Anda di halaman 1dari 7

Kumpulan makalah Agroteknologi terlengkap

MAKALAH PENGGUNAAN SUHU TINGGI


TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN SMESTER 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Secara alamiah susu mengandung bakteri (terkontaminasi dari sumbernya : puting, ambing, dan rambut), jika susu
tidak ditangani secara tepat, maka akan menimbulkan kondisi dimana jumlah bakteri dalam susu dapat berkembang
dengan cepat. Mikroorganisma lainnya akan masuk ke dalam susu selama proses pemerahan, transportasi, dan
penyimpanan, jika peralatan yang digunakan sepanjang ketiga proses dimaksud tidak bersih, terjaga, dan steril.

Pada satu sisi, dengan kandungan gizi yang lengkap menempatkan susu sebagai pangan bernilai tinggi, di sisi lain
dengan kandungan gizi yang lengkap susu juga menjadi media tumbuh paling baik bagi perkembangbiakan
mikroorganisma yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Sejalan dengan peradaban manusia dan
perkembangan teknologi modern, manusia menemukan cara perlakuan dan praktik pengolahan terhadap susu,
sehingga menghasilkan ragam produk susu yang tersedia di pasar bagi penduduk di seluruh dunia (Shearer, dkk.,
1992). Dengan adanya pengolahan (processing) terhadap susu, maka produk susu yang dihasilkan dapat disimpan
lebih lama sebelum dikonsumsi, memungkinkan bagi konsumen menyesuaikan pembelian produk susu dengan fungsi
kebutuhan, kegunaan, dan seleranya

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang dapat dirumuskan dan
menjadi kajian dalam penulisan makalah ini adalah: bagaimanakah teknik pengolahan yang tepat untuk susu
tersebut.

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan

Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah teknologi hasil pertanian.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui hal-hal yang dijelaskan dalam penggunaan suhu tinggi.

1.4 Kegunaan Penulisan

Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis ataupun pembaca
dan menjadi referensi bagi penulis lain.

1.5 Kerangka Pemikiran

Dalam penulisan makalah ini, penulis memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis
teliti.Kerangka pemikiran ini dimulai dengan mengedepankan pengertian serta kegunaan.
1.6 Sistematika Penulisan

Agar makalah ini dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisan makalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan berisikan latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penulisan, pembatasan masalah, dan sistematika
penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

Bersikan pembahasan tentang penggunaan suhu tinggi.

BAB IV PENUTUP

Berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-saran

BAB II

PEMBAHSAN

2.1 Mengapa Suhu Tinggi Digunakan pada Pengawetan Pangan ?

Suhu tinggi diterapkan baik dalam pengawetan maupun dalam pengolahan pangan.Memasak, menggoreng,
memanggang, dan lain-lain adalah cara-cara pengolahan yang menggunakan panas.Proses-proses tersebut membuat
makanan menjadi lebih lunak, lebih enak, dan lebih awet.Pemberian suhu tinggi pada pengolahan dan pengawetan
pangan didasarkan kepada kenyataan bahwa pemberian panas yang cukup dapat membunuh sebagian besar mikroba
dan menginaktifkan enzim.Selain itu makanan menjadi lebih aman karena racun-racun tertentu rusak karena
pemanasan, misalnya racun dari bakteri Clostridium botulinum.

Adanya mikroba dan kegiatan enzim dapat merusak bahan makanan, meskipun disimpan dalam wadah
tertutup.Lamanya pemberian panas dan tingginya suhu pemanasan ditentukan oleh sifat dan jenis bahan makanan
serta tujuan dari prosesnya.Setiap jenis pangan memerlukan pemanasan yang berbeda untuk mematikan mikroba
yang terdapat di dalamnya.

Pemanasan mengakibatkan efek mematikan terhadap mikroba.Efek yang ditimbulkannya tergantung dari intensitas
panas dan lamanya pemanasan.Makin tinggi suhu yang digunakan, makin singkat waktu pemanasan yang digunakan
untuk mematikan mikroba.

Pada umumnya pengawetan dengan suhu tinggi tidak mencakup pemasakan, penggorengan, maupun pemanggangan.
Yang dimaksud dengan pengawetan menggunakan suhu tinggi adalah proses-proses komersial dimana penggunaan
panas terkendali dengan baik, antara lain sterilisasi, pasteurisasi , dan blansing.

2.2 Bagaimanakah Prinsip Pengawetan dengan Suhu Tinggi ?

Pada pemakaian suhu tinggi, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Mikroba penyebab kebusukan dan yang dapat membahayakan kesehatan manusia harus dimatikan

2. Panas yang digunakan sedikit mungkin menurunkan nilai gizi makanan

3. Faktor-faktor organoleptik misalnya citarasa juga harus dipertahankan.


Dikenal beberapa tingkatan pemberian panas atau proses termal yang umum dilakukan yaitu blansing, pasteurisasi,
dan sterilisasi.

a. Blansing

Blansing merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan
pada suhu kurang dri 100 o C selama beberapa menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Biasanya suhu yang
digunakan sekitar 82 93 oC selama 3 5 menit.Contoh blansing misalnya mencelupkan sayuran atau buah dalam air
mendidih selama 3 5 menit atau mengukusnya selama 3 5 menit.Tujuan utama blansing ialah menginaktifan enzim
diantaranya enzim peroksidase dan katalase, walaupun sebagian dari mikroba yang ada dalam bahan juga turut mati.
Kedua jenis enzim ini paling tahan terhadap panas,.

Blansing biasanya dilakukan terhadap sayur-sayuran dan buah-buahan yang akan dikalengkan atau dikeringkan. Di
dalam pengalengan sayur-sayuran dan buah-buahan, selain untuk menginaktifkan enzim, tujuan blansing yaitu :

membersihkan bahan dari kotoran dan mengurangi jumlah mikroba dalam bahan mengeluarkan atau menghilangkan
gas-gas dari dalam jaringan tanaman, sehingga mrngurangi terjadinya pengkaratan kaleng dan memperoleh keadaan
vakum yang baik dalam headspace kaleng. melayukan atau melunakkan jaringan tanaman, agar memudahkan
pengisian bahan ke dalam wadah menghilangkan bau dan flavor yang tidak dikehendaki menghilangkan lendir pada
beberapa jenis sayur-sayuran memperbaiki warna produk, a.l. memantapkan warna hijau sayur-sayuran.

Cara melakukan blansing ialah dengan merendam dalam air panas (merebus) atau dengan uap air (mengukus atau
dinamakan juga steam blanching). Merebus yaitu memasukkan bahan ke dalam panci yang berisi air
mendidih.Sayur-sayuran atau buahbuahan yang akan diblansing dimasukkan ke dalam keranjang kawat, kemudian
dimasukkan ke dalam panci dengan suhu blansing biasanya mncapai 82 83 oC selama 3 5 menit. Setelah blansing
cukup walktunya, kemudian keranjang kawat diangkat dari panci dan cepat-cepat didinginkan dengan air.

Pengukusan tidak dianjurkan untuk sayur-sayuran hijau, karena warna bahan akan menjadi kusam. Caranya ialah
dengan mengisikan bahan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam dandang yang berisi air
mendidih. Dandang ditutup dan langkah selanjutnya sama dengan cara perebusan.

b. Pasteurisasi

Pasteurisasi merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan sampai suatu suhu tertentu untuk membunuh mikroba
patogen atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab penyakit TBC, disentri, diare, dan penyakit perut lainnya.
Dengan pasteurisasi masih terdapat mikroba, sehingga bahan pangan yang telah dipasteurisasi mempunyai daya
tahan simpan yang singkat.

Tujuan pasteurisasi yaitu :

1. Membunuh semua bakteri patogen yang umum dijumpai pada bahan pangan bakteribakteri patogen yang
berbahaya ditinjau dari kesehatan masyarakat

2. Memperpanjang daya tahan simpan dengan jalan mematikan bakteri dan menginaktifkan enzim

Mikroba terutama mikroba non patogen dan pembusuk masih ada pada bahan yang dipasteurisasi dan bisa
berkembang biak. Oleh karena itu daya tahan simpannya tidak lama.Contohnya : susu yang sudah dipasteurisasi bila
disimpan pada suhu kamar hanya akan tahan 1 2 hari, sedangkan bila disimpan dalam lemari es tahan kira-kira
seminggu. Karena itu untuk tujuan pengawetan, pasteurisasi harus dikombinasikan dengan cara pengawetan lainnya,
misalnya dengan pendinginan.

Pasteurisasi biasanya dilakukan pada susu, juga pada saribuah dan suhu yang digunakan di bawah 100 oC. Contohnya
:

pasterurisasi susu umumnya dilakukan pada suhu 61 - 63 oC selama 30 menit


pasteurisasi saribuah dilakukan pada suhu 63 74 oC selama 15 30 menit.

Contoh Proses Pasteurisasi:

Pasteurisasi pada saribuah dan sirup dapat dilakukan dengan cara hot water bath . Pada cara hot water bath ,
wadah yang telah diisi dengan bahan dan ditutup (sebagian atau rapat) dimasukkan ke dalam panci terbuka yang
diisi dengan air. Beberapa cm (2,5 5,0 cm) di bawah permukaan wadah. Kemudian air dalam panci dipanaskan
sampai suhu di bawah 100 oC ( 71 85 oC ), sehingga aroma dan flavor tidak banyak berubah.

c. Sterilisasi

Perkataan steril mengandung pengertian :

1. Tidak ada kehidupan

2. Bebas dari bakteri patogen

3. Bebas dari organisme pembusuk

4. Tidak terdapat kegiatan mikroba dalam keadaan normal

Dalam pengolahan bahan pangan yang lazim dinamakan pengalengan, tidak mungkin dilakukan sterilisasi dengan
pengertian yang mutlak. Pemanasan dilakukan sedemikian rupa sehingga mikroba yang berbahaya mati, tetapi sifat-
sifat bahan pangan tidak banyak mengalami peruba han sehingga tetap bernilai gizi tinggi. Sehubungan dengan hal
ini dikenal 2 macam istilah, yaitu :

1. Sterilisasi biologis yaitu suatu tingkat pemanasan yang mengakibatkan musnahnya segala macam kehidupan yang
ada pada bahan yang dipanaskan 2. Sterilisasi komersial yaitu suatu tingkat pemanasan, dimana semua mikroba yang
bersifat patogen dan pembentuk racun telah mati.

Pada produk yang steril komersial masih terdapat spora-spora mikroba tertentu yang tahan suhu tinggi; spora-spora
tersebut dalam keadaan penyimpanan yang normal tidak dapat berkembang biak atau tumbuh. Jika spora tersebut
diberi kondisi tertentu, maka spora akan tumbuh dan berkembang biak.

Sterilisasi adalah proses termal untuk mematikan semua mikroba beserta sporasporanya. Spora-spora bersifat tahan
panas, maka umumnya diperlukan pemanasan selama 15 menit pada suhu 121 oC atau ekivalennya , artinya semua
partikel bahan pangan tersebut harus mengalami perlakuan panas.

Mengingat bahwa perambatan panas melalui kemasan (misalnya kaleng, gelas) dan bahan pangan memerlukan waktu,
maka dalam prakteknya pemanasan dalam autoklaf akan membutuhkan waktu lebih lama dari 15 menit. Selama
pemanasan dapat terjadi perubahanperubahan kualitas yang tidak diinginkan.Untungnya makanan tidak perlu
dipanaskan hingga steril sempurna agar aman dan memiliki daya tahan simpan yang cukup lama. Semua makanan
kaleng umumnya diberi perlakuan panas hingga tercapai keadaan steril komersial .Biasanya daya tahan simpan
makanan yang steril komersial adalah kira-kira 2 tahun.Kerusakan-kerusakan yang terjadi biasanya bukan akibat
pertumbuhan mikroba, tetapi karerna terjadi kerusakan pada sifat-sifat organoleptiknya akibat reaksi-reaksi kimia.

Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan pangan yang sifatnya tidak asam atau bahan
pangan berasam rendah. Yang tergolong bahan pangan ini adalah bahan pangan hewani seperti daging, susu, telur,
dan ikan serta beberapa jenis sayuran seperti buncis dan jagung. Bahan pangan berasam rendah mempunyai risiko
untuk mengandung bakteri Clostridium botulinum, yang dapat menghasilkan racun yang mematikan jika tumbuh
dalam makanan kaleng.Oleh karena itu spora bakteri tersebut harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup
tinggi. Sterilisasi komersial adalah pemanasan pada suhu 121,1 oC selama 15 menit dengan menggunakan uap air
bertekanan, dilakukan dalam autoklaf.
Tujuan sterilisasi komersial terutama untuk memusnahkan spora bakteri patogen termasuk spora bakteri C.
Botulinum.Produk yang sudah diproses dengan sterilisasi komersial sebaiknya disimpan pada kondisi penyimpanan
yang normal, yaitu pada suhu kamar. Harus dihindari penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 50 oC), karena
bukan tidak mungkin jika ada spora dari bakteri yang sangat tahan panas masih terdapat di dalam kaleng dapat
tumbuh dan berkembang biak di dalamnya dan menyebabkan kebusukan, misalnya bakteri Bacillus
stearothermophillus.

2.3 Kualitas Bahan Baku

Dalam menilai kualitas bahan baku susu, terdapat 2 (dua) aspek yang penting, yakni komposisi dan cemaran
mikroorganisma yang terkandung di dalamnya. Secara normal komposisi susu (sapi) memiliki kandungan air 84-90%;
lemak 2-6%; protein 3-4 %; laktosa 4-5%; dan kadar abu < 1% (Shearer, dkk., 1992). Kualitas susu yang dipersyaratkan
di Indonesia, digunakan standar yang sudah dibuat oleh BadanStandardisasi Nasional (BSN) berdasarkan SNI 01-3141-
1998, yang mengatur 18 itemsyarat susu segar, antara lain yang terpenting adalah berat jenis (pada suhu 27,5 0
C)minimum 1,0280; kadar lemak minimum 3,0%; bahan kering tanpa lemak minimum8,0%; dan protein minimum
2,7%; serta jumlah mikroorganisma maksimum 1 X 10 6cfu (coloni form unit) per ml dan jumlah sel radang
maksimum 4 X 10 5/ml. Dalam halini tampak bahwa kualitas susu tidak semata dilihat berdasarkan kandungan
gizinya,namun juga diukur atau ditentukan berdasarkan jumlah mikroorganisma dan jumlah selradang maksimum
yang terhitung di dalamnya.

Komposisi Susu:

Komposisi SusuKomposisi susu menurut Eckles et al., (1980)dibagi menjadi dua bagian yaitu air 87,25% danzat padat
12,75%, dimana zat padat dibagi lagimenjadi empat bagian yaitu lemak 3,8%;protein 3,5%; laktosa 4,8% dan mineral
0,65%.Komposisi susu dipengaruhi oleh spesies,individu dalam satu spesies dan metode analisa(Adnan, 1984).
Komposisi utama susu menurutBuckle et al., (1987) adalah air, protein, lemak,laktosa, vitamin dan mineral.

Sifat-sifat Susu:

Menurut Hadiwiyoto (1983), sifat fisik susumeliputi warna, bau dan rasa, berat jenis, titikdidih, titik beku dan
kekentalannya. Sifatkimiawi susu meliputi pH dan keasaman.Adapun sifatmikrobiologis susu adalah sifatyang
berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme(bakteri, khamir dan kapang). Kandunganlaktosa yang rendah dan klorida
yang relatiftinggi menyebabkan susu mempunyai flavourasin (Soeparno, 1992).

2.4 Pengertian Daya Simpan

Pengertian daya simpan sebuah produk adalah lamanya waktu dimana sebuah pangan dapat disimpan pada kondisi
penyimpanan yang disarankan sesuai petunjuk penyimpanannya dan selama itu masih terjaga
kesegaran dan kualitasnya yang dapat

diterima(Cornell University, 2000). Sedangkan menurut Codex (CAC/RCP 57-2004),

shelf-lifeadalah periode dimana sebuah produk dapat terjaga keamanannya dari

dampak perkembangan mikrobiologis dan kelayakannya untuk dikonsumsi, pada

suhu penyimpanan yang spesifik, dan tegantung pula pada tempat, kondisi penyimpanan, dan penanganan
sebelumnya.

2.5 Susu Pasteurisasi

Proses pasteurisasi pada susu pertama kali dilakukan oleh Franz von Soxhlet pada Tahun 1886. Susu pasteurisasi
atau dikenal dengan istilah pasteurized milk adalah produk susu yang diperoleh dari hasil pemanasan susu pada
suhu minimum 161 F selama minimum 15 detik, segera dikemas pada kondisi yang bersih dan terjaga sanitasinya.
Beberapa bakteri akan bertahan pada suhu pasteurisasi, dalam jumlah yang sedikit, namun mereka dipertimbangkan
tidak berbahaya dan tidak akan merusak susu selama kondisi pendinginan yang normal.

Secara umum, dalam industri pengolahan susu terdapat 2 (dua) cara melakukan pasteurisasi, yakniLTLT dan HTST,
dengan penjelasannya pada tabel berikut ini :

Cara pasteurisasi yang dilakukan juga berpengaruh terhadap kandungan gizi dan aroma produk pangan. Sebagai
contoh, pada susu HTST dinilai lebih efektif, karena lebih sedikit menimbulkan kerusakan pada kandungan gizi dan
karakteristik organoleptik pada susu, dibandingkan dengan LTLT. Menurut Codex (CAC/RCP 57- 2004), proses
pasteurisasi HTST (minimum 72 C selama 15 detik) disarankan untuk continuous flow pasteurization dan LTLT
(minimum 63 C selama 30 menit) untuk batch pasteurization.

Selain itu juga dikenal 2 (dua) jenis pasteurisasi lainnya, yakni

1. Ultrapasteurization : pemanasan susu pada suhu yang tinggi, sampai 280 F (138 C), selama 2 detik, kemudian
dengan pertimbangan kemasan yang digunakan umumnya kurang kuat, maka produk susu pasteurisasi ini harus segera
didinginkan selama penyimpanan.

2. Jenis susu pasteurisasi lainnya adalah Ultra-High-Temperature (UHT)

Pasteurization : pemanasan susu pada suhu yang lebih tinggi lagi, dalam kisaran 280-

302F (138-150C), selama 1-2 detik. Produk susu ini umumnya dikemas dalam keadaan steril, dengan kemasan
berlapis hermatis, dapat disimpan tanpa pendinginanselama penyimpanan.

Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan SNI 01-3951-1995 tentang produk susu pasteurisasi, yakni
produk susu yang dihasilkan dari susu segar,susu rekonstitusi, atau susu rekombinasi yang telah mengalami proses
pemanasanpada temperatur 63C -66C selama minimum 30 menit atau pada pemanasan 72Cselama minimum 15
detik, kemudian segera didinginkan sampai 10C, selanjutnyadiperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu
maksimum 4,4C. Susu segarialah cairan yang diperoleh dengan memerah sapi sehat dengan cara yang benar,
sehatdan bersih tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponennya.

2.6 Daya Simpan

Susu pasteurisasi yang dihasilkan dan dipasarkan sangat beragam, denganperbedaan jenis pasteurisasi yang
dilakukannya, pengemasan, danpenyimpanannya, terlebih juga produsen di Indonesia, yang menyertakan
ataumenambahkan flavor (aroma dan rasa) ke dalam produk susu pasteurisasi yang dihasilkannya. Pada tabel berikut
ini disajikan perbandingan jenis pasteurisasi dengan perbedaan daya simpannya.

Menurut Chapman dan Boor (2001) para produsen susu pasteurisasi umumnya berharap dapat memperpanjang daya
simpannya hingga 60-90 hari, bahkan lebih. Sehingga umumnya jenis pasteurisasi yang dilakukan pada industri
pengolahan susu adalah Ultrapasteurization atau UHT. Namun demikian karena produk susu pasteurisasi yang
dilakukannya pada pemanasan yang tinggi maka akan timbul flavor gosong yang khas, sehingga beberapa segmen
konsumen lebih memilih produk susu pasturisasi HTST.

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Produsen produk susu pasteurisasi dalam menjaminkan daya simpan atas produknya perlu memperhitungkan potensi
kontaminasi yang tidak terantisipasi akibat penyimpangan suhu yang bisa terjadi selama proses pembuatan,
penyimpanan, distribusi, penjualan, hingga penanganannya oleh konsumen. Penyimpangan suhu dimaksud sering
terjadi pada saat konsumen tidak menyimpannya di lemari pendingin sebelum dikonsumsi habis saat itu juga.

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR PUSTAKA

Saripah Hudaya, Ir.,MS. Pelatihan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian

Badan Standardisasi Nasional.`1995.SNI 01-3951-1995 Susu Pasteurisasi.Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional.`1998.SNI 01-3141-1998 Susu Segar. Jakarta.

Barbano, D. M. , Y. Ma, and M. V. Santos. 2006. Influence of Raw Milk Quality on Fluid Milk Shelf Life. J. Dairy Sci.
89(E. Suppl.):E15E19. American Dairy Science Association, Northeast Dairy Foods Research Center, Department of
Food Science, Cornell University, Ithaca, NY 14853, USA.

Boediyana, T. 2006. Pengembangan Model Usaha Agribisnis Sapi Perah Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Usaha
Kecil dan Menengah.Makalah yang dipaparkan pada Workshop yang diselengggrakan oleh Ditjen P2HP, Bandung.

Boor, K. J. 2001.Fluid dairy product quality and safety: Looking to the future. J. Dairy Sci. 84:111.

Bray, D.R. 2008. Milk Quality Is More than Somatic Cell Count and Standard Plate Count, Its Now Shelf-
Life. Department of Animal Sciences-University of Florida, USA.

Anda mungkin juga menyukai