Anda di halaman 1dari 11

KUALITAS MUTU BAHAN MENTAH DAN PRODUK AKHIR PENGALENGAN

PENGARUH POSISI KALENG PADA RETORT SERTA


OPTIMASI PROSES TERMAL UNTUK MEMBUNUH Clostridium botulinum

Maya Fitri Zuly


1504115214
Teknologi Hasil Perikanan

ABSTRAK

Ikan segar merupakan salah satu komoditi yang mudah mengalami kerusakan (high

perishable food). Kerusakan ini dapat disebabkan oleh proses biokimiawi maupun oleh

aktivitas mikribiologi. Pengalengan adalah salah cara untuk mengawetkan makanan dengan

menggunakan panas, dimana tahapan yang paling banyak menggunakan panas adalah proses

sterilisasi. Meskipun makanan kaleng diolah dengan menggunakan proses termal, tidak

menutup kemungkinan bahwa makanan tersebut bisa terkontaminasi oleh mikroba terutama

C. botulinum, karena bakteri ini dapat membentuk toksin botulin pada kondisi an-aerobik

didalam kemasan, terutama produk pangan dari kelompok yang berasam rendah (low acid

food).

PENDAHULUAN

Ikan segar merupakan salah satu komoditi yang mudah mengalami kerusakan (high

perishable food). Kerusakan ini dapat disebabkan oleh proses biokimiawi maupun oleh

aktivitas mikribiologi. Kandungan air hasil perikanan pada umumnya tinggi mencapai

56,79% sehingga sangat memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimiawi oleh enzim yang

berlangsung pada tubuh ikan segar. Sementara itu, kerusakan secara mikrobiologis

disebabkan karena aktivitas mikroorganisme terutama bakteri. Kandungan protein yang

cukup tinggi pada ikan menyebabkan ikan mudah rusak bila tidak segera dilakukan

pengolahan dan pengawetan.


Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut.

salah satu usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya awet pada produk ikan adalah

dengan pengalengan ikan (Winarno, 1994). Pengalengan adalah salah satu proses untuk

mengawetkan makanan dengan menggunakan panas, dimana tahapan yang paling banyak

menggunakan panas adalah proses sterilisasi (Nurhikmat et al., 2010).

Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng atau botol diletakkan dalam retort,

suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang

dikehendaki, tetapi akan merambat kedalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum

melakukan tes penetrasi panas, harus dilakukan terlebih dahulu proses distribusi panas, untuk

mengetahui apakah retort yang akan digunakan memiliki distribusi panas yang merata, dan

bagian retort mana yang paling lambat kenaikan suhunya. Uji tersebut dapat dilakukan

dengan menggunakan menggunakan alat termokepel. Heat penetrasiotest berguna untuk

mengetahui kecepatan penetrasi dari retort ke dalam makanan. Pada heat penetrasion test

dilakukan pengamatan yang teliti terhadap suhu produk selama proses pemanasan.

Pengukuran dilakukan dengan meletakkan ujung termokopel pada bagian terdingin

(cloudest spot) atau daerah yang paling lambat pemanasannya dalam kaleng. Daerah tersebut

juga sering disebut cold spot. Bila kemasan kalengnya terdiri atas bahan pasat, seperti

misalnya blacked beans atau meat loaf, dimana panas dipindahkan secara konduksi,

sembungan hot junction atau ujung termokopel berada pada atau sedikit diatas titik geometri

kaleng.

Sterilisasi komersial adalah sproses sterilisasi dimana masih terdapat beberapa

mikroba yang masih dapat hidup setelah pemberian panas. Meskipun makanan kaleng diolah

dengan menggunakan proses termal, tidak menutup kemungkinan bahwa makanan tersebut

bisa terkontaminasi oleh mikroba terutama C. botulinum, karena bakteri ini dapat membentuk

toksin botulin pada kondisi an-aerobik didalam kemasan, terutama produk pangan dari
kelompok yang berasam rendah (low acid food). C. botulinum juga dapat membentuk spora

yang relatif tahan panas. Hal ini diperkirakan akibat proses termal yang kurang optimal,

sehingga sel vegetatif dari C. botulinum masih ada dalam bahan pangan dan membentuk

spora. Supaya spora bakteri tersebut tidak terbentuk dalam produk pangan, maka perlu

dilakukan proses sterilisasi yang bertujuan untuk mengawetkan produk pangan dengan

membunuh mikroba pembusuk dan patogen menggunakan panas (suhu tinggi) selama waktu

tertentu.

Indikator proses sterilisasi yang optimal umumnya dilakukan dengan memastikan C.

botulinum dapat mati. Dengan demikian, mikroba lain yang kurang tahan panas akan

otomatis mati apabila C. Botulinum berhasil dibunuh. C. botulinum dapat hidup di dalam

makanan kaleng karena kondisi makanan di dalam kaleng yang an-aerobik, dan bakteri ini

hidup secara an-aerobik (tidak membutuhkan oksigen). Bakteri ini termasuk bakteri gram

positif berbentuk batang, mempunyai dinding sel yang sebagian besar tersusun dari

peptidoglikan (murein). Peptidoglikan pada dinding sel bakteri bersifat kaku dan bertanggung

jawab untuk menjaga integritas sel serta menentukan bentuknya.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah dengan mencari dan mamahami tiga buah jurnal yang

membahas tentang proses termal, kemudian mengambil kesimpulan dari masing-masing

jurnal dan menjadikannya dalam bentuk makalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Organoleptik Pada Bahan Mentah

Dalam pengujian organoleptik data dikumpulkan dengan lembar penilaian (scoore

sheet) pada umumnya pada uji organoleptik. Hal yang diuji meliputi rasa, kenampakan dan

bau. Berdasarkan hasil uji, dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian organoleptik ikan
lemuru yang diterima pada ruang peneriman di PT. Karya Manunggal Prima Sukses

mempunyai nilai kisaran 7,58 – 7,68. Nilai organoleptik yang diperoleh pada tahap

penerimaan masih memenuhi standar SNI 01-3548.1-1994, dengan kriteria sebagai berikut:

 Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik

 Bau : segar spesifik jenis

 Daging : elastis, padat dan kompak

 Rasa : netral agak Manis

Pengujian Organoleptik Produk Akhir

Pengujian ikan sardine kaleng saus tomat didapatkan hasilnya memenuhi standar yang

ditetapkan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa nilai ikan sardine kaleng

media saus tomat yang dihasilkan oleh PT. Karya Manunggal Prima Sukses mempunyai nilai

kisaran 7,51 – 7,60. Standar mutu ikan sardine kaleng media saus tomat sesuai dengan SNI

01- 3548-1994, dimana nilai organoleptik adalah 6,5 itu berarti produk yang dihasilkan masih

diatas standar yang ditentukan (Wulandari at al., 2009). Dengan kriteria sebagai berikut:

 Kenampakan saus : warnanya merah spesifik saus tomat, cerah homogen, bersih dan

menarik

 Bau dan rasa saus : bau saus tomat kuat, harum dan segar, rasanya gurih

 Kenampakan daging : potongan

 utuh, rapi sedikit serpihan, seragam agak menarik.

 Bau dan rasa daging : bau daging segar dan harum, rasanya gurih.

Selain itu pengujian secara organoleptik sangat dipengaruhi oleh subjektifitas dari

masing–masing panelis dan waktu pengujian. Panelis adalah alat analitis untuk menera mutu.

Nilai panelis tergantung pada ketelitian yang diberikan. Semakin berpengalaman seorang

panelis, penilaian yang diberikan akan semakin teliti, begitu juga sebaliknya. Waktu

pengujian, uji organoleptik harus dilakukan pada saat panelis tidak dalam kondisi lapar atau
kenyang, yaitu kira-kira jam 09.00 – 11.00 dan jam 14.00 – 16.00 atau kebiasaan waktu

setempat.

Subjektifitas panelis dan waktu pengujian yang menyebabkan adanya kenampakan

yang sama pada bahan baku dan setelah mengalami pengolahan nilainya sama (Muncar

ulangan ke 3 dan Puger ulangan ke 3).

Pengujian ALT (Angka Lempeng Total)

Menurut Hadiwiyoto (1993) daging ikan pada ikan yang masih hidup keadaannya

steril. Namun sebagian bakteri penyebab kerusakan ikan telah ada sejak ikan belum mati.

Bakteri ini hidup didalam alat pencernaan terutama pada usus halus, pada insang, kotoran

ikan, dan permukaan tubuh atau kulitnya. Meskipun demikian, bakteri tersebut tidak

menimbulkan kerusakan, tetapi jika ikan mati makambakteri tersebut segera berkembang

populasinya. Pengujian mikrobiologis dilakukan untuk mengecek efektifitas proses sterilisasi,

mutu produk, jenis dan jumlah bakteri yang masih hidup dalam wadah. Umumnya

pemeriksaan mikrobiologis memerlukan teknik dan peralatan yang lebih khusus dari pada

secara fisik dan harus dilakukan oleh suatu laboratorium yang kompeten. Sebelum makanan

kaleng didistribusikan, diharuskan untuk menyimpan dahulu produk pada suhu ruang selama

10 hari untuk pemeriksaan. Selama periode ini dilakukan pengamatan ada/ tidaknya

kebusukan, misalnya pengembungan kaleng atau kebocoran akibat penutupan yang kurang

baik (Widodo, 2001).

Kandungan mikroba yang terdapat pada bahan mentah lebih banyak dari pada produk

akhir. Bakteri total untuk ikan lokal (Muncar) 7,23 X 103 dan ikan box-boxan (Grajakan dan

Puger) 7,6 dan 7,4 X 103. Menurut Hadiwiyoto (1993) pada waktu ikan baru saja ditangkap

dengan jaring atau alat tangkap lainnya, maka segera letakkan pada geladag atau pada palka

kapal sampai beberapa jam, kadang-kadang diberi es atau dibiarkan sambil sesekali disiram

dengan air laut tergantung perlakuan yang diberikan oleh pengangkap ikan. Jumlah bakteri
total pada bahan mentah untuk produk akhir semua sama yaitu 0. Selama proses pengolahan

ikan mengalami beberapa tahapan yang bertujuan untuk mengurangi dan menghambat

pertumbuhan bakteri pengguntingan, precooking dan sterilisasi. Penggunaan suhu tinggi pada

sterilisasi bertujuan untuk membunuh semua jasad renik yang berupa spora, bakteri dan

mikroba patogen dalam kaleng. Hasil pengujian dapat terlihat bahwa produk yang dihasilkan

dari daerah asal ikan yang berbeda telah memenuhi standart yang telah ditetapkan. Menurut

SNI 01-3548-1994 persyaratan mutu ikan sardine media saus tomat dalam kaleng untuk

bakteri anaerob per 25 gram, maksimal adalah 0.

Tujuan dari pengolahan dan pengawetan adalah untuk memperpanjang umur daya

simpan dan daya awet dari hasil perikanan. Umur simpan dan daya awet, keamanan akan

hasil olahan juga dipertahankan. Indikasi dari pengolahan dan pengawetan adalah jumlah

total bakteri pada hasil akhir. Berapapun jumlah bakteri pada bahan mentah dengan daerah

asal ikan berbeda, hasil akhirnya harus 0 untuk jumlah bakteri total. Batasan jumlah bakteri

total yang terdapat pada bahan mentah sesuai SNI 01-3458-1994 yaitu 105. Bila jumlah

bakteri total lebih yang ditetapkan maka ikan tidak dapat diolah.

Pengaruh Posisi Kaleng pada Retort (Nurhikmat et al., 2010)

Pada dasarnya, proses pemanasan yang diterapkan dalam industri pengalengan

makanan, dirancang khusus hanya untuk mencapai sterilisasi komerisal. Kondisi tersebut

tidak mudah dicapai, malahan kadang-kadang dapat menghasilkan perubahan-perubahan

mutu yang tidak diinginkan, maka dikembangkan cara proses sterilisasi yang pas dan aman

serta dapat menekan kerusakan semenimal mungkin dan Penurunan mutu yang disebabkan/

diakibatkan pemberian panas.

Alat yang digunakan untuk proses sterilisasi adalah retort, yang disebut juga

autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tahan tekanan tinggi yang ditimbulkan
oleh uap yang berasal dari sumber luar retort. Sumber uap air panas tersebut dapat berbentuk

bolier atau steam generator.

Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng diletakkan dalam retort. Suhu produk

tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi

akan merambat dalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan penetrasi panas ke

dalam kaleng, kalor yang ada digunakan terlebih dahulu untuk proses distribusi panas

ruangan retort. Heat penetration test diperlukan untuk mengatahui kecepatan penetrasi panas

dari retort ke dalam makanan.

Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada

beberapa faktor, antara lain: ukuran kaleng, posisi kaleng, dan keadaan isinya. Daging ikan

tuna lebih solid dan dimensinya lebih besar akan lebih lambat proses pemanasan bahan

dibandingkan dengan daging udang yang dimensinya lebih kecil.

Posisi yang berbeda akan memiliki nilai berbeda pula. Hal ini disebabkan karena jarak

antara posisi dengan sumber panas berbeda. Semakin jauh dari sumber panas maka nilai Fo

akan semakin kecil, panas uap lebih dahulu diterima oleh kaleng posisi 1 kemudian posisi 2.

Optimasi Proses Termal untuk Membunuh Clostridium botulinum (Yuswita, 2014)

Proses sterilisasi merupakan tahap yang paling penting dan kritis dalam proses

pengalengan yang menentukan sukses tidaknya proses sterilisasi secara keseluruhan. Proses
ini dilakukan setelah kaleng ditutup dan dimasukkan ke dalam ketel uap atau retort. Suhu

sterilisasi standar yang digunakan adalah 121,1℃ (250℉), (Kusnandar, 2006).

Proses termal (sterilisasi) yang ditujukan bukan hanya untuk membunuh mikroba,

namun harus mempertimbangkan kualitas dari produk akhir dengan cara meminimalkan

kerusakan mutu. Dengan demikian, optimasi proses termal diperlukan untuk dapat

menentukan kombinasi suhu dan waktu selama pemanasan dan pendinginan yang dapat

memenuhi kriteria kemanan pangan dan mutu. Karekteristik produk pangan dan jenis

kemasan yang digunakan juga sangat menentukan kombinasi suhu dan waktu yang

diperlukan untuk tujuan proses termal tersebut.

Suhu proses untuk membunuh spora mikroba patogen yang dapat membentuk toksin

dan dapat meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110o- 130℃ selama waktu tertentu,

tergantung pada kondisi dari produknya. Sedangkan suhu untuk mereduksi jumlah C.

botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1℃ selama 3 menit (Kusnandar, 2006).

Semakin tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yang diperlukan untuk dapat

membunuh mikroba tersebut.

C. botulinum yang ada pada produk pangan terutama makanan kaleng harus dibunuh,

karena bakteri ini dapat menyebabkan keracunan tipe intoksikasi pada manusia. Keracunan

tipe intoksikasi ini disebabkan oleh terkonsumsinya toksin (racun) ekstraseluler yang

dihasilkan oleh mikroba yang mencemari pangan. Intoksikasi tidak memerlukan adanya

mikroba hidup pada pangan yang dikonsumsi karena umumnya toksin mikroba telah

dieksresikan ke medium sekitarnya (ke dalam pangan) pada saat mikroba tumbuh dan

mencemari pangan. Dampak yang ditimbulkan relatif cepat karena toksin telah tersedia.

Racun yang dikeluarkan oleh C. Botulinum disebut “neurotoksin” karena racun

tersebut menyerang sistem susunan syaraf. Gejala keracunannya bersifat neuroparalitik, yaitu

menyebabkan kelumpuhan bagian tubuh tertentu karena susunan syaraf yang terganggu.
Racun botulinum adalah suatu protein yang sangat beracun, sehingga walaupun tertelan

dalam jumlah sedikit sudah dapat menyebabkan keracunan. Racun botulinum diproduksi oleh

sel C. botulinum dalam bentuk toksin progenitor. Toksin ini kemudian dapat diaktifkan oleh

enzim-enzim tertentu di dalam tubuh menjadi komponen yang beracun.

Toksin yang telah aktif akan dibawa melalui pembuluh darah ke sistem syaraf

kholinergik, dimana toksin tersebut bekerja pada bagian akhir dari sistem syaraf dengan cara

mencegah bagian sineptik untuk melepaskan asetilkholin yang dapat menggerakkan otot-otot

melalui reaksi dengan ujung-ujung otot. Penghambatan pelepasan asetilkholin dapat

mengakibatkan kelumpuhan atau paralisis. Dosis toksin yang dapat menyebabkan kematian

pada manusia diperkirakan 0.1-1.0 mikrogram (Fardiaz et. al., 1988). Gejala botulisme atau

keracunan akibat botulinum biasanya timbul rata-rata 12-24 jam setelah mengkonsumsi

makanan yang mengandung racun botulinum. Kadang-kadang waktu inkubasi berlangsung

lebih cepat, yaitu 6-10 jam setelah mengkonsumsi makanan yang beracun, terutama jika

makanan tersebut mengandung toksin E (Fardiaz et. al., 1988). Toksin E dapat menyebabkan

intoksikasi pada manusia, sering ditemukan pada ikan dan hasil-hasil olahan ikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Mutu dari bahan baku yang digunakan dan produk akhir yang dihasilkan harus sesuai

dengan standar mutu yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia.

2. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa

faktor, antara lain: ukuran kaleng, posisi kaleng, dan keadaan isinya.

3. Suhu untuk mereduksi jumlah C. botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1℃

selama 3 menit. Semakin tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yang diperlukan

untuk dapat membunuh mikroba.


DAFTAR PUSTAKA

Fardiaz, S. 1988. Mikrobiologi Pangan II. Laboratorium Mikrobiologi Pangan Pusat antar
Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty. Jakarta. 52-107.

Kusnandar et al., 2006. Prinsip Teknik Pangan. IPB.

Nurhikmat et al., 2010. Pengaruh posisi kaleng pada retort terhadap nilai Fo tuna dan udang.

Widodo, J. 2001. Pengamatan sanitasi dan higiene di unit pengolahan PT. Maya Muncar.
Jakarta 20: 9-17.

Winarno, F. G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta 75:93.

Wulandari at al., 2009. Kualitas mutu dan bahan mentah dan produk akhir pada unit
pengalengan ikan sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses Muncar
Banyuwangi. Jurnal Kelautan. Vol. 2 no.1.

Yuswita, E. 2014. Optimasi proses termal untuk membunuh Clostridium botulinum. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan. 3 (3): 4-5.
MAKALAH TEKNOLOGI PROSES TERMAL HASIL PERIKANAN

KUALITAS MUTU BAHAN MENTAH DAN PRODUK AKHIR PENGALENGAN


PENGARUH POSISI KALENG PADA RETORT SERTA
OPTIMASI PROSES TERMAL UNTUK MEMBUNUH Clostridium botulinum

OLEH:

MAYA FITRI ZULY


1504115214
TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN


UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018

Anda mungkin juga menyukai