ABSTRAK
Ikan segar merupakan salah satu komoditi yang mudah mengalami kerusakan (high
perishable food). Kerusakan ini dapat disebabkan oleh proses biokimiawi maupun oleh
aktivitas mikribiologi. Pengalengan adalah salah cara untuk mengawetkan makanan dengan
menggunakan panas, dimana tahapan yang paling banyak menggunakan panas adalah proses
sterilisasi. Meskipun makanan kaleng diolah dengan menggunakan proses termal, tidak
menutup kemungkinan bahwa makanan tersebut bisa terkontaminasi oleh mikroba terutama
C. botulinum, karena bakteri ini dapat membentuk toksin botulin pada kondisi an-aerobik
didalam kemasan, terutama produk pangan dari kelompok yang berasam rendah (low acid
food).
PENDAHULUAN
Ikan segar merupakan salah satu komoditi yang mudah mengalami kerusakan (high
perishable food). Kerusakan ini dapat disebabkan oleh proses biokimiawi maupun oleh
aktivitas mikribiologi. Kandungan air hasil perikanan pada umumnya tinggi mencapai
56,79% sehingga sangat memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimiawi oleh enzim yang
berlangsung pada tubuh ikan segar. Sementara itu, kerusakan secara mikrobiologis
cukup tinggi pada ikan menyebabkan ikan mudah rusak bila tidak segera dilakukan
salah satu usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya awet pada produk ikan adalah
dengan pengalengan ikan (Winarno, 1994). Pengalengan adalah salah satu proses untuk
mengawetkan makanan dengan menggunakan panas, dimana tahapan yang paling banyak
Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng atau botol diletakkan dalam retort,
suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang
melakukan tes penetrasi panas, harus dilakukan terlebih dahulu proses distribusi panas, untuk
mengetahui apakah retort yang akan digunakan memiliki distribusi panas yang merata, dan
bagian retort mana yang paling lambat kenaikan suhunya. Uji tersebut dapat dilakukan
mengetahui kecepatan penetrasi dari retort ke dalam makanan. Pada heat penetrasion test
dilakukan pengamatan yang teliti terhadap suhu produk selama proses pemanasan.
(cloudest spot) atau daerah yang paling lambat pemanasannya dalam kaleng. Daerah tersebut
juga sering disebut cold spot. Bila kemasan kalengnya terdiri atas bahan pasat, seperti
misalnya blacked beans atau meat loaf, dimana panas dipindahkan secara konduksi,
sembungan hot junction atau ujung termokopel berada pada atau sedikit diatas titik geometri
kaleng.
mikroba yang masih dapat hidup setelah pemberian panas. Meskipun makanan kaleng diolah
dengan menggunakan proses termal, tidak menutup kemungkinan bahwa makanan tersebut
bisa terkontaminasi oleh mikroba terutama C. botulinum, karena bakteri ini dapat membentuk
toksin botulin pada kondisi an-aerobik didalam kemasan, terutama produk pangan dari
kelompok yang berasam rendah (low acid food). C. botulinum juga dapat membentuk spora
yang relatif tahan panas. Hal ini diperkirakan akibat proses termal yang kurang optimal,
sehingga sel vegetatif dari C. botulinum masih ada dalam bahan pangan dan membentuk
spora. Supaya spora bakteri tersebut tidak terbentuk dalam produk pangan, maka perlu
dilakukan proses sterilisasi yang bertujuan untuk mengawetkan produk pangan dengan
membunuh mikroba pembusuk dan patogen menggunakan panas (suhu tinggi) selama waktu
tertentu.
botulinum dapat mati. Dengan demikian, mikroba lain yang kurang tahan panas akan
otomatis mati apabila C. Botulinum berhasil dibunuh. C. botulinum dapat hidup di dalam
makanan kaleng karena kondisi makanan di dalam kaleng yang an-aerobik, dan bakteri ini
hidup secara an-aerobik (tidak membutuhkan oksigen). Bakteri ini termasuk bakteri gram
positif berbentuk batang, mempunyai dinding sel yang sebagian besar tersusun dari
peptidoglikan (murein). Peptidoglikan pada dinding sel bakteri bersifat kaku dan bertanggung
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah dengan mencari dan mamahami tiga buah jurnal yang
sheet) pada umumnya pada uji organoleptik. Hal yang diuji meliputi rasa, kenampakan dan
bau. Berdasarkan hasil uji, dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian organoleptik ikan
lemuru yang diterima pada ruang peneriman di PT. Karya Manunggal Prima Sukses
mempunyai nilai kisaran 7,58 – 7,68. Nilai organoleptik yang diperoleh pada tahap
penerimaan masih memenuhi standar SNI 01-3548.1-1994, dengan kriteria sebagai berikut:
Pengujian ikan sardine kaleng saus tomat didapatkan hasilnya memenuhi standar yang
ditetapkan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa nilai ikan sardine kaleng
media saus tomat yang dihasilkan oleh PT. Karya Manunggal Prima Sukses mempunyai nilai
kisaran 7,51 – 7,60. Standar mutu ikan sardine kaleng media saus tomat sesuai dengan SNI
01- 3548-1994, dimana nilai organoleptik adalah 6,5 itu berarti produk yang dihasilkan masih
diatas standar yang ditentukan (Wulandari at al., 2009). Dengan kriteria sebagai berikut:
Kenampakan saus : warnanya merah spesifik saus tomat, cerah homogen, bersih dan
menarik
Bau dan rasa saus : bau saus tomat kuat, harum dan segar, rasanya gurih
Bau dan rasa daging : bau daging segar dan harum, rasanya gurih.
Selain itu pengujian secara organoleptik sangat dipengaruhi oleh subjektifitas dari
masing–masing panelis dan waktu pengujian. Panelis adalah alat analitis untuk menera mutu.
Nilai panelis tergantung pada ketelitian yang diberikan. Semakin berpengalaman seorang
panelis, penilaian yang diberikan akan semakin teliti, begitu juga sebaliknya. Waktu
pengujian, uji organoleptik harus dilakukan pada saat panelis tidak dalam kondisi lapar atau
kenyang, yaitu kira-kira jam 09.00 – 11.00 dan jam 14.00 – 16.00 atau kebiasaan waktu
setempat.
yang sama pada bahan baku dan setelah mengalami pengolahan nilainya sama (Muncar
Menurut Hadiwiyoto (1993) daging ikan pada ikan yang masih hidup keadaannya
steril. Namun sebagian bakteri penyebab kerusakan ikan telah ada sejak ikan belum mati.
Bakteri ini hidup didalam alat pencernaan terutama pada usus halus, pada insang, kotoran
ikan, dan permukaan tubuh atau kulitnya. Meskipun demikian, bakteri tersebut tidak
menimbulkan kerusakan, tetapi jika ikan mati makambakteri tersebut segera berkembang
mutu produk, jenis dan jumlah bakteri yang masih hidup dalam wadah. Umumnya
pemeriksaan mikrobiologis memerlukan teknik dan peralatan yang lebih khusus dari pada
secara fisik dan harus dilakukan oleh suatu laboratorium yang kompeten. Sebelum makanan
kaleng didistribusikan, diharuskan untuk menyimpan dahulu produk pada suhu ruang selama
10 hari untuk pemeriksaan. Selama periode ini dilakukan pengamatan ada/ tidaknya
kebusukan, misalnya pengembungan kaleng atau kebocoran akibat penutupan yang kurang
Kandungan mikroba yang terdapat pada bahan mentah lebih banyak dari pada produk
akhir. Bakteri total untuk ikan lokal (Muncar) 7,23 X 103 dan ikan box-boxan (Grajakan dan
Puger) 7,6 dan 7,4 X 103. Menurut Hadiwiyoto (1993) pada waktu ikan baru saja ditangkap
dengan jaring atau alat tangkap lainnya, maka segera letakkan pada geladag atau pada palka
kapal sampai beberapa jam, kadang-kadang diberi es atau dibiarkan sambil sesekali disiram
dengan air laut tergantung perlakuan yang diberikan oleh pengangkap ikan. Jumlah bakteri
total pada bahan mentah untuk produk akhir semua sama yaitu 0. Selama proses pengolahan
ikan mengalami beberapa tahapan yang bertujuan untuk mengurangi dan menghambat
pertumbuhan bakteri pengguntingan, precooking dan sterilisasi. Penggunaan suhu tinggi pada
sterilisasi bertujuan untuk membunuh semua jasad renik yang berupa spora, bakteri dan
mikroba patogen dalam kaleng. Hasil pengujian dapat terlihat bahwa produk yang dihasilkan
dari daerah asal ikan yang berbeda telah memenuhi standart yang telah ditetapkan. Menurut
SNI 01-3548-1994 persyaratan mutu ikan sardine media saus tomat dalam kaleng untuk
Tujuan dari pengolahan dan pengawetan adalah untuk memperpanjang umur daya
simpan dan daya awet dari hasil perikanan. Umur simpan dan daya awet, keamanan akan
hasil olahan juga dipertahankan. Indikasi dari pengolahan dan pengawetan adalah jumlah
total bakteri pada hasil akhir. Berapapun jumlah bakteri pada bahan mentah dengan daerah
asal ikan berbeda, hasil akhirnya harus 0 untuk jumlah bakteri total. Batasan jumlah bakteri
total yang terdapat pada bahan mentah sesuai SNI 01-3458-1994 yaitu 105. Bila jumlah
bakteri total lebih yang ditetapkan maka ikan tidak dapat diolah.
makanan, dirancang khusus hanya untuk mencapai sterilisasi komerisal. Kondisi tersebut
mutu yang tidak diinginkan, maka dikembangkan cara proses sterilisasi yang pas dan aman
serta dapat menekan kerusakan semenimal mungkin dan Penurunan mutu yang disebabkan/
Alat yang digunakan untuk proses sterilisasi adalah retort, yang disebut juga
autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tahan tekanan tinggi yang ditimbulkan
oleh uap yang berasal dari sumber luar retort. Sumber uap air panas tersebut dapat berbentuk
Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng diletakkan dalam retort. Suhu produk
tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi
akan merambat dalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan penetrasi panas ke
dalam kaleng, kalor yang ada digunakan terlebih dahulu untuk proses distribusi panas
ruangan retort. Heat penetration test diperlukan untuk mengatahui kecepatan penetrasi panas
Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada
beberapa faktor, antara lain: ukuran kaleng, posisi kaleng, dan keadaan isinya. Daging ikan
tuna lebih solid dan dimensinya lebih besar akan lebih lambat proses pemanasan bahan
Posisi yang berbeda akan memiliki nilai berbeda pula. Hal ini disebabkan karena jarak
antara posisi dengan sumber panas berbeda. Semakin jauh dari sumber panas maka nilai Fo
akan semakin kecil, panas uap lebih dahulu diterima oleh kaleng posisi 1 kemudian posisi 2.
Proses sterilisasi merupakan tahap yang paling penting dan kritis dalam proses
pengalengan yang menentukan sukses tidaknya proses sterilisasi secara keseluruhan. Proses
ini dilakukan setelah kaleng ditutup dan dimasukkan ke dalam ketel uap atau retort. Suhu
Proses termal (sterilisasi) yang ditujukan bukan hanya untuk membunuh mikroba,
namun harus mempertimbangkan kualitas dari produk akhir dengan cara meminimalkan
kerusakan mutu. Dengan demikian, optimasi proses termal diperlukan untuk dapat
menentukan kombinasi suhu dan waktu selama pemanasan dan pendinginan yang dapat
memenuhi kriteria kemanan pangan dan mutu. Karekteristik produk pangan dan jenis
kemasan yang digunakan juga sangat menentukan kombinasi suhu dan waktu yang
Suhu proses untuk membunuh spora mikroba patogen yang dapat membentuk toksin
dan dapat meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110o- 130℃ selama waktu tertentu,
tergantung pada kondisi dari produknya. Sedangkan suhu untuk mereduksi jumlah C.
botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1℃ selama 3 menit (Kusnandar, 2006).
Semakin tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yang diperlukan untuk dapat
C. botulinum yang ada pada produk pangan terutama makanan kaleng harus dibunuh,
karena bakteri ini dapat menyebabkan keracunan tipe intoksikasi pada manusia. Keracunan
tipe intoksikasi ini disebabkan oleh terkonsumsinya toksin (racun) ekstraseluler yang
dihasilkan oleh mikroba yang mencemari pangan. Intoksikasi tidak memerlukan adanya
mikroba hidup pada pangan yang dikonsumsi karena umumnya toksin mikroba telah
dieksresikan ke medium sekitarnya (ke dalam pangan) pada saat mikroba tumbuh dan
mencemari pangan. Dampak yang ditimbulkan relatif cepat karena toksin telah tersedia.
tersebut menyerang sistem susunan syaraf. Gejala keracunannya bersifat neuroparalitik, yaitu
menyebabkan kelumpuhan bagian tubuh tertentu karena susunan syaraf yang terganggu.
Racun botulinum adalah suatu protein yang sangat beracun, sehingga walaupun tertelan
dalam jumlah sedikit sudah dapat menyebabkan keracunan. Racun botulinum diproduksi oleh
sel C. botulinum dalam bentuk toksin progenitor. Toksin ini kemudian dapat diaktifkan oleh
Toksin yang telah aktif akan dibawa melalui pembuluh darah ke sistem syaraf
kholinergik, dimana toksin tersebut bekerja pada bagian akhir dari sistem syaraf dengan cara
mencegah bagian sineptik untuk melepaskan asetilkholin yang dapat menggerakkan otot-otot
mengakibatkan kelumpuhan atau paralisis. Dosis toksin yang dapat menyebabkan kematian
pada manusia diperkirakan 0.1-1.0 mikrogram (Fardiaz et. al., 1988). Gejala botulisme atau
keracunan akibat botulinum biasanya timbul rata-rata 12-24 jam setelah mengkonsumsi
lebih cepat, yaitu 6-10 jam setelah mengkonsumsi makanan yang beracun, terutama jika
makanan tersebut mengandung toksin E (Fardiaz et. al., 1988). Toksin E dapat menyebabkan
intoksikasi pada manusia, sering ditemukan pada ikan dan hasil-hasil olahan ikan.
1. Mutu dari bahan baku yang digunakan dan produk akhir yang dihasilkan harus sesuai
2. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa
faktor, antara lain: ukuran kaleng, posisi kaleng, dan keadaan isinya.
3. Suhu untuk mereduksi jumlah C. botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1℃
selama 3 menit. Semakin tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yang diperlukan
Fardiaz, S. 1988. Mikrobiologi Pangan II. Laboratorium Mikrobiologi Pangan Pusat antar
Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty. Jakarta. 52-107.
Nurhikmat et al., 2010. Pengaruh posisi kaleng pada retort terhadap nilai Fo tuna dan udang.
Widodo, J. 2001. Pengamatan sanitasi dan higiene di unit pengolahan PT. Maya Muncar.
Jakarta 20: 9-17.
Winarno, F. G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta 75:93.
Wulandari at al., 2009. Kualitas mutu dan bahan mentah dan produk akhir pada unit
pengalengan ikan sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses Muncar
Banyuwangi. Jurnal Kelautan. Vol. 2 no.1.
Yuswita, E. 2014. Optimasi proses termal untuk membunuh Clostridium botulinum. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan. 3 (3): 4-5.
MAKALAH TEKNOLOGI PROSES TERMAL HASIL PERIKANAN
OLEH: