Anda di halaman 1dari 7

Sains Peternakan Vol.

10 (2), September 2012: 108-114


ISSN 1693-8828
108

Pengaruh Lama Perebusan terhadap Kualitas Kimia dan Organoleptik
Abon dari Bagian Dada dan Paha Ayam Petelur Afkir

Eko Prasetyo,

Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa danWinny Swastike

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan, Jebres, Surakarta 57126
E-mail: magnapatriadi67@yahoo.com


ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama waktu perebusan dan lokasi otot serta
interaksi kedua faktor tersebut terhadap kualitas kimia dan organoleptik abon ayam petelur afkir.
Sampel yang digunakan adalah daging ayam petelur afkir bagian dada dan paha. Rancangan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial 2 x 3. Faktor pertama lama perebusan
(15, 30, 45 menit) dan faktor kedua lokasi otot (dada dan paha). Kadar air diuji secara Gravimetri,
kadar lemak secara ekstraksi Soxhlet, kadar protein secara Buret dan kualitas organoleptik meliputi
juisi, flavor dan kesukaan. Kadar air dan protein abon dipengaruhi (P<0,01) oleh lama waktu
perebusan dan lokasi otot. Flavor dan kesukaan tidak dipengaruhi lama waktu perebusan dan lokasi
otot. J uisi dipengaruhi (P<0,01) terhadap lokasi otot, tetapi tidak oleh waktu perebusan. Daging dada
dengan perebusan 30 menit dan daging paha dengan perebusan 45 menit mempunyai kualitas terbaik.

Kata kunci: abon, dada, paha, lama perebusan, kualitas kimia, organoleptik.


Influence of Boiling Time on Chemical and Organoleptic Quality of Breast and Leg Parts Abon
of Post Laying Hens

ABSTRACT

The aim of this study was to determine the effect of boiling time and muscle parts and the
interaction of those two factors on chemical and organoleptic quality of abon of post laying hen.
Poultry meat samples used were breast and thigh of post laying hens. The design used was Completely
Randomized Design of Factorial Pattern 2 x 3. The first factor was boiling time (15, 30, 45 minutes)
and the second was muscle parts (breast and thigh). Water content was tested by Gravimetric, fat
content by Soxhlet extraction, protein content by Buret and quality of organoleptic included juicy,
flavour and preference. Water and proteins content were affected (P <0.01) by boiling time and
muscle parts. Flavor and preferences were not affected by boiling time and meat type. Juicy was
affected (P <0.01) by muscle location. Breast meat with boiling 30 minutes and thigh meat with
boiling 45 minutes have the best quality.

Keywords: abon, breast, leg, boiling time, chemical quality, organoleptic.


Pengaruh Lama Perebusan... (Prasetyo et al.) 109
PENDAHULUAN

Ayam petelur afkir adalah ayam betina
petelur dengan produksi telur rendah sekitar
20 sampai 25% pada usia sekitar 96 minggu
dan siap untuk dikeluarkan dari kandang
(Gillespie and Flanders, 2010). Ayam
petelur afkir oleh peternak dimanfaatkan
sebagai ayam potong untuk penghasil daging
dan mempunyai kualitas daging lebih rendah
dibanding ayam broiler, karena mempunyai
bau spesifik dan alot, tetapi merupakan
sumber penghasilan baru bagi peternak jika
harga jual tinggi (Rasyaf, 2010).
Daging ayam petelur afkir memiliki
potensi untuk menjadi produk daging
olahan, karena mempunyai kandungan
nutrien tidak jauh berbeda dengan daging
ayam broiler dan mempunyai kandungan
lemak tinggi (Rasyaf, 2010). Kandungan
lemak pada daging menentukan kualitas
daging, karena lemak menentukan cita rasa
dan aroma daging (Soeparno, 2005).
Alternatif untuk membuat produk olahan
daging ayam petelur afkir dengan cara
dibuat abon, karena abon dapat
meningkatkan kualitas cita rasa, daya
simpan, nutrisi dan fisik dari daging mentah.
Metode pemasakan dan lokasi otot
berpengaruh terhadap kualitas daging.
Lokasi otot dada mempunyai kualitas lebih
baik dibanding dada. Daging paha lebih alot
dibanding daging dada (Soeparno, 2005).
Salah satu metode pemasakan untuk
mempertahankan kualitas daging dengan
cara merebus daging selama 15 menit pada
suhu 70-75
0
C (Sutaryo dan Mulyani 2004).
Penelitian bertujuan untuk mengetahui
pengaruh lama perebusan dan lokasi otot
terhadap kualitas kimia dan organoleptik
abon ayam petelur afkir, serta interaksi
antara lama perebusan dan lokasi otot.

MATERI DAN METODE

Bahan yang digunakan adalah daging
ayam petelur afkir bagian dada dan paha
yang berasal dari peternakan ayam petelur
milik Bapak Samino beralamat Desa Ngemplak
Pakis, Kecamatan Jumantono, Kabupaten.
Preparasi daging dimulai dengan
pemotongan secara islami (Nuhriawangsa,
1999), prosesing karkas dan deboning,
sehingga dihasilkan daging dada dan paha
(Soeparno, 2005). Pembuatan abon ayam
menggunakan metode Sutaryo dan Mulyani
(2004). Bumbu yang digunakan sesuai
dengan bumbu yang digunakan oleh Ariyanti
(2003).
Peubah penelitian yang diamati adalah
kadar air (AOAC, 1995), kadar lemak
dengan ekstraksi Soxhlet (Atkinson et al.,
1972), kadar protein dengan metode Biuret
(AOAC, 1995) dan uji organoleptik (Kartika
et al., 1988). Skor organoleptik dengan
modifikasi menurut Lawrie (1995), yaitu:
juisi (1 =tidak juisi, 2 =kurang juisi, 3 =
juisi), flavor (1 =tidak gurih, 2 =kurang
gurih, 3 =gurih) dan hedonik (1 =tidak
suka, 2 =kurang suka, 3 =suka).
Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola
Faktorial 3 x 2 (Hanafiah, 2004). Faktor
pertama lama perebusan (15, 30 dan 45
menit) dan faktor kedua lokasi otot (dada
dan paha). Sampel perlakuan terdiri dari 3
ulangan. J ika terdapat perbedaan tiap aras
perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak
berganda Duncans New Multiple Range
Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Kimia

Hasil perhitungan statistik kualitas
kimia abon dari daging dada dan paha ayam
petelur afkir dengan lama waktu perebusan
15, 30 dan 45 menit disajikan pada Tabel 1.
Hasil analisis statistik menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada
lama waktu perebusan terhadap kadar air
dan protein terlarut (Tabel 1). Lama waktu
perebusan mengalami peningkatan dengan
diikuti penurunan kadar air. Kadar protein
mengalami penurunan pada level waktu
perebusan dibanding kontrol. Lama
pemasakan dapat mempengaruhi kandungan
nutrisi daging (Nuhriawangsa, 2004).

110 Sains Peternakan Vol. 10 (2), 2012
Tabel 1. Rerata kadar air, protein dan lemak abon dari daging dada dan paha ayam petelur
afkir dengan lama waktu perebusan 15, 30 dan 45 menit.
Parameter
Waktu (menit) Rerata
15 30 45
Kadar air (%)
Dada 6,26
v
4,99
v
4,67
y
5,31
a
Paha 4,78
z
4,46
x
4,00
w
4,41
b
Rerata 5,52
a
4,73
b
4,34
b

Kadar protein (mg/ml)
Dada 11,92
v,y,z
10,56
w,y
9,49
w
10,66
a
Paha 11,80
v,y
7,78
x
9,43
w,y
9,67
b
Rerata 11,86
a
9,17
b
9,46
b

Kadar lemak (%)
Dada 26,15 31,39 27,27 28,27
Paha 22,48 25,85 31,82 26,72
Rerata 24,32 28,62 29,54
a, b; v-z
Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P<0,01).


Daging yang dimasak dengan waktu
pemasakan bertambah dapat mengakibatkan
bertambahnya jumlah cairan daging yang
keluar, sehingga dapat menurunkan
kandungan air daging (Domiszewski et al.,
2011; Dawson et al., 2012) dan kandungan
protein terlarut daging (Nuhriawangsa dan
Kartikasari, 2006). Menurut Kusnandar
(2010) pada suhu 55-75C protein
mengalami denaturasi. Pemasakan dapat
menurunkan kualitas protein jaringan ikat
daging karena denaturasi, sehingga dapat
meningkatkan jumlah cairan yang keluar
dari daging dengan meningkatnya solubilitas
protein daging (Wattanachant et al., 2005).
Kehilangan kadar air terjadi selama proses
pembuatan abon pada saat perebusan.
Perebusan menyebabkan cairan daging
tereksudasi dan struktur tersier protein
daging mengalami denaturasi, sehingga
kemampuan daya mengikat air daging
hilang. Hal ini yang menyebabkan kadar air
dan protein terlarut abon mengalami
penurunan dibanding kontrol pada aras lama
waktu pemasakan.
Hasil analisis statistik menunjukan
perbedaan yang tidak nyata pada lama waktu
perebusan terhadap kandungan lemak daging
dan terdapat kecenderungan kenaikan
kandungan lemak daging (Tabel 1).
Nuhriawangsa (2004) menyatakan bahwa
kandungan lemak meningkat dengan
bertambahnya waktu pemasakan. Penurunan
kandungan protein terlarut dan kandungan
air diikuti dengan kenaikan kandungan
lemak abon daging ayam petelur afkir.
Nuhriawangsa dan Sudiono (2007)
menyatakan bahwa kenaikan kandungan
lemak akan diikuti oleh penurunan
kandungan protein terlarut dan kandungan
air pada daging itik afkir. Kenaikan
kandungan lemak disebabkan karena
keluarnya air akibat pemasakan (Larsen et
al., 2010; Domiszewski et al., 2011).
Pemanasan dapat menyebabkan denaturasi
protein, sehingga cairan daging tereksudasi
dari mikrostruktur daging. Selain itu
terbentuk ikatan kimia hidrofilik berupa
emulsi lemak dan menggantikan cairan
daging yang keluar untuk mengisi
mikrostruktur daging. Hal ini terjadi karena
pemanasan menggunakan suhu 60-75C
(Soeparno, 2005). Peristiwa tersebut yang
mengakibatkan terjadinya kenaikan
kandungan lemak abon.
Hasil analisis menunjukan terdapat
interaksi (P<0,01) antara aras lama waktu
perebusan dan lokasi otot. Daging paha

Pengaruh Lama Perebusan... (Prasetyo et al.) 111
mengalami penurunan kandungan protein
dan air lebih tinggi dibanding daging dada
pada lama waktu perebusan yang sama.
Daging dada tersusun oleh serabut otot putih
dan daging paha tersusun oleh serabut otot
merah (Brodal, 2010). Serabut otot merah
menyusun otot yang mempunyai aktifitas
gerak. Otot yang aktif mempunyai struktur
lebih padat dibanding otot yang pasif
(Soeparno, 2005), karena mempunyai
jaringan ikat yang lebih tinggi (Gerrard,
1977). Kecepatan transfer panas
mempengaruhi kondisi daging yang
dimasak, daging dada termasuk daging yang
mempunyai kecepatan transfer panas lambat
(Siripon et al., 2007). Hal ini disebabkan
karena tersusun oleh serabut otot putih yang
mempunyai struktur yang kurang padat.
Pemanasan mengakibatkan perubahan
solubilitas protein, sehingga terjadi
penurunan kekuatan protein miofibrilar dan
pengeluaran air dari dalam mikrostruktur
daging (Wang et al., 2009). Kecepatan
perambatan panas daging paha lebih cepat
dibanding daging dada, sehingga jumlah
kandungan air dan protein yang keluar dari
daging lebih tinggi dibanding daging dada.
Hal tersebut menyebabkan daging paha
mengalami penurunan kandungan protein
dan air lebih tinggi dibanding daging dada
pada lama waktu perebusan yang sama.
Hasil analisis statistik menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada
lokasi otot terhadap kadar air dan protein
terlarut (Tabel 1). Daging dada mempunyai
kandungan air dan protein lebih tinggi
dibanding daging paha. Hal ini sesuai
dengan penelitian Nuhriawangsa (1994)
bahwa daging dada mempunyai kandungan
air dan protein lebih tinggi dibanding daging
paha. Soeparno (2005) bahwa daging dada
ayam tersusun atas serabut otot putih dan
mempunyai kandungan protein lebih tinggi
dibanding dengan daging yang tersusun oleh
serabut otot merah (paha). Protein daging
dada tersusun oleh protein dan asam amino
yang mempunyai sifat hidrofilik. Menurut
Florence dan Attwood (2011) protein yang
bersifat hidrofilik tersusun atas asam amino
yang bersifat hidrofilik, sehingga
mempunyai sifat mengikat air. Hal tersebut
yang menyebabkan daging dada mempunyai
kandungan protein dan air lebih tinggi
dibanding daging paha.
Hasil analisis statistik menunjukan
perbedaan yang tidak nyata pada lokasi otot
terhadap kandungan lemak daging (Tabel 1).
Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa
daging paha mempunyai kandungan lemak
lebih tinggi dibanding daging dada. Hal ini
dimungkinkan karena masuknya minyak ke
dalam daging ketika terjadi proses
penggorengan saat pembuatan abon.
Menurut Soriano-Santos (2010) proses
penggorengan menyebabkan masuknya
lemak ke dalam daging.
Hasil analisis menunjukan tidak
terdapat interaksi antara aras lama waktu
pemasakan dan lokasi otot terhadap
kandungan lemak. Hal ini menunjukan tidak
adanya hubungan antara aras lama waktu
perebusan dan lokasi otot. Daging yang
dimasak menggunakan pemanasan dapat
mengakibatkan peningkatan keluarnya
cairan daging (Wang et al., 2009). Cairan
daging yang tereksudasi tersebut termasuk
lemak (Soeparno, 2005). Salah satu proses
dalam pembuatan abon dengan cara
penggorengan (Sutaryo dan Mulyani, 2004).
Pada proses penggorengan lemak dapat
masuk ke dalam daging (Dawson et al.,
2012) dengan mengisi kembali
kompartemen daging. Hal tersebut yang
menyebabkan tidak terdapat interaksi antara
lama waktu perebusan dan lokasi otot.
Kualitas gizi manusia dinilai dengan
konsumsi protein dengan melihat angka
kecukupan protein per kapita per orang.
Kualitas protein dinilai dengan melihat
perbandingan rerata konsumsi protein
hewani dan nabati. Protein hewani lebih
berkualitas dibanding protein nabati dan
protein dari daging ayam merupakan
penyumbang terbesar dari peternakan.
Daging merupakan sumber protein hewani
dengan kualitas yang tinggi karena tingginya
kandungan asam amino. Kualitas gizi yang
tinggi ditentukan dengan tingginya kualitas
protein yang dikonsumsi(Setiawan, 2006).

112 Sains Peternakan Vol. 10 (2), 2012
Tabel 2. Rerata juisi, flavor dan kesukaan abon ayam dengan lama waktu perebusan 15, 30
dan 45 menit pada daging dada dan paha
Parameter
Waktu Rerata
15 30 45
J uisi
Dada 1,65 1,95 2.10 1,90
B
Paha 2,00 2,30 2,35 2,22
A
Rerata 1,83 2,13 2,23
Flavor
Dada 2,00 2,50 2,65 2,38
Paha 2,15 2,05 2,30 2,17
Rerata 2,08 2,28 2,48
Kesukaan
Dada 2,00 2,50 2,65 2,38
Paha 2,15 2,05 2,30 2,17
Rerata 2,08 2,28 2,48
Keterangan : Nilai derajat skala juisi abon : 0,00-2,00 (tidak juisi), 2,1-3,0 (kurang juisi),
3,1-4,0 (juisi).
Nilai derajat skala flavor abon : 0,00-2,0 (tidak gurih), 2,1-3,0 (kurang gurih),
3,1-4,0 (gurih).
Nilai derajat skala kesukaan abon : 0,00-2,0 (tidak suka), 2,1-3,0 (kurang
suka), 3,1-4,0 (suka).


Kualitas Organoleptik

Hasil perhitungan statistik kualitas
organoleptik abon ayam petelur afkir dengan
lama waktu perebusan 15, 30 dan 45 menit
pada bagian daging dada dan paha disajikan
pada Tabel 2.
Hasil analisis statistik menunjukan
perbedaan yang tidak nyata pada lama waktu
perebusan terhadap juisi, flavor dan
kesukaan (Tabel 2). Menurut Nuhriawangsa
(2002) dan Irma et al. (1997) perebusan
dapat mengakibatkan hidrolisis protein dan
eksudasi cairan (air bebas, air immobilisasi
dan gap cairan daging) daging, sehingga
daging menjadi keras dan kering. Hal ini
menyebabkan hasil kualitas organoleptik
tidak berbeda nyata, karena panelis sukar
untuk mendeteksi juisi, flavor dan kesukaan,
mengingat pengujian menggunakan panelis
yang tidak terlatih. Menurut Kartika et al.
(1988) panelis tidak terlatih mempunyai
karakteristik hanya mengemukakan
pendapatnya secara spontan dan tidak
membandingkan sampel standar atau sampel
yang diuji.
Hasil analisis statistik menunjukan
perbedaan yang tidak nyata pada lokasi otot
terhadap flavor dan kesukaan (Tabel 2).
Salah satu parameter untuk menilai flavor
adalah dengan melihat bau atau aroma
(Lawrie, 1995). Poly Unsaturated Fatty Acid
(PUFA) merupakan asam lemak yang dapat
mempengaruhi bau (Rimer dan Givens,
2009). Poly Unsaturated Fatty Acid dalam
daging mengalami perubahan karena
pemasakan (Kouba et al., 2008), sehingga
menyebabkan terjadinya pengurangan flavor
pada daging. Hal ini yang menyebabkan
panelis mengalami kesulitan dalam
membedakan flavor antara daging dada dan
paha, sehingga menyebabkan tidak
terjadinya perbedaan flavor. Menurut
Soeparno (2005) flavor merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kesukaan. Hasil menunjukan flavor tidak
berpengaruh terhadap kesan kesukaan lokasi
otot, sehingga kesan kesukaan panelis juga
tidak berbeda.
Hasil analisis statistik menunjukan
perbedaan yang nyata (P<0,01) pada lokasi
otot terhadap juisi (Tabel 2). Daging paha

Pengaruh Lama Perebusan... (Prasetyo et al.) 113
lebih juisi dibanding daging dada. Hal ini
sesuai dengan pendapat Williams dan
Damron (1998). Daging paha mempunyai
aktivitas gerak yang lebih aktif, sehingga
dimungkinkan untuk terjadinya penimbunan
lemak marbling. Lemak marbling
merupakan lemak yang dapat mempengaruhi
tingkat juisi dari daging (Soeparno, 2005).
Lemak marbling dengan jumlah sedikit
mengakibatkan nilai juisi rendah (Gregory,
2010). Daging paha mempunyai kandungan
lemak marbling lebih tinggi dibanding
daging dada, sehingga daging paha lebih
juisi dibanding daging dada.
Hasil analisis menunjukan tidak
terdapat interaksi antara aras lama waktu
pemasakan dan lokasi otot terhadap juisi,
flavor dan kesukaan. Hal ini menunjukan
tidak adanya hubungan antara aras lama
waktu perebusan dan lokasi otot terhadap
kesan organoleptik. Hasil penelitian tersebut
disebabkan karena kesan flavor dan
kesukaan tidak dapat dideteksi oleh panelis.
Menurut Kartika et al. (1988) kesan
organoleptik panelis dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor dan faktor tersebut
harus dapat menimbulkan penerimaan secara
utuh oleh panelis.

KESIMPULAN

Abon daging ayam petelur afkir
dengan waktu perebusan 30 menit pada
daging dada dan 45 menit pada daging paha
mempunyai kualitas terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, N. D., 2003. Sifat Fisik, Kimia,
Mikrobiologi dan Organoleptik Abon Ayam
Kampung dengan Penambahan Kunyit
selama Penyimpanan. Skripsi Sarjana
Peternakan. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis. 16
th
ed. AOAC Int. Washington D. C.
Atkinson., T., V. R. Fowler, G. A. Garton, and A.
Lough, 1972. A rapid methode for the
determination on lipid in animal tissues.
Analyst, London. 97:563-568.
Brodal, P., 2010. The Central Nervous System:
Structure and Functions. Oxford University
Press Inc., New York.
Dawson, L. P., S. Mangalassary, and B. W.
Sheldon, 2012. Thermal Processing of
Poultry Product. In: Thermal Food
Processing: New Technologies and Quality
Issues. D. W. Sun, Ed. CRC Press, USA.
Domiszewski, Z., G. Bienkiewicz, and D. Plust,
2011. Effects of different heat treatments on
lipid quality of striped catfish (Pangasius
hypophthalmus). Acta Sci. Pol. Technol.
Aliment. 10(3):359-373.
Florence, A. T., and D. Attwood, 2011. Peptides,
Proteins and Other Biopharmaceuticals. In:
Physicochemical Principles of Pharmacy.
Pharmaceutical Press Pub., London, United
Kingdom. Page:451-476.
Gerrard, F., 1977. Meat Technology. Nortwood
Pub., Ltd., London.
Gillespie, J . R., and F. B. Flanders, 2010.
Modern Livestock and Poultry Production:
Feeding, Manajement, Housing, and
Equipment. 8
th
ed. Delmar, Ltd. New York,
USA. Page:674-695.
Gregory, N. G., 2010. How climatic changes
could affect meat quality. Food Research
Int. 43(7): 1866-1873.
Hanafiah, K. 2004. Rancangan Percobaan Teori
dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada,
J akarta.
Irma, K., Z. A. Dede dan T. S. Ela, 1997.
Pengaruh Konentrsi Getah Pepaya (Carica
papaya, Linn) dan Waktu Hidrolisis
terhadap Hidrolisat Protein Kepala Udang
Windu (Karapaks penaeus modon). Dalam:
Proseding Seminar Nasional Tekhnologi
Pangan. Denpasar, Bali. Halaman: 271-282.
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono, 1988.
Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.
PAU Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Kouba, M., F. Benatmane, J . E. Blochet, and J.
Mourot, 2008. Effect of a linseed diet on
lipid oxidation, fatty acid composition of
muscle, perirenal fat, and raw and cooked
rabbit meat. Meat Sci. 80(3):829-834.
Kusnandar, F., 2010. Mengenal Sifat Lemak dan
Minyak. Departemen Ilmu Teknologi Pangan -

114 Sains Peternakan Vol. 10 (2), 2012
IPB. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id. Diakses:
12 Desember 2010.
Larsen, D., S. Y. Quek, and L. Eyres, 2010.
Effect of cooking method on the fatty acid
profile of New Zealand King Salmon
(Oncorhynchus tshawytscha). Food
Chemist. 119(2):785-790.
Lawrie, R. A., 1995. Meat Science. Penerjemah :
A. Parakkasi. UI-Press, J akarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1994. Komposisi
Kimia Daging Dada dan Non Dada pada
Karkas Ayam Broiler J antan dan Betina
Umur Enam Minggu. Skripsi Sarjana
Peternakan. Fakultas Peternakan, UGM,
Yogyakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu
Ternak dalam Pandangan Agama Islam:
Suatu Tinjauan Tentang Fiqih Ternak. Buku
Diktat. Program Studi Produksi Ternak,
Fakultas Pertanian, UNS, Surakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P dan Sudiyono, 2002.
Kegunaan Pemasakan untuk Meningkatkan
Kualitas Daging Itik Afkir. Laporan
Penelitian Dosen Muda. Fakultas Pertanian,
UNS, Surakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 2004. Pengaruh Waktu
dan Lama Pemanggangan terhadap Kualitas
Daging Itik Afkir. Jurnal Pengembangan
Peternakan Tropis UNDIP. Edisi Khusus
Nopember. Halaman: 122-127.
Nuhriawangsa, A. M. P. and L. R. Kartikasari,
2006. Utility of Trimming Method and
Roasting Duration for Increasing Meat
Quality of Post-Laying Duck. In:
Proceeding Animal Production and
Sustainable Agriculture in the Tropic. The
4
th
International Seminar on Tropical
Animal Production (ISTAP). Faculty of
Animal Science, GMU, Yogyakarta. Page:
110-115.
Nuhriawangsa, A. M. P dan Sudiono, 2007.
Kegunaan Waktu dan Cara Pemasakan
untuk Meningkatkan Kualitas Daging Itik
Afkir. Laporan Penelitian Dosen Muda.
Fakultas Pertanian, UNS, Surakarta.
Rasyaf, M., 2010. Pengelolaan Produksi Telur.
Edisi ke-8. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Rymer, G., and D. I. Givens, 2009. The effect of
feeding stearidonic acid enriched soy oil to
broilers on the fatty acid composition and
sensory characteristics of chicken meal.
Brit. Poult. 5(1):44-45. (Abstract).
Setiawan, N., 2006. Perkembangan Konsumsi
Protein Hewani di Indonesia (Analisis
Hasil Susenas 1999-2004). Fakultas
Peternakan, Universitas Padjajaran,
Bandung.
Soriano-Santos, J ., 2010. Dietary Products for
Special Populations. In: Hand Book of
Poultry Science and Tchnolgy. 2
nd
ed. I.
Guerrero-Legarreta and Y. H. Hui, Eds.
J ohn Wiley and Sons, Inc. Canada. Page:
275-292.
Siripon, K., A. Tansakul, G. S. Mittal, 2007.
Heat transfer modeling of chicken cooking
in hot water. Food Research Int. 40(7):
923-930.
Sutaryo dan S. Mulyani, 2004. Pengetahuan
Bahan Olahan Hasil Ternak dan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Komplek Taru
Budaya Ungaran, Semarang.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.
Cet. Ke-4. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Wang , R. R., X. J . Pan, and Z. Q. Peng, 2009.
Effects of heat exposure on muscle
oxidation and protein functionalities of
pectoralis majors in broilers. Poult. Sci. 88
:1078-1084.
Wattanachant, S., S. Benjakul, and D. A.
Ledward, 2005. Effect of heat treatment on
changes in texture, structure and properties
of Thai indigenous chicken muscle. Food
Chemistry. 93(2):337348.
Williams, S. K., and B. I. Damron, 1998.
Sensory and objective characteristics of
broiler meat from commercial broilers fed
rendered whole-hen meal. Poult. Sci.
77:329333.

Anda mungkin juga menyukai