80a
351 2,75a 3,10a 2,70a 2,00a 2,75a
Sumber : Laporan Sementara
Keterangan sampel:
Kode 493 = Penambahan 1 gram agar (kelompok 1 dan 4)
Kode 648 = Penambahan 0,4 gram CMC + 0,6 gram agar (kelompok 2 dan 5)
Kode 591 = Tanpa penambahan (kelompok 3 dan 6)
Kode 751 = Penambahan 1 gram CMC (kelompok 7 dan 10
Kode 185 = Penambahan 0,4 gram CMC + 0,6 gram agar (kelompok 8 dan 11)
Kode 351 = Penambahan 0,5 gram CMC + 0,5 gram agar (kelompok 9 dan 12)
Keterangan:
1 = Sangat tidak suka
2 = Tidak suka
3 = Netral
4 = Suka
5 = Sangat suka
DAPUS ACARA 2

Hubeis M., 1995, Paket Industri Pangan Es Krim Ekonomi Skala Industri Kecil.
Bulletin Fakultas Teknologi Industri Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Vol. VII (I), Hal 100-102.

Haryanti , Nopita., Ahmad Zueni. 2015. Identifikasi Mutu Fisik, Kimia Dan
Organoleptik Es Krim Daging Kulit Manggis (Garcinia Mangostana L.)
Dengan Variasi Susu Krim. Jurnal AGRITEPA, Vol. I No. 2

Hartatie , Endang Sri. 2011. Kajian Formulasi (Bahan Baku, Bahan Pemantap) Dan
Metode Pembuatan Terhadap Kualitas Es Krim. Jurnal GAMMA, Volume
7, Nomor 1.
Acara 3

DAYA BUIH

poin

1. Daya buih adalah ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih
jika dikocok dan biasanya dinyatakan dalam persentase terhadap putih telur.
Buih merupakan dispersi koloid dari fase gas syang terdispersi di dalam fase
cair atau fase padat (Stadelman dan Cotterill dalam : Siregar, 2012)

2. Perubahan putih telur menjadi buih disebabkan denaturasi protein, yaitu


proses yang mengubah struktur molekul protein tanpa memutuskan ikatan
kovalen. Pemekaran atau pengembangan molekul protein yang
terdenaturasi akan membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida
(Belitz dan Grosch, 1999)

Mekanisme terbentuknya buih diawali dengan terbukanya ikatan-ikatan


dalam molekul protein sehingga rantainya menjadi lebih panjang. Tahap
selanjutnya adalah proses adsorpsi yaitu pembentukan monolayer atau film
dari protein yang terdenaturasi. Udara ditangkap dan dikelilingi oleh film
dan membentuk gelembung. Pembentukan lapisan monolayer kedua
dilanjutkan di sekitar gelembung untuk mengganti bagian film yang
terkoagulasi. Film protein dari gelembung yang berdekatan akan
berhubungan dan mencegah keluarnya cairan. Terjadinya peningkatan
kekuatan interaksi antara polipeptida akan menyebabkan agregasi
(pengumpulan) protein dan melemahnya permukaan film dan diikuti dengan
pecahnya gelembung buih (Cherry dan McWaters, 1981)

3. bahwa dengan makin lamanya umur telur mengakibatkan terjadinya ikatan


ovomucin-lysoziem yang menyebabkan putih telur semakin encer.
Pengocokan putih telur encer akan menghasilkan volume daya buih yang
tinggi (Stadelman dan Cotterill dalam : Siregar, 2012). Jadi semakin banyak
buih yang dihasilkan maka kemungkingan kerusakan telur juga semakin
tinggi.
4. Daya dan kestabilan buih putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu umur telur, pengocokan dan penambahan bahan-bahan
kimia atau stabilisator (Stadelman dan Cotterill dalam : Siregar, 2012),
konsentrasi protein, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan
komposisi fase cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas
molekul protein ( Alleoni dan Antunes dalam : Siregar, 2012).
Semakin lama telur disimpan, maka volume daya buih putih telur cenderung
meningkat jika dibandingkan dengan sampel kontrol/ tanpa penyimpanan
(Siregar, 2012).
5. Berdasarkan Tabel 3.3 Hasil Pengamatan diperoleh hasil pada sampel telur
ayam shift A hari ke 0 didapatkan hasil daya buih 533,331 %, hari ke 2
didapatkan 496,77 %, hari ke 6 diperoleh 506, 78%. Sampel telur bebek
shift A pada hari ke 0 diperoleh hasil daya buih sebesar 316, 7 %, hari ke 2
diperoleh sebesar 292 %, hari ke 6 diperoleh hasil 240 %. Sampel telur ayam
shift B hari ke 0 diperoleh hasil daya buih 468,96 %, hari ke 2 diperoleh
hasil daya buih 468,96 %, hari ke 6 diperoleh daya buih 678, 81 %. Pada
sampel telur bebek shift B pada hari ke 0 diperoleh hasil daya buih 381%,
pada hari ke 2 diperoleh daya .buih 246,3%, pada hari ke 6 diperoleh hasil
daya buih 366, 67%. Hasil tersebut terjadi penyimpangan pada sampel telur
ayam dan telur bebek shift A, telur bebek shift B, dengan teori Stadelman
dan Cotterill dalam : Siregar (2012) yang menyebutkan umur telur yang
semakin lama maka daya buih yang dihasilkan semakin baik. Hal ini
dikarenakan terjadinya ikatan kompleks ovomucin-lysozime. Dengan
semakin lamanya umur telur mengakibatkan terjadinya ikatan ovomucin-
lysoziem yang menyebabkan putih telur semakin encer.
Tabel 3.3 Hasil Pengamatan Pengujian Daya Buih

Kelas Sampel Hari Volume Volume Daya


ke - Awal (ml) Akhir (ml) Buih (%)
THP A Telur 0 60 380 533,331
Ayam 2 62 370 496, 77
6 59 358 506, 78
Telur 0 48 200 316, 7
Bebek 2 50 196 292
6 50 170 240
THP B Telur 0 58 330 468,96
Ayam 2 58 330 468,96
6 42 325 673,81
Telur 0 47 226 381
Bebek 2 54 187 246,3
6 45 210 366,67

DAPUS ACARA 3

Siregar R. F, A. Hintono dan S. Mulyani. 2012. Perubahan Sifat Fungsional Telur


Ayam Ras Pasca Pasteurisasi. Animal Agriculture Journal. Vol. 1. No. 1

Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Spinger, Berlin

Cherry, J. P. and K. H. Mc. Watters. 1981. Whippability and Aeration


LAMPIRAN

Gambar 3.2 Volume Telur Sebelum dikocok Gambar 3.2 Volume Buih
Telur

Gambar 3.3 Pengocokan Telur Gambar 3.4 Penimbangan Telur Parafin

Anda mungkin juga menyukai