Anda di halaman 1dari 6

Nama : Hosana Widhaningtyas

NIM : 03031381621092

METODE PENGAWETAN TEMPE

Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang dikonsumsi oleh


hampir semua lapisan masyarakat. Tempe mengandung komponen-komponen gizi
yang tinggi, seperti protein dan vitamin B12. Tempe adalah produk fermentasi
kedelai oleh jamur Rhizopus oryzae. Tempe yang berkualitas memiliki bentuk yang
kompak, seluruh bagian diselimuti miselium kapang berwarna putih, tidak berlendir,
dan tidak busuk, Kualitas dan mutu gizi dari tempe dipengaruhi dari cara penyimpan
dan pengawetan tempe. Perubahan mutu gizi selama penyimpanan disebabkan
terutama oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme. Berikut adalah berbagai metode
penyimpanan dan pengawetan dari tempe agar tidak mudah untuk rusak.

1.1. Metode Pengemasan Vakum dan Penyimpanan Dingin


Salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan
dan menjaga kualitas sensori suatu produk pangan adalah dengan pengemasan
vakum. Prinsip pengemasan vakum adalah mengeluarkan semua udara dari dalam
kemasan, kemudian ditutup rapat sehingga tercipta kondisi tanpa oksigen dalam
kemasan tersebut. Ketiadaan oksigen ini dapat menghambat pertumbuhan dari
mikroorganisme perusak dan reaksi-reaksi kimia, sehingga memperpanjang masa
simpan produk yang dikemas. Penelitian yang dilakukan oleh Astawan dkk (2015)
bertujuan untuk menemukan teknik yang memperpanjang umur simpan tempe
melalui kombinasi kemasan vakum dan penyimpanan pada suhu dingin (10oC). .
Hasil dari percobaan yang dilakukan pada penelitian ini dianalisa untuk
menentukan umur simpan tempe yang telah dikemas vakum. Analisa ini merupakan
analisis penunjang berupa: analisis sensori (warna, aroma, tekstur, rasa, dan
overall), analisis pH, analisis kecerahan, analisis tekstur, dan analisis mikrobiologi
(total mikroba dan total koliform). Analisis sensori adalah suatu proses identifikasi,
pengukuran ilmiah, analisis, dan interpretasi atribut-atribut produk melalui lima
panca indra manusia. Analisis sensori juga melibatkan pengukuran yang dapat
bersifat kualitatif atau kuantitatif. Berdasarkan analisis sensori tempe yang dikemas
vakum dan disimpan pada suhu dingin masih dapat diterima hingga hari ke-18. Hari
ke-21 penyimpanan, telah terjadi penurunan mutu pada produk sehingga produk
tidak dapat lagi diterima karena kualitasnya telah menurun. Kombinasi pengemasan
vakum dan penyimpanan pada suhu dingin, terbukti mampu mempertahankan mutu
tempe sehingga dapat memperpanjang umur simpannya hingga mencapai 18 hari. .
Analisis pH tempe kemas dimulai pada saat H-0 (sebelum tempe bacem
diberikan perlakuan) dan dihentikan ketika terjadi penurunan mutu produk
berdasarkan uji sensori (saat hari ke-21). Hasil analisis pH tempe kemas selama
penyimpanan menunjukkan bahwa nilai pH yang terukur pada semua perlakuan
tempe relatif stabil dan tidak berbeda secara jelas satu sama lain, yaitu berkisar
antara 5,7–5,8. Tidak terjadi kenaikan signifikan selama masa penyimpanan tempe.
Faktor pengemasan vakum dan kondisi penyimpanan dingin juga berperan dalam
menjaga kualitas tempe bacem sehingga tidak terjadi perubahan pH yang signifikan.
Hasil pengukuran tekstur tempe selama masa penyimpanan terjadi
penurunan nilai tekstur. Tingkat kekerasan tekstur tempe berbeda nyata secara
statistik selama masa penyimpanan. Nilai tekstur semakin rendah selama masa
penyimpanan menunjukkan bahwa tempe bacem mengalami pelunakan. Tempe
pada hari ke-0 (sebelum mengalami perlakuan) memiliki nilai kekerasan tekstur
sebesar 2848,5 gram force lalu menurun hingga menjadi 2563,8 gram force. Produk
pangan yang mengalami penyimpanan dapat mengalami kerusakan secara fisik,
kimia, biologis dan mikrobiologi. Kerusakan secara mikrobiologi yang terjadi pada
tempe ini menyebabkan terjadinya pelunakan tekstur seiring lamanya penyimpanan.
Beberapa faktor yang mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba
diantaranya adalah tersedianya substrat yang cukup dan kondisi lingkungan yang
sesuai untuk pertumbuhannya. Mikroba yang terdapat pada produk seperti bakteri
dapat mendegradasi senyawa makromolekul pada tempe seperti karbohidrat
menjadi gula sederhana dan pemecahan lebih lanjut dari gula menjadi asam.
Terpecahnya satu komponen makromolekul seperti karbohidrat, dapat berpengaruh
terhadap pelunakan tekstur produk sehingga kekerasan tempe berkurang. .
Analisis mikrobiologi juga dilakukan untuk melakukan pemeriksaan total
mikroba dan total koliform produk tempe. Hasil pengujian total mikroba pada tempe
selama masa penyimpanan menunjukan sebelum diberikan perlakuan mengandung
total mikroba sebesar 1,8 x 103 cfu/ml. Total mikroba tempe dengan perlakuan ini,
tidak berbeda nyata secara statistik seiring dengan lamanya penyimpanan. Selama
masa penyimpanan produk, jumlah mikroba tetap berkisar pada angka 103 cfu/ml.
Golongan bakteri koliform merupakan bakteri yang bersifat aerob dan anaerob.
Pengemasan yang dilakukan secara vakum mampu mendukung terciptanya kondisi
anaerob di dalam kemasan, sehingga berperan dalam menghambat pertumbuhan
bakteri koliform dalam tempe. Kombinasi pengemasan yang secara vakum ini dan
penyimpanan dingin efektif menghambat kerusakan secara mikrobiologi.

1.2. Pengalengan Tempe


Iljas (1969) melakukan proses pengalengan pada tempe, sehingga bisa
memperpanjang umur simpan tempe selama 10 minggu. Pengalengan makanan
adalah suatu prose pengawetan makanan dengan mengepak bahan rnakanan tersebut
di dalam wadah gelas atau kaleng yang dapat ditutup secara hermetis sehingga kedap
udara, dipanaskan sampai suhu yang cukup untuk menghancurkan mikroorganisme
pembusuk dan patogen di dalam bahan, kemudian didinginkan dengan cepat untuk
mencegah terjadinya over cooking dari bahan makanan serta menghindari aktifnya
kembali bakteri tahan panas (thermofilik). Selama proses pengalengan diusahakan
agar pemanasan yang diberikan tidak mengakibatkan kerusakan nilai gizi pangan.
Mula-mula tempe diiris hingga setebal 2-3 cm dengan panjang sebesar 2/3
panjang kaleng atau gelas jar dan diblancing dengan cara merendamkannya dalam
air mendidih selama 5 menit untuk menonaktifkan kapang enzim kapang enzim
proteolitik dan enzim lipolitik. Potongan tempe dimasukan ke dalam kaleng. Kaleng
atau gelas yang telah diisi tersebut diexhaust dengan cara memanaskan di dalam
water bath sampai 2/3 bagian gelas jar atau kaleng terendam dan dibiarkan sampai
mencapai suhu 160°F selama 5-10 menit. Kaleng atau gelas jar setelah direndam
harus cepat-cepat ditutup dengan menggunakan alat doubl-seamer. Kaleng atau
gelas jar ini jangan dibiarkan menjadi dingin sebelum disterilisasi pada suhu 240oF.

1.3. Pembuatan Hidolisat Tempe


Metode terbaru dalam memperpanjang umur simpan tempe adalah dengan
pembuatan hidrolisat tempe (Subagio dkk., 2002). Penelitian ini menghasilkan
produk yang memiliki umur simpan lebih lama dari tepung tempe dan berpotensi
dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap masakan. Tempe dihidrolisis dengan
menggunakan enzim protease flavourzyme, setelah dihidrolisis maka dipanaskan
dengan menambahkan dekstrin dan NaCl, bahan yang telah kental kemudian
dikeringkan dengan oven 70°C selama 48 jam, selanjutnya ditepungkan dan diayak.
Produk ini akan diuji untuk dianalisa kandungan-kandungannya dengan
melakukan analisa jumlah protein terlarut dan padatan total terlarut, kadar air
hidrolisat tempe, tingkat ketengikan, warna, dan uji organoleptic serta jumlah
produk mailard. Sehingga dapat disimpukan proses hidrolisis enzimatis dengan
protease dapat mengubah sifat fisiokimia, organoleptic, dan fungsional pada tepung
hidrolisat tempe. Nilai ketengikan mengalami kenaikan dengan semakin lama waktu
hidrolisis, seiring dengan itu daya antioksidan juga menurun. Warna hidrolisat
tempe yang lebih coklat disebabkan karena peningkatan jumlah produk mailard.
Hidrolisis menyebabkan kelarutan protein meningkat tajam, walaupun akan
mengalami penurunan kualitas jika terlalu lama dihidrolisis. Metode pengawetan ini
tidak menggunakan biaya tinggi dan memiliki kestabilan mutu selama penyimpanan
dan dapat dimanfaatkan menjadi bahan penyedap rasa pada bahan makanan lainnya.

1.4. Pembekuan Cepat .


Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menyimpan tempe secara
beku. Cara ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba, disamping memperlambat
aktivitas enzim penyebab penurunan kualitas. Teknik pembekuan ini diharapkan
dapat memperpanjang dan memperluas rantai distribusi tempe. Pembekuan cepat
tempe (-29°C) yang dianjurkan oleh Frazier dan Westhoff (1978) dan dikutip oleh
Simatupang (1985) dapat meningkatkan umur simpan tempe hingga 4 bulan. Tempe
bukan bahan penghantar dingin yang baik, sehingga harus dilakukan reduksi ukuran
tempe terlebih dahulu agar luas permukaannya kontak pengawetan meningkat. .
Koswara (1995) memperkenalkan beberapa metode pengawetan antara lain
pengeringan beku (freeze drying ) yang dilakukan dengan pembekuan cepat (-14°C)
lalu pengeringan pada suhu sedang dengan menggunakan vakum, metode yang lain
adalah pengeringan semprot (spray drying) dengan hasil akhir berupa bubuk tempe
yang dapat digunakan sebagai campuran makanan lainnya. Selama penyimpanan
beku, sebagian besar mikroorganisme akan terhenti, meskipun beberapa dapat
tumbuh lambat, sehingga perubahan flavor, tekstur dan nilai gizi menurun namun
lambat. Pada penyimpanan secara beku terjadi perubahan kecerahan (warna) dan
kekerasan tempe. Tingkat kecerahan tempe menurun dari 44,7 Y% (sebelum
simpan) menjadi 36,3 Y% (setelah penyimpanan beku selama 4 minggu), sedangkan
kekerasan tempe turun dari sebesar 3,83 mm/g menjadi 5,07 mm/g.
Kekerasan tempe diukur berdasarkan kedalaman jarum yang masuk ke
tempe. Makin besar nilai berarti tempe lebih lunak, sebaliknya makin kecil nilai
berarti tempe lebih keras. Penurunan tingkat kecerahan dan tekstur (kekerasan)
tempe selama penyimpanan antara lain disebabkan oleh perlakuan blanching di
dalam air mendidih selama 5 menit sebelum tempe disimpan secara beku. Blanching
dimaksudkan untuk menonaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan
citarasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan. Blanching juga
menghentikan pertumbuhan kapang, sehingga pertumbuhan dari miselium yang
berwarna putih juga terhenti. Oleh karena itu, warna tempe menjadi lebih gelap.
Blanching juga menyebabkan rusaknya beberapa jaringan sehingga tempe
menjadi lunak. Tempe beku sebelum diamati diperlakukan thawing, yaitu pencairan
kembali kristal-kristal es dalam tempe. Kristal es yang mencair terserap kembali
dalam jaringan sel sehingga menyebabkan penurunan kekerasan tempe. Penurunan
tekstur tempe juga disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik yang mendegradasi
protein. Selama penyimpanan beku terjadi perubahan komposisi kimia tempe, yaitu
kadar air, lemak, protein, nitrogen (N) amino, total asam, dan karbohidrat. Kadar
air, lemak, N amino, dan total asam mengalami peningkatan selama penyimpanan,
sedangkan protein dan karbohidrat akan mengalami penurunan jumlah.
Peningkatan kadar air tempe di akhir penyimpanan beku bukan disebabkan
oleh pengaruh penyimpanan, tetapi karena perlakuan sebelum dan sesudah
pembekuan yaitu blanching dan thawing. Perlakuan tersebut menyebabkan molekul
air terserap ke dalam tempe. Tanpa simpan beku, tempe mengandung air relatif lebih
rendah karena tidak diperlakukan blanching dan thawing seperti tempe yang
disimpan beku. Kadar protein tempe menurun dari 29,4% bb (sebelum simpan)
menjadi 27,7% bb (setelah simpan beku 4 minggu). Perubahan tersebut antara lain
disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik yang mendegradasi protein. Dari reaksi
itu terbentuk asam-asam yang menyebabkan meningkatnya kadar total asam pada
tempe dari 0,73% berat menjadi sebesar 0,99% dari total berat tempe tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M., dkk. 2015. Kombinasi Kemasan Vakum dan Penyimpanan Dingin
untuk Memperpanjang Umur Simpan Tempe Bacem. Bogor: IPB.
Haliza, W., dkk. 2007. Pemanfaatan Kacang-Kacangan Lokal sebagai Substitusi
Bahan Baku Tempe dan Tahu. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian.
Vol. 1(3): 1-8.
Iljas, N. 1969. Tempeh an Indonesian Fermented Soybean Food. Di dalam : Liu, K.
Soybeans. Chemistry, technology, and utilization. New York: International
Thompson Publishing.
Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Prihatna, A. 1991. Studi Pembuatan Tempe Instan. Bogor: IPB.
Simatupang, I. A. 1985. Mempelajari Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap
Penyimpanan Tempe yang Berflavor. Skripsi. Bogor: IPB.
Subagio, A., dkk. 2002. Kajian Sifat Fisiokimia dan Organoleptik Hidrolisat Tempe
Hasil Hidrolisis Protease. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 8(3): 204-
210.

Anda mungkin juga menyukai